FOLLOW ME

Jumat, 29 Maret 2013

CERITAKU 3


CERITAKU 3



Aku tiba di sekolah Reno tepat 20 menit setelah pantatku menyentuh jok belakang motor Andi. Hari ini aku ketemu langsung ma Dewi plus pacarnya yang kata Reno kemarin berhasil menyumbangkan salah satu sperma terbaiknya bersarang di Rahim Dewi.Cukup alot, apalagi Dewi tak henti hentinya sesenggukan di pundakku. Berasa aku yang jadi pacarnya ketimbang Risky yang adalah pacar resminya. Nah, ini dia. Aku sempat hampir melotot tak percaya, wajah Risky hampir serupa dengan wajah Rafky. Matanya, hidungnya, bibirnya, bahkan perawakannya. Hanya saja Risky sepertinya lebih pendek dari Rafky. Aku tak percaya, ternyata kejadiannya sepele. Risky, si cowok SMP yang wajahnya mirip Rafky itu melakukan petting bersama Dewi. Dia menggesek gesekan alat kelaminya di atas vagina Dewi, dan Dewi bilang sebulan setelah itu Dewi belum datang bulan. That’s it. Hanya itu, dan mereka secara cerdas menyimpulkan bahwa Dewi hamil. Oh God!!
Akhirnya aku mengantar Dewi ke dokter, setelah Dewi ganti baju tentunya. Berakting menjadi suaminya, pura pura kecewa saat dokter berkata bahwa Dewi tidak hamil. Mungkin terlalu capek atau terlalu stress sehingga haidnya tertunda. Capek memang, baru jam 7 malam aku dan Reno bisa pulang.Tapi semua itu setimpal karena aku bisa berkenalan dengan Risky. Bahkan no. hpnya sudah tersimpan manis di phone bookku.
Aku tengah berkutat dengan buku matematikaku saat hp ku berdering. Sms dari Risky, aku nyengir begitu membaca sms itu.
‘selamat malam ka’
Singkat, tapi sudah bisa membuatku terlena. Apa iya semudah itu aku jatuh hati pada Risky? Apa karena dia begitu mirip dengan Rafky? Aku tak tau, tapi jari jariku bergerak lincah menekan tombol keypad.
‘malem juga de’
Send. . .

Aku kembali berkutat pada buku matematikaku, kembali mengerutkan keningku dan menggigiti bolpenku.Kebiasaanku kalau sedang berpikir. 5 menit kemudian sms masuk. Harapanku kandas, bukan dari Risky, tapi dari Andi.
‘besok gua jemput ya?’

Hmm, Andi jemput aku?

‘okay’
Send . . .

Aku cepat cepat menyelesaikan PR matematikaku, bukan apa apa, tapi aku hanya ingin cepat cepat tidur. Saat aku menutup buku kotak ku, hp ku kembali bordering.

‘jam 6 standby’

Aku memutar bola mataku, jam 6? Pagi amat.

‘1/2 7’ balasku cepat.

‘gw lom ngrjain mtk, nyntek pnya lu’

Harapanku kalau Andi sedang pdkt agak terkikis, jadi hanya karena ingin nyontek PR matematikaku? Humpt, bikin kesel aja. Tapi toh aku tetap menyetujuinya. Aku setuju untuk di jemput jam 6, lagipula hemat uang transport. Hehe,
Capek menunggu balasan sms dari Risky akhirnya aku tertidur. Tepat jam 5 pagi aku bangun tidur, merapikan tempat tidurku, mandi, makan dan jam 6 kurang 5 menit aku sudah menunggu Andi di depan teras. Andi cowok yang tepat waktu, dan kita tiba di sekolah pukul 6 lebih 15. Rekor baru untukku, jujur selama sekolah disini paling mentok aku datang jam 7 kurang 15. Itupun kalau aku lagi beruntung. Belum ada siapa siapa di kelas, hanya aku dan Andi. Sebelum masuk kelas tadi, Andi sempatkan membeli gorengan. Belum sarapan katanya. Mengorbankan waktu sarapan hanya untuk nyalin PR matematika? Salut!!
“mana PR lu? Gua nyontek, cepetan!”, Andi langsung nyerocos.
“bentar”. Aku mengeluarkan buku matematika ku, belum sempat aku berikan, Andi sudah menyerobot duluan, seolah olah bukuku adalah emas berharga. Segitunya ya.
“uda lu duduk sini aja”, Andi ngomong tanpa menoleh. Tangannya sibuk menyalin sederet angka dan gambar dari bukuku ke bukunya.
“suapin gua dong, tangan gua kepake semua ni. Mana laper banget lagi”, Andi kembali mengeluarkan suaranya setelah 10 menit berkutat dengan PRku. Aku melayangkan pandang ke sudut sudut kelas, memang belom ada yang datang. Tapi kalau tiba tiba ada anak yang masuk kelas gimana?
“buset dah, malah bengong. Cepetan! Keburu masuk ntar, gua laper banget Nan!”, Andi agak emosi, tangan dan matanya masih sibuk menyalin PRku. Aku ragu, tapi kemudian aku mengambil satu tahu goreng, lalu aku dekatkan ke bibirnya. Ada rasa deg degan saat bibirnya tanpa sengaja menyentuh jariku. Rasa asing yang bahkan belum pernah aku rasakan selama aku mengagumi Rafky. Wajahku memerah, Andi mungkin tak menyadarinya, karena dia masih berkutat dengan PRnya.
“lagi dong, yang tempe”, Andi kembali meminta. Tanpa diperintah 2 kali aku langsung mengambil satu tempe goreng, mendekatkan ke bibirnya dan menikmati getaran aneh saat bibirnya menyentuh ujung jariku. Aku menyukainya, menyukai getaran aneh saat bibirnya menyentuh ujung jariku. Aku tak tau kalau sudah ada penghuni lain di kelas ini selain aku dan Andi, hingga penghuni lain itu berdehem. Aku melonjak kaget, Andi hanya sekilas mendongakkan kepalanya lalu berkutat kembali dengan PRnya. Rafky, cowok yang berdehem tadi langsung melewatiku dan duduk di bangku paling belakang. Sempat mengguman, yang kalau tidak salah seperti mengucapakan, “dasar maho”. Ya itu kalau aku tidak salah dengar. Tapi toh Rafky sudah sukses membuatku makin memerah.
Makin kesini aku dan Andi makin dekat, sms sms romantis darinya tiap malam. Perhatiannya. Semua itu membuat aku semakin lupa akan sosok seorang Rafky. Aku mulai mengenal getar getar aneh yang tiap kali datang saat aku sedang bersama Andi. Aku jatuh cinta padanya.
“hy, ko bengong?”, tanya Andi yang sukses mengagetkanku dari lamunan. Aku sedang berada di dalam kamar Andi. Jangan berpikir kalau kita sedang lukis telanjang lagi. No! kita sedang belajar bersama. Lebih tepatnya, aku yang mengerjakan PRnya dan Andi tinggal menyalin. Tapi toh aku tetep seneng, apapun akan aku lakukan untuk bisa terus terusan barengan Andi. Anehnya, aku tak bertemu Rafky lagi di rumah Andi, hanya saat pertama aku datang tempo dulu.
“oey?? Hallo?? Kok gua di cuekkin ya?”, Andi kembali mengusik lamunanku.
“sapa yang nyuekkin lu? Lagi berpikir keras ni gua”
“halah, buset dah lagak lu! Eh, yang no. 10 tu buruan di kerjain. Habis itu gua ajak lu jalan jalan sebentar”. Aku menoleh, binar binar  bahagia Nampak jelas di wajahku.
“serius?”
“yes it is. Hehe”, jawab Andi sambil nyengir. Memperlihatkan sebentuk lesung di pipi kirinya. Manis. Aku langsung tunjuk aksi, mengkerutkan kening, menggigiti bolpen dan mulai corat coret. Tak butuh waktu lama hingga PRku selesai di salin di buku kotak milik Andi.
“katanya mau ngajak keluar?”, aku menagih janji.
“ye, sabar atu kang. Gua mandi dulu bentar”, kata Andi sambil masuk kamar mandi, beberapa saat kemudian kepalanya nongol lagi.
“mau ikut kaga?” Pertanyaan itu sukses membuat wajahku kembali memerah. Tanpa menunggu jawabanku, Andi langsung menutup lagi pintu kamar mandinya. Oh God, kapan Andi bakal menembakku? Ini mah uda ketauan banget kalau Andi naksir aku, diliat dari segimanapun uda ketauan. Perhatianya, sesama cowo tapi sering sms uda makan lom? Ud mandi lom? Lagi ngapain? Haiyah, itu mah uda ketauan banget kan? Kayak cowok yang lagi pdkt ke cewe.
“bisa minta tolong kaga Nan?”, teriak Andi dari dalam kamar mandi setelah 15 menit di dalamnya.
“halah, tumben amat lu bisa gunain kata tolong?”
“mau kaga ni?”
“iye, apaan?”
“Ambilin gua handuk dong di lemari, ada di paling bawah”, teriaknya dari dalam kamar mandi. Aku berjalan ke arah almari yang ada di pojok kamar Andi. Membuka, mengintip isinya sebentar, bergumam ‘wow’, melihat ke arah bawah, mengambil handuk lalu menutup kembali pintu almari.
Aku sedikit grogi saat sudah berada di dekat kamar mandi.
“handuknya An”, kataku gugup. Andi melongokkan kepalanya, tersenyum manis.
“thanks”. Kata Andi lalu kembali masuk ke kamar mandi.
Shit!! Buat apa aku grogi tadi? Aku kira aku bakal ngeliat tubuh polos Andi terpampang di depanku, but? Dia hanya melongokkan kepalanya doang. Uh!! Rugi berat aku sudah grogi.
“aku tunggu di teras ya An”, teriakku sambil membereskan buku buku ku.
“sip!!”, teriaknya balik. Aku sempat heran, ni anak mandinya lama amat yak? Kayak perawan aja. Lagipula kenapa dia handukan di dalam? Toh aku juga sudah liat perkakasnya ini. Bingung.
Aku menunggu di teras sambil iseng liat kontak di hpku. Saat nama Risky Dharmawan terpampang, timbul niat buat sms dia. Lagi asik ngetik pesan, eh ada yang nyapa.
“ka Nansa?”, sapaan sopan tersebut sukses membuat aku sedikit kaget. Apalagi saat melihat orang yang menyapaku, wuih, kaget plus seneng. Soalnya ini pertemuan kedua setelah dulu bertemu di sekolahnya Reno.
“Risky? Ngapain?”, tanyaku kayak orang dongo.
“kok ngapain? Ya pulang lha. Ini kan rumah Risky ka”,
“ha?” Yakin aku juga mungkin bakal ketawa kalau liat ekspresiku sendiri saat ngomong ha? Barusan. Risky tersenyum kecil.
“kaka aneh”.
Oke mungkin aku aneh, emang pada dasarnya uda aneh sih. Tapi kan aku lagi bingung ni. Risky masih senyum senyum, sedangkan aku terdiam. Kaga ngerti mau ngomong apaan.
“eh Nan, sorry ya lama!”, seru Andi sambil menepuk bahuku.
“Eh eh, iya”, sumpah!! Mirip banget kayak orang kaget tapi ekspresi bego. Kebayang kaga? Kaga ya? Sama!!
“lu kok baru pulang Ris? Ngapain aja lu?” tanya Andy ke Risky.
“try out ka!”
“serius lu? Kaga mojok ma Dewi kan?”
“emang beneran try out kok”, jawaban cerdas. Tapi tak urung wajahnya memerah saat Andi menyinggung nama Dewi.
“awas lu kalau mojok mulu gua bilangin bokap lu! Eh kalau nyokap nyariin bilang gua lagi keluar bentar ya!”
“ogah”, jawab Risky sambil masuk ke dalam, sebelumnya dia masih sempat memberikan senyum manis untukku.
“huuuu!! Dasar!! Yok Nan!!” kata Andi sambil misuh misuh kaga jelas.
“sapa tadi?”, tanyaku kemudian. Jujur aku uda penasaran banget.
“adekku”
“kandung?”. Andi langsung menoleh ke arahku. Eh? Aku lancang banget ya?
“sorry. . .”, kataku kemudian. Aku bener bener nyesel.
“gak papa, banyak yang nanya juga kok. Kaga mirip ya?”, tanyanya kemudian.
“iya, malah lebih mirip. . .”, aku tak berani meneruskan. Takut  Andi makin tersinggung. Karena seingatku Rafky dan Andi jarang banget terlihat bertegur sapa. Andi turun dari motornya, meghampiriku lalu mengajak aku duduk di kursi teras rumahnya.
“Rafky ya?” itu seperti bukan pertanyaan. Cara Andi mengucapkan membuatnya  lebih mirip pernyataan. Aku mengangguk. Andi menghela nafas panjang.
“bokap gua, bokap Rafky juga”  Aku menoleh, memandangi makluk manis yang selama beberapa hari ini selalu bermain di pikiranku.
“gua saudara tiri Rafky. Lu tau kenapa Rafky kaga pernah suka ma gua?” Aku menggeleng.
“karena dia selalu beranggapan  nyokap gua yang bikin nyokap dia meninggal.” Aku melongo, tak pernah tau kalau Rafky sudah tak punya ibu. Tapi saat pengambilan raport, ibunya yang ngambil kok. Wait a minute, jangan jangan itu ibunya Andi??
Bingung bingung. . .
Melihat wajahku yang kebingungan, Andi lalu tersenyum tipis.
“ayahku menikahi ibuku walaupun orang tuanya tidak merestui”, lanjut Andi. Aku agak tertegun.Sejak kapan Andi berbicara aku-kamu ke aku?
“tapi kemudian orang tua ayahku memaksa ayah untuk menikahi wanita lain. Ayahku terpaksa setuju, didesak kebutuhan ekonomi, kesehatan ibuku yang memburuk”, Andi tersenyum kecut sebelum melanjutkan ceritanya.
“awalnya ibuku tidak setuju, tapi akhirnya toh ibuku merelakan juga ayah menikahi wanita itu.” Bahu Andi sedikit bergetar. Aku tau, ini mungkin adalah masa lalu yang paling ingin di lupakan oleh Andi.
“seharusnya aku dan ibuku yang membenci dia Nan, dia yang merusak kebahagiaan orang tuaku. Aku. . .” tubuh Andi sedikit berguncang. Entah kenapa aku memeluknya, Andi sesenggukan di bahuku. Aku trenyuh.
“karena itu dia benci aku, benci semua hal yang aku suka. Mungkin itu juga kenapa dia benci kamu”.
Aku melonjak, mengulang kata kata Andi dalam pikiranku. Rafky membenci semua hal yang aku sukai, mungkin itu sebabnya dia benci kamu? Artinya Andi suka aku? Mungkinkah ini pernyataan tersirat?
Tbc. . .
Maaf ya ceritanya makin flat. But thanks uda mau baca. Pendek banget pula. . .
Maaf,. . .

Selasa, 26 Maret 2013

CERITAKU 2


CERITAKU 2



Aku tengah melangkah menuju rumah. Sepanjang jalan tak henti hentinya aku berpikir tentang Andi. Harus aku akui, tadi adalah acara menggambar paling seru sepanjang hidupku. Aku cukup sering menghayal tubuh maskulin yang ingin kugambar. Tapi tadi itu nyata, cowok yang telanjang bulat di depanku tadi nyata, bukan dari khayalanku. Aku masih teringat jelas lekuk tubuh Andi, dadanya yang bidang, perut yang emm yah walo tidak sixpack tapi cukup datar dan enak di lihat. Dan benda indah yang menggantung diantara 2 pahanya. Menggiurkan. . . hush!! Fokus pada Rafky! Fokus gimana? Dianya sombong gitu.

Aku menggigil, nafsuku memang bergejolak. Tapi hatiku tetap untuk Rafky, halah jadi pacarnya Rafky aja belom! Tak terasa aku sudah berada di depan rumah
 ibu, aku pulang,’’ kataku sambil melangkah masuk.
kok baru pulang nak?’’, Tanya ibuku sedikit kawatir.
“iya bu, tadi ngerjain tugasnya emang agak lama’’, kataku sambil melepas kaosku.
”Nansa mandi dulu ya bu?’’, tambahku seraya berjalan menuju kamar mandi yang berada di luar rumah.
“ya, setelah mandi makan dulu ya? Ibu uda siapin makan malam’’.
“iya bu, Reno belom pulang bu?’’.
         “belom nak, tadi dia ijin mau mampir ke rumah temannya sebentar’’
         “oh’’, kataku seraya menuju kamar mandi. Aku hidup hanya bertiga. Aku, ibuku dan adikku. Ibu mempunyai toko yang dulu sempat dibangun Ayah sebelum mereka berdua bercerai. Ayahku sebenarnya orang kaya, tapi dia menikah lagi. Dan saat ibu menuntut cerai, tanpa berpikir panjang ayah langsung menyetujuinya.
Ayah memang masih mengirim uang untukku dan adikku, tapi uang itu ditabung ibuku untuk kuliah aku dan adikku nantinya. Hidupku memang tidak menderita amat, tapi ya begitulah. Oya, Reno itu nama adikku.
         Aku memulai ritual mandiku. Sebenarnya, aku ingin lebih lama bermain main dengan sabun karena teringat tubuh Andi tadi.Tapi akal sehat mengalahkanku, ini sudah terlaru larut, dingin pula. Setelah mandi, aku langsung makan hanya dengan handuk yang dililitkan dipinggangku. Hehe, kebiasaanku yang satu ini emang uda bikin ibuku menyerah untuk menegurku.
         “uda lama lu Ren?’’, Tanyaku ke Reno yang sedang asyik menyantap makan malam.
         “baru juga nyampe. Kemana aja lu bang? Tumben maen ampe malem.’’, Reno berbicara dengan tanpa menatapku.Terlalu asik dengan makan malamnya.
         “ada tugas tadi, lumayan sulit. Jadi agak lama’’, jawabku sambil mengambil piring dan mengambil nasi. Reno mengangkat wajahnya dan menatapku agak lama. Tatapanya seolah olah berbicara, ‘serius lu?’
         “gua kaga boong’’, kataku yang agak risih dengan tatapannya yang curigaan.  Aku dan Reno hanya selisih 2 tahun, aku 17 dan Reno 15. Dan harus ku akui, Reno mewarisi semua yang baik dari kedua orang tuaku.Tinggi badan ayahku, kulit putih ibuku, hidung mancung ayahku, mata belok ibuku. Kesimpulannya, Reno sangat manis dan lebih bisa di andalkan daripada aku yang adalah kakaknya.
         “bang. . .’’, suara Reno terdengar saat aku tengah menyuapkan suapan pertama ke mulutku.
         “hmm, apa?’’, kataku setelah kunyahan pertama berhasil masuk ke perutku.
         “ntar malem gua tidur di kamar lu ya? Gua mau cerita’’, katanya kemudian. Aku memutar bola mataku. Reno? Mau cerita? Ke aku? Kaga salah? Bukannya aku dan Reno tidak akrab, tapi kami tidak pernah saling curhat. Belom pernah selama 15 tahun umurnya.
         “gimana? Boleh kaga?’’, Reno mengagetkanku.
         “bisa’’. Aku menyelesaikan makan malamku dengan cepat. Ibuku sedang sibuk nonton sinetron. Khas ibu ibu jaman sekarang, sinetron sudah masuk dalam jadwal khusus yang sifatnya wajib. Hum… pikiranku menjelajah, Reno mau cerita apa? Saat aku masuk kedalam kamarku, Reno sudah berbaring di ranjangku. Aku menuju lemari, membuka dan mengambil selembar boxer. Melepas handukku dan memakai boxerku. Dari ujung mataku aku tau Reno mengamatiku.
         “mau cerita apaan lu? Tumben amat.’’, kataku sambil berbaring di sampingnya.
         “lu masih inget Dewi kaga?’’, Reno bertanya sambil merubah posisi tidurnya. Sekarang dia miring menghadapku.
         “Dewi yang mana?’’
         “yang dulu pernah gua ajak kesini. Masa lu lupa?’’. Aku mengkerutkan keningku, cewek dengan gaya Agnes wanna be melintas di benakku.
         “emm, ya gua inget. Kenapa dia?’’, tanyaku kurang antusias.
         “dia hamil’’, sahut Reno lirih. Mataku dengan sukses melotot.
         ”lu?’’
         “bukan lha, emang gua sebejad itu apa?’’, Reno agak tersinggung.
         “so? Hubunganya ma lu apa coba?’’
         “gua suka dia bang’’. Otakku langsung bekerja, beberapa asumsi terburuk melintas di otakku.
         “jangan bilang lu mau kawinin Dewi’’, kataku agak sewot.
         “itu dia bang, gua mau tanya pendapat lu’’.
         “kalo lu mau tau pendapat gua, gua kaga setuju!! Gila apa?! Itu berarti lu harus putus sekolah!! Pikirin juga perasaan ibu. Mungkin ibu bakal setuju kalo lu bilang lu yang bikin bunting, tapi perasaannya?’’ Kataku panjang lebar.
         ‘‘iya gua ngeh, tapi lu jangan emosi lha bang, gua Cuma pengen nyari solusi yang pas. Makanya gua cerita ke lu.’’ Reno berkata sambil membetulkan posisi tidurnya. See? Pemikirannya selalu lebih tenang dari aku.
         “trus? Gimana?’’
         “ya bantuin gua cari solusi lha bang, lagian sebenarnya dari awal juga kaga ada niat buat ngawinin Dewi. Emang gua suka dia tapi kaga buta juga kali.’’
         “emang siapa yang bikin dia bunting?’’  tanyaku penasaran.
         “temen sekelas gua, mereka berdua tu sekarang lagi panik bang!!’’ jelas Reno.
         “mereka berdua?’’
         “iya, Riski ma Dewi’’. Aku mengkerutkan keningku. Melihatku yang sepertinya kebingungan, Reno menambahkan.
         “sebenarnya Riski uda mau tanggung jawab’’
         “beres dong kalo gitu masalahnya’’, kataku santai.
         “ye, kalo beres ngapain gua ceritain ke lu? Mereka tu lagi parno abis bang’’
         “ok dah, besok gua ketemu orangnya langsung aja. Denger versi lengkapnya. Tapi mereka mau kaga?’’  tanyaku agak mengkerutkan kening, secara ini kan masalah yang sangat pribadi.
         “Mau pasti, gua uda bilang ke mereka ko.’’.Aku menoleh kearah Reno, memandangnya dengan tatapan tak percaya.
         “jangan mikir macem macem bang, gua bukan orang yang tukang  ikut campur urusan orang. Mereka berdua yang minta tolong ke gua.’’ Reno agaknya kurang terima dengan arti tatapanku.
         “oke dah, sekarang tidur aja dulu, uda malem. Besok sepulang sekolah gua temuin dua temen lu ntu’’.
         “ya’’ jawab Reno singkat lalu tidur membelakangiku. Hmm, aku berpikir sejenak. Kira kira aku bakal nglakuin apa yang Reno lakuin kaga ya kalo aku di posisinya? Ahh, sebodo. Mending molor daripada besok telat. Cukup sekali aku jadi korban kejailan pak Roni, satpam sekolah.
***

        

Sekolah hari ini cukup bikin emosi, bukan karena aku telat. Eem, hampir telat!! Dan itu yang membuat malapetaka ini terjadi. Aku duduk sebangku dengan Rafky. Sistem di kelasku adalah yang datang pertama berhak memilih tempat duduk dimanapun, jadi orang yang datangnya hampir bersamaan dengan bunyi bel masuk sepertiku ini hanya pasrah. Dan bangku yang kosong hanya di samping Rafky. Jangan berpikir duduk dengan orang yang di sukai itu menyenangkan, deg degan gimana, grogi grogi kaga jelas. Haha, itu hanya terjadi di awal, sekarang? Gondok yang lebih tepat mewakili perasaanku. Gimana kaga gondok? Rasanya kayak duduk sebangku dengan patung. Eitzz, duduk sebangku sama patung kayaknya lebih baik. Lihat ni percakapanku ma Rafky sepanjang yang sudah terjadi :
N : “dateng telat juga ya Raf?’’
R : “hmm’’. Hanya itu doang yang keluar dari bibir tipis kehitamannya. Aku hanya maklum, mungkin Rafky sedang terkena radang tenggorokan.
         Percakapan kedua :
N : “Raf, punya bolpen lebih kaga? Punya gua abis ni’’
R : “lagi dipake’’. Aku masih senyum manis, mungkin dia lagi PMS, jadi agak sensi. Tapi bodohnya aku yang kaga belajar dari kesalahan pertama dan kedua, aku masih mengajak manequin ganteng satu ini berkomunikasi. Saat pelajaran matematika ;
N : “yang ini gimana sih Raf?’’ aku tanya baik baik lho. Bener!!
R : ”gua bego kaga pinter kayak lu!’’. See? Mungkin aku harus mengajari dia cara berbicara yang santun dan baik. Alhasil, belajar dari kesalahan masa lalu aku lebih baik tidak mengajaknya berbicara. Itu hanya akan menoreh luka hati yang lebih dalam (halah, lebbe!!).
         Akhirnya bel pulang pun berbunyi. Hyuuuh, aku menarik nafas lega. Rafky bangkit dari tempat duduknya, sebelum pergi dia sempatkan melirik ke arahku. Bukan!! Kalian salah, bukan lirikan kamu-ganteng-juga-kita-kencan-yuk. Bukan itu arti lirikannya, tapi lebih tepat  apes-banget-gua-hari-ini-duduk-bareng-lu. Ya, mungkin itu terjemahan yang lebih tepat untuk lirikannya. Sekali lagi aku hanya menghembuskan nafas. Sabar, orang sabar banyak duitnya!!
         Aku sedang memasukkan buku bukuku ke dalam tas saat Andi menghampiriku.
         “pulang bareng yuk Nan’’, tawar Andi. Aku mendongakkan wajahku ke atas dan melihat Andi dengan senyum manisnya.
         “kaga bisa An, gua mesti  jemput adik gua ni di sekolahnya’’
         “adik lu sekolah dimana emang?’’
         “SMP 5’’, jawabku singkat.
         “ya uda, gua anterin. Ya? Mau ya?’’. Aku berpikir singkat. Andi kenapa sih? Lalu mendadak terbesit dugaan yang tak pernah aku pikir. Apa iya Andi lagi PDKT? Di lukis telanjang? Mungkin dia mau tau reaksiku kalo liat tubuh indahnya terpampang polos di hadapanku. Sekarang? Sengaja pulang lebih jauh hanya supaya bisa pulang bareng aku?
Menghayal lu Nan!! Baru juga kemungkinan. Tapi jika kemungkinan itu bener, kayaknya aku harus mulai memikirkan alternative lain. Berhenti mengejar Rafky, dan pindah ke lain hati. Emang bakal gampang? Ah, liat aja ntar gimana jadinya.
         “gimana?  Mau kaga? Malah bengong.’’ Andi membuyarkan analisiku.
         Aku tersenyum, senyum termanis yang aku punya,
         “hehe, boleh’’.
Tbc. . .

Kritikannya ya guys. . .