FOLLOW ME

Minggu, 22 Maret 2015

BOTTOM 12

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Evan Sutedjo
Here’s a question, do you remember the last time your boyfriend fucked your hole? Do you remember what it felt like? Do you remember what he felt like? Sound familiar? Yah, ini gue ambil dari prolouge film Sex Tape nya Cameron Diaz.
But, itu lagi gue alami saat ini. Hubungan gue sama Reno yang entah kenapa enggak ada tanda-tanda bakal baikkan.
Gue bahkan enggak inget kapan terakhir Reno berhubungan intim sama gue. Mungkin sudah sebulan yang lalu. How we . . . Oke, maksud gue, bagaimana bisa kita berantem dalam jangka waktu selama itu? Jangan tanya gue solusinya ya! Reno itu pacar pertama gue.
Well, enggak usah pasang tampang simpati. Gue, Evan Sutedjo, yang wajah dan bodinya enggak jelek-jelek amat, yang berteman karib dengan the hottest guy alive in Jakarta, masih jomblo hingga usia 26 tahun. Pathetic!
The hottest guy alive, ya siapa lagi kalau bukan Daniel? Yang by the way, lagi santai banget nonton Sex and The City dari Season pertama. Itu tv serial emang enggak pernah bikin bosen. Kayak Friend.
Tapi gue lagi enggak mood.
“Gue harus ngapain dong Dan?”
“Kalau gue sih gue samperin Reno, sebelum dia ngomong, gue bakalan cipok dia duluan, and then we have sex. After that, baru deh kita ngomongin problemnya. You know what Van? Cowok itu kelemahannya di perut dan kontol! Use that!” Gue emang enggak seharusnya mengharapkan advice dari Daniel. Saran-saran dia sudah bisa sangat dipastikan enggak bakalan bisa gue lakukan.
Pas SMA, Daniel nyuruh gue ikut join basket. Keren? Buat Daniel iya! Gue? Mempermalukan diri sendiri.
Daniel juga pernah maksa gue ikut klub bola. Worse! Kesalahan fatal! Banci tobat kayak gue mana bisa disuruh main bola? Bola bekel, baru gue jago!
Lalu, beberapa kali dia berusaha menjodohkan gue. Well, tidak berakhir dengan baik tentu saja. Terbukti, di umur gue yang ke dua puluh enam, gue masih jomblo. Ah, haruskah gue sedepresi itu dengan umur gue?
Dan sekarang, pacar pertama gue masih ngambek gara-gara masalah yang sangat amat sepele. Kenapa bukan gue aja yang pacaran sama Uki? Kita sama-sama cowok ‘biasa’. Mungkin Reno memang cocoknya sama Daniel, sama-sama glamourous. Pusing kepala gue!
“Van, lo beneran sayang sama Reno?” Daniel, mengambil air mineral dari dalam kulkas. Tumben itu anak enggak minum sama sekali. Minum alkohol, maksud gue.
Gue menatap Daniel dengan tatapan jengah, “Menurut lo?”
“Kalau lo cinta, going downstair, minta maaf, and fuck him damn!”
“Ew, serius ini ya Dan, friend to friend, ew!”
“Nah! Tapi gimana kalau Reno sebenarnya nungguin elo? Kalau gue lihat sih, ego kalian itu sama-sama gede. Jadi ya, elo nunggu Reno say hi ke elo duluan, seolah-olah dia udah maafin lo. In another side, Reno nungguin elo minta maaf ke dia. Ironis banget sih relationship kalian!”
“Dan! Gue bukan elo! Lo tahu sendiri, temen gue bisa di itung pakai jari. Gue introvert, boro-boro buat minta maaf ke Reno, say hi ke dia aja, gue udah enggak bisa. Bukannya enggak mau ya! Gue pengen juga kali jadi easy going kayak elo!” Daniel menoleh ke arah gue. Sebelum sesaat kemudian dia keluar dari kamar kost gue. Eh, apa tadi gue menyinggung perasaan dia ya? Ah, ini Daniel gitu lho, disinggung secara langsung aja belum tentu sadar, apalagi tadi itu kan gue muji dia. Secara enggak langsung.
Daniel enggak ngambek, dia gedor-gedor kamar bawah. Kayaknya, gue tahu kamar siapa yang dia gedor-gedor. Itu anak ya, spontanitasnya kadang bikin malu, bukan kadang ding, selalu!!
“Van, buruan pakai baju! Kita pergi makan sebentar! Buruan! Gue enggak terima kata-kata penolakkan ya!” Suara Daniel barusan bisa banget ngebangunin seluruh penghuni kost.
“Kalau lo enggak cepet, gue bakal teriak-teriak terus.” Aaargh! Berdoa aja, gue besok enggak dimusuhin anak-anak!
Saat gue sampai bawah, Daniel dengan muka polos kayak bocah, nyengir ke gue dan menyuruh gue masuk mobil. Mobilnya Reno by the way, hahaha, gue kalau memikirkan fakta bahwa sampai saat ini Sophia belum juga  membelikan Daniel BMW seperti yang dia janjikan, bawaannya pengen ketawa! Syukurin lo Dan, kena PHP nyokap lo sendiri!
“Mau kemana kita Dan? Udah malem ini, gue juga udah makan tadi.” Reno, he’s look so adorable memakai kaos putih yang gue pilih waktu, well, waktu kita belum berantem.
“Nasi Goreng Sabang. Ada favorit gue disana.”
Reno menahan senyum, “Model majalah Glamourous kayak elo makan nasi goreng pinggir jalan? Wow.”
Daniel mengedikkan bahunya, seolah-olah tidak peduli. Khas dia kalau mau flirting. “You do not know me well, Moreno Rachman.”
“Oke, warna kesukaan lo apa, kalau gitu?” Jadi, ini gue jadi kayak semacam obat nyamuk kadaluarsa disini? Hallo? Yang pacarnya Reno itu gue atau Daniel sih? Hallo? Apakah gue sudah gila, kalau merasa cemburu?
“Gue suka semua warna Ren. Tapi biru muda, my favorite. Jauhkan orange, ungu sama hijau dari gue.”
Reno tertawa lebar. Hal yang sangat jarang dia tunjukkan ke gue. Dengan Daniel, dia bisa tertawa selebar itu. It’s hurting me, “Itu mah, berarti lo enggak suka semua warna.” Sepertinya mereka berdua benar-benar lupa kalau ada gue di mobil ini.
“Gue mau pulang.”
“Kenapa Van? Lo kan belom makan dari tadi siang.” Ini Daniel lancar banget ngomongnya. Kata siapa gue belom makan dari tadi siang? Well, cuman beberapa biskuit sih, tapi itu sudah termasuk kategori makan kan?
“Gue enggak nafsu makan.”
Reno diam. Well, mungkin dia baru sadar betapa membosankannya pacaran sama gue. Gue bisa jadi sangat menyenangkan, kalau pas barengan Daniel. Tanpa Daniel, gue membosankan. Entah.
“Kita tetep makan. Gue laper.” Reno, akhirnya ngomong juga sama gue, atau sama Daniel?
“Katanya kamu udah makan tadi?”
“Tapi kamu belom.”
“Engga nafsu,” Gimana gue bisa nafsu makan kalau elo Ren, malah cekikikan sama best friend gue dan mengabaikan gue dari tadi? Jawab pakai otak! Sayang ya, gue ngumpatnya cuman dalam hati.
“Kamu itu ya, kalau dibilangin suka bandel! Ntar kalau maagnya kambuh? Aku juga yang repot kan?”
“Repot gimana ya? Ngomong ke aku aja kamu enggak mau.”
“Menurut kamu, yang nyuruh si Anton selalu bawain makan malam ke kamarmu itu siapa?” Eh? Memang sih, sejak aku berantem sama Reno, Anton tetangga kost gue yang lain, jadi sering bawain gue makan malam. Bisa siomay, bubur ayam, ayam bakar. Jadi itu dari Reno?
“Enough ya, orang-orang paling gengsi sedunia akhirat! Saling cinta, tapi gengsi buat saling nyapa! Ntar kesamber orang!” Daniel menyuarakan suaranya dengan santai. “By the way, gue tetep mau ke nasi goreng sabang. Gue laper. Dan kalian berdua, please deh? Hari gini gengsi? Sama pacar sendiri lagi? Malu sama Vicky Burki!”
“Hubungannya sama Vicky Burki apaan Dan?” Reno tertawa lagi. Hhh, dia enggak pernah ketawa selebar itu lho sama gue.
“Enggak ada! Lo liat deh bini lo Ren! Dia pasti mikir, ini laki gue kok ngakak mulu kalau barengan Daniel yang ganteng itu, kalau sama gue kok lebih sering cemberut.” Sialan ini si Daniel! Pas, nyesek, ngena banget!
Reno diam. Daniel? Si biang keladi malah lagi asik BBMan sama lakinya. Hih!
Reno melirik gue dari spion depan. Jadi posisi duduknya gini, Daniel dan Reno didepan, sedangkan gue dibelakang. Iya bener, sendirian! Masak sama setan!
“Aku minta maaf ya Van,”
Gue luluh, yaiyalah, sebenarnya kan gue yang salah, malah dia yang minta maaf. “Aku juga. For being asshole.”
“Nah, baikkan kan? Traktir gue ya!”
“Dan, elo serius nasi goreng aja minta traktir? Najis banget lo!”
“Udah bisa ngeledek gue sekarang lo Van? Ya udah gue minta traktir di Hanamasha aja. Lagi pengen makanan Jepang gue.”
“Ngelunjak!” Dan kita bertiga tertawa. Thank you Dan, you are my best friend. You are!
***

Uki Bagus Walantaga
“Kalau aku perhatiin, kamu itu kayak cover-cover majalah kesehatan pria, secara real, and better lho Dan.” Aku menuangkan air panas ke mug yang sudah aku isi dengan gula, krimer dan kopi.
“Thanks. Sekarang, aku boleh pakai baju Ki?”
“Biasanya kamu suka telanjang.” Aku menjawab santai sambil merebahkan tubuhku di atas sofa. Well, kalian pasti bertanya-tanya, ini beneran pov nya Uki? Bener, ini aku Uki Bagus Walantaga. Lalu kenapa, terlihat seperti Daniel?
Hahaha, jadi begini ceritanya. Daniel dan aku taruhan bola. Antara MU dan Chelsea. Aku boleh saja ya lemah di game, tapi kalau bola, aku jelas lebih tahu dari Daniel. Dan taruhannya, yang kalah harus menuruti kata-kata dari yang menang, selama seharian penuh.
Hahaha, sekarang, gantengku itu agak-agak menyesal.
“Telanjang bulat, sambil diliatin kamu itu lama-lama bikin jengah.”
Aku tersenyum samar, kapan lagi bisa menikmati karya Tuhan yang begitu indah ini tanpa harus dihalangi selembar kain? “Kamu seksi kok, Yang.”
“Aah, itu mah tanpa kamu kasih tahu aku juga udah ngeh, Ki! Minimal pakai sempak kek! Malu tahu lama-lama!”
“Eh, aku kirain urat malu kamu udah putus Yang.” Si ganteng melempariku dengan bantal yang dari tadi dia gunakan untuk menutupi penisnya.
“Aah, mana masih lama lagi jam enamnya!”
Aku tersenyum lagi, “Kenapa buru-buru pengen jam enam Yang? Eh, aku kelupaan, ada es krim di mobilku. Ambilin dong Dan!”
Daniel memelototiku. Dan aku memandanginya dengan mimik polos. Tepat seperti yang sering dia lakukan padaku. Aku selalu merasa kalau Daniel itu yang memegang power dalam hubungan kita. Jadi, sekali-kali, aku ingin pegang kendali.
Daniel, berlalu ke kamar, lalu muncul lagi dengan celana pendek dan kaos. “Lho, yang nyuruh kamu pakai baju siapa?”
“Eh? Bukannya kamu minta aku buat ngambilin es krim di mobil kamu?”
“Bener, tapi aku enggak nyuruh kamu pakai baju kan?” Aku mengedikkan sebelah mataku. Berani enggak si ganteng menjawab tantanganku.
Daniel, sekali lagi memelototiku dengan warna matanya yang indah itu, sebelum akhirnya dia melucuti pakaiannya kembali dan berjalan menuju pintu. Aah, si Daniel emang enggak gampang ditaklukkan, even, dia sedang jadi slave sekalipun.
“Lho, kamu ngapain?” Kata Daniel, begitu aku dengan cepat menghadangnya di pintu. Gila apa! Ngasih orang lain melihat pacarku telanjang bulat! Langkahi dulu mayatku!
“Aku baru inget kalau di mobilku udah enggak ada es krim.” Daniel tersenyum, sambil tangannya meremas kejantananku dengan lembut. Fokus Ki, bisa kalah kendali ini ntar!
“Aku enggak bilang kamu boleh nyentuh aku Dan,”
“Maaf Paduka Uki Bagus Walantaga, kalau begitu ijinkan hamba menambahkan kopi paduka yang sudah tandas itu.”
“Di ijinkan.” Kataku sambil mencium pipi Daniel. Kalian enggak usah tertawa, karena aku memang harus sedikit berjinjit ketika melakukannya. Daniel berlalu ke dapur, dia melangkah dengan tegap. Aku melanjutkan duduk di sofa sambil bermain game di Ipad ku.
Daniel datang dengan mug dan wajah berseri-seri. Dia meletakkan mug nya diatas meja.
“Kok bukan kopi?”
“Ini coklat paduka, hamba yang hina ini hanya ingin paduka terlihat rileks.” Aku tidak bisa menahan senyumku melihat Daniel yang well, sangat menggemaskan.
Aku meminum coklat hangat yang baru saja dibuatkan Daniel untukku. Not bad. Ya jelas lah, Ki! Pacar lo kan RnD, wajar kalau dia mahir bikin racikan-racikan minuman enak. Bisa jadi malah dia jago masak, hanya terlalu malas saja buat melakukannya. Well, masak kan kadang harus kotor.
“Mau lagi Ki?” Tanya Daniel begitu minumannya sudah habis.
Aku menggeleng.
Daniel, entah kenapa terlihat gusar. “Kok efeknya lama ya?” Shit! Ini Daniel gitu lho, kok aku enggak curiga sama sekali. Mana mau dia terima yang namanya kekalahan?
“Kamu kasih apa minumannya? Obat perangsang?”
Daniel tertawa, “Yaelah Ki, tanpa obat perangsang aja, aku bisa bikin kamu ngaceng. Why, I need that?”
Mataku terasa berat. Oh, no way!
“Kayaknya kamu sebentar lagi bakal terlelap deh Ki. By the way, peraturannya tetap bakal berakhir jam enam kan? Walau kamunya tertidur pulas? Sayang banget ya Ki? Baru juga dua jam kamu jadi master. Ckckck.” Lain kali aku harus menyadarkan diriku sendiri, betapa liciknya pacarku ini. Ah, shit! Kesadaranku mulai hilang.
***

“Morning, sunshine.” Aku berusaha membuka mataku. Namun ketika aku akan mengucek mataku, aku merasa tanganku tertahan. Tanganku seperti tidak mau aku gerakkan. Aku membuka mataku, menyadari dengan setengah terjaga kalau kedua tanganku ternyata terikat.
Aku menengadah, melihat Daniel yang tengah tersenyum penuh kemenangan.
“Kamu ngapain sih Dan?”
“It’s call revolution, hon.” Ini apa juga pagi-pagi udah bahas revolution?
Daniel naik keatas ranjang, mencium bibirku. Aku jelas-jelas tidak bisa menolaknya. Karena kedua tanganku yang terikat, dan karena jujur, ini juga sangat menyenangkan.
Bibirnya bergerak turun, secara bergantian menghisap, menggigit-gigit kecil putingku. Shit! Ini pagi-pagi, aku harus ngadepin makluk buas kayak gini?
Daniel tersenyum lebar kearahku, “See? Aku gak perlu obat perangsang kalau cuman pengen kamu ngaceng.” Aku tersipu malu. Karena jelas dibawah, kejantananku itu sudah berdiri. Eh, kapan Daniel melucuti semua bajuku?
“Tapi, Uki sayang, I wouldn’t touch your dick, until you begging me.” Daniel kembali tersenyum sebelum akhirnya menyerbu bibirku lagi.
Dan benar saja, Daniel sama sekali menghiraukan area selangkangan. Puting, leher, bibir, area-area itu saja yang dari tadi menjadi bahan eksplorasinya. Sementara dibawah sana, tititku semakin basah, dan butuh untuk disentuh. Shit! Tapi memohon Daniel? Big no! Itu anak selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Not now ya! Lagian, ntar dia juga enggak tahan buat ngoral tititku. Itu kan salah satu hobinya.
“Shit! Siapa sih? Ganggu banget pagi-pagi gini!” Daniel mengomel sambil pergi ketika mendengar ketukan di pintu apartmennya. Aku mempunyai firasat enggak enak nih.
Suara ribut-ribut di luar mulai terdengar semakin jelas. Gila! Ini Daniel lupa nutup pintu kamar lagi.
Dan tepat saat aku sedang berusaha melepaskan ikatan tanganku, mataku dan mata Sophia bertemu pandang. Sebelum akhirnya wajahnya bersemu merah dan berlalu.
“Dan! What kind game are you playing with Uki, hah?!” Suaranya lantang. Satu menit kemudian Daniel muncul sambil cengengesan dan menutup pintu kamar. Dia melepaskan ikatanku.
“Kamu bikin malu! Mamamu, tadi melihat . . .” Daniel menutup omelanku dengan ciuman. Dan sukses. As always.
“Mandi gih, entar ke pantry ya? Mama mau ngomong penting katanya. I love you, Uki Bagus.”
Gimana aku mau ngomel coba? “I love you too.” Daniel mengecup bibirku secara sekilas sebelum akhirnya keluar kamar.
***

Joshua Daniel Pradipta
Finally, BMW yang dijanjikan datang juga ya! Aku melihat Uki yang wajahnya memerah, dan tengah berjalan menuju ketempatku duduk. Dia menarik kursi, dan tersenyum canggung ke Mama. Haha, he’s so cute.
Mama juga gitu, tersipu-sipu malu melihat Uki.
“Mah, enggak usah bertingkah kayak perawan deh. Seing man in nude condition, it’s not your first time.”
“Seing my son boyfriend naked? That my first time!” Wajah Uki makin merah. Aargh, I want him to fuck me right now.  Wajahnya yang lagi malu-malu gitu adorable banget!
“Ki, kamu mau kopi?”
Uki menatapku, “Enggak dikasih obat tidur lagi kan?
Aku terbahak. “Daniel, kamu ngasih Uki obat tidur? Biar apa coba?” Aduh, berabe ini kalau Mama udah mau ngomel. Bisa enggak kelar sampai ntar jam makan siang.
Aku menuangkan kopi, krimer dan gula. Takaran sendoknya sudah aku hapal. I mean, we are dating for delapan bulan gitu. Dan aku hampir tiap pagi membuatkannya kopi. So?
“Biar Uki tidurnya lelap Ma,”
“Supaya kamu bisa bebas grepe-grepe?” Lanjut Mama.
Aku mengedikkan bahuku, “Aku enggak perlu obat tidur kalau cuman mau grepe-grepe Uki, Mah!”
“Kita bisa ganti topik? Kata Daniel, Mama mau ada yang diomongin penting.” Uki berdeham. Sepertinya dia risih dengan topik personal kayak gini. Aneh. Eh, atau aku yang aneh? Well, menurutku, dan aku di didik seperti itu, aku merasa wajar menceritakan pacarku ke Mamaku. Aku bahkan menceritakan detail hubunganku dulu dengan Rasjid ke Mama.
Eh, by the way, sejak kapan ya Uki manggil ibuku dengan sebutan Mama?
“Kapan kalian mau menginjak sebuah hubungan yang serius? I mean, Dan, kamu itu satu-satunya anak Mama. Mama enggak bakalan bisa ninggal kamu, kalau kamunya masih aja seperti anak-anak gini. Dan bukan dengan orang yang tepat.”
Aku kurang suka arah pembicaraan ini. Seolah-olah Mamaku itu akan meninggal besok pagi. She’s young! “Kalau gitu Mama jangan tinggalin Daniel dong.”
“Sayang, Mama enggak bisa terus-terusan jagain kamu kan?” Mamaku berkata sambil mengalihkan pandangannya ke Uki. “Kalian berdua sudah dewasa, Mama cuman berharap, ini bukan hubungan sementara. Hubungan iseng sebelum akhirnya kamu menemukan calon istri yang tepat Ki.”
“Aku serius sama Daniel, Ma. I won’t hurt him. Trust me.”
Mamaku tersenyum samar mendengar perkataan Uki, walau kalau aku perhatikan, beliau masih ragu. Aku juga. Aku tahu Uki, sifatnya yang ‘enggak enakkan itu. Apalagi kalau urusan keluarga. Aku enggak yakin Uki bisa membantah kata-kata ibunya.
“Ya udah, Mama masak buat kita bertiga sarapan ya.”
“Uki bantuin ma.”
Aku melihat Mamaku dan Uki yang sudah bersiap-siap akan menjadi kitchen ninja. “Well, kalau gitu Daniel ngegame dulu ya? Kabari kalau ntar udah mateng.”
Uki dan Mama saling berpandangan sebelum akhirnya geleng-geleng kepala.
***

“Ini One Piece yang paling baru kan? Jatah gue atau elo yang beli?” Evan bertanya padaku sambil mengacungkan Once Piece Volume 73.
“Gue heran deh, udah pada gede bacaannya komik!” Maya, sambil menggendong Japheth melihat kita berdua dengan tatapan ngeri. Ngeri antara fakta aku dan Evan yang maniak anime atau ngeri karena dia udah pegel dari tadi gendong Japheth ya?
“Japheth, sama uncle Dan sini?” Aku mengulurkan tanganku yang langsung disambut Japheth. Dia langsung menelusupkan kepalanya ke dadaku. Aah, jadi pengen punya anak.
Maya langsung tersenyum. “Thanks ya Dan.”
Aku tersenyum.
“Jadi? Gue yang beli atau elo?” Evan nih ya, dih!
“Lo aja.” Aku berkata kepada Evan, lalu menoleh kearah Maya yang tengah sibuk mengetikkan entah apa di komputer pencarian, “Emang lo mau nyari apa sih May? Tumben banget kan elo maennya ke Gramedia? Bukannya ke Mango.”
“Hih! Serusak itu ya image gue depan lo! Gue mau nyari 50 Shades of Grey nih. Kemarin udah nonton filmnya, penasaran gue pengen baca novelnya.” Maya mendongakkan kepalanya. “Itu laki lo! Makin ganteng ya, kalau gue lihat-lihat.”
“Efek pacaran ama gue. Gantengnya gue kan nular.”
“Beuh! Samperin gih!”
“Japheth gue bawa ya? Ntar ketemu di Starbuck bawah? Oke?”
Maya dan Evan serempak menganggukan kepalanya.
Uki tersenyum lebar, sambil melambaikan tangan pada Maya dan Evan. “Kok baru sampai?” tanyaku begitu sampai didepan Uki.
Uki mengusap pipi Japheth yang sedang berada di gendonganku dengan lembut, “Iya. Macet Yang.”
“Hei, Japheth mau es krim enggak?” Japheth ngangguk dengan semangat. Si Japheth ini beda dengan Fadil. Dia agak malu-malu kalau ketemu anak baru. Beda banget ama sifat emaknya ya.
Uki menyerahkan sebatang, aduh enggak enak banget pakai sebatang, sebungkus aja. Oke, Uki menyerahkan sebungkus corneto ukuran sedang ke tangan Japheth.
“Ayo, bilang apa ke uncle Uki?”
Japheth dengan malu-malu memamerkan gigi-gigi ompongnya, “Makasih uncle.” Uki dengan gemas membelai rambut Japheth lalu mencium pipinya.
“Eh, ke Ace dulu ya?”
Aku bingung. Bukannya mau ke Melawai tadinya, “Ngapain?”
“Mau nyariin rak buat kamu. Koleksi komik sama novel kamu kan banyak. Berantakkan gitu cuman taruh di meja.”
“Kalau gitu ke Melawai dulu aja kali Yang. Repot tahu ntar bawa barang-barang dari Ace ke Melawai.”
Uki nyengir, “Hehehe, iya, ya?”
Jadi, Uki mau memeriksakan matanya. Katanya pemandangannya mulai agak kabur. Sekalian mau menggunakan fasilitas baru kantor. Tiga juta per tahun untuk pemeriksaan mata dan kacamata. Sayang kan kalau enggak digunakan? Sayangnya, enggak bisa dicairkan jadi duit kalau tidak digunakan. Males banget!
Pemandangannya? Wkwkwk, temenku ngakak masa pas baca itu.
***

Chek mata? Done. He’s look cuter than before with that new glasses.
Beli rak di Ace? Done! Cuman masih wonder aja, ntar Uki bisa enggak masangnya? Buahaha.
Kita berdua bener-bener udah kayak pasangan homo paling bahagia. Apalagi aku yang masih gendong Japheth. Berasa anakku dan Uki saja. Manjanya Japheth itu lho, jadi pengen punya anak model ginian.
“Uncle, that’s a Elsa? Japheth mau dong uncle.” Jadi ada cosplay –beneran cosplay kan tulisannya? *googling* iya bener- dan ada yang berpakaian ala-ala Elsa tapi agak maksa gitu.
“Mau foto bareng?” Japheth mengangguk.
Akhirnya kita bertiga foto bareng Elsa gadungan. Aku maksa Uki buat ikutan. Sementara di belakangku, banyak yang bisik-bisik enggak jelas.
Tapi ada yang kedengaran, kurang lebih bilang gini, “Itu pasti yang pendek yang battemnya.” Wkwkwk, fisik bukan jaminan kali sekarang boo! Cuss!
***

Uki Bagus Walantaga
“Mah, ini bawangnya mau di iris tipis atau di cincang aja?”
“Iris tipis aja Ki, kan mau digoreng.” Aku mengangguk lalu diam. Membantu mama masak itu sebenarnya bukan kebiasaanku. Aku hanya menginginkan sesuatu.
Aku menghirup nafas dalam-dalam. “Mah, aku mau serius sama Daniel.”
Diam. Tidak ada reaksi. Mama masih menggoreng tempe, melanjutkan aktifitasnya seperti aku tidak pernah berbicara tentang Daniel. Mama masih mau denial kalau aku memang gay? Oke, mungkin biseks, apa bedanya? Toh, yang aku cintai adalah laki-laki sekarang.
“Aku cinta Daniel Ma.”
“Anak kecil tahu apa tentang cinta?!” Nada bicara Mama yang getir membuatku merinding. “Kalau kamu cinta, kamu akan menikah dengan perempuan, punya anak, dan hidup bahagia layaknya orang normal.”
“Aku normal ma. Kebetulan yang aku pilih sama-sama lelaki.” Aku masih berusaha untuk berbicara lembut.
Mama menatapku, matanya merah, siap menangis. “Itu bukan cinta! Itu nafsu! Cinta itu sama perempuan Ki!!” Mama hampir berteriak. Aku takut ucapan Mama akan terdengar oleh Fadil atau Kemal.
“Kalau aku menikah sama perempuan, siapa yang bahagia? Mama kan? Kalau mama meninggal? Tinggal Uki yang menderita karena egoisnya mama! Kalau mama meninggal, tinggal Uki yang menyesal setengah mati karena kehilangan Daniel!”
Plak! Pipiku panas. Mama menamparku.
“Kamu bukan Uki anak mama. Anak mama enggak bakal berbicara menyakitkan hati seperti itu.” Hatiku panas.
“Terus-terusan aja Ma kalau Mama mau denial! Uki capek, ini Uki! Dan Uki bahagia mencintai Daniel.” Aku menguatkan hati untuk mengabaikan Mamaku yang mulai terisak. Aku benci dengan dunia ini. Kenapa seakan-akan aku selalu salah hanya karena kebetulan mencintai sesama pria? Agama, budaya, sosial, semunya bersekutu membenciku! Membenci cintaku!
Aku dengan serampangan mengepak sebagian baju. Di apartment Daniel, sebenarnya bajuku sudah banyak. Jadi aku hanya membawa tas ransel.
Aku perlu kabur, bukan untuk lari dari masalah. Lebih untuk menguatkan hati. Aku pasti akan menghadapi keluargaku. Pada saat aku sudah memantapkan hati. Pasti.
***

Daniel menatapku bingung, begitu aku sampai di depan pintu apartmentnya. Mungkin mataku sudah memerah. Daniel menarikku masuk dan menutup pintu.
“Kamu kabur dari rumah Ki?”
Aku menggeleng, “Enggak.”
“Terus?”
“Lagi pengen liburan aja.” Daniel tersenyum tipis mendengar jawabanku.
“Belum makan kan? Aku ceplokkin telur bentar ya?” Aku menatap Daniel, lalu memeluknya. Seumur-umur, Daniel belum pernah menawarkan dirinya untuk memasakkan sesuatu untukku.
“Kenapa Ki? Jangan takut, telur ceplokku enggak bakal membunuhmu kok.” Aku tertawa. Yah! Daniel worth it, he’s worth it. Dia pantas untuk aku perjuangkan.


TBC . . .

Senin, 02 Maret 2015

BOTTOM 11

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Joshua Daniel Pradipta
Ruangan ini penuh dengan orang-orang yang tidak aku kenal. Oh, kecuali Maya. Dan, sebenarnya, karena dia juga aku berada disini. Aku tidak perlu repot-repot menebar senyum palsu, karena aku memang tidak mengenal mereka. Dan aku bukan tipe orang yang suka berbasa-basi.
Am I mad? Of course!
Disaat aku bisa menghabiskan malam ini dengan Uki diatas ranjang, saling menjelajahi tiap jengkal tubuh masing-masing. Aku malah berakhir disini. Nowhere and little bit crowded.
“Jangan pasang tampang seolah-olah gue baru aja ngajak lo ke pemakaman. Be nice, Daniel!” Maya menggamit lenganku. Lebih tepat sedikit memberi cubitan disitu.
“Lo sendiri yang bilang, gue gak jago akting, see? That’s why gue berakhir menjadi technical, bukannya aktor.”
“Daniel please? Help me!” Aku menatap Maya, sekali lagi, untuk meyakinkan bahwa pengorbananku untuk berada disini tidak sia-sia. Well, kita bisa putar ke beberapa jam yang lalu.
***

“Gue gak bisa May!” Aku berkata dengan pasti. Jelas agar temanku itu paham akan maksudnya, bahwa memang aku tidak bisa menemaninya ke acara pegelaran busana, apalah itu tadi.
“Please Dan? Gue harus bawa pasangan nih.”
“Ask your husband then!”
Maya mengeluarkan umpatan pelan disana. “Dia lagi di Manado, remember?”
“Evan?”
Maya semakin geram, “Gue bakalan kayak ngajak adik gue kalau gue perginya bareng Evan.”
“I can hear you, bitch!” Evan setengah berteriak dari tempatnya duduk tidak jauh dari Reno. Aku memang me-loud speaker telepon dari Maya ini yang kata dia tadi emergency.
“Uki? You there? Please, rayuin bini lo ini biar mau nemenin gue.” Aku berbalik menatap Uki yang tengah asik dengan game xbox baruku barengan Reno. Kita berempat sedang berada di apartmentku ketika si monyet itu telepon. Dan that xbox, aku beli khusus untuk Uki. I mean, dia harus mulai diajari bagaimana caranya bermain game, agar bisa lebih sering bisa menghandle Fadil kan?
Sekarang, dia ketagihan.
“Oke, gue bisa mastiin dia bakal jemput lo malam ini. Jam tujuh. Pas!”
“I hate you.” Kata-kata itu aku tunjukkan untuk Uki, dia hanya nyengir.
“Oke, problem solved. See you soon Dan.” Klik. Sambungan telepon dimatikan. Semudah itu Maya merayuku untuk menjadi pertnernya.
***

And, here I am now. Bukan berarti aku tidak menikmati semuanya ya. Well, koleksi summer dari siapa tadi? Nama designernya? Maklum, aku kebiasaan make merk impor. Sombong? Enggak, ini fakta.
Oya, Satria. Dan sekarang, Maya juga menghilang. Perfect! Aku melangkah ke meja tempat bartender menyajikan beberapa minuman berakohol dengan ketrampilannya.
“Brendi,” Kataku sambil duduk di meja bartender. Kata Maya, banyak sutradara dan artis berkeliaran disini. Dia menyarankan aku untuk mengobrol dengan meraka, siapa tahu mereka tertarik untuk menawarkan sebuah film untuk aku perankan. No, thanks.
Tanpa jadi selebritas saja, aku sudah cukup terkenal.
“Hei handsome.” Seorang perempuan cantik, ramping, aku taksir tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluhan centi. Not my concern.
Dia duduk disebelahku, melipat pahanya sehingga gaun belah pinggirnya, memamerkan kulit pahanya yang mulus dan berwarna kecoklatan. I love that skin. But, not interest with woman.
“Sendirian?” Tanyanya sekali lagi.
“Sama temen.”
“Single?” Wow, perempuan jaman sekarang, enggak kenal basa-basi ya? “Kenalin, nama gue Andien. Kebetulan gue juga single. Gue dateng kesini sama kakak gue. Jordan. Tuh! Yang lagi berdiri di dekat Satria, yang punya acara.” Selain, enggak kenal yang namanya basa-basi, si Andien ini juga agak bawel. Aku mengikuti arah jari telunjuk Andien. Cowok chinesse, tinggi, dan ganteng tengah menatap Andien dan melambaikan tangannya. Dia sedang dalam perjalanan ke tempat dimana aku dan Andien tengah berada.
“Lo belum jawab pertanyaan gue, lo single?”
“Sorry, Ndien. But I’m gay.”
Andien menatapku sesaat, dia mengerjapkan matanya dengan gaya berlebihan namun tetap luwes. “Oh, well, Jordan juga gay. Dan dia single! Shit! Ternyata radar gue emang juara.” Tambahkan kata sinting untuk menggambarkan sosok Andien.
“Hi sister.” Jordan, menyalami adik perempuannya dan menatapku bingung, tapi tertarik. Aku tahu jenis tatapan itu. Aku cukup berpengalaman sering ditatap dengan pandangan seperti itu.
“Koh, ini kenalin Daniel.” Andien menatapku. “Dan, ini Jordan.”
Demi kesopanan, aku menyalami Jordan. Menyebutkan namaku dan sedikit mengembangkan senyum.
“Dan, pulang yuk! Tugas kantor gue udah kelar.” Maya, muncul dari antah berantah.
“Oke, bye Andien, bye Jordan.”
“Sapa tadi?” Maya bertanya padaku setelah sudah agak jauh. Dan aku hanya mengangkat bahuku untuk menjawab pertanyaannya. Don’t get me wrong, aku terjebak disini juga karena Maya kan? Jadi kalau aku masih kesal padanya, it’s not a big deal.
***

Uki Bagus Walantaga
Genap enam bulan sudah aku berpacaran dengan Daniel. Well, enggak kerasa juga. Mama? Tiap kali Daniel main ke rumah, yang katanya kangen sama Fadil, Mama selalu merecokki Daniel dengan foto-foto perempuan. Serius deh, aku saja enggak habis pikir sama cara berpikirnya mamaku. Mungkin dia berpikir bahwa menjodohkan Daniel terasa lebih mudah daripada menjodohkanku. Well, nice try mom. Bagaimanapun juga, entah mengapa aku merasa mamaku menganggap Daniel seperti anaknya sendiri. Hanya saja, belum sepenuhnya menerima fakta bahwa kita berdua in relationship. Serious one.
Guess what? Hari ini gantengku itu ulang tahun. Semalam, yah, harus aku akui, akhir-akhir ini aku lebih sering menginap di apartment Daniel daripada pulang ke rumah. Daniel is my home. Aku belum juga mengucapkan happy birthday untuknya. Sengaja, surprise.
Padahal, sebenarnya, aku juga sudah mempersiapkan kado untuk gantengku.
Nyari kado buat si ganteng itu susah. Bukan susah karena dia enggak gampang ditebak, tapi susah. Karena kesukaan Daniel itu buanyaaaak. Makanan, dia hampir pemakan segalanya.
Kalau benda, kasih saja barang-barang branded, pasti dia suka. Tapi mahal. Well, aku bukannya pelit. Tapi kan Daniel sudah mempunyai hampir semua koleksi. Jadi kalau aku tambahain, yah, kayak menabur garam ke lautan kan? Oke, it’s me trying banget buat ngeles.
Jadi, kemarin aku minta advice dari Maya dan Evan. Aku mengajak kedua sahabat Daniel itu buat lunch bareng. Untungnya, Daniel sedang makan siang bareng big boss dan client-nya. Aku sengaja absen ikut.
“Beliin koleksinya Andrew Christian aja, underwearnya seksi-seksi lho.” Ini usul dari Maya, yang aku tolak sehabis aku mengecek halam website Andrew Christian.
“Jam tangan baru?”
“Daniel udah punya lima jam tangan, yang selalu dia pakai berbeda tiap harinya. Mau aku tambahin dua aja ya biar genep jadi seminggu?”
“Nyinyir.” Maya tertawa.
“Kayaknya Daniel lebih seneng kalau punya quality time bareng pas dia birthday, dia kan anaknya gampang ditebak. Maunya banyak, tapi kan gak mungkin lo jabanin semua.”
“Lamar aja.” Aku hampir kesedak minumanku gara-gara omongan Maya. Kalau boleh jujur, secara watak, Maya ini kayak Daniel, versi perempuan.
“Hubungan lo sama Daniel ini harus diputusin dari awal, serius atau yang ujung-ujungnya pisah karena harus kawin sama cewek. Kata gue sih ya, Daniel kayaknya enggak bakal kawin sama cewek. Tapi elo kan gue enggak tahu Ki, pernah bicarain ini serius ke Daniel? Kalian punya keluarga. Tanggung jawab elo juga gede sebagai anak pertama. Well, tapi diawal harus diomongin kan? Biar clear, mau dibawa kemana ntarnya. Kalau ujung-ujungnya pisah, jangan kasih kado mahal-mahal, ntar nyesek. Jangan ikut paham ‘jalanin aja dulu’. Ajaran sesat itu.” Advice dari Maya ini agak ngaco tapi bener banget.
Pasti tadi ada potong kue di kantor, tradisi kantor tiap ada yang ultah. Beruntungnya, aku tadi harus ke client untuk promote beberapa aplikasi dan new flavour. Jadi, aku bisa terus pura-pura lupa. Tambahan, aku juga membujuk Evan agar memanas-manasi si ganteng kenapa aku belum mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.
Sekarang aku sedang menuju kantor untuk menjemput Daniel karena dia enggak bawa mobil tadi.
‘Dan, aku tunggu di mobil ya? Aku males masuk kantor lagi. Aku udah di parkiran.’ Aku bbm dia. Read, not replied. Well, dia uda ngambek.
Dan ketika wajahnya muncul dari balik pintu kaca kantor, aku menahan senyum geliku. Wajah gantengnya ditekuk. Masuk mobil tanpa bilang apa-apa. Aku bilang kangen, dia cuman senyum asem sebentar.
Aku mulai melajukan mobilku. Prentending kalau ini hari seperti hari-hari biasa bukan ulang tahunnya.
Jakarta sepertinya lagi baik, jalanan lancar. Enggak ada acara macet-macet enggak jelas.
“Kok kita enggak ke apartment?” Daniel bertanya tanpa menolehkan kepalanya kearahku.
“Aku ada bisnis meeting bentar.”
“Anterin aku pulang dulu Ki, aku capek mau tidur.” Suara ketusnya, ngambek tingkat Harry Potter and The Half Blood Prince ini.
“Iya.” Tentu saja aku tidak mengantar si ganteng ini pulang. Gagal dong ntar surprisenya.
Daniel makin merajuk ketika aku mengajaknya ikut turun. Mengikutiku dari belakang sambil menggerutu.
***

Joshua Daniel Pradipta.
Morning Indonesia. Hahaha, gila! Tapi aku memang tengah gila. I am now, how should I say this? Uum, didalam pelukan Uki, in bed, at the suite of Ritz-Carlton Pacific Place.
Uki do this, yah, orang yang perhitunganya tingkat dewa itu menghambur-hamburkan uangnya di hari ulang tahunku. Aku memaafkannya, memaafkannya yang mengucapkan selamat ulang tahun tepat jam sembilan malam di hari ulang tahunku. Sambil melucuti pakaianku, I might add.
I wish, I didn’t have to go to work. But we have to. Kita berdua mengajukan cuti setengah hari secara mendadak, dan barengan. Bodoh deh, kalau Bimo mau curiga juga.
Dan, my favorite man, dia masih tertidur pulas disampingku. Kelelahan kali ya pacarku itu ngegenjot aku beberapa ronde semalam. Aku memandangi cincin emas putih minimalis yang semalam Uki beri. Uki, tahu aku tidak menyukai warna gold.
Aku juga melihat jari Uki yang tersemat cincin yang sama.
Dia bilang, dia mau serius. Enggak bakal ada acara putus karena harus nikah sama cewek. That’s romantic.
Yah, walaupun the way Uki mengatakannya enggak romantis, at all. Muka canggung, blushing, sambil tanganya garuk-garuk kepala, he said, “ Daniel, mau enggak kamu jadi partner hidupku, sepanjang sisa hidup kita?”
Sekarang aku yakin, I love him. Bukan lagi karena dia berbeda atau apalah. I love him, because he’s Uki. In one packet.
Jadi, begitu pacarku itu ngulet, sedikit membuka matanya, aku langsung menciumnya, memeluknya.
Dia tersenyum, “Suka enggak surprisenya?”
“Enggak cukup ya, everything I did last night and this morning untuk nunjukkin kalau aku seneng?”
Dan pacarku itu senyum salting, how cute! “Glad you like the surprise Dan. I love you.”
Aku memeluknya lagi dong. Aku sudah sikat gigi kok tadi. Well, Uki enggak suka nyium aku yang belum gosok gigi. Bukan berarti aku enggak suka nyium dia yang baru bangun dan mungkin masih bau iler, kan?
Aku menciumnya, yah mumpung dia masih naked juga. “Sayang, kita masih punya banyak waktu ini sebelum ke kantor.”
“Mau lagi kamu? Susah ya jadi pacar kamu itu. Horny-an mulu.”
Aku menyibakkan selimutnya. Well, kayak dia enggak mau aja.
“Bentar ya Dan, aku pipis dulu.” Hasem! Baru juga mau aku isep.
***

“Hei, Koh Daniel ya?” Aku memandangi cowok putih yang barusan menepuk punggungku.
“Ya?” Aku memang pernah melihatnya, somewhere, tapi aku beneran enggak ingat namanya.
“Jordan koh, masih inget kan?”
“Yah, well, I do. Apa kabar?” The big fat lie! Padahal aku lupa.
“Baik Koh, lagi mau nonton juga koh? Sendirian?”
Aku menggeleng sambil menunjuk pacarku yang tengah membeli popcorn and soft drink. “Sama bf.”
“Ooh, udah punya ya.” Ini anak lucu. “Aku juga sama gebetan koh, itu yang lagi duduk dibawah poster American Sniper.”
Enggak mungkin ini kebetulan. Atau memang kebetulan? Biar kayak ftv-ftv gaje gitu? Tebak, saudara-saudara, siapa gebetannya Jordan? Ta---da--, Hendri. Benar-benar PK ya itu orang. Ckckck, dan si Rasjid betah gitu sama kelakuan pacarnya yang PK ini? Atau dia enggak tahu apa-apa? Karma? Bodolah, bukan urusanku lagi.
“Eh, gue masuk dulu ya. Udah mau mulai punya gue.”
“Oke, have fun ya koh.”
Jujur, aku tak tega melihat wajah lucunya kalau nanti dia sadar betapa asshole-nya si Hendri. Ingetin enggak ya? Tapi ini kan, sudah bukan urusanku. Baru juga kenal. Tapi enggak ngerti deh, ada semacam sifat pengen nge-protect  Jordan aja.
“Siapa tadi, sayang?” Ini Uki ngomongnya tepat di daun telinga. Tahu efeknya apa? Bikin merinding sama ereksi. Oke, Uki emang bener, aku horny-an orangnya.
“Temen waktu aku ikutan Maya, kemarin dulu itu lho.”
“Oh. Eh, kokoh mau popcornya, enggak?”
“Ngeledek.”
 Udah itu saja. Sehabis itu kita fokus kembali sama filmnya. Oke, dia yang fokus sama filmnya, aku enggak. Jujur, karena aku enggak terlalu suka film model ginian, film-film model detektif gini sama sekali enggak minatku. Aku sukanya horror, biar bisa teriak-teriak –di bioskop, dulu pas nonton The Conjuring, hampir semuanya teriak-teriak, jadi enggak bakal ketahuan juga elo mau teriaknya ngondek juga, bukan berarti aku teriaknya ngondek lho- romance comedy, yang somehow ngebuat aku optimis bahwa dua orang yang saling mencintai pasti menemukan jalan untuk bersatu kembali. Anime, kartun, iya model kayak How To Train Your Dragon, Pokemon, Big Hero 6, Madagascar, pokoknya yang anime-anime gitu lah. Aku suka. One Piece, aaah!
Jadi, karena kita duduk paling belakang dan pojok, aku mulai menaruh tanganku di paha Uki. Seolah-olah tidak sengaja, tentu saja. Uki belum bereaksi. Pandangannya masih lurus ke depan. Ini film menguntungkan, lebih banyak gelapnya.
Jemariku merayap naik ke atas. Uki masih belum bereaksi.
Sekarang, aku bangga dengan tangan kananku yang sudah melepas pengait celana jeans milik Uki.
Dan, pacarku itu, menoleh kearahku sambil melotot, “Kamu ngapain sih? Nonton yang bener dong Dan!” Suaranya bisik-bisik gitu. Maksudnya, biar enggak kedengeran sama yang lain.
Aku memutuskan untuk menatap ke depan. Ya ampun, ini dua pria ngapain juga di film? Yaiyalah, enggak nyimak dari awal, mana bisa ngerti?
Lima menit berlalu, tanganku kembali ke tempat seharusnya tanganku berada. Ternyata, pengait celananya belum dibenerin. Ketahuan, kode banget kan? Aku menurunkan reslitingnya. Kali ini, Uki diam. Lampu hijau nih.
Aku mengeluarkan penisnya yang sudah ereksi keluar dari celana dalam. Kali ini, bukan hanya melotot. Tanganku juga dipindahkan paksa oleh Uki.
Sehabis itu, dia menaikkan kakinya sebelah. Dan mepet ke ujung, membuat jarakku dan dia semakin lebar.
Aargh, kurang ajar! Batal deh fantasi ngisep di bioskopnya. -,-
***

Evan Sutedjo
“Speechless gue denger cerita lo. Lo ini ajaib banget ya? Enggak tahu malu lagi!”
“Halah, kan gelap boo bioskopnya. Enggak ada yang merhatiin ini.” Daniel berkata sambil mengambil kacang rebus yang tadi gue beli barengan dia di jembatan penyeberangan. Iya, gue sama Daniel naik busway tadi. Mobilnya Daniel udah dijual.
Kenapa? Lupa gue mau cerita, jadi pas ulang tahun kemarin, nyokapnya, tante Sophia janji mau ngebeliin Daniel mobil baru. Baru janji lho ya. BMW seri berapa ya, 5201 deh kalau enggak salah. Bentar, gue browsing dulu. Maklum, gue anak HRD, bukan teknik. 520i ding.
Begonya Daniel, yah, karena ini anak juga enggak berpikiran panjang, Jazz nya udah dijual gitu aja sama temen kantor dengan harga agak murah. Gile ini anak emang! Sedeng! Padahal BMWnya sendiri masih proses. Ini gue enggak ngerti ya, antara si Daniel ini percaya banget emaknya bakal beliin atau dia emang anaknya enggak berpikir ke depan. Mungkin kombinasi keduanya?
“Boo, emaknya Uki, kok kayak masih denial gitu ya, kalau gue sama anaknya itu pacaran?” Ini gue sama Daniel bisa ngehabisin ini kacang rebus sebanyak gajah beranak ini berdua aja lho. Hebat! Ini Daniel yang borong, alasannya, yang dia bilang dengan muka polos, “Kasihan bapak-bapaknya yang jual ntar enggak bawa duit ke rumah kalau kacangnya enggak laku.” Daniel banget. Lagipula, dia kan habis punya duit banyak karena jual mobil.
“Trus gimana kelanjutannya? Eh, bukannya uda baik-baik aja ya lo berdua?” Gue menuju kulkas, mengambil soft drink. Makan kacang enggak diselingin minum itu bikin seret.
“Kemarin nyokapnya Uki telepon, gue belom cerita sih ke Uki.”
Gue memotong dengan cepat, “Ngomong apa dia?”
“Dengerin dulu nyet! Intinya sih dia bener-bener bangga gitu sama Uki, pengen anaknya bahagia, punya bini, ngasih doi cucu. Gilak, kode banget gak sih itu? Biar gue ngejauhin anaknya?” Daniel merebut soft drink yang tadi aku ambil.
“Jelas kebaca sih itu. Lagian lo masih aja kegatelan suka main ke rumahnya Uki. Trus lo bilang apa?”
Daniel keluar dari kamar kost gue sebentar, celingukkan kebawah. “Mana laki lo? Belum balik gawe?”
Gue langsung mutung, “Lagi berantem gue sama dia.”
“Kok bisa?”
“Halah, jago lo ya ngalihin topik? Trus gimana? Lo jawab apa ke nyokapnya Uki?” Si Daniel langsung mendung gitu mukanya.
“Gue iyain aja. Tapi gue tetep bilang kalau gue beneran cinta sama Uki, eh ditutup sama doi. Keparat banget enggak sih?”
“Hush! Bibir lo ya! Gitu-gitu juga calon mertua lo.”
Daniel menghembuskan nafas, “Kayaknya mungkin ntar gue bakal beneran di blacklist deh sama nyokapnya. Ini baru nyokapnya lho, gimana kalau bokapnya juga tahu? Digiles trus dijadiin popok bayi kali ya gue?”
“Kalau tahu anaknya diajarin porno sama elo?”
Daniel tertawa sambil menoyor kepala gue, gue balas enggak kalah kenceng. Jadi deh, kita perang lempar-lemparan kacang. I know, I know. Kita emang kadang suka kekanakkan.
“Trus gimana cerita itu elo berantem sama si Reno?” Gue melihat ke sekeliling dan ngeri sendiri. Ini ntar beresin kostnya bakal capek ini, kulit kacang dimana-mana.
“Masalahnya sepele banget Dan, sebenarnya.”
Daniel langsung pasang wajah kepo, “Apa? What? What?”
“Jadi kan, si Reno itu semenjak gue pacaran kan emang suka nyuruh gue ngabarin dia. Gue lagi apa, mau jalan kemana, gitu-gitu deh. Nah, gue awal-awal sih biasa. Tapi, lama-lama kesel dong gue.” Gue mengambil soft drink, meminumnya beberapa teguk. “Gue kepencet bales ‘inggih ndoro bagus.’ Pas dia nyuruh gue pulang on time kemarin dulu itu.”
“Cuman gegara itu kalian berantem?”
“Dia merembetnya kemana-mana tahu Dan? Dia bilang, apa gue ngerasa kayak jadi pembantunya, pas pacaran ama dia, trus dia bilang apa selama ini dia terlalu posesif ke gue?” Gue mengambil nafas dalam-dalam. Kalau dipikir-pikir, alasan gue berantem sama Reno itu childish banget.
“Gue waktu itu kan jadi ikut emosi kan? Ya udah, gue sekalian aja bilang kalau dia itu emang posesif, cemburuan enggak jelas, enggak percayaan ama gue.”
“Trus?”
“Udah, sampai sekarang kita belum ngobrol lagi. Gue juga males mau minta maaf duluan.”
“Laki lo tuh lebih ajaib dari gue.”
Gue merasa mendapat angin, karena dibela Daniel. Merasa kalau yang gue lakukan, enggak buruk-buruk amat. “Nah, kan!”
“Tapi lo harusnya juga bisa ngerti dong Van, dia kan sayang sama elo, wajar kalau dia posesif.” Enggak jadi diatas angin. Gue jatuh menghempas tepat ke gunung berlava!
“Uki posesif?”
“Iya.”Cara jawabnya Daniel yang lempeng ini lho, pengen gue jambak.
“Uki cemburuan?”
“Banget.”
Gue mendesah, “Tapi, at least, dia masih bisa diajak bercanda kan ya?”
Daniel ngakak, yang beberapa saat kemudian menular ke gue. “Oke, this is bottom night ya, kita abaikan para pejantan kita for a while. Gue punya bourbon, dari Pak Anton tadi, wanna try?”
“I bet, I won’t.”
***

Hendri Subakti
“Hen, apa gue aja enggak cukup buat elo?” Same question, yang bikin gue buat males jawab. Rasjid masih memandangi gue dengan tatapan marah.
“Sayang, gue sama Jordan enggak ada apa-apa.”
“Oh, sekarang namanya Jordan. Kemarin Rendi, kemarinnya lagi Daniel. Gila lo ya!” Rasjid memandangi gue lama, mungkin ada satu menitan sebelum akhirnya meninggalkan gue sendirian.
Gue terus terang, belum bisa ngelepasin Rasjid gitu aja. Enggak tahu kenapa, gue kayak ngrasa Rasjid itu ‘home’ gue.
Gue berjalan menuju almari, membukanya dan mengambil handuk yang belum gue apa-apain semenjak dipakai Daniel buat mengeringkan keringatnya. Gue menciuminya sebentar. “Daniel, Daniel, apa gue pelet aja elo ya?”
Kalau demi Daniel, gue kayaknya rela buat ngelepas Rasjid.
***

Uki Bagus Walantaga
Si ganteng, sekarang lagi sakit. Dan manjanya itu lho, udah kayak bayi! Dikit-dikit merajuk pengen ini itu. Aku memastikan, bahwa sup ayamku sudah tidak terlalu panas, sebelum aku menyuapkannya ke Daniel. Yang, btw, tengah menonton frozen, entah sudah ke berapa kali.
“Sayang, aaak dong.” See? Udah kayak ngurus bayi aja kan aku? Daniel, untungnya nurut. Dia membuka bibirnya. Lagipula, sekali lagi, dia yang pemakan segalanya, membuatku engga repot buat ngasih makan apa. Tapi tetep, ayam itu favoritnya. Bisa makan berkali-kali dalam sehari tanpa bosen.
Aku memeriksa suhu tubuhnya yang memang masih panas. Bergulung-gulung tissue bekas ingusnya berserakkan dimana-mana. Aku, walaupun pengen ngeluh tapi enggak bisa. Aku tak tega.
“Obatnya diminum dulu sayang,”
“Ki, sini dong, aku pengen meluk kamu.” Manjanya si ganteng. Aku takut ketularan fluenya sih sebenarnya. Tapi sebodo lah, kalaupun aku nanti ketularan, giliran dia yang ngerawat kan? Terus nular ke dia lagi, dia sembuh, nular ke aku lagi. Gitu aja terus sampai Jakarta enggak pernah macet lagi. Bercanda, hehehe.
“Minum obat dulu ya?” Si ganteng ngangguk.
Maka sekarang, aku berada didalam selimut yang sama dengan Daniel. Tanganku memeluknya dari belakang, mengelus-elus lembut perutnya. “Kamu kok kayak gendutan ya Dan?”
Slurp, slarp, slurp, Daniel ngluarin ingusnya pakai tissue, trus di lempar begitu saja. Joroknya ini gantengku. Untung aku cinta sama kamu Dan.
“Masa sih Ki? Enggak ah, kamu mengada-ada.” Ini agak sensitif soalnya. Masalah perut ini. Daniel ini kan bangga banget sama sixpack sempurnanya. Tapi gimana ya, kalau tiap pagi, setiap aku masakkin dia sarapan, dia bisa nambah sampai tiga kali. Ditambah, sudah hampir sebulan ini Daniel absen ngegym.
“Kalau aku gendut, kamu masih suka? Masih horny?” Tiba-tiba banget si ganteng nanya beginian. Kan jarang banget. Typikal PD mampus kayak Daniel ini nanya tentang fisiknya yang dia sendiri tahu sangat menarik.
“Kok ganteng nanyanya gitu?”
“Iseng aja Ki, emang aku gendutan beneran ya?” Tuhkan langsung parno kalau dibilang gendut.
Tanganku mengelus perutnya. Emang agak buncitan dikit. Kayaknya, aku terlalu memanjakannya lewat masakanku deh. Musti dikurangi ini. “Mau jadi gendut, mau menua, kamu tetep yang terganteng kok buatku.”
Gantengku tersenyum. Aargh, cinta mati aku!
“Kalau nanti kelurga kamu minta kamu pisah sama aku?” Aku terdiam. Aku tahu ibuku sama sekali belum bisa menerima Daniel as myboyfriend. Dan tinggal masalah waktu hingga beliau mengatakannya secara jelas. Aku selalu berusaha berpikir, kalau saat itu masih jauh. Tapi bukannya aku sudah mengambil komitmen? Komitmen bahwa aku akan menua bersama Daniel? Orang tuaku jelas tidak akan menua bersamaku. Kalau mereka meninggal, dan aku menikah dengan orang yang salah karena permintaan mereka, yang mengalaminya sampai tua siapa? Yang bakalan menderita siapa? Aku.
Cerai saja, kalau orangtuamu sudah meninggal. Hah! Ngomong gampang. Aku bukan tipe seperti itu. Aku menjunjung tinggi sebuah komitment. Even, komitmen buat yang kata orang salah, sakit, abnormal, seperti yang sedang aku jalani bersama Daniel ini.
“Kamu kok ngomongnya gitu sih Dan? Bobo gih, biar cepet sembuh.” Daniel diam. Selang beberapa menit, aku sudah mendengarnya mendengkur. Lebih keras karena mungkin efek si ganteng lagi flu kali ya?
Berapa waktu yang aku punya sampai orangtuaku menodongku dengan ancaman pilih mereka atau Daniel? Aku menangis dalam diam.
Enggak pengen lepasin kamu ganteng.
Enggak pengen.
Tapi keluarga juga penting.
It’s hurt, you know? I have no idea to deal with this one.


TBC . . .