Nansa tidak mempercayai apa yang
dilihatnya. Rafky sibuk dan mengabaikannya. Padahal, hallo? Ini adalah hari jadi
mereka yang ke empat. Atau
jangan jangan Rafky lupa? Bisa jadi!! Nansa mendengus kesal, kalau tidak salah
ini sudah dilakukan Nansa sebanyak 5 kali. Nansa terus menatap Rafky
yang tengah berkutat dengan laptopnya. Dalam hatinya, ingin sekali Nansa
maju dan sedikit memberikan gamparan terbaiknya di pipi Rafky. Namun sepertinya tatapan
menusuk Nansa tidak begitu berpengaruh terhadap Rafky. Cowok hitam manis itu
tetap saja stay cool dengan laptopnya. Entah sejak kapan, prestasi Nansa
dikalahkan oleh Rafky. Dan
seperti saat ini, Rafky begitu sibuk dengan tugas kuliahnya sehingga
mengabaikan Nansa begitu saja.
“Ri, lu bisa kan sedikit berpaling
dari laptop tercinta lu?”, Nansa mengguman tidak jelas.
“ni tugas dikumpulin besok yank”,
jawab Rafky singkat tanpa menoleh ke arah Nansa. Nansa memutar kedua bola
matanya.
“okay, gua keluar bentar”
“ya”, Nansa membanting pintu kost
mereka. Sudah hampir setengah tahun mereka tinggal bersama. Dan, dari sinilah mala
petaka itu terjadi. Sikap
Rafky mulai acuh tak acuh. Agaknya Rafky terlalu meremehkan Nansa karena mereka
sekarang ‘tinggal bersama’. Kota
besar ini tidak pernah mati walaupun sudah selarut ini. Benar benar berbeda saat
mereka masih di kampung dulu. Nansa menghembuskan nafasnya perlahan!! Sial!!
Bahkan mereka sudah hampir 1 bulan tidak berhubungan seks!!
“lama lama gua bisa gila!!”, gumam
Nansa sambil menendang kaleng kosong didepannya.
Drrt drrt drrt
“halo”, sapa Nansa begitu dilihatnya
ada nomor yang tidak dikenal memanggil.
“Nansa?”
“he em”, jawab Nansa sedikit cuek.
Moodnya kurang bisa diajak berkompromi saat ini. Bukan salah si penelepon,
bukan!!
“Ardhinansa Adiatama?”, tanya si penelpon antusias.
“yeah?”
“aku Afdhal”, Nansa mengkerutkan keningnya
dalam. Afdhal? Who?
“hha? Kita pernah kontak?
Sebelumnya?”, Nansa agak hati hati menanyakannya. Salah salah bisa dikira
sombong lah, angkuhlah dan sebutan lainnya yang tentunya kurang sedap didengar
telinga.
“belum. Aku suka kamu”
“hha?”
“kamu yang sedang berdiri didepan
alfamart pake kaos biru kan? You look so charming”, otomatis Nansa langsung
mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru. Banyak orang disini dan
Nansa sepertinya belum berani menebak nebak.
“lu kenal gua dari mana?”
“dari seseorang”
“who?!”, tanya Nansa sedikit emosi.
Antara takut, marah (kalau yang ini Rafky juga ikut ambil bagian) dan khawatir.
“kekekekekek, you’ll see”, kata
seseorang yang mengaku bernama Afdhal dan menyukai Nansa itu sambil mematikan
sambungan teleponnya. Nansa sedikit bergidik, namun memutuskan untuk tidak
terlalu memikirkannya. Mungkin
orang iseng, atau temannya ada yang ingin menjahilinya. Nansa masuk kedalam
Alfamart, memilih milih makanan ringan, beberapa coklat dan sebungkus eskrim. Satu hal yang selalu
Nansa syukuri adalah tubuhnya tidak pernah membengkak walaupun dia suka makan
makanan tinggi lemak. Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, Nansa segera
pulang kembali ke kostannya.
Moodnya semakin memburuk ketika
melihat Rafky masih sibuk berkutat dengan laptopnya. Ingin sekali Nansa
membanting laptop sialan itu!!Setelah menghabiskan eskrim yang tadi dibelinya,
Nansa langsung memutuskan untuk tidur. Mengharapkan Rafky akan menyutubuhinya
itu terlalu muluk!! Rafky berubah!! Titik. Dengan sedikit perasaan
kurang menentu, Nansa mencoba untuk terlelap. Mencoba melupakan
semuanya. Dari
dulu, tidur selalu menjadi alternative paling manjur untuk memperbaiki mood
bagi Nansa.
Rafky sedikit menggerakkan badannya.
Badannya serasa mau copot semua. Pegal dan letih, namun Rafky tetap bersabar.
Hasilnya akan segera dia nikmati. Rafky memandang Nansa yang sudah terlelap
diatas ranjang, tersenyum simpul lalu berjalan menuju ranjang tempat Nansa
terlelap. Memperbaiki
selimut yang dipakai Nansa, mengecup pipi dan keningnya ringan.
“I love you”, bisik Rafky pelan di
telinga Nansa.
***
Satria melenguh bahagia, ditatapnya
Afif yang ada disebelahnya. Permainan
mereka barusan luar biasa. Sungguh
wow. Satria
masih mengatur nafasnya yang menderu agar kembali normal. Menoleh ke arah Afif lalu
mengecup keningnya ringan.
“thanks”, Afif tersenyum mendengar
perkataan Satria barusan kemudian merengkuh kekasihnya tersebut kedalam
pelukannya.
“for?”
“your love, your passion,
everything!!”, kembali Afif tersenyum. Mengusap pipi Satria perlahan.
“welcome”, kata Afif ringan sambil
mulai memejamkan matanya. Satria kembali menyunggingkan senyumannya,
menyandarkan kepalanya di bahu Afif dan mempererat pelukannya.
“aku sayang kamu mas”, kata Satria
lirih.
“me too”, kata Afif sambil membuka
matanya kembali. Menoleh ke arah Satria lalu mengecup keningnya pelan.Tiba tiba
Afif teringat sesuatu. Dengan
mendadak Afif melepaskan diri dari pelukan Satria, menyibak selimutnya dan
turun dari ranjang. Satria
hanya bisa membuka mulutnya perlahan, bingung dengan tingkah laku kekasihnya. Sementara itu Afif tengah
berkutat dengan laci mejanya. Satria
menikmati pemandangan itu. Afif
yang telanjang dan sedang sedikit membungkuk. Bagi Satria itu pose yang sangat
menggairahkan, walaupun dilakukan secara tidak sengaja oleh Afif.
Setelah menemukan apa yang
dicarinya, Afif segera berdiri. Berjalan kembali menuju tempat Satria berbaring. Menyerahkan sesuatu sambil
tersenyum ringan. Satria
sedikit mengkernyitkan dahinya, memandangi semacam pamflet yang digenggamnya.
“apa?”, tanya Satria bingung. Kurang
ngeh dengan maksut dari kertas pemberian
Afif barusan. Afif terseyum lalu kembali berbaring disamping Satria.
“liburan ke Bali untuk hari jadi
kita yang pertama”, kata Afif perlahan sambil kembali memeluk Satria.
“honeymoon?”, Satria sumringah. Hal
ini mengejutkannya. Afif
mengangguk.
“serius?”, Afif sedikit memencet
hidung Satria.
“yap!!”
“makasih mas”, entah perasaan apa
yang dirasakan Satria saat ini. Karena bahagia saja tidak cukup untuk
menggambarkan perasaannya saat ini. Ini menakjubkan!! Liburan ke Bali!!
Berdua!! Hanya dengan Afif?! Apalagi
coba yang bisa membuat Satria lebih bahagia dari saat ini?
“kapan kita berangkat mas?”, Satria
bertanya dengan semangat 45.
“minggu depan dek”, Satria menyunggingkan senyum termanisnya
lalu kembali memeluk Afif dengan erat.
“I love you”, kembali Afif
membisikkan kata itu di telinga Satria.
***
Alarm handphonenya berbunyi. Nansa sedikit menggeliat,
mengambil ponselnya, menekan tunda untuk alarmnya lalu kembali melanjutkan
tidurnya. Selama lima menit tidurnya kembali ‘nyaman’, namun sepertinya ada
orang yang kurang ikhlas melihat kebahagiaanya. Ponselnya kembali berbunyi. Kali ini karena ada
panggilan masuk.
“what the hell!!”, umpat Nansa
sambil tangannya meraih ponsel yang tadi dia letakkan kembali di meja.
“hallo!!”, nada sedikit jengkel
jelas terucap dari bibir Nansa.
“kekekekekek, kamu akan semakin
terlihat manis jika sedang marah. Aku bisa membayangkannya. Rambutmu masih acak
acakkan, wajahmu menggoda dan kamu hanya memakai selembar celana tipis.
Menggairahkan!!”, Nansa sedikit berdecak!! Siapapun itu kalau dia mengganggu
tidurku berarti dia nyari mati, batin Nansa.
“anjing lu!!”, jawab Nansa singkat
lalu mematikan sambungan teleponnya. Tak tanggung tanggung, Nansa kemudian
mematikan ponselnya. Ini hari minggu!! So please don’t disturb me!!
Nansa kembali melanjutkan
petualangannya di alam mimpi. Berharap bahwa tidak akan ada lagi pengganggu.
Dan Tuhan mengabulkannya!! Selama 10 menit!! Karena sepuluh menit kemudian
pintu kost kostannya diketuk seseorang. Awalnya Nansa berniat
mengindahkannya. 5 menit berlalu dan ketukan itu masih belum menyerah, Nansa
menutup telinganya dengan bantal, berharap bahwa tamu tidak tahu diri itu akan
segera pergi. Namun sayang, permohonanya kali ini tidak lulus sensor. 10 menit
berlalu dan ketukan itu masih terdengar. Nansa mengumpat pelan
sebelum turun dari ranjang. Segala
bentuk dan macam umpatan sudah ada di ujung bibirnya tidak jadi dia keluarkan
ketika mengetahui tamu yang datang.
“ibu? Ngapain sih?”, sungguh!! Ini
pertanyaan yang kurang sopan yang di ajukan oleh seorang anak untuk ibunya.
Jangan dicontoh!!
“baru bangun?”, itu lebih terdengar
seperti pernyataan daripada pertanyaan. Marini memilih duduk di kursi ruang
tamu kost kostan anaknya tanpa disuruh lebih dahulu.
“Nansa baru mau mandi tadi pas ibu
dateng”, Marini menatap anak sulungnya dengan tatapan menohok mata –jangan-coba-coba-bohongi-ibu!!
Nansa sedikit menelan air ludahnya. Sebenarnya Nansa merindukan ibunya. Sudah hampir 6 bulan
tidak bertemu.
“gimana kuliah kamu? Emang libur?”,
Nansa memutar kedua bola matanya.
“ini kan minggu bu!!”
“oya, Rafky mana?”, huft!!
Mengalihkan pembicaraan!! Gumam Nansa dalam hatinya. Nansa mengangkat bahunya,
karena dia memang kurang tahu dimana Rafky sekarang.
“gimana sih!! Kalian kan satu kost!!
Masak gak tau temennya pergi kemana!!”, Nansa menggelengkan kepalanya perlahan.
Bukan hanya satu kost bu, kita juga pacaran!! Ingin Nansa teriakkan kata kata
itu didepan ibunya namun dia tahan. Sekali lagi Nansa beranggapan bahwa
dirinya masih waras dan belum cukup gila untuk mengatakan hubungannya bersama
Rafky kepada ibunya. Lagipula
Nansa sudah terlalu letih untuk bertanya pada Rafky, lagi dimana? Sama siapa? Itu hanya
akan membuat dirinya terlihat seperti kekasih yang posesif.
“ada apa bu? Tumben”, Nansa bertanya
ketika sudah duduk berhadapan dengan ibunya.
“gak, Cuma pengen tahu kabar kamu
saja”
“kangen ya? Reno gimana bu?”, Nansa
mengambil kaos yang ada di kursi dan memakainya.
“baik. Sudah ibu masukkan bimble
dia, biar nilainya kaga anjlok, makin hari makin urakan kelakuannya”, nah lho? Kok Marini malah curhat? Nansa sedikit
menggelengkan kepalanya.
“maklum bu. Ababil!!”
“ababil? Apa itu? Oya kamu ada dapur
kan? Sudah sarapan belom? Ada apa saja?”, Marini bertanya bertubi tubi.
“anak abg yang masih labil bu!!
Belom sarapan, kenapa bu? Mau
masak? Kaga
ada yang bisa dimasak!!”
“lha? Kan ibu sudah bilang, biar
lebih irit kamu masak sendiri. Pasti
makan diluar terus ya? Kasihan ayah kamu tho le!!”, Nansa memutar kedua bola
matanya. Ayahnya kan sanggup buat membiayai kuliahnya. Lagipula itu kan memang
kewajibannya!! Dan menurut anggapan Nansa, ayahnya tergolong masih mampu kok.
“ayah aja kaga pernah protes”, Nansa
langsung menyesali jawabannya barusan yang terlontar begitu saja dari bibirnya.
Tatapan tajam ibunya ternyata belum berkurang efeknya. Masih bikin merinding.
“sudah, disini mana yang jual
sayur?”
“ngapain sih? Mending ibu istirahat
aja lha. Kan capek bu!! Nansa ntar makan diluar aja lha”
“hemm?”
“terserah ibu lha!! Warung depan tu
jual sayur. Nansa mau mandi!!”, Marini geleng geleng kepala. Kedua anaknya
berubah, Marini merasakan itu. Sedikit
ada penyesalan yang terselip di hati kecilnya karena mereka tumbuh tanpa sosok
ayah didekat mereka. Apalagi
prestasi Nansa yang menurun, masih bagus hanya saja tidak secermerlang dulu. Apa karena pergaulan kota
besar? Untuk alasan ini juga Marini datang kesini. Apa yang sebenarnya
terjadi dengan anak kebanggaannya ini? Marini menghembuskan nafasnya perlahan
sebelum keluar untuk membeli bahan mentah. Rencananya hari ini
Marini ingin mengawasi tingkah laku anak sulungnya.
“tante, kapan datangnya tan?”, Rafky
yang baru saja lari pagi keliling kompleks mendekati Marini begitu melihat
calon mertuanya (seandainya saja bisa begitu) tersebut didepan warung.
“Rafky!! Baru saja nak, darimana
kamu?”
“biasa tante olahraga pagi”
“hmm, Nansa kok kaga diajak? Sudah
sarapan?”, Marini menghentikan memilih milih sayur yang akan dibelinya sebentar
lalu menatap Rafky. Entah kenapa, Marini merasa ada sesuatu yang special antara
Rafky dan anaknya. Entahlah,
itu hanya firasat seorang ibu. Bahkan
kalau di ingat ingat Nansa dulu ngotot sekali ingin kuliah di Jogja. Dengan berbagai alasan. Marini masih menatap
Rafky dengan tatapan teduh seorang ibu, membuat Rafky objek yang ditatapnya
kikuk sendiri. Mungkinkah
Rafky adalah alasan terkuat Nansa untuk kuliah di Jogja? Ya Tuhan, apa yang aku
pikirkan? Marini menepis kemungkinan terburuk itu. Mereka hanya teman. Teman,
sahabat, tidak lebih. Ya,
tidak lebih.
“belom tante. Tadi Nansanya masih
tidur, kaga enak buat bangunin Tan”, Rafky menjawab dengan kikuk. Rasanya jadi keki
sendiri.
“aku mandi dulu tante”
“oya, ntar kalau mau sarapan
tungguin masakan tante ya?”
“sip”, Rafky mengacungkan dua
jempolnya. Marini hanya tersenyum ringan. Rafky sedikit terhenyak
saat melihat Nansa yang keluar dari kamar tidur hanya memakai boxer saja. Walaupun Rafky sudah
ratusan kali melihat kekasihnya itu telanjang namun tetap saja, pemandangan
Nansa bertelanjang dada masih saja menggetarkan perasaannya. Montok-montok
padat gimana gitu.
“baru bangun?”, tanya Rafky ringan.
Nansa langsung menoleh dan memandangnya dengan tatapan skeptis.
“bukan urusan lu”, Rafky tidak
percaya kata sejutek itu keluar dari bibir Nansa. Nansa masuk kedalam kamar
dengan membanting pintu. Rafky
geleng geleng kepala, jarang sekali bahkan belum pernah Nansa mengacuhkannya
seperti ini. Ada
yang salah denganku ya? Gumam
Rafky perlahan. Rafky
menghembuskan nafasnya perlahan, mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Semoga saja ini hanya
emosi Nansa sesaat.
Mereka makan dalam diam. Tidak ada
yang inisiatif ingin memulai pembicaraan. Marini yang melihat
tingkah laku mereka merasa aneh sendiri. Belum pernah sepanjang
pertemanan mereka, Marini melihat mereka saling acuh begini. Sore harinya Marini pamit
pulang. Nansa
sedikit mendengus kesal saat menyadari bahwa ibunya tersebut ternyata datang
kesini bersama ayahnya. Hanya saja ayahnya tidak menemuinya karena memang ada
sedikit keperluan di kota ini.
“ibu pulang dulu. Jaga prestasi kamu
nak, jangan jajan sembarangan, rajin olahraga seperti Rafky. Kalau bisa
pengeluaran dihemat”
“iya ibu!!”, jawab Nansa singkat
sambil memeluk ibunya.
“salam buat Reno”, sambung Nansa
lirih.
“pasti Nak. Nak Rafky, tolong jaga
Nansa ya?”
“siap tante!!”, Nansa memutar kedua
bola matanya mendengar jawaban Rafky. Menjaga darimana? Perhatian saja sekarang
tidak!! Nansa mendumel dalam hati.
“turuti kata kata ibu kamu Nan!!”,
kali ini ayah Nansa yang berbicara.
“iya”, jawab Nansa sambil
menganggukkan kepalanya. Setelah mobil ayahnya menghilang dibalik tikungan,
Nansa langsung masuk kembali kedalam kost kostanya. Mengabaikan Rafky yang
masih berdiri didepan. Rasanya Nansa sudah capek hati dan pikiran menghadapi
Rafky yang selalu berkutat dengan laptopnya saja ketimbang dengan dirinya yang
adalah kekasihnya. Nansa sedang membaca komik saat Rafky masuk kedalam kamar.
“mau makan kapan yank?”, Nansa
menaikkan pandangannya dari komik yang dibacanya. Menatap Rafky dengan sangat
intens.
“tumben nanya”, kilahnya singkat
lalu kembali membaca komiknya. Rafky sempat terkejut sesaat.
“ada apa? Ada yang salah?”
“gak”, jawaban singkat singkat yang
keluar dari bibir Nansa sedikit banyak mulai menyulut emosi Rafky.
“ohh, apa ada yang salah dengan gua?
Tell me!! Don’t be a looser!!”, mendengar kata kata barusan Nansa mulai
terpancing emosinya. Looser? What the fuck!!
“kita udah pacaran empat tahun Nan!!
Apa iya masih ada yang masih dirahasiakan hha?!”, Rafky melanjutkan uneg
unegnya. Rasanya tidak tepat saja Nansa mengabaikannya sejak tadi pagi.
“bagus kalau lu inget kita sudah
pacaran 4 tahun. Kemana aja lu sebulan ini? Hha?! Laptop sama kuliah!! Waktu lu
Cuma buat berkutat dengan laptop dan tugas tugas kuliah lu!! Okay itu penting,
tapi bisa kan sisakan waktu buat gua sebentar aja!! Oya, bahkan kita sudah kaga
berhubungan seks selama sebulan!! Gua harus rela kembali bermain dengan sabun
karena lu selalu menolak gua setiap malam!! Apa gua udah kaga menarik lagi di
mata lu Raf? Hha?! Kenapa lu mingkem aja hha? Lu juga kaga tahu kan akhir akhir
ini ada telepon iseng yang ngerjain gua? Lu ngaku pacar gua? Lu bahkan sekarang
kaga tahu apa apa tentang gua!!”, Nansa menghirup nafas perlahan. Dadanya
seperti sesak.
“bahkan lu bilang sayang aja udah
jarang. Sorry kalau gua cengeng, gua cuman butuh perhatian dari pacar gua!!”,
sambung Nansa tertahan karena dipeluk oleh Rafky.
“sorry, gua gak sadar”, ucap Rafky
perlahan di telinga Nansa. Rafky tidak menyangka jika proyek yang sedang
dikerjakannya malah mengganggu hubungan mereka. Padahal proyek itu nantinya
akan Rafky hadiahkan untu Nansa. Ironis sekali.
“maafin gua sayang. Maaf, maaf,
maaf”, hanya kata kata itu yang mampu Rafky ucapkan. Apalagi coba yang mesti ia
katakan? Ini semua memang salahnya. Kenapa dia tidak menyadarinya? Bodoh sekali. Otaknya berputar untuk
menebus kesalahannya.
“kita akan ke Bali”, kata Rafky
spontan. Entah kenapa kata kata itu terlintas begitu saja dipikirannya.
“Bali? Buat apa?”, tanya Nansa yang
tidak mengerti arah pembicaraan Rafky.
“bulan madu. Gua bakal menebus
kesalahan gua sebulan silam, gimana?”
“kuliah?”
“kita bisa bolos Jum’at dan Sabtu”,
Nansa masih bingung dengan apa yang dikatakan Rafky barusan. Tapi kapan lagi?
“kapan kita berangkat?”, tanya Nansa
penasaran.
“minggu ini. Gua yang urus semuanya,
ntar lu tinggal berangkat. Okay? Sekali lagi, I’m so sorry. Maafkan kebodohan
yang udah gua lakukan”, Nansa tersenyum.
“gimana kalau lu mulai menebus
kelalaian lu dari sekarang? Hemm?”, bisik Nansa sambil memeluk Rafky semakin
erat. Rafky hanya bisa menyunggingkan senyum ringan.
***
Satria memandangi kamar penginapan
mereka. Sederhana
namun berkelas, bagaimana menjelaskannya ya? Afif tengah berbaring di
ranjang, mungkin kecapekkan. Satria
sendiri sebenarnya juga sangat lelah, hanya saja rasanya semuanya menghilang. Mereka tidak berlibur di
pantai kuta atau pantai dreamland. Mereka memilih Kintamani, suasana
yang begitu mendukung seperti layaknya bulan madu sungguhan. Dari jendela
mereka bisa melihat perbukitan yang segar. Dengan suhu sekitar 18 derajat
celcius rasanya pantas pantas saja jika Satria dan Afif menghabiskan akhir
pekannya disini. Menghindari
rutinitas yang padat di Jakarta.
“mas, aku keluar sebentar ya? Mau
lihat lihat”, Afif hanya mengangguk pelan. Satria mencium bibir Afif
sekilas sebelum keluar dari penginapan. Pemandangan yang luar
biasa indah. Karya
Tuhan memang tiada bandingan. Mungkin
karena terlalu menikmati pemandangan yang luar biasa, Satria tidak
memperhatikan jalan hingga menabrak seseorang.
“hei, lu punya mata dipakai dong!!”,
Satria menoleh. Melihat cowok manis, mungkin anak SMA yang sedang jatuh
tersungkur. Temannya, atau mungkin kakaknya sedang membantunya berdiri.
“maaf dek, kaga sengaja”, Satria
mengakui kesalahannya. Cowok manis itu hanya mendengus kesal. Satria jadi tidak
enak sendiri.
“gak papa kok mas. Mari mas”,
temannya atau mungkin kakaknya yang bertubuh ‘wow’ itu yang menjawab sambil
menuntun cowok manis itu. Cowok itu mengaduh dan menyenderkan tubuhnya pada
temannya.
“emang sakit banget yank?”, Satria
mendengar cowok berbadan yahud itu bertanya pada sosok yang sedang dipapahnya.
Mereka sepasang kekasihkah? Satria mengangkat bahunya, ngapain ikut campur
urusan orang lain?
“gak juga Ri, Cuma pengen dipapah lu
aja”, jawab Nansa sambil cengengesan.
“pantesan!! Manja amat!!”, mendengar
perkataan Rafky barusan, Nansa langsung cemberut. Rafky tersenyum ringan,
inilah sosok Nansa yang dia kenal. Manja dan menggemaskan. Ingin rasanya Rafky
mencubit pipi kiri Nansa yang berlesung pipit. Namun Rafky juga tahu
jika pacarnya ini sedang ngambek akibatnya bisa sangat parah.
“kita mau kemana Ri?”, kata Nansa
pelan sambil mencoba berjalan sendiri.
“setahu gua ada danau disini, ntar
kita sekalian main ke desa Troyan. Troyan atau Truyan ya? Gua lupa namanya”
“Trunyan Ri!! Yang terkenal karena
cara pemakamannya itu kan?”, Rafky mengangguk ringan.
“kita makan siang di dekat danau”,
Nansa memandang Rafky lama.
“kenapa? Kok natapnya gitu banget?”
“thanks”, Rafky menyunggingkan
senyumnya lagi. Entah kenapa rasanya hatinya seperti dipenuhi oleh rasa bahagia
yang sangat.
Sementara itu, di kamarnya Satria
masih terpikirkan oleh sesosok pria rupawan teman atau mungkin kekasih dari
lelaki yang ditabraknya tadi pagi. Mata angkuh itu, kulit kecoklatan
itu masih terbayang sangat jelas di benak Satria. Ada dengan dirinya? Tidak
mungkin kan jika dirinya jatuh cinta lagi? Ditatapnya Afif yang terlelap
disampingnya, ya Tuhan aku masih mencintai pria ini!! Jerit Satria dalam hati. Namun entah mengapa sosok
pria-tidak-diketahui-namanya itu tidak mau hilang dari pikirannya. Satria menghembuskan
nafasnya perlahan. Perhatian
lelaki tadi untuk pacarnya begitu membuat Satria terusik. Stop Satria!! Mending
lu tidur!! Kata Satria pada dirinya sendiri. Mungkin karena kecapekan.
***
Nansa tengah duduk di bangku sebuah
taman ketika lelaki itu mendekatinya. Sebenarnya Nansa sedang menunggu Rafky
yang masih bersiap siap di penginapan. Lelaki itu tersenyum padanya sekilas
lalu duduk disampingnya. Nansa
balas tersenyum namun tidak terlalu menghiraukannya. Tangan Nansa masih sibuk
menari nari diatas ponselnya. Begitu
asyik memainkan angry birds.
“asli sini?”, Nansa mendongakkan
kepalanya. Memutar pandangannya dan ketika menyadari bahwa yang diajak
berbicara adalah dirinya, Nansa segera tersenyum kikuk.
“bukan, saya dari jawa”, jawab Nansa
lirih.
“liburan?”, Nansa sedikit
mengkernyitkan dahinya. Pertanyaan aneh, untuk apa dirinya disini jika bukan
untuk berlibur. Namun karena demi kesopanan, Nansa menjawab juga pertanyaan
tersebut.
“ya, mas sendiri? Asli sini? Atau
sedang berlibur?”, Nansa sengaja menggunakan sapaan ‘mas’ karena dirasa orang
yang sedang berbicara padanya ini terlihat lebih tua.
“ya bisa dibilang begitu”
“hemm”, Nansa hanya bisa mengguman
tidak jelas. Bingung untuk memulai percakapan. Kembali matanya menatap
layar ponselnya dan segera jari jarinya ikut menari diatas layar smartphonenya.
“jawanya mana?”, kembali lelaki itu
bertanya.
“Temanggung mas”, jawab Nansa
singkat.
“wah, deket Magelang kaga? Temenku
ada yang tinggal disana”
“lumayan mas, mas asli Magelang?”,
lelaki itu menggelengkan kepalanya.
“Bandung”, jawab lelaki itu sambil
tersenyum. Manis,
bukan hanya itu lelaki ini juga punya kharisma. Apa ya? Semacam bisa
membuat orang orang segan padanya. Apa itu namanya? Kharisma kan?
“mas Afif yok berangkat!!”, Nansa
yang tengah sibuk memandangi layar ponselnya mendongak lalu melihat lelaki yang
kemarin menabraknya. Sebenarnya Nansa kemarin keterlaluan juga marahnya,
apalagi jika di ingat ingat itu bukan murni kesalahan lelaki itu. Dirinya juga salah. Namun Nansa sungkan untuk
meminta maaf. Secara
kejadian itu sudah berlalu. Jadi nama lelaki disampingnya ini Afif tho? Apa
hubunganya dengan lelaki bertubuh otot doang itu?
“duluan ya nak!! Jangan kemana mana,
ntar nyasar!!”, lelaki yang diketahui bernama Afif ini melemparkan senyumnya
sebelum beranjak. Enak aja, emang gua anak TK apa? Umpat Nansa dalam hati. Mereka terlihat seperti
pasangan kekasih. Bisa dilihat dari cara si cowok yang tubuhnya hanya otot itu
memperlakukan cowok berkharisma itu. Nansa sedikit mendesah sebelum akhirnya
menelpon Rafky. Kenapa
lama sekali sih itu anak? Dandan dulu apa?! Panggilannya dijawab pada
deringan ketiga.
“gua udah hampir lumutan disini”,
sembur Nansa begitu panggilannya dijawab. Diujung telepon sana, Rafky tergelak
sangat.
“bentar sayang. Gak sabaran banget”
“buruan!! Atau gua tinggal”
“iya manja!!”, Rafky mengakhiri
panggilannya. Nansa menghembuskan nafasnya perlahan. Sebenarnya kalau mau
dipaparkan dengan jelas, tidak hanya Rafky yang berubah. Dirinya sendiri pun
banyak berubah. Nansa
sadar itu. Jika
di ingat ingat ingat, dirinya sekarang menjadi lebih egois. Tidak hanya itu,
sikapnya pun menjadi lebih apa ya? Yang buruk tapi tidak terlalu dibenci? Apa ya? Emm, mungkin
sedikit menyebalkan. Mungkin.
Ini kan analisa Nansa sendiri. Jadi bukan tanggung jawab penulis.
“yok!!”, Rafky berdiri didepannya
dengan senyum terkembang. Ya, Rafky memang berubah. Anak ini lebih banyak
tersenyum sekarang. Nansa
menatap Rafky lama. Tidak
se cool dulu. Apa
karena dirinya sekarang sudah mengenal Rafky sedangkan dulu belum?
“kenapa? Natapnya kok gitu?”, Rafky
bertanya lembut sambil duduk disamping Nansa.
“gak papa. Gua sayang lu Ri”
“gua juga sayang lu Nan!! Sayang
banget”, kata Rafky sambil menarik tangan Nansa untuk berdiri. Mereka sekarang
akan berkeliling lebih jauh. Rasanya agak kurang saja jika ke Bali namun tidak
pergi ke Ubud. Mereka
pergi dengan modal bertanya. Mau
bagaimana lagi? Mereka kan kurang persiapan. Melihat seni ukir dari kayu yang
eem-ini-menurut-Nansa-lho, sangat artistic. Sayang mereka tidak bisa
lama lama karena terdesak waktu. Malam harinya mereka makan malam di
restoran dekat tempat penginapan mereka. Malam yang terang, ditemani bintang
bintang dan juga pemandangan asap bersahabat dari gunung Batur sepertinya
semakin membuat suasana malam ini lebih romantis.
“boleh gabung? Tempat lain penuh
soalnya”, Nansa menoleh dan mendapati Afif dan teman ‘otot’nya berdiri di
pinggir meja mereka.
“boleh, mari silahkan”, Rafky
berkata sopan. Nansa sedikit memutar bola matanya. Ini adalah salah satu
bukti bahwa Rafky sudah berubah. Kalau dulu mungkin Rafky akan menjawab.
“hmm”, pasti itu jawaban Rafky yang
dulu. Bukannya Nansa tidak suka dengan perubahan sifat Rafky yang lebih open
dengan orang lain. Hanya saja, Nansa lebih nyaman dengan Rafky yang dulu. Yang tidak mudah ditebak. Yang hanya memberi
perhatiannya untuk Nansa seorang.
“oya, gua Afif. Ini temen gua
Satria”, lamunan Nansa buyar saat pria berkharisma tersebut mengulurkan
tangannya ke arah Nansa. Walaupun
dengan sedikit kikuk, Nansa membalas uluran tangan tersebut.Tersenyum ringan.
“Nansa”, katanya singkat. Afif tersenyum lalu
menyalami Rafky. Pria ‘otot’ yang bernama
Satria juga mengulurkan tangannya, hanya saja Nansa sedikit enggan membalas
uluran tangan tersebut.
“Satria”, kata lelaki itu singkat
dengan senyum basa basi.Demi kesopanan, Nansa membalas uluran tangan tersebut.
“Nansa”, Nansa berkata dengan senyum
yang tidak kalah basinya. Bagi Nansa, makan malam ini terasa seperti neraka.
Satria dan Rafky langsung akrab. Mereka sangat nyambung dalam setiap
topic. Entah
itu olahraga, makanan sehat ataupun otomotif. Ya Tuhan, Nansa
menggeleng gelengkan kepalanya. Penting
ya? Nansa
juga tidak menyembunyikan perasaan bahagianya saat makan malam harus berakhir. Memisahkan Rafky dan pria
berotot itu saat ini adalah langkah terbaik.
Saat tiba di penginapan mereka,
Nansa langsung melepas semua pakaiannya dan naik ke atas ranjang. Mencoba untuk langsung
terlelap.
“kaga gosok gigi dulu? Cuci muka?”,
tanya Rafky sambil melepas bajunya.
“nggak. Capek!!”, Rafky tersenyum
ringan mendengar jawaban Nansa lalu berlalu ke kamar mandi. Setelah mencuci
wajahnya dan menggosok gigi, Rafky naik ke atas ranjang dan memeluk Nansa dari
belakang. Hampir
pukul 12 malam namun Rafky masih belum bisa memejamkan matanya. Dengan bergerak seringan
mungkin karena tidak ingin membangunkan Nansa, Rafky turun dari ranjang. Memakai celana pendek dan
jaketnya lalu berjalan keluar. Mungkin dengan menghirup udara segar, Rafky bisa
sedikit relaks. Rafky mengeluarkan sebungkus rokok dari jaketnya. Sejak berpacaran dengan
Nansa, Rafky selalu mencuri curi waktu agar bisa merokok tanpa sepengetahuan
kekasihnya tersebut. Bukan
karena Nansa melarangnya merokok hanya saja Rafky ingin menghargai Nansa yang
tidak merokok. Hampir
2 batang rokok yang dihabiskan oleh Rafky ketika dirasakannya ada orang yang
duduk disampingnya. Rafky
menoleh sesaat kemudian membuang rokoknya.
“elu Sat, ngapain?”
“kaga bisa molor gua. Lu sendiri?”
“sama aja!!”, kata Rafky sambil
membuang pandangannya ke arah depan. Melihat kerlipan kota Bali.
“lagi ada masalah?”, Rafky menoleh
ke arah Satria. Mengapa Satria bisa bertanya seperti itu?
“hha? Masalah? Kaga ah. Ngaco lu!!”
“kirain bray!! Lagian muka lu
spaneng bener!!”
“masa? Biasa aja”
“oya? Emm, mau ikut gua kebawah
kaga? Ada
kolam tu di bawah. Kayaknya asik buat berendem!!”, tawar Satria semangat. Rafky
menimbang nimbang tawaran Satria sejenak.
“malem malem gini? Gila lu!!”, jawab
Rafky kemudian
“airnya anget sob!! Ntar badan lu
pasti enakan lha!! Jangan kayak banci lha!! Yok!!”, Rafky tetap menggeleng.
Namun karena Satria tetap memaksa, akhirnya Rafky menurut juga. Begitu sampai
di depan kolam tersebut dan Rafky sempat heran karena selama 2 hari disini dia
belum pernah melihat tempat ini, Satria tanpa malu malu langsung melepas semua
bajunya. Rafky sempat terpukau sesaat. Tubuh Satria sempurna, otot trisep
dan bisep yang sudah terbentuk begitu mengagumkan. Tubuh pria jantan. Rafky menggelengkan
kepalanya. Berusaha
sewajar mungkin menatap tubuh Satria yang polos.
“ikutan kaga lu? Aernya enak!!”,
Rafky ragu. Namun itu hanya sesaat karena setelahnya Rafky sudah ikut bergabung
bersama Satria didalam kolam.
***
Nansa terbangun saat mendengar
poselnya berbunyi. Siapa
coba yang iseng pagi pagi menelponnya? Dengan sedikit gregetan, Nansa
menyambar ponsel yang ada di atas meja di samping ranjang.
“hallo!!”, Nansa sedikit membentak
si penelpon yang dianggap Nansa kurang kerjaan.
“buset dah, galak amat”, Nansa
langsung bangun sepenuhnya begitu mendengar suara si penelpon.
“Andiiiiiiii!!!!!!!!!!!!!!!”, teriak
Nansa girang sambil turun dari ranjang. Menyambar celana piyamanya yang
tergeletak di sofa kemudian berjalan ke arah balkon.
“woey, pelan dikit manis. Bisa budeg
ni aku”, Nansa meringis pelan.
“sorry, kangen ni akunya. Gimana
Bandung?”
“baek baek aja, kok aku malah kaga
ditanya? Kamu gimana kabar? Masih sama Riri?”, Nansa mengangguk pelan walaupun
yakin Andi tidak mungkin melihatnya.
“baek, yup!! Masih, bentar lagi aku
bakal jadi adik iparmu!! Kamu gimana?”
“baek juga. Waduh, padahal aku masih
mengharapkanmu manis”
“gombal!! Ijin dulu sama yang
punya!!”
“iya, ntar aku ijin ke Riri mau
pinjem kamu sebulan”, Nansa tertawa terbahak.
“kenapa kaga mulai ngelirik Rehan?
Dia manis juga kok”, Nansa mulai sinting mencoba menawarkan Rehan.
“diamah terlalu gaul buat aku”,
kembali Nansa tertawa lebar mendengar jawaban Andi.
“udah sarapan?”, sambung Andi.
“belom, paling bentar lagi. Kamu?”
“barusan!! Pasti baru bangun kan?
Buruan gih sarapan!!”
“iya kakak ipar”, jawab Nansa sambil
tertawa pelan sebelum memutus teleponnya. Nansa masuk kedalam kamarnya lagi dan
baru sadar satu hal. Rafky
tidak ada. Sudah
bangunkah? Nansa
meragukan itu, bantal yang dipakai Rafky masih utuh. Tidak ada lekukan kepala
bekas orang tidur. Kemanakah
Rafky semalam? Perasaan
cerianya karena telepon dari Andi barusan luruh sudah.
“udah bangun yank?”, suara itu
mengagetkan Nansa. Rafky yang baru saja masuk langsung memeluk Nansa dari
belakang. Radar
Nansa langsung siaga. Aroma
ini, bukan aroma Rafky yang biasanya. Seluruh indra Nansa menegang. Berbagai
spekulasi bermunculan di benaknya. Aroma milik siapa ini?
“semalam lu kemana?”, itu seperti
bukan pertanyaan. Cara Nansa mengucapkannya sarat dengan tuduhan.
“Cuma jalan jalan keliling
penginapan. Jenuh
kaga bisa tidur”, Nansa berbalik dan menatap mata Rafky intens.
“sendirian?”, mata Rafky sedikit
berkedip sebelum menjawab.
“sendiri”, Nansa tahu Rafky
berbohong. Namun
Nansa tidak ingin membahas masalah ini lebih lanjut. Mereka sedang liburan,
Nansa tidak ingin merusak moment ini. Namun tetap saja hatinya gelisah.
Masih saja bertanya tanya, kemanakah Rafky semalam? Bersama siapa? Aroma itu jelas aroma
pria, hatinya serasa dicekik. Beberapa
adegan seperti berputar di otaknya. Bisikan bisikan yang mengatakan
Ririnya telah selingkuh pun turut mengganggunya. Nansa berusaha menepis
itu semua.
Namun kecurigaanya semakin menjalar
saat Nansa tanpa sengaja menabrak Satria. Aroma ini, Nansa ingat
aroma ini. Ya Tuhan, what’s going on?
“sorry”, kata Nansa tertahan.
Kecurigaan Nansa semakin besar saat Satria memandangnya dengan kikuk. Memandanya dengan
perasaan bersalah. Tanpa
menunggu jawaban dari Satria,
Nansa langsung berlari kembali ke penginapan. Disana Nansa menemukan
Rafky yang tengah duduk di sofa sambil membaca buku.
“jelasin!!”, Rafky sedikit tersentak ketika
dengan tiba tiba Nansa berteriak padanya.
“jelasin apaan?”
“semalam!! Satria!! Kalian melakukan
apa!! Jelaskan!!”, teriak Nansa hampir seperti orang gila.
“gua kaga ngerti”
“jangan sok bego!! Kalian having sex
kan?”, Nansa seperti tercekat saat mengucapkannya.
“Nan, hey. Darimana lu dapat
spekulasi seperti itu? gua semalam Cuma jalan jalan dan itu Cuma sendirian”,
kata Rafky sambil berusaha memeluk Nansa, namun dengan gahar Nansa menepisnya.
“bohong!! Liar!! You lie!!”, kali
ini emosi Nansa hampir tidak terkendali.
“yank, percaya sama gua ya? Please?”
“pembual!! Lu kira gua bego? Gua 4
tahun lebih sama lu!! Lu kira gua kaga hapal aroma badan lu!! Lu kira gua kaga
ngeh apa kalau lu lagi bohong? Ketahuan Raf!! Katahuan dengan jelas!! Kaga ada
gunanya lu tutup tutupin juga!!”, Rafky menunduk lesu.
“I’m sorry. Tapi kaga seperti yang
ada dalam bayangan lu Nan. Gua kaga pernah having sex dengan Satria”
“oya? Tapi lu masukin kontol lu ke
pantatnya kan? Apa itu sebutannya kalo bukan having sex? Hha? Senggama ya? Atau ngentot?! Hha?!”,
Rafky tidak menjawab pertanyaan kekasihnya yang sedang terbakar cemburu
tersebut. Namun dengan paksa menyeret Nansa. Nansa ingin memberontak,
namun tubuh kecilnya tidak mampu menandingi tenaga Rafky. Rafky dengan paksa
membawa Nansa ke penginapan sebelah. Tadinya Nansa ingin sekali teriak teriak,
“woey, lepasin gua woey!!”.Tapi teriakan teriakan itu Nansa urungkan. Karena kejadian Rafky
menarik paksa Nansa ini sudah sangat menarik perhatian. Apalagi ditambah Nansa
teriak teriak? Bisa
jadi mereka menjadi tontonan gratis. Dan Nansa sama sekali tidak Ingin di ingat
sebagai lelaki jalang. Halah!!
Nansa sedikit terkejut saat melihat
Satria dan Afif yang sedang berciuman. Mereka pun kaget saat Rafky tadi
dengan tanpa permisi membuka pintu penginapan mereka. Satria memperbaiki posisi
duduknya.
“sorry”, kata Afif dengan wajah
merah. Seharusnya yang mengucapkan kata maaf itu adalah Rafky atau Nansa. Namun sepertinya keduanya
sedang melupakan sopan santun itu.
“jelasin Sat kejadian semalem!!”,
Rafky berkata kepada Satria. Koreksi, membentak-jika dilihat dari intonasi yang
digunakan Rafky barusan. Satria
menaikkan alisnya bingung.
“semalem, lu sama gua yang di
kolam”, jelas Rafky sedikit jengkel karena Satria tak juga membuka mulutnya.
“jadi di kolam!! Bagus sangat!!”
“denger dulu!!”, Nansa mendengus
kesal mendapat teguran dari pacar yang sedang dicurigainya tengah berbuat
serong itu. Satria dan Afif cekikikan mendengar perdebatan mereka. Nansa semakin kesal, ya
Tuhan adakah yang sedikit saja bisa menunjukkan rasa simpatinya padaku? Jerit Nansa dalam hati.
“semalam gua sama Rafky Cuma ngobrol
doank. Kita sempat berendam bareng di kolam. Jujur, gua juga sedikit mengagumi
tubuh pacar lu itu. Tapi, gua kaga apa ya namanya? Main serong dengan pacar lu,
cowok manis. Suer!! Demi Tuhan”, ucap Satria sambil mengacungkan jari telunjuk
dan jari tengahnya membentuk huruf v.
“terus aroma lu yang nempel di tubuh
Rafky? Jangan harap lu bisa ingkar ya!!”, Nansa belum mau kalah. Tengsin dong
sudah berkata dengan pede dan ternyata itu salah.
“itu karena Rafky makek jaket gua,
jaket dia basah waktu di kolam”, Nansa memutar pandangannya ke arah kekasihnya
tersebut yang sedang cemberut. Ya Tuhan, apa yang harus gua lakukan sekarang?
Masa minta maaf? Gengsi gila gua!! Batin Nansa dalam hatinya. Hatinya saat ini sedang
berperang apakah harus minta maaf atau pura pura kejadian ini tidak pernah
terjadi dan berlalu begitu saja? Option kedua lebih menarik namun sama sekali
tidak sopan dan terdengar sedikit
arogan. Nansa mengambil nafas banyak banyak sebelum mengucapkan hal yang akan
sangat mempengaruhi harga dirinya.
“maafkan atas kesalahpahaman gua”,
Nansa menahan dirinya saat melihat Afif dan Satria terkikik. Uhhhhhhh!!
***
Nansa menatap Rafky sekali lagi. Seperti ingin meminta
kepastian sekali lagi. Karena apa yang diminta Rafky ini sedikit keterlaluan.
“yakin Ri?”, Nansa hanya mendapatkan
anggukan dari Rafky.
“ya, buka semua baju lu”
“tapi ini kan di pantai”, kata Nansa
lirih. Walaupun mereka terlindungi di balik karang, namun jika ada orang yang
menuju kesini dan melihat mereka bagaimana?
“katanya lu bakal nglakuin apa aja
yang gua mau sebagai permintaan maaf?”, Nansa mendengus kesal. Merasa menyesal
sudah berjanji seperti itu di depan Rafky kemarin. Sangat menyesal.
“ayo!! Atau gua dulu ni yang harus
telanjang?”, belum mendapat jawaban dari empunya yang ditanya Rafky sudah
menanggalkan seluruh pakaiannya. Dan berjalan ke arah dimana Nansa sedang
berdiri.
“ayo kita bercinta disini”, Nansa
ingin mengajukan keberatan namun bibirnya sudah dibungkam oleh Rafky. It’s Ardhinansa
Adiatama, bitch!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.