FOLLOW ME

Sabtu, 05 Januari 2013

CINTAKU DIBAGI TIGA chapter two


Aku masih menatapnya dengan tatapan tak percaya. Sejak masuk kedalam kamar kostku  tadi, Radit hanya diam saja. Menjawab seperlunya bila kutanya. Dan sepertinya acara mampirnya ini bakalan memakan waktu yang tidak sedikit jika dia hanya mengunci mulutnya saja.
“kamu tinggal sendiri?” Radit inisiatif untuk mulai perbincangan. Setelah tadi hanya aku saja yang aktif bertanya.
“he em.” Jawabku malas sambil mengganti seragam atasku dengan kaos.
“sepertinya enak ya tinggal sendiri, bebas!” aku sedikit tertawa menanggapi perkataannya. Mungkin dia belum pernah merasakan tinggal sendiri, jauh dari orang tua, sanak saudara? Apanya yang enak? Buatku ini sama sekali jauh dari kata enak! Kalau bukan karena keinginan ayahku, aku mungkin sudah belajar di sekolah kotaku. Bukan disini.
“ya, ada enaknya ada juga kaga enaknya.  Yang pasti banyakan kaga enaknya!”
“masa?”
“he em, mau minum apa?” aku sampai lupa menawarinya minuman karena saking kagetnya dengan tingkah polahnya yang sejauh ini belum bisa membuatku mencoret kata aneh yang sudah aku sematkan pada dirinya.
“air putih aja. Kamu gay ya?” deg, hampir saja gelas yang aku pegang jatuh bebas mendengar perkataanya barusan.
“hha? Apaan?” aku mencoba memastikan kalau tadi itu hanya telingaku yang salah tangkap.
“kamu gay.” Oke, kali ini sepertinya kesalahan bukan terletak pada kupingku. Tapi pada mulutnya. Aku berusaha berpikir, maksutku aku memang gay. Tapi bukan berarti jika ada orang lain yang mengetahui fakta itu, dengan catatan bahwa orang itu juga baru dikenal, aku akan bangga. Sama sekali tidak. Aku sama sekali tidak menyesal menjadi gay, namun bukan berarti aku bangga juga dengan kondisiku itu. Kalian pasti tau lah apa maksutku.
“hemm.” Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Entah kenapa aku rasanya seperti kehabisan stok kata kata. Apa aku terlihat sangat ngondek sehingga Radit langsung bisa menyimpulkan bahwa aku gay? Karena perasaan, sikapku wajar wajar saja kok.
“aku artikan ya berarti.” Secara kurang ajar Radit mengambil kesimpulan. Padahal menurutku, perkataanku tadi bukan jawaban lebih tepatnya masuk dalam daftar kata penundaan sebelum akhirnya nanti aku menjawabnya dengan pasti. Tapi sepertinya Radit memang aneh bin ajaib.
“karena aku juga sama sepertimu. Oya, air putihnya, kalau boleh. Aku haus banget.” Aku tertegun sesaat sebelum akhirnya menyerahkan gelas berisi air putih yang memang sudah aku sediakan untuk Radit tadi. Hanya saja aku lupa karena shock terapi yang diberikan Radit tadi lewat kata katanya. Aku memang pernah mendengar bahwa seorang gay mempunyai ‘gay radar’, yaitu semacam kemampuan untuk mengenali sesama gay. Walaupun secara prakteknya aku sama sekali tidak percaya. Buktinya aku tidak mempunyai ‘gay radar’ seperti yang orang banyak bilang.
“oke, lalu?” aku bertanya sambil duduk dihadapannya. Paling tidak dia juga gay, jadi aku tidak merasa dihakimi nantinya.
“bukan apa apa. Kita bisa menjadi sahabat karib nantinya.” Ujar Radit sembari tersenyum.
“uda punya pacar?” kembali Radit bertanya dengan entengnya. Aku ragu, dua orang gay menjadi sahabat? Apa iya nantinya bakal tulus? Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaan Radit barusan.
“Denny ya?” hebat! Mungkin sudah saatnya aku menyerahkan penghargaan ‘cenayang of the year’ pada Radit. Kita baru kenal belum genap sehari dan dia sudah tau tentangku. Apa mungkin aku dan Denny yang terlalu mesra? Aku rasa tidak, aku dan Denny masih bisa menjaga sikap kok kalau di tempat umum. Kadang-kadang saja kok kita mesranya.
“dia itu tipe cowok yang bakal disukai oleh para botty kan? Buat aku, Denny itu style nya ‘top banget’.” Sekarang Radit mulai ngawur. Jangan bilang dia suka Denny! Karena jika dia melakukan itu, aku tidak akan segan segan mengusirnya dari kamar kostku sekarang juga. Dia layak masuk daftar black list.
“calm down! Aku kaga suka dia kok, hanya sebatas mengaguminya.” Aku masih saja diam. Aku kurang tau harus bersikap bagaimana. Bangga atau senewen? Jika pacarmu di puji puji oleh orang lain, apa yang akan kalian lakukan? Aku pribadi menganggap ini sebagai ancaman.
“hey, are you okay?” mungkin dia mulai menyadari aksi diamku.
“fine.”
“kayaknya kamu depresi berat ya?” see? Kayaknya dia memang cenayang sungguhan.
“gak papa. Gua baik-baik aja kok.”
“eem, aku suka Beno.” Kali ini aku memuntahkan air putih yang baru saja aku minum. Ini anak selain aneh, hobby banget ya bikin orang kaget. Demi Tuhan! Walaupun aku tidak mempunyai gay radar, tapi Beno adalah orang terakhir di muka bumi ini yang akan aku anggap bahwa dia gay.
“kamu gak papa?” aku menggeleng-gelengkan kepalaku sebagai tanda bahwa aku baik baik saja. Setidaknya aku mencoba menampilkan mimik baik baik saja di depan Radit. Dari pembicaraan ini aku bisa mengambil kesimpulan bahwa aku tidak mungkin akan menjadi akrab dengannya. Dia terlalu aneh dan bukan ‘temen gua banget’.
“dia terlihat begitu penyayang, perhatian dan juga berjiwa pemimpin. Selain itu secara fisik, not bad lha.” Aku masih berusaha menetralkan jantungku yang masih berdetak terlalu cepat dari seharusnya. Radit baru bertemu aku dan dia dengan sangat terbuka bercerita padaku blak blakan. Mungkin bisa jadi dia adalah pembaca emosi yang buruk. Seharusnya, melihatku yang diam saja dia bisa menilai bahwa aku kurang sreg dengan pembicaraan ini. Terlebih lagi, dia bilang apa tadi? Beno penyayang? Tahi kucing! Mana mungkin makluk menyebalkan satu itu penyayang. Perhatian? Cailah, cari mati aja ngomongin Beno perhatian. Jangan lupa juga Radit bilang tadi berjiwa pemimpin! Melihat tingkahnya saja, orang sudah enggan menyalonkan seorang Yonathan Beno Wicaksono menjadi pemimpin. Secara kan dia aneh banget. Mungkin sesama orang aneh bisa timbul daya tarik tersendiri. Ya, hanya mereka yang tahu.
“bisa gak kamu comblangin aku sama dia?”
“gak!” ya Tuhan, mungkin aku terlalu cepat mengatakannya. Bahkan mungkin terlalu keras. Aku agak berteriak tadi. Tapi menyomblangkan Radit dengan Beno? Ya Tuhan, ngobrol sama tu anak aja aku hindari apalagi sampai menyomblangkan? Tidak bakal! Aku melihat sorot kecewa di matanya.
“maksu gua, gua kan kaga begitu akrab sama Beno. Jadi, emm. . sorry.” Perlahan tapi pasti aku melihat matanya berbinar kembali.
“aku kira kamu membenciku.” Terbuat dari apa otak anak ini? Hanya Tuhan yang tau. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi ucapannya. Lalu entah berawal darimana aku dan Radit sudah terlibat perbincangan yang seru. Walau ini bukan berarti aku sudah menganggapnya tidak aneh. Dia tetap aneh. Tapi ngobrol dengannya juga bukan sesuatu yang buruk. Wawasannya luas dan dia hampir tau tetang semua hal. Untuk wawasannya aku harus angkat topi. Tepat pukul 5 sore akhirnya dia pamit pulang. Dan bodohnya aku, aku sudah berjanji padanya untuk memberikan nomor handphone Beno besok. Karena sayang sekali, aku juga tidak mempunyai nomor Beno di kontak handphone ku. Sudahlah, yang besok pikirkan saja besok. Aku mengambil handuk lalu keluar dari kamar kostku. Aku tidak sejorok yang kalian kira. Aku masih ingat mandi sore kok.
Aku sangat menikmati acara mandi soreku. Setidaknya untuk mengganti jatah mandiku tadi pagi, aku sedikit berlama-lama bermain dengan sabunku. Jangan berpikiran jorok. Aku bermain main sabun dalam artian yang sebenarnya, bukan seperti yang ada dipikiran kalian. Saat aku merasa air sudah tidak bersahabat, menjadi sangat dingin maksutku, aku menyudahi acara mandiku. Takutnya, aku akan ditemukan sudah terbujur kaku besok. Sangat tidak layak jual jika mati di kamar mandi. Dengan berlilitkan handuk aku menuju kembali ke kamar kostku.
Aku cukup kaget melihat Denny sudah berbaring di atas ranjangku. Aku memang sudah memberinya kunci kostku satu biar dia bebas masuk kalau aku sedang tidak ada. Tapi walaupun ini sudah berjalan agak lama, aku masih saja tetap kaget jika melihatnya tiba tiba sudah berada di dalam kamarku. Entahlah, rasanya ganjil saja.
“tumben mandi.” Aku mendengus sebal sebelum akhirnya membuka almariku untuk mengambil baju ganti.
“kan kamu mau dateng. Jadi aku mandi dulu, biar boleh meluk.” Jawabku asal. Dia terkekeh sebentar, lalu menatapku dengan ekspresi serius. Jujur, aku selalu merasa jengah jika ditatap seserius itu, aku merasa seperti terintimidasi.
“kamu manis kalau abis mandi gini.” For God shake, gombalan ini baru pertama kali aku dengar. Manis kalau abis mandi? Yang benar saja!
“sini, deketan abang sini.” Ini dia salah satu sifat Denny yang hanya ditunjukkan jika hanya sedang bersamaku. Karena kebanyakan orang mengenal Denny sebagai sosok yang pendiam. Sedang bersamaku, dia bisa menjadi sangat norak dan bawel sekali. Aku mengenakan kaos dan boxerku dulu sebelum akhirnya bergabung dengan Denny di atas ranjang. Aku merebahkan kepalaku di dadanya, sedangkan tanganku menyusup kedalam kaosnya. Aku suka melakukan ini, menyentuh kulitnya langsung dengan jariku. Sensasinya menyenangkan.
“tadi cintaku pulang bareng siapa?” see? Dia mulai norak. Tapi aku menyukainya.
“Radit. Abisnya sayangku  jahat.” Kalau sudah begini, akupun ikut ikutan jadi norak.
“kok bisa bareng Radit? Oya, aku nginep sini ya? Aku udah bawa seragam ganti. Lagian aku yakin kamu belom ngerjain PR bahasa kan?” aku menggeleng pelan. Gila aja, masih sore gini sudah ngomongin PR!
“ya, kita searah. Tadi mamanya Radit yang nganter.”
“Radit di jemput?” sepertinya memang wajar jika aku terkejut karena Radit dijemput ibunya tadi siang, karena hal yang sama juga berlaku untuk Denny. Dia juga terkejut. Berarti aku belom gila.
“yup!” jawabku mantap sambil menganggukan kepala, “Den, punya nomornya Beno kaga?” tanyaku kemudian saat teringat janjiku pada Radit tadi bahwa aku akan mendapatkan nomor handphone Beno untuknya. Entah ini hanya perasaanku saja atau apa, namun aku melihat reaksi Denny yang agak sedikit berlebihan menurutku.
“buat apa?” Denny sama sekali tidak bertanya dengan intonasi wajar. Dia hampir mendesis. What’s going on?
“gak, Cuma nanya aja.” Aku jadi ngerasa kaga enak sendiri. Denny menatapku dengan pandangan matanya yang menyipit. Dan selama hampir sebulan kita pacaran, belum pernah aku melihat Denny secemburu ini. Maksutku, aku bahkan tidak terlalu mengenal Beno. Lalu buat apa Denny semarah ini?
“jangan tanya tanya soal dia, aku gak suka.” Keningku sedikit berkerut mendengar pernyataannya barusan. Aneh, itu yang terlintas dalam benakku.
“kamu udah mamam?” tanya Denny setelah lama aku dan dia hanya terdiam. Aku hanya menggelengkan kepalaku.
“cari mamam yuk! Aku laper.”
“aku lagi males keluar, kamu bungkusin aja buat aku.” Jawabku singkat. Mood ku hilang. Melihat reaksi Denny yang menurutku berlebihan tadi, membuatku hilang selera untuk manja-manjaan dengannya.
“ya, udah. Kita maghriban dulu yuk. Baru ntar aku keluar cari makan buat kita berdua.” Aku tersenyum menanggapi ajakannya. Dia tahu aku sedang merajuk, dan dia selalu sabar menghadapi tingkahku yang moody.
Sehabis kita mengambil air wudhu, kita sholat maghrib di kamarku. Setelah itu kita masih sempat canda-candaan sebelum akhirnya dia keluar untuk cari makan. Aku menyalakan tv, mengganti chanelnya kesana kemari. Memang benar, mencari siaran yang berkualitas di Indonesia itu memang susahnya tiada tara. Kalau bukan sinetron striping ya reality show kaga jelas. Dan yang paling membuatku jengah adalah acara yang menampilkan kemiskinan seseorang. Aku salut dengan mereka yang mau mengulurkan tangan untuk orang miskin, tapi menurutku acaranya terlalu di lebih-lebihkan. Dan sinetron striping, yang ini mah jangan ditanya. Alur ceritanya sudah sangat bisa ditebak. Kalau bukan si miskin dan si kaya ya palingan ibu tiri yang jahat. Kecelakaan lalu hilang ingatan. Eh, ternyata si tokoh utama punya saudara kembar. Yang cukup aneh juga adalah tokoh yang sudah mati tiba tiba nongol lagi. Heran, apa iya sedangkal itukah cerita dalam sinetron? Apalagi jika melihat pembantunya yang sasaknya tinggi banget kayak mau kondangan. Cukup, bisa-bisa aku emosi jika terus-terusan membahas sinetron. Lama juga aku menunggu Denny kembali. Baru kira-kira jam 7 dia kembali. Mengambil 2 piring dan 2 sendok lalu menyiapkan makan malam kita (aku dan Denny tentunya) dengan diam.
Ternyata dia membeli nasi goreng. Dari aromanya saja sudah membuat nafsu makanku melonjak.
“kamu yang ini, yang gak pedes.” Aku memanyunkan bibirku. Aku suka makanan pedas dan Denny tahu itu.
“kamu itu punya maag! Jadi pola makannya harus dijaga. Gak boleh makan pedes!” aku makin memajukan bibirku. Kira kira 2cm lebih manyun dari yang tadi.
“minta cipok ya?” aku langsung memalingkan wajahku, mengambil jatah makan malamku dan mulai menyuapi nasi gorengku ke dalam mulut. Kudengar Denny sedikit cekikikan.
“segitunya banget sih! Takut banget kalau aku cipok.”
“bukannya takut, aku Cuma lagi kaga mood bikin kamu seneng.” Tawa Denny langsung meledak. Yah biarlah, biar dia tertawa dan aku tetap menikmati makanku. Setidaknya, bikin pacar ketawa itu dapat pahala. Eh, bener kaga ya? Anggap aja bener. Hhehe.
Setelah makan malam selesai, yang diiringi dengan acara suap-suapan, saling ledek dan saling mengusili jatah makan malam masing-masing, aku dan Denny konsen mengerjakan PR. Kalau pas lagi serius gini, aku suka sekali memperhatikan wajahnya. Matanya sih biasa saja. Tidak sipit seperti orang Cina, tidak juga lebar seperti komik komik anime Jepang. Hidungnya juga tidak bangir bangir amat. Tapi segala sesuatu yang ada dalam diri Denny itu pas. Semuanya terasa sangat klop. Matanya, hidungnya, bibirnya, walaupun semuanya tidak ada yang special tapi menarik jika sudah dipandang sebagai kesatuan yang utuh dalam wajah Denny. Seperti yang aku katakana tadi, Tuhan sangat pas menempatkan hidung, mata, bibir dalam takaran yang sempurna. Wajar, menarik, tapi tidak berlebihan.
“aku sayang kamu.” Tanpa sadar aku mengucapkannya. Walaupun sangat lirih aku yakin Denny pasti mendengarnya. Dan dugaanku benar, karena satu detik kemudian Denny mengangkat kepalanya dan tersenyum ke arahku.
“aku juga sayang kamu.” Sederhana, tapi buatku sangat membahagiakan.
***

Hari ini hari special. Tepat di hari Minggu ini, aku dan Denny akan merayakan ulang bulan kita yang pertama. Kaga kerasa bahwa hubunganku dengan Denny sudah menginjak satu bulan. Aku kembali mengenang awal awal aku kelas satu dulu. Jujur, dulu aku sempat naksir Beno saat pertama kali masuk sekolah ini. Wajar saja jika melihat fisiknya yang keren. Aku sudah bilang berulang kali bahwa Beno adalah cowok terkeren di kelasku dan bisa jadi paling keren satu angkatanku. Tapi itu dulu sebelum aku mengenal sifatnya yang menyebalkan. Dan sifat menyebalkannya hanya ditujukan padaku. Setidaknya selama 2 tahun aku sekelas dengannya, dia belum pernah menunjukkan ikhtiar baik padaku.
Aku tidak satu kelas dulu dengan Denny saat kelas satu. Aku bertemu dengannya di kelas dua. Dan awalnya aku sama sekali tidak menaruh perasaan yang berlebih padanya, karena sifatnya yang begitu pendiam. Semua berawal dari taruhanku bersama teman-temanku yang menginginkan supaya Denny bisa membaur dengan anak-anak sekelasnya. Aku menerima taruhan itu, aku mulai duduk sebangku dengannya. Menemaninya di kantin walaupun aku selalu dikacangin. Itu semua demi traktiran selama sebulan penuh. Aku anak kost, jadi wajar jika semangatku menjadi meluap-luap begitu mendengar kata ‘traktir’. Tidak cukup sampai disitu, aku juga menjadi ‘ibu’ baru untuk Denny. Yah, dari pandanganku waktu itu, aku memang sudah seperti ibu keduanya. Walaupun mungkin Denny malah menganggap sebaliknya.
Toh, semua usahaku berbuah manis. Denny mulai terbuka padaku. Mulai berani mengusiliku. Bahkan dia mengikuti saranku untuk bergabung bersama tim basket. Pandanganku mulai kabur waktu itu, aku tidak lagi fokus terhadap taruhanku bersama teman-temanku. Aku tulus berteman dengan Denny, bahkan aku sadar mulai tumbuh perasaan ganjil untuknya. Puncaknya, aku nekat menyatakan perasaanku untuknya. Dan di luar dugaanku, aku diterima. Oke, Denny memang bukan cinta pertamaku. Tapi dia cowok pertamaku, ciuman pertamaku. Sampai sekarang, siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam taruhan itu tidak jelas. Karena toh aku tidak pernah mengungkit-ungkit masalah itu. Denny juga sampai sekarang tidak tahu menahu soal itu. Dan aku juga enggan membicarakan perihal itu dengannya. Itu kan nggak penting banget.
Aku sudah mempersiapkan segalanya. Baju baru, celana baru dan juga sepatu yang kemaren sudah aku cuci habis-habisan supaya tampak kinclong. Aku dan Denny sudah janjian bakal ketemu di sebuah rumah makan nanti jam 7 malam, dilanjut dengan menginap di kostku. Dan aku juga sudah berjanji bahwa malam ini aku akan melakukannya. Yup! Merelakan keperawananku dan keperjakaanku untuknya. Hasyah, mulai berlebihan nih bahasanya!!
Suara Agnes Monica membuyarkan lamunan mesumku yang sedang membayangkan apa saja yang mungkin bakal terjadi nanti malam. Telepon dari Radit.
“kenapa Dit?” jawabku malas setelah menekan tombol jawab.
“mamaku masuk rumah sakit Gan! Aku panik banget!” dan aku mendengar suaranya yang kalap memang.
“oke, lu tenang dulu. Emang posisi lu dimana sekarang? Nyokap lu dimana?” wajar jika Radit panik. Ayahnya adalah seorang pelayaran (jujur aku nggak tau nama pekerjaan orang yang menjadi pelayan di kapal-kapal pesiar, dan tentu saja, aku malas cari tahu) dan hanya beberapa tahun sekali pulang. Ditambah lagi, Radit adalah anak satu-satunya.
Aku mencatat sebuah alamat rumah sakit yang diberikan Radit dengan cepat. Sebenarnya aku sudah tau rumah sakit itu. Namun, aku sama sekali belum pernah kesana. Jadi setidaknya aku tahu alamatnya supaya tidak tersesat nantinya. Setelah berganti pakaian aku segera berjalan cepat ke depan. Memanggil tukang ojek yang ada di depan gangku dan tanpa babibu langsung menyuruh abang tukang ojeknya agak cepetan setelah tadi menyerahkan alamat rumah sakit tempat ibunya Radit dirawat. Setelah sampai di rumah sakit, aku langsung menghubungi Radit.
“Dit, kamar nyokap lu dimana?”
“aku di depan ICU Gan, abis dari lobby kamu lurus aja.” Aku mendengar ada isakan di dalam suara Radit.
“oke.” Kataku cepat sebelum akhirnya mengakhiri panggilan teleponku. Semoga tidak terjadi apa apa. Amin.
Tbc. . .

1 komentar:

  1. Anonim1/08/2013

    makin seru nich......Ditunggu part selanjutnya..SEMANGAT & good joob

    BalasHapus

leave comment please.