Hari ini aku merasa berbeda. Jalanku
sedikit mengangkang dan leherku penuh dengan bekas cupang. Walaupun begitu, aku
tetap berangkat sekolah. Bukan berarti aku ingin mengatakan kepada seluruh
warga sekolah, “hey, aku semalam digagahi lho.” Tidak seperti itu. Aku hanya
ingin menjadi pelajar yang baik. Tidak lebih dan mungkin sedikit kurang.
Anehnya, semua orang seperti tidak menyadari bahwa aku sudah bertransformasi
menjadi pria dewasa seutuhnya. Mereka bersikap biasa-biasa saja. Atau, mereka
sungkan untuk mengatakan padaku bahwa hari ini wajahku tampak bersemu merah
layaknya pengantin pria? Ah, iya! Mereka pasti malu-malu.
“hei Dit!.” Aku menyapa Radit yang
tengah membaca komik naruto edisi 57. Kalau tidak salah Naruto sedang dalam
perjalanan ke pertempuran tapi dihadang oleh Tsunade dan Raikage. Naruto
sepertinya sudah bisa menyerap cakra kyubi. Ampun! Perlukah aku
menceritakannya? Aku rasa tidak jika aku menjadi kalian. Maaf, aku terlalu
menyukai Naruto. Kalian tahu kan? Sasuke makin kesini gambarnya makin parah.
Dia lebih cute pas awal-awal. Ya Tuhan! Ampuni aku. Sebenarnya, biar halamannya
agak panjangan saja.
“apaan? Lho kamu kenapa? Cengengesan kayak orang dapet lotere!” aku
tetap dengan senyum ala pengantin pria yang baru saja melewati malam pertama (pertanyaan,
senyum ala pengantin pria yang seperti apa ya?) langsung duduk di samping
Radit.
“gua lagi happy berat!”
“ya? Alasannya?” sepertinya komik
yang Radit baca lebih menarik daripada ceritaku. Radit masih sibuk dengan
komiknya. Hanya sempat melirikku tadi. Dan itupun hanya sesaat.
“kemarin gua ML sama Denny.” Kali
ini Radit menoleh ke arahku, dengan sedikit melotot tentunya.
“Makan Lontong maksut kamu?”
“hum! Sebenarnya gua pengen cerita
detail sih. Tapi kayaknya lu lagi kaga mood. Gua ke kantin dulu ya. Yang pasti
sih, enak banget. Rasanya tuh ya kayak naek roller coaster. Aduk-aduk deh!”
“tunggu dulu, sebelum kamu ke kantin
jawab dulu pertanyaanku. Yang bener rasanya gimana? Enak? Kayak Roller coaster
atau aduk-aduk?” aku sedikit menelengkan kepalaku. Ini penjelasanku yang kurang
bisa dipahami atau Radit yang kelewat dibawah standar daya tangkapnya?
“tiga-tiganya.”
“oke, gua nitip gorengan. Jangan
bakwan!”
“iye!” aku keluar kelas dengan hati
yang masih senang tak karuan. Aku sudah bilang kan kalau Radit itu aneh? Jadi
wajar lah kalau obrolanku tadi dengan Radit juga aneh, secara dia kan aneh?
Saat di koridor aku berpapasan dengan Beno. Ya Tuhan, aku belum balas dendam
atas tindakan menyebalkannya saat pelajaran Fisika kemaren.
Aku sudah siap. Siap untuk
menghadapi kebrengsekkannya hari ini. Anehnya dia hanya berlalu dari hadapanku
dengan pandangan sinis. What’s wrong with him? Biasanya dia selalu mengomentari
segala hal tentangku. Pokoknya apa-apa saja yang penting bisa mempermalukan aku
di depan banyak orang. Lha ini? Dia berlalu begitu saja. Seperti tidak
mengenalku. Oke, dia membenciku dan begitu sebaliknya aku. Tapi kan, ini tetap
saja aneh. Oh God, jangan bilang aku mulai memikirkannya? Nggak! Hanya aneh
saja dia berlalu begitu saja tadi, tanpa menjahiliku sama sekali.
“ini gorengan lu!” Radit sekarang
menatapku dengan pandangan yang berbeda. Kalau tadi dia acuh tak acuh, sekarang
dia malah memperhatikanku lekat-lekat.
“ekspresi muka kamu berubah cepet
banget ya? Kayaknya tadi seneng banget kayak abis dapet lotere. Sekarang
seperti kepiting rebus gitu.” Jadi Radit pun tahu kalau tadi aku senang banget
dan sekarang mendadadak kesel tidak karuan.
“gebetan lu tu.” Sekarang, Radit
meletakkan komik Narutonya dan memutar arah duduknya.
“kenapa sama Beno? Hei, dia pake
sepatu apa hari ini?” Ya Tuhan! I need help! Perlukah tadi aku melihat
sepatunya yang warna biru putih itu? Eh? Lho?
“biru putih yang kemaren.”
“dia pasti tambah keren.” Jiah,
sepertinya bakal dimulai. Radit selalu menggebu-gebu. Menceritakan tentang Beno,
apapun! Dan kali ini bakal dimulai lagi. Aku benar-benar harus menyiapkan
mentalku. Maksutku, aku membenci Beno dan aku harus menerima kenyataan bahwa
sahabatku sendiri, yang notabene adalah Radit akan segera menceritakan segala
kelebihan tentang Beno. Oke, sepertinya telingaku bakal tersiksa.
“dia itu paling keren kalau lagi
pakai sepatu yang putih corak hijau itu lho. Kamu tahu kan?” aku menganggukkan
kepalaku.
“dipaduin sama celana abu-abunya
yang pensil. Dia kan punya 3 celana tu, tapi kalau pas make yang sepatu putih
corak hijau pasti celananya yang pensil. Trus seragamnya yang agak pas badan.
Gila, dia itu tidak ada tandingannya Gan di sekolah ini.” Aku berusaha untuk
mendengarkannya dengan baik. Kagum, itulah yang ingin aku katakan pada Radit.
Dia sampai hafal jadwal Beno makai celana apa, sepatunya apa bahkan seragamnya
yang mana. Aku curiga, mungkin dia juga hafal celana dalam yang dipakai Beno
hari ini.
“kamu masih dengerin kan Gan?” aku
melongokkan kepalaku ke arahnya.
“yup, me there.” Aku sudah memasang
earphone pada telinga kiriku yang jelas tidak diketahui oleh Radit. Mana jam
kelima ini sepertinya kosong lagi. Gurunya belom nongol-nongol juga. Gila! Aku
kali ini, kali ini saja! Sangat berharap agar guruku cepat datang. Aku jelas lebih
suka menyiksa diriku dengan buku-buku materi pelajaran daripada harus
mendengarkan Radit semakin menggila dengan ceritanya. Dan Beno, kenapa itu anak
belum balik ke kelas. Karena dengan kehadiran Beno, Radit bisa menghentikan
aksi cerewetnya seperti sekarang. Kalian pasti tahu, secerewet apapun seseorang
jika dihadapan orang yang disukainya dia pasti jadi pendiam kan? Dan pemalu
tentunya.
“apalagi dia kan baru potong rambut
Gan. Sebenernya aku agak kurang suka dengan potongan rambutnya yang sekarang. Agak
kurang cocok dengan wajahnya yang persegi. Tapi tetep ganteng lah.” Jika ada
orang lain yang mendengar kita ngobrol seperti ini, pasti mereka menganggap
kita seperti duo banci rombeng putus asa yang tengah menyiapkan rencana licik
untuk menjebak laki-laki.
“Dit, pelanin suara lu.” Aku
berbisik kepadanya. Radit sepertinya menyadari bahwa suaranya memang terdengar
agak bersemangat (terdengar agak keras, kalau kalian tahu maksutku).
“sorry, aku suka lupa diri.” Dia
balik berbisik kepadaku. Aku hanya menganggukan kepalaku lalu menunjuk ke arah
pintu masuk. Beno dan ganknya baru saja masuk. Radit langsung terdiam dan aku
langsung pindah bangku. Denny kemana ya? Kok kaga nongol-nongol dari tadi?
“heh, cowok gak bisa olahraga!!”
shit! Kayaknya tu anak minta diberi bogem mentah. Aku menoleh dengan kalem.
Sangat kalem malah. Sepertinya aku patut jadi peran utama dalam sinetron ‘ANAK
SMU YANG MANIS NAMUN TERANIAYA’. Striping tentunya. Dan mungkin akan
mempengaruhi jadwal kesibukkanku. Terlebih lagi, pasti sinetron itu akan rugi
banyak. Bukannya laku, malah dihajar KPI.
“kenapa Ben?” aku menjawab masih
dengan kalem.
“lu kalau kencing berdiri atau
jongkok?” rasanya kayak aku mau lempar dia pakek bakiak, trus nyodokin mulutnya
pake pentungan satpam!
“lu tau unior cowok kaga? Lu pikir
kalau kencing jongkok bisa? Atau jangan-jangan lu kaga pernah masuk kamar mandi
cowok lagi? Makenya kamar mandi cewek?” mulai terdengar cekikikan di deretan
belakang yang langsung diam begitu Beno memelototinya.
“lu nggak pernah liat gua kencing
ya?!” dahiku langsung berkerut dalam. Ini tawarankah?
“ngapain gua liatin lu kencing? Yang
patut dipertanyakan tu sebenarnya elu! Itu kok bisa ya tangan sama kaki lu
mulus tanpa bulu? Atau jangan-jangan lu sering waxing lagi di salon? Oops, sorry
Ben kalau rahasia lu jadi kebongkar.” Beno hanya melotot menatapku lalu diam
dan keluar dari kelas. Mulutku emang rombeng, kaga bisa direm kalau udah diajak
adu mulut gini. Kalau kata Radit, aku ini teman nyelanya yang paling manteb.
Itu buat aku dalem banget rasanya. Terima kasih Radit.
Apalagi soal Beno, jiah! Sebenarnya
mudah sekali menjinakkan kerbau liar itu, tapi entahlah aku suka dengan semua
ejekannya untukku. Eh? Lho? Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku juga malas
memikirkannya.
“kayaknya jamnya kosong nih. Balik
yok!” Radit mendatangiku. Aku menatapnya keheranan, Radit mengajakku bolos?
Gila! Yang bener aja!
“lu ngajakin gua apa tadi?”
“balik.”
“serius?”
“yap!” aku masih memandanginya
seolah-olah aku tidak mengenalinya. Bagaimana Radit bisa mengajakku membolos?
Selama ini sudah berbagai cara aku gunakan untuk bisa membuatnya membolos
sekali-kali dan selalu gagal. Sekarang? Dia dengan sukarela mengajakku
membolos.
“mau nggak? Kita ke warnet yang
deket terminal itu dulu. Disana kan banyak maho-maho yang ngenet.” Aku
membelalakkan mataku. Aku memang sudah lama dengar desas-desus bahwa warnet
disebelah terminal itu memang terkenal karena banyak pelajar gay yang mangkal
disitu. Tapi, aku belum pernah kesana. Pengen sih, tapi takut. Dan sekarang
Radit mengajakku ke sarang penyamun itu.
“Denny kaga usah di ajak.” Mungkin
Radit gregetan melihatku yang diam saja. Dia langsung menarik tanganku. Apa
yang akan terjadi, terjadilah!
Sekarang kita berdua malah
celingak-celingukan didepan warnet SUKA-SUKA namanya. Radit tidak mau masuk
duluan, apalagi aku? Kan dia yang ngajakin kesini.
“masuk yok! Kamu duluan tapi.” Radit
mendorong tubuhku dari belakang.
“enggak bisa! Lu yang ngajak, ya elu
yang tanggung jawab donk. Atau gua pulang nih?”
“jiah, jangan gitu donk. Barengan
yuk!” akhirnya setelah tawar-menawar, aku setuju juga untuk masuk
bareng-bareng. Aku sebenarnya juga penasaran dengan warnet ini. Ya isinya
seperti apa sih.
Ternyata biasa saja. Ya, seperti
warnet biasa, hanya saja bilik-biliknya lebih rahasia. Tinggi-tinggi dan ada
pintunya. Tertutup.
“ada yang kosong mas?” Radit
bertanya pada operator yang kebetulan sepertinya usianya masih muda. Operator
tadi memandangku dan Radit dengan tatapan seperti memaklumi. Jangan bilang dia
menganggapku dan Radit pacaran!
“ada, no 5.”
“makasih mas.” Jawab Radit langsung
menuju bilik lima dengan aku yang mengekor dibelakangnya. Ternyata biliknya
lesehan, cukup nyaman karena alasnya cukup empuk. Apalagi ini ber AC, ada dua
bantal juga. Berarti rumor itu salah
dong?
“kayaknya ini nggak seperti rumor
yang beredar.” Kataku pelan. Jujur saja, dalam bayanganku operatornya adalah
laki-laki tampan yang hanya pake kancut doang. Trus ya gitulah, seperti di
bar-bar gay gitu. Hasyah! Seakan-akan aku pernah ke bar gay saja. Walaupun aku pernah
menontonnya di film Thailand. Walang Kuwala kalau nggak salah judulnya. Jangan
bilang kalian langsung mau cari tu film? Lumayan sih, ada yang telanjang bulat
di film itu. Tititnya lumayan lagi (ayo cari, ayo cari! Hahaha). Tapi ternyata
ini warnet biasa, hanya lebih tertutup saja biliknya. Berarti yang sebenarnya
piktor itu siapa ya? Hhehe.
“nggak juga, tu ada lubang di
samping kamu. Coba intip. Siapa tahu bilik sebelah lagi pada emut-emutan.” Aku
sedikit terkejut. Radit bisa ngomong sefrontal itu ya? Aku baru tahu.
“ntar aja, cepetan gih buka apa
gitu. Fb atau twitter.” Kataku cepat. Bukannya membuka facebook atau twitter,
Radit malah membuka sebuah blog yang isinya cowok-cowok Indonesia lagi pada
telanjang. Aku membeliakkan mataku. Maksutku, ini kan tidak senonoh dan terlalu
fulgar. Walaupun aku suka sih dan tentunya menikmati. Tapi itu tidak lama,
karena Radit langsung sibuk dengan facebook dan twitternya. Sibuk banget
mention sana mention sini.
Karena iseng dan penasaran, aku
mencoba mengintip dari balik lubang kecil bilik sebelah. Gila! Aku jadi tambah
yakin kalau Radit pernah ke warnet ini. Ucapannya tadi bener. Lagi ada yang
emut-emutan di bilik sebelah. Wajahnya sih nggak begitu jelas. Aduh, ternyata
kalau lihat langsung nggak seindah kalau liat di Hp atau computer ya? Agak
gimana gitu. Walaupun mataku enggan juga untuk berpindah.
“seneng kan kamu?” pertanyaan Radit
mengagetkanku. Aku hanya bisa nyengir kuda.
***
Ini hari Minggu terpanas yang pernah
aku lewati selama 17 tahun aku menghirup oksigen di dunia fana ini. Aku malas
keluar, sumpah! Bawaannya pengen tidur mulu. Bukan karena aku pemalas, eem aku
sedikit pemalas kalau boleh jujur. Tapi emang cuacanya nggak mendukung banget
buat hang out. Tanganku masih asyik
memindah-mindahkan chanel tv. Kartun-kartun sekarang pada nggak asyik. Atau
karena aku sudah terlalu gede kali ya jadi nggak menikmati kartun seindah dulu.
Jiah!
Drrt drrt drrt
Handphone ku yang aku taruh diatas
meja bergetar-getar syahdu. Sengaja aku getar doang biar nggak berisik.
“Napa Dit?” jawabku malas begitu
tahu yang telepon Radit, bukan Denny. Sumpah! Sejak aku berhubungan sex
dengannya, Denny banyak sekali kegiatan! Atau jangan-jangan dia mulai
menghindar dariku? Habis manis sepah dimuntahkan, ditendang, dibuang dan
dibakar massa?
“hang
out?”
“lu nggak lagi keracunan Sunsilk
kan? Males gua, panas gini. Emang mau ngapain?” jawabku malas. Gila aja,
panasnya seekstrem ini dia mau ngajak keluar. Konslet kali tu anak.
“ngopi-ngopi di starbucks? Come on lah.” Ini anak sepertinya rada
gila. Siang-siang gini? Ngopi?
“ini siang hari! Panas pula!”
“Coffee Bean Plaza Senayan?”
“nggak bisa ya Dit nggak jauh-jauh
dari kopi?” aku mulai emosi. Aneh banget! Ini anak kenapa sih?
“nggak usah ngambek gitu lah. Aku
traktir? Ntar kamu boleh nonton di Blitz, aku juga yang traktir.” Mataku
langsung berbinar mendengar kata traktir. Secara gitu ngopi di Starbucks kan
nggak cukup bawa duit duapuluh ribu.
“okay!” kataku tanpa pertimbangan
lebih lanjut. Lagian aku juga belom sarapan ini.
“gila ya, denger kata traktir kamu
langsung berubah pikiran. Panas-panas pun rela demi traktiran.”
“uda lah nggak usah banyak cing
cong. Atau gua nggak jadi nih?”
“buset dah, ngambegan banget sih.
Kayak pembokat!”
“sialan lu! Jemput gua ya! Lu kan
udah bisa bawa mobil.”
Klik, sambungan telepon langsung
dimatiin. Yeah! Sarapan gratis! Aku segera bergegas mandi (kalian pasti juga
kalau Minggu mandinya Cuma sekali kan? Hayo ngaku?).
***
Suasana di Senci lumayan rame juga.
Ya maklum, hari Minggu. Tadinya Radit langsung mau menyeretku buat ngopi, tapi
aku berkeras bahwa makan dulu lebih penting. Ingat? Aku kan punya maag. Aku
jadi ingat, Denny pernah bilang gini:
“kamu itu makannya banyak kok bisa
kena maag ya?” dan aku hanya diam. Secara, aku kan bukan dokter. Sebenarnya,
aku sendiri juga heran kenapa aku bisa kena maag. Aku yakin, dokternya salah
persepsi. Halah!
“sebenarnya gua pengen banget makan
di Colvmbvs di Grand Melia. Sumpah, I love their herbed chicken.” Radit
langsung memelototiku.
“lo ditraktir nggak usah milih-milih.
Nraktir lo disana bisa bikin uang saku sebulan gue ludes nggak bersisa!”
“hhaha, udah pake elu-gua lu
sekarang.” Aku benar-benar menikmati sarapanku. Ini delicious banget. Ditambah
lagi, gratisan pula.
“udah lama ini gue disini. Lagian
gaulnya juga sama lo, ketularan negative deh gue.”
“semprul” tiba-tiba mimic muka Radit
berubah. Yang tadi masih cekikak-cekikik sekarang malah jadi kaku abis.
Wajahnya pias banget. Aku menoleh ke arah dimana mata Radit melotot tak
berkedip. Dan pemandangan itu juga langsung menyesakkan dadaku. Itu Denny, aku
tahu itu. Dengan laki-laki lain. Lebih tua, mungkin kakaknya. Tapi demi Tuhan,
Denny itu anak sulung. Calm down Gany! Tenang! Okay, mungkin mereka hanya
teman?
“mungkin mereka cuman temenan Gan.”
Radit seperti bisa membaca raut wajahku yang menegang. Denny mengusap pipi
lelaki itu. shit! What the fuck?
“kita pergi Dit.” Tanpa banyak kata,
Radit langsung mengikuti langkahku. Jadi inikah alasannya? Kenapa akhir-akhir
ini Denny tidak punya waktu untukku? Lelaki itu tampan aku tahu, dan aku tidak
mungkin menang jika harus bersaing dengannya. Aku benar-benar tidak bisa
menggambarkan perasaanku. Sedih? Kecewa? Marah? Aku harus bagaimana? Apakah
mata yang terlihat tulus dari Denny itu hanya acting yang sempurna?
“Gan, kita pulang aja ya?” Radit
terlihat cemas melihat kondisiku yang sepertinya sudah hilang nyawa setengah.
“nggak! Kita ke Blitz, gua mau
nonton!”
“tapi lo. . .”
“lu kan udah janji mau traktir gua
nonton! Please lah!” potongku cepat. Aku hanya tidak ingin pulang ke kost
sekarang. Aku hanya akan mengingat betapa mesranya kita pagi itu. di ranjang
kost-kostanku! Mengingat masa-masa aku makan bareng Denny dan pasti aku juga
akan teringat adegan Denny mengusap pipi lelaki tadi. Damn! Aku tidak mungkin
pulang sekarang. Aku belom siap. Tapi sepertinya takdir sedang mempermainkanku.
Waktu sedang di parkiran belakang, aku melihat Denny lagi. Tangah berpelukan
dengan lelaki tadi. Ya Tuhan, apakah
dunia emang benar-benar sempit?
Tidak, sama sekali tidak ada adegan
tas jatuh lalu Denny melihatku dan merasa bersalah. Lalu aku berlari dan dia
mengejarku. Tidak! Tidak ada adegan itu. Selain aku sedang tidak membawa tas,
kantong plastic atau apapun yang bisa aku jatuhkan, aku juga tengah sibuk
bengong. Entah kenapa, seperti adegan slow motion di film. Hingga akhirnya,
mungkin karena aku terlalu lama bengong, Denny menyadari kehadiranku. Sebentar
saja, aku pinjam scenario sinetron ala Indonesia ya.
“Gani. . .” Denny menatapku. Matanya
seolah-olah ingin berbicara banyak. Dan aku hanya terdiam. Lalu kamera mulai
menyorot wajah Denny dan aku secara bergantian. Semakin lama semakin cepat. Dan
bersambung!
Iya, udah! Bersambung! Lanjut
chapter 6 ya!
Serius amat bacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.