Aku memutuskan untuk mengabaikan
Denny dan Beno. Mengabaikan
Beno sih urusan gampang, tapi mengabaikan Denny? Perlu usaha ekstra keras
dan juga kemauan yang sunguh-sungguh. Bayangkan saja, aku masih mencintai
Denny, aku jujur untuk yang satu ini. Jadi, kadang-kadang saat pelajaran
berlangsung aku masih sering curi-curi pandang mengamati wajahnya. Denny tidak
mengusikku, dia sama sekali tidak menggangguku lagi. Tidak memohon maaf atau
minta balikan.Sebenarnya ini yang membuat aku semakin nelangsa. Aku mau, Denny berkeras
minta maaf, menjelaskan kejadian yang sebenarnya kemaren itu.Tapi sepertinya
tidak. Dia
hanya minta maaf, tapi tidak pernah menyinggung kejadian di mall dulu itu.
Sudah empat bulan berlalu, Beno juga
tidak sesering dulu menggangguku. Dia dan Radit semakin dekat. Maksutku, mereka agak
akrab sekarang. Tak terasa satu minggu lagi akan ada ujian akhir semester satu.
Aku menarik nafas panjang.
“hei, buruan ah! Lo ngalamun aja!
Ntar telat nih!” Radit menyadarkanku yang tengah menikmati sarapannya mbok
Parni.
“iya, bentar lagi abis kok.” Sahutku
pelan. Mamanya
Radit hanya tersenyum mengamatiku dan Radit yang memang suka bercanda kecil.
Walaupun tadinya mamanya Radit menolak sewaktu aku akan membayar tiap bulan,
tapi karena aku paksa, akhirnya mamanya Radit mau juga menerimanya. Tapi tentu
saja, ngekos dirumahnya Radit ini surga dunia. Sarapan dan makan malam
yang pasti enak. Gratis
pula. Dengan uang kos yang sama dengan tempat kosku dulu. How lucky I am.
Karena diburu-buru Radit tadi, aku
tidak menyadari sesuatu. Sesuatu
itu baru aku sadari saat aku sudah masuk ke dalam kelas dan 5 menit lagi bell
masuk berbunyi. Aku
LUPA MEMBAWA BUKU PAKET PKn! Jangan kalian pikir ini masalah sepele, ini sangat
serius. Sialnya,
hari ini Cuma kelasku yang ada pelajaran Kewarganegaraan. Aku panic, masalahnya Bu
Eka, guru PKn, memang paling antipati dan paling ngamuk kalau ada murid yang
tidak membawa buku paket pada jam pelajarannya. Sumber informasi ini
sangat bisa dipercaya, yaitu dari anak-anak yang sudah pernah diamuk Bu Eka karena
tidak membawa buku paket PKn dengan berbagai alasan.
Panic, panic dan panic. Masa iya mau minjem temen
sekelas? Mana mau lah mereka! Sial nih! PKn memang bukan jam pelajaran pertama,
tapi ketiga. Namun tetap saja, itu kan berlangsung sebelum jam istirahat
pertama. Mana jam pertama Pak Asril lagi, mana mungkin aku minta ijin. Kalian
masih ingat dengan Pak Asril kan? Gawat, gawat. Gawat banget. Aku benar-benar nggak
bisa konsen mengikuti pelajaran Fisika. Walaupun begitu aku masih
berpura-pura jadi siswa yang teladan. Ingat? Ini kan Pak Asril, aku tidak
ingin jatuh di lubang yang sama dua kali. Pas jam ganti pelajaran, kepanikkanku
memuncak.
“kenapa? Lo nggak bawa buku paket
PKn ya?”Beno yang duduk dibelakangku bertanya. Dengan sopan. Tapi karena aku sedang
kacau, aku tidak begitu memperhatikan perubahan nada itu. Soalnya, biasanya kan
tu anak kalau nggak pake nada menghina ya ngejek. Tumben-tumbenan sopan.
“lupa!” jawabku cepat. Memang sih
terdengar ketus dan agak kasar. Tapi
masa bodo, Beno juga biasanya begitu kok.
“sama aja. Tetep aja judulnya nggak
bawa kan?”
Aku kesal! Aku sedang panic, dan
Beno malah seakan-akan memancing di air keruh. Kalau tadi aku menjawab dengan
acuh tak acuh dan pandangan ke depan. Sekarang aku menoleh dan langsung menatap
Beno tajam.
“trus kenapa? Masalah buat lu? Lu
mau ikutan marahin gua juga? Boleh banget! Tapi nunggu giliran ya?Antri, Bu Eka
duluan, baru elu.”
“nih!” aku bengong. Beno baru saja
meletakkan atau lebih tepatnya melempar buku paket PKn nya ke mejaku.
“lo pake aja, sekarang cariin gue
buku paket apa aja. Yang penting bersampul.Pinjem siapa gitu kek!”
Aku terpana melihat apa yang
dilakukan Beno. Tanpa sadar aku malah jadi keasyikan bengong.
“buruan! Malah bengong lagi kayak
emak-emak kesambet! Ntar keburu Bu Eka dateng!” perintah Beno galak.
“iya-iya. Bawel ah!” aku sebenarnya
bersyukur banget. Sumpah! Aku cepat mengitari seluruh penjuru kelas. Mencari
buku paket bersampul ternyata nggak susah. Dalam hitungan detik aku sudah
kembali dengan buku paket Bahasa Indonesia milik Dewi.
“stroberi?!” Beno melotot.
“ada pita-pitanya lagi! Lo gimana
sih? Ini mah sama aja lu ngasih tau Bu Eka kalau ini bukan buku gue.”
“lu tadi bilang yang penting
depannya bersampul.” Belaku pasrah. Setelah melihat dengan seksama buku
paket Bahasa Indonesia milik Dewi yang emang cewek abis.
“ya jangan stroberi pake pita juga
kali Gan! Mana warnanya pink lagi! Ini mah cewek banget! Kecuali kalau selama
ini gue punya gejala buat jadi banci!”
“nggak ada lagi Ben! Bukunya Reni
sampulnya gambar permen warna-warni. Bukunya si Tania malah gambar Winnie The
Pooh.”
Beno memandangi buku paket Bahasa
Indonesia milik Dewi didepannya, lalu mendecakkan lidah.
“ampun dah!” kata Beno sambil
geleng-geleng kepala. Tetep aja, kalau cowok keren, ekspresi seperti itu tetep
aja keren. Namun
kemudian senyum pasrah terkembang di bibir Beno. Sumpah! Ekspresinya kocak
banget! Tanpa sadar tawaku pun meledak.Abis senyum pasrahnya Beno itu lho,
gokil abis. Begitu
Beno melirikku, aku malah semakin terbahak.
“ketawa lagi!” Beno mendengus. Aku menahan tawaku sebisa
mungkin lalu teringat sesuatu. Bukunya Elliot kan semuanya tersampul coklat.
Aku langsung memperhatikan teman sebangkuku itu yang dari tadi aku abaikan.
“Ell, pinjem buku paket lu satu!”
mendengar ucapanku, Beno langsung menjentikkan jarinya.
“he eh, buruan Ell! Keburu Bu Eka
dateng!” Elliot hanya diam sambil mengambil salah satu buku paketnya dari dalam
tas. Aku dan Beno sama-sama mendesah lega. Sekarang buku itu sukses
berpura-pura menjadi buku paket PKn.
Namun, kelegaan aku dan Beno tidak
berlangsung lama. Kami sadar bahwa dengan meminjam buku Elliot, itu sama saja
mengatakan kepada Bu Eka bahwa buku yang sedang ada di tangan Beno itu bukan
buku PKn. Karena, di kelas mereka buku-buku paket yang disampul coklat hanya
milik Elliot. Dan Elliot tidak mungkin mempunyai dua buah buku paket PKn. Jadi
salah satu buku yang bersampul coklat saat ini pasti palsu. Dan tidak mungkin Elliot
yang dicurigai –si cowok yang selalu ranking satu- tapi sudah pasti Beno.
“gua pinjem bukunya Dewi aja deh
yang tadi. Lu pake aja buku lu!” kataku sambil beranjak dari tempat dudukku.
Terlambat!
Bu Eka sudah muncul di ambang
pintu.Aku segera duduk kembali.
“udah, lo pake aja.” Bisik Beno dari
belakangku. Aku
menoleh.
“trus lu gimana?” aku menatapnya dengan
cemas. Aku baru sadar, bahwa ini adalah pertama kalinya kami mengobrol tanpa
adanya teriakan, hinaan atau ejekkan. Kita seperti teman akrab. Betulkah?
“ya doain aja gue nggak ketahuan.
Kalau ntar ketahuan gue bisa abis diomelin.”
Kemudian mengikuti seisi kelas, aku
dan Beno membuka halaman buku paket seperti yang diperintahkan oleh Bu Eka. Ini
nggak gampang, karena Bu Eka bukanlah tipe guru yang diam duduk manis di bangku
saat menerangkan pelajaran. Beliau pasti jalan kesana kemari. Aku melirik Beno yang sesekali
menutup bukunya begitu Bu Eka melintas di dekatnya. Karena pasti susunan
paragraph dan subjudulnya yang beda akan membuat siapapun yang melihat tahu
kalau itu bukan buku paket PKn.
Tapi sepertinya, sampul coklat
memang sudah menjadi trademarknya Elliot. Jadi begitu didalam kelas
ada dua buah buku bersampul coklat, Bu Eka langsung curiga. Dengan tatapan yang
berubah menjadi dingin, Bu Eka menatap Beno yang tengah berpura-pura sibuk
dengan bukunya.
“kamu yang duduk paling belakang
sebelah kanan, siapa namamu?” Bu Eka yang tengah bersandar pada meja guru
langsung mengambil buku absensi.
“Yonathan Beno Wicaksono, coba kamu
baca tiga paragraf pertama.” Perintah Bu Eka tajam.
“mampus gue!” desis Beno yang masih
bisa aku dengar.
“ketauan juga! Cepet lagi!” mendengar
gerutuannya, aku jadi tidak tega. Dengan wajah cemas aku melirik ke
arahnya.
“saya lagi sakit gigi Bu.” Beno
menjawab dengan lirih. Ucapannya
dibuat sememelas mungkin. Jelas
Bu Eka tidak percaya, karena tampang Beno jelas nggak seperti orang sakit gigi.
“membacanya dengan pelan-pelan saja
kalau begitu.” Ucap Bu Eka manis. Seisi kelas jadi ikutan tegang! Melihat Beno
yang hanya diam saja, Bu Eka langsung ngamuk.
“kamu tidak bawa buku kan?” aku
menoleh kebelakang. Aku ingin mengatakan kalau akulah yang tidak membawa
buku.Tapi ternyata Beno mendahuluiku.
“iya Bu, saya lupa membawa buku.”
Aku syok jujur saja. Apa
yang sebenarnya ada dalam pikiran Beno? Maksutku, bukankah dia membenciku? Dan justru ini kesempatan
emas dia untuk menjatuhkanku? Aku
melihat Radit dan Denny yang tengah menatapku dengan tatapan ingin tahu.
Begitu Beno mengaku, Bu Eka langsung
ngomel-ngomel. Dimulai dengan mengatakan bahwa Beno adalah model generasi muda
yang tidak menghargai pelajaran yang diberikan oleh Bu Eka, sampai dengan
pernyataan dari bibir Bu Eka yang berujar bahwa Beno tidak menghargai jasa-jasa
pahlawan yang telah gugur demi kemerdekaan RI.
Aku baru tahu, juga Beno dan seisi
kelas yang mengikuti jalannya Bu Eka mengomel itu dengan seksama, bahwa tidak
membawa buku paket PKn saat pelajaran Bu Eka itu termasuk mengkhianati
perjuangan para pahlawan yang berani mati demi kadaulatan RI. Dan juga termasuk
kejahatan serius yang bisa berujung didalam sel tahanan jika ada
undang-undangya.
Setelah mengomel-ngomel tadi, yang
kurang lebih memakan waktu hampir setengah jam. Ternyata Bu Eka belum
puas, beliau memerintahkan Beno untuk meninggalkan kelas. Aku jelas kaget. Sumpah, amukannya Bu Eka
nggak banget. Aku
mengiringi langkah Beno yang keluar kelas dengan tatapan bersalah. Namun aku masih mendengar
bisikan Tantra.
“asyik banget sih si Beno, nggak
belajar. Kok tadi nggak ngajak-ajak ya?” dasar semprul!
Pelajaran PKn berakhir bertepatan
dengan istirahat jam pertama. Begitu Bu Eka sudah beranjak keluar, tanpa
menghiraukan Elliot dan Radit, aku langsung berlari ke kantin.Tepat dugaanku,
Beno tengah asyik dengan siomaynya. Dia tersenyum melihat kedatanganku. Senyum kikuk, karena
mungkin ini pertama kalinya aku yang nyamperin dia duluan.
“maaf ya tadi? Maaf banget!
Seharusnya biar gua aja yang ngaku tadi.” Kataku begitu sudah duduk
didepan Beno.“ trus, lu nongkrong sendirian disini selama dua jam pelajaran
PKn? Aduh, mana tadi kepsek lewat lagi. Lu tadi sempet ngumpet kan?” tanyaku
bertubi-tubi.
“nggak ada gunanya, emang nggak ada
laporannya apa gua dikeluarin dari kelas gini?” sumpah, nih anak emang nyinyir
abis. Tapi berhubung dia tadi yang nolong, aku malah semakin merasa bersalah.
“bayarin makan sama minuman gue deh
biar tampang lo nggak merasa bersalah banget gitu. Nggak enak tahu diliatnya!”
“oke!” aku langsung mengangguk.
Tidak menggubris perkataannya yang sebenarnya agak nyelekit itu.karena aku juga
kebetulan sudah lapar, aku juga memesan siomay dengan air mineral. Tambah
kacang kulit untuk Beno. Kan
nggak asyik makan sendiri.
“nih!” aku menyodorkan kacang kulit
ke hadapan Beno. Tu anak kayaknya nggak nolak. “buat iseng nemenin gua makan.”
Kataku kemudian sambil tersenyum.
“bego ya kita? Kok bisa-bisanya
nggak sadar kalau Elliot itu mungkin satu-satunya siswa SMA se Nusantara yang
buku-bukunya disampulin cokelat!” ucap Beno sambil membuka bungkus kacang kulit
yang sudah aku belikan tadi. Mendengar
perkataan Beno barusan, aku batal memasukkan suapan pertama siomayku kedalam
mulutku.
“he eh emang! Ini semua gara-gara
Elliot!”
Kita berdua langsung terlibat dalam
obrolan seru. Aku
sadar, ini pertama kalinya aku dan Beno ngobrol tanpa adanya hinaan, saling
ejek atau saling teriak. Pertama
kali makan di kantin berdua dan entah mengapa, untuk pertama kalinya juga aku
merasa dekat dengan Beno. Entahlah.
***
Radit menatapku dengan tatapan aneh. Aku tahu, sekarang dia
pasti minta penjelasanku.Tadi, aku tidak hanya menghabiskan waktu dengan Beno
di kantin saja. Waktu
di kelas, aku juga kerap sekali menengok ke belakang karena gurauan Beno yang
lucu. Dan,
yang hingga kini aku tidak tahu, aku menurut saja saat Beno menawariku untuk
pulang bareng. Aku
juga heran, secepat itukah aku dan Beno membaur menjadi teman dekat? Dan sekarang aku
sepertinya kena dampaknya. Radit.
“lo tadi pulang bareng siapa?” Radit
memutar duduknya hingga bisa menatapku yang tengah berbaring di ranjang sambil membaca
komik one piece. Aku
ragu-ragu sebentar sebelum menjawab. Aku tidak menyukai Beno, sungguh! Tapi dia
orangnya ternyata asyik banget.
“Beno.”Jawabku pelan. Aku sudah tidak bisa
konsentrasi membaca komik one piece ku.Walaupun, Zoro tengah melepas baju
atasnya di komikku. Ya,
aku ngefans dengan Zoro One Piece. Dia itu bodoh, tapi cool. Keren, mungkin seandainya
dia ada di kehidupan nyata.
“ada apa dengan kalian? Ada yang
disembunyikan dari gue?” aku meletakkan komikku sekarang.
“nggak. Nggak ada apa-apa. Kita
hanya capek berantem. Apa salahnya kita berteman.”Jawabku dengan nada senormal
mungkin.
“sampai kapan lu bakal diem-dieman
sama Denny?” aku terperangah. Kenapa tiba-tiba Radit menyinggung hal ini? Bukannya dia juga tahu
dan melihat dengan kepalanya sendiri saat Denny selingkuh?
“lo masih sayang sama Denny?”
“aduh, udah deh Dit! Nggak usah
nyebut nama tu anak. Lagi nggak mood gua!”
Radit menghembuskan nafas perlahan.
Aku tidak tahu apa yang tengah dipikirkan sahabat dekatku ini.
“lu ada masalah Dit?” tanyaku
perlahan sambil mendekatinya yang tengah sibuk
belajar. Padahal tadi sore kita sudah les privat.PR sudah dikerjakan,
kita juga sudah belajar tadi. Buat apa Radit belajar lagi? Apa yang tadi belum
cukup? Aku menghampirinya lalu memeluknya dari belakang. Sejak sebulan terakhir
ini aku terbiasa melakukannya. Memeluk
Radit atau dipeluk Radit. Radit
melepaskan diri dari pelukanku yang langsung membuatku mengkerutkan dahi. Dia menatapku dengan
tatapan yang sulit aku artikan.
“lo nggak bakalan ngerti Gan.”
Katanya pelan sambil merebahkan dirinya di ranjang.
“good night.” Aku masih terdiam. Aku
tidak bego, tatapan Radit tadi sangat mirip dengan cara Denny dulu menatapku
jika aku sedang merajuk. Satu prasangka muncul di kepalaku. Radit menyukaiku?Cukup
lama aku terdiam dengan pemikiran itu.Namun kemudian aku tertawa lirih. Nggak
mungkin lah! Radit kan jelas-jelas naksir Beno!
Aku memandang Radit yang tengah
tertidur pulas. Aku
tidak tahu apakah dia sudah tertidur betulan atau hanya pura-pura tidur. Ini
baru jam delapan malam. Biasanya jam segini, Radit masih sibuk dengan koleksi
DVD-DVD nya. Dia hobi nonton film. Film apa saja. Komedi romantic, thriller,
drama atau bahkan film documenter. Radit melahap semua jenis film.Kita
sudah menghabiskan hampir 5 bulan lebih waktu bersama-sama.Aku tahu, aku
menyayanginya. Tapi
hanya sebatas sahabat.Saudara, tidak lebih.Aku masih mencintai Denny kalau
boleh jujur.Tidak gampang melupakan sosok Denny dari hatiku, walaupun kita
jadian tidak lebih dari dua bulan.
Aku menarik nafas panjang sebelum
akhirnya menghembuskannya secara perlahan. Entah kenapa aku
tiba-tiba jadi merindukan Denny. Oke, aku tahu kita masih bertemu
setiap hari di kelas. Tapi kita kan sama sekali tidak pernah ngobrol. Aku
melirik ponselku yang tergeletak manis di meja belajar.
NO Gani! No! I’m not calling him!
I’m not calling him! I am NOT calling him! Damn it! Dengan perasaan campur aduk
akhirnya aku memencet nomor itu. Nomor yang hingga saat ini masih
sangat aku hapal. Pada
deringan ketiga teleponku diangkat. Aku hanya diam, shit! Buat apa aku telepon
dia tadi? For God shake!
“Gani? Are you?” see? Suaranya masih seseksi
dulu.
“hei.” Sapaku basi. Demi Tuhan!
“ada apa?” suaranya lembut. Seakan-akan
aku masih menjadi kekasihnya. Denny, can I told you that I miss you so much?Not,
I can’t.
“nggak papa. Iseng aja.”Garing
banget.
“gimana sama Felix?” tanyaku
kemudian. Stupid! Kenapa dari sekian banyak topic aku harus menyinggung Felix? Aku mendengar Denny
menarik nafas panjang sebelum akhirnya bicara.
“bisa kita ketemu? Aku jemput kamu?”
aku melirik jam yang berada di atas meja belajar. Baru setengah Sembilan. Jam
malam yang diberlakukan di rumah ini adalah jam sepuluh malam. Masih ada satu
jam setengah. Ketemu nggak?Ketemu nggak? Shit! Jika saja rindu ini tidak begitu
membebaniku.
“oke.” Kataku pelan sebelum akhirnya
mematikan sambungan telepon. Please tell me, what’s going on with me?
Aku langsung mengambil jaketku
sebelum akhirnya turun dan keluar dari gerbang rumah. Tidak butuh lama hingga
aku melihat Denny dengan motornya. Mempesona seperti biasa. Dan membuat jantungku
berdebar lebih cepat. Aku
masih mencintainya. Aku
sadar itu. Dan
aku merutuki diriku sendiri. Denny
memberi kode dengan dagunya agar aku naek ke motornya.Tanpa membuang waktu aku
segera naik ke boncengan motornya, namun kali ini aku jaga jarak. Aku tidak ingin memeluk
pinggangnya seperti dulu.
Denny membawaku ke tempat ayam bakar
kesukaanku. Dia sepertinya masih hapal apa menu kesukaanku. Namun begitu kita
duduk berhadapan, kami sama-sama diam. Aku juga tidak tahu mau ngomong apaan. Sesekali aku melirik
wajahnya. Dia masih sama seperti dulu. Betapa kangennya aku membelai pipinya? Menelusupkan jari-jariku
melalui kaosnya? Menyentuh
kulitnya? Ya
Tuhan, jika rindu bisa membuat kematian, aku pasti sudah mati. Denny ku. Bukan, dia bukan Denny ku
lagi. Dia hanya Denny Prayoga sekarang.
“aku kangen kamu.” Kalimat itu
keluar dari bibir Denny lirih. Aku
menatapnya. Ada
rasa bahagia, sakit, juga rindu yang kian merebak dalam diriku.Tahukah kamu
Den, bahwa aku juga merindukanmu? Desis hatiku getir.
Ke chapter 9 ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.