FOLLOW ME

Rabu, 21 Mei 2014

THE SERIES 19

Aku benar-benar stuck. Tidak berdaya. Walaupun aku sadar bahwa ikatanku semakin renggang, namun dengan pisau yang tepat berada di dekat leherku, aku tidak bisa sembrono. Aku harus benar-benar hati-hati jika aku ingin selamat. Dan aku juga ingin Galih selamat. Pikiranku kalut, namun mencontoh sikap Galih, aku harus tenang. Jangan tunjukkan ketakutanmu Sen. Jangan tunjukkan ketakutanmu dihadapan lawanmu Sen! Aku berusaha menyemangati diriku sendiri.
“Wah, banyak amat keluarnya. Ckckck. Ikat dia yang kenceng Tan, jangan sampai lepas.” Taufik memandang ke arah sperma yang baru saja disemburkan Galih. Aku mengerjap beberapa kali. Itu Revan? Aku berusaha fokus dengan penglihatanku. Yup itu Revan, dia bersama beberapa pemuda tengah bersembunyi di balik dinding kayu pondok ini. Sesekali kepalanya nongol mengintip dari balik jendela.
“Jagain mereka berdua, aku mau nyari makan sebentar.”  Taufik berpesan pada si Tan sambil menyeringai kepadaku, “Kita akan bersenang-senang lagi nanti Dek Angga.”
Tepat saat si Taufik keluar, aku mendengar suara teriakkan. Dan karena panik si Tan langsung ikut keluar. Hening, dan jujur aku mulai ketakutan. Aku menoleh ke arah Galih. Dia menatapku dengan tenang, seolah ingin memberitahuku bahwa semuanya baik-baik saja.
Pintu pondok didobrak dan aku tersenyum lega begitu melihat Revan dan beberapa pemuda yang bekerja di kebun kopi muncul. Revan langsung melepas ikatanku dan membantuku berdiri. Beberapa pemuda membantu Galih melepas ikatan talinya.
“Thanks, kok lo bisa tau kita disini Van?”
“Ada pemuda yang ngeliat Taufik tadi pagi dan nglaporin ke gua. Dan karena lo sama Galih juga ilang, makanya gua curiga.”
“Taufik mana?”
“Uda aman di luar, kita serahin ke kantor polisi yok.” Aku mengangguk lemah. Sebenarnya pengen juga melayangkan beberapa bogem ke wajahnya yang psiko itu, tapi ya sudahlah.
***

Aku merasa aman sekarang. Setidaknya Taufik benar-benar sudah dipenjara. Hendra sempat panik juga, terlebih lagi dia benar-benar tidak tahu bahwa semalaman aku disekap Taufik. Toh sekarang semuanya sudah berlalu. Aku mengulet ke kanan lalu ke kiri sebelum akhirnya bangkit dari ranjang. Hmm, ke kamar Galih ah. This is Sunday, jadi pasti si Galih masih bobo. Kebiasaan juga dia kalau bobo kan suka nude.
Agak weird sih sebenarnya, cuman kalau pas ingat moment Galih dicoliin sama Tan kemaren aku jadi agak horny. Pas kejadian sih boro-boro.
Aku masuk ke kamar Galih. Masih gelap dan aku sama sekali tidak berniat untuk membuka korden atau menyalakan lampu. Masih jam 5 pagi. Korden dibuka pun enggak  bakalan terlalu ngefek, jadi aku memutuskan untuk langsung bergabung bersama Galih di atas ranjang. Gila! Bitchy banget! Tapi bodo ah, daripada aku pusing ngarepin Herry yang sampai sekarang masih belum bisa mengingatku? Lagipula, waktu di pondok itu aku belum jadi berhubungan seks. Ya Tuhan, sudah berapa lama aku tidak ngeseks? Atau bahkan main tangan?
“Eemmm,” Galih seperti agak terganggu dengan kehadiranku disampingnya. Apalagi tempat tidurnya juga gak gede-gede amat. Tanganku menyusup ke balik selimut.
“Mas?” Aku berbisik di telinganya. Aku sengaja gosok gigi dulu sebelum kesini. Kan kalau ada hawa nafas seger di deket kuping gitu bikin nafsu. Katanya sih gitu.
“Eeem?” Galih membalikkan posisi tidurnya sehingga sekarang berhadapan denganku.
“Aku sayang sama Mas Galih.” Aku membisikkan kata-kata itu sambil bibirku merapat mendekati bibir Galih. Awalnya Galih antara sadar dan tidak sadar sebelum akhirnya membalas ciumanku dengan brutal. Aku tidak perlu repot-repot melucuti pakaian Galih karena pada dasarnya hanya selimut yang menutupi tubuh indahnya.
Bibir Galih turun ke leherku setelah melumat bibirku hingga memerah dan bengkak.
“Saya udah menantikan ini lama Den.”  Tangannya dengan cekatan melepas singlet bergambar spiderman milikku. Tanpa menunggu lama bibirnya sudah memburu. Mencari sesuatu yang baru. Aku membiarkannya, membiarkan Galih mengeksploitasi tubuhku.
Aku tak kuasa menahan ringkihan pelan dari bibirku keluar, ketika jilatan-jilatan lembut juga gigitan-gigitan kecil Galih pada putingku. Apalagi ketika bibirnya terus turun hingga mentok di ban karet celana boxerku. Galih menatapku sekilas. Matanya yang sayu membuatku terperosok makin gila.
Galih seperti menemukan mainan baru ketika boxer sekaligus celana dalamku terlepas dan bergabung bersama singlet spidermanku.
“Mungkin akan sedikit sakit Den awalnya,” Dan aku hanya tersenyum simpul mendengar kata-katanya. Iya, sakit-sakit enak.
***

Aku tersenyum sendiri mengingat kejadian nakal tadi pagi. Maksutku, gilak!! Tadi pagi itu bukan mimpi, tapi bener-bener real! Aku juga masih ingat dengan sangat jelas ketika Galih mulai  memasukkan pen . . . Ah sudahlah, aku tidak mungkin membayangkannya kemudian minta nagih lagi. Setidaknya untuk saat ini aku tidak mau.
Drrt Drrt Drrt,
“Napa Hend?” Aku menjawab panggilan telepon dari Hendra tepat pada saat Mamaku masuk kedalam kamar.
“Temenin aku nyari peralatan buat perkemahan Sen,” Aku mengernyit pelan. Perkemahan? Siapa yang mau kemah by the way?
“Dimana?”
“Pasar Baru sebelum alun-alun. Aku tunggu di depan warung Mie Ayamnya Pak Dahwi ya?”
“Oke.” Aku mematikan sambungan telepon ku dan menoleh ke Mamaku yang masih duduk sambil mengamati beberapa fotoku yang sengaja aku pajang di atas meja belajar. Beberapa di antaranya aku gantung bersisian.
“Kamu sama Herry sedang ada masalah Sen? Mama sudah jarang lihat dia main ke rumah sekarang.” Aku berjalan memutar lalu duduk di ranjang, bersisian dengan Lilies Hartanti Sunaryo, mamaku.
“Kita beda kelas Ma sekarang, ya wajarlah jadi agak renggang.”
“Bener cuman itu? Mama khawatir kamu kenapa-napa lagi. Kalau kamu minta kita balik Tangerang lagi Mama juga setuju. Disini udah berapa kali kamu kena masalah Sen? Mama takut, kamu anak mama satu-satunya.” Aku memeluk Mamaku, agak lama. Aku tahu, yang terguncang dengan masalah ini bukan hanya aku, namun juga Mama dan Papa.
“Nanggung Ma, satu setengah tahun lagi kan Seno lulus.”
“Kamu yakin mau kuliah di luar negeri? Sudah bulet?” Aku mengangguk kuat. Bukan karena aku dan Galih sekarang punya hubungan khusus lantas aku memutuskan untuk tidak kuliah di luar negeri, tidak. Itu cita-citaku, masa depanku.
“Mama pasti kangen,”
“Masih lama kali Ma, Seno keluar sebentar ya Ma? Nemenin Hendra buat cari perlengkapan Camping.” Mamaku tersenyum lembut sebelum akhirnya mengangguk.
***

“Siapa yang mau camping sih Hend? Anak-anak kelas satu kan uda selesai masa MOSnya.”
“Anak-anak OSIS. Kita mau naik Gunung.” Aku agak bengong sedikit.
“Bukannya beda naik gunung sama Camping, lagian ngapain beli peralatan? Peralatan apaan coba? Tinggal bawa jaket tebel, kaos kaki, uda deh.” Hendra menghembuskan nafasnya secera perlahan. Tepat seperti jika seorang guru bosan menanggapi pertanyaan anak didiknya yang sama sekali tidak berbobot.
“Uda ngikut aja, ndak usah cerewet.” Aku diam, walaupun memang benar jika aku sedikit bawel, tapi dikatain cerewet itu sedikit banyak menyentil sisi sensitifku. Maksutku, cowok dibilang cerewet? Itu merendahkan sekali, sungguh.
Aku membiarkan Hendra menimang-nimang sebuah panci kecil, lalu menawarnya dengan harga sadis. Buat apa panci? Di gunung kan dingin? Ooh, mungkin buat merebus mie atau something like that. Itu mah camping merusak alam.
Kali ini Hendra sibuk dengan kaos kaki model kaos kaki pemain bola, entahlah namanya apa. Kali ini aku masih bisa mentolerir, yah, digunung kan dingin. Wajarlah.
Akhirnya semua barang ajaib itu masuk ke dalam mobilku.
“Sekarang? Where we go now?” aku bertanya pada Hendra sambil menstater mobil.
“Ke rumahku.”
“Oke, gua berasa kayak sopir lo nih.”
“Ndak iklas?” Aku menoleh dan menatap Hendra sekilas.
“Enggak!!”
“Bodo!!” Tengil kan ini anak lama-lama.
Setelah basa-basi dengan Ibunya Hendra yang menanyakan kabarku kemaren setelah di culik Taufik. Good to know kalau hampir semua penduduk di kota kecil ini sudah tahu kejadian beberapa waktu lalu itu. Mau tidak mau aku juga jadi memikirkan perasaan Bu Marini, beliau baik. Beliau bahkan minta maaf sampai menangis sesenggukan. Aku juga tidak bisa meragukan fakta bahwa Bu Marini memang menganggapku seperti anaknya sendiri. Hanya saja Taufik, ah sudahlah.
“Sen, sing iki piye? Cocok gak?” Aku mendongak memandang Hendra dari atas hingga bawah. Sementara membiarkan lamunanku memudar.
“Lo mau kemana sih? Kata lo camping? Kok dandanan lo kayak mau kondangan gitu?” Hendra sedikitnya agak tersinggung dengan pemilihan kataku menggunakan kata ‘kondangan’ tadi.
“Kamu gak tahu?” Aku mengangkat bahu cuek. Emang ada something yang aku lewatkan? Melihatku yang sepertinya memang bener-bener tidak tahu, Hendra menatapku gemas lalu menepuk dahinya sendiri. BERLEBIHAN.
“Even sekolah.”
“Event bukan even.” Kataku mengkoreksi, “Emang acara apaan? Ulang tahun? Kan masih lama!”
“Prom Night.” Aku mengernyit geli.
“Engga sekalian hallowen?” Hendra malah menimpukku dengan buku yang tadi dia pegang.
“Bukan Prom jg, apalagi hallowen! Boro-boro, ini itu lho peresmian gedung yang uda jadi itu.” Ooh, gedung yang dulu buat mesum Herry dan Taufik itu.
“Emang dress code nya batik? Kok gua gak tau?”
“Engga, tapi acaranya formal. Eyang dan orangtuamu kan juga di undang, secara juga yang sumbangan pertahunnya paling gede kan Eyang Prawiro.” Hening, maksutku bagaimana aku bisa tidak tahu?
“Masih Minggu depan acaranya Sen, tapi beneran kamu gak tahu? Kan uda dibagiin  surat undangannya kemaren Sabtu.” Aku menggeleng.
“Kalau gitu, Eyang belum tahu dong?”
“Kayaknya sih uda, kan Pak Kepsek sendiri yang nganterin undangannya ke Eyang Prawiro. Hhhh,” Hendra membuang nafas sesaat sebelum menatapku dalam-dalam.
“Kamu itu beruntung ya Sen? Ganteng, dari keluarga terpandang, semua yang kamu mau pasti bisa keturutan.” Aku mendengus sebal pendengar pernyataan Hendra barusan.
“Kalo gitu bisa gak kita tukeran? Elo juga gantiin gua yang harus berurusan sama psiko Taufik, beberapa kali ngalamin kecelakaan, dan harus kehilangan Herry! Coba gantian!” Shit! Mungkin karena agak tersinggung dengan kata-kata Hendra dan emosi, ucapan yang keluar dari bibirku benar-benar tidak tersaring.
“Herry? Aku juga ngrasa kehilangan dia.” Hendra kemudian diam, lalu menatapku ragu-ragu.
“Sen, kamu sama Herry . . .?”
“Uda ya, gua balik dulu.” Aku berjalan agak cepat agar Hendra tidak sempat mengejarku dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin belum siap aku jawab.
***

“Rev, gua mesti jujur kagak ya sama Hendra kalau gua pernah pacaran sama Herry?” Revan yang tengah mengambil meteran, itu lho alat yang biasa di pakai tukang jahit buat ngukur badan. Meteran kan namanya? Auk ah, pokoknya itu. Lagi males browsing. Hahaha.
“Mau come out? Yakin dia bakal bisa terima lo?” Aku menggeleng tidak yakin. Jadi, hari ini Revan akan membuatkan aku jas. Aku pernah cerita kan kalau Revan itu desaigner? Dia juga punya butik di Jakarta. Tau deh, nasib itu butik sekarang. Orang yang punya aja malah betah disini, ngurus salah satu perkebunan lagi. Aduduh.
“Lepas kaos lo!”
“Lha ngapain? Perasaan tukang jahit yang lain gak gitu-gitu amat ngukurnya?”
“Ya udah, buat aja di tempat lain.” Aku mikir-mikir lagi. Waktunya uda mepet, kalau harus cari tukang jahit lagi, ampun dah bisa cocok apa engga. Sama tukang jahit langganan Eyang saja aku tidak cocok. Aku dengan sedikit kesal melepas kaosku. Dan aku bisa melihat seringai licik tersembunyi dari senyum Revan.
“Celana gua gak sekalian nih?”
“Kalo elo gak keberatan sih gua gak nolak,” Revan mengerling genit. Ini anak makin parah ya? Gak inget apa aku ini anak adik ibunya?
Aku membuat gerakan seolah-olah akan melepas celana jeansku. Yah, hanya pura-pura.
“PHP lo!” Aku tertawa girang melihat ekspresi kecewa Revan.
“Lagian elo juga pernah liat gua telanjang waktu itu!” Yap, waktu main kartu pas aku liburan ke Jakarta.
“Hehehe, waktu itu kan badan lo belum seseksi sekarang Sen, hahaha.” Revan benar-benar profesional saat mengukur ukuran tubuhku. Maksutku, dia tidak usil. Tadinya aku kira dia akan sedikit menyentil-nyentil putingku secara tidak sengaja atau apalah gitu. Tapi nyatanya tidak. Hey, bukan berarti aku mengharapkannya ya, sama sekali tidak!
“Andai elo bukan sepupu gue, uda gua terkam lo Sen!!” Kata-kata itu diucapkan sambil lalu oleh Revan. Sepertinya dia bakalan mulai ngerjain buat ngegarap jas ku. Jas batik yang keren! Aku pernah melihat beberapa karya Revan dan jujur, dia berbakat. Entah alasan apa yang bikin dia gak balik Jakarta lagi. I know he love fashion. A lot.
“Kok gak pake baju?” Galih muncul dari balik pintu dan tersenyum manis.
“Ikut Mas yuk, temenin bentar.” Aku bingung. Jarang-jarang Galih mengajakku duluan. Tapi ya kapan lagi bisa kencan kek gini? Oke, tiap hari kencan sih karena Galih yang mengantarkan aku ke sekolah. Tapi kan, tapi kan,
“Emang mau kemana Mas?” Tanyaku begitu mobil sudah melewati pagar rumah.
“Ada deh, adek pasti suka.” Sejak kejadian pagi mesum waktu itu, Galih biasa memanggilku ‘Adek’ jika sedang berduaan saja.
Aku memutuskan diam. Karena walaupun aku terus-terusan bertanya, toh Galih pasti tidak akan memberitahu. Jadi ya sudahlah, surprised!! Dan entah kenapa aku mulai tidak menyukai yang namanya surprised!!
***

Aku pernah kesini. Waktu itu aku dengan Hendra dan Herry, yap! Salah satu perkebunan teh milik Eyang. Di dataran tinggi Wonosobo, hawanya adem dan bikin ngantuk. Beberapa pegawai yang pernah melihatku langsung menyapaku, ada juga beberapa yang berbisik-bisik sambil sesekali melihat ke arahku. Mungkin mereka sedang mengagumi ketampananku? Hahaha.
“Aden kayak gak terkejut gitu.”
“Aku pernah kesini Mas.” Galih tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya, entahlah, hal apa yang membuat dia harus merasa kecewa.
“Eem, ikut Mas bentar kesini. Pasti Aden belom pernah.” Aku membuang nafas agak tertahan. Aku pernah bilang kan kalau aku benci kebun? Oke, jadi aku tidak perlu menjelaskan kepada kalian kenapa aku kurang eksited. Oya, tambahan beberapa hal buruk menimpaku juga terjadi di kebun.
“Gimana?” Karena sibuk mendumel dari tadi, aku tidak sadar jika aku sudah keluar dari perkebunan. Hutan pinus? Karena banyak pohon pinus disini, atau yah yang aku anggap itu pohon pinus.
“Ini apa mas?”
“Kebun karet, tuh lihat ada beberapa wadah yang ditempelin di pohonnya. Itu namanya penyadapan Den.” Karena aku tidak tahu, aku mengangguk-angguk saja. Aku menoleh berkeliling sebelum akhirnya menemukan batu agak besar dan memutuskan untuk duduk disitu.
Galih melihatku dan menatapku agak lama hingga membuatku mau tidak mau menjadi tersipu. Maksutku, aku paling tidak tahan dilihat seseksama itu dalam waktu yang relatif cukup lama.
“Adek capek? Gak seneng?”
“Aku gak suka kebun Mas, dan ya aku capek.” Galih menghembuskan nafasnya secara perlahan sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk disampingku. Galih merebahkan badannya dan memberiku kode agar merebahkan tubuhku di atas tubuhnya dan berbantalan lengannya.
“Maaf,”
“Gak papa kali Mas, cuman Seno emang agak gak suka kebun. Mas kan tahu sendiri beberapa kejadian gak enak terjadi di kebun.” Aku membalikkan tubuhku ke kiri sehingga aku bisa dengan jelas melihat wajah Galih. Seraut wajah tampan yang terawat dengan baik. Aku juga heran, kenapa wajahnya seolah-olah mengindikasikan kalau Galih ini dari keluarga berada dan dari kota? Maksutku, lihat Herry! Dia juga ganteng, tapi aura desanya kental banget. Kalau dia ke Jakarta, orang juga ngeh kalau dia bukan orang kota. Galih? Dia sama sekali tidak ada desa-desanya. Aduh, susah menjelaskan tapi kalian mengerti kan maksutku?
“Sini Dek, agak deketan ke Mas.” Aku mencodongkan bibirku ke arah bibirnya. Dan begitu bertemu dengan bibir Galih aku melumatnya lembut. Lidahku beberapa kali bertaut dengan lidahnya. Aku memutuskan untuk berguling dan berada di atas tubuh Galih. Dengan tidak sabar aku meloloskan kaos yang dipakai Galih. Lalu menyerbu kedua putingnya secara bergatian. Menjilat, menggigit-gigit  kecil lalu menekan-nekannya dengan lidahku bergantian. Aku melakukannya agak lama hingga dada Galih berbekas kemerahan.
Galih mendorongku hingga aku jatuh ke rerumputan. Melepas kancing-kancing kemejaku lalu menanggalkannya secara cepat. Melepas celana jeans hingga celana dalamku hingga aku tidak berbalut secarik kain pun. Aku terlalu bernafsu, hingga lupa bahwa ini bukan kamar Galih. Bukan juga kamarku. Ini kebun karet, bisa saja tiba-tiba ada orang lewat. Tapi dalam kondisiku yang sekarang, apa peduliku?
Galih mengeksplore tubuhku. Memberikan rangsangan-rangsangan yang membuatku tak henti-hentinya mengeluarkan desahan dari bibirku. Aku suka cara Galih memperlakukan kejantananku, dia mahir membuatnya sekeras batu dan setegak tiang.
Beberapa kali Galih meludahi jarinya dan menstimulus diriku agar siap menerima kejantannya bersatu dengan tubuhku.
“Cepetan Mas, masukkin.” Galih tersenyum simpul sebelum akhirnya bibirnya kembali menggumuli bibirku, sedangkan adik kecilnya mulai menggumuli bibir bawahku. Buahahaha, aku tertawa sendiri membaca kalimat terakhir ini.
“Mas sayang sama Seno,”
***

Aku baru saja selesai mengancingkan kemeja ku kembali. Oke, aku sudah berpakaian lengkap. Tepat setelah aku orgasme tadi, pikiran jernihku muncul hingga aku langsung bergegas memakai semua bajuku. Aku hanya ingin mengantisipasi kalau ada orang yang tiba-tiba saja lewat. Galih? Dia masih tiduran di atas rerumputan wearing nothing.
“Pake baju donk Mas,”
“Bentar, enak tahu menikmati alam dengan telanjang gini.”
“Jangan-jangan Mas kaum nudist ya?” Kataku sambil kembali merebahkan diriku ke atas tubuh polosnya.
“Apa itu kaum nudist?”
“Yang sukanya telanjang.” Galih tertawa yang membuat dadanya bergetar.
“Hahaha, adek juga suka lihat Mas telanjang kan?” Aduh, ini pembahasannya ngarah kesana lagi. Jangan-jangan bakal ada ronde dua nih. Seenggaknya, untuk saat ini aku ingin menikmati momen ini. Aku memeluk Galih semakin erat.
“Dek, punya Mas bangun lagi tuh.” Aku melihat Galih dengan sebal sebelum akhirnya bibirku menuju objek yang sedang sangat butuh untuk dipuaskan. Hahahaha.


Bersambung, deng deng deng deng . . . . .