FOLLOW ME

Minggu, 20 Januari 2013

CINTAKU DIBAGI TIGA chapter seven


Radit sudah mengajakku berkeliling dari tadi. Sebenarnya, kita udah nemu perlengkapan fitnesnya. Sudah lengkap banget malah. Kakiku pun rasanya sudah seperti mau copot. Bahkan aku sudah tidak nafsu saat Radit mengajakku ke time zone. Aku benar-benar lelah.

“kita cari makan dulu, baru pulang.” Tanpa meminta pendapatku Radit langsung ngacir. Aku terpaksa mengikutinya. Sumpah, jalan sama Radit itu nerakanya dunia. Dia persis banget kayak cewek. Lama banget milih barang, dan kalau udah dapat barangnya, Radit nawarnya sadis! Dari tadi aku harus berdiam diri dan melemparkan pandangan belasungkawa kepada para pramuniaga yang sudah debat harga dengan Radit tadi. Satu kesimpulan, Radit nantinya bakal bisa jadi ibu rumah tangga yang baik. Halah.
Beda sekali dengan Denny. Dia selalu memanjakanku, menawari apa kesukaanku. Orangnya simple, bahkan nggak pernah nawar harga. Denny kalau pergi belanja gini emang nggak ribet. Nemu yang cocok, beli langsung pulang. Lha kalau Radit? Dia nemu yang cocok tapi harganya nggak cocok maka dia bakal muter-muter nyari yang harganya pas! Dan kalau dia udah nemu dan dalam perjalanan pulang dia nemu barang yang sama tapi harganya selisih 5 ribu rupiah dari harga yang dia sudah beli tadi, dia bakal meratap! Menyesal seolah-olah dia sudah memilih pasangan hidup yang salah.
Apakah aku baru saja membandingkan Radit dengan Denny?
I did?
Shit! Kenapa nama Denny tidak bisa enyah? Go to the hell Denny!
“hei? Ngalamun aja lo, kayak DPR! Makan disitu aja ya!” aku mengangguk dan mengekor Radit yang sudah menemukan tempat disamping jendela.
“Selasa, Rabu sama Sabtu lo ikut gua nge gym. Senin kita les bahasa Inggris. Kamis, Jum’at kita les pelajaran biasa. Gue udah ngomong sama mama. Bakal ada guru privat. Cowok! Gue sengaja bilang ke mama supaya guru privatnya cowok. Kalau bisa yang ganteng.” Radit langsung nyerocos begitu sudah memesan makanan tadi. Ngomong sama mamanya? Bukannya mamanya lagi keluar kota ya liburan? Aduh, anggap aja tadi siang sudah pulang. Rempong amat sih.
“nyokap lu tahu kalau lu gay?” sambarku langsung. Radit mengangguk mantap. Aku jadi teringat kenapa dulu mamanya Radit sangat berterima kasih padaku karena mau berteman dengan anaknya. Beruntung banget nih anak. Coba kalau sampai orang tuaku tau kalau aku gay, udah dicincang kali aku. Dibuang dan dicoret dari daftar keluarga. Hiiy, ngeri.
“tapi papa belom tahu.” Radit tersenyum masam. Aku jadi ikut-ikutan tersenyum kecut.
“jadi mulai kapan? Gua bakal ngomong deh sama bonyok gua biar gua juga bayar.” Aku jadi nggak enak sendiri. Apalagi semua barang-barangku sudah berpindah ke kamar Radit. Aku memang suka traktiran tapi bukan berarti aku matre. Aku masih punya sedikit harga diri.
“nggak usah! Kan gue yang ngajak. Lagian nilai-nilai pelajaran lo kan parah banget Gan.” Kurang asem nih anak.
“kayaknya lu juga nggak lebih baik deh dari gua.” Radit langsung cengengesan. Pesanan makanan datang, aku dan Radit langsung sibuk dengan makanan masing-masing. Lapar gila bung!
***


Aku sekolah bareng Radit. Tentu saja, Radit sudah bawa mobil sendiri sekarang. Tanpa di antar jemput lagi oleh mamanya.
Pertanyaan pembaca;
“kok kemaren pas ke warnet kalian jalan kaki ya?”
Jawaban penulis (dengan sedikit gugup dan melap keringat);
“kemaren mobil Radit sedang di bengkel.” Penting banget ya buat dibahas? Abaikan!
Aku turun dan berjalan beriringan dengan Radit menuju kelas. Begitu tiba di dalam kelas, aku langsung mendekati Genta. Aku sudah membulatkan tekad bahwa, mending masuk kandang singa daripada harus sebangku dengan raja singa. Persetan dengan reaksi si brengsek ntar.
“hei Gen, lu bisa pindah ke bangku lu yang dulu nggak?” tanyaku langsung. Mumpung Denny belum masuk. Kalau dia sudah masuk, aku akan sedikit kepayahan nantinya. Genta memandangku seolah-olah aku sedang membagikan door prize untuknya. Matanya berbinar-binar minta dibelai.
“oke, sekarang?” aku mengangguk. Tanpa buang waktu Genta langsung mengusung semua harta bendanya ke bangku yang dulu aku tempati. Aku menghempaskan pantatku ke bangku yang sudah ditinggalkan Genta.
“you come back!” Elliot yang tadi memperhatikanku dan Genta dalam diam akhirnya bicara. Aku hanya mengangguk.
“gua sudah merasa bahwa masa depan gua di kelas dua ini bakalan suram, tapi sepertinya sekarang nggak lagi.” Katanya dengan senyum lebar. Separah itukah? Tapi sekarang aku yang bakal lebih sering makan ati. Aku kurang memperhatikan apa yang dikatakan Elliot karena melihat Denny yang baru saja masuk kelas. Wajahnya surprised banget melihat aku yang kini duduk di kanan belakang. Dia meletakkan tasnya ke bangkunya, menyapa Genta sebentar lalu berjalan ke arahku. Sialan! Kenapa Denny masih saja mempesona? Dia baru saja mencampakanku! Tapi kenapa pesonanya tidak juga berkurang?
“we need to talk.” Aku diam. Tapi beberapa anak yang sudah didalam kelas mulai memperhatikanku dan Denny. Cih! Daripada jadi pusat perhatian dan diomongin yang nggak nggak mending aku ikuti saja kemauannya.
“not here.” Kataku pelan sambil berjalan meninggalkan kelas. Aku perlu menyelesaikan semua masalah ini dengan kepala dingin. Kepala dingin Gani! Kataku lebih pada diriku sendiri. Aku tahu Denny mengikutiku. Aromanya masih aku hapal benar. Aku berhenti di belakang aula sekolah.
“apa?”
“kenapa pindah tempat duduk?” what? Itu yang mau dia tanyain? Serius?
“pengen ganti suasana.”
“kamu marah sama aku?” Oh God, help me! Apakah Denny amnesia? Gegar otak? Atau otaknya sekarang tinggal sejengkal?
“kamu seharusnya mikir!” kataku sambil pergi berlalu. Pembicaraan ini sepertinya bakal percuma.
“dia bukan pacar aku!” aku yang sudah berjalan agak jauh, menoleh. Memandangnya dengan jijik, walaupun aku tahu itu gagal. Aku tidak bisa menganggap Denny menjijikkan. Jangan tanya kenapa, aku juga tidak tahu.
“seharusnya kamu ngomong seperti itu kemaren Den! Oh ya, anyway, kita putus kan berarti?” kataku sambil berlalu tanpa mengindahkannya lagi. Padahal sumpah, hatiku nyesek banget ngomong kayak gitu tadi.
“aku sayang kamu, don’t you know?” aku mendengarnya. Tapi aku pura-pura tuli. Kalau dia sayang aku, dia pasti menghargai perasaanku waktu di parkiran belakang mall kemaren. Dia menganggapku teman. Hanya teman. Aku sudah hampir menangis. Tapi aku tahan. Ini di sekolah. Dan jelas bukan waktu yang tepat.
***


Sama seperti Denny yang terkejut dengan kepindahanku, Beno juga sangat terkejut. Tapi aku seperti melihat senyum licik di bibirnya. Dan yang pasti aku akan lebih sering mendengar ejekannya yang nggak banget itu. Belum juga bel masuk bunyi, tu anak sudah cari gara-gara.
“wuih, lu pindah sini Gan? Ckckck.” Aku diam menanggapi omongan Beno barusan. Aku tahu ini hanya awal, pasti sebentar lagi mulut bawelnya bakal ngomong lagi. Dengerin aja.
“Gani rambutnya bagus ya. Nggak kayak cowok kebanyakan, pake sampo apaan ya?” basi banget, sumpah. Ada nggak yang lebih enak didengar? Ini godaan atau hinaan sih sebenarnya? Kalau ini godaan, jadul banget! Kayaknya sudah ada sejak jaman bokap-nyokap ni anak masih pada ABG. Bahkan mungkin sudah ada sejak para ABG di jaman penjajahan Belanda.
“Ganiiii, Ganiii. Dipanggilin kok diem aja sih? Gani sombong atau budek sih?” gigiku makin gemeletuk. Asli, ini jayus banget. Tapi tetep aja ngeselin! Tapi daripada mikirin itu, aku langsung pinjam buku Matematikanya Elliot. Ada PR yang belum aku kerjain. Kan kalian ingat sendiri betapa sibuknya aku kemaren? Tapi sebenarnya nggak sibuk pun aku jarang mengerjakan PR. Denny yang selalu mengingatkanku kalau ada PR. Dan sekarang? Sudahlah!
Tanpa membuang waktu lagi aku langsung menyalin PR yang sudah di kerjakan Elliot. Ini anak otaknya cerdas badai. Selalu ranking pertama di kelas. Jadi aku sudah tidak meragukan lagi jawaban-jawaban di PR nya. Belum juga mau ke nomor 3, Beno sudah buka mulut. Secara dia kan duduknya dibelakangku.
“ngerjain PR tu di rumah. Bukan di sekolah. Ngapain aja lu di rumah semalem?” aku mendongak dan menoleh. Menatap Beno dengan tatapan-bukan-urusan-lu! Sebenarnya aku sudah gatal pengen marah, tapi aku urungkan. Bukan saja karena pagi-pagi marah-marah bikin jauh dari rezeki, tapi juga bisa bikin aku nggak selesai nyalin PR ku.
“PR siapa tuh yang lo contek? Banyak salahnya daripada benernya.” Aku tetap diam. Ibarat kata biarkan anjing mengonggong, kafilah masa bodo. Tetap sibuk menyalin. Gila aja, 5 menit lagi bu! Ini juga gara-gara Denny tadi! Ngapain ngajakin aku ngomong yang nggak penting tadi.
“lu kalau nyontek nggak pernah sambil mikir ya?” aku terusik sekarang. Menoleh ke belakang dengan kalem. Menarik nafas panjang lalu dihembuskan dengan sangat perlahan.
“lu tau definisi nyontek nggak sih?” aku menatap Beno dengan tatapan paling garang yang aku miliki.
“nyontek itu sinonimnya nyalin. Menyalin itu artinya menduplikasi! Atau membuat sesuatu yang persis sama. Jadi nggak perlu mikir!” aku menatapnya dengan kilat marah. Gila aja, dalam situasi urgent gini, masih sempet-sempetnya Beno nyari gara-gara.
“rese!” kataku singkat sambil kembali sibuk dengan PRku.
“kayaknya gue udah pernah ngomong deh, kalau gue marah-marah tu lu terima ja. Nggak usah tanya-tanya apalagi balik marah-marah! Ntar gue jadi tambah marah tau!” ini anak childish banget yak?
“alasannya? Kenapa sih lu selalu marah ke gua? Alasannya apa?!”
“nggak perlu alasan kalau udah menyangkut elu!” shit dah!
“emang gua kenapa?” aku juga ikut terpancing emosi.
“karena elu selalu bikin gue pengen marah!”
“alasannya? Orang marah tu pasti ada alasannya!”
“nggak perlu alasan kalau udah menyangkut elo!” jiah, balik lagi dah. Lingkaran setan nih kayaknya. Aku memutar kedua bola mataku. Alasan apaan tu?
“bukan lu aja, gua juga bisa marah tau!” aku jelas-jelas sudah semakin emosi.
“gue bisa jadi tukang jagal, Gani! Gua bisa hajar lu!” kali ini Beno berkata dengan nada membentak.
“lu kira gua takut sama lu!?” aku memandangi wajah Beno lekat-lekat. Yang harus aku akui emang keren.
“nggak sama sekali!” ganti aku yang membentak sekarang. Aku tahu bahwa pertengkaran memanas. Dulu nggak pernah separah ini. Sampai bentak-bentakkan kayak gini.
“woi, beli camilan! Woi, beli camilan! Cepet! Cepet!” terdengar suara Tantra mulai heboh.
“patungan oi! Goceng-goceng, ntar dramanya keburu kelar nih!” aku mendengarnya, tapi tidak terlalu peduli. Gimana aku mau peduli, Beno sudah menyalak-nyalak duluan yang bikin kuping panas. Jelas aku balas dengan makian yang nggak kalah sakit!
“hajar aja si Beno Gan! Hajar!” teriak Tantra mulai menyemangatiku yang tidak begitu aku gubris.
“kalo Beno mukul, pukul balik Gan! Yang lebih kenceng!” Ian nggak mau kalah.
Bel masuk sudah berbunyi, tapi aku dan Beno masih saja terlibat dalam adu argument yang sangat kuat. Nggak ada yang mau mengalah. Aku juga sudah lupa dengan PR ku yang baru nyampe nomor 3. Sialan! PRku!
“UDAH BELL WOI! JANGAN PADA BERISIK! MO PADA BELAJAR NGGAK SIH!?”
Kelas langsung hening begitu ditegur oleh anak dari kelas sebelah. Semua bergegas ke bangku masing-masing. Aku dan Beno juga berhenti bertengkar. Setelah melemparkan pandangan marah padanya, aku duduk kembali. Langsung sibuk dengan PR ku. Mumpung gurunya belom dateng.
“sst, Bu Ning dateng woi.” Seru Rina yang duduk di bangku paling depan dekat pintu. Kelas jadi lebih hening lagi. Sialan nih Beno. Baru nyampe nomor 4! Untung PRnya Cuma 5 soal. Awas aja lu Ben! Geramku dalam hati.
***


Begitu bell istirahat berbunyi, aku langsung mengajak Elliot (secara dia teman sebangkuku, masa iya aku mengacuhkannya?) dan Radit ke kantin. Kita pilih meja yang agak panjang. Dengan siomay didepan masing-masing dan segelas esteh. Kali ini bayar sendiri-sendiri.
“sebenarnya lo ada apa sih sama Beno? Berantem sampai segitunya?” Elliot membuka percakapan. Aku juga bingung mau jawab apa, masalahnya aku juga tidak tahu kenapa Beno suka marah-marah ke aku.
“aduuuuh, ck!” aku mulai mengeluh. Mendramatisir keadaan sebelum akhirnya aku curhat.
“elu tuh ya! Kalau gua tau masalahnya apa, gua juga kaga bakalan tu teriak-teriak kayak tadi. Bikin malu gua tau!”
“lah, kalau lo udah tau itu bikin malu, ngapain lo masih tereak-tereak kayak pake toa gitu?” kali ini Radit buka suara. Emang nyinyir tu anak. Sumpah!
“lu tanya gih sama Beno, apa masalahnya sama lu!”
“udah Elliot! Tadi tu gua juga udah nanya! Benonya aja yang sinting.”
“nanyanya baek-baek dong.” Kali ini Radit lagi. Gila ya sumpah! Jadi kaga nafsu makan.
“udah! Lu kira baru kemaren aja gua berantem sama dia?”
“tapi kalau sama anak-anak yang laen dia baek-baek aja ya?” kali ini Elliot seperti menerawang. Bagus deh! Kalau sudah dapet jawabannya, kasih tau! Gerutuku dalam hati. Ini baru hari pertama woi, aku duduk dekat si brengsek itu. Parah!
“udah lah nggak usah dibahas. Bikin gua nggak nafsu makan aja.” Aku memperhatikan siomayku sebentar. “kayaknya tadi gua udah bilang deh kaga pake kentang!” kataku sambil memisah-misahkan kentang yang ada didalam adonan siomayku.
“trus kalau sama Denny? Kenapa lu pindah bangku?” aku menatap Radit sebentar untuk meminta bantuan sebelum menjawab pertanyaan dari Elliot. Nggak lucu kan kalau aku bilang, aku baru saja putus dari Denny makanya aku pindah bangku biar tidak makan hati terus-terusan? Radit hanya mengangkat bahunya perlahan. Seolah-olah tak peduli dengan jawaban yang akan terlontar dari bibirku.
“Cuma lagi pengen ganti suasana aja.” Jawabku singkat. Untungnya Elliot tidak bertanya-tanya lagi. Dia sudah sibuk dengan siomaynya. Aku juga sudah hampir menghabiskan siomayku- dengan menyisakan kentangnya, tentu saja- ketika Radit menyenggol pinggangku.
“Denny tu!” bisik Radit pelan, sehingga mungkin Elliot tidak mendengarnya. Aku pura-pura cuek. Bahkan aku tidak menengok ke arah pintu kantin.
“ya, iyalah dia kesini. Mana mungkin dia mau ke kantin kelas satu dibawah atau kantin kelas tiga di atas.” Jawabku cuek. Masa bodoh dengan Denny dan Beno! Tapi sepertinya tidak bisa begitu. Karena Denny memilih duduk disamping Elliot, yang artinya dia duduk didepanku. What the shit?
Denny makan dengan tenang, seolah-olah aku tidak ada disana. Aku juga pura-pura tidak peduli. Kalau mau jujur, aku kangen masa-masa aku masih jadi pacarnya. Dan itu baru tadi pagi kita resmi putus. Baru tadi pagi? Aku merasa sudah lama sekali. Aku rindu suap-suapan sama Denny! Oh God? Bisakah aku melupakan fakta bahwa Denny telah berselingkuh? Mungkin jika kemaren aku tidak menemani Radit, aku tidak akan memergoki Denny bersama Felix sialan itu. Mungkin, hubunganku dengan Denny masih baik-baik saja. Benarkah aku masih berharap demikian? Kenapa aku tidak bisa membenci Denny?
“Elliot, temenin gue ke perpus bentar.” Aku mendongak menatap Radit. Tega amat nih anak mau ninggalin aku sama Denny berduaan. Elliot yang nggak tau apa-apa, pasrah aja ditarik Radit untuk menjauh dari kantin. Awas aja tu anak!
“kamu pindah kos?” Denny menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Aku hanya mengangguk pelan. Aku masih mencintainya! Aku mencintai lelaki brengsek ini!
“aku tadi jemput kamu, kemaren juga. Kenapa nggak bilang-bilang?” tatapannya memelas, seperti putus asa. Kalau boleh, kalau bisa aku mengabaikan logikaku, perasaanku dan harga diriku, aku ingin sekali memeluknya. Aku merindukannya. Rindu memeluknya, rindu menyentuhnya. Ingin sekali aku meminta dia memohon supaya dia aku maafkan. Tapi harga diriku mengusikku. Dia selingkuh! Dan itu tidak termaafkan.
“bukan urusan kamu lagi.” Jawabku singkat sambil berlalu. Mataku sudah memerah lagi. Jangan nangis sekarang! Please! Jangan nangis sekarang!
Ketika aku keluar dari kantin aku berpapasan dengan Beno. Entah kenapa dia menatapku dengan tatapan yang begitu peduli. Seakan-akan dia tahu seberapa berat masalah yang sedang aku pinggul. Aku mengalihkan pandanganku. Aku yakin satu hal! Pikiranku kacau sangat! Radit menungguku di koridor, dia sendirian.
“Elliot mana?” tanyaku begitu sudah di dekatnya.
“udah balik ke kelas. Gimana Gan?” tanyanya prihatin.
“nggak gimana-gimana. Balik ke kelas yuk! Bentar lagi masuk.” Tanpa menunggu persetujuan Radit, aku melangkah menuju ke kelas. Pikiranku kacau. Sangat kacau. Sweet seventeen apaan? Nggak ada sweet-sweetnya!
Ketemu di chapter 8 ya?
See ya,.

1 komentar:

leave comment please.