Terdengar suara Agnes Monica
berteriak teriak. Aku tahu, aku juga mendengarnya namun aku tidak
mempedulikannya. Demi Tuhan, aku masih ngantuk sekali. Semalam aku tidur jam
12. Dan aku hapal di luar kepala, jika Agnes sudah mulai berimprovisasi ini
tandanya sudah jam setengah enam pagi. Come on!! Bisakah waktu berhenti
sebentar? Aku ingin tidur barang lima menit. Sayang Tuhan tidak menjawab doaku.
Waktu tetap berjalan.
“hey kerbau!! Bangun!!”, mendengar
suara itu aku mengangkat kepalaku. Memandangnya seolah-olah dia makhluk luar
angkasa yang baru kali ini aku lihat.
“ada ulangan matematika, bahasa
inggris dan juga biologi, ingat?”, kali ini otakku bekerja dengan cepat!!
“shit!! Aku masih ngantuk!! Kenapa
baru bangunin sekarang?”, kataku cepat sambil mematikan alarm hapeku. Suara
improve ala Agnes langsung berhenti, aku jadi kasihan dengan usaha Agnes tadi
untuk membangunkanku. Usahanya nihil.
“aku baru nyampe ke kostan kamu,
eemm”, Denny melirik jam dinding yang
berada tepat di atas almariku. “ enam kurang lima belas”. Aku mendengus sebal
sebelum akhirnya keluar menuju kamar mandi.
“not now!!”, kamar mandi ternyata masih
antri. Sebenarnya di kost-kostan ini ada 2 kamar mandi, tapi yang satu dalam
tahap renovasi. Aku menghitung jumlah antrian yang ada. Masih ada mas Rahardian
dan Hendra. Jika mereka mandi 10 menit maka aku akan mandi kira kira enam lebih
15. Itupun kalo mereka tidak ada acara wajib di pagi hari you know what lha.
Jadi setelah terjadi perdebatan batin yang luar biasa, agak sedikit berlebihan
mungkin. Aku memilih untuk tidak mandi. Khusus hari ini. Hari libur tidak
dihitung ya.
Denny menatapku heran yang kembali
ke kamar kostan tanpa basah sedikitpun.
“tidak mandi? Gosok gigi? Cuci
muka?”, pertanyaannya sebenarnya wajar. Namun terkesan menyindir di kupingku.
“ntar di sekolah”, kataku cepat
sambil berganti pakaian.
“tidak ganti kolor juga”, kali ini
Denny tidak bertanya. Dia sepertinya sedang membuat kesimpulan. Aku berusaha
tidak menanggapi perkataan-perkataannya tentang betapa joroknya aku, atau
betapa aku sangat tidak menyadari pentingnya hidup bersih. Yang terpenting
bagiku sekarang adalah aku harus bisa mendapatkan sarapan. Hari ini ada
ulangan, seperti yang Denny katakan tadi. Dan sangat penting bagiku untuk
mengisi tenaga sebanyak mungkin. Setelah merasa penampilanku cukup sempurna
walaupun minus mandi, aku segera meraih tasku.
“ayo cabut!!”
“jangan meluk pinggang aku ntar,
kamu kaga mandi!!”, aku menoleh geram ke arahnya.
“tidak akan. Dan jangan mengharapkan
jatahmu ntar malam!!” aku membalas ancamannya. Dalam perjalanan ke sekolah, aku
sedikit berpikir. Sebenarnya apa yang Denny lihat dalam diriku sehingga
memilihku untuk menjadi kekasihnya. Bukan berarti aku jelek. Aku hanya biasa
saja. Tampang biasa, otak biasa, apalagi keuangan. Yang itu jangan ditanya. Itu
juga sangat biasa. Sedangkan Denny? Oke, dia memang bukan kapten team basket
yang gantengnya kaga ketulungan sampai membuat seisi sekolah memuja mujanya.
Dia juga bukan anak kaya raya yang mengendarai BMW ke sekolah. Namun dia
lumayan menarik. Kulitnya kecoklatan, badanya tegap dan walaupun dia perokok
tapi bibirnya manis. Jangan tanya warnanya, cowok perokok jelas bibirnya
berwarna hitam. Tapi aku suka. Setidaknya bagiku dia segalanya.
“mau ikut ke kantin?”, tawarku
sesaat setelah turun dari motornya.
“kaga, aku langsung ke kelas. Jangan
makan soto, gorengan juga!! Ini pagi hari!! Kaga bagus buat kesehatan”, aku
menatapnya heran. Dia selalu mengingatkanku akan kesehatan tapi dirinya sendiri
adalah perokok aktif. Satu hari dia bisa menghabiskan 2 bungkus.
Aku melangkah dengan gontai ke arah
kantin. Baru pukul 06.35, setidaknya aku masih punya waktu 15 menit untuk
sarapan. Aku menghampiri ibu Karyadi, salah satu pemilik kantin di sekolah ini.
“bu, nasi dong. Yang biasa, gak pake
sambel!”
“gorengannya? Masih anget anget lho
Gan, baru mateng!”, sebenarnya aku cukup tergoda mengingat aku adalah penggila
gorengan sejati. Tapi mengingat pesan Denny tadi aku jadi urung memakan
gorengan di pagi hari.
“ntar aja bu pas istirahat siang.
Sisain buat aku ya!!” setidaknya walaupun bu Karyadi tidak memenangkan
penghargaan gorengan of the year, namun gorengan bu Karyadi emang maknyus abis.
Kaga heran kalo di istirahat pertama biasanya gorengannya sudah ludes. Aku
makan dengan santai, menikmati suap demi suap nasi yang masuk ke dalam mulutku.
Sebenarnya ancamanku tadi untuk Denny tidak begitu berpengaruh, karena pada dasarnya
aku dan Denny memang belum melakukan itu. Entahlah, aku sama sekali belum
kepikiran untuk ‘ya, gitu gitu’ lha dengan Denny. Beberapa kali Denny pernah
memancingku, namun selalu gagal di tengah tengah. Dan kegagalan itu sepenuhnya
terletak padaku. Aku selalu bergidik ngeri kalau kita berdua sudah sama sama
telanjang. Entahlah aku juga kurang tahu dengan kondisiku.
Setelah selesai sarapan dan
membayarnya, aku langsung menuju kelas. Semua anak di dalam kelasku tampak
sibuk. Dan yang pasti mereka semua menggenggam buku di tangannya masing masing.
Padahal sebenarnya kalau di telaah, mereka sama sekali jauh dari kata belajar.
Seperti yang dilakukan Ani, Ayu dan Puspita di pojokkan. Mereka, seperti yang
kukatakan tadi menggenggam buku namun mereka malah asyik ngobrol tentang betapa
cakepnya si A dalam sinetron si B tadi malam. Dan mereka membicarakannya dengan
gaya seolah olah mereka sedang membicarakan nasib bangsa Indonesia di tahun
2012. Demi Tuhan!!
Lain lagi dengan gerombolan cowok
cowok di bangku belakang yang asyik membicarakan balapan moto GP kemaren sore.
Dan segerombolan, eem cowok apa ya sebutan paling enak untuk mereka. Feminim
mungkin. Mereka tengah asik bergosip sambil sesekali melirik Beno, cowok paling
keren di kelasku. Aku menghampiri Denny yang tengah asyik membaca buku
biologinya sambil mendengarkan music lewat headsetnya. Aku mengambil satu lalu
memasangkannya pada telingaku. Denny tidak bergeming, masih asyik dengan
bacaannya. Dia memang bukan anak berprestasi yang selalu masuk 3 besar. Namun
setidaknya Denny tidak mengecewakan dalam akademiknya.
“bab mana yang bakal keluar?”, oke
pertanyaan ini memang agak keterlaluan. Tapi jujur aku memang tidak belajar
semalam dan ya, minggu kemaren aku asyik bercanda dengan anak anak belakang
sehingga tidak begitu paham dengan apa yang disampaikan oleh Bu Frisca, guru
biologi di sekolahku. Tapi paling tidak, aku ingat bahwa hari ini ada ulangan
saja itu sudah prestasi yang sangat luar biasa. Sebenarnya aku juga lupa kalau
hari ini ada ulangan, Denny mengingatkanku emm . . . tadi pagi. Denny melepas
headsetnya lalu menoleh ke arahku. Dia menatapku, emm kalo boleh ku artikan
mungkin seperti ‘aku-mungkin-sudah-gila-punya-pacar-seperti-ini’. Kurang lebih
seperti itu.
“bab 5. Dan kalaupun kamu mau
belajar sudah terlambat. Bel masuk barusan bunyi”, kata Denny sambil memasukkan
headsetnya ke dalam tas.
“setidaknya aku tahu halaman mana
yang harus aku buka nanti saat ulangan berlangsung. Dan lebih ada kamu. Aku
mengandalkanmu”, mendengar ucapanku Denny kembali menatapku. Lebih tajam dan
lebih garang. Dulu aku gentar dengan tatapan menusuk ala Denny seperti sekarang
ini. Tapi itu dulu, sekarang setelah hampir satu bulan jadian aku sudah mulai
terbiasa.
“jangan harap! Kerjain sendiri!”,
aku hapal dengan tingkahnya ini. Walaupun berkata begitu toh nanti dia juga
akan membantuku. Aku yakin, karena biasanya memang begitu. Ibu Frisca masuk
setelah 5 menit bel masuk. Hari ini pun Bu Frisca masih dengan stylenya yang
‘bu Frisca banget’. Bandonya pink, jam tangannya pink, lipstiknya juga pink dan
sepatunya pun pink. Untung sekolahku menerapkan seragam juga untuk guru-gurunya,
kalo tidak mungkin bu Frisca akan mengenakan setelan pink.
“selamat pagi anak anak”
“pagi buuuu!!”, kor kelas terdengar.
Dan herannya, selalu tampak kompak padahal tidak ada dirigennya.
“sudah siap untuk ulangan?”, kali
ini tidak ada kor lagi yang bunyinya “siap buuu”. Namun yang muncul malah
alasan alasan supaya ulangan dibatalkan. Seperti mereka masih belum mengerti
materinya lha, semalam kurang belajar karena mati listrik lha. Yah, alasan
klasik ala anak SMA.
“oke, sebelum ulangan ibu akan
memperkenalkan anak baru. Radit, ayo masuk!!”, sepertinya usaha anak-anak di
kelasku untuk membuat bu Frisca membatalkan niat jahatnya memberi ulangan
gagal. Anak yang dipanggil Radit oleh bu Frisca tadi masuk dengan santai. Cukup
tampan, setidaknya dia punya nilai lebih jika dibandingkan dengan, aku
mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas. Anak-anak di kelasku. Beno
dan Denny tidak masuk hitungan.
“ayo, perkenalkan diri kamu Radit”,
kata Bu Frisca ramah.
“iya bu. Teman teman, nama saya
Raditya Putra. Saya dari Semarang”. Anak-anak sekelasku sudah sangat antusias,
mengingat moment ini bisa dipakai untuk membuat ulangan ditunda untuk waktu
yang tidak di tentukan. Namun sekali lagi sayang, sepertinya Bu Frisca sudah
mengantisipasi hal itu.
“untuk bertanya-tanya tentang Radit
bisa di lanjutkan nanti. Sekarang siapkan selembar kertas di atas meja. Oya,
untuk Radit kamu boleh tidak ulangan hari ini”
“huuuuuuuuuuu”, kor kompak dari
kelasku terdengar lagi. Tanpa membuang waktu Bu Frisca langsung membagi bagikan
kertas soal. Dan yang khas dari anak SMA lagi adalah, begitu mereka menerima
soal ulangan mereka, mereka langsung kasak kusuk. Ada yang mengeluh lha, ada
yang bersorak sorak karena merasa soalnya gampang lha dan ada yang langsung
mengerjakan. Sayangnya aku tidak masuk dalam tiga kategori tadi. Setelah
membaca soalnya, aku tahu bahwa aku sama sekali tidak bisa mengerjakan. Namun
aku tidak mengeluh. Percuma saja, buang buang waktu. Mending aku pergunakan
untuk mulai melancarkan aksiku. Pelan pelan aku buka buku paket yang tersimpan
rapi didalam laci mejaku. Aksi menyalin pun dimulai. Tidak terlalu sulit karena
bu Frisca pasti sudah sibuk dengan BBnya. Sesekali Denny melihatku lalu
menggeleng gelengkan kepalanya.
***
Aku menghabiskan jam istirahat kedua
ini didalam kelas. Siap-siap untuk ulangan bahasa Inggris ntar. Baru juga 1
halaman terbaca, Beno sudah menggangguku. Mungkin aku belom cerita, kenapa aku
bisa tidak jatuh hati pada cowok paling keren di kelasku ini. Jawabannya
sebentar lagi.
“hei Gani, kalo lu diperhatiin orang
meskipun diem diem. Kira kira lu bakal kerasa kaga?”, see? Dia selalu
mengajukan pertanyaan aneh bin ajaib. Kemaren dia bertanya kurang lebih seperti
ini;
B : “lu tau gak kalo kakak gua itu
satu satunya sodara cowok yang gua punya”
G : (menjawab dengan bingung) mm..
iya, lu pernah cerita waktu itu”
B : “bagus kalo lu uda tau”
Setelah itu Beno melenggang santai.
Dan sekarang aku yakin dia juga akan mengajukan pertanyaan yang unbelievable
lagi. Terbukti dari pertanyaanya tadi.
“gak deh kayaknya”, jawabku
menanggapi satu pertanyaan aneh dari seribu pertanyaan yang pernah dia tanya ke
aku.
“kalo itu orang merhatiin lu tiap
hari?”, kejar Beno.
“ooh, kalo tiap hari ya pasti bakal
kerasa lha. Walau Cuma sedikit mungkin”, bodohnya aku, aku selalu menanggapi
semua pertanyaan anehnya.
“pasti terasa, ya? Meskipun
sedikit,” Beno menegaskan jawabanku. “oke!!”, Beno mengangguk lalu seperti
kemaren kemaren, ia pergi begitu saja.
Karena kelasku baru saja 2 jam full pelajaran matematika dan
2 jam ulangan matematika juga. Di cekoki rumus-rumus dan angka-angka. Jangan
lupakan juga ulangan biologi tadi pagi, aku menyimpulkan bahwa . . . Beno
mabok! Dan itu juga berarti tu cowok IQnya dibawah rata rata. Masalahnya, aku
saja yang otaknya kaga encer tidak sedesperate itu kok.
Tidak selang berapa lama Denny masuk
sambil membawa es teh di dalam plastic. Jika jam istirahat kedua, Denny selalu menghabiskannya
untuk bermain basket di lapangan depan kelasku. Saat dia merebahkan tubuhnya
duduk disampingku, bau tubuhnya langsung menyergap hidungku. Dan aku menyukai
aroma tubuhnya. Entah kenapa itu membuatku candu. Tanpa kuminta Denny langsung
menyodorkan es tehnya. Aku memang sedang butuh yang segar segar, mengingat
ulangan matematika tadi yang sulitnya hanya Tuhan yang tahu. Ditambah lagi
dengan pertanyaan pertanyaan aneh Beno.
“aus banget ya beib?”, aku tahu
pasti kelas dalam keadaan kosong. Karena kalau gak, kaga bakalan mungkin Denny
memanggilku seperti tadi.
“he em”, jawabku singkat sambil
kembali fokus pada buku catatan inggrisku. Setidaknya kali ini aku akan mengurangi
kadar mencontekku. Mungkin nanti aku akan mencontek soal yang tidak bisa saja.
Kalaupun semua soalnya tidak bisa aku kerjakan, itu bukan salahku. Salah
gurunya, siapa suruh bikin soal susah susah. Itu kan sama saja memojokkanku
buat nyontek lagi.
***
Aku mulai membenahi semua barang
barang yang ada di atas mejaku. Jangan tanya soal ulangan bahasa Inggris tadi
kalau kalian tidak ingin membangkitkan emosiku. Memasukkannya ke dalam tasku
lalu mulai merapikan mejaku. Ini sudah bener belum sih? Merapikan dulu baru
dimasukkan? Atau memasukkan dulu baru dirapikan? Ya tergantung selera kalian
sajalah.
“aku gak bisa nganter kamu pulang
hari ini”, aku yang tengah sibuk dengan urusan merapikan mejaku langsung
mendongakkan kepalaku. Menatap Denny dengan pertanyaan ‘why?’ lewat mataku.
“aku ada latihan basket.
Pertandingan antar SMA kan udah deket banget. Maaf ya? Kamu berani kan pulang
sendiri?” Denny memasang tampang memelas. Kalau pertanyaannya berani kaga
pulang sendiri, ya jelas berani lha. Sebenarnya yang patut dipertanyakan
adalah, aku kecewa gak dengan permohonannya tadi. Bukan apa apa, tapi kemaren
kita udah bikin kesepakatan bahwa hari ini kita bakalan bahas kita mau ngapain
saat ulang bulan kita yang pertama.
“it’s okay” jawabku pendek.
“see you ya, ntar malem aku ke
kostan kamu” Denny langsung ngibrit setelah mengucapkan janji dustanya. Aku
mengambil nafas dalam dalam sebelum akhirnya bangkit dari tempat dudukku dan
keluar dari kelas. Ini ni yang paling aku tidak suka, pulang sekolah
sendirian!! Dulu sebelum aku pacaran dengan Denny, aku selalu pulang bareng
bareng. Nongkrong nongkrong di terminal tempat tunggu bus, atau kalau gak
godain cewek cewek yang lewat. Kalau untuk yang ini dulu aku terpaksa
ngelakuinnya. Ingat, aku kan kaga suka cewek. Tapi setelah pacaran dengan Denny
sepertinya aku sudah sangat jarang pulang bareng lagi bersama genku. Baru saja
nyampe gerbang sekolah, ada yang menepuk pundakku dari belakang.
“hei, kamu temen sekelasku kan?” Aku
menoleh, lalu tersenyum ringan.
“Radit, ya. Lu mau pulang ya?”
Tanyaku balik. Dia memandangiku agak lama, sebenarnya agak risih juga
dipandangi lekat-lekat seperti itu.
“nama kamu, kalau boleh aku tahu,”
Shit!! Pantesan dia liatin aku nya lama banget. Mungkin dia berpikir gini kali
ya ‘ni anak kaga tau sopan santun apa ya?’, mungkin.
“Gani.” Aku tersenyum masam sambil
mengulurkan tanganku. Berasa konyol sendiri.
“hehe, aku udah tahu. Kan tadi guru
guru udah ngabsen nama nama anak sekelas. Pulang kemana Gan?” Radit bertanya
dengan balas menggenggam uluran tanganku. Sialan ni anak. Kalau uda tahu namaku
ngapain juga tadi dia nanya. Bego atau agak pikun ya? Aneh mungkin? Ganteng
ganteng kok aneh. Aku lalu menyebutkan daerah tempat tinggalku.
“bareng aja kalo gitu, kita searah
kok.” Kali ini keningku mengkerut
lumayan dalam. Aku melihatnya dengan seksama. Radit sama sekali tidak
nampak membawa kendaraan. Motor, mobil atau bahkan sepeda sekalipun. Jadi
maksut dia mungkin kita bareng jalan kakinya, trus naek busnya karena dia belum
hapal daerah sini. Aku secara luar biasa mengambil kesimpulan sendiri.
“tenang aja, aku dijemput kok. Kita
ntar naek mobilku.” Kata Radit menjawab pertanyaan pertanyaan yang berputar di
otakku. Aku hanya bisa ber’ooo’ ria. Ternyata Radit orangnya asik juga.
Seenggaknya dia humoris, dan tau betul cara membuat orang tertawa. Tidak butuh
waktu lama untuk aku akrab sama dia. Selang beberapa menit kemudian sebuah
mobil New Honda Jazz menepi.
“ayo mamaku uda jemput tu.” Keningku
sekarang sukses berkerut semakin dalam. Hari gini masih ada ya anak laki laki
sudah kelas 2 SMA di jemput ibunya? Aku mencoba berpikir positif, mungkin
ibunya masih khawatir kali kalau anaknya itu nantinya tersesat. Mereka kan
orang baru. Aku berkenalan secara singkat dengan ibunya Radit. Walaupun usianya
sudah menginjak 40 tahun, namun ternyata ibunya Radit masih cantik. Selain itu,
juga sesekali masih bisa menimpali pembicaraanku dengan Radit.
“makasih tante udah nebengin aku
pulang.” Kataku sambil turun dari mobil.
“sama-sama Gani, tante juga terima
kasih nak Gani mau berteman dengan Radit.” Lho? Kok aneh banget. Bukannya
berteman itu wajar ya? Kenapa harus mengucapkan terima kasih segala. Aneh nih.
Ibu sama anak sama-sama anehnya.
Aku hanya membalasnya dengan senyum
ringan sebelum akhirnya menutup pintu mobilnya dan berjalan ke arah kos
kostanku. Baru aku memasukkan anak kunciku ke pintu aku sudah dikagetkan dengan
kehadiran Radit yang menepuk ringan pundakku. Ini anak kayaknya hobi banget
nepuk pundak.
“lho? Ngapain?” tanyaku bingung.
Maksutku, bukannya dia seharusnya pulang ya bareng ibunya?
“boleh mampir sebentar kan? Lagian
rumahku Cuma di gang sebelah kok, jalan kaki juga deket.” Karena kaget aku
hanya bisa menganggukan kepalaku. Sumpah, ini anak aneh banget.
Tbc. . .
Total ada 14 chapter,.
Bakal aku update lima hari sekali,.
Enjoy it,.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDi TUNGGU part selanjutnya!! Good Job //
BalasHapuskunjungan pertama, cinta dibagi tiganya lumayan... :D but, keep posting aja biar tambah bagus. rayrowling
BalasHapusiya,.
BalasHapusmakasih,.