Aku masih menatapnya dengan tatapan
tak percaya. Sejak masuk kedalam kamar kostku
tadi, Radit hanya diam saja. Menjawab seperlunya bila kutanya. Dan
sepertinya acara mampirnya ini bakalan memakan waktu yang tidak sedikit jika
dia hanya mengunci mulutnya saja.
“kamu tinggal sendiri?” Radit
inisiatif untuk mulai perbincangan. Setelah tadi hanya aku saja yang aktif
bertanya.
“he em.” Jawabku malas sambil
mengganti seragam atasku dengan kaos.
“sepertinya enak ya tinggal sendiri,
bebas!” aku sedikit tertawa menanggapi perkataannya. Mungkin dia belum pernah
merasakan tinggal sendiri, jauh dari orang tua, sanak saudara? Apanya yang
enak? Buatku ini sama sekali jauh dari kata enak! Kalau bukan karena keinginan
ayahku, aku mungkin sudah belajar di sekolah kotaku. Bukan disini.
“ya, ada enaknya ada juga kaga
enaknya. Yang pasti banyakan kaga
enaknya!”
“masa?”
“he em, mau minum apa?” aku sampai
lupa menawarinya minuman karena saking kagetnya dengan tingkah polahnya yang
sejauh ini belum bisa membuatku mencoret kata aneh yang sudah aku sematkan pada
dirinya.
“air putih aja. Kamu gay ya?” deg,
hampir saja gelas yang aku pegang jatuh bebas mendengar perkataanya barusan.
“hha? Apaan?” aku mencoba memastikan
kalau tadi itu hanya telingaku yang salah tangkap.
“kamu gay.” Oke, kali ini sepertinya
kesalahan bukan terletak pada kupingku. Tapi pada mulutnya. Aku berusaha
berpikir, maksutku aku memang gay. Tapi bukan berarti jika ada orang lain yang
mengetahui fakta itu, dengan catatan bahwa orang itu juga baru dikenal, aku akan
bangga. Sama sekali tidak. Aku sama sekali tidak menyesal menjadi gay, namun
bukan berarti aku bangga juga dengan kondisiku itu. Kalian pasti tau lah apa
maksutku.
“hemm.” Hanya itu yang bisa aku
ucapkan. Entah kenapa aku rasanya seperti kehabisan stok kata kata. Apa aku
terlihat sangat ngondek sehingga Radit langsung bisa menyimpulkan bahwa aku
gay? Karena perasaan, sikapku wajar wajar saja kok.
“aku artikan ya berarti.” Secara
kurang ajar Radit mengambil kesimpulan. Padahal menurutku, perkataanku tadi bukan
jawaban lebih tepatnya masuk dalam daftar kata penundaan sebelum akhirnya nanti
aku menjawabnya dengan pasti. Tapi sepertinya Radit memang aneh bin ajaib.
“karena aku juga sama sepertimu.
Oya, air putihnya, kalau boleh. Aku haus banget.” Aku tertegun sesaat sebelum
akhirnya menyerahkan gelas berisi air putih yang memang sudah aku sediakan
untuk Radit tadi. Hanya saja aku lupa karena shock terapi yang diberikan Radit
tadi lewat kata katanya. Aku memang pernah mendengar bahwa seorang gay
mempunyai ‘gay radar’, yaitu semacam kemampuan untuk mengenali sesama gay.
Walaupun secara prakteknya aku sama sekali tidak percaya. Buktinya aku tidak
mempunyai ‘gay radar’ seperti yang orang banyak bilang.
“oke, lalu?” aku bertanya sambil
duduk dihadapannya. Paling tidak dia juga gay, jadi aku tidak merasa dihakimi
nantinya.
“bukan apa apa. Kita bisa menjadi
sahabat karib nantinya.” Ujar Radit sembari tersenyum.
“uda punya pacar?” kembali Radit
bertanya dengan entengnya. Aku ragu, dua orang gay menjadi sahabat? Apa iya nantinya
bakal tulus? Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaan Radit
barusan.
“Denny ya?” hebat! Mungkin sudah
saatnya aku menyerahkan penghargaan ‘cenayang of the year’ pada Radit. Kita
baru kenal belum genap sehari dan dia sudah tau tentangku. Apa mungkin aku dan
Denny yang terlalu mesra? Aku rasa tidak, aku dan Denny masih bisa menjaga
sikap kok kalau di tempat umum. Kadang-kadang saja kok kita mesranya.
“dia itu tipe cowok yang bakal
disukai oleh para botty kan? Buat aku, Denny itu style nya ‘top banget’.”
Sekarang Radit mulai ngawur. Jangan bilang dia suka Denny! Karena jika dia
melakukan itu, aku tidak akan segan segan mengusirnya dari kamar kostku
sekarang juga. Dia layak masuk daftar black list.
“calm down! Aku kaga suka dia kok,
hanya sebatas mengaguminya.” Aku masih saja diam. Aku kurang tau harus bersikap
bagaimana. Bangga atau senewen? Jika pacarmu di puji puji oleh orang lain, apa
yang akan kalian lakukan? Aku pribadi menganggap ini sebagai ancaman.
“hey, are you okay?” mungkin dia
mulai menyadari aksi diamku.
“fine.”
“kayaknya kamu depresi berat ya?”
see? Kayaknya dia memang cenayang sungguhan.
“gak papa. Gua baik-baik aja kok.”
“eem, aku suka Beno.” Kali ini aku
memuntahkan air putih yang baru saja aku minum. Ini anak selain aneh, hobby
banget ya bikin orang kaget. Demi Tuhan! Walaupun aku tidak mempunyai gay
radar, tapi Beno adalah orang terakhir di muka bumi ini yang akan aku anggap
bahwa dia gay.
“kamu gak papa?” aku
menggeleng-gelengkan kepalaku sebagai tanda bahwa aku baik baik saja.
Setidaknya aku mencoba menampilkan mimik baik baik saja di depan Radit. Dari
pembicaraan ini aku bisa mengambil kesimpulan bahwa aku tidak mungkin akan
menjadi akrab dengannya. Dia terlalu aneh dan bukan ‘temen gua banget’.
“dia terlihat begitu penyayang,
perhatian dan juga berjiwa pemimpin. Selain itu secara fisik, not bad lha.” Aku
masih berusaha menetralkan jantungku yang masih berdetak terlalu cepat dari
seharusnya. Radit baru bertemu aku dan dia dengan sangat terbuka bercerita
padaku blak blakan. Mungkin bisa jadi dia adalah pembaca emosi yang buruk.
Seharusnya, melihatku yang diam saja dia bisa menilai bahwa aku kurang sreg
dengan pembicaraan ini. Terlebih lagi, dia bilang apa tadi? Beno penyayang?
Tahi kucing! Mana mungkin makluk menyebalkan satu itu penyayang. Perhatian?
Cailah, cari mati aja ngomongin Beno perhatian. Jangan lupa juga Radit bilang
tadi berjiwa pemimpin! Melihat tingkahnya saja, orang sudah enggan menyalonkan
seorang Yonathan Beno Wicaksono menjadi pemimpin. Secara kan dia aneh banget.
Mungkin sesama orang aneh bisa timbul daya tarik tersendiri. Ya, hanya mereka
yang tahu.
“bisa gak kamu comblangin aku sama
dia?”
“gak!” ya Tuhan, mungkin aku terlalu
cepat mengatakannya. Bahkan mungkin terlalu keras. Aku agak berteriak tadi.
Tapi menyomblangkan Radit dengan Beno? Ya Tuhan, ngobrol sama tu anak aja aku
hindari apalagi sampai menyomblangkan? Tidak bakal! Aku melihat sorot kecewa di
matanya.
“maksu gua, gua kan kaga begitu
akrab sama Beno. Jadi, emm. . sorry.” Perlahan tapi pasti aku melihat matanya
berbinar kembali.
“aku kira kamu membenciku.” Terbuat
dari apa otak anak ini? Hanya Tuhan yang tau. Aku hanya tersenyum kecil
menanggapi ucapannya. Lalu entah berawal darimana aku dan Radit sudah terlibat
perbincangan yang seru. Walau ini bukan berarti aku sudah menganggapnya tidak
aneh. Dia tetap aneh. Tapi ngobrol dengannya juga bukan sesuatu yang buruk.
Wawasannya luas dan dia hampir tau tetang semua hal. Untuk wawasannya aku harus
angkat topi. Tepat pukul 5 sore akhirnya dia pamit pulang. Dan bodohnya aku,
aku sudah berjanji padanya untuk memberikan nomor handphone Beno besok. Karena
sayang sekali, aku juga tidak mempunyai nomor Beno di kontak handphone ku. Sudahlah,
yang besok pikirkan saja besok. Aku mengambil handuk lalu keluar dari kamar
kostku. Aku tidak sejorok yang kalian kira. Aku masih ingat mandi sore kok.
Aku sangat menikmati acara mandi
soreku. Setidaknya untuk mengganti jatah mandiku tadi pagi, aku sedikit
berlama-lama bermain dengan sabunku. Jangan berpikiran jorok. Aku bermain main sabun
dalam artian yang sebenarnya, bukan seperti yang ada dipikiran kalian. Saat aku
merasa air sudah tidak bersahabat, menjadi sangat dingin maksutku, aku
menyudahi acara mandiku. Takutnya, aku akan ditemukan sudah terbujur kaku
besok. Sangat tidak layak jual jika mati di kamar mandi. Dengan berlilitkan
handuk aku menuju kembali ke kamar kostku.
Aku cukup kaget melihat Denny sudah
berbaring di atas ranjangku. Aku memang sudah memberinya kunci kostku satu biar
dia bebas masuk kalau aku sedang tidak ada. Tapi walaupun ini sudah berjalan
agak lama, aku masih saja tetap kaget jika melihatnya tiba tiba sudah berada di
dalam kamarku. Entahlah, rasanya ganjil saja.
“tumben mandi.” Aku mendengus sebal
sebelum akhirnya membuka almariku untuk mengambil baju ganti.
“kan kamu mau dateng. Jadi aku mandi
dulu, biar boleh meluk.” Jawabku asal. Dia terkekeh sebentar, lalu menatapku
dengan ekspresi serius. Jujur, aku selalu merasa jengah jika ditatap seserius
itu, aku merasa seperti terintimidasi.
“kamu manis kalau abis mandi gini.”
For God shake, gombalan ini baru pertama kali aku dengar. Manis kalau abis
mandi? Yang benar saja!
“sini, deketan abang sini.” Ini dia
salah satu sifat Denny yang hanya ditunjukkan jika hanya sedang bersamaku.
Karena kebanyakan orang mengenal Denny sebagai sosok yang pendiam. Sedang
bersamaku, dia bisa menjadi sangat norak dan bawel sekali. Aku mengenakan kaos
dan boxerku dulu sebelum akhirnya bergabung dengan Denny di atas ranjang. Aku
merebahkan kepalaku di dadanya, sedangkan tanganku menyusup kedalam kaosnya.
Aku suka melakukan ini, menyentuh kulitnya langsung dengan jariku. Sensasinya
menyenangkan.
“tadi cintaku pulang bareng siapa?”
see? Dia mulai norak. Tapi aku menyukainya.
“Radit. Abisnya sayangku jahat.” Kalau sudah begini, akupun ikut
ikutan jadi norak.
“kok bisa bareng Radit? Oya, aku
nginep sini ya? Aku udah bawa seragam ganti. Lagian aku yakin kamu belom
ngerjain PR bahasa kan?” aku menggeleng pelan. Gila aja, masih sore gini sudah
ngomongin PR!
“ya, kita searah. Tadi mamanya Radit
yang nganter.”
“Radit di jemput?” sepertinya memang
wajar jika aku terkejut karena Radit dijemput ibunya tadi siang, karena hal
yang sama juga berlaku untuk Denny. Dia juga terkejut. Berarti aku belom gila.
“yup!” jawabku mantap sambil
menganggukan kepala, “Den, punya nomornya Beno kaga?” tanyaku kemudian saat
teringat janjiku pada Radit tadi bahwa aku akan mendapatkan nomor handphone
Beno untuknya. Entah ini hanya perasaanku saja atau apa, namun aku melihat
reaksi Denny yang agak sedikit berlebihan menurutku.
“buat apa?” Denny sama sekali tidak
bertanya dengan intonasi wajar. Dia hampir mendesis. What’s going on?
“gak, Cuma nanya aja.” Aku jadi
ngerasa kaga enak sendiri. Denny menatapku dengan pandangan matanya yang
menyipit. Dan selama hampir sebulan kita pacaran, belum pernah aku melihat
Denny secemburu ini. Maksutku, aku bahkan tidak terlalu mengenal Beno. Lalu
buat apa Denny semarah ini?
“jangan tanya tanya soal dia, aku
gak suka.” Keningku sedikit berkerut mendengar pernyataannya barusan. Aneh, itu
yang terlintas dalam benakku.
“kamu udah mamam?” tanya Denny
setelah lama aku dan dia hanya terdiam. Aku hanya menggelengkan kepalaku.
“cari mamam yuk! Aku laper.”
“aku lagi males keluar, kamu
bungkusin aja buat aku.” Jawabku singkat. Mood ku hilang. Melihat reaksi Denny
yang menurutku berlebihan tadi, membuatku hilang selera untuk manja-manjaan
dengannya.
“ya, udah. Kita maghriban dulu yuk.
Baru ntar aku keluar cari makan buat kita berdua.” Aku tersenyum menanggapi
ajakannya. Dia tahu aku sedang merajuk, dan dia selalu sabar menghadapi
tingkahku yang moody.
Sehabis kita mengambil air wudhu,
kita sholat maghrib di kamarku. Setelah itu kita masih sempat canda-candaan
sebelum akhirnya dia keluar untuk cari makan. Aku menyalakan tv, mengganti
chanelnya kesana kemari. Memang benar, mencari siaran yang berkualitas di
Indonesia itu memang susahnya tiada tara. Kalau bukan sinetron striping ya
reality show kaga jelas. Dan yang paling membuatku jengah adalah acara yang
menampilkan kemiskinan seseorang. Aku salut dengan mereka yang mau mengulurkan
tangan untuk orang miskin, tapi menurutku acaranya terlalu di lebih-lebihkan.
Dan sinetron striping, yang ini mah jangan ditanya. Alur ceritanya sudah sangat
bisa ditebak. Kalau bukan si miskin dan si kaya ya palingan ibu tiri yang
jahat. Kecelakaan lalu hilang ingatan. Eh, ternyata si tokoh utama punya
saudara kembar. Yang cukup aneh juga adalah tokoh yang sudah mati tiba tiba
nongol lagi. Heran, apa iya sedangkal itukah cerita dalam sinetron? Apalagi
jika melihat pembantunya yang sasaknya tinggi banget kayak mau kondangan. Cukup,
bisa-bisa aku emosi jika terus-terusan membahas sinetron. Lama juga aku
menunggu Denny kembali. Baru kira-kira jam 7 dia kembali. Mengambil 2 piring
dan 2 sendok lalu menyiapkan makan malam kita (aku dan Denny tentunya) dengan
diam.
Ternyata dia membeli nasi goreng.
Dari aromanya saja sudah membuat nafsu makanku melonjak.
“kamu yang ini, yang gak pedes.” Aku
memanyunkan bibirku. Aku suka makanan pedas dan Denny tahu itu.
“kamu itu punya maag! Jadi pola
makannya harus dijaga. Gak boleh makan pedes!” aku makin memajukan bibirku.
Kira kira 2cm lebih manyun dari yang tadi.
“minta cipok ya?” aku langsung
memalingkan wajahku, mengambil jatah makan malamku dan mulai menyuapi nasi
gorengku ke dalam mulut. Kudengar Denny sedikit cekikikan.
“segitunya banget sih! Takut banget
kalau aku cipok.”
“bukannya takut, aku Cuma lagi kaga
mood bikin kamu seneng.” Tawa Denny langsung meledak. Yah biarlah, biar dia
tertawa dan aku tetap menikmati makanku. Setidaknya, bikin pacar ketawa itu
dapat pahala. Eh, bener kaga ya? Anggap aja bener. Hhehe.
Setelah makan malam selesai, yang
diiringi dengan acara suap-suapan, saling ledek dan saling mengusili jatah
makan malam masing-masing, aku dan Denny konsen mengerjakan PR. Kalau pas lagi
serius gini, aku suka sekali memperhatikan wajahnya. Matanya sih biasa saja.
Tidak sipit seperti orang Cina, tidak juga lebar seperti komik komik anime
Jepang. Hidungnya juga tidak bangir bangir amat. Tapi segala sesuatu yang ada
dalam diri Denny itu pas. Semuanya terasa sangat klop. Matanya, hidungnya,
bibirnya, walaupun semuanya tidak ada yang special tapi menarik jika sudah
dipandang sebagai kesatuan yang utuh dalam wajah Denny. Seperti yang aku
katakana tadi, Tuhan sangat pas menempatkan hidung, mata, bibir dalam takaran
yang sempurna. Wajar, menarik, tapi tidak berlebihan.
“aku sayang kamu.” Tanpa sadar aku
mengucapkannya. Walaupun sangat lirih aku yakin Denny pasti mendengarnya. Dan
dugaanku benar, karena satu detik kemudian Denny mengangkat kepalanya dan
tersenyum ke arahku.
“aku juga sayang kamu.” Sederhana,
tapi buatku sangat membahagiakan.
***
Hari ini hari special. Tepat di hari
Minggu ini, aku dan Denny akan merayakan ulang bulan kita yang pertama. Kaga
kerasa bahwa hubunganku dengan Denny sudah menginjak satu bulan. Aku kembali
mengenang awal awal aku kelas satu dulu. Jujur, dulu aku sempat naksir Beno
saat pertama kali masuk sekolah ini. Wajar saja jika melihat fisiknya yang
keren. Aku sudah bilang berulang kali bahwa Beno adalah cowok terkeren di
kelasku dan bisa jadi paling keren satu angkatanku. Tapi itu dulu sebelum aku
mengenal sifatnya yang menyebalkan. Dan sifat menyebalkannya hanya ditujukan
padaku. Setidaknya selama 2 tahun aku sekelas dengannya, dia belum pernah
menunjukkan ikhtiar baik padaku.
Aku tidak satu kelas dulu dengan
Denny saat kelas satu. Aku bertemu dengannya di kelas dua. Dan awalnya aku sama
sekali tidak menaruh perasaan yang berlebih padanya, karena sifatnya yang
begitu pendiam. Semua berawal dari taruhanku bersama teman-temanku yang
menginginkan supaya Denny bisa membaur dengan anak-anak sekelasnya. Aku
menerima taruhan itu, aku mulai duduk sebangku dengannya. Menemaninya di kantin
walaupun aku selalu dikacangin. Itu semua demi traktiran selama sebulan penuh.
Aku anak kost, jadi wajar jika semangatku menjadi meluap-luap begitu mendengar
kata ‘traktir’. Tidak cukup sampai disitu, aku juga menjadi ‘ibu’ baru untuk
Denny. Yah, dari pandanganku waktu itu, aku memang sudah seperti ibu keduanya.
Walaupun mungkin Denny malah menganggap sebaliknya.
Toh, semua usahaku berbuah manis.
Denny mulai terbuka padaku. Mulai berani mengusiliku. Bahkan dia mengikuti
saranku untuk bergabung bersama tim basket. Pandanganku mulai kabur waktu itu,
aku tidak lagi fokus terhadap taruhanku bersama teman-temanku. Aku tulus
berteman dengan Denny, bahkan aku sadar mulai tumbuh perasaan ganjil untuknya.
Puncaknya, aku nekat menyatakan perasaanku untuknya. Dan di luar dugaanku, aku
diterima. Oke, Denny memang bukan cinta pertamaku. Tapi dia cowok pertamaku,
ciuman pertamaku. Sampai sekarang, siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam
taruhan itu tidak jelas. Karena toh aku tidak pernah mengungkit-ungkit masalah
itu. Denny juga sampai sekarang tidak tahu menahu soal itu. Dan aku juga enggan
membicarakan perihal itu dengannya. Itu kan nggak penting banget.
Aku sudah mempersiapkan segalanya.
Baju baru, celana baru dan juga sepatu yang kemaren sudah aku cuci
habis-habisan supaya tampak kinclong. Aku dan Denny sudah janjian bakal ketemu
di sebuah rumah makan nanti jam 7 malam, dilanjut dengan menginap di kostku.
Dan aku juga sudah berjanji bahwa malam ini aku akan melakukannya. Yup!
Merelakan keperawananku dan keperjakaanku untuknya. Hasyah, mulai berlebihan
nih bahasanya!!
Suara Agnes Monica membuyarkan
lamunan mesumku yang sedang membayangkan apa saja yang mungkin bakal terjadi
nanti malam. Telepon dari Radit.
“kenapa Dit?” jawabku malas setelah
menekan tombol jawab.
“mamaku masuk rumah sakit Gan! Aku panik
banget!” dan aku mendengar suaranya yang kalap memang.
“oke, lu tenang dulu. Emang posisi
lu dimana sekarang? Nyokap lu dimana?” wajar jika Radit panik. Ayahnya adalah
seorang pelayaran (jujur aku nggak tau nama pekerjaan orang yang menjadi
pelayan di kapal-kapal pesiar, dan tentu saja, aku malas cari tahu) dan hanya
beberapa tahun sekali pulang. Ditambah lagi, Radit adalah anak satu-satunya.
Aku mencatat sebuah alamat rumah
sakit yang diberikan Radit dengan cepat. Sebenarnya aku sudah tau rumah sakit
itu. Namun, aku sama sekali belum pernah kesana. Jadi setidaknya aku tahu
alamatnya supaya tidak tersesat nantinya. Setelah berganti pakaian aku segera
berjalan cepat ke depan. Memanggil tukang ojek yang ada di depan gangku dan
tanpa babibu langsung menyuruh abang tukang ojeknya agak cepetan setelah tadi
menyerahkan alamat rumah sakit tempat ibunya Radit dirawat. Setelah sampai di
rumah sakit, aku langsung menghubungi Radit.
“Dit, kamar nyokap lu dimana?”
“aku di depan ICU Gan, abis dari
lobby kamu lurus aja.” Aku mendengar ada isakan di dalam suara Radit.
“oke.” Kataku cepat sebelum akhirnya
mengakhiri panggilan teleponku. Semoga tidak terjadi apa apa. Amin.
Tbc. . .
makin seru nich......Ditunggu part selanjutnya..SEMANGAT & good joob
BalasHapus