FOLLOW ME

Minggu, 13 Januari 2013

CINTAKU DIBAGI TIGA chapter five


Hari ini aku merasa berbeda. Jalanku sedikit mengangkang dan leherku penuh dengan bekas cupang. Walaupun begitu, aku tetap berangkat sekolah. Bukan berarti aku ingin mengatakan kepada seluruh warga sekolah, “hey, aku semalam digagahi lho.” Tidak seperti itu. Aku hanya ingin menjadi pelajar yang baik. Tidak lebih dan mungkin sedikit kurang. Anehnya, semua orang seperti tidak menyadari bahwa aku sudah bertransformasi menjadi pria dewasa seutuhnya. Mereka bersikap biasa-biasa saja. Atau, mereka sungkan untuk mengatakan padaku bahwa hari ini wajahku tampak bersemu merah layaknya pengantin pria? Ah, iya! Mereka pasti malu-malu.
“hei Dit!.” Aku menyapa Radit yang tengah membaca komik naruto edisi 57. Kalau tidak salah Naruto sedang dalam perjalanan ke pertempuran tapi dihadang oleh Tsunade dan Raikage. Naruto sepertinya sudah bisa menyerap cakra kyubi. Ampun! Perlukah aku menceritakannya? Aku rasa tidak jika aku menjadi kalian. Maaf, aku terlalu menyukai Naruto. Kalian tahu kan? Sasuke makin kesini gambarnya makin parah. Dia lebih cute pas awal-awal. Ya Tuhan! Ampuni aku. Sebenarnya, biar halamannya agak panjangan saja.
“apaan? Lho kamu kenapa?  Cengengesan kayak orang dapet lotere!” aku tetap dengan senyum ala pengantin pria yang baru saja melewati malam pertama (pertanyaan, senyum ala pengantin pria yang seperti apa ya?) langsung duduk di samping Radit.
“gua lagi happy berat!”
“ya? Alasannya?” sepertinya komik yang Radit baca lebih menarik daripada ceritaku. Radit masih sibuk dengan komiknya. Hanya sempat melirikku tadi. Dan itupun hanya sesaat.
“kemarin gua ML sama Denny.” Kali ini Radit menoleh ke arahku, dengan sedikit melotot tentunya.
“Makan Lontong maksut kamu?”
“hum! Sebenarnya gua pengen cerita detail sih. Tapi kayaknya lu lagi kaga mood. Gua ke kantin dulu ya. Yang pasti sih, enak banget. Rasanya tuh ya kayak naek roller coaster. Aduk-aduk deh!”
“tunggu dulu, sebelum kamu ke kantin jawab dulu pertanyaanku. Yang bener rasanya gimana? Enak? Kayak Roller coaster atau aduk-aduk?” aku sedikit menelengkan kepalaku. Ini penjelasanku yang kurang bisa dipahami atau Radit yang kelewat dibawah standar daya tangkapnya?
“tiga-tiganya.”
“oke, gua nitip gorengan. Jangan bakwan!”
“iye!” aku keluar kelas dengan hati yang masih senang tak karuan. Aku sudah bilang kan kalau Radit itu aneh? Jadi wajar lah kalau obrolanku tadi dengan Radit juga aneh, secara dia kan aneh? Saat di koridor aku berpapasan dengan Beno. Ya Tuhan, aku belum balas dendam atas tindakan menyebalkannya saat pelajaran Fisika kemaren.
Aku sudah siap. Siap untuk menghadapi kebrengsekkannya hari ini. Anehnya dia hanya berlalu dari hadapanku dengan pandangan sinis. What’s wrong with him? Biasanya dia selalu mengomentari segala hal tentangku. Pokoknya apa-apa saja yang penting bisa mempermalukan aku di depan banyak orang. Lha ini? Dia berlalu begitu saja. Seperti tidak mengenalku. Oke, dia membenciku dan begitu sebaliknya aku. Tapi kan, ini tetap saja aneh. Oh God, jangan bilang aku mulai memikirkannya? Nggak! Hanya aneh saja dia berlalu begitu saja tadi, tanpa menjahiliku sama sekali.
“ini gorengan lu!” Radit sekarang menatapku dengan pandangan yang berbeda. Kalau tadi dia acuh tak acuh, sekarang dia malah memperhatikanku lekat-lekat.
“ekspresi muka kamu berubah cepet banget ya? Kayaknya tadi seneng banget kayak abis dapet lotere. Sekarang seperti kepiting rebus gitu.” Jadi Radit pun tahu kalau tadi aku senang banget dan sekarang mendadadak kesel tidak karuan.
“gebetan lu tu.” Sekarang, Radit meletakkan komik Narutonya dan memutar arah duduknya.
“kenapa sama Beno? Hei, dia pake sepatu apa hari ini?” Ya Tuhan! I need help! Perlukah tadi aku melihat sepatunya yang warna biru putih itu? Eh? Lho?
“biru putih yang kemaren.”
“dia pasti tambah keren.” Jiah, sepertinya bakal dimulai. Radit selalu menggebu-gebu. Menceritakan tentang Beno, apapun! Dan kali ini bakal dimulai lagi. Aku benar-benar harus menyiapkan mentalku. Maksutku, aku membenci Beno dan aku harus menerima kenyataan bahwa sahabatku sendiri, yang notabene adalah Radit akan segera menceritakan segala kelebihan tentang Beno. Oke, sepertinya telingaku bakal tersiksa.
“dia itu paling keren kalau lagi pakai sepatu yang putih corak hijau itu lho. Kamu tahu kan?” aku menganggukkan kepalaku.
“dipaduin sama celana abu-abunya yang pensil. Dia kan punya 3 celana tu, tapi kalau pas make yang sepatu putih corak hijau pasti celananya yang pensil. Trus seragamnya yang agak pas badan. Gila, dia itu tidak ada tandingannya Gan di sekolah ini.” Aku berusaha untuk mendengarkannya dengan baik. Kagum, itulah yang ingin aku katakan pada Radit. Dia sampai hafal jadwal Beno makai celana apa, sepatunya apa bahkan seragamnya yang mana. Aku curiga, mungkin dia juga hafal celana dalam yang dipakai Beno hari ini.
“kamu masih dengerin kan Gan?” aku melongokkan kepalaku ke arahnya.
“yup, me there.” Aku sudah memasang earphone pada telinga kiriku yang jelas tidak diketahui oleh Radit. Mana jam kelima ini sepertinya kosong lagi. Gurunya belom nongol-nongol juga. Gila! Aku kali ini, kali ini saja! Sangat berharap agar guruku cepat datang. Aku jelas lebih suka menyiksa diriku dengan buku-buku materi pelajaran daripada harus mendengarkan Radit semakin menggila dengan ceritanya. Dan Beno, kenapa itu anak belum balik ke kelas. Karena dengan kehadiran Beno, Radit bisa menghentikan aksi cerewetnya seperti sekarang. Kalian pasti tahu, secerewet apapun seseorang jika dihadapan orang yang disukainya dia pasti jadi pendiam kan? Dan pemalu tentunya.
“apalagi dia kan baru potong rambut Gan. Sebenernya aku agak kurang suka dengan potongan rambutnya yang sekarang. Agak kurang cocok dengan wajahnya yang persegi. Tapi tetep ganteng lah.” Jika ada orang lain yang mendengar kita ngobrol seperti ini, pasti mereka menganggap kita seperti duo banci rombeng putus asa yang tengah menyiapkan rencana licik untuk menjebak laki-laki.
“Dit, pelanin suara lu.” Aku berbisik kepadanya. Radit sepertinya menyadari bahwa suaranya memang terdengar agak bersemangat (terdengar agak keras, kalau kalian tahu maksutku).
“sorry, aku suka lupa diri.” Dia balik berbisik kepadaku. Aku hanya menganggukan kepalaku lalu menunjuk ke arah pintu masuk. Beno dan ganknya baru saja masuk. Radit langsung terdiam dan aku langsung pindah bangku. Denny kemana ya? Kok kaga nongol-nongol dari tadi?
“heh, cowok gak bisa olahraga!!” shit! Kayaknya tu anak minta diberi bogem mentah. Aku menoleh dengan kalem. Sangat kalem malah. Sepertinya aku patut jadi peran utama dalam sinetron ‘ANAK SMU YANG MANIS NAMUN TERANIAYA’. Striping tentunya. Dan mungkin akan mempengaruhi jadwal kesibukkanku. Terlebih lagi, pasti sinetron itu akan rugi banyak. Bukannya laku, malah dihajar  KPI.
“kenapa Ben?” aku menjawab masih dengan kalem.
“lu kalau kencing berdiri atau jongkok?” rasanya kayak aku mau lempar dia pakek bakiak, trus nyodokin mulutnya pake pentungan satpam!
“lu tau unior cowok kaga? Lu pikir kalau kencing jongkok bisa? Atau jangan-jangan lu kaga pernah masuk kamar mandi cowok lagi? Makenya kamar mandi cewek?” mulai terdengar cekikikan di deretan belakang yang langsung diam begitu Beno memelototinya.
“lu nggak pernah liat gua kencing ya?!” dahiku langsung berkerut dalam. Ini tawarankah?
“ngapain gua liatin lu kencing? Yang patut dipertanyakan tu sebenarnya elu! Itu kok bisa ya tangan sama kaki lu mulus tanpa bulu? Atau jangan-jangan lu sering waxing lagi di salon? Oops, sorry Ben kalau rahasia lu jadi kebongkar.” Beno hanya melotot menatapku lalu diam dan keluar dari kelas. Mulutku emang rombeng, kaga bisa direm kalau udah diajak adu mulut gini. Kalau kata Radit, aku ini teman nyelanya yang paling manteb. Itu buat aku dalem banget rasanya. Terima kasih Radit.
Apalagi soal Beno, jiah! Sebenarnya mudah sekali menjinakkan kerbau liar itu, tapi entahlah aku suka dengan semua ejekannya untukku. Eh? Lho? Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku juga malas memikirkannya.
“kayaknya jamnya kosong nih. Balik yok!” Radit mendatangiku. Aku menatapnya keheranan, Radit mengajakku bolos? Gila! Yang bener aja!
“lu ngajakin gua apa tadi?”
“balik.”
“serius?”
“yap!” aku masih memandanginya seolah-olah aku tidak mengenalinya. Bagaimana Radit bisa mengajakku membolos? Selama ini sudah berbagai cara aku gunakan untuk bisa membuatnya membolos sekali-kali dan selalu gagal. Sekarang? Dia dengan sukarela mengajakku membolos.
“mau nggak? Kita ke warnet yang deket terminal itu dulu. Disana kan banyak maho-maho yang ngenet.” Aku membelalakkan mataku. Aku memang sudah lama dengar desas-desus bahwa warnet disebelah terminal itu memang terkenal karena banyak pelajar gay yang mangkal disitu. Tapi, aku belum pernah kesana. Pengen sih, tapi takut. Dan sekarang Radit mengajakku ke sarang penyamun itu.
“Denny kaga usah di ajak.” Mungkin Radit gregetan melihatku yang diam saja. Dia langsung menarik tanganku. Apa yang akan terjadi, terjadilah!
Sekarang kita berdua malah celingak-celingukan didepan warnet SUKA-SUKA namanya. Radit tidak mau masuk duluan, apalagi aku? Kan dia yang ngajakin kesini.
“masuk yok! Kamu duluan tapi.” Radit mendorong tubuhku dari belakang.
“enggak bisa! Lu yang ngajak, ya elu yang tanggung jawab donk. Atau gua pulang nih?”
“jiah, jangan gitu donk. Barengan yuk!” akhirnya setelah tawar-menawar, aku setuju juga untuk masuk bareng-bareng. Aku sebenarnya juga penasaran dengan warnet ini. Ya isinya seperti apa sih.
Ternyata biasa saja. Ya, seperti warnet biasa, hanya saja bilik-biliknya lebih rahasia. Tinggi-tinggi dan ada pintunya. Tertutup.
“ada yang kosong mas?” Radit bertanya pada operator yang kebetulan sepertinya usianya masih muda. Operator tadi memandangku dan Radit dengan tatapan seperti memaklumi. Jangan bilang dia menganggapku dan Radit pacaran!
“ada, no 5.”
“makasih mas.” Jawab Radit langsung menuju bilik lima dengan aku yang mengekor dibelakangnya. Ternyata biliknya lesehan, cukup nyaman karena alasnya cukup empuk. Apalagi ini ber AC, ada dua bantal juga.  Berarti rumor itu salah dong?
“kayaknya ini nggak seperti rumor yang beredar.” Kataku pelan. Jujur saja, dalam bayanganku operatornya adalah laki-laki tampan yang hanya pake kancut doang. Trus ya gitulah, seperti di bar-bar gay gitu. Hasyah! Seakan-akan aku pernah ke bar gay saja. Walaupun aku pernah menontonnya di film Thailand. Walang Kuwala kalau nggak salah judulnya. Jangan bilang kalian langsung mau cari tu film? Lumayan sih, ada yang telanjang bulat di film itu. Tititnya lumayan lagi (ayo cari, ayo cari! Hahaha). Tapi ternyata ini warnet biasa, hanya lebih tertutup saja biliknya. Berarti yang sebenarnya piktor itu siapa ya? Hhehe.
“nggak juga, tu ada lubang di samping kamu. Coba intip. Siapa tahu bilik sebelah lagi pada emut-emutan.” Aku sedikit terkejut. Radit bisa ngomong sefrontal itu ya? Aku baru tahu.
“ntar aja, cepetan gih buka apa gitu. Fb atau twitter.” Kataku cepat. Bukannya membuka facebook atau twitter, Radit malah membuka sebuah blog yang isinya cowok-cowok Indonesia lagi pada telanjang. Aku membeliakkan mataku. Maksutku, ini kan tidak senonoh dan terlalu fulgar. Walaupun aku suka sih dan tentunya menikmati. Tapi itu tidak lama, karena Radit langsung sibuk dengan facebook dan twitternya. Sibuk banget mention sana mention sini.
Karena iseng dan penasaran, aku mencoba mengintip dari balik lubang kecil bilik sebelah. Gila! Aku jadi tambah yakin kalau Radit pernah ke warnet ini. Ucapannya tadi bener. Lagi ada yang emut-emutan di bilik sebelah. Wajahnya sih nggak begitu jelas. Aduh, ternyata kalau lihat langsung nggak seindah kalau liat di Hp atau computer ya? Agak gimana gitu. Walaupun mataku enggan juga untuk berpindah.
“seneng kan kamu?” pertanyaan Radit mengagetkanku. Aku hanya bisa nyengir kuda.
***


Ini hari Minggu terpanas yang pernah aku lewati selama 17 tahun aku menghirup oksigen di dunia fana ini. Aku malas keluar, sumpah! Bawaannya pengen tidur mulu. Bukan karena aku pemalas, eem aku sedikit pemalas kalau boleh jujur. Tapi emang cuacanya nggak mendukung banget buat hang out. Tanganku masih asyik memindah-mindahkan chanel tv. Kartun-kartun sekarang pada nggak asyik. Atau karena aku sudah terlalu gede kali ya jadi nggak menikmati kartun seindah dulu. Jiah!
Drrt drrt drrt
Handphone ku yang aku taruh diatas meja bergetar-getar syahdu. Sengaja aku getar doang biar nggak berisik.
“Napa Dit?” jawabku malas begitu tahu yang telepon Radit, bukan Denny. Sumpah! Sejak aku berhubungan sex dengannya, Denny banyak sekali kegiatan! Atau jangan-jangan dia mulai menghindar dariku? Habis manis sepah dimuntahkan, ditendang, dibuang dan dibakar massa?
hang out?”
“lu nggak lagi keracunan Sunsilk kan? Males gua, panas gini. Emang mau ngapain?” jawabku malas. Gila aja, panasnya seekstrem ini dia mau ngajak keluar. Konslet kali tu anak.
“ngopi-ngopi di starbucks? Come on lah.” Ini anak sepertinya rada gila. Siang-siang gini? Ngopi?
“ini siang hari! Panas pula!”
“Coffee Bean Plaza Senayan?”
“nggak bisa ya Dit nggak jauh-jauh dari kopi?” aku mulai emosi. Aneh banget! Ini anak kenapa sih?
“nggak usah ngambek gitu lah. Aku traktir? Ntar kamu boleh nonton di Blitz, aku juga yang traktir.” Mataku langsung berbinar mendengar kata traktir. Secara gitu ngopi di Starbucks kan nggak cukup bawa duit duapuluh ribu.
“okay!” kataku tanpa pertimbangan lebih lanjut. Lagian aku juga belom sarapan ini.
“gila ya, denger kata traktir kamu langsung berubah pikiran. Panas-panas pun rela demi traktiran.”
“uda lah nggak usah banyak cing cong. Atau gua nggak jadi nih?”
“buset dah, ngambegan banget sih. Kayak pembokat!”
“sialan lu! Jemput gua ya! Lu kan udah bisa bawa mobil.”
Klik, sambungan telepon langsung dimatiin. Yeah! Sarapan gratis! Aku segera bergegas mandi (kalian pasti juga kalau Minggu mandinya Cuma sekali kan? Hayo ngaku?).
***


Suasana di Senci lumayan rame juga. Ya maklum, hari Minggu. Tadinya Radit langsung mau menyeretku buat ngopi, tapi aku berkeras bahwa makan dulu lebih penting. Ingat? Aku kan punya maag. Aku jadi ingat, Denny pernah bilang gini:
“kamu itu makannya banyak kok bisa kena maag ya?” dan aku hanya diam. Secara, aku kan bukan dokter. Sebenarnya, aku sendiri juga heran kenapa aku bisa kena maag. Aku yakin, dokternya salah persepsi. Halah!
“sebenarnya gua pengen banget makan di Colvmbvs di Grand Melia. Sumpah, I love their herbed chicken.” Radit langsung memelototiku.
“lo ditraktir nggak usah milih-milih. Nraktir lo disana bisa bikin uang saku sebulan gue ludes nggak bersisa!”
“hhaha, udah pake elu-gua lu sekarang.” Aku benar-benar menikmati sarapanku. Ini delicious banget. Ditambah lagi, gratisan pula.
“udah lama ini gue disini. Lagian gaulnya juga sama lo, ketularan negative deh gue.”
“semprul” tiba-tiba mimic muka Radit berubah. Yang tadi masih cekikak-cekikik sekarang malah jadi kaku abis. Wajahnya pias banget. Aku menoleh ke arah dimana mata Radit melotot tak berkedip. Dan pemandangan itu juga langsung menyesakkan dadaku. Itu Denny, aku tahu itu. Dengan laki-laki lain. Lebih tua, mungkin kakaknya. Tapi demi Tuhan, Denny itu anak sulung. Calm down Gany! Tenang! Okay, mungkin mereka hanya teman?
“mungkin mereka cuman temenan Gan.” Radit seperti bisa membaca raut wajahku yang menegang. Denny mengusap pipi lelaki itu. shit! What the fuck?
“kita pergi Dit.” Tanpa banyak kata, Radit langsung mengikuti langkahku. Jadi inikah alasannya? Kenapa akhir-akhir ini Denny tidak punya waktu untukku? Lelaki itu tampan aku tahu, dan aku tidak mungkin menang jika harus bersaing dengannya. Aku benar-benar tidak bisa menggambarkan perasaanku. Sedih? Kecewa? Marah? Aku harus bagaimana? Apakah mata yang terlihat tulus dari Denny itu hanya acting yang sempurna?
“Gan, kita pulang aja ya?” Radit terlihat cemas melihat kondisiku yang sepertinya sudah hilang nyawa setengah.
“nggak! Kita ke Blitz, gua mau nonton!”
“tapi lo. . .”
“lu kan udah janji mau traktir gua nonton! Please lah!” potongku cepat. Aku hanya tidak ingin pulang ke kost sekarang. Aku hanya akan mengingat betapa mesranya kita pagi itu. di ranjang kost-kostanku! Mengingat masa-masa aku makan bareng Denny dan pasti aku juga akan teringat adegan Denny mengusap pipi lelaki tadi. Damn! Aku tidak mungkin pulang sekarang. Aku belom siap. Tapi sepertinya takdir sedang mempermainkanku. Waktu sedang di parkiran belakang, aku melihat Denny lagi. Tangah berpelukan dengan lelaki tadi.  Ya Tuhan, apakah dunia emang benar-benar sempit?
Tidak, sama sekali tidak ada adegan tas jatuh lalu Denny melihatku dan merasa bersalah. Lalu aku berlari dan dia mengejarku. Tidak! Tidak ada adegan itu. Selain aku sedang tidak membawa tas, kantong plastic atau apapun yang bisa aku jatuhkan, aku juga tengah sibuk bengong. Entah kenapa, seperti adegan slow motion di film. Hingga akhirnya, mungkin karena aku terlalu lama bengong, Denny menyadari kehadiranku. Sebentar saja, aku pinjam scenario sinetron ala Indonesia ya.
“Gani. . .” Denny menatapku. Matanya seolah-olah ingin berbicara banyak. Dan aku hanya terdiam. Lalu kamera mulai menyorot wajah Denny dan aku secara bergantian. Semakin lama semakin cepat. Dan bersambung!
Iya, udah! Bersambung! Lanjut chapter 6 ya!
Serius amat bacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.