FOLLOW ME

Sabtu, 26 Oktober 2013

THE SERIES 8

Aku sudah diperbolehkan untuk sekolah. Yah, sebenarnya aku sudah sangat bosan sekali di rumah, jadi aku mengatakan kalau aku sudah merasa mampu untuk berangkat sekolah. Burungku masih diperban jika kalian mau tahu. Masalah antara aku, Taufik dan juga Herry belum menemukan titik temu. Aku juga tidak tahu kalau ternyata Taufik mengompor-ngompori mama dan mengatakan jika Herry itu siswa kelas satu yang suka bikin rusuh dan juga bodoh. Okay, yang kedua aku nggak komentar tapi kalau yang pertama aku jelas tidak terima. Manusia kan diciptakan dengan kemampuan otak yang berbeda-beda. Wajar dong kalau mungkin Herry agak sedikit kurang dalam pelajaran? Kan bukan salah dia juga kan?
Namun untungnya mama tidak terprovokasi sama sekali. Menurut mama, Herry itu anak baik. Selain itu mama juga tidak mempermasalahkan IQ Herry yang tidak genap. Ha, pacaran kan harus menerima pacar apa adanya. Jiah, bahasanya. Namun aku sangat bangga dengan mamaku itu, pemikirannya sangat dewasa. Yah, memang usianya juga sudah dewasa sih.
“Gimana Sen? Udah sembuh?” Hendra menepuk pundakku dari belakang.
“Yah lumayan. Udah enakan kena celana.” Hendra Cuma meringas meringis aja. Bulusnya kayaknya dia pernah ngrasain apa yang aku rasain sekarang.
“Sekrang-sengkring gitu ya? Perbannya uda dilepas belom?”
“Uda diganti. Cuma masih belom boleh tanpa perban.”
“Pasti bengkak.”
“He’eh dan bentuknya jelek banget!” aku juga nggak ngerti. Sebelum disunat dulu, tititku unyu-unyu banget lho.
“Itu kan karena bengkak. Ntar kalau udah sembuh total bakal balik lagi kok. Santai.” Mungkin memang benar, ini hanya efek bengkak.
“Herry belom berangkat ya?” Hendra bertanya sambil meletakkan tasnya ke meja dan duduk dibangku sebelahku.
“Kayaknya sih gua belom liat dia dari tadi. Kaga masuk kali.”
“Herry? Nggak masuk?” aku dan Hendra saling pandang sesaat kemudian saling menggeleng-gelengkan kepala sendiri. Herry memang agak kurang cepat menangkap materi yang diberikan oleh guru, namun bukan berarti dia pemalas. Setahuku, Herry belom pernah absen tidak masuk kelas, kecuali kalau dia membolos bersamaku dan Hendra. Itu tidak masuk hitungan kan? Lagipula itu termasuk dalam hitungan cuti bersama, versi kami bertiga tentu saja. Kalian kan tahu, pelajar tidak memiliki hak cuti bersama. Menyebalkan.
Ternyata Herry memang tidak masuk. Sudah setengah delapan dan guru yang mengajar pun sudah berkumandang dari setengah jam yang lalu. Aku khawatir, tidak biasanya Herry tidak masuk tanpa mengabariku atau Hendra. Pikiran-pikiran buruk bahwa Herry mungkin saja kecelakaan atau apa sempat terlintas di otakku. Aku mengiriminya sms, terkirim tapi tidak dibalas. Akhirnya dengan menunduk dan meminta bantuan Hendra untuk sedikit menutupiku aku menelpon Herry.
Sial! Kenapa tidak diangkat coba? Aku yang tengah gusar dengan jalan pikiranku sendiri tentang apa yang tengah terjadi dengan Herry dibuat sedikit tersentak ketika Hendra menyenggol lenganku.
“Apa sih lo Hen?” aku mengangkat kepalaku dan mendapati tatapan sangar Bu Emi yang tepat dihujamkan ke dalam manik-manik mataku. Mampus gua!
“Arseno Erlangga Prawiro silahkan segera meninggalkan kelas dan temui saya saat jam istirahat.”
“Baik Bu.” Biasanya aku selalu berdebat dengan hukuman dan aku selalu menang. Tentu saja karena nama keluargaku, kali ini aku tidak minat. Lagipula aku bisa mencari Herry. Persetan lah dengan Bu Emi nanti! Itu bisa diatasi oleh Paman Pri! Aku segera mengirim sms pada Hendra agar dia nanti membawakan tasku kalau pulang nanti. Aku segera menuju parkiran dan menghidupkan mesin mobilku. Secara resmi memang aku belom dibelikan mobil oleh papa dan mama. Ini mobil eyang dan karena eyang hari ini tidak ada agenda keluar rumah, eyang menyarankan agar aku membawa mobilnya demi keselamatanku. Eyang memang lebay!
Jujur aku memang tidak begitu suka dengan mobil besar seperti ini. Merepotkan! Dan guncangannya kerasa banget kalau Cuma sendirian naikinnya. Pencarian pertamaku jelas ke rumah Herry. Satu yang aku syukuri, mobil besar ini muat masuk gapura kampungnya Herry. Segera aku parkirkan mobil ini di halaman rumah Herry yang cukup luas. Cukup ragu-ragu juga sih buat mengetuk pintu, namun akhirnya aku membulatkan tekad untuk mengetuk. (halah, bahasanya itu lho).
“Lho mas Seno? Ndak sekolah tho mas?” Ibunya Herry langsung bertanya begitu tahu tamunya adalah aku.
“Hemm, Herry ada bu?”
“Lho Herry sudah berangkat dari tadi pagi mas.” Eh? Herry berangkat sekolah? Tapi kenapa batang hidungnya sama sekali tidak tampak di sekolah tadi?
“Oh begitu bu. Kalo gitu Seno pamit dulu bu.”
“Lho iki piye tho? Herry mbolos ya mas?”
“Engga kok Bu, Seno yang telat bangun. Kirain Herry masih di rumah.”
“Oh gitu! Mas Seno iki ono-ono wae.” Aku hanya melempar senyum ringan menanggapi ucapan Ibunya Herry. Aku bingung! Mesti nyari kemana aku? Herry, kenapa sih sms ku nggak kamu bales sama sekali? Mending aku pulang! Tapi bagaimana kalau Herry kecelakaan di jalan? Secara itu anak kan kalau bawa motor suka ngasal. Moset ( Motor Setan). Gila, pacarku satu ini bikin aku khawatir setengah mampus! Aku harus mencari kemana? Alun-alun? Ya, sapa tau pacarku itu suntuk belajar terus nongkrong di alun-alun.
Segera aku melajukan mobilku ke alun-alun. Enaknya kota ini adalah bebas macet, mau pagi,  siang ataupun malam lancar jaya. Haha.
Ternyata nihil, Herry tidak berada di alun-alun. Oya, tempat pertama dia ngajak aku kencan! Pasti disana! Aku agak sedikit kencang melajukan mobilku. Mengabaikan goncangan tak nyaman ketika ban mobilku berciuman dengan lobang jalan. Dan hasilnya? Tetap Herry tidak tampak. Shit! Mendingan aku pulang sajalah. Kota sekecil ini kalau ada kecelakaan pasti langsung tersebar. Lagi pula aku juga sudah males balik ke sekolah, ketemu Bu Emi yang mau ngomel-ngomel? Engga ah, makasih!
Mamaku sedang merawat tanaman bunga-bunganya di depan ketika aku turun dari mobil dan langsung masuk rumah. Pikiranku kacau dan aku ingin tidur. Sedikit istirahat mungkin akan membantuku cepat relax.
***


Seharian kemarin aku sama sekali tidak mendapat kabar dari Herry, entah untuk apa alasan dia. Karena dia toh menghubungi Hendra. Dan Hendra lah yang mengabarkan kepadaku jika Herry baik-baik saja. Apa coba maunya si Herry? Aku juga sudah siap-siap marah ketika aku melihat Herry baru saja memasuki kelas.
“Her! Kamu kok. . .”
“Res, ijolan tempat duduk! Tak bogem koe nek ra gelem!” potong Herry tanpa mengindahkan ucapanku. Tukeran tempat duduk? Berarti Herry memilih untuk menjauhiku. Ada apa dengannya? Aku salah apa? Menjengkelkan! Aku perlu bicara dengan Herry! Harus.
Ketika istirahat pertama tiba, aku langsung menarik Herry tanpa mengindahkan Hendra. Aku membawa Herry ke halaman belakang sekolah, tempat yang biasanya jarang sekali dilalui oleh para siswa.
“Kamu kenapa sih?”
“Kenapa opo tho?” Herry menjawab dengan kalem. Sangat kalem sehingga membuatku tergoda untuk menonjoknya.
“Menghindariku! Mau kamu apa Her?”
“Gak mau opo-opo.”
“Aku kan pacarmu!” Aku sedikit lirih untuk kalimat ini. Takut ada orang lain yang mendengarnya.
“Pacar? Kan kamu yang maksa aku jadi pacarmu! Wes ah, aku mau balik ke kelas.” Shit! What’s wrong with him? Dia jutek amat.
Sepanjang pelajaran aku tidak bisa konsentrasi. Aku sekali lagi ingin tahu kenapa Herry menjadi sedingin freezer kepadaku, namun melihat kecuekkan dan betapa dinginnya tadi dia menyikapiku aku tidak mau lagi bertanya. Tengsin! Jadi satu-satunya solusi aku harus menyelidikinya sendiri. Tanpa sepengetahuan Herry tentu saja. Tengsin dong kalau ketahuan aku masih ngarep. Dia cuek, aku juga harus bisa pura-pura lebih cuek. Sebodo amat!
“Hen, yok kantin!” ajakku pada Hendra yang baru saja selesai merapikan catatannya.
“Oke, lha Herry diajak ora?”
“ENGGA USAH!!” aku memang sedikit berbicara agak keras. Bukan supaya Herry juga mendengarkannya, tapi aku memang agak kesal. Hendra hanya bisa mengikutiku dengan wajah heran. Heran melihatku yang bener-bener terlihat cuek dengan Herry, begitupun sikap Herry denganku. Namun bukan berarti aku cuek sedalam-dalamnya. Di luar aku cuek, namun didalam hati aku kangen banget sama Herry. Aku uring-uringan tentu saja. Namun itu semua tidak menyurutkan nafsu makanku. Hati boleh galo, tapi makan musti kudu harus tetap jalan!
“Koe ada apa tho sama Herry?”
“Nggak ada apa-apa Hen, santai aja.”
“Yakin? Lha kok kayak cuek-cuekkan gitu?” aku melirik Herry yang sengaja makan tidak jauh dariku.
“Mboh lah ra weruh!!” jawabku sedikit emosi. Hendra tertegun sesaat mendengar ucapanku.
“Tumben kamu pake bahasa jawa. Emang udah ngerti?”
“Ngerti sih ngerti tapi kalo mau ngomongnya aku agak belibet.”
“Herry ngelirik kita terus lho.” Kata Hendra sambil dagunya diangkat ke arah tempat Herry duduk.
“Biarin aja, engga usah digubris!” Mungkin aku sakit hati atau apa dengan kecuekkan Herry tadi. Pokoknya aku harus menyelidikinya. Ada apa dengan Herry? Kenapa tingkahnya jadi brengsek begitu?
“Sen, ngko kancani aku ya?” Hendra sedikit membuyarkan lamunanku.
“Kemana? Ngapain?”
“Nemuin kakak kelas, mau ngebahas soal HUT sekolah kita.”
“Hah? Sekolah kita ulang tahun? Kapan?” Aku mungkin hanya satu dari banyaknya kelas satu yang tidak tahu kalau sekolah ini mau ulang tahun sebentar lagi.
“Masih sekitar satu bulan lagi. Ntar aku itu mau ngambil pengumuman resminya. Sekalian kita mau bahas kelas kita mau nampilin opo gitu.” Aduh aku jadi ngerasa engga berguna banget jadi ketua kelas. Tapi beberapa hari ini kan aku emang enggak masuk jadi wajar lah aku kurang begitu ngerti situasinya.
“Ues, teko tenang Sen!! Aku kan wakilmu, berarti selama koe enggak masuk, semua udah aku handle kok!” Hendra emang wakil ketua kelas. Tapi dia juga termasuk anggota OSIS, sehingga wajar dia tahu lebih dulu event-event yang akan diadakan di sekolah dibandingkan aku.
“Oke, ntar aku suruh anak-anak jangan pulang dulu. Kita rapat sekalian mau nampilin apa, walo paling banter juga band!”
“Hampir semua kelas pasti ngluarin Band Sen! Jadi kalo bisa yang beda dikit lah.” Akhirnya aku dan Hendra ngobrol ngalur ngidul tentang konsep nanti. Bahkan aku jadi tidak sadar dengan mata Herry yang masih mengamati kita dengan seksama.
Ada tiga dari banyak pendapat yang memiliki suara tertinggi. Ada Band, Drama dan Tarian. Seru juga debat kayak gini. Karena sepuluh menit kemudian, Band resmi dicoret. Tinggal Tarian dan Drama. Engga butuh waktu lama untuk kita nentuin apa yang bakal kita tampilkan untuk HUT sekolah kita, apalagi kita masih kelas satu. Harus bisa tampilkan yang berbeda.
Kita memilih Tarian, terinspirasi dari iklan rokok di televisi, kita bakal gabungin tari warok, modern dance, street dance dan juga salah satu tari tradisional daerah sini. Konsepnya sudah dapat. Dan tanpa disuruh, banyak anak yang sudah mendaftarkan dirinya. Salut!! Karena setahuku anak-anak paling malas kalau disuruh tampil. Aku? Aku ikut bagian jadi penari. Hhh, sudahlah, pasti bakal menyenangkan nantinya. Sekalian bisa mengendapkan pikiranku sementara dari Herry. Karena dia memilih untuk tidak terlibat langsung.
***

Aku, Hendra dan Aris tengah berdiskusi dengan salah satu pelatih sanggar tari di kota ini. Rencananya, kita minta diajari tari warok. Kalo street dancenya kebetulan aku mempunyai video pelatihannya, dan aku sudah hafal diluar kepala gerakan-gerakannya. Lagian di kota sekecil ini, street dance pasti belum begitu booming. Paling yang mereka tahu hanya kuda lumping. Kita bakal mencampurkan dua jenis tarian ini.
Finnally, kita bisa juga ngebuat mas-mas ini mau mengajari kita dengan harga yang bersahabat. Karena ternyata teman-teman sekelasku menolak untuk menggunakan uangku. Jadi resmi ini menggunakan uang khas kelas. Sepulang sekolah kita latihan, hingga sore bahkan tidak jarang hingga larut. Memix musik yang bakal kita gunakan untuk tarian unik ini. Bahkan anak-anak sekelasku yakin kalau kelas kitalah yang paling beda. Karena lainnya rata-rata mengeluarkan band. Total tarian kita berdurasi 25 menit. Lumayan kan? Makanya kita butuh stamina yang cukup. Dan Herry? Hubunganku dan dia masih menggantung tidak jelas. Entahlah, aku tidak tahu. Aku akan berkonsentrasi pada masalah itu nanti. Jangan sampai mengganggu event ini. Aku udah excited banget pengen segera tampil.
Semakin hari gerakan kita uda kebentuk dan enak dilihat. Aku saja berdecak kagum melihat rekaman saat-saat kita latihan. Kebersamaan, kerjasama, disiplin waktu, benar-benar sesuatu yang tidak murah. Tinggal lima hari lagi, aku dan Hendra juga sudah sibuk membahas kostum. Karena kebetulan penarinya laki-laki semua, kita memutuskan kostum yang simple dan jauh dari kata ribet. Hahaha, aku kan bisa pamer otot-ototku yang sudah semakin jadi juga kulit putihku. Hahaha.
Mau tahu sesuatu? Aku adalah anak lelaki terputih disekolah ini! Tidak percaya? Itulah kenyataannya! Embel-embel bahwa aku adalah ‘anak ibu kota’- sepertinya mereka masih saja tidak bisa membedakan antara Tangerang dan Jakarta. Aku juga harus memakluminya. Bagi mereka aku dari dan besar di kota besar, maka enggak heran hampir semua gaya berpakaianku dicontek abis-abisan. Titik.
***

Aku tengah berkutat dengan laptopku diteras rumah. Melihat-lihat hasil rekaman saat kita latihan. Kadang aku tertawa sendiri, lalu kemudian wajah itu tanpa sengaja ke shoot. Herry. Desir kangen di dadaku semakin nyata. Sudah berapa hari aku tidak mengobrol dengannya? Padahal kita baru saja jadian. Dan tanpa aku tau demi alasan apa Herry mengabaikannku dan mencampakkanku begitu saja.
“Hei, anak mama kok bengong?” Mamaku menepuk pundakku dari belakang.
“Haha! Mama ngagetin aja! Seno engga bengong ma.”
“Kalo engga bengong trus ngapain? Nih, tadi Lek Tukah bikin kue kering lho. Mau nyobain engga?” aku memandangi toples kecil yang berada di tangan kiri mamaku. Berisi kue kering yang sepertinya enak untuk disantap.
“Bagi donk ma.” Mamaku langsung nyengir dan mengulurkan toples kecil itu agar mudah aku raih. Akhirnya mama juga jadi nanya-nanya tentang sekolahku. Dan dengan excited aku menceritakan tentang HUT sekolahku, dimana nantinya wali murid juga bakal diundang. Aku juga memperlihatkan rekaman-rekaman saat kita semua pada latihan.
“Keren lho! Gagah gitu tariannya. Itu si Herry kok jarang main kesini sekarang Sen?” aku tergagap sendiri dengan pertanyaan mamaku. Aku tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. Karena aku juga tidak tahu alasan sebenarnya kenapa Herry menjauhiku begitu saja.
“Woey, tumben nih ibu dan anak kompakkan ngrumpi di teras.” Papa muncul dari pintu depan sambil membawa koran.
“Kata siapa Pa tumben? Kita kompak selalu ya Sen?” aku hanya meringis kecil mendengar perkataan mamaku dan segera duduk disamping papaku.
“Mana nih Pa mobilnya Seno? Seno kan udah sunat, udah sembuh malah! Tapi mobilnya engga dibeli-beliin juga!”
“Kata siapa belom dibeliin? Sini kamu ikut Papa!” aku berjalan mengekor dibelakang papaku. Papaku mengajakku ke halaman belakang, emang sih selama aku mengikuti pelatihan tari warok, aku jadi jarang memperhatikan lingkungan rumah eyang. Dan sekarang mataku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat sendiri.
“Itu mobil Seno?” aku masih tidak mempercayainya. Sungguh. Toyota Camry keluaran terbaru dengan modif keren. Warna biru pulak. I love my first car!
“I love you Pa.”
“Jadi Cuma sama papa doang nih I love you nya.” Aku meringis kecil sebelum akhirnya memeluk mamaku yang cantik ini.
“Seno sayang mama.”
“Mama juga sayang kamu nak. Nih kuncinya, kamu cobain gih!! Dijaga ya sayang.”
“Pastinya donk mam!”
Dengan engga sabar aku segera masuk kedalam mobil baruku. Aku yakin mama dan papa sudah beliin mobil ini lama untukku. Memodifnya menjadi seperti ini engga cepat. Orangtuaku emang bener-bener ngerti gimana seleraku. Dengan hati yang masih kebat-kebit, aku melajukan mobilku ke rumah Hendra. Dia juga harus ikut ngrasain betapa happynya aku sekarang ini.
Namun senyumku pudar begitu tahu ada motor Herry didepan rumah Hendra. Ngapain Herry di rumahnya Hendra? Aku memutuskan untuk mematikan mesin mobilku dan pergi mengendap-endap tepat disamping rumah Hendra agar aku bisa menguping pembicaraan mereka. Lagipula, mereka kan belom ada yang tahu mobil baruku, jadi tidak akan menyangka kalau itu aku. Jadi deg-degan gini.
“Mosok Seno gak nakok ake kabarku sih Hen?”
“Lha emang ora kok Her! Lagian nopo tho koe musuhan mbek Seno?” Ha? Maksutnya apaan tuh? Jadi Herry ngarep aku nanyain kabar dia lewat Hendra gitu? Berarti dia masih ada feeling dong pastinya? Trus kenapa dia jauhin aku? Tanpa sadar aku jadi garuk-garuk kepala sendiri.
“Jahat banget tho Seno kiey!”
“Sing tegel kiey koe Her! Seno salah opo sih sampe koe cuek banget koyo gak kenal?”
“Urusan pribadi ah! Ues ya, aku balik dhisik! Suwun lho PR’e.”
“Yoh, ati-ati Her!” aku memastikan motor Herry sudah hilang dari pandangan sebelum aku akhirnya keluar dan mengetuk pintu depan rumah Hendra. Engga perlu menunggu waktu lama hingga akhirnya Hendra membuka pintunya dan memasang wajah bingung.
“Ono opo Sen? Tumben kamu main sini.”
“Ikut gua test drive!” kataku cepat sambil menarik tangan Hendra.


Bersambung. . .

Sabtu, 19 Oktober 2013

THE SERIES 7

Ternyata suara itu tidak berasal dari dalam rumah, namun dari samping rumah eyang. Aku gugup sendiri dipandangi seperti itu oleh Taufik. Aku memang sudah menutup kemaluanku dengan sempurna, tapi tonjolannya pun masih sempurna terlihat dari luar boxerku. Apakah Taufik melihat perbuatan kami tadi? Shit dah!
“Mas Adi belum tidur?” aku mencoba bertanya dengan nada santai. Taufik menatap Herry dengan tajam. Hey, dia pacarku! Jangan tatap dia seolah-olah dia adalah maling celana dalam!
“Kamu sendiri? Malam-malam gini kenapa masih diluar?”
“Gerah didalam mas.”
“Lah bukannya ada AC?” aduh, Taufik itu siapaku sih? Kenapa dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan irasional seperti ini. Ingin sekali aku berteriak padanya, ‘Aku dan Herry sedang pacaran! Masalah buat lo!’.
Herry yang tadi hanya diam saja, mungkin karena masih kaget langsung duduk dibelakangku dan menarikku untuk duduk dipangkuannya.
“Lihat Sen, bulannya lagi penuh! Apik banget ya?” Yeah, sepertinya Herry menganggap Taufik seakan-akan tidak ada. Bukan rahasia lagi kalau anak-anak kelas satu sebagian besar tidak menyukai Taufik. Ya itu, karena sewaktu MOS galaknya dia ngalahin anjing yang lagi beranak.
Tatapan tajam Taufik kearahku benar-benar bikin aku mati kutu. Namun berbeda dengan Herry yang sepertinya santai-santai saja. Dia bahkan sempat mengelus-elus rambutku. Sengaja atau tidak ya?
“Ya udah dek, Mas Adi kedepan dulu.” Aku mengangguk sambil tersenyum melihat Taufik yang berlalu dan hilang di tikungan depan.
“Balik kamar yok ay? Dingin nih.” Aku bangkit dari pangkuan Herry dan langsung masuk kedalam rumah. Ingin sekali aku melanjutkan yang tadi, namun dilain sisi aku sudah tidak begitu bernafsu. Aku tidak akan menyalahkan Taufik, sungguh! Hanya saja gara-gara dia aku dan Herry harus menunda aktifitas tadi entah sampai kapan karena mengingat sebentar lagi aku akan disunat. Gila! Belom, aku belom menyalahkan Taufik kok. Aku kan hanya bilang, gara-gara dia! Tapi aku boleh berkata ini kan?
“Mas Adi sialan!” ternyata aku tidak mengucapkannya dalam hatiku, karena Herry langsung menoleh kearahku dan tersenyum mesum.
“Masih pengen yang tadi ya? Gampang diatur kok ay.”
Aku masih tidak percaya kita melakukannya disamping Hendra yang tengah terlelap. Aku tidur ditengah dengan Herry disamping kananku. Aku dan Herry satu selimut dan tangannya kini tengah kembali berkutat dengan penisku. Aku tadi sempat mengajukan keberatanku. Bagaimana kalau aku ejakulasi? Menjijikkan sekali aku harus ejakulasi di selimut dan seprai kesayanganku. Namun sekali lagi, Herry bisa menaklukanku.
“Jangan mendesah ay, ntar si kunyuk bangun.” Hey! Lancang sekali Herry! Aku tidak mendesah kok. Hanya sedikit ber ah uh ah saja. Itu belum bisa disebut mendesah kan?
“Aku tidak mendesah! Hanya sekedar menikmati apa yang kamu lakukan!” Herry langsung tersenyum geli mendengar jawabanku.
***

Besok aku akan disunat. Jreng jreng jreng. Jujur, aku masih agak sedikit ngeri-ngeri sedap mendengarkan kata sunat. Mungkin masih tabu ditelingaku. Dan Paman Pri juga Pak Dirman memberikan saran-saran yang sangat tidak masuk diakal menjelang pemotongan tititku. Seperti;
Merendam tititku semalam suntuk dengan air teh basi. Ya Tuhan, adakah ide yang lebih bisa diandalkan? Ini ide yang sangat mulia dari Pak Dirman. Alasannya agar proses pemotongan tititku menjadi lebih aman, cepat dan terkendali. Ya Tuhan, Pak Dirman tidak sedang mensosialisasikan cara pencoblosan yang baik dan benar kan?
Tidak memakai celana selama satu hari penuh sebelum hari penyunatan tiba. Yang ini apa-apaan lagi. Masa iya aku harus membiarkan kejantananku itu jadi tontonan banyak orang? Maaf saja untuk Paman Pri yang sudah memberiku saran ini, aku terpaksa menendangnya dan membuangnya ke tempat sampah. Aku memang takut, jujur. Namun aku tidak paranoid. Toh, proses sunatnya kata papa pakai laser ini, jadi sembuhnya bakalan cepat.
“Dek!” aku yang tengah asyik membayangkan kejadian-kejadian apa yang akan terjadi besok langsung tersadar begitu ada orang yang menyentuh bahuku.
“Mas Adi? Loh emang yang sekolah sudah pulang mas?” hari ini aku sudah ijin tidak masuk sekolah. Alasannya sih sakit. Aku tidak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya kalau aku ini akan sunat. No way!
“Iya, guru-guru ada rapat. Mas boleh ngomong sebentar sama kamu?” perasaanku sudah tidak enak. Jelas sekali kalau Taufik bakalan ngebahas apa yang dia lihat semalam. Dan ulala sekali, aku sama sekali belum siap. Sungguh!
“Ada hubungan apa kamu sama anak berandal itu?” Taufik berbicara setelah masuk kedalam kamarku dan duduk di kursi meja belajarku. Terus terang, aku tidak suka Taufik menyebut Herry berandalan. Walaupun tampilannya memang seperti itu. Baju seragam yang ngepres badan dan dikeluarkan, celana model pensil dan hanya dia satu-satunya yang mengenakan model itu disekolah. Oya, gaya berjalannya yang memang terkesan sok. Tapi hey! Dia kan tetap pacarku.
“Kok tidak jawab? Ada hubungan apa kamu sama dia?” apakah Taufik malas menyebutkan nama Herry atau memang dia tidak tahu nama Herry?
“Kita teman mas.” Jawabku pada akhirnya dengan nada malas.
“Teman tapi raba-rabaan? Mas Adi lihat, kamu jangan bohong!” sial, jadi mungkin Taufik mengintip kami terlebih dahulu baru kemudian menemui kami? Ah itu tidak penting sekarang, yang terpenting saat ini adalah apakah Taufik akan mengadukan hal ini ke mama papa? Bisa mati aku!
“Kalian pacaran?” aku mengangguk. Mau bagaimana lagi? Taufik kan tidak bodoh.
“Kamu itu laki-laki dek! Tampan lagi! Kenapa sampai pacaran dengan laki-laki juga?!”
“Mas Adi nggak bakalan ngerti! Angga cinta sama Herry mas! Dan Herry juga cinta Angga! Apa yang salah sih?!” aku juga mulai marah sekarang. Entah kenapa emosiku tersulut dengan tiba-tiba.
“Kalian menyalahi kodrat! Itu masalahnya!”
“Angga nggak peduli!”
“Kamu bakal dilaknat Tuhan!” kenapa harus bawa-bawa Tuhan? Aku tahu ini salah, aku tahu ini dosa. Sekarang aku mati kutu. Kalau sudah Tuhan disebut-sebut, aku bisa apa untuk membela hubunganku dengan Herry? Aku tidak berkutik.
“Kamu bisa putus dengan anak preman itu. Kamu bisa kembali ke jalan yang seharusnya Dek.”
“Jadi perasaan cinta Angga itu salah? Kalau salah kenapa harus tumbuh? Angga juga nggak berharap kok bakal jatuh cinta sama Herry!”
“Makanya ubah perasaan kamu itu!”
“Perasaan itu bukan mainan Mas Adi?!” aku berteriak frustasi. Bagaimana bisa Taufik menyepelekan cintaku ke Herry? Apakah dia menganggap perasaanku hanya cinta monyet belaka? Yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan? Aku mencintai Herry dengan hatiku! Bagaimana bisa Taufik dengan gampangnya menyuruhku untuk merubah perasaan itu?
“Tolong kamu jangan kecewakan keluargamu. Kamu itu anak satu-satunya, pewaris satu-satunya. Tidakkah kamu ingin mempunyai keturunan nantinya? Untuk menyambung nama besar Prawiro? Tolong pikirkan itu baik-baik Dek, Mas Adi mohon jangan kecewakan keluarga besar kamu.” Taufik keluar dari kamarku dan berhasil membuatku termangu karena frustasi. Apa yang dia katakan benar, aku adalah anak satu-satunya, pewaris satu-satunya. Aku tahu akulah satu-satunya harapan keluargaku untuk menyambung keturunan. Aku paham itu. Namun aku juga ingin bahagia! Tidakkah aku juga berhak untuk itu? Aku membenamkan kepalaku dibantal. Bagaimana perasaan papa, mama dan eyang kalau tahu aku pacaran dengan laki-laki? Akankah aku akan mengecewakan mereka? Akankah mereka tidak lagi menganggapku anaknya? Apakah rasa sayang mereka akan pudar?
Sebutir air bening keluar dari mataku. Aku mencintai keluargaku lebih dari segalanya. Namun berpisah dari Herry juga bukan sesuatu yang bisa aku lakukan begitu saja. Hey! Aku masih empat belas tahun! Tidakkah aku mempunyai banyak waktu untuk sampai aku dewasa dan menikah dengan perempuan? Setidaknya sebelum waktu itu menghampiri, ijinkan aku untuk bersama orang yang aku cintai. Bolehkah Tuhan?
Pening! Selama seumur hidupku, baru kali ini aku memikirkan dengan sungguh-sungguh tentang arti dari anak satu-satunya. Dulu aku sempat iri dengan mereka yang mempunyai adik atau kakak. Namun seiring waktu aku justru bersyukur. Kasih sayang papa dan mama tidak pernah terbagi, hanya dicurahkan untukku. Dan aku menikmatinya. Ditambah Lek Tien dan Paman Pri yang juga tidak mempunyai anak, hingga membuatku menjadi cucu satu-satunya eyang Prawiro. Kasih sayang yang berlimpah itu, aku tidak mau melepaskannya. Namun jika aku harus meninggalkan Herry, aku juga tidak sanggup!
Well, satu-satunya cara adalah meminta Taufik agar dia tidak mengatakan apa yang dia lihat semalam tadi pada keluargaku. Aku tidak ingin berpisah dengan Herry sekarang. Tidak!
“Ay? Ngapain nyungsep di bantal?” aku terlonjak. Lha? Sejak kapan Herry masuk kamarku?
“Kok nggak ketok pintu dulu?” jawabku masih dengan membenamkan wajahku dibantal. Aku kan baru saja menangis, gengsi lah diliat pacar. Ntar dikira cengeng lagi.
“Tadi mama kamu nyuruh aku langsung ke kamar kamu. Nggak dikunci kok.” Aku bisa mendengarkan jika Herry berjalan mendekatiku. Lalu dengan lembut mengusap-usap kepalaku.
“Ay, main yok? Besok setelah kamu sunat kan pasti tidak boleh kemana-mana.” Setelah merasa bahwa mataku sudah tidak mengeluarkan air mata, aku segera mendongak dan menatap Herry.
“Kemana?”
“Lho mata kamu kenapa ay? Kok merah tho? Nangis kamu ay?” entah ini naluri atau insting, aku segera memeluk Herry. Mama dan papaku saja bisa menilai kalau Herry anak baik-baik. Kenapa Taufik dan hampir semua kakak kelas selalu menganggap Herry sok? Dia manis dan melindungi. Ingin aku katakan kepada Taufik bahwa Herry sangat menghargaiku. Aku bahagia bersamanya. Tuhan, tidakkah Engkau bisa membaca hatiku? Kau tahu betapa aku mencintai pria yang tengah aku peluk ini?
“Sst, ada apa ay? Kamu kenapa?” aku hanya bisa diam dengan air mata yang semakin membanjir. Cintaku baru saja bersemi, haruskah dia layu dan mati sebelum mekar? Aku belum siap kehilangan Herry. Sen! Itu hanya Taufik! Kenapa kamu harus takut?
“Main yok?” Kataku sambil melepaskan diri dan mencoba tersenyum padanya.
“Kamu. . .”
“Aku nggak apa-apa. Jadi main nggak?” Herry mengangguk dengan antusias dan segera menggiringku keluar kamar. Setelah meminta ijin dari papa mama, aku dan Herry langsung tancap gas.
“Ini daerah mana Her?”
“Kewaluhan ay. Ues kamu diam saja. Ntar ada pemandangan bagus!” okay, aku memutuskan untuk membungkam mulutku rapat-rapat. Ini anak memang agak keras kepala. Jadi percuma saja nanti aku tanya-tanya, toh dia tidak bakal menjawab.
Finally, memang ada pemandangan yang luar biasa disini. Mungkin ini memang termasuk dataran tinggi kali ya? Karena dari sini aku bisa melihat hamparan sawah dengan tanaman padi yang tengah menguning. Gunung merapi terlihat lumayan jelas dari sini.
“Mbak, es tehnya dua ya?” Herry memesan es teh pada satu-satunya penjual yang berada di dekat kami. Tempat ini memang tidak begitu ramai. Mungkin karena tempat ini bukan tempat wisata. Aku masih duduk diatas motor Herry yang diparkir tepat dibawah pohon beringin yang rindang. Huwaa, hawanya seger banget.
“Nih, es teh!” aku menerima gelas yang diberikan Herry untukku.
“Darimana kamu tahu tempat ini Her?”
“Iseng dulu. Lagipula SMP ku dekat-dekat sini kok. Ya setengah jam dari sini lah.”
“Setengah jam itu berarti jauh!” Herry hanya meringis saja menerima jitakanku.
“Kamu tidak ada panggilan sayang buat aku Sen?” aku yang tengah meminum es tehku langsung tersedak. Ini anak ya! Tidak bisa pilih-pilih situasi apa ya?
“Beb gitu atau honey. Sweatheart juga boleh.” Apa perlu aku jujur ya? Karena sebenarnya aku agak geli jika harus mengucapkan kata-kata seperti beb, honey, yank atau apalah! Pokoknya aku agak geli saja mengucapkan kata-kata sayang begitu. Entah karena apa aku juga kurang tahu.
“Woy? Kok malah ngelamun sih?”
“Rakus aja kali ya?” jawabku setengah melamun. Itu kan memang panggilan yang cocok untuk Herry. Setidaknya dia memang rakus kan?
“Wah, opo kui? Ganti ah!”
“Lah, emang kamu rakus kan?” kataku sambil senyum-senyum sendiri.
“Aku itu nggak rakus ay. Cuman lagi masa pertumbuhan, lha energi yang dibutuhkan kan banyak. Begitu kata Pak Step!” Pak Step adalah guru Biologi kami. Namanya sebenarnya Stephanus Tahun Baru. Ini beneran! Namanya memang itu. Entah orang tuanya begitu fanatik dengan perayaan tahun baru atau memang ada arti khusus yang dalam dengan nama Tahun Baru.
“Alibi! Aku juga sedang masa pertumbuhan. Biasa saja tu makannya.” Herry melirikku sesaat.
“Mana yang tumbuh?” katanya dengan senyum mesum dan tangannya meraba selakanganku.
“Hush! Tempat umum tau!” Herry malah cengengesan tidak jelas.
“Tempatnya bagus ya ay? Seger! Bikin ati ayem!” memang benar, tempatnya sejuk banget. Bikin perasaan nyaman dan juga tentram. Aku menelengkan kepalaku sebentar kearah Herry. Melihatnya dengan intens, wajahnya memang terkesan masih bocah. Orang yang aku cintai. Haduh, kenapa disaat seperti ini omongan Taufik malah teringat? Aku ingin menikmati waktuku dengan Herry. Masih terlalu dini untuk memikirkan tentang pernikahan dan tetek bengek lainnya.
“Es tehnya mau nambah ay?”
“Boleh, tapi yang manisan dikit ya? Sama gorengan juga boleh. Laper!”
“Rakus!” apa dia bilang? Rakus? Yang rakus kan dia! Enak saja! Aku mengamati pemandangan di depan yang tidak henti-hentinya membuatku terpukau. Indonesia sepertinya punya banyak sekali tempat-tempat indah seperti ini, namun mungkin belum banyak orang yang tahu.
“Nih! Masih anget ay, baru ngangkat dari penggorengan!” kalau Hendra yang membawa 2 plastik gede dan jika aku tidak mengenal Herry, aku pasti akan terkejut. Namun karena ini Herry, aku sudah tidak kaget lagi. 2 plastik lumayan besar berisi gorengan dan dua gelas esteh. Dua plastik untuk dua orang? Herry gila! Namun aku paling juga cuman makan tiga biji atau empat biji. Sisanya pasti Herry. Dia memang rakus!
“Kok liatnya tajem banget?”
“Nggak apa-apa. Thanks ya Oui.” Herry langsung menoleh.
“Apa itu?”
“Panggilan sayangku untukmu. Tadi kamu sendiri yang minta.”
“Apa artinya?”
“Cari tahu saja sendiri.” Jawabku sambil melalap gorengan. Waduh, Herry pembohong nih, sama sekali tidak anget. Panas banget! Huahhh!
***

Rasanya mau disunat itu seperti ikut audisi X-Factor dan nunggu para juri ngomong yes atau no. Deg-degan banget. Dan dalam kasusku sedikit malu juga. Dokternya sudah tiba dan langsung ke kamarku. Namun bukan itu yang bikin malu. Aku juga tidak malu menunjukkan tititku pada dokter itu, karena wajah sang dokter sama sekali bukan tipeku. Aku jamin penisku tidak akan ereksi. Yang jadi masalah adalah orang ketiga yang menyaksikan acara pemotongan kulup ini banyak sekali. Tidak hanya papa dan mamaku, eyangku, Paman Pri dan Lek Tien juga Pak Dirman turut hadir menyaksikan. Aku malu! Serius! Mama dan Lek Tien mungkin sudah ribuan kali melihat penis suami mereka, namun tetap saja kehadiran kaum hawa disini membuatku sedikit malu untuk memamerkan kejantananku.
Herry juga datang. Bersama Hendra tentu saja. Sepertinya mereka membolos atau apa aku kurang tahu, yang jelas mereka masih mengenakan seragam sekolah. Sarungku sudah disingkapkan dan yang berada dikamar ini sudah pasti bisa melihatnya dengan jelas. Aduh, mereka pikir aku tontonan apa?
“Rileks ya dik, pertama mungkin bakalan sedikit nyelekit.” Okay, aku menyuruh semua syaraf tubuhku untuk rileks. Dokter itu menyuntikkan obat bius ke penisku. Benar sekali rasanya nyelekit sekali. Padahal tadi Paman Pri bilang rasanya hanya seperti digigit semut. Bohong!! Lebih sakit ini tahu daripada digigit semut! Aku –maksutku penisku- disuntik empat kali. Dan sekarang rasanya penisku berat sekali namun aku tidak merasakan apa-apa. Bahkan iseng-iseng aku mencoba membangkitkan penisku juga tidak bisa.
Beberapa saat kemudian tercium aroma kulit yang dipanggang. Mirip sate! Aku tahu itu adalah kulupku. Metodenya sudah dijelaskan oleh Papa kemarin. Tidak sakit, namun jujur baunya enak sekali. Aku tidak melihat proses penyunatan itu. Jujur aku tidak tega melihat kulupku, yang notabene adalah masih bagian dari tubuhku diacak-acak dan dipotong secara biadab –terdengar sangat berlebihan.
Proses penyunatanku memakan waktu hampir satu jam. Dan sekarang, aku masih belum merasakan sakit. Aku masih biasa saja, walaupun beberapa tamu datang dan memberiku amplop. Yeah, sunatanku benar-benar meriah. Eyang sepertinya tidak ingin kehilangan momen ini begitu saja. Dia juga mengundang kuda lumping yang akan main nanti sore. Dan juga wayang kulit pada malam harinya. Eyang tidak menanyakan pendapatku, jika dia menanyakannya aku yakin aku akan lebih menikmati jika Green Day yang diundang bukannya kuda lumping. Beyonce juga boleh.
Kalian tahu rasanya disunat dengan acara sangat meriah? Bikin aku gerah dan pusing! Banyak sekali tamu yang tidak aku kenal, namun secara ajaib mereka sok begitu akrab denganku. Memberiku wejangan tentang pacar segala macam yang aku tidak tahu untuk tujuan apa. Yeah, untung mereka tidak hanya datang, amplop putih tidak lupa mereka selipkan pada tanganku. Aku akan kaya raya!
 Namun satu hal yang aku syukuri, para tamu tidak memintaku untuk menunjukkan bentuk benda yang baru saja disunat. Herry dan Hendra menemaniku. Setidaknya, tv dan PS tigaku sudah dipindahkan ke kamarku. Kipas angin, AC yang di setting 16 derajad masih saja tetap membuatku gerah. Kenapa para tamu itu tidak cukup dengan bertemu orang tuaku saja? Hendra dan Herry sibuk main PS dan karena ini hari Sabtu, mereka akan menginap malam ini. Mulia sekali mereka. Aku harap Herry tidak merangsangku nanti.
Penisku rasanya mulai panas saja, aku bahkan menyuruh Herry untuk mengarahkan kipas angin tepat diselangkanganku. Jika tidak ada tamu aku membuka sarungku agar anginnya lebih berasa. Dan jika sarungku menyentuh kepala penisku, rasanya ‘sengkring-sengkring’ sekali.
Hendra dan Herry beberapa kali tertawa melihat ekspresi wajahku ketika sarungku mengenai kepala penisku. Taufik? Dia belum kelihatan batang hidungnya. Dan aku juga tidak begitu peduli. Perban di penisku akan diganti besok hari Senin dan kata dokternya, hari Selasa aku pasti sudah sembuh dan bisa sekolah lagi. Aku harap bagitu. Dengan adanya Herry dan Hendra aku juga sedikit terbantu. Misalnya saja jika aku ingin makan atau apa mereka dengan sigap langsung melayaniku. Serasa raja saja, namun tetap saja penisku panas sekali rasanya. Dan bentuknya itu lho, acak adut! Kata dokternya sih, kalau udah sembuh bentuknya bakal bagus karena penisku termasuk proposional ukurannya. Jiah, penispun bisa proposional ya?
“Sayang, kamu sudah makan?” mamaku muncul dengan membawakan makanan.
“Belum ma.” Mamaku segera menuju ranjangku dan duduk di tepiannya.
“Dik Lilis, ada tamu nyariin itu.” Mamaku yang baru saja akan menyuapkan nasi untukku langsung menoleh begitu Lek Tien muncul dan memanggilnya.
“Sini Bu, biar aku yang suapin Seno.” Herry tanggap dan langsung mengajukan diri. Aduh, pacarku ini memang perhatian sekali.
“Ya sudah, mama tinggal dulu ya sayang?” aku mengangguk pelan. Disuapi Herry, aku mohon penisku tau diri dan tidak menunjukkan kegarangannya sekarang!


Bersambung. . .

Sabtu, 12 Oktober 2013

THE SERIES 6

Aku benar-benar ecxited walaupun aku tidak memperlihatkannya secara nyata. Mengamati Herry yang tengah mengganti bajunya untuk siap-siap tidur menjadi pemandangan yang tidak mungkin aku lewatkan. Bagaimanapun juga, aku sekarang tidak malu-malu lagi untuk menatapnya secara terang-terangan. Buat apa? Toh dia sudah tahu tentang perasaanku ini.
“Hehehe, nggak enak Sen kalau dipandangi seperti itu terus.”
“Lah kenapa?” tanyaku santai.
“Grogi, deg-degan.” Kata Herry sambil berjalan dan merebahkan tubuhnya disampingku. Sekarang malah aku yang jadi grogi.
“Sen? Kapan dimulai?” awalnya aku kurang mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Herry, namun beberapa detik kemudian aku paham. Aku menatap wajah imut Herry secara intens. Tanganku mulai melingkar dipinggangnya.
“Gimana Herry? Ada sesuatu yang elo rasain nggak?” Herry balas menatapku. Aduh, kok malah wajahku sih yang jadi blushing?
“Kamu itu manis ya Sen? Putih bersih wajah kamu. Ya pantes sih soalnya kamu priyayi.” Herry menggerakkan jari-jarinya untuk menyentuh wajahku. Membelainya dengan ringan dan lembut.
“Kulitmu alus. Kayaknya aku memang cinta sama kamu Sen, nih buktinya hatiku enjot-enjotan trus. Debarannya kenceng banget.” Mendengar kata-katanya, aku memberanikan diri untuk menyentuh dadanya yang terbalut kaos tipis. Aku bisa merasakannya, debaran itu. Pelan tapi pasti aku mengarahkan bibirku untuk bertemu dengan bibirnya. Awalnya Herry tidak paham, namun sepertinya instingnya menuntunnya dengan baik. Bibir kita bertemu, namun kemudian Herry mulai melumat bibirku dengan perlahan. Aku membalasnya dengan lembut. Aku tidak tahu apakah ini adalah ciuman pertama Herry, namun aku bisa merasakannya, He’s great!!
“Hehehe, enak tenan bibirmu Sen!” aku tersipu mendengar omongannya yang memang suka ceplas-ceplos.
“Kamu tahu Her kalau ini salah?” aku ini apa sih? Bukannya yang ingin pacaran dengan Herry itu aku? Lalu kenapa begitu Herry mengiyakan aku malah membuat dia meragu?
“Tahu. Aku lelaki, kamu juga lelaki. Tapi, aku bahagia sama kamu. Rasanya deg-deg sir nggak karuan.” Aku masih menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
“Sen, aku boleh nyipok kamu lagi nggak?” aku termangu sebentar sebelum akhirnya terkekeh pelan.
“Semaumu.” Herry tertawa tanpa suara sebelum akhirnya bibirnya melumat lagi bibirku.
Well, aku puas berciuman dengan Herry. Berapa kali ya tadi? Aku lupa! Yang jelas, aku dan Herry resmi pacaran. Setidaknya, dia milikku dan aku miliknya. Hahaha, gombal sadis! Namun yang namanya orang jatuh cinta, aku tidak peduli. Herry sudah lama tertidur di dadaku. Rasanya berat dan sesak. Tapi aku menyukainya. Aku menyukai segala sesuatu dalam diri Herry. Rakusnya saat dia makan, otaknya yang tidak pernah jalan saat membahas tentang pelajaran, tingkahnya yang seperti preman namun pada kenyataannya dia sama sekali belom dewasa. Hahaha, yap! Dia masih seperti anak kecil.
Aku dan Herry tidak berhubungan seks kalau kalian ingin tahu. Dan mataku entah mengapa tidak bisa diajak berkompromi untuk dipejamkan barang sejenak. Aku masih nyalang dengan dengkuran kecil Herry sebagai latar belakang musiknya. Tanganku bergerak membelai-belai rambut ikal Herry. Emm, tidak hanya tingkah lakunya saja yang seperti anak kecil. Wajahnya juga, cute banget! Walaupun tanda-tanda kalau dia anak yang bandel juga tergambar jelas di wajahnya. Aku menyukainya! Tidakkah aku sudah mengatakan hal ini berulang-ulang? Mungkin tidak akan cukup jika menyangkut perasaanku tentang Herry. Dan karena mungkin aku terbawa suasana yang semakin malam dan sunyi, mataku perlahan-lahan terpejam.
***

Aku berlari dan setengah berteriak. Yang aku heran tidak ada seorangpun yang mendengar teriakanku. Dimana semua orang? Kenapa tempat ini begitu sepi? Lalu suara gemerisik itu kembali mengusikku. Nafasku yang mulai putus-putus tidak aku hiraukan, aku terus berlari. Ular itu mendatangiku! Rasanya sendi-sendi di kakiku sudah mau copot. God, help me!
“Kenapa kamu lari?” suara itu parau. Terdengar berat dan sengau. Tenagaku sudah habis. Paru-paruku seperti mau meledak rasanya. Ular itu semakin mendekat ke arahku. Apa yang sebenarnya dia inginkan?
“Kenapa kamu lari?” lagi-lagi suara itu terdengar. Aku memastikan dengan seksama bahwa yang aku dengar ini tidak salah. Ular itu berbicara? Denganku? Perlahan-lahan ular itu seperti berubah bentuk dan aku sedikit ternganga dibuatnya. Aku memang belum pernah bertemu beliau. Saat aku lahir, beliau sudah tiada. Namun aku mengenalinya, potonya terpajang sangat besar di ruang tengah. Itu kakek buyutkah?
Aku terlonjak dari ranjang dan menyadari bahwa aku telah berada di bawah. Damn it! It was a dream? Rasanya aku benar-benar mengalaminya. Aku meraih ponselku yang terletak di meja samping tempat tidurku. Masih jam setengah lima pagi. Aku bangkit dari bawah dan berjalan keluar kamar. Aku haus sekali.
Pelan-pelan aku membuka pintu kamarku karena aku tidak ingin membangunkan Herry yang masih terlelap. Aku berjalan melintasi ruang tengah dan sedikit berdesir ketika melihat foto eyang buyutku. Loh, Mbok Dirah kok belom bangun ya? Biasanya jam segini Mbok Dirah sudah stand by di dapur. Mungkin bangun kesiangan. Aku mengambil air putih dari dispenser, meminumnya dengan cepat dan berjalan kembali menuju kamarku. Ini rumah eyang kalau sepi dan gelap gini kok serem banget sih ya? Lalu aku mendengar bunyi gemerisik itu. Persis seperti dalam mimpiku tadi. Don’t tell me kalau itu adalah ular yang hadir di mimpi aku tadi!
Anehnya, tidak seperti dalam mimpi dimana aku bisa berlari kencang, kakiku malah gemetaran hebat. Lututku serasa tidak bertulang. Aku hanya bisa diam ditempat, sedangkan suara gemerisik itu semakin dekat terdengar. Shit dah! Ini kaki pake acara ngadat disaat momen tidak tepat lagi. Siapapun tolong bangun dan tolong aku!
“Kenapa kamu lari dariku?” suara parau itu lagi. WAAAAAAAAAA!!!!!!
Aku terduduk dengan sukses dan melihat Herry yang tengah menatapku dengan tatapan cemas.
“Kamu nopo Sen? Mimpi buruk?” aku menatap Herry masih dengan tatapan liar. Lama-lama kesadaranku pulih dan mendorong tanganku untuk menyentuh wajah Herry.
“Woy, ngapain Sen? Ini udah pagi lho! Kalau ketahuan keluargamu bisa gawat!” aku tidak begitu peduli dengan racauan Herry. Sesegera mungkin aku mencubit pipinya dengan gemas.
“Adaow! Baru juga semalam jadian, udah main kasar aja saiki!” mendengar ucapan Herry aku mendesah lega. Berarti aku benar-benar sudah bangun sekarang. Bad dream! Beneran deh, aku nggak bakal mau buat ngulang mimpi semalam. Ngeri-ngeri sedap!
“Sen, ini udah setengah enam loh. Buruan mandi! Ntar telat! Aku aja udah mandi!” aku baru sadar kalau Herry hanya memakai handuk doang di pinggangnya. Aku bangun dari ranjang dengan malas. What the hell? Kenapa kakiku rasanya kayak sakit banget ya?
“Nopo Sen?” tanya Herry yang melihat raut wajahku yang kesakitan.
“Nggak papa. Buruan gih pake baju, daripada ntar itu handuk aku pelorotin!”
“Hahaha, kan kamu ues pernah lihat Sen.” Aku tersenyum mesum sambil kedip-kedip genit sebelum akhirnya menghilang dibalik kamar mandi. Pergelangan kakiku membiru. Aku memperhatikannya dengan seksama. Seperti dicengkram terlalu keras oleh seseorang. Padahal dalam mimpi sepertinya aku tidak dicengkram. Shit! Ular itu kan berhasil melilitku sebelum aku bangun! Hasyah, wake up Arseno Erlangga Prawiro! Itu Cuma mimpi! Mungkin saja Herry semalam ngelindur terus tanpa sengaja meremas pergelangan kakiku! Iya, mungkin itu! Tapi masak sampai membiru gini sih? Ah, what the fuck lah!
***

Hendra masih memonyongkan bibirnya, tanda dia merajuk karena semalam dia tidak ditawari buat menginap bareng. Aku jadi serba salah, karena aku memang tidak menawarinya kemarin. Yah, selain karena Hendra pasti bakal mengacau, itu artinya jika Hendra semalam juga menginap berarti mungkin hari ini aku belum menjadi pacar Herry. Herry sih cuek-cuek saja seakan tidak peduli. Itu anak tengah menyalin PR dari Hendra. Sebenarnya ingin sekali aku bergabung dengan Herry, karena aku juga belum mengerjakan PR tersebut. Yah, mengingat semalam kita sibuk melakukan hal lain, namun niatku untuk bergabung dengan Herry buat menyalin PR harus diurungkan karena Hendra masih memonyongkan bibirnya dan matanya yang melotot itu membuatku takut. Takut jika mata itu akan lepas dari Hendra.
“Sudah lah Hen, ntar malam lo boleh nginep deh!” Hendra masih monyong dan belum membuka suaranya. Duile nih anak! Aku baru kali ini melihat Hendra merajuk.
“Bareng Herry juga, jadi kita tidur bertiga.” Kali ini mata Hendra sedikit melirikku. Sumpah, tanganku jadi gatal untuk meminjam muntu dari kantin dan menguleknya di bibir Hendra. Monyongnya itu lho.
“Gue kemaren lusa baru saja download konser Britney di Las Vegas, lengkap! Lo boleh nonton ntar malam!” kali ini mata melototnya menjadi berbinar. Yeah, temanku yang satu ini memang penggemar fanatik Britney Spears. Dan sejak aku kenal dengan Hendra, dia jadi memaksaku untuk melakukan segala sesuatu yang berbau dengan Britney. Seperti mendownloadkan semua lagunya dari album pertama hingga album terbarunya. Mencari-cari penampilannya setiap dia perform. Dan satu fakta lagi yang bikin aku tercengang, Hendra ingin mempunyai pacar seperti Britney. Fuck! Impossible banget!
Namun gara-gara Hendra juga aku jadi ikut-ikutan ngefans dengan Britney. Hah, bagaimana tidak, ponsel milik Hendra belum mendukung mp3 player, yah mau tidak mau ponselku yang jadi korban! Semua play list hampir sebagian diisi lagu-lagu Britney. Hendra, Hendra, sepertinya dia terobsesi oleh hal-hal yang belum semestinya. Maksutnya apa ya?
“Sen, kamu mau nyalin PR nggak?” aku melirik Hendra sebentar. Dan ketika aku melihat raut wajahnya yang sudah biasa-biasa saja, aku langsung bergegas mendekati Herry dan langsung meminjam PR yang baru dia salin. Diantara kita bertiga, pacarku ini memang paling tidak bisa diandalkan dalam pelajaran materi. Tetapi, tulisannya paling rapi dan paling bagus. Aku juga sempat heran, namun itu faktanya. Catatan Herry sangat rapi dan tulisannya pun enak dilihat. Tidak seperti tulisan lelaki kebanyakan.
Tidak lama kemudian, Hendra bergabung dengan kami. Dia dan Herry meributkan sesuatu di ponselku. Paling juga mereka rebutan, biasalah. Herry ingin melihat foto-foto dirinya sendiri di ponselku sedangkan Hendra ingin mendengarkan lagu-lagu Britney. Cerita klasik, pasti habis ini mereka suit-suitan. Dasar anak kecil!
***

Aku memandangi wajah Herry yang tengah makan sop buah. Lucu sekali ekspresi wajahnya saat seperti ini. Kami saat ini sedang berada di alun-alun. Yeah, malam ini Herry dan Hendra memang akan menginap di rumahku. Dan kita (aku dan Herry) sedang berada di alun-alun sambil menunggu Hendra yang tengah sibuk dengan ke osisannya. Dia minta di jemput jam empat. Jadi ya kita main-main dulu lah.
“Punya kamu nggak abis tho Ay?” aku masih geli sendiri dengan panggilan sayang Herry untukku ini. Entah darimana dia mendapatkan ide untuk memanggilku ‘ay’.
“He eh, udah kenyang aku Her!” Herry langsung meringis dan menyambar sop buahku yang masih sisa setengah.
“Tak abisin ya? Mubazir kalau dibuang.” Aku terkekeh sendiri. Herry masih medhok saja memakai bahasa Indonesia. Aku memang makin ngerti dengan bahasa Jawa, namun kalau disuruh untuk melafalkannya aku masih grogi. Mungkin sudah bisa, namun aku yakin logatku pasti terdengar sangat lucu.
“Aku poto ya?” kataku sambil mengambil ponselku dan mengarahkannya ke wajah Herry. Yah, seperti yang aku duga, itu anak langsung pasang gaya! Dia memang photogenic. Hasil jepretannya selalu bagus walaupun diambil diam-diam sekalipun.
“Gimana ay? Bagus tho? Ganteng tho?” Herry heboh sendiri ketika melihat hasil jepretanku tadi. Aduh, ini anak tingkat narsisnya udah sampai level berapa ya?
Setelah ngobrol kesana kemari dan menghabiskan empat mangkok sop buah, aku hanya menghabiskan setengahnya. Jadi kalian tahu tiga setengah mangkok sop buah yang lain hijrah kemana. Aku dan Herry langsung pulang kerumahku. Setelah ganti baju, dengan membawa mobil kita pergi ke sekolah lagi, menjemput Hendra.
Ternyata Hendra belum selesai, terpaksa kita menunggu di parkiran. Beberapa anak yang lewat memandangiku dengan tatapan aneh. Aduh, ini memang salahku. Di sekolahku, belum pernah ada siswa yang membawa mobil. Jadi, mungkin ini pemandangan pertama buat mereka. Lagipula, aku melirik mobilku sendiri dengan sinis (mobil mamaku sih sebenarnya), kenapa aku harus membawa mobil BMW ini? Kenapa tidak pinjam punya Paman Pri saja tadi? Seenggaknya mobil pamanku itu tidak terlalu kelihatan mahal.
“Ay, kapan-kapan ajarin aku bawa mobil ya?” aku yang tengah berkutat dengan ponselku langsung menoleh kearah Herry.
“Kamu nggak bisa bawa mobil?”
“Bapakku nggak mau ngajarin! Ajarin ya ay? Please?” aku terkekeh geli. Ini anak kalau udah ngomong inggris lucu banget! Ngomong bahasa Indonesia saja bikin terkekeh, apalagi pas ngomong bahasa Inggris.
“Iya, ntar kapan-kapan.” Jawabku sambil memandang heran Herry yang tengah celingukkan. Lalu tiba-tiba mencium pipiku secara kilat.
“Makasih ay, aku kangen bibirmu.” Herry mengucapkannya sambil berbisik. Tak pelak lagi, wajahku langsung blushing. Herry, I love you so much! Ehm, tentu saja aku mengatakannya dalam hati.
“Mana ntar malam ada si kucluk Hendra lagi. Ahh! Jengkel!” ini anak bener-bener bikin gemes. Bagaimana tidak? Dari tadi dia ngedumel seakan-akan aku tidak berada disampingnya. Aku juga kangen bermesraan dengan Herry. Ahh, kita baru jadian satu hari! Aku menyenggol Herry supaya berhenti ngedumel tentang sialnya malam ini karena jelas-jelas tidak bisa bermesraan denganku karena aku sudah melihat Hendra yang berjalan kearah kami.
“Woi, maaf lama. Tapi ndak usah tanya alasannya, aku males jelasinnya!” katanya begitu sudah didekat kami. Aku mendengus pelan sebelum masuk kemobil yang diikuti oleh Hendra dan Herry. Secara sepintas aku melihat Taufik yang juga tengah berjalan kearah parkiran. Tunggu nggak ya? Nggak saja lah, kataku dalam hati sambil menghidupkan mobilku dan langsung tancap gas.
Begitu sampai dirumah, aku menyuruh Herry dan Hendra untuk langsung kekamarku. Sedangkan aku menemui papa mamaku, aku ingin mobil! Urusan SIM, nanti bisa diatur lah. Aku kan keluarga Prawiro, sekali-kali menggunakan nama besar keluarga kan tidak ada salahnya. Halah, ngeles saja!
“Ma, Pa, beliin Seno mobil!” Papa dan Mamaku langsung menatapku seakan-akan aku bukan anak mereka.
“Kenapa? Kamu kan masih empat belas tahun!”
“Biar gampang ke sekolahnya ma!”
“Sunat dulu kalau gitu. Setelah kamu sunat, baru mama beliin mobil!” gantian aku yang memandang mamaku seakan-akan dia bukan mama kandungku. Jujur, aku masih menganggap sunat adalah salah satu hal yang paling menakutkan yang harus aku lalui dalam hidupku.
“Mama kan beliinnya pake duit papa! Ya pa? Beliin Seno mobil ya?” kali ini aku pindah haluan, walaupun terasa percuma. Jelas papaku itu akan membeo apapun kata mamaku. Dasar suami takut istri! Ampuni aku!
“Turuti dulu mama kamu.” Tu kan! Sudah aku duga!
“Oke deh, Seno sunat! Tapi beliin mobil ya?” mendengar ancamanku yang semeyakinkan para pembunuh bayaran, papa dan mamaku mengangguk kompak. Aku menghembuskan nafas panjang. Sunat? Hah banget!
Aku berjalan gontai menuju kamarku dan mendapati Hendra yang senyum-senyum geje.
“Jadi waktu di kali kedu itu kamu nolak buat mandi bareng karena belom sunat? Malu ya?” Oh, maha bencana! Jadi mereka mendengar percakapanku dan juga orangtuaku tadi.
“Siapa yang malu? Biasa aja!”
“Kalau gitu coba liat!” tanpa aku duga Hendra sudah maju untuk kemudian tersenyum mengerikan.
“Sstt! Nggak entuk! Ra sopan tauk!” Herry langsung menjitak kepala Hendra. Hahaha, pacarku mana rela aku ditelanjangi laki-laki lain. Aku melihat Hendra yang memonyongkan bibirnya dan sedikit menggerundel. Namun sepertinya Hendra tidak berniat melanjutkan apa yang dipikirkannya tadi.
Tidur bersama Hendra dan Herry memang menyenangkan. Setidaknya, kita bisa bercanda tanpa harus takut saling menyakiti. Saling hina pun kita sudah kebal. Mereka berdua juga sudah tidak sungkan lagi padaku. Itu yang aku inginkan, aku tidak ingin orang-orang hanya melihatku sebagai cucu eyang Prawiro, tapi sebagai Arseno.
Hendra sudah terlelap. Aku dan Herry masih terjaga, kita sengaja memang. Aku melangkah keluar dengan diikuti Herry dibelakangku. Kita duduk-duduk di teras rumah eyang yang kebetulan ada kursi yang memang sudah disiapkan disitu. Kursi yang terbuat dari anyaman kayu. Bunyinya ‘kriet kriet’ kalau didudukki. Hahaha.
“Bener kamu belom sunat ay?” jiah, kenapa Herry bahas topik ini sih? Aku hanya mengangguk. Malas sekali untuk menjawab, ‘iya aku belom sunat!’
“Boleh lihat? Kamu kan dulu sudah pernah lihat punyaku ay! Dua kali lagi!” yeah, tenyata dihitung sama Herry saudara-saudara! Aku diam saja, tidak tahu harus bagaimana. Maksutku aku terlalu malu untuk berdiri dan menurunkan boxerku beserta celana dalamku agar Herry melihat penisku yang masih terbungkus kulup.
Hal yang tidak terduga adalah tangan Herry yang sudah meraba-raba penisku dari luar untuk kemudian menelusup lewat lobang kaki boxerku.
“Cepet banget bangunnya ay?” aku hanya meringis. Remasan Herry mau tidak mau langsung membuat perkakas berhargaku itu menunjukkan kegarangannya.
“Gede juga ay, boxernya aku naikkin ya?” aku hanya mengangguk. Tidak lama kemudian tangan Herry menyingkap boxerku keatas dan mengeluarkan penisku lewat lobang kaki boxerku. Lampu depan memang dinyalakan, jadi penisku itu terpampang jelas dihadapan Herry.
“Wah, masih belum ada bulunya.” Kembali Herry berguman.
“Punya kamu udah lumayan lebat ya?” Herry terkekeh sebentar mendengar perkataanku sebelum akhirnya kembali menatap perkakasku itu dengan seksama.
“Masih ingat punyaku tho ay? Tapi kamu kan belom liat tititku pas bangun!” aku sedikit tergelak. Saat tidur saja sudah sebesar itu, kalau bangun gimana? Bayangan itu justru malah semakin membuat penisku bergerak-gerak liar. Aduh, bahasanya nih.
Lagi asik-asiknya menikmati remasan dan juga pijatan Herry pada tititku, kami berdua dikejutkan dengan suara kaki yang semakin dekat. Dengan buru-buru aku segera memasukkan kembali organ kebanggaanku itu. Siapa sih nih yang bangun? Malam-malam gini lagi, hasyah! Mana belum keluar lagi. Aduh, nanggung banget! Kalian mengerti tidak perasaan saat penis kalian sengaja dikocok namun tiba-tiba harus dipending karena ada gangguan? Padahal belum ejakulasi? Kalau bahasa jawanya sih rasanya ‘muangkel tenan’!!



Bersambung. . .