FOLLOW ME

Sabtu, 23 November 2013

THE SERIES 12

Aku memaksakan tubuhku untuk bangun. Daripada nanti mamaku datang ke kamarku dan membangunkanku dengan cara biadab, aku lebih memilih untuk memaksa diriku sendiri untuk meninggalkan ranjang nyamanku. Oh, I hate Monday. I already knew it.
Setelah aku siap, aku segera beranjak ke ruang makan dimana mama, papa, paman Pri, Lek Tien dan eyang sudah menantiku. Seperti biasa, aku memang selalu yang paling terakhir berada di meja makan. Sudahlah, aku tidak ingin berbagi alasannya dengan kalian. Menceritakan kepada kalian bahwa aku memang agak sulit bangun? Itu sama saja membeberkan aibku. Jadi aku tidak akan menceritakannya. Sungguh!
“Galih sakit, kamu nyetir sendiri ya?” Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan menatap papaku tak percaya. Papa menyuruhku menyetir mobil sendiri? Yakin? Aku meraba telingaku sebentar, memastikan bahwa keduanya masih terpasang dengan benar disana. Maksudku, bukankah papaku sendiri yang dengan sangat keras melarangku menyetir mobil? Dan sekarang?
“Galih sakit pa? Sakit apa?” kenyataan ini lebih mengusikku. Ternyata Galih manusia juga. Dia bisa sakit, aku kira dia bandel hingga anti sakit. Analisaku salah.
“Badannya demam, mungkin karena kecapekkan. Gak papa kan kamu nyetir sendiri?”
“Iya pa.” Aku mengangguk. Entah kenapa aku kurang antusias. Nyetir sendiri, artinya aku tidak akan bisa memperhatikan Galih dari belakang. Mengamati tengkuknya yang seksi. Mencuri-curi pandang wajahnya dari kaca depan. Hah? Ada apa denganku?
Dengan lesu aku membawa mobilku lebih hati-hati. Aku tidak ingin menabrak orang lagi. Tidak. Amit-amit.
Aku memakirkannya tepat disamping mobil kepala sekolah. Sebelum meninggalkan lapangan parkir aku sempat melirik sinis ke arah mobilku. Bahkan mobil KepSek pun kalah mewah dari mobilku. Apa aku terlalu berfoya-foya? Apakah kehidupanku begitu glamor? Aku tidak merasa begitu, hanya saja di tempat ini aku merasa seperti ikan hiu yang terperangkap di kolam kecil. Semua orang tau tentangku, semua orang menghormatiku, semua orang tidak berani menentangku. Dan aku bosan.
Mungkin kalian menganggapku aneh, but seriously I need enemie! Aku butuh musuh! Seseorang yang berani menantangku, berani mengejekku. Ah, sudahlah itu tidak mungkin terjadi. Nama Prawiro terlalu berpengaruh disini.
Secara tidak sengaja aku berpapasan dengan Herry di koridor dan aku mengabaikannya. Lebih tepatnya, berusaha dengan keras mengabaikannya. Aku akui pesonanya masih sama seperti dulu. Bahkan mungkin lebih. Tapi aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa Herry telah mencampakkanku. Itu faktanya, itu kenyataannya. Demi Taufik! Okay, aku mungkin belum tahu kebenarannya. Namun jika ditilik dari hubungan keduanya yang semakin sering bersama, apa yang bisa aku simpulkan?
Beberapa kali aku memergoki mereka tengah bersama. Dan aku merasa di khianati oleh keduanya. Shit!
Tapi seberapapun aku berusaha membenci Harry, aku tidak bisa. Bayangan wajahnya masih menari-nari di benakku hampir sepanjang waktu. Senyum lepasnya, gaya bicaranya, sifat polosnya, gaya makannya. Hhh, aku hanya belum pernah bertemu orang yang sebebas itu. Demi Tuhan, aku masih mencintainya.
Dan yang lebih apes lagi, Hendra tidak masuk hari ini, congratullation to me! Aku bukannya kekurangan teman. Teman-teman sekelasku semua baik padaku, yah seperti yang kalian tahu karena aku cucu eyang Prawiro. Sedangkan Hendra? Dia bersikap apa adanya didepanku. Dia tidak pernah berpura-pura ramah didepanku. Dia berteman denganku tanpa topeng dan tanpa menjilat.
Aku mengikuti jalannya pelajaran dengan sangat bosan. Mungkin aku sudah sekarat saking bosannya.
***

Aku membawakan Hendra beberapa buah-buahan segar. Dia sakit, itu alasan kenapa dia tidak masuk hari ini. Galih sakit, Hendra juga sakit. Hmm.
“Wah, jadi ngerepotin Mas Seno niki.”
“Gak papa kok bu, Hendranya dimana bu?”
“Di kamar Mas, badannya panas. Uda ibu kasih obat tapi panasnya ndag turun.” Aku sudah hapal betul dimana letak kamar Hendra. Aku beberapa kali sering main kesini.
“Uda dibawa ke dokter bu?”
“Dereng mas.” Bu Kadarsih menjawab dengan agak malu-malu. Aku tahu, pasti karena masalah ekonomi. Hendra anak sulung dengan 2 adik yang masih kecil. SMP dan SD. Jadi Hendra harus sering mengalah. Mendahulukan kepentingan adik-adiknya dahulu.
“Hen. . .” baru kali ini aku melihat raut wajah Hendra yang pucat. Binar keceriaan sama sekali tak tampak di wajahnya walau dia berusaha tersenyum saat melihat kedatanganku,
“Koe tho Sen!” Aku mengisyaratkan Hendra untuk kembali berbaring saja, ketika dia berusaha untuk bangkit duduk. Aku memegang dahinya sesaat. Gilak, panasnya minta ampun. Aku segera keluar sebentar, mencari Bu Kadarsih yang sedang berada di dapur.
“Bu, Hendra di bawa ke rumah sakit saja. Panas banget tubuhnya, takutnya sakitnya bukan demam biasa.”
“Iya sih mas, tapi. . .”
“Ibu gak usah khawatir, ntar Seno yang urus administrasinya.”
“Bukan begitu mas, Hendra itu sudah merepoti mas Seno. Seragam, sepatu, diajak ke Jakarta. Ibu takut gak bisa balesnya Mas.”
“Bu, Hendra itu teman Seno. Seno juga gak ngarepin balesan apa-apa. Ya bu? Seno takut Hendra kena typhus atau demam berdarah.”
Akhirnya setelah agak berdebat, Bu Kadarsih mau juga membawa Hendra ke rumah sakit. Aku segera mengurus administrasinya, agar Hendra mendapat perawatan terbaik. Cukup mudah begitu mereka tahu namaku. Seperti yang kalian tau, derajat, harta, pangkat bisa membuat semua urusan cepat selesai. Indonesia, atau mungkin bahkan di seluruh dunia.
Seperti dugaanku, Hendra terkena typhus. Dia akan dirawat beberapa hari disini.
“Makasih Mas Seno, makasih. Ibu . . .”
“Uda bu, yang penting Hendra sembuh dulu.” Bu Kadarsih mengangguk. Aku membuang nafas sesaat. Dulu, mungkin jika aku dan Herry tidak pacaran dan putus begitu saja. Mungking, hanya mungkin kita bertiga masih akan terus bersama. Apa ini konsekuensiku karena terlalu memaksa Herry untuk jadi pacarku waktu itu?
Kasihan Hendra, dia bahkan belum tahu kenapa aku dan Herry tiba-tiba seperti orang asing. Namun mungkin aku tak kan menceritakannya, aku tak bisa kehilangan orang yang aku sayang lagi.
Setelah agak sore, aku pamit pulang. Bagaimanapun juga aku tidak ingin membuat mama dan papa khawatir. Aku menyempatkan untuk membeli buah-buahan lagi. Yang ini untuk Galih.
Aku menyenderkan kepalaku di atas stir. Apakah aku mulai jatuh cinta pada Galih? Apakah mungkin? Hh, aku tidak ingin terburu-buru menyimpulkan. Aku juga tidak ingin sakit untuk yang kedua kalinya.
***

Setelah beres mandi, aku pergi ke belakang, ke kamar Galih tentu saja. Kalian jangan berpikir kalau aku ingin mengintipnya lagi, aku hanya ingin menyerahkan buah-buahan yang tadi aku beli. Itu saja kok. Pintu kamar Galih terbuka dan aku melihat Lek Tukah sedang menyuapi Galih. Separah itu ya? Kok mama papa gak bawa Galih ke rumah sakit sih?
“Lho Mas Seno, mlebet tho mas.” Lek Tukah yang menyadari kehadiranku langsung mempersilakan aku masuk. Sedangkan Galih hanya menghadiahi aku senyum tipis. Galih ganteng. Titik.
“Iya Lek, ini Seno bawa buah-buahan buat Mas Galih.”
“Aden, maaf jadi ngrepotin.”
“Gak papa kok mas, tadi sepulang sekolah Seno sekalian beli.” Aku berdiri mematung. Hanya melihat Lek Tukah yang dengan teliti menyuapi Galih. Sepertinya Lek Tukah sudah menganggap Galih seperti anaknya sendiri. Apalagi terakhir ini Galih mengatakan kalau dia memang sudah tidak mempunyai sanak saudara sama sekali. Yang entah mengapa, aku tidak bisa mempercayai ucapannya. Entahlah, hanya saja kekikukannya semakin membuatku yakin jika dia memang tengah berbohong.
“Aduh, masakanku! Mas, tolong suapi Galih mas. Lek lupa belom masak buat makan malam.”
“Iya Lek.” Lek Tukah langsung bergegas keluar. Canggung. Itu yang aku rasakan.
“Uda Den, biar saya makan sendiri.” Aku tergagap.
“Gak papa mas, Seno suapin. Mas Galih masih lemas gitu.” Mungkin karena keadaannya yang memang masih lemas, Galih menurut saja.  Aku grogi, deg-degan. Saat suapanku sudah masuk ke mulut Galih dan entah mengapa dia tidak melepaskannya. Aku menatap matanya, dan fatal! Karena Galih juga tengah menatapku. Tatapannya sangat intim?
“Saya suka sama Den Seno.” Kata-kata itu meluncur mulus dari bibir  Galih dan membuatku tercekat. Dan tidak butuh lama hingga bibirnya menempel di bibirku. Melumatnya dengan sarat rindu. Dan aku. . . menikmatinya? Apakah itu artinya aku juga menyukai Galih?
Ciuman itu berakhir. Aku bersyukur tidak ada yang memergoki kami berdua, mengingat pintu kamar Galih yang masih terbuka lebar. Wajahku memanas dan aku yakin sudah semerah tomat rebus.
“Maafin saya den, saya gak bisa nahan diri.” Aku masih diam. Dan dengan diam pula aku tinggalkan kamar Galih begitu saja.
Aku bingung, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku suka Galih? Sepertinya iya. Tapi aku masih mencintai Herry! Come on! Herry udah nendang lo! Ngapain lo masih ngarepin dia?
I know, I am just. . . . argggggggggh!! Let me die now!!
***

Untungnya, Galih masih sakit. Kenapa aku bilang untung? Aku hanya belom siap bertemu dengannya. Sejak kejadian dia menciumku, aku jadi terus memikirkan perasaanku untuknya. Aku akan move on. Aku janji pada diriku sendiri akan hal itu. Aku sudah menghapus semua foto-foto Herry dari handphone ku. Tapi belum dari laptopku. Okay, okay ini tidak adil. Tapi kan move on itu harus dilakukan secara bertahap. Betul tidak?
Oh God, aku jadi teringat peristiwa di kali kedu. Maksutku, aku bahkan belom pernah melihat Herry dalam kondisi ereksi!! Apa yang sedang aku pikirkan? Pikiran mesum macam apa ini?
Aku masih mengikuti jalannya pelajaran hari ini dengan malas. Aku tidak sabar menunggu jam pulang dan langsung tancap gas ke rumah sakit. Bagaimanapun juga, Hendra adalah salah satu orang yang bisa bikin aku membaik. Dia mood boosterku.
Hingga saat ini aku masih bersyukur atas kota ini yang anti macet. Berjalan dengan gontai di koridor rumah sakit dan sedikit risih dengan tatapan-tatapan ingin tahu di sekitarku.
Aku membuka kamar Hendra dan viola!! Ada Herry disana. Dia juga sama kagetnya denganku. Okay, it’s time to calm. Jangan sampai Herry berpikir kalau aku masih mengharapkannya. Cuih! BIG NO.
“Gimana Hend kondisi lo?” aku kentara sekali berusaha mengabaikan dan mengacuhkan makluk hitam manis yang jelas-jelas ada disitu. Tunggu, apa tadi aku bilang Herry itu hitam manis? Setidaknya kenyataannya memang begitu.
“Kata dokter besok uda boleh pulang Sen. Matur nuwun Sen. Aku berutang banyak sama kamu.”
“Uda lah, lo fokus buat sembuh aja dulu. Oke?”
“Sip bos!!” setelah itu aku dan Hendra terlibat obrolan yang seru. Lebih tepatnya, aku yang banyak cerita. Aku hanya tidak ingin menoleh ke samping dan melihat makluk yang sangat seksi dan juga masih aku cintai itu. Ingat, bahwa aku harus move on. Aku harus move on. Aku harus move on.
“Sen, aku pengen ngobrol mbek koe.” Deg. Ini pertama kalinya Herry mengajakku bicara. Aku menoleh, memasang wajah sekalem mungkin. Mungkin aku bakalan dapet Grammy.
“Ngobrol apaan?”
“Bisa ikut aku sebentar? Gak popo kan Hend, koe tak tinggal dhilit?” kata Herry yang ditujukan untuk Hendra. Aku menggeleng kuat-kuat, memberi isyarat agar Hendra berkata tidak. Harapanku kandas karena Hendra mengangguk dengan antusias. Mungkin Hendra berpikir bahwa aku dan Herry akan baikan dan tidak bakal musuhan lagi.
Sebelum keluar kamar, aku memelototi Hendra yang dibalasnya dengan cengiran lebar.
“Kantin?” tanya Herry tanpa menoleh ke arahku.
“Kantin rumah sakit? Mungkin kamu punya ide lebih buruk dari itu? Aku menyukai gagasan lain. Kantin pemakaman mungkin?”
Herry tertawa. Tawa yang sama yang dulu sangat memikatku. Sekarang pun masih sama, masih membuat dadaku bergemuruh tanpa kendali.
“Kita ke depan aja, make motorku aja. Biar gampang.” Aku mengangguk. Biar urusan ini cepat selesai, biar apa yang dia mau obrolkan ini cepat kelar. Dan aku bisa kembali fokus untuk move on.
Dia mengajakku makan nasi goreng. Enak, aku menyukainya. Herry memang tau cara menyenangkanku. Dari dulu. Seandainya. . . ah, sudahlah!
“Mau ngomongin apaan kamu?”
“Makan dulu aja. Aku gak buru-buru kok.” Aku mengunyah dengan geram. Mungkin kamu enggak buru-buru. Tapi aku jelas terburu-buru. Menghabiskan waktu yang lama dengan mantan pacar, ditambah lagi aku masih mencintainya itu hanya akan menimbulkan satu masalah. Harapan semu. Ya! Harapan kalau dia mau ngajak balikkan, harapan kalau dia ternyata masih cinta, dan aku tidak mau itu terjadi denganku. Tidak, terima kasih.
“Aku kangen kamu.” See? Tiga suku kata yang diucapkan Herry barusan mampu membuat aku berhenti mengunyah sebentar, mendongakkan kepalaku, menatap Herry dengan pandangan tidak mengerti. Apa maksut dari aku kangen kamu? Bukankah dia sendiri yang menyuruhku untuk bahagia walau tanpa dia?
Lalu sekarang apa? Dia ingin aku menampar diriku sendiri dari kenyataan bahwa aku sama sekali tidak bahagia tanpa dia? Seperti itukah? Kalau boleh jujur ya! Aku memang terlihat merana tanpa Herry dan apakah aku juga kangen Herry, jawabannya juga YA! Aku kangen Herry, aku kangen dipeluk dia, aku kangen mencium aroma tubuhnya.
“Makasih.” Kataku gugup dan pura-pura melanjutkan acara makanku. Aku tidak akan membalas dengan kata-kata, aku kangen kamu juga. Terlalu melodramatis. It’s real life.
Tidak banyak yang aku perbincangkan dengan Herry, hanya saja aku menikmati waktu bersamanya. Walau tanpa banyak mengobrol namun aku sangat bahagia? Aku tidak tau, aku seperti menemukan diriku yang dulu. Ah, entahlah.
Herry mengantarku hingga gang depan. Setelah aku turun secapat kilat dia mencium bibirku. Nafsu, rindu, hasrat berbaur jadi satu. Aku merasakan itu. Dia melepaskan ciuman kita setelah kurang lebih 10 menit. Nafasku dan nafasnya terengah-engah.
“Ake beneran kangen sama kamu. Aku hampir gila tanpa kamu.” Itu kata-katanya sebelum akhirnya wajahnya menjadi agak pucat. Aku menoleh dan kulihat ada Taufik disana. Kenapa?
Oh, apakah Herry takut terpegok selingkuh denganku? Ironis sekali. Bukankah mungkin mereka dulu yang selingkuh dibelakangku. Mungkin.
“Maaf, aku pulang dulu.” Dan tanpa menunggu jawabanku, Herry langsung tancap gas. Ada apa? Jika memang benar Herry dan Taufik mempunyai hubungan spesial dan Herry takut kepergok Taufik lalu kenapa ekspresi Herry berlebihan? Okay, mungkin hubungannya dengan Taufik akan putus atau apa-jika mereka memang mempunyai hubungan khusus. Namun ekspresi Herry tadi lebih ke takut? Dan kalah? Kenapa? Ada sesuatu yang tidak aku tahukah dibalik Herry yang mencampakanku begitu saja?
Dan Taufik terlibatkah?
Aku jadi teringat kata-kata Taufik yang menyuruhku untuk mengakhiri hubunganku dengan Herry. Dan beberapa hari kemudian, Herry bersikap aneh padaku. Tidakkah ini sangat berhubungan? Ya Tuhan! Apakah Herry diancam?
Aku melangkah dengan gontai.
“Darimana kamu dek sama Herry?” aku menatap Taufik sepintas dan menjadi muak karenanya. Aku membenci Taufik saat pertemuan awal kita dulu. Sepertinya, sekarang aku akan lebih membencinya.
Aku mengabaikannya dan tidak menjawab pertanyaannya. Aku benci Taufik, entah untuk alasan apa. Hanya saja, kemungkinan bahwa Herry diancam agar menjauhiku itu sangat besar. Maksutku, dari ciuman Herry tadi saja aku masih merasakan cinta yang begitu besar. Rasa mendamba dan rindu. Aku yakin itu.
Mama yang sedang berada di teras rumah memandangiku dengan heran. Aku juga jadi salting sendiri. Kenapa? Apakah bibirku bengkak karena ciuman tadi atau apa? Kenapa mama sampai memandangiku begitu?
“Mobil kamu kemana?” deng! Aku lupa! Masih di rumah sakit! Aduh emak!!



Bersambung . . .

Sabtu, 09 November 2013

THE SERIES 11


Permainan kartu pun segera dimulai. Aku agak menelan ludah, seperti kata Revan tadi. Aku memang lemah dalam main kartu. Entahlah, aku selalu unlucky dalam bermain kartu. Selalu dapat kartu yang buruk. Seperti sekarang ini, belom apa-apa, aku sudah kalah. Dengan terpaksa aku melepas satu sandal rumahku.
“Woiy, apa-apaan tuh! Curang woiy!” Revan jelas tidak terima. Mungkin dia maunya aku melepas bajuku.
“Heh, kata lo tadi kan lepas apa yang gua kenakan. Lha sandal ini kan juga gua kenakan, serah gua donk.” Akhirnya setelah berdebat agak alot, Revan terima juga. Aku melirik yang lainnya. Hendra memakai jaket, kemeja, kaos dalam dan celana pendek. Aman, setidaknya menelanjangi Hendra akan butuh waktu cukup lama. Aku tidak berminat melihat Revan telanjang. Namun aku berharap dia lah yang kalah. Karena permainan ini akan berakhir kalau ada salah satu dari kita yang sudah telanjang bulat.
Galih? Dia memakai kaos dan celana jeans panjang. Galih yang telanjang? Entah kenapa aku tidak ingin hal ini terjadi. Aku seperti tidak ‘rela’. Entahlah, aku hanya ingin aku yang melihat Galih polos tanpa busana. Permainan dilanjut. Dan hatiku sibuk berdoa. Jelas aku tidak mau telanjang! Tapi nyatanya, yang menempel ditubuhku tinggal boxer pendekku. Kalah dua kali lagi, maka penisku akan jadi tontonan.
Aku sudah deg-degan parah. Tinggal aku dan Galih. Kartu Revan dan Hendra sudah habis dari tadi. Mata Revan nyalang, sepertinya dia uda engga sabar ingin melihatku dalam balutan celana dalam saja. Skak! Kartuku jelek-jelek semua lagi! Satu hal yang aku syukuri, aku tidak kalah. Ini pertama kalinya aku menang. Aku akui itu. Dan sepertinya juga karena Galih yang sengaja mengalah. Galih langsung melepas kaosnya dan-aku melirik Revan- membuat Revan menelan ludah beberapa kali. Sama sepertiku. Badan Galih makin ‘jadi’. Entahlah, Galih jadi terlihat lebih seksi dimataku.
“Oke, ayo dilanjut lagi!” Revan tambah semangat! Yaiyalah, dia yang paling jago! Jadi mengalahkan Revan itu mustahil! Ohhh, aku harap bukan aku dan Hendra yang kalah. Tapi, Hendra juga sama jagonya dengan Revan. Buktinya dia masih berpakaian lengkap. Yang artinya belom kalah sama sekali. Mulutku sibuk komat-kamit. I mean, berdoa dalam hati ternyata kurang manjur. Jadi aku harus lebih kenceng dalam berdoa. Jangan sampai aku kalah! That’s it! Arggh, salahku sendiri yang masuk dalam kandang singa. Jelas tau kalau aku lemah main kartu masih nekad ikut maen. Haduh.
Ternyata aku memang sedang sial. Aku kalah! Telanjang sudah. Oke, fine! Tidak ada yang mengejekku. Hendra bahkan mengagumi tubuhku. Revan? Dia hampir meneteskan air ludahnya. Penisku memang bukan ukuran 17cm seperti di cerita-cerita gay pada umumnya. Hanya 14cm, namun setidaknya aku masih 14 tahun. Oke, hampir 15. Dan kemungkinan penisku akan bertambah panjang masih ada.
Galih? Dia melirikku dan langsung menarikku keluar. Memakaikan bajuku kembali tanpa mengindahkan protes yang keluar dari mulut comel Revan.
“Aden gak bilang kalo lemah dalam main kartu?” Baru kali ini aku merasa Galih bertanya sangat lembut padaku. What? What happen to me?
“Tadi Revan juga uda bilang! Permisi mas, aku mau tidur.”
“Iya Den, maaf saya tadi lancang.” Mendengar kata-katanya, aku berbalik dan sedikit tersenyum padanya. Hal yang sangat jarang atau malah belum pernah aku lakukan.
“Makasih mas.” Kataku singkat dan langsung masuk kamar. Bodohnya aku, mungkin karena grogi atau apa, entahlah aku tidak tau. Namun yang aku masuki bukan kamarku yang tadi buat main kartu melainkan kamar Galih. Mati gaya karena beberapa saat kemudian Galih juga masuk kamar. Damn it! So fucking arggghhh. . .
“Aden salah kamar?” Aku blingsatan.
“Engga, malam ini mau tidur disini. Kamarku ada Revan, males.”
“Oh, kalau begitu saya tidur di luar saja den.” Aduh, aku jadi enggak enak sendiri.
“Jangan lah mas. Diluar dingin.”
“Tapi Den, gak sopan kalo saya tidur sama majikan saya sendiri.” Aku mikir keras. Seriusan nih ya, bukan karena aku ingin modus tidur seranjang dengan Galih. Bukan, aku masih ada rasa takut dekat dengan Galih. Hanya saja ada rasa lain yang lebih besar yang diam-diam sudah menyelinap dalam hatiku.
“Mas tidur bawah aja, ada kasur tambahan kok di lemari. Ya? Seno takut tidur sendirian.” Gilak! Aku gilak! Maksutku, aku mulai manja dengan Galih? Ya Tuhan!
“Iya den.”
***


Aku tidak bisa tidur. Mataku enggan terpejam. Aku melirik kebawah dan melihat Galih yang sudah tertidur pulas disana. Lampu ranjang yang temaram semakin memperindah parasnya. Sebenarnya siapa Galih? Tidakkah dia punya keluarga? Tidakkah dia punya rumah? Aku tidak tau apa-apa tentang Galih. Aku sibuk ketakutan kepadanya selama ini.
Benarkah dia hanya pemuda kampung? Parasnya begitu tampan. Kulit coklatnya merata. Seperti tanning. Atau sebenarnya dia hanya menyamar? Hasyah Sen! Pikiran lo kejauhan! Tapi seriusan deh, warna coklatnya merata bahkan hingga ke penisnya. Ingat? Aku pernah melihatnya telanjang. Dan, oh sudahlah. Lupakan. Aku hanya tidak ingin mengingatnya. Warnanya yang kecoklatan, sedikit berurat. Dengan bebuluan halus disana. Stop! Don’t remember it!
Mau tidak mau, aku jadi melirik selangkangan Galih, yang untungnya memakai baju lengkap. Urgghh, I can not handle this. Bobo ah!
***


Sebenarnya, aku sudah bangun dari tadi. Hanya saja, aku masih pura-pura memejamkan mataku. Bayangkan saja, Galih baru saja masuk ke kamar hanya dengan berlilitkan handuk. Mungkin dia habis mandi. Lalu apakah aku akan bangun dan membuka mataku kemudian kesempatan melihat Galih berganti pakaian jadi kandas? Tidak! Sayang banget! Makanya, aku masih pura-pura tertidur.
Aku tau ini sama halnya dengan mengintip. Aku tau ini tidak sopan. Tapi aku yakin kalau kalian berada di posisiku seperti saat ini, kalian juga akan melakukan hal yang sama. Tidak? Selamat, berarti kalian lelaki straight. Eh tunggu dulu, kalau kalian straight buat apa kalian membaca cerita ini? Hah, aku melantur.
Galih memang lelaki yang dewasa. Aku akui itu, tubuhnya juga sudah menunjukkan darah kematangan. Darah kematangan? What the hell is that? Sudahlah, maksutku lihatlah perut Galih yang rata. Mungkin bertekstur keras, aku akan mencoba menyentuhnya suatu hari nanti, eh?
Dadanya yang bidang dengan sedikit puting yang melenting. Sedikit puting yang melenting? Gilak! Bahasaku makin kacau!
Mengapa baru aku sadari sekarang? Galih begitu tampan?
“Den, bangun den. Udah pagi.” Aku mengulet sebentar. Tentu saja pura-pura. Ingat? Aku sudah bangun dari tadi, jadi aku juga sudah mengulet dari tadi.
“Jam berapa mas?”
“Setengah delapan den.” Aku mengucek mataku sebentar dan langsung berlalu ke kamarku. Mandi, dan kemudian ikut sarapan bareng oma dan opa di ruang makan. Hari ini kita rencana mau ke Ancol. Sayangnya, cerita di Ancol aku skip. Males sih, gak ada bahan. Wkwkwkwk, dasar penulis abal-abal!
***


Hubunganku dengan Galih entah kenapa makin dekat. Maksutku, aku yang makin sok akrab dengannya. Galih? Sikap dia masih sama. Sopan dan jaga jarak. Oh ya, ini adalah hari pertama di semester dua aku masuk sekolah. Seneng? Enggak juga. Karena nanti aku pasti bakalan bertemu dengan Herry. Kalian pikir karena aku sekarang sudah tidak lagi takut dengan Galih dan menganggap kalau Galih itu tampan, berarti aku sudah move on? Tidak sama sekali. Aku masih sering memimpikan Herry. Bagaimanapun juga, dia cute. Oke, oke, aku masih mencintai Herry. Aku akui itu! Walaupun aku dan Herry pacaran tidak lebih dari sebulan, tapi aku bukan orang yang gampang berpindah ke lain hati. Cukup sulit untuk move on dari Herry. Apalagi, sekarang aku bakal tiap hari bertemu dia. Aahhh.
Taufik? Sejak kepulanganku dari Jakarta, aku sudah melihatnya beberapa kali. Dan aku mengacuhkan dia. Maksutku, kalau aku mengingat kejadian di toko buku tempo hari yang lalu, aku jadi eneg liat Taufik. Munafik!
“Ntar saya jemput jam berapa den?”
“Kayaknya ntar pulang lebih awal mas. Ini kan baru hari pertama masuk. Ntar aku sms aja, atau Mas Galih mau nunggu?” kataku sebelum turun dari mobil.
“Eem, saya tunggu aja den.”
“Yakin? Gak takut mati bosen ntar?”
“Mboten den.” Kata Galih sambil tersenyum. Baru kali ini dia memberiku senyum semanis ini. Dia semakin tampan saja.
“Seno turun dulu mas.”
“Monggo den.” Aku langsung turun dari mobil tanpa menunggu Galih yang akan membukakan pintu untukku. Ironis ya, mobil yang dulu menabraknya sekarang malah dia setir sendiri. Uuh, aku kangen nyetir mobil.
“Sen!” Aku menoleh kebelakang dan sedikit surprise. Hendra dengan penampilan barunya. Apa yang aku pikirkan selama ini memang tidak salah. Hendra keren! Kemaren, kita potong rambut bareng, dan aku membelikannya beberapa seragam. Sepatu juga iya. Karena sepatuku kegedean untuk Hendra. Dan viola! Dia keren! Terbukti beberapa teman sekelas kita memuji penampilan baru Hendra.
“Lo jadi artis sekarang!” Kataku sambil menepuk bahunya pelan.
“Haha, tetep wae kalah mbek koe Sen!” aku tertawa pelan. Dan ketika aku menoleh ke arah pintu. Ada dia. Herry. Ada sesuatu yang berubah dalam penampilannya. Dia semakin cokelat. Bahkan lebih cokelat dari Galih. Agak hitam, tapi dia tetap cute. Aku menatapnya tak berkedip. Ternyata aku masih merindukannya. Aku masih mendambanya. Cintaku masih sebesar saat aku masih menjadi kekasihnya.
Pandangan mataku kepergok oleh Herry dan dia memberiku senyum kikuk. Aku membalas senyumnya sebelum akhirnya aku kembali fokus pada cerita Hendra. Maaf ya Hen, bukannya aku tidak mendengarkan ceritamu. Hanya saja mantanku baru saja lewat. Hahaha.
Tidak bisa aku pungkiri, bukan hanya warna kulitnya saja yang berubah semakin hitam. Dia dulu kuning langsat sebenarnya. Eem, dua minggu yang lalu. Mungkin dia tanning. Ah, sudahlah! Perubahan Herry juga di bentuk tubuhnya yang semakin ‘jadi’. Aku bisa melihat ototnya yang bersembulan di balik seragam putih SMAnya yang ngepas badan. Entahlah, dia menjadi semakin sensual? Beberapa kali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia juga sudah kembali ceria seperti dulu saat sebelum putus denganku. Deg, mungkin karena Taufik. Yah? Sapa lagi? Mungkin Taufik lah yang membuat Herry kembali bersemangat. Sudah sejauh itukah hubungan mereka? Hatiku ciut dan nelangsa.
Untungnya hari ini memang pulang lebih awal. Guru-guru ada meeting. Aku langsung menuju mobilku di parkiran. Hendra hari ini membantu ayahnya yang sedang panen jagung. Jadi ya, aku pulang sendiri. Sama Galih ding maksutku. Agak sedikit terkejut juga saat aku hampir sampai mobilku. Galih berada di luar dengan badan senderan ke pintu mobil. Pose khas model –aku tidak tau apakah dia sengaja berpose seperti itu atau tidak sengaja- dan terlihat dewasa?
“Mas?”
“Oh, Aden. Mari den.” Galih membukakan pintu untukku dan aku langsung masuk. Mungkin karena kelelahan atau apa, namun kemudian aku jatuh tertidur.
***

Aku merasakan tanganku tidak bisa bergerak. Terasa berat sekali saat aku ingin menariknya. Aku membuka mataku dan sadar akan satu hal. Tangan dan kakiku terikat. What the hell? Apa maksutnya ini? Aku memperhatikan sekelilingku dan aku sama sekali tidak mengenali tempat ini. Aku dimana? Dan kenapa tangan dan kakiku terikat.
Aku terbaring di sebuah dipan dengan tangan juga kakiku yang terikat sehingga membentuk huruf X. Aku berusaha sekuat mungkin untuk melepas ikatanku, namun percuma. Terlalu kuat! Dan aku frustasi.
Aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat lalu membuka pintu. Aku kenal orang itu. Aku tersenyum, dia datang untuk membebaskanku kah? Dia mau melepaskan ikatanku kah?
“Mas Galih, tolong Seno mas.” Aku melihat sudut bibir Galih yang melengkung keatas dengan sinis. Senyumku pun pudar.
“Wah, rugi donk. Masa aku yang iket aku yang lepasin?” aku memproses kata-kata Galih barusan dengan super cepat.
Galih menculikku?
Apa yang dia mau? Uang tebusankah?
“Lo nyulik gua? Lepasin!”
“Sst, aden mau teriak-teriak juga percuma! Ini di tengah hutan den! Gak ada orang!” Kata Galih sambil menyeringai puas. Dengan congkak dia berjalan ke arahku.
“Lo butuh uang tebusan berapa hah?!” lagi-lagi Galih tersenyum sinis.
“Aku gak butuh duit Aden Arseno Erlangga Prawiro.” Galih berkata begitu sambil menarik sebuah benda dari kantongnya. Ya Tuhan, pisau lipat! Dia mau membunuhku kah?
“Jangan gila! Lo bakal dipenjara tauk!” aku bergidik ngeri. Aku akan mati?
“Aku gak gila den.” Kata dia sambil mendekatkan pisau itu kearahku. Aku menutup mataku. Ngeri! Namun beberapa saat kemudian terdengar bunyi seperti sobekan kain. Pisau itu bukan untuk membunuhku, namun untuk menyobek seragam SMA ku.
“Badan aden mulus, putingnya warna merah muda. Aku suka lho den.” Seragam putihku sudah terkoyak. Bibirku kelu. Apa yang akan Galih lakukan? Menyodomiku sebelum membunuhku?
“Aku suka puting aden.” Galih mendekatkan ujung pisaunya ke putingku. Menusuknya sedikit dan darah segar merembes keluar. Galih psycho!
“Maaf den.” Katanya sambil menghisap darah yang keluar dari sisi bawah putingku. Bagian yang tadi dia tusuk dengan pisaunya. Hanya tusukan kecil memang, tapi. . .
Mulutnya sekarang sudah berpindah ke putingku. Meghisap dengan ganas. Layaknya bayi yang baru menyusu ke ibunya. Perih, tapi aku juga terang. . . ah sudahlah. Aku sedang diperkosa!!
“Benar-benar sempurna. Tampan dan menggemaskan! Taukah aden? Aku sudah menginginkan aden sejak melihat aden di rumah sakit itu! Membayangkan bagaimana rasanya mencicipi tubuh aden seutuhnya.” Aku semakin bergidik ngeri. Galih benar-benar sarap! Psycho! Sadist!
Sekarang matanya tengah memperhatikan celana abu-abuku. Shit!
“Celana ini tidak dibutuhkan disini den Seno.” Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya pasrah. Ikatannya terlalu kuat, mulutku pun sudah dibekap. Galih sekarang berkutat untuk melepas celana abu-abuku. Dan mungkin karena agak kesulitan mengingat kakiku yang terikat, dia merobeknya dengan pisau lagi. Juga tidak butuh waktu lama hingga dia juga merobek celana dalam hitamku. Tubuhku sudah tidak ada yang tertutupi kain lagi sekarang. Telanjang sudah.
Dan Galih tersenyum penuh kemenangan. Apalagi jika melihat kondisi penisku yang mengacung dengan tegak! Shit! Organku yang satu itu tidak bisa berbohong. Aku menikmati isapan Galih tadi pada putingku.
“Aden ngaceng.” Katanya berbisik di telingaku sedangkan tangannya mulai meremas-remas penisku. Dan sekarang bibirnya menggantikan tangannya. Aku antara terangsang, takut, ngeri, enak bercampur jadi satu. Galih menyelomoti batangku dengan semangat. Seakan-akan itu adalah lolipop terenak di dunia. Dan tubuhku merespon dengan sangat jujur.
Hingga akhirnya penisku akan ejakulasi, ah ah ah. Sebentar lagi. . .
***

“Den, bangun den! Udah sampai rumah.” Aku terlojak dan membuka mataku. Lho? Kok aku didalam mobil? Lho kok? Seragamku masih utuh. Lalu aku melihat ke depan. Galih dengan wajah bingung dan khawatir tengah memperhatikanku. Ada apa ini sebenarnya? Yang tadi itu Cuma mimpi? Oh shit! That was a great dream!! Yeah, it’s was a great dream!!
“Den? Aden gak papa?”
“Gak papa kok mas.” Kataku sambil tersenyum dan keluar dari mobil. Apa aku sedesperate itu? Hingga memimpikan having sex dengan Galih? Dan, ya Tuhan!! Bondage lagi! Jangan-jangan aku ada kelainan? Ini mulai gila!!!


Bersambung . . .

Selasa, 05 November 2013

THE SERIES 10

Aku memilih untuk duduk dibelakang. Dan karena Galih tidak mengajakku mengobrol aku memutuskan untuk menyibukkan diriku sendiri dengan game di gadgetku. Setidaknya ini bisa mengalihkanku dari rasa takutku pada Galih, even dia menatapku saja tidak. Kita sedang dalam perjalanan menjemput Hendra. Yah, untung saja Hendra sudah stand by di depan Gapura kampungnya. Jadi setidaknya akan lebih menghemat waktu.
“Kok suwi banget tho Sen?” sesuai dugaanku, Hendra bakal protes.
“iya, sorry.” Sengaja aku tidak menjelaskan bahwa salah satu penyebab kita agak kesiangan adalah Galih yang mandinya kayak perawan kembang desa. Luamaaaaa banget! Entah dia onani atau apa, tapi yang jelas dia hampir memakan waktu 45 menit di kamar mandi. Aku saja hanya 30 menit.
Aku kembali menyibukkan diriku sendiri dengan game lagi. Setidaknya Hendra dan Galih sudah terlibat obrolan seru. Ini juga menjadi salah satu pertanyaan yang terus  berputar-putar di kepalaku. Galih sopan dan cepat akrab dengan hampir semua orang. Bahkan menjadi kepercayaan papa. Aku? Aku ketakutan setangah mati dengannya! Jadi? Ada yang salah dengan diriku? Mungkin aku bukanlah type kebanyakan orang. Atau, entahlah! Aku sendiri tidak bisa menjelaskan ketakutanku pada Galih.
“Kita mau ke toko buku yang mana Hen?” selaku pada Hendra yang sedang ‘ngecuprus’ panjang lebar dengan Galih.
“Yang didepan Matahari saja Sen! Lebih murah dan komplit.” Aku mengangguk dan sibuk kembali dengan gadgetku. Toko buku disini bukan Gramedia. Di kota kecil ini tidak ada Gramedia, no mall, no bioskop! Kalian tahu rasanya? Namun sebagai gantinya kota ini menawarkan anti macet, anti banjir, anti panas, setidaknya sepanjang aku tinggal disini, kota ini selalu adem. Kepercayaan dan kebersamaan warganya pun cukup solid. Hampir semua orang di kota ini saling mengenal. Gilak! Kecelakaan kecil saja bisa langsung menyebar beritanya-minus kecelakaan yang aku buat tentu saja. Dan Matahari yang dikatakan Hendra tadi bukanlah Matahari Dept. Store seperti yang ada dipikiran kalian. Itu hanya toko pakaian biasa, tidak terlalu besar. Hanya kesamaan nama yang mungkin disengaja untuk menunjang penjualan di tokonya. Mungkin.
“Oke. Mas Galih tau tempatnya kan?” Galih mengangguk pelan. Dia selalu sopan memang terhadapku. Bahkan segan? Aku juga tidak tau. Aku kembali menyibukkan diriku dengan smartphoneku. Game yang tadi aku pause sudah menanti. Hendra dan Galih sudah mengobrol seru lagi. Memakai bahasa jawa tentu saja. Dan aku tidak begitu ngerti. Sekali-kali mereka tertawa-tawa tidak jelas. Aku memutar kedua bola mataku sebelum mengambil earphoneku dan mulai memasangnya di telingaku. Dengan suara yang cukup kencang hingga obrolan Hendra dan Galih sama sekali tidak terdengar.
Aku tidak pernah mengobrol dengan Galih. Mungkin hanya bicara satu atau dua kalimat. Jelas itu bukan mengobrol. Mengobrol itu tepat seperti apa yang dilakukan oleh Hendra dan Galih sekarang. Kenapa aku bisa begitu ketakutan dengan Galih? Oh please, aku saja belum menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri.
Saat sudah berada di toko buku, menurutku ini toko buku memang toko buku paling luas disini. Paling komplit juga. Namun komik keluaran terbaru belum bisa didapatkan. Mungkin menunggu satu atau dua bulan lagi. Aku melihat-lihat komik dan beberapa majalah. Aku tidak tertarik dengan novel. Itu akan hanya membuatmu berharap kehidupanmu akan seperti novel yang kamu baca. Bertemu, jatuh cinta lalu bahagia selamanya. Clasic story! Kenyataannya tidak semudah itu. Tidak ada cinta sejati. Apalagi di dunia gay. Impossible! Beberapa majalah fashion dan majalah pria aku ambil. Lumayan untuk mengisi waktu luang. Da Man, Cosmo dan Men’s Health jelas aku ambil. Sayang sekali dilewatkan.
“Sen!”
“Napa Hen?”
“Sadar gak tho kalau kamu kiey jadi pusat perhatian?” mendengar perkataan Hendra barusan aku langsung mengedarkan pandanganku. Hmm, banyak orang yang tadinya sedang melihatku langsung pura-pura sibuk kembali. Yah, aku sudah terbiasa. Aku memang seperti selebritis di kota kecil ini. Entahlah, apa karena aku calon pewaris orang terkaya di kota ini? Atau karena aku anak kota yang nyemplung ke kota kecil? Atau karena wajahku yang tampan? Hahaha! Ngaco! Aku rasa aku ketiga-tiganya.
“Cuekkin aja lah!” kataku cuek sambil kembali berjalan mencari-cari buku bagus.
“Kamu mau pakek opo wae tetep keren sih!” aku membalikkan tubuhku saat mendengar Hendra mengucapkan kata-kata tadi. Itu terdengar seperti kata ‘rajukkan?’ atau kupingku saja yang bermasalah?
Aku hanya mengenakan kaos dalam putih tanpa lengan, beruntungnya aku bahwa bulu ketekku belum tumbuh. Begitupun dengan bulu-bulu di penisku, sekarang sih sudah ada sedikit-sedikit. Celana batik robek-robek-hadiah dari sepupuku (Revan, anak tanteku-kakak mama. Pusing deh kalian), sepatu Nike kesayanganku dan jam tangan Tag Heuer, hadiah dari oma dan opa saat ulang tahunku yang ke empat belas. Ngomong-ngomong soal Revan, dia adalah anak dari tante Nia, kakak mamaku. Jika papaku 2 bersaudara yaitu papa dan paman Pri. Mamaku tiga bersaudara. Tante Nia, tante Sara dan mamaku tentu saja. Hanya saja tante Sara sudah meninggal karena kecelakaan. Belum menikah pula. Revan itu adalah designer terkemuka di Jakarta. Agak melambai sih dan terus terang hanya Revan yang tau kalau aku ini gay. Padahal aku tidak pernah cerita ke dia. Kata Revan sih aku keliatan gaynya dari caraku menatap laki-laki ganteng. Hahaha!
“Coba aku yang make pasti keliatan norak.” Aku hanya tertawa kecil mendengar ucapan Hendra barusan. Dulu aku pernah bilang kan kalau Hendra itu cukup cute?
“Yang penting elonya nyaman.” Kataku sambil lalu. Lalu aku melihat dua orang yang tidak mungkin bersama. Mustahil! Herry dan Taufik! Ngapain mereka berdua di toko buku? Herry di toko buku? Sulit dipercaya! Barengan Taufik! God help! Bitch please! Aku mengendap-endap agar lebih dekat dengan mereka tanpa ketahuan. Menghiraukan Hendra yang tengah sibuk memilih buku. Rasa penasaran mengalahkan gengsiku untuk tidak mendekati mereka.
Mereka mengobrol dalam bahasa jawa. Hhh, dekat saja aku belum tentu paham. Apalagi jaraknya jauh begini? Tapi rangkulan Taufik itu cukup menggangguku. Apa-apaan ini? Bukankah Taufik sendiri yang bilang supaya aku jangan jadi gay? Lha trus? Oke, rangkulan sesama cowok itu wajar, wajar banget malah. Tapi, tetap aja aku. . . Arghhh! Kill me please! Dia merangkul bekas pacarku! Aku balik arah! Persetan! Aku tidak akan menganggap mereka ada lagi di dunia ini!
“Lo udah selesai Hen?”
“Dari tadi. Kamu aku cari engga ada dimana-mana.”
“Ya udah, balik yuk.” Hendra hanya mengangguk ringan sambil mengikuti dalam diam. Mungkin dia bingung kenapa mood ku berubah secepat ini. Tadi baik-baik saja dan sekarang tiba-tiba menjadi menyebalkan. Aah, nanti bisa aku jelaskan. Yang penting sekarang aku mau pergi dari toko buku ini.
***

Ternyata seperti ini rasanya patah hati. Okay, aku patah hati memang sudah agak lama. Namun kali ini, rasanya luka itu seperti dibuka lagi. Perih, sakit yang pernah aku alami dulu saat Herry melepasku kini seperti timbul lagi. Aku seperti di ingatkan seperti apa rasanya. Aku harus move on! Harus! Britney saja bisa move on selepas ditinggal Kevin Federline, kenapa aku tidak bisa? Mungkin liburan semester satu ini aku ke Jakarta saja? Ke tempat tante Nia? Setidaknya tidak akan ada Herry atau Taufik disana. Setelah berpikir sejenak, aku keluar kamar. Minta ijin ke mama dan papa.
Aku mendapati mereka berdua di teras sedang bersama Paman Pri dan Lek Tien. Satu-satunya orang yang kurang nyaman dengan Galih selain aku hanya Paman Pri. Lainnya? Seperti melupakan begitu saja jika Galih adalah orang yang aku tabrak dengan permintaannya yang aneh.
“Ma, Seno boleh minta sesuatu?”
“Apa sayang?” Mama menoleh ke arahku dan tersenyum lembut. That’s my mom!
“Liburan semester ini Seno ke Jakarta ya? Ke tempat Tante Nia.” Papaku yang sedang membaca koran langsung menoleh. Kenapa nih? Enggak dibolehinkah? Karena nolehnya itu lho. Segitunya banget.
“Boleh sayang, sama Galih ya?” Kali ini bola mataku serasa mau keluar. Sama Galih? Why? Maksutku, aku kan sedang ingin liburan dan aku ingin sendiri bukan dengan orang yang bisa membuatku ketakutan setiap saat. Mamaku kadang-kadang suka ngelawak nih. Tapi engga tau tempat dan waktu.
“Ma! Ini kan liburan! Come on!”
“Ya gini, kalau enggak sama Galih ya enggak usah ke Jakarta.” Aku menirukan kata-kata papaku tadi dengan bersungut-sungut.
“Ntar deh Seno pikir-pikir dulu. Masih lama ini.” Kataku sambil berlalu. Galih, Galih, Galih dan Galih! Semuanya Galih. Apa-apa harus ditemani Galih! Oh shit! He is not my bodyguard! Not my boyfriend too!
Hmm, kalau lagi nganggur engga ada gawe gini jadi kepikiran yang kemaren. Kenapa Herry sama Taufik bisa barengan? Jangan-jangan mereka janjian. Sepertinya akrab banget. Apa iya Herry ninggalin aku buat Taufik? Hhh, satu minggu lagi bakalan ada test semester satu. Dan aku terlalu malas untuk sekedar belajar. Hahaha, masih seminggu ini. Enaknya ngapain ya? Main ke sawah aja kali ya? Kali aja ketemu ular tanpa ekor kayak kemaren. Hahaha, ngaco! Namun daripada aku bete setengah gila disini dan kepikiran yang enggak-enggak?
Aku keluar mengendap-endap agar tidak ketahuan papa dan mama yang sedang berada di teras rumah. Aku mungkin memang butuh udara segar. Jam segini pasti masih banyak buruh yang bekerja di sawah. Ini kan baru jam empat. Eem, menuju setengah lima tepatnya.
Saat aku berjalan, beberapa orang tersenyum dan menundukkan kepalanya. Yah, aku sudah terbiasa juga dengan perlakuan ini. Padahal sebenarnya aku agak risih. Aku bukanlah pangeran atau apa. Dan sangat tidak pantas menerima perlakuan seperti itu. Tapi ya sudahlah.
Sawah ini luar biasa menyejukkan. Hawanya yang segar, angin sepoi-sepoinya dan juga hamparan hijau tanaman padi yang masih muda. Dugaanku salah, hanya ada dua orang yang masih berada di sawah, dan itupun mereka siap-siap mau pulang.
“Monggo Mas Seno.” Sapa mereka begitu akan melewatiku. Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepalaku. Aku berjalan pelan ke arah gubuk dan duduk disana.
“Seandainya gua engga pernah kesini, mungkin gua kaga bakal ketemu Herry dan engga bakalan juga ngalamin perih kayak gini.” Aku mulai berguman sendiri. Mengeluarkan uneg-unegku. Aku tidak mungkin cerita ke Hendra. Dia tidak tau atau belom tahu kalau aku gay dan pernah pacaran dengan Herry. Mungkin kalau dia tahu dia bakalan kecewa dan mungkin dia bakal menjauhiku. Aku belom siap untuk itu. Belom siap untuk kehilangan sahabat terbaikku.
Mungkin karena aku asyik melamun aku tidak menyadari satu hal. Ada yang berbeda di kakiku. Terasa agak berat. Aku menunduk dan sedikit terkejut. Ular hitam besar tanpa ekor itu bergelung di kakiku. Dia tidak membelitku, hanya bergelung. Takut? Pasti! Tapi aku juga penasaran. Kenapa ular ini tidak menyakitiku? Maksutku, halo? Kenapa dia malah bergelung MANJA seperti ini di kakiku? Seolah-olah aku adalah majikannya? Ular kan bukan anjing atu kucing kan?
“Hei, lo siapa sih?” Okay, call me gila, stres atau sejenisnya. Nyatanya, aku memang mengajak ular ini berbicara. Ampun dah! Okay, aku gila! Itu keputusannya! Mungkin aku menganggap diriku sendiri Harry Potter. Tapi apa yang terjadi selanjutnya bikin aku bergidik. Ular itu bergerak dan melepas gelungan manjanya dari kakiku. Ular itu menatapku!
Matanya masih merah, tepat seperti yang aku ingat dulu. Sen! Do not to do this! Do not to do this! Tapi nyatanya akal sehatku dikalahkan oleh rasa penasaranku. Aku berjongkok dan menetap ular itu lebih intens. Ular itu menjulur-julurkan lidahnya seperti ingin mengatakan sesuatu. Oh please Sen! Dimana-mana, semua ular itu menjulur-julurkan lidahnya! Iya sih.
Ular itu lalu merayap pergi. Tapi entah kenapa, sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan dengan logikaku. Aku merasa nyaman. Seperti ada semangat baru dalam hidupku. Aah, entahlah ini delusi atau kenyataan. Aargh! Pulang ah, uda sore ini. Ntar papa mama nyap-nyap lagi.
Aku mengendap-endap lagi untuk mencapai kamarku. Untunglah tidak ketahuan. Dunia tidak berakhir hanya karena Taufik dan Herry mungkin-hanya mungkin-jadian. Dan ide liburan ke Jakarta bersama Galih tidaklah terlalu buruk. Di Jakarta tidak ada papa dan mama, jadi aku bisa bebas kemana saja dan Galih juga bebas ngapain aja. Okay, tiga minggu lagi! Jakarta, I’m coming! This is so simple! Take it easy.
***

Ujian semester sudah berlalu. Dan sekarang tengah class meeting. Cukup seru juga walaupun aku sudah jenuh setengah mati. Aku nanti bakal tampil akustik. Aku memlih lagu ‘cry me a river’ milik JT. Mungkin Herry tidak bakal mengerti, tapi setidaknya lagu ini memang untuk dia. Aku merasa dibodohi. Kenyataan jika Herry dan Taufik mungkin-hanya mungkin telah jadian sangat menggangguku. Dan cry me a river sangat mewakili perasaanku saat ini.
Saat sudah di atas panggung, aku tau mungkin tidak ada yang bakal mengerti apa yang aku nyanyikan. Hanya mungkin. Karena setahuku dari tadi belom ada yang menyanyikan lagu berbahasa Inggris. Entah karena mereka tidak bisa atau karena mereka tidak tahu. Aduh meremehkan sekali aku. Haha.
Aku mulai memainkan gitarku. Menyanyikan dengan segenap perasaanku. Supaya sampai ke Herry. Supaya dia tau betapa hancurnya aku. Tidak aku sangka saat aku sudah selesai menyanyikan lagu, tepuk tangan riuh terdengar sekali. Emangnya mereka ngerti apa yang aku nyanyikan tadi? Atau Cuma buat menghormatiku saja? Aah sudahlah, mengapa perlu aku pikirkan?
“Koe top Sen!” sambut Hendra begitu aku sudah turun dari atas panggung bersama gitarku.
“Emang elo ngerti apa yang gua nyanyiin tadi?” Hendra dengan segera menggeleng.
“Tapi suaramu enak banget Sen, empuk!”
“Hahaha, thanks! Kantin yuk, laper!”
“Siap bos!” Hendra adalah sahabat terbaikku. Itu tidak aku ragukan lagi. Bukan karena aku sering mentraktir dia. Dia tidak pernah minta di traktir. Dia yang paling tahan dengan sifatku yang kadang suka bossy. Dan kadang menyebalkan.
Aku dan Hendra sedang asyik makan siomay, ketika Herry masuk bersama Widi. Jangan anggap dia ada Sen, jangan pikirin dia. Jangan! Mereka memilih duduk di depanku dan Hendra. Herry melirikku beberapa kali yang tentu saja pura-pura aku abaikan. Padahal, aku hampir mengamati semua gerak-geriknya.
“Cabut yuk Hen, udah kan?” Hendra hanya mengangguk cepat. Agaknya ini anak belajar secara cepat bahwa aku dan Herry memang sedang terlibat masalah yang cukup serius. Eem, kira-kira kalau ajak Hendra liburan ke Jakarta gimana ya? Enggak usah ke rumah tante Nia, tapi ke rumah opa dan oma saja. Disana aku pasti lebih nyaman.
“Hen, lo liburan bakal kemana?”
“Paling bantuin ayahku garap sawah Sen, kenapa?”
“Ikut gua ke Jakarta, mau?” Hendra menoleh ke arahku secara tiba-tiba dengan raut wajah yang sulit aku jelaskan. Bahagia?
“Hmm, bapak ibuku pasti enggak ngijinin Sen.”
“Ntar aku yang minta ijin.” Hendra menatapku ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Seenggaknya, ntar aku bakal jamu Hendra sebaik yang aku bisa. He is my best friend. Herry dan Taufik? Oh bitch! Go to the hell please! Disana masih banyak space kosong aku rasa.
***

Uhuiy, finally!! Aku, Hendra dan tentu saja. Ehm Galih sedang berada di bandara Jogja. Jakarta uiy, udah hampir enam bulan aku di kota kecil ini. Dari kota tempatku tinggal hingga menuju Jogja diperlukan waktu kurang lebih empat jam dengan mobil. Papa dan mama sendiri yang mengantar kami bertiga.
Soal tetek bengek di bandara tidak usahlah aku ceritakan. Seperti biasa, penerbangan lokal selalu delay. Tapi sudahlah, itu tidak penting. Begitu tiba di Cengkareng, Revan sudah stand by. Hmm, cepet juga ini anak. Kangen aku kali ya.
“Beuh, tambah cucok aja sih lo Sen. Gemes deh.” See? Aku pernah bilang kan kalau Revan ini agak melambai?
“Haha, bisa aja lo! Nih kenalin temen gua, Galih sama Hendra!” aku memajukan bibirku hingga dekat dengan telinga Revan, “Kalo Hendra jangan lo apa-apain ya! Awas! Kalo Galih, lo perkosa juga boleh. Hihi.” Bisikku tepat di telinga Revan. Revan secara insting langsung melirik Galih dan tersenyum geli.
“Oke deh ganteng!” katanya sambil mengerlip geli. Asli, sumpah jijay banget aku. Kok bisa sih tante Nia punya anak model gini? Untung adiknya Revan masih lelaki sejati. Sepanjang yang aku tahu sih. Tapi kalau ternyata sekong juga. Ya enggak tau deh. Wkwkwk. Aku bersama rombonganku -gile nih bahasa, berasa lagi ngarang pelajaran Bahasa Indonesia- langsung cabut menuju rumah opa dan oma. Karena rumah opa dan oma lebih gede, selain itu Cuma dihuni tiga orang. Opa, oma sama mbak Siti.
Begitu turun dari mobil, opa dan oma langsung memelukku. Mencium pipi dan keningku secara berlebihan. Efek kangen kali ya? Karena dulu semasa aku masih tinggal di Tangerang, setiap weekend aku pasti ke rumah opa dan oma. Dan sekarang sudah hampir enam bulan lebih aku tidak kemari. Wajar kalau mereka kangen. Hendra dan Galih juga disambut baik.
Aku dan Hendra satu kamar, tentu saja! Sedangkan Galih berada di kamar sebelah. Semoga, dengan liburan ini aku bakalan bisa melupakan Herry laknat itu. Eh, wait! Jangan-jangan dulu waktu Taufik menasehatiku agar putus dari Herry itu karena dia juga suka Herry? Bisa jadi kan? Ya ampun, malah jadi berprasangka buruk gini. Pamali ah Sen!
Malam ini, aku, Hendra, Seno, Revan dan tentu saja Galih sedang berkumpul di kamarku. Tentu saja kita masih di rumah oma di Jakarta. Rencananya sih besok kita mau ke Ancol. Rencananya sih. Yang aku tidak mengerti adalah Galih semakin protektif terhadapku, entahlah. Mungkin karena sudah disuruh mama dan papa kali. Engga ngerti juga.
“Heh, main kartu gimana?” Alarm tanda bahayaku berdesis di kepalaku begitu Revan mengusulkan ide ini. Itu anak pasti enggak mungkin Cuma mau main kartu biasa. Ada udang dibalik batu pasti.
“Boleh tuh Mas Revan! Daripada suntuk.” Hendra langsung setuju. Anak domba masuk kandang serigala. Ckck, polosnya Hendra.
“Ssst! Jangan panggil mas ah. Revan aja!”
“Kata lo Revi? Gimana sih?” Revan langsung mencubit pinggangku saat aku mengkoreksi namanya tadi. Gilak, sakit minta ampun! Tu anak, udah jarinya lentik plus kukunya panjang juga. Cubitannya mantap!
“Lih, lo ikutan kan? Kalo enggak Seno gua kerjain nih!” entah mungkin karena Galih menganggap ancaman Revan berbahaya atau apa, dia toh akhirnya bergabung juga. Padahal dari tadi dia hanya mengamatiku dari kursi dekat jendela. Sejak di Jakarta, Galih selalu mengamatiku. Selalu. Sepanjang yang aku tahu Revan kan emang sering bercanda. Galih duduk tepat disampingku. Shit! Tu kan dadaku mulai berdegup engga karuan gini. Keringat dingin juga mulai muncul.
“Oke, main kartunya agak beda ya. Tiap kali yang kalah harus lepas salah satu baju. Terserah sih mau celana kek, bajunya kek. Pokonya harus lepas salah satu sampai bugil!” aku memutar kedua bola mataku. Tuh kan, apa yang aku bilang tadi? Revan pasti punya rencana busuk! Engga mungkin dia lihat makluk se cute Hendra dan dibiarkan saja. Dan Galih, well aku pernah menjelaskan kepada kalian seperti apa Galih itu.
“Wah kok gitu tho Rev?” Hendra sepertinya agak keberatan.
“Biar seru! Lagian kan sama-sama lelaki ini!”
“Lo laki Rev?” pertanyaanku ini langsung dijawab dengan cubitannya di pinggangku. Again! Hmm, pada setuju enggak ya? Kalau pada mau main, aku ikutan aja lah.
“Kalau yang enggak mau main, ntar malam tidur di kamar yang sebelahan sama kamar opa.” Semuanya mau tidak mau langsung brgidik. Itu kamar serem. Hahaha.
“Yowes lah. Ikut aja.” Revan tersenyum licik mendengar jawaban Hendra.
“Kalo lo Lih? Kalo lo gak ikut sih, ntar Seno bisa gua bikin bugil lho! Secara dia lemah banget kalau main kartu.” Aku sedikit bingung. Kenapa Revan selalu menggunakan aku untuk memancing Galih? Galih mengangguk. Jadi dia ikutan.
“Lo! Gak ada alasan buat lo enggak ikutan!” aku menghela nafas tertahan.


Bersambung. . .