Radit sudah mengajakku berkeliling
dari tadi. Sebenarnya, kita udah nemu perlengkapan fitnesnya. Sudah lengkap
banget malah. Kakiku pun rasanya sudah seperti mau copot. Bahkan aku sudah
tidak nafsu saat Radit mengajakku ke time zone. Aku benar-benar lelah.
“kita cari makan dulu, baru pulang.”
Tanpa meminta pendapatku Radit langsung ngacir. Aku terpaksa mengikutinya.
Sumpah, jalan sama Radit itu nerakanya dunia. Dia persis banget kayak cewek.
Lama banget milih barang, dan kalau udah dapat barangnya, Radit nawarnya sadis!
Dari tadi aku harus berdiam diri dan melemparkan pandangan belasungkawa kepada
para pramuniaga yang sudah debat harga dengan Radit tadi. Satu kesimpulan,
Radit nantinya bakal bisa jadi ibu rumah tangga yang baik. Halah.
Beda sekali dengan Denny. Dia selalu
memanjakanku, menawari apa kesukaanku. Orangnya simple, bahkan nggak pernah
nawar harga. Denny kalau pergi belanja gini emang nggak ribet. Nemu yang cocok,
beli langsung pulang. Lha kalau Radit? Dia nemu yang cocok tapi harganya nggak cocok
maka dia bakal muter-muter nyari yang harganya pas! Dan kalau dia udah nemu dan
dalam perjalanan pulang dia nemu barang yang sama tapi harganya selisih 5 ribu
rupiah dari harga yang dia sudah beli tadi, dia bakal meratap! Menyesal
seolah-olah dia sudah memilih pasangan hidup yang salah.
Apakah aku baru saja membandingkan
Radit dengan Denny?
I did?
Shit! Kenapa nama Denny tidak bisa
enyah? Go to the hell Denny!
“hei? Ngalamun aja lo, kayak DPR!
Makan disitu aja ya!” aku mengangguk dan mengekor Radit yang sudah menemukan
tempat disamping jendela.
“Selasa, Rabu sama Sabtu lo ikut gua
nge gym. Senin kita les bahasa Inggris. Kamis, Jum’at kita les pelajaran biasa.
Gue udah ngomong sama mama. Bakal ada guru privat. Cowok! Gue sengaja bilang ke
mama supaya guru privatnya cowok. Kalau bisa yang ganteng.” Radit langsung
nyerocos begitu sudah memesan makanan tadi. Ngomong sama mamanya? Bukannya
mamanya lagi keluar kota ya liburan? Aduh, anggap aja tadi siang sudah pulang.
Rempong amat sih.
“nyokap lu tahu kalau lu gay?”
sambarku langsung. Radit mengangguk mantap. Aku jadi teringat kenapa dulu
mamanya Radit sangat berterima kasih padaku karena mau berteman dengan anaknya.
Beruntung banget nih anak. Coba kalau sampai orang tuaku tau kalau aku gay,
udah dicincang kali aku. Dibuang dan dicoret dari daftar keluarga. Hiiy, ngeri.
“tapi papa belom tahu.” Radit
tersenyum masam. Aku jadi ikut-ikutan tersenyum kecut.
“jadi mulai kapan? Gua bakal ngomong
deh sama bonyok gua biar gua juga bayar.” Aku jadi nggak enak sendiri. Apalagi
semua barang-barangku sudah berpindah ke kamar Radit. Aku memang suka traktiran
tapi bukan berarti aku matre. Aku masih punya sedikit harga diri.
“nggak usah! Kan gue yang ngajak.
Lagian nilai-nilai pelajaran lo kan parah banget Gan.” Kurang asem nih anak.
“kayaknya lu juga nggak lebih baik
deh dari gua.” Radit langsung cengengesan. Pesanan makanan datang, aku dan
Radit langsung sibuk dengan makanan masing-masing. Lapar gila bung!
***
Aku sekolah bareng Radit. Tentu
saja, Radit sudah bawa mobil sendiri sekarang. Tanpa di antar jemput lagi oleh
mamanya.
Pertanyaan pembaca;
“kok kemaren pas ke warnet kalian
jalan kaki ya?”
Jawaban penulis (dengan sedikit
gugup dan melap keringat);
“kemaren mobil Radit sedang di
bengkel.” Penting banget ya buat dibahas? Abaikan!
Aku turun dan berjalan beriringan
dengan Radit menuju kelas. Begitu tiba di dalam kelas, aku langsung mendekati
Genta. Aku sudah membulatkan tekad bahwa, mending masuk kandang singa daripada
harus sebangku dengan raja singa. Persetan dengan reaksi si brengsek ntar.
“hei Gen, lu bisa pindah ke bangku
lu yang dulu nggak?” tanyaku langsung. Mumpung Denny belum masuk. Kalau dia
sudah masuk, aku akan sedikit kepayahan nantinya. Genta memandangku seolah-olah
aku sedang membagikan door prize untuknya. Matanya berbinar-binar minta
dibelai.
“oke, sekarang?” aku mengangguk.
Tanpa buang waktu Genta langsung mengusung semua harta bendanya ke bangku yang
dulu aku tempati. Aku menghempaskan pantatku ke bangku yang sudah ditinggalkan
Genta.
“you come back!” Elliot yang tadi
memperhatikanku dan Genta dalam diam akhirnya bicara. Aku hanya mengangguk.
“gua sudah merasa bahwa masa depan
gua di kelas dua ini bakalan suram, tapi sepertinya sekarang nggak lagi.”
Katanya dengan senyum lebar. Separah itukah? Tapi sekarang aku yang bakal lebih
sering makan ati. Aku kurang memperhatikan apa yang dikatakan Elliot karena
melihat Denny yang baru saja masuk kelas. Wajahnya surprised banget melihat aku
yang kini duduk di kanan belakang. Dia meletakkan tasnya ke bangkunya, menyapa
Genta sebentar lalu berjalan ke arahku. Sialan! Kenapa Denny masih saja
mempesona? Dia baru saja mencampakanku! Tapi kenapa pesonanya tidak juga
berkurang?
“we need to talk.” Aku diam. Tapi
beberapa anak yang sudah didalam kelas mulai memperhatikanku dan Denny. Cih!
Daripada jadi pusat perhatian dan diomongin yang nggak nggak mending aku ikuti
saja kemauannya.
“not here.” Kataku pelan sambil
berjalan meninggalkan kelas. Aku perlu menyelesaikan semua masalah ini dengan
kepala dingin. Kepala dingin Gani! Kataku lebih pada diriku sendiri. Aku tahu
Denny mengikutiku. Aromanya masih aku hapal benar. Aku berhenti di belakang
aula sekolah.
“apa?”
“kenapa pindah tempat duduk?” what?
Itu yang mau dia tanyain? Serius?
“pengen ganti suasana.”
“kamu marah sama aku?” Oh God, help
me! Apakah Denny amnesia? Gegar otak? Atau otaknya sekarang tinggal sejengkal?
“kamu seharusnya mikir!” kataku
sambil pergi berlalu. Pembicaraan ini sepertinya bakal percuma.
“dia bukan pacar aku!” aku yang
sudah berjalan agak jauh, menoleh. Memandangnya dengan jijik, walaupun aku tahu
itu gagal. Aku tidak bisa menganggap Denny menjijikkan. Jangan tanya kenapa,
aku juga tidak tahu.
“seharusnya kamu ngomong seperti itu
kemaren Den! Oh ya, anyway, kita putus kan berarti?” kataku sambil berlalu tanpa
mengindahkannya lagi. Padahal sumpah, hatiku nyesek banget ngomong kayak gitu
tadi.
“aku sayang kamu, don’t you know?”
aku mendengarnya. Tapi aku pura-pura tuli. Kalau dia sayang aku, dia pasti
menghargai perasaanku waktu di parkiran belakang mall kemaren. Dia menganggapku
teman. Hanya teman. Aku sudah hampir menangis. Tapi aku tahan. Ini di sekolah.
Dan jelas bukan waktu yang tepat.
***
Sama seperti Denny yang terkejut
dengan kepindahanku, Beno juga sangat terkejut. Tapi aku seperti melihat senyum
licik di bibirnya. Dan yang pasti aku akan lebih sering mendengar ejekannya
yang nggak banget itu. Belum juga bel masuk bunyi, tu anak sudah cari
gara-gara.
“wuih, lu pindah sini Gan? Ckckck.”
Aku diam menanggapi omongan Beno barusan. Aku tahu ini hanya awal, pasti
sebentar lagi mulut bawelnya bakal ngomong lagi. Dengerin aja.
“Gani rambutnya bagus ya. Nggak
kayak cowok kebanyakan, pake sampo apaan ya?” basi banget, sumpah. Ada nggak
yang lebih enak didengar? Ini godaan atau hinaan sih sebenarnya? Kalau ini godaan,
jadul banget! Kayaknya sudah ada sejak jaman bokap-nyokap ni anak masih pada
ABG. Bahkan mungkin sudah ada sejak para ABG di jaman penjajahan Belanda.
“Ganiiii, Ganiii. Dipanggilin kok
diem aja sih? Gani sombong atau budek sih?” gigiku makin gemeletuk. Asli, ini
jayus banget. Tapi tetep aja ngeselin! Tapi daripada mikirin itu, aku langsung
pinjam buku Matematikanya Elliot. Ada PR yang belum aku kerjain. Kan kalian
ingat sendiri betapa sibuknya aku kemaren? Tapi sebenarnya nggak sibuk pun aku
jarang mengerjakan PR. Denny yang selalu mengingatkanku kalau ada PR. Dan
sekarang? Sudahlah!
Tanpa membuang waktu lagi aku
langsung menyalin PR yang sudah di kerjakan Elliot. Ini anak otaknya cerdas
badai. Selalu ranking pertama di kelas. Jadi aku sudah tidak meragukan lagi
jawaban-jawaban di PR nya. Belum juga mau ke nomor 3, Beno sudah buka mulut.
Secara dia kan duduknya dibelakangku.
“ngerjain PR tu di rumah. Bukan di
sekolah. Ngapain aja lu di rumah semalem?” aku mendongak dan menoleh. Menatap
Beno dengan tatapan-bukan-urusan-lu! Sebenarnya aku sudah gatal pengen marah,
tapi aku urungkan. Bukan saja karena pagi-pagi marah-marah bikin jauh dari
rezeki, tapi juga bisa bikin aku nggak selesai nyalin PR ku.
“PR siapa tuh yang lo contek? Banyak
salahnya daripada benernya.” Aku tetap diam. Ibarat kata biarkan anjing
mengonggong, kafilah masa bodo. Tetap sibuk menyalin. Gila aja, 5 menit lagi
bu! Ini juga gara-gara Denny tadi! Ngapain ngajakin aku ngomong yang nggak
penting tadi.
“lu kalau nyontek nggak pernah
sambil mikir ya?” aku terusik sekarang. Menoleh ke belakang dengan kalem.
Menarik nafas panjang lalu dihembuskan dengan sangat perlahan.
“lu tau definisi nyontek nggak sih?”
aku menatap Beno dengan tatapan paling garang yang aku miliki.
“nyontek itu sinonimnya nyalin.
Menyalin itu artinya menduplikasi! Atau membuat sesuatu yang persis sama. Jadi
nggak perlu mikir!” aku menatapnya dengan kilat marah. Gila aja, dalam situasi
urgent gini, masih sempet-sempetnya Beno nyari gara-gara.
“rese!” kataku singkat sambil kembali
sibuk dengan PRku.
“kayaknya gue udah pernah ngomong
deh, kalau gue marah-marah tu lu terima ja. Nggak usah tanya-tanya apalagi
balik marah-marah! Ntar gue jadi tambah marah tau!” ini anak childish banget
yak?
“alasannya? Kenapa sih lu selalu
marah ke gua? Alasannya apa?!”
“nggak perlu alasan kalau udah
menyangkut elu!” shit dah!
“emang gua kenapa?” aku juga ikut
terpancing emosi.
“karena elu selalu bikin gue pengen
marah!”
“alasannya? Orang marah tu pasti ada
alasannya!”
“nggak perlu alasan kalau udah
menyangkut elo!” jiah, balik lagi dah. Lingkaran setan nih kayaknya. Aku
memutar kedua bola mataku. Alasan apaan tu?
“bukan lu aja, gua juga bisa marah
tau!” aku jelas-jelas sudah semakin emosi.
“gue bisa jadi tukang jagal, Gani!
Gua bisa hajar lu!” kali ini Beno berkata dengan nada membentak.
“lu kira gua takut sama lu!?” aku
memandangi wajah Beno lekat-lekat. Yang harus aku akui emang keren.
“nggak sama sekali!” ganti aku yang
membentak sekarang. Aku tahu bahwa pertengkaran memanas. Dulu nggak pernah
separah ini. Sampai bentak-bentakkan kayak gini.
“woi, beli camilan! Woi, beli
camilan! Cepet! Cepet!” terdengar suara Tantra mulai heboh.
“patungan oi! Goceng-goceng, ntar
dramanya keburu kelar nih!” aku mendengarnya, tapi tidak terlalu peduli. Gimana
aku mau peduli, Beno sudah menyalak-nyalak duluan yang bikin kuping panas.
Jelas aku balas dengan makian yang nggak kalah sakit!
“hajar aja si Beno Gan! Hajar!”
teriak Tantra mulai menyemangatiku yang tidak begitu aku gubris.
“kalo Beno mukul, pukul balik Gan!
Yang lebih kenceng!” Ian nggak mau kalah.
Bel masuk sudah berbunyi, tapi aku
dan Beno masih saja terlibat dalam adu argument yang sangat kuat. Nggak ada
yang mau mengalah. Aku juga sudah lupa dengan PR ku yang baru nyampe nomor 3.
Sialan! PRku!
“UDAH BELL WOI! JANGAN PADA BERISIK!
MO PADA BELAJAR NGGAK SIH!?”
Kelas langsung hening begitu ditegur
oleh anak dari kelas sebelah. Semua bergegas ke bangku masing-masing. Aku dan
Beno juga berhenti bertengkar. Setelah melemparkan pandangan marah padanya, aku
duduk kembali. Langsung sibuk dengan PR ku. Mumpung gurunya belom dateng.
“sst, Bu Ning dateng woi.” Seru Rina
yang duduk di bangku paling depan dekat pintu. Kelas jadi lebih hening lagi.
Sialan nih Beno. Baru nyampe nomor 4! Untung PRnya Cuma 5 soal. Awas aja lu
Ben! Geramku dalam hati.
***
Begitu bell istirahat berbunyi, aku
langsung mengajak Elliot (secara dia teman sebangkuku, masa iya aku
mengacuhkannya?) dan Radit ke kantin. Kita pilih meja yang agak panjang. Dengan
siomay didepan masing-masing dan segelas esteh. Kali ini bayar sendiri-sendiri.
“sebenarnya lo ada apa sih sama
Beno? Berantem sampai segitunya?” Elliot membuka percakapan. Aku juga bingung
mau jawab apa, masalahnya aku juga tidak tahu kenapa Beno suka marah-marah ke
aku.
“aduuuuh, ck!” aku mulai mengeluh.
Mendramatisir keadaan sebelum akhirnya aku curhat.
“elu tuh ya! Kalau gua tau
masalahnya apa, gua juga kaga bakalan tu teriak-teriak kayak tadi. Bikin malu
gua tau!”
“lah, kalau lo udah tau itu bikin
malu, ngapain lo masih tereak-tereak kayak pake toa gitu?” kali ini Radit buka
suara. Emang nyinyir tu anak. Sumpah!
“lu tanya gih sama Beno, apa
masalahnya sama lu!”
“udah Elliot! Tadi tu gua juga udah
nanya! Benonya aja yang sinting.”
“nanyanya baek-baek dong.” Kali ini
Radit lagi. Gila ya sumpah! Jadi kaga nafsu makan.
“udah! Lu kira baru kemaren aja gua
berantem sama dia?”
“tapi kalau sama anak-anak yang laen
dia baek-baek aja ya?” kali ini Elliot seperti menerawang. Bagus deh! Kalau
sudah dapet jawabannya, kasih tau! Gerutuku dalam hati. Ini baru hari pertama
woi, aku duduk dekat si brengsek itu. Parah!
“udah lah nggak usah dibahas. Bikin
gua nggak nafsu makan aja.” Aku memperhatikan siomayku sebentar. “kayaknya tadi
gua udah bilang deh kaga pake kentang!” kataku sambil memisah-misahkan kentang
yang ada didalam adonan siomayku.
“trus kalau sama Denny? Kenapa lu
pindah bangku?” aku menatap Radit sebentar untuk meminta bantuan sebelum
menjawab pertanyaan dari Elliot. Nggak lucu kan kalau aku bilang, aku baru saja
putus dari Denny makanya aku pindah bangku biar tidak makan hati terus-terusan?
Radit hanya mengangkat bahunya perlahan. Seolah-olah tak peduli dengan jawaban
yang akan terlontar dari bibirku.
“Cuma lagi pengen ganti suasana
aja.” Jawabku singkat. Untungnya Elliot tidak bertanya-tanya lagi. Dia sudah
sibuk dengan siomaynya. Aku juga sudah hampir menghabiskan siomayku- dengan
menyisakan kentangnya, tentu saja- ketika Radit menyenggol pinggangku.
“Denny tu!” bisik Radit pelan,
sehingga mungkin Elliot tidak mendengarnya. Aku pura-pura cuek. Bahkan aku
tidak menengok ke arah pintu kantin.
“ya, iyalah dia kesini. Mana mungkin
dia mau ke kantin kelas satu dibawah atau kantin kelas tiga di atas.” Jawabku
cuek. Masa bodoh dengan Denny dan Beno! Tapi sepertinya tidak bisa begitu.
Karena Denny memilih duduk disamping Elliot, yang artinya dia duduk didepanku.
What the shit?
Denny makan dengan tenang,
seolah-olah aku tidak ada disana. Aku juga pura-pura tidak peduli. Kalau mau
jujur, aku kangen masa-masa aku masih jadi pacarnya. Dan itu baru tadi pagi
kita resmi putus. Baru tadi pagi? Aku merasa sudah lama sekali. Aku rindu
suap-suapan sama Denny! Oh God? Bisakah aku melupakan fakta bahwa Denny telah
berselingkuh? Mungkin jika kemaren aku tidak menemani Radit, aku tidak akan
memergoki Denny bersama Felix sialan itu. Mungkin, hubunganku dengan Denny
masih baik-baik saja. Benarkah aku masih berharap demikian? Kenapa aku tidak
bisa membenci Denny?
“Elliot, temenin gue ke perpus
bentar.” Aku mendongak menatap Radit. Tega amat nih anak mau ninggalin aku sama
Denny berduaan. Elliot yang nggak tau apa-apa, pasrah aja ditarik Radit untuk
menjauh dari kantin. Awas aja tu anak!
“kamu pindah kos?” Denny menatapku
dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Aku hanya mengangguk pelan. Aku
masih mencintainya! Aku mencintai lelaki brengsek ini!
“aku tadi jemput kamu, kemaren juga.
Kenapa nggak bilang-bilang?” tatapannya memelas, seperti putus asa. Kalau
boleh, kalau bisa aku mengabaikan logikaku, perasaanku dan harga diriku, aku
ingin sekali memeluknya. Aku merindukannya. Rindu memeluknya, rindu
menyentuhnya. Ingin sekali aku meminta dia memohon supaya dia aku maafkan. Tapi
harga diriku mengusikku. Dia selingkuh! Dan itu tidak termaafkan.
“bukan urusan kamu lagi.” Jawabku
singkat sambil berlalu. Mataku sudah memerah lagi. Jangan nangis sekarang!
Please! Jangan nangis sekarang!
Ketika aku keluar dari kantin aku
berpapasan dengan Beno. Entah kenapa dia menatapku dengan tatapan yang begitu
peduli. Seakan-akan dia tahu seberapa berat masalah yang sedang aku pinggul.
Aku mengalihkan pandanganku. Aku yakin satu hal! Pikiranku kacau sangat! Radit
menungguku di koridor, dia sendirian.
“Elliot mana?” tanyaku begitu sudah
di dekatnya.
“udah balik ke kelas. Gimana Gan?”
tanyanya prihatin.
“nggak gimana-gimana. Balik ke kelas
yuk! Bentar lagi masuk.” Tanpa menunggu persetujuan Radit, aku melangkah menuju
ke kelas. Pikiranku kacau. Sangat kacau. Sweet seventeen apaan? Nggak ada
sweet-sweetnya!
Ketemu di chapter 8 ya?
See ya,.
Lanjutkan
BalasHapusPenasaran