FOLLOW ME

Selasa, 01 Januari 2013

CINTAKU DIBAGI TIGA chapter one


Terdengar suara Agnes Monica berteriak teriak. Aku tahu, aku juga mendengarnya namun aku tidak mempedulikannya. Demi Tuhan, aku masih ngantuk sekali. Semalam aku tidur jam 12. Dan aku hapal di luar kepala, jika Agnes sudah mulai berimprovisasi ini tandanya sudah jam setengah enam pagi. Come on!! Bisakah waktu berhenti sebentar? Aku ingin tidur barang lima menit. Sayang Tuhan tidak menjawab doaku. Waktu tetap berjalan.
“hey kerbau!! Bangun!!”, mendengar suara itu aku mengangkat kepalaku. Memandangnya seolah-olah dia makhluk luar angkasa yang baru kali ini aku lihat.
“ada ulangan matematika, bahasa inggris dan juga biologi, ingat?”, kali ini otakku bekerja dengan cepat!!
“shit!! Aku masih ngantuk!! Kenapa baru bangunin sekarang?”, kataku cepat sambil mematikan alarm hapeku. Suara improve ala Agnes langsung berhenti, aku jadi kasihan dengan usaha Agnes tadi untuk membangunkanku. Usahanya nihil.
“aku baru nyampe ke kostan kamu, eemm”,  Denny melirik jam dinding yang berada tepat di atas almariku. “ enam kurang lima belas”. Aku mendengus sebal sebelum akhirnya keluar menuju kamar mandi.
“not now!!”, kamar mandi ternyata masih antri. Sebenarnya di kost-kostan ini ada 2 kamar mandi, tapi yang satu dalam tahap renovasi. Aku menghitung jumlah antrian yang ada. Masih ada mas Rahardian dan Hendra. Jika mereka mandi 10 menit maka aku akan mandi kira kira enam lebih 15. Itupun kalo mereka tidak ada acara wajib di pagi hari you know what lha. Jadi setelah terjadi perdebatan batin yang luar biasa, agak sedikit berlebihan mungkin. Aku memilih untuk tidak mandi. Khusus hari ini. Hari libur tidak dihitung ya.
Denny menatapku heran yang kembali ke kamar kostan tanpa basah sedikitpun.
“tidak mandi? Gosok gigi? Cuci muka?”, pertanyaannya sebenarnya wajar. Namun terkesan menyindir di kupingku.
“ntar di sekolah”, kataku cepat sambil berganti pakaian.
“tidak ganti kolor juga”, kali ini Denny tidak bertanya. Dia sepertinya sedang membuat kesimpulan. Aku berusaha tidak menanggapi perkataan-perkataannya tentang betapa joroknya aku, atau betapa aku sangat tidak menyadari pentingnya hidup bersih. Yang terpenting bagiku sekarang adalah aku harus bisa mendapatkan sarapan. Hari ini ada ulangan, seperti yang Denny katakan tadi. Dan sangat penting bagiku untuk mengisi tenaga sebanyak mungkin. Setelah merasa penampilanku cukup sempurna walaupun minus mandi, aku segera meraih tasku.
“ayo cabut!!”
“jangan meluk pinggang aku ntar, kamu kaga mandi!!”, aku menoleh geram ke arahnya.
“tidak akan. Dan jangan mengharapkan jatahmu ntar malam!!” aku membalas ancamannya. Dalam perjalanan ke sekolah, aku sedikit berpikir. Sebenarnya apa yang Denny lihat dalam diriku sehingga memilihku untuk menjadi kekasihnya. Bukan berarti aku jelek. Aku hanya biasa saja. Tampang biasa, otak biasa, apalagi keuangan. Yang itu jangan ditanya. Itu juga sangat biasa. Sedangkan Denny? Oke, dia memang bukan kapten team basket yang gantengnya kaga ketulungan sampai membuat seisi sekolah memuja mujanya. Dia juga bukan anak kaya raya yang mengendarai BMW ke sekolah. Namun dia lumayan menarik. Kulitnya kecoklatan, badanya tegap dan walaupun dia perokok tapi bibirnya manis. Jangan tanya warnanya, cowok perokok jelas bibirnya berwarna hitam. Tapi aku suka. Setidaknya bagiku dia segalanya.
“mau ikut ke kantin?”, tawarku sesaat setelah turun dari motornya.
“kaga, aku langsung ke kelas. Jangan makan soto, gorengan juga!! Ini pagi hari!! Kaga bagus buat kesehatan”, aku menatapnya heran. Dia selalu mengingatkanku akan kesehatan tapi dirinya sendiri adalah perokok aktif. Satu hari dia bisa menghabiskan 2 bungkus.
Aku melangkah dengan gontai ke arah kantin. Baru pukul 06.35, setidaknya aku masih punya waktu 15 menit untuk sarapan. Aku menghampiri ibu Karyadi, salah satu pemilik kantin di sekolah ini.
“bu, nasi dong. Yang biasa, gak pake sambel!”
“gorengannya? Masih anget anget lho Gan, baru mateng!”, sebenarnya aku cukup tergoda mengingat aku adalah penggila gorengan sejati. Tapi mengingat pesan Denny tadi aku jadi urung memakan gorengan di pagi hari.
“ntar aja bu pas istirahat siang. Sisain buat aku ya!!” setidaknya walaupun bu Karyadi tidak memenangkan penghargaan gorengan of the year, namun gorengan bu Karyadi emang maknyus abis. Kaga heran kalo di istirahat pertama biasanya gorengannya sudah ludes. Aku makan dengan santai, menikmati suap demi suap nasi yang masuk ke dalam mulutku. Sebenarnya ancamanku tadi untuk Denny tidak begitu berpengaruh, karena pada dasarnya aku dan Denny memang belum melakukan itu. Entahlah, aku sama sekali belum kepikiran untuk ‘ya, gitu gitu’ lha dengan Denny. Beberapa kali Denny pernah memancingku, namun selalu gagal di tengah tengah. Dan kegagalan itu sepenuhnya terletak padaku. Aku selalu bergidik ngeri kalau kita berdua sudah sama sama telanjang. Entahlah aku juga kurang tahu dengan kondisiku.
Setelah selesai sarapan dan membayarnya, aku langsung menuju kelas. Semua anak di dalam kelasku tampak sibuk. Dan yang pasti mereka semua menggenggam buku di tangannya masing masing. Padahal sebenarnya kalau di telaah, mereka sama sekali jauh dari kata belajar. Seperti yang dilakukan Ani, Ayu dan Puspita di pojokkan. Mereka, seperti yang kukatakan tadi menggenggam buku namun mereka malah asyik ngobrol tentang betapa cakepnya si A dalam sinetron si B tadi malam. Dan mereka membicarakannya dengan gaya seolah olah mereka sedang membicarakan nasib bangsa Indonesia di tahun 2012. Demi Tuhan!!
Lain lagi dengan gerombolan cowok cowok di bangku belakang yang asyik membicarakan balapan moto GP kemaren sore. Dan segerombolan, eem cowok apa ya sebutan paling enak untuk mereka. Feminim mungkin. Mereka tengah asik bergosip sambil sesekali melirik Beno, cowok paling keren di kelasku. Aku menghampiri Denny yang tengah asyik membaca buku biologinya sambil mendengarkan music lewat headsetnya. Aku mengambil satu lalu memasangkannya pada telingaku. Denny tidak bergeming, masih asyik dengan bacaannya. Dia memang bukan anak berprestasi yang selalu masuk 3 besar. Namun setidaknya Denny tidak mengecewakan dalam akademiknya.
“bab mana yang bakal keluar?”, oke pertanyaan ini memang agak keterlaluan. Tapi jujur aku memang tidak belajar semalam dan ya, minggu kemaren aku asyik bercanda dengan anak anak belakang sehingga tidak begitu paham dengan apa yang disampaikan oleh Bu Frisca, guru biologi di sekolahku. Tapi paling tidak, aku ingat bahwa hari ini ada ulangan saja itu sudah prestasi yang sangat luar biasa. Sebenarnya aku juga lupa kalau hari ini ada ulangan, Denny mengingatkanku emm . . . tadi pagi. Denny melepas headsetnya lalu menoleh ke arahku. Dia menatapku, emm kalo boleh ku artikan mungkin seperti ‘aku-mungkin-sudah-gila-punya-pacar-seperti-ini’. Kurang lebih seperti itu.
“bab 5. Dan kalaupun kamu mau belajar sudah terlambat. Bel masuk barusan bunyi”, kata Denny sambil memasukkan headsetnya ke dalam tas.
“setidaknya aku tahu halaman mana yang harus aku buka nanti saat ulangan berlangsung. Dan lebih ada kamu. Aku mengandalkanmu”, mendengar ucapanku Denny kembali menatapku. Lebih tajam dan lebih garang. Dulu aku gentar dengan tatapan menusuk ala Denny seperti sekarang ini. Tapi itu dulu, sekarang setelah hampir satu bulan jadian aku sudah mulai terbiasa.
“jangan harap! Kerjain sendiri!”, aku hapal dengan tingkahnya ini. Walaupun berkata begitu toh nanti dia juga akan membantuku. Aku yakin, karena biasanya memang begitu. Ibu Frisca masuk setelah 5 menit bel masuk. Hari ini pun Bu Frisca masih dengan stylenya yang ‘bu Frisca banget’. Bandonya pink, jam tangannya pink, lipstiknya juga pink dan sepatunya pun pink. Untung sekolahku menerapkan seragam juga untuk guru-gurunya, kalo tidak mungkin bu Frisca akan mengenakan setelan pink.
“selamat pagi anak anak”
“pagi buuuu!!”, kor kelas terdengar. Dan herannya, selalu tampak kompak padahal tidak ada dirigennya.
“sudah siap untuk ulangan?”, kali ini tidak ada kor lagi yang bunyinya “siap buuu”. Namun yang muncul malah alasan alasan supaya ulangan dibatalkan. Seperti mereka masih belum mengerti materinya lha, semalam kurang belajar karena mati listrik lha. Yah, alasan klasik ala anak SMA.
“oke, sebelum ulangan ibu akan memperkenalkan anak baru. Radit, ayo masuk!!”, sepertinya usaha anak-anak di kelasku untuk membuat bu Frisca membatalkan niat jahatnya memberi ulangan gagal. Anak yang dipanggil Radit oleh bu Frisca tadi masuk dengan santai. Cukup tampan, setidaknya dia punya nilai lebih jika dibandingkan dengan, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas. Anak-anak di kelasku. Beno dan Denny tidak masuk hitungan.
“ayo, perkenalkan diri kamu Radit”, kata Bu Frisca ramah.
“iya bu. Teman teman, nama saya Raditya Putra. Saya dari Semarang”. Anak-anak sekelasku sudah sangat antusias, mengingat moment ini bisa dipakai untuk membuat ulangan ditunda untuk waktu yang tidak di tentukan. Namun sekali lagi sayang, sepertinya Bu Frisca sudah mengantisipasi hal itu.
“untuk bertanya-tanya tentang Radit bisa di lanjutkan nanti. Sekarang siapkan selembar kertas di atas meja. Oya, untuk Radit kamu boleh tidak ulangan hari ini”
“huuuuuuuuuuu”, kor kompak dari kelasku terdengar lagi. Tanpa membuang waktu Bu Frisca langsung membagi bagikan kertas soal. Dan yang khas dari anak SMA lagi adalah, begitu mereka menerima soal ulangan mereka, mereka langsung kasak kusuk. Ada yang mengeluh lha, ada yang bersorak sorak karena merasa soalnya gampang lha dan ada yang langsung mengerjakan. Sayangnya aku tidak masuk dalam tiga kategori tadi. Setelah membaca soalnya, aku tahu bahwa aku sama sekali tidak bisa mengerjakan. Namun aku tidak mengeluh. Percuma saja, buang buang waktu. Mending aku pergunakan untuk mulai melancarkan aksiku. Pelan pelan aku buka buku paket yang tersimpan rapi didalam laci mejaku. Aksi menyalin pun dimulai. Tidak terlalu sulit karena bu Frisca pasti sudah sibuk dengan BBnya. Sesekali Denny melihatku lalu menggeleng gelengkan kepalanya.
***


Aku menghabiskan jam istirahat kedua ini didalam kelas. Siap-siap untuk ulangan bahasa Inggris ntar. Baru juga 1 halaman terbaca, Beno sudah menggangguku. Mungkin aku belom cerita, kenapa aku bisa tidak jatuh hati pada cowok paling keren di kelasku ini. Jawabannya sebentar lagi.
“hei Gani, kalo lu diperhatiin orang meskipun diem diem. Kira kira lu bakal kerasa kaga?”, see? Dia selalu mengajukan pertanyaan aneh bin ajaib. Kemaren dia bertanya kurang lebih seperti ini;
B : “lu tau gak kalo kakak gua itu satu satunya sodara cowok yang gua punya”
G : (menjawab dengan bingung) mm.. iya, lu pernah cerita waktu itu”
B : “bagus kalo lu uda tau”
Setelah itu Beno melenggang santai. Dan sekarang aku yakin dia juga akan mengajukan pertanyaan yang unbelievable lagi. Terbukti dari pertanyaanya tadi.
“gak deh kayaknya”, jawabku menanggapi satu pertanyaan aneh dari seribu pertanyaan yang pernah dia tanya ke aku.
“kalo itu orang merhatiin lu tiap hari?”, kejar Beno.
“ooh, kalo tiap hari ya pasti bakal kerasa lha. Walau Cuma sedikit mungkin”, bodohnya aku, aku selalu menanggapi semua pertanyaan anehnya.
“pasti terasa, ya? Meskipun sedikit,” Beno menegaskan jawabanku. “oke!!”, Beno mengangguk lalu seperti kemaren kemaren, ia pergi begitu saja.
Karena kelasku  baru saja 2 jam full pelajaran matematika dan 2 jam ulangan matematika juga. Di cekoki rumus-rumus dan angka-angka. Jangan lupakan juga ulangan biologi tadi pagi, aku menyimpulkan bahwa . . . Beno mabok! Dan itu juga berarti tu cowok IQnya dibawah rata rata. Masalahnya, aku saja yang otaknya kaga encer tidak sedesperate itu kok.
Tidak selang berapa lama Denny masuk sambil membawa es teh di dalam plastic. Jika jam istirahat kedua, Denny selalu menghabiskannya untuk bermain basket di lapangan depan kelasku. Saat dia merebahkan tubuhnya duduk disampingku, bau tubuhnya langsung menyergap hidungku. Dan aku menyukai aroma tubuhnya. Entah kenapa itu membuatku candu. Tanpa kuminta Denny langsung menyodorkan es tehnya. Aku memang sedang butuh yang segar segar, mengingat ulangan matematika tadi yang sulitnya hanya Tuhan yang tahu. Ditambah lagi dengan pertanyaan pertanyaan aneh Beno.
“aus banget ya beib?”, aku tahu pasti kelas dalam keadaan kosong. Karena kalau gak, kaga bakalan mungkin Denny memanggilku seperti tadi.
“he em”, jawabku singkat sambil kembali fokus pada buku catatan inggrisku. Setidaknya kali ini aku akan mengurangi kadar mencontekku. Mungkin nanti aku akan mencontek soal yang tidak bisa saja. Kalaupun semua soalnya tidak bisa aku kerjakan, itu bukan salahku. Salah gurunya, siapa suruh bikin soal susah susah. Itu kan sama saja memojokkanku buat nyontek lagi.
***

Aku mulai membenahi semua barang barang yang ada di atas mejaku. Jangan tanya soal ulangan bahasa Inggris tadi kalau kalian tidak ingin membangkitkan emosiku. Memasukkannya ke dalam tasku lalu mulai merapikan mejaku. Ini sudah bener belum sih? Merapikan dulu baru dimasukkan? Atau memasukkan dulu baru dirapikan? Ya tergantung selera kalian sajalah.
“aku gak bisa nganter kamu pulang hari ini”, aku yang tengah sibuk dengan urusan merapikan mejaku langsung mendongakkan kepalaku. Menatap Denny dengan pertanyaan ‘why?’ lewat mataku.
“aku ada latihan basket. Pertandingan antar SMA kan udah deket banget. Maaf ya? Kamu berani kan pulang sendiri?” Denny memasang tampang memelas. Kalau pertanyaannya berani kaga pulang sendiri, ya jelas berani lha. Sebenarnya yang patut dipertanyakan adalah, aku kecewa gak dengan permohonannya tadi. Bukan apa apa, tapi kemaren kita udah bikin kesepakatan bahwa hari ini kita bakalan bahas kita mau ngapain saat ulang bulan kita yang pertama.
“it’s okay” jawabku pendek.
“see you ya, ntar malem aku ke kostan kamu” Denny langsung ngibrit setelah mengucapkan janji dustanya. Aku mengambil nafas dalam dalam sebelum akhirnya bangkit dari tempat dudukku dan keluar dari kelas. Ini ni yang paling aku tidak suka, pulang sekolah sendirian!! Dulu sebelum aku pacaran dengan Denny, aku selalu pulang bareng bareng. Nongkrong nongkrong di terminal tempat tunggu bus, atau kalau gak godain cewek cewek yang lewat. Kalau untuk yang ini dulu aku terpaksa ngelakuinnya. Ingat, aku kan kaga suka cewek. Tapi setelah pacaran dengan Denny sepertinya aku sudah sangat jarang pulang bareng lagi bersama genku. Baru saja nyampe gerbang sekolah, ada yang menepuk pundakku dari belakang.
“hei, kamu temen sekelasku kan?” Aku menoleh, lalu tersenyum ringan.
“Radit, ya. Lu mau pulang ya?” Tanyaku balik. Dia memandangiku agak lama, sebenarnya agak risih juga dipandangi lekat-lekat seperti itu.
“nama kamu, kalau boleh aku tahu,” Shit!! Pantesan dia liatin aku nya lama banget. Mungkin dia berpikir gini kali ya ‘ni anak kaga tau sopan santun apa ya?’, mungkin.
“Gani.” Aku tersenyum masam sambil mengulurkan tanganku. Berasa konyol sendiri.
“hehe, aku udah tahu. Kan tadi guru guru udah ngabsen nama nama anak sekelas. Pulang kemana Gan?” Radit bertanya dengan balas menggenggam uluran tanganku. Sialan ni anak. Kalau uda tahu namaku ngapain juga tadi dia nanya. Bego atau agak pikun ya? Aneh mungkin? Ganteng ganteng kok aneh. Aku lalu menyebutkan daerah tempat tinggalku.
“bareng aja kalo gitu, kita searah kok.” Kali ini keningku mengkerut  lumayan dalam. Aku melihatnya dengan seksama. Radit sama sekali tidak nampak membawa kendaraan. Motor, mobil atau bahkan sepeda sekalipun. Jadi maksut dia mungkin kita bareng jalan kakinya, trus naek busnya karena dia belum hapal daerah sini. Aku secara luar biasa mengambil kesimpulan sendiri.
“tenang aja, aku dijemput kok. Kita ntar naek mobilku.” Kata Radit menjawab pertanyaan pertanyaan yang berputar di otakku. Aku hanya bisa ber’ooo’ ria. Ternyata Radit orangnya asik juga. Seenggaknya dia humoris, dan tau betul cara membuat orang tertawa. Tidak butuh waktu lama untuk aku akrab sama dia. Selang beberapa menit kemudian sebuah mobil New Honda Jazz menepi.
“ayo mamaku uda jemput tu.” Keningku sekarang sukses berkerut semakin dalam. Hari gini masih ada ya anak laki laki sudah kelas 2 SMA di jemput ibunya? Aku mencoba berpikir positif, mungkin ibunya masih khawatir kali kalau anaknya itu nantinya tersesat. Mereka kan orang baru. Aku berkenalan secara singkat dengan ibunya Radit. Walaupun usianya sudah menginjak 40 tahun, namun ternyata ibunya Radit masih cantik. Selain itu, juga sesekali masih bisa menimpali pembicaraanku dengan Radit.
“makasih tante udah nebengin aku pulang.” Kataku sambil turun dari mobil.
“sama-sama Gani, tante juga terima kasih nak Gani mau berteman dengan Radit.” Lho? Kok aneh banget. Bukannya berteman itu wajar ya? Kenapa harus mengucapkan terima kasih segala. Aneh nih. Ibu sama anak sama-sama anehnya.
Aku hanya membalasnya dengan senyum ringan sebelum akhirnya menutup pintu mobilnya dan berjalan ke arah kos kostanku. Baru aku memasukkan anak kunciku ke pintu aku sudah dikagetkan dengan kehadiran Radit yang menepuk ringan pundakku. Ini anak kayaknya hobi banget nepuk pundak.
“lho? Ngapain?” tanyaku bingung. Maksutku, bukannya dia seharusnya pulang ya bareng ibunya?
“boleh mampir sebentar kan? Lagian rumahku Cuma di gang sebelah kok, jalan kaki juga deket.” Karena kaget aku hanya bisa menganggukan kepalaku. Sumpah, ini anak aneh banget.
Tbc. . .
Total ada 14 chapter,.
Bakal aku update lima hari sekali,.
Enjoy it,.

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Anonim1/07/2013

    Di TUNGGU part selanjutnya!! Good Job //

    BalasHapus
  3. kunjungan pertama, cinta dibagi tiganya lumayan... :D but, keep posting aja biar tambah bagus. rayrowling

    BalasHapus

leave comment please.