FOLLOW ME

Minggu, 25 Januari 2015

BARISTA 12


Chapter Duabelas

Beno Pov
“Anjing! Lo gak bilang sama gue.” Aku emosi. Tantra hanya diam saja, sepertinya masih menunggu ledakkan emosiku selanjutnya. Dan saat aku hanya terdiam, akhirnya Tantra kembali berbicara.
“Gimana gue bisa ngomong? Pagi kita udah hampir telat buat ujian, siangnya lo udah ngacir duluan nemuin Gani. Dimana kesempatan gue coba? Lo egois tau gak Ben!”
“Gue mana inget Tan! Serius gue lupa, gak inget satu hal pun. Terakhir yang gue inget ya gue lagi minum-minum sama Shandy.” Tantra bangkit berdiri.
“Lo kayaknya harus minta maaf sama Gani.”
“Tapi Gani kan juga salah! Jalan sama Denny gak bilang-bilang gue.” Tantra menepuk jidatnya secara berlebihan.
“Aduh, come on! Lo sendiri yang bilang Gani minta ijin buat dateng ke ulang tahunnya Lita. Gimana sih lo?” Aku garuk-garuk kepala. Jujur, aku sudah tidak marah lagi ke Gani, yang ada malah kangen. Tapi masih ada gengsi buat minta maaf.
“Oke ntar siang, gue ke tempat Gani.” Tantra bersidekap. Sikapnya benar-benar menunjukkan sikap defensif. Heran saja, kenapa Tantra marah besar kayak gini? Bukannya sedikit membelaku atau apa. Oke, disini aku yang salah, tapi Tantra kan sahabatku, dari SMP lagi! Bela dikit kan gak masalah, kecuali . . .
Kecuali Tantra ada rasa sama Gani.
Ah ngaco! Tapi, siapa tahu kan?
“Tan, lo sama Gani?” Tantra agak kaget dengan pertanyaan keceplosanku barusan sebelum akhirnya menghampiriku.
“Iya! Kalau kerjaan lo cuman bikin Gani mewek mulu kayak sekarang, jangan salahin gue kalau ntar gue yang bahagiain dia! Gue balik dulu.”
“Eh Tan! Tunggu! Lo becanda kan?”
“Gue serius.” Ah shit! Si Gani menariknya dimana sih? Kalau aku yang jadi rebutan kan wajar. Aah, kangen Gani.
***

Gani Pov
“Yakin lo gak papa?” Radit kayaknya masih berat melepas kepergianku.
“Gue baik-baik aja Dit, seriusan deh.”
“Tapi kenapa lo harus pergi sih? Lo gak kasian sama gue? Jadi sendirian?” Aku terpaksa harus memutar kedua bola mataku. Radit semakin berlebihan.
“Lebay lo! Gue balik ke Jogja juga cuman sampai Senin. Hari Selasa kan kita masuk buat tahu hasil ujian. Aduh Dit, jujur ya daripada mikirin Beno, kayaknya gue lebih takut sama hasil nilai ujian gue deh. Kalau semua mapel gue remidiasi gimana? Mateng banget gak sih gue?”
“Lo tuh ya! Terus Beno gimana? Uda ada hubungin elo belom?” Aku menggeleng. Tadinya, siang ini aku mau ke rumah Beno, tapi Bapak tiba-tiba telepon kalau beliau sama Ibu kangen. Ya sudah, aku langsung ikut penerbangan paling cepat yang bisa aku dapat. Ini kan urusannya sama keluarga, orang tua. Aku gak mau kualat ya.
Kalau memang Beno worth it, dia pasti tidak akan tergesa-gesa mengambil keputusan. Main ucap kata putus se enteng itu.
“Gan, ayok.” Denny meraih ranselku dan membawakannya. He’s such a gentleman, doesn’t he?
“Den, gue titip Gani, awas kalau sampai ada apa-apa.”
“Iya.” Ya, ya, aku tahu kalian pasti akan mencibirku. Kenyataannya, aku memang pulang kampung bareng Denny. Padahal waktu itu, Beno yang mau ikut. Hhhh, terkadang janji memang tidak bisa semuanya terealisasi kan?
Beno membenciku, Denny ada disini. Jangan salahkan aku, aku hanya butuh sandaran untuk sementara. Kalau dipikir-pikir, aku ini juga enggak lebih baik dari Shandy ya?
Oke, aku tahu aku jahat. Bajingan, memanfaatkan Denny untuk mengobati luka hatiku karena Beno. Biarlah, aku memang bajingan.
***

Beno Pov
Aku masih saja maju mundur, padahal aku sudah berada didepan gerbang rumah Radit. Tinggal pencet bel, gerbangnya bakal dibukain deh sama satpam. Tapi ini ya, susah banget! Serius! Aargh, makan saja gengsiku! Kalau karena gengsiku, aku jadi benar-benar kehilangan Gani gimana?
Aku menguatkan hatiku sebelum akhirnya memencet bell. Aku sengaja tidak menelepon Gani, takutnya dia marah dan tidak mau menemuiku. Kalau aku datang dadakan begini kan dia tidak mungkin sempat bikin alasan macam-macam.
“Lho Mas Beno? Masuk mas. Nyari Mas Gani atau Mas Radit nih?”
“Gani Pak, ada kan?” Kataku menjawab pertanyaan Sardi, sambil memasukkan motorku.
“Waduh, baru saja pergi barengan Mas Radit itu Mas. Tunggu didalam saja Mas. Paling sebentar lagi juga pulang.”
“Oke Pak.” Aku memarkirkan motorku, sebelum akhirnya naik keatas. Bukannya tidak sopan, aku memang terbiasa langsung naik ke kamar Gani dan Radit. Tak terkunci, seperti yang aku duga.
Aku tersenyum ringan saat melihat fotoku yang di tempel di dinding, fotoku yang tengah bermain bola. Lalu beberapa fotoku dan Gani, kami berdua tersenyum lebar dalam foto itu.
Aargh, kenapa kemarin aku begitu tergesa-gesa mengucap kata putus?
Aku tahu Denny masih mencintai Gani, tetapi seharusnya aku lebih mempercayai Gani kan? Tidak semudah itu menuduhnya selingkuh, dan yang paling penting tidak semudah itu mengatakan kata-kata perpisahan. Menyesal juga bukannya percuma, toh waktu tidak bisa diputar mundur.
“Eh elo Ben, ngapain lo?” Radit, untuk ukuran sahabat matinya Gani, aku cukup terkejut dia tidak langsung mengusirku.
“Gani mana? Kata Pak Sardi pergi sama lo tadi.”
“Ngapain lo nyariin Gani?” Radit mengucapkannya dengan santai sambil melepas jaketnya.
“Gue mau minta maaf.”
“Gani uda balik Jogja, paling juga nerusin kelas tiganya disana. Entar paling orangtuanya kesini buat ngurusin surat pindah sekolahnya.” Deg. Ucapan Radit langsung membuatku mengeluarkan keringat dingin.
“Lo serius kan? Gak lagi ngerjain gue atau dendam sama gue?”
“Aduh Ben! Gak penting juga kali gue becandain lo!”
“Lo tahu alamat Gani yang di Jogja gak?”
“Lo mau nyusul? Percuma juga lagi Ben, emang lo bakalan dapet ijin dari orang tua lo? Gak yakin gue.” Radit benar. Mana mungkin kedua orang tuaku memberiku ijin, dan yang pasti uang saku untuk ke Jogja? Mustahil.
“Terus gue mesti gimana Dit?” Radit mengedikkan bahunya ringan. Dia sepertinya enggan peduli. Aku terpaku sebentar, sebelum akhirnya sadar bahwa tidak ada gunanya juga aku berlama-lama disini.
“Kalau gitu gue balik dulu. Thank Dit, Bye.” Shit! Shit! Seandainya aku lebih cepat meminta maaf ke Gani! Sial, sial! Aku belum siap untuk jauh dari Gani.
Aku menelpon Tantra ketika aku sudah berada diatas motor.
“Tan, lo dimana?”
“Oke, oke, gue ke rumah lo.” Aku menutup telepon, menstater motorku dan berlalu dari rumah Radit.
***

“Hah? Serius lo Gani pindah ke Jogja?” Tantra menyerahkan orange juice padaku, walau aku sedang tidak bernafsu memasukkan apa-apa ke mulutku.
“Radit yang bilang.”
“Tapi masa sih? Kan sayang banget tinggal setahun juga. Lagian bukannya Gani mau lanjut ke UI ya? Makanya akhir-akhir ini doi ikut les? Ngapain pulang Jogja juga?” Aku hanya menggeleng. Aku juga sama tidak tahunya dengan Tantra tentang masalah ini. Apa ini ada sangkut pautnya denganku? Goblok! Jelas ada, banget!
“Gue mesti gimana Tan?” Aku lesu.
“Tenang aja, Gani gak mungkin bisa melenggang gitu aja. Doi pasti balik lah, sekedar buat ambil barang-barangnya di rumah Radit atau apa, rapor mungkin?”
“Kalau orang tua Gani yang nglakuin itu?”
“Gani gak sepengecut itu buat lari dari masalah Ben, walau gue belum kenal lama sama Gani, gue tahu dia anaknya gak cemen.”
“Gue bener-bener idiot, nyesel banget gue.”
“Lo sayang banget sama Gani ya?” Aku menatap Tantra, tidak mengerti kenapa dia menanyakan hal bodoh yang jelas-jelas sudah bisa dia jawab sendiri. Kalau aku tak mencintai Gani, aku tidak akan tersakiti dengan perbuatannya kemarin. Karena, bukankah yang berpotensi menyakiti kita, justru adalah orang-orang yang kita cintai? Karena pendapat orang yang kita cintai itu benar-benar mempengaruhi kita kan?
“Gue, somehow, gak pernah bisa ngerti orang yang bisa menangis, tertawa, senyum-senyum gak jelas, hanya karena seseorang.” Tantra melanjutkan ucapannya.
“Gue pengen jatuh cinta Ben, gak peduli sama cewek kek, sama cowok kek, gue cuman pengen ngerasain, gimana rasanya jatuh cinta, gimana rasanya jadi konyol karena seseorang.”
“Lo tau gak Tan, Gani itu bukan cuman seseorang buat gue, dia segalanya buat gue.”
“Gue bakalan bantuin elo kok. Kalau Radit jadi galak ke elo ya wajar, kan sohibnya yang elo sakitin, tapi dia gak bakalan galak ke gue kan?” Tantra meneguk orange juice nya. “By the way Ben, lo kalau ada apa-apa, cerita ke gue dulu ya? Lo kan bukan Denny yang berpikiran panjang, lo itu selalu pendek pikirannya, jadi gue gak pengen ntar lo bikin keputusan-keputusan mendadak. Ujung-ujungnya bikin lo nyesel.”
Aku tersenyum ringan, “Oke.”
***

Aku masih tidak percaya bahwa aku berada disini, di tempat yang sekarang aku benci dan bersama orang yang tidak aku sukai. Tempat ini dulunya, adalah tempat favoritku dan Gani nongkrong, sekarang? Jangankan buat nongkrong, mampir aja males. Caffe nya Shandy.
“Jadi gimana Ben?” Shandy, memamerkan sederet giginya dengan seringai licik. Bagaimana aku sekarang bisa berada disini? Tadi, setelah aku pulang dari sehabis bertemu Tantra, Shandy menghubungiku. Awalnya, aku maki-maki. Maksudku, berani-beraninya dia menghubungiku setelah menjebakku? Tak tahu malu.
Tapi, tetap saja aku menuruti keinginannya untuk memintaku datang ke tempatnya. Caffe tempat Shandy bekerja ini belum buka, hanya ada aku dan dia disini.
“Video ini masih save di handphone gue. Tapi kalau lo macem-macem, gue bisa kirim ini ke guru lo. Dan taraaaaaa, lo bakal terkenal deh.” Sekarang, kalian tahu kan alasanku berada disini?
“Mau lo apa sih Shan? Gak lucu tau gak lo.”
“Mau gue ya elo. Lo tinggalin si Gani, trus lo pacaran sama gue.”
“Ada opsi lain? Atau gue gak bisa milih?”
“Pilihan lainnya, video lo kesebar. Gue tahu semua alamat email guru-guru lo. Jadi, pikirin dengan bijak.” Shandy berdiri, celingukkan sebentar. “Bentar lagi, orang-orang caffe bakalan dateng.” Dia memajukan wajahnya tepat dihadapan wajahku, “Gue tunggu besok malam lo di klub.”
***

Gani Pov
Magelang? Aku kangen tempat ini. Kangen Bapak Ibu juga. Tapi, mungkin kalian penasaran, kenapa aku bisa sekolah di Jakarta, sedangkan kedua orang tuaku tinggal disini. Ini yang belum pernah aku ceritakan kepada siapapun. Siapapun.
Aku bukanlah anak kandung kedua orang tuaku. Walaupun mereka baik padaku, luar biasa baik. Jika bukan mereka sendiri yang mengatakannya padaku, bahwa aku diadopsi dari panti asuhan, aku juga pasti tidak akan percaya. Dulu kedua orangtuaku tinggal di Jakarta, aku  diadopsi dari salah satu panti asuhan Jakarta. Malangnya, data-data tentang orangtua kandungku hilang.
Saat aku menginjak usia kelima, Bapakku memutuskan untuk pindah ke daerah. Tempat kelahirannya dulu. Aku? Aku ikut kok. Dan sama sekali tidak ada niat untuk pindah atau tinggal di  Jakarta, waktu itu, saat itu, saat aku belum tahu kebenarannya.
Aku pindah ke Jakarta saat aku akan memasuki bangku SMA, berjuang sendirian, dengan harapan, suatu saat akan menemukan orangtua kandungku.
Sekarang? Saat aku melihat kedua orang tuaku yang sedang menyiapkan makan malam untukku dan Denny, aku merasa tidak ada gunanya mencari siapa sebenarnya orangtua kandungku.
Hah, sudah lama juga sebenarnya aku menyerah mencari keberadaan orang tua kandungku. Sejak aku mulai pacaran dengan Denny.
Lalu aku bertemu Radit, lalu Beno.
“Gan, ayo makan dulu Le, ntar keburu dingin ini lho.”
“Inggih Bu,”
“Ayo, Mas Denny, jangan sungkan-sungkan.” Denny tersenyum. Denny, salah satu penyesalan terbesarku. Seandainya, dulu aku tidak gegabah.
 Lihat dia yang dengan santai dan sopan menanggapi guyonan Bapak. Tapi, yang aku pikirkan sekarang adalah Beno. Yang ada dalam tiap pikiranku adalah Beno.
Lebih mudah kalau aku pacaran dengan Denny, bukankah dulu kita hampir tidak pernah bertengkar? Denny selalu mengalah.
Denny sempurna, karena dia bukan Beno.
Denny sempurna, tapi dia bukan Beno.
Ya, tapi Denny bukan Beno.
Aku kangen kamu Ben.
***

Beno Pov
“Oke.” ,Kataku mantap.
“Oke apa?” Shandy memainkan gelas berisi cairan alkohol di jarinya.
“Gue mau jadi pacar lo.” Shandy terbelalak sebentar, sebelum akhirnya rileks kembali.
“Gue butuh bukti.”
Aku menulan ludahku dengan susah. Yang namanya minta bukti, itu pasti sesuatu yang sulit. Apalagi berhubungan dengan Shandy. “Lo minta apa?” Aku memberanikan bertanya. Sebisa mungkin mengatur suaraku agar tetap santai. Aku tidak ingin terlihat tertekan dihadapan musuhku.
“Lo ML sama gue, sekarang.”
Aku menaikkan kedua alisku tidak percaya, “Disini?”
“Ikut gue,” Shandy, lagi-lagi memamerkan senyum liciknya.
Aku, sebenarnya, antara takut dan deg-degan. Tapi ini akibat kecerobohanku, dan aku ingin memperbaikinya. Setidaknya, hingga semua kondisi terkontrol kembali. Kapan Ben? Aku tersenyum kecut menjawab pertanyaan dari diriku sendiri.
Shandy membawaku melewati lorong, hingga bunyi musik dan hingar bingar club hampir nyaris tidak terdengar. Shandy membuka sebuah pintu, memberiku kode agar aku mengikutinya masuk.
Begitu aku masuk dan menutupnya, aku tidak menguncinya tentu saja. Jaga-jaga untuk kabur kalau keadaan darurat.
Shandy langsung memburuku dengan ciuman. Tangannya secara tidak sabar membuka semua pakaianku. Aku bahkan takut kaosku robek atau kenapa-kenapa, itu salah satu kaos favoritku, yang dipilihin Gani.
Ya, ya, aku sengaja memakai kaos itu agar aku ingat, dan tentu saja tidak lepas kontrol. Here we go.
Aku membalas sama ganasnya, melepas semua pakaian Shandy, melorotkan celana jeansnya dengan tergesa-gesa dan aku buang dekat pintu.
Aku mengoral Shandy.
Jujur, terpaksa.
“Aah, Ben, udah lama gue pengen diisepin gini sama lo. Gilak, lo jago banget.” Nikmati surga lo Shan, nikmati. Sebelum neraka lo dateng.
***

Tantra Pov
Hal paling menjijikkan yang pernah aku lihat seumur hidupku. Dua lelaki yang tengah bergumul tanpa sehelai benangpun. Bahkan, mereka tidak menyadari keberadaanku. Yah, kalau mereka menyadari keberadaanku, tamatlah riwayatku dan Beno.
Aah, aku bahkan tidak percaya Beno begitu menikmati perannya, atau dia memang tidak sedang berpura-pura? Ruangan yang cukup gelap ini tidak menyulitkanku untuk menemukan celana jeans milik Shandy dan mengambil Handphonenya.
Aargh, enak juga.
Aku seperti agen rahasia saja.
Setelah benda yang aku inginkan berada di tanganku, aku segera pergi. Melihat dua lelaki bercinta? Iuh, bukan minatku. Mungkin aku memang straight. Padahal Gani lucu kalau dijadiin pacar. Hahaha.
Aku menunggu di mobil, sambil menonton konsernya JT yang aku download tadi siang. Lumayan buat nungguin Beno.
Tapi, dipikir-pikir lama juga mereka mainnya. Ini udah setengah jam lewat. Atau jangan-jangan Shandy sadar lagi handphonenya gue colong? Trus Beno diapa-apain lagi?
Tapi masa sih? Aku tadi uda mesen ke Beno, buat Shandy crot duluan. Kalau doi udah crot kan kadang suka lemes dan lebih bagus lagi ketiduran. Aah, mana ada sih rencana yang berjalan mulus, tanpa analisa yang bagus? Nah, kelemahan rencanaku dan Beno, kita tidak menganalisa Shandy. Seberapa kuat dia bertahan di ranjang? Setelah ejakulasi, apa kebiasaan Shandy? Apakah dia type yang tahan main berjam-jam dan beronde-ronde?
Gilak! Mana sempet kita bikin analisa, kalau waktu yang kita punya bahkan kurang dari 24 jam?
Ini rencana paling mendingan daripada usulan-usulan rencana Beno yang bisa dikategorikan kriminal.
Seperti meracuni Shandy, menyewa pembunuh bayaran, pukul ditempat. Aku bisa kasih saran, semprot baygon aja sekalian.
Aku hampir mau menyusul Beno kedalam lagi. Ini sudah satu jam. Namun, baru aku mau turun, kaca jendela mobilku diketuk. Aku tersenyum begitu melihat Beno yang masih berkeringat muncul dari baliknya.
“Gimana?” Tanyaku begitu Beno sudah duduk disampingku.
“Dia gak sehot fisiknya, baru juga gue oral uda crot.”
“Kenapa bisa nyampe satu jam lebih kalau gitu?”
“Tadi dia minta ngoral gue. Gue tahan mati-matian biar gak keluar ini pejuh.” Beno mengambil tissu dari jok belakang. Sedangkan aku, mulai menstater mobilku.
“Gimana lo bisa lolos?”
“Gue ijin mau kencing.” Beno tersenyum. “Lihat nih, bukan cuman hapenya doang yang kita gondol, dompetnya juga.”
Aku tertawa terbahak. “Kita bener-bener kriminal.”
“Dia salah pilih lawan Tan, gak tahu aja kita ini bandelnya dulu ngalah-ngalahin gank motor.” Beno ikuta-ikutan tertawa. Yah, memang udah lama aku gak berbuat kriminal bareng Beno. Kurang Ian sih sebenarnya, tapi kali gak papa lah, daripada Ian useless juga nantinya.
Dan ini, baru dimulai. Bukankah saat terdesak, semutpun bisa menjadi harimau?


Bersambung . . . 

Sabtu, 24 Januari 2015

BOTTOM 7

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***


Bimo Adiaguna
Bali selalu menjadi tempat pelarian gue sama Daniel. Disini, kita bebas, bebas untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain. Gue melirik Daniel yang sedang berada di balkon. Penerbangan satu jam empat puluh lima menit Jakarta-Bali enggak bikin gue capek. Oh well, sebenernya gue dan Daniel gak pure liburan disini. Tapi ada pekerjaan. Paul Manings, owner dari Saviour berencana untuk memperluas jaringan Saviour di Indonesia. Dan kini, tengah melobi salah satu perusahaan flavour and fragrance lokal yang bakalan di take over managementnya oleh Saviour. Kehadiran gue disini jelas sangat diperlukan, Daniel? Sebenarnya enggak ada dia juga enggak papa. Tapi gue yang maksa agar trip bussiness ini untuk kita berdua.
“Lagi nunggu sunset?”
Daniel menoleh, namun tanpa sedikitpun senyum dibibirnya. “I am not suppose to be here Mas.”
“Kenapa sih Dan? Lo gak suka disini bareng gue? Lo uda gak sayang lagi sama gue Dan? Oke, gue minta maaf akhir-akhir ini sibuk dan gak merhatiin elo, tapi lo tahu sendiri kan gue emang lagi sibuk? Bukannya leha-leha?” Daniel diam, yang justru malah semakin ngebuat gue pengen luapin semua emosi gue. Gue kan cuman pengen seneng-seneng, tapi Daniel malah bikin seneb.
“Ini kesempatan kita berdua having fun kan? Jangan bikin kacau Dan.”
“Full of shit! Gue bakal pulang Jakarta besok pagi.” Daniel diam sebentar. “Having fun? Sementara gue tahu istri Mas di Jakarta lagi khawatir sama Mas? I can’t!!”
“Kenapa sekarang jadi masalahin istri gue? Dari awal juga lo tahu gue uda beristri, lo fine-fine aja! Kenapa sekarang jadi masalah Dan? Kenapa baru sekarang?” Daniel diam, walau matanya berkilat amarah. Jujur, gue gak suka situasi seperti ini. Harusnya, ini jadi moment yang menyenangkan antara gue sama Daniel. Bukannya malah berantem enggak jelas gini.
“I knew it! lo uda punya laki baru hah? Jadi lo uda begah sama gue? Lo mau nendang gue?” Walau masih ingin meluapkan emosi, namun gue diam. Gue masih bisa maki-maki kalau Daniel juga emosi, tapi ini? Butiran bening yang menetes tanpa suara di pipi Daniel membuat gue bungkam.
“I am sorry, I just-, you know Dan? Gue kangen banget sama lo, can you just be nice? Gue gak bermaksud kasar tadi.” Daniel masih tetap diam, namun air matanya sudah berhenti mengalir. Gue mengecup kelopak matanya yang membuat Daniel otomatis memejamkan matanya. Turun ke pipi, lalu mencium bibirnya lembut. Gue menunggu agak lama hingga bibir Daniel terbuka untuk lidah gue bisa bebas mengivansi disana.
Gue merengkuh tubuh Daniel, tinggi badan kita berdua yang hampir sepadan membuat gue jauh lebih mudah untuk kembali mencium bibirnya berkali-kali. Daniel melenguh, suara seksinya membuat gue gak tahan lagi. Sambil tetap berciuman, gue meloloskan kancing kemeja Daniel satu persatu. Smooth Bim, smooth, Daniel gak bawa banyak baju ganti. Jadi, gak mungkin gue menarik kemejanya begitu saja tanpa memedulikan kancingnya akan lepas atau tidak. Walaupun, gue pengen banget nglakuin itu.
Kulit putih mulusnya terpampang dihadapan gue begitu kemeja putih biru itu berhasil gue singkirkan. Gue menyesap pangkal leher Daniel, berusaha memberi tanda, memberi tanda bahwa Daniel adalah milik gue. Lidah gue turun ke dada, ke putingnya yang merah jambu, salah satu titik tersensitif milik Daniel. Menyesapnya pelan, menggigitinya, hingga membuat Daniel merintih.
Namun saat lidah gue akan bergerak turun ke pusarnya, tubuh Daniel menegang. Menegakkan tubuh gue lalu mendorong gue pelan ke belakang.
“Sorry Mas, I can’t.”
Terluka, ditolak oleh kekasih gue sendiri. Harga diri gue sebagai laki-laki terusik. “Why?”
“I just can’t! Titris, Damian, dua orang itu ada di kepala gue waktu lo ngecumbu gue Mas! Gue gak bisa. Sorry.” Daniel menatapku getir. Mengambil kemejanya lalu memakainya kembali.
Eh, sekelebat tadi, gue kayak ngelihat tatto baru dibawah pusar Daniel. Itu bukan tatto gambar atau tribal, itu sebuah nama. Empat huruf, nama gue kah?
Gue termangu cukup lama, karena begitu tersadar, Daniel sudah keluar dari kamar hotel.
Apa iya gue harus nyerain Titris? Dan, what’s wrong with you? Don’t you know that you hurting me so much this night?
***

Evan Sutedjo
Sumpah, baru kali ini gue gak suka Daniel nginep kostan gue. Kalian pasti tahu kenapa kan? Walaupun dari tadi Daniel uring-uringan. Curhat tentang Bimo dari A sampai Z. Heran gue, ini anak pacarannya sama Uki, tapi curhatnya tentang Bimo, gak nyambung!
Sedari tadi Daniel ngoceh, dari jam delapan hingga kini uda jam setengah sepuluh malam, nama Uki bahkan belum disebut Daniel sama sekali. Ckckck.
“Lo tahu Van? Pagi-pagi dia dateng ke ruangan gue trus seenak jidat bilang, ‘Kamu nanti siang ikut saya penerbangan ke Bali.’ Gilak gak tuh? Ada gak dia nanya gue ada kerjaan gak? Enggak! Ada enggak dia nanya gue lagi ada project atau kaga? Enggak! Ada enggak dia nanya gue fit atau enggak? Ya Tuhan, enggak sama sekali!”
Gue diam, kalau gue memberi Daniel wejangan sekarang, gue bakal ikut kena semprot.
“Lo ada minum gak? Stres gue beneran!”
“Gak ada Dan.” Daniel? Lagi marah terus mabok? Groundbreaking. Baru gue mau ngambilin air putih buat Daniel, karena alkohol jelas bukan pilihan yang tepat sekarang. Dan thank to God, karena persediaan minuman alkohol gue emang bener-bener kosong di kulkas. Bahkan bir bintang aja gak ada. Lucky to me, to Daniel actually. Handphone Daniel berdering, dari nomor tak dikenal.
“Ada panggilan masuk tuh Dan.”
“Halo,” Gue, kalau enggak kenal Daniel dari kecil uda ciut kali nyali gue dibentak gitu. Kasihan banget itu orang yang telepon, timingnya gak tepat.
Gue menyalakan tv sambil mengamati Daniel yang berangsur-angsur menjawab telepon layaknya orang normal. Sekarang dia bahkan sudah tertawa-tawa ringan. Gila lagi jangan-jangan itu anak.
“Sapa sih Dan?” Tanya gue begitu Daniel mengakhiri panggilan teleponnya.
“Hendri.” Daniel mengambil tempat duduk disamping gue dan langsung menenggak habis air putih yang tadi niatnya emang mau gue kasih ke dia. “Gilak, curhat aja jadi capek gini gue.”
“Ya elo sih curhatnya kelewat emosi, lebay tau gak?” Gue berencana mau fokus ke perut Shia La Beouf yang entah kenapa di film ini kebanyakan telanjangnya, namun nama ‘Hendri’ tiba-tiba mengusik gue.
“Eh, Hendri? Kok gue kayak pernah denger ya itu nama?”
“Lha gue kan emang pernah cerita ke elo tentang dia.” Gue berusaha mengingat-ingat, dimana dan kapan tepatnya Daniel cerita tentang Hendri ini.
“Oya yang novelis porno itu!” Gue menjetikkan jari gue. Merasa jago seolah-olah sudah memecahkan Davinci Code.
“Novelis doang, gak ada embel-embel pornonya! Lo ikut gue, kita naik taksi aja.”
“Mau kemana Dan?”
“Appolo baby.”
***

Uki Bagus Walantaga
Paling males sama klien yang banyak nanya dan bego. Oke, dia mungkin technical baru lulus, tapi seenggaknya sudah mempunyai pengalaman waktu kuliah kan? Atau dia lulusan sekolah kecantikkan? Excuse my attitude, aku memang pengeluh yang handal. Namun jarang menyampaikannya karena terlalu sungkan. Aku bukan Daniel yang akan langsung mengucapkan apa yang ada di pikirannya tanpa perduli sang lawan bicara akan sakit hati atau tidak.
Oh Gosh, I miss that boy so much, correct, my boy.
Hhh, tadi berangkat ke Cikarangnya barengan Pak Deddy, dan baru jam sepuluh malam, aku memasuki wilayah Gading Jakarta Utara. Macet, dan aku juga baru beres meeting sama kliennya jam tujuh malam. Mana aku masih harus menuju kantor dulu, mengambil beberapa barang. Besok Sabtu, males banget masuk kantor. Jadi sekalian hari ini sajalah.
Pak Deddy langsung pulang tadi, aku juga bakalan langsung pulang jika tidak mengingat barang apa yang aku tinggalkan. Flashdisk. Oya, cuman flashdisk, tapi isinya ada foto-fotoku bersama Daniel. Jangan negative thinking dulu, hanya foto-foto biasa kok.
Dengan malas-malasan akhirnya aku keluar dari mobil setelah memarkirnya dengan asal-asalan.
Aku menyapa Tarjo, satpam yang bertugas didepan. Halaman kantor sudah sangat sepi, tapi pabrik produksi dibelakang kantor masih ramai karena mereka tiga shift. Tentu saja aku meminta Tarjo untuk menemaniku hingga lantai dua. Gila apa, bukannya penakut tapi mencegah hal-hal buruk terjadi.
Setelah mengucapkan terima kasih dan basa-basi sebentar ke Tarjo, aku masuk kembali kedalam mobil dan mulai menstaternya. Tepat, ketika aku baru saja akan keluar dari lapangan parkir kantor ada telepon masuk.
Evan.
“Kenapa Van?”
“Daniel Ki, Daniel,” Suara bising disebrang sana membuatku tidak bisa sepenuhnya fokus pada suara Evan.
“Daniel kenapa?” Namun dari nada paniknya Evan, aku tahu bahwa mungkin saja Daniel sedang dalam bahaya.
“Lo dimana? Gue kesana.”
***

Kata Evan, tadi Daniel pingsan didalam taksi. Dan langsung membawanya ke rumah sakit. Dokter bilang, tekanan darah rendahnya Daniel kambuh. Hhh, aku baru tahu Daniel punya darah rendah. Dan karena Daniel gak mau tidur di rumah sakit, dia memaksa minta pulang.
Aku memandangi wajah Daniel yang masih terlihat pucat, kepalanya tertidur di atas bantal bercover frozen. Cover bed nya juga bergambar Elsa, Anna dan Ollaf dari tokoh Frozen. Film favoritnya Daniel.
“Kamu mau makan lagi sayang?” Aku mengelus rambutnya. Daniel menggeleng, bahkan disaat wajahnya pucat seperti ini, dia tetap mempesona.
“Ya udah, aku Isya dulu ya? Belum sempat tadi.”
“Iya, makasih Ki.” Aku tersenyum sebelum akhirnya beranjak untuk mengambil air wudhu. Seminggu yang lalu, Daniel membeli sajadah, sarung dan peci. Katanya khusus untukku kalau sedang mau sholat di apartmentnya. Ya Tuhan, aku mencintainya. Aku mencintai pemuda yang tengah terbaring lemas tepat disampingku.
Maukah Engkau meridhoi cinta kami? Ikut berbahagia denganku?
Bayangan Mama, Papa, lalu Fadil dan Kemal melintas dipikiranku. Aku anak lelaki pertama dalam keluarga, kebanggaan orang tua karena tak pernah neko-neko sejak aku lahir hingga besar. Selalu berprestasi di sekolah, tak pernah terlibat tawuran, tak pernah merokok, tak pernah minum minuman berakohol, aku sudah cukup menjadi anak baik kan Tuhan selama ini?
Jadi bisakah sekali ini saja, Engkau mengabulkan permintaanku? Aku hanya ingin membahagiakan Daniel.
Lalu, ketika aku membayangkan wajah Mama yang menangis, Papa yang pasti akan kecewa jika aku mengenalkan Daniel sebagai orang yang benar-benar aku cintai, aku tak kuasa menahan isak. Beban dipundakku begitu berat. Tanggung jawab nama baik keluarga yang aku pikul melebihi kekuatanku.
“Ki?” Aku diam, namun isakku tak mau berhenti.
Lalu aku merasakan tangan Daniel menyentuhku, membimbing kepalaku untuk berbaring didadanya. Kedua tangannya dengan kuat merengkuhku ke pelukannya, membuatku benar-benar semakin terisak.
***

Joshua Daniel Pradipta
Aku menggeliat kekanan, dan karena merasakan ada mata yang tengah mengamatiku, aku membuka mataku. Uki, tengah mengagumi perutku, atau mungkin tatto namanya disitu? Tatto yang membuatku langsung mendorong Bimo, padahal jujur, waktu itu aku juga sedang horni-horninya. Sudah sebulan lebih aku tidak berhubungan seks. Ya, tepat sekali sejak aku berpacaran dengan Uki, sejak itu pula kehidupan seks ku tak ubahnya bagai jomblo.
“Uda bangun, sleepy head?” Uki mengecup perutku yang terbuka karena piamaku yang agak tersingkap, pelan. Aku tersenyum ringan.
“Morning kiss dong sayang.” Kataku sambil memajukan bibirku.
“Kamu belum gosok gigi.”
“Terus kenapa? Justru seksi kan?” Belum juga Uki mengeluarkan kalimat penolakkan lainnya, aku sudah memburunya dengan ciuman. Ciuman pelan, penuh cinta. Haha, gombal ya? Tapi beneran deh, aku kira, aku tidak bakalan bisa mencium dengan cara seperti ini. Ciuman yang tidak menuntut adegan lebih lanjut, you know lah adegan lanjutnya seperti apa.
“Cowok ganteng juga, kalau baru bangun tidur nafasnya bau jigong.” Aku sukses ngakak sebelum akhirnya turun dari ranjang dan menuju kamar mandi. Aku mengambil sikat gigi yang sekarang ada dua. Milik Uki satu, shampo yang juga ada dua. Uki tidak suka dengan wangi shampoku katanya, tapi herannya dia suka banget mencium rambutku. Jujur, badanku masih lemas, tapi yah kalau tidak mandi aku merasa ada something yang enggak beres aja dengan tubuhku.
Aku terus terang menyukai sedikit perubahan di apartmentku sejak aku berpacaran dengan Uki. Sandal jepit dengan kepala Doraemon yang dibeli Uki, dan selalu dia pakai jika sedang menginap disini. Beberapa bajunya yang entah sejak kapan berada didalam almariku, bahkan celana dalamnya.
“Sayang, bisa ambilin handuk gak?” Sing. Tak ada jawaban. Eh, kalian tahu ‘sing’ kan? Itu lho yang biasanya ada di tulisan-tulisan manga buat gambarin suasana yang sunyi. Ya kali penting juga aku jelasin.
Karena lima menit kemudian, masih tidak ada jawaban. Jangan-jangan Uki nangis lagi? Semalam, entah apa penyebabnya, Uki terisak. Selama ini, Uki tidak pernah mengeluhkan tentang masalah yang berat. Jadi, aku benar-benar blank semalam, mau nanya juga gak enak hati.
Aku keluar dari kamar mandi, membuka almari, mencari handuk bersih. Uki? Aku tidak tahu, karena dia sudah tidak berada di kamar.
“Kamu punya kebiasaan berkeliaran telanjang gitu?” Aku kaget, iyalah, orang Uki ngomongnya tiba-tiba.
“Tadi aku minta kamu ambilin handuk, kamunya enggak nyaut-nyaut.”
Uki memandangiku atas bawah, “Please, cover your body with something honey.”
“Why? You don’t like my body or something?”
“Bukan gitu, eem, eem, it’s just make my shit hard. Dan aku gak mau mandi wajib lagi ya.” Aku tertawa sebentar walau belum terlalu tertarik untuk menutupi tubuh telanjangku seperti saran Uki barusan.
“Perasaan semalam kita gak ngapa-ngapain, kenapa kamu mandi wajib?”
“I am, eer, actually jerking off.”
“What? For what? You’re watching porn? Or imagining the dirty things?”
“Enggak. Aku cuman gak tahan aja kamu peluk erat banget semalem.”
Tawaku lepas. “I can give you a blowjob then,” Aku melilitkan handuk ke pinggang. “I am sorry for asking you this, but are you still virgin?”
Wajah Uki memerah, he is so fucking adorable. And he is mine.
“Aku baru aja bikin nasi goreng untuk kita berdua sarapan. Eem, aku tunggu diluar ya?” Uki tersenyum canggung sebelum akhirnya keluar dari kamar. No sex again? Mungkin aku harus beli dildo besok.
***

Siang ini, saat aku dan Evan baru saja keluar dari kantor untuk lunch, aku melihat sudah ada lima misscall dari Maya di ponselku. Belum pasannya di blackberry dan whatsap. Aku baru bisa ngecek karena tadi meeting dari jam sepuluh sampai hampir istirahat dengan Christina Young. Salah satu Marketing Manager dari Saviour Filiphina yang lagi getol banget pengen ngembangin coffee flavour. Rencananya sih mau gaet kerjasama dengan starbuck. Whatever lah.
“Hey Nyet, sombong banget sih lo. Keriting nih jempol gue dari tadi nelponin elo.” Maya langsung merepet panjang, begitu aku menelponnya balik. Aku dan Evan memutuskan untuk nyushi di Sushi Tei.
“Bibir lo Nyet. Gue abis beres meeting tadi. Ade ape?” Aku melirik Evan dan memberinya kode agar tidak menginterupsiku sebentar.
“Gue ada kabar gembira buat lo Dan.”
Dahiku mengernyit, “Kabar gembira versi lo kadang gak sama dengan kabar gembira versi gue.”
“Ye, pesimis lo! Negthing mulu. Gini Dan, lo bakalan masuk majalah gue.” Oya, I’m forgot to tell you something. Maya, bekerja sebagai fashion editor salah satu majalah khusus pria dewasa. Bukan, bukan majalah esek-esek, majalah fashion pria gitu. You know lah.
“May, lo barusan ngomong apa?”
“Elo, bakalan masuk majalah gue, Dan! Seru kan?” Aku mengambil minuman yang ada di meja. Minuman Evan mungkin, karena aku belum order.
“Dalam rangka apa May? Becanda lo!”
“Gini Dan, majalah gue kan lagi bikin fashion spread, nah isinya itu cowok-cowok muda sukses berbadan sehat tapi bukan model atau selebritis. Selain elo, ntar bakal ada Rasjid Sutata, Hendri Subakti, ama Luki Hassan.”
Hendri Subakti? Udah lama aku gak ketemu itu anak. Wait? She’s just named Rasjid? Rasjid? The another asshole that cheating on me? “Luki who?” Ujarku.
“Oh, He is this young, hot shot lawyer from one of the biggest law firms in Indonesia.” Aku tersenyum kecut.
“Exactly.”
“Hah? Maksud lo?”
“Exactly what people are gonna say about me? Daniel who? Dibandingin nama-nama yang elo sebut tadi, gue itu ibarat butiran upil. Cari yang lain aja deh May. Dan ada Rasjid, lo tega banget sih. Gue gak mau ah.”
“Buahaha, tumben lo rendah diri. Itu gak penting lagi orang kenal lo apa enggak. Yang gue yakin, saat tampang lo muncul di spread fashion majalah gue, lo bakal langsung tenar. Follower instagram lo aja udah ngalah-ngalahin artis. Lagian susah tahu nyari cowok muda ganteng body oke. Soal Rasjid, do not worry honey, pemotretannya kan gak barengan.” Aku masih diam. Jujur saja, aku sama sekali bukan tipe orang yang haus kemasyuran.
“Ayo dong Dan, gue minta tolong sebagai temen nih. Tadinya sih gue pengen make Kevin, juara LOTY tahun ini, tapi editor in chief gue kurang setuju. Kata doi, Kevin uda termasuk kategori model plus selebriti. Lagian ini demi kepentingan lo juga.”
“Kepentingan gue? Emang kalau gue masuk majalah elo, gue bakal naik jabatan? Naik gaji?”
“Aduh elo nih ya, susah banget sih buat di book. Hendri yang novelis sukses dan dokter aja gampang banget dan udah oke, elo malah susahnya ngalah-ngalahin rempongnya Mariah Carey.”
Aku menghela nafas. Jadi Hendri itu juga dokter?
“Please, oke ya Dan? Ya?”
“Fine . . .” Gimana coba aku bisa menolak permintaan salah satu sahabat terbaikku?
“Nah gitu dong, Ntar gue kabarin tanggal pemotretannya. Thanks ya Dan, you are my best friend.”
God, what have I got myself into?
***

“Halo Bapak Joshua Daniel Pradipta, selamat datang di majalah Glamorous ya.”
Aku tertawa, “Norak lo. Eh gue heran, ini kan majalah cowok, kenapa namanya harus Glamorous? Sound girly banget gak sih?”
“Jangan tanya gue, tanya ownernya dong.” Aku meringis mendengar jawaban Maya.
Maya membawaku melintasi serangkaian kubikel berwarna coklat kayu, bergaris biru langit. Susana kantor majalah Glamorous memang sangat chic, segar dan comfie. Dibandingin kantorku? Jauh banget. Kantorku itu auranya formal dan kaku. Walaupun juga ditata dengan interior modern.
“Studionya yang mana May?”
“Tuh pintu yang berwarna biru di sudut itu.”
“Ini kantor penuh dengan warna biru ya? Mellow banget.”
“Komen mulu lo kayak olshop di instagram artis.”
Aku sukses ngakak, “Sial lo.”
“Hari ini cuman gue doang?” Aku bertanya sambil menuju studio
“Ya, sama Luki Hassan, tapi doi ntar sore. Gile ya, susah banget buat ngatur schedule orang kantoran kayak lo ama Luki.”
“Eh, May, kok ada Rasjid sih? Emang dia kerja apa sekarang?”
“Ciye, penasaran lo ama mantan? Ciye.” Maya cengengesan gaje sambil mencolak-colek pinggangku. Enggak penting banget itu anak emang.
“Norak lo.” Maya membuka pintu, dan segera saja, ruangan luas penuh layar background dan lampu fotografi terpampang didepan kami. Oke, ini luar biasa, untuk ukuran orang sepertiku yang awam dengan dunia permodelan dan permajalahan.
“Oke Dan, ini Shanty dan Tomi, yang bakalan ngurusin outfit, aksesoris, sama kawan-kawannya itulah. Nah kalau yang ini, Dino, untuk hair plus make up lo ntar.” Aku menyalami team Maya ini satu persatu.
“Lo yakin gue juga perlu di make up?”
Maya memutar kedua bola matanya jengah, “Gue tahu Dan, lo punya kulit wajah yang bikin envy kaum adam bahkan kaum hawa, tapi ya biar bagus aja di kamera, lo perlu di make up. Tipis aja kok ntar, lo tenang aja, tinggal terima beres, oke? Temmy mana ya Shan?”
“Lagi kebawah tadi Mbak, nyari kopi katanya.”
“Oh yasudah, jadi gini Dan urutannya, ntar lo bakal digarap sama Dino dulu. Setelah itu outfit sama aksesorisnya bakal diurus sama Shanty dan Tomi. Kita ada tiga outfit, ntar kita pilih mana yang paling bagus buat dimuat. Ngerti kan?”
“Sure.”
Gimana rasanya jadi model? Seru! Apalagi saat Dino mulai menyulap rambutku menjadi chic dan terlihat ‘gaul’ tapi gak begitu flamboyan. He is smart, I do like him. Enggak semua hairstylist bisa sejago ini nata rambut orang.
Tapi saat aku memuji kepiawaiannya, Dino membalikkannya padaku, bahwa katanya, wajahku tipe yang hampir cocok dengan semua gaya rambut. I like him more.
Tapi, selalu ada yang bikin bete. Selalu ada moodbreaker diantara hari yang baik ini.
“May, sini sebentar lo.” Teriakku dari dalam ruang ganti.
Terdengar langkah Maya mendekat, menarik tirai ruang gantiku dan kepalanya melongok kedalam.
“Kenapa Dan? Bajunya kekecilan?”
“Bukan, yakin gue harus shirtless? Ini jeans gak ada kancing kaitnya lagi.”
“Trus kenapa? You have an awesome body, gak masalah kali kalau harus show off.”
“Nih!” Aku menunjuk tatto ‘UKI B’ yang terlihat jelas. Seandainya, jeans ini ada pengaitnya, kaga bakalan terlihat sejelas ini.
“Gila, lo nato nama laki lo? Tumben.”
“Hih, gak penting bahas itu sekarang, kasih gue celana yang ada kaitnya gih, atau gue pake atasan deh.”
“Gak papa lagi, biar itu tatto nambah-nambahin sex appeal lo.” Maya berkata sambil cengar-cengir.
“Gak lucu tahu.”
“Lo takut disangka gay? Karena ada tatto nama laki di perut lo atau gimana sih?”
“Gue takut Bimo liat, gue kan tahu Bimo langganan majalah lo!”
Maya geleng-geleng kepala, “Heran gue sama lo Dan, lo kan udah bubaran sama Bimo, gak usah terlalu mikirin perasaan doi lagi. Atau jangan-jangan lo masih demen lagi?”
“Ini mau diganti atau gue balik?”
“Buahaha, ngambekkan lo kayak buruh di akhir tahun! Ya udah, lo pake outfit yang kedua aja dulu.”
Lalu, sepuluh menit kemudian aku keluar dari ruang ganti. Dengan outfit perpaduan dari Louis Vuitton, Armani, Andrew Christian –kenapa harus memakai Andrew Christian yang identik dengan gay? I have no idea- , Paul Smith, dan optik seis, aku yakin ini outfit kalau di total bisa setengah dari gajiku.
“You look so gorgeous, Dan. Gue heran, belum ada produk yang mau endorse elo.” Temmy menghampiriku.
“Hahaha, thanks Tem. Sorry ya ntar kalau gue agak nervous atau gimana, gue belum pernah difoto-foto kayak gini.”
“Easy Dan, elo mah type orang yang bakalan bagus difoto dari angle manapun. Oke, lo uda siap kan? Yang penting rileks aja. Oke?”
“Tenang Tem, gue udah siapin musik yang bakalan bisa bikin Daniel rileks.” Kalian tahu musik apa yang diputar oleh Maya? Shadow nya Britney Spears. Yup, I am Britney Army. Dan shadow ini, lagu yang menceritakan tentang sebuah hubungan yang sudah enggak sehat, sebuah relationship yang menuju kehancuran. Lagu ini memang membuatku rileks, dilain sisi, mengingatkanku akan getir pahitnya saat baru saja ditinggal Rasjid.
Oh well, aku yang memutuskan Rasjid, tapi aku yang paling terluka. Menurutku. Mencoba terlihat baik-baik saja didepan Maya dan Evan waktu itu, jelas tidak mudah, but I did it.
You’re all I want, but not like this. I’m watching you disappear. But you, you were never here . . .
Lagu itu mengalun lembut.
***

“May, ambilin gula lagi dong.”
“Brown, Plain or equal?”
“Equal aja deh.”
Aku dan Maya tengah ngopi-ngopi di Coffee Bean Plaza Senayan. Evan dalam perjalanan mau nyusul gabung katanya. Tapi enak banget ya jadi Maya, gak dicariin lakinya.
“Lo gak disuruh buru-buru balik ama Banyu May?” Kataku sambil menambah gula pada chocholate ice blended ku.
“Banyu mah gak rempong orangnya, lagian dia juga pasti belum balik dari kantor.”
“Japheth?”
“Sabtu Minggu kan emang khusus waktu gue buat anak sama suami.” Aku memilih memotong-motong brownies cappucinoku. Aku selalu iri dengan Maya, maksudku, dia bisa mendapatkan hal-hal yang di impikan oleh banyak kaum hawa, suami sukses –lupakan fakta, bahwa Banyu adalah penggemar berat dangdut- , anak menggemaskan dan sehat serta mempunyai karir yang cemerlang. Maksudku, orang tidak akan dengan gampang mengecap Maya sebagai istri yang nebeng suami karena Maya mempunyai penghasilan sendiri yang juga lumayan.
“Dan, lo masih ada rasa gak sih sama Rasjid?” Aku tersedak cake ku karena pertanyaan mendadak dari Maya.
“Enggak May, lo tahu gue orangnya cepet move on.”
“Gue cewek Dan, bukan Evan yang bisa lo kelabui. Gue lebih sensitif. Lo kira gue gak tahu malam-malam lo nangis dalam diam setelah putus dari Rasjid? Lo gak sekuat itu Dan, mungkin bahkan lo gak sekuat yang lo kira Dan, lo itu rapuh.” Aku terdiam.
“Uki? Do you really love him? Or he’s just another ‘Rasjid’? Sama kayak Bimo?” Sambung Maya lagi.
“Gak tahu gue May. Gue bener-bener gak tahu.”
“Gini ya Dan, lo itu gak bener-bener cinta sama Bimo. Saat lo lihat Bimo, lo kayak liat Rasjid kan? Itu maksud gue dengan another Rasjid. Bimo smart, berkarakter, dan mengingatkan lo pada Rasjid.” Maya menyesap green tea latenya. “Uki, dilain sisi, bertolak belakang banget dengan Rasjid ataupun Bimo. Makanya gue nanya ama lo, lo beneran cinta sama Uki, atau lo cuman mau manfaatin dia doang buat nyembuhin hati lo yang masih luka itu.”
Aku benar-benar tidak tahu harus berkomentar apa. “Kayak lo udah ketemu Uki langsung aja, baru juga lihat fotonya.”
Maya terbahak, “Lo tahu kenapa Justin Timberlake akhirnya milih Jessica Biel?”
Aku menggeleng, “Mana gue tahu, gue kan bukan nyokapnya.”
“Setelah putus dari Britney, doi macarin cewek-cewek yang karakternya mirip ama Brit, contoh aja Cameron Diaz, Scharlet, bahkan ada dancernya yang mirip Brit kan? Tapi toh, Brit gak bakalan terganti, makanya doi milih si Biel. Yang bertolak belakang banget ama Brit. Walaupun herannya, sekarang Biel try so hard buat jadi Brit. Gak ngerti gue.”
“Dasar Timberlake fan lo.” Maya tertawa.
“Sama kayak kasus lo kan?”
“Biarin ntarnya bakal gimana aja deh May.”
***

Hendri Subakti
Foto Daniel di majalah Glamorous edisi terbaru ini mengganggu gue sepanjang siang ini. Dengan celana jeans pas badan, seolah-olah ingin memamerkan bentuk bokongnya yang penuh, lalu kemeja yang kancingnya sengaja tidak dikaitkan, membuat dada bidang dan perut sixpacknya terekspos jelas. Kacamata bulat yang dipakai Daniel, jelas tidak membuat pesonanya luntur, malah menjadikannya semakin menggemaskan. Naughty, but innocent at the same time.
Gue menghela nafas.
Bukan berarti foto gue di majalah itu jelek, gue tahu gue ganteng. Bukan narsis, tapi itu faktanya.
Tapi dijejerin dengan Daniel? Gue, Rasjid, dan Luki jadi terlihat biasa saja. Oh man, I wanna fucking this guy so bad. Gimana rasanya meluk Daniel? Gimana rasanya penis gue bersarang dalam bokongnya yang montok itu? Aaargh! Horny gue.
Gue menyentuh nomor yang sudah gue hapal diluar kepala.
“Jid, lo sibuk gak? Bisa gak kita meet up bentar? Gue horny.”
***

Evan Sutedjo
Yang lagi happening hari ini? Jelas fotonya Daniel di salah satu majalah fashion pria terbesar di Indonesia, Glamorous. Dari pagi hingga gue mau balik, orang-orang kantor masih saja membicarakan betapa seksinya Daniel di majalah itu. Gue bangga, seriusan deh. Gimanapun juga, Daniel adalah sahabat terbaik gue, dan gak ada alasan buat gue untuk gak ikut seneng.
Daniel? Dia lagi ke Thailand barengan Pak Bimo dan Pak Deddy juga Ranti.
Anak HRD macam gue, gak begitu ngerti urusan para technical dan marketing yang suka banget kelayapan keluar kota bahkan keluar negeri. Jadi ya, sang model belum tahu kalau dia adalah hot topic di kantor seharian ini. Daniel, yang following instagramnya sudah 220k, pasti akan langsung naik drastis.
Tapi, rasanya gue pengen banget nyalahin Daniel begitu gue melihat Reno, dengan majalah Galomorous edisi terbaru ditangannya sedang berdiri di depan kamar kost gue. Gue heran deh, ini kenapa Glamorous yang beli cowok-cowok homo semua sih? Tadi saja di kantor yang heboh pertama kali si Ryan, yang emang langganan Glamorous, dan agak ngondek, plus suka godain Tarjo, security kantor, gue juga tahu Bimo selalu beli edisi terbaru Glamorous. Dan sekarang, Reno?
“Tumben lo nungguin gue? Pasti ada maksud kan lo?” Repetku sambil membuka pintu kamar kostku.
“Hehehe, kok gitu sih lo ngomongnya? Padahal gue uda beli martabak manis buat lo.”
“Malah makin curiga gue.”
“Haha, boleh dong gue masuk. Haus nih.”
“Kamar lo kan dibawah,” Sungut gue sebal. Gue ngerasa, kalau Reno pasti bakalan minta tolong sesuatu yang berkaitan dengan Daniel. Minta tanda tangan misalnya, bisa saja kan?
“Galon gue abis. Males banget mau beli.” Gue menepuk jidat gue.
“Eh, by the way, temen lo seksi banget gilak. Gue baru aja lihat, awalnya gak yakin. Tapi setelah gue perhatiin emang dia teman lo kan? Si Daniel.” Reno semangat banget ngomongnya sambil menunjukkan foto Daniel, yang well, harus gue akui memang seksi. Doi emang cocok kalau jadi bintang, aura starnya uda ada.
“Yah, he is hot, charming, and perfect.” Gue meletakkan tubuh gue di ranjang. Rasanya capek banget seharian ini. Dan gak ada temen yang bisa diajak cabut pas jam-jam kantor kayak Daniel, membuat kecapekkan gue double.
“Kira-kira doi ngijinin gak ya kalau gue pacarin sahabatnya?”
“Hahaha, ada-ada aja lo. Buat apa minta ijin sama Daniel.” Eh, aku terduduk kaget. “Lo bilang apa tadi Ren?”
“Lo mau gak Bfan sama gue Van?”
“Eh, lha bukannya lo sukanya sama Daniel?”
“He eh sih, tapi yang model kayak Daniel yang ada gue bakal makan hati mulu sama curigaan dia lagi ngapain diluar sana, ya kan?”
“Oh, jadi maksud lo, gue jelek gitu? Aman, gak bakal ada yang naksir sama gue gitu?”
“Don’t you know, you look so adorable when you act like child like that?” Gue diam.
“Daniel emang boyfriend material, but you, Evan Sutedjo, you are the man I want spend my entire time with.” Gue masih diam.
“Come on deh Van, masak udah gue bawain martabak manis, terus udah gue tembak romantis, lo nya masih ngerajuk gitu?”
“Lo nyontek darimana itu kata-kata tadi?”
“Novel, hehehe. So?”
“So apa? Mana martabak manis gue?”
“Mau jadi BF gue?”
“Lo tahu jawabannya.”
“Hehehe.”
Kayaknya, hari ini gue gak jadi sebel sama Daniel. Hahaha.


TBC