FOLLOW ME

Sabtu, 27 April 2013

CERITAKU 9


CERITAKU 9




Rafky ternyata tidak langsung membawaku pulang, entah kemana dia membawaku. Aku hanya bisa diam. Terlalu letih bahkan hanya untuk bersuara. Rasanya hatiku sakit. Seperti ada ribuan jarum di dalam sana. Rafky membawaku ke sebuah tebing, berhenti dan menyuruhku turun.
“teriak”, kata Rafky tiba tiba. Aku agak tercengang, lagi lagi aku ingin tertawa. Dia menyuruhku berteriak? What a nice idea?
“lu aja. Gua kaga. Makasih”, jawabku kemudian. Rafky memandangku sesaat.
“aneh”, Rafky berujar singkat lalu mendekati bibir tebing.  Dan tanpa aku duga dia berteriak, cukup merdu hingga membuat perutku melilit.
“gua sering frustasi. Semenjak nyokap gak ada, kaga ada yang peduli lagi ma gua kecuali eyang”, Rafky berhenti sejenak. Dan aku mulai waspada. Dulu Andi pernah bercerita betapa-malangnya-nasibku sehingga membuat aku jadi tak tega dan berjanji akan membahagiakannya. Jangan sampai Rafky bercerita tentang hal yang sama supaya aku simpati padanya.
“but, my life must be go on”, Rafky tak menangis. Dia tersenyum ke arahku.
“gua harap lu juga. Jangan hanya gara gara Andi dan Rika lu jadi down. Masih ada gua”, Rafky melangkah mendekatiku dengan PD. Kini aku dan Rafky berhadap hadapan, kepalaku hanya mencapai pangkal lehernya. Oleh sebab itu aku mendongak menatap kedua bola matanya yang tajam. Dan saat aku menatap matanya, entah siapa yang memulai bibir Rafky sudah menempel di bibirku. Awalnya lidah Rafky hanya menjilat bagian luar bibirku, namun gerakan itu makin intens. Rafky memelukku, lidahnya memaksa untuk menerobos pertahanan bibirku. Di dalam mulutku lidahnya mencari lidahku. Saling bertaut, saling menghisap. Begitu intim. Lalu kesadaranku pulih, aku mendorong Rafky perlahan.
“maafkan aku”, aku berkata lirih. Rafky hanya diam sambil menaiki motornya.
“yok pulang.
***


Hari ini hari minggu dan dengan baik hati ibuku menyuruhku menjaga tokonya. Bukan, bukannya aku kaga mau. Tapi lebih manis jika Minggu ku di isi dengan renang bersama Rafky misalnya? Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan? Tapi aku memang sudah bertekad akan menghapus nama Andi dalam agendaku 2 minggu ke depan. Bukannya aku kejam, tapi sepertinya aku memang harus tegas.
“bang, lu beli makanan gih. Laper banget gua”, Reno nongol dari belakang sambil membawa sepiring gorengan. Aku memutar kedua bola mataku, what the fuck with my young brother?
“beli sendiri”
“panas kali bang”
“lha kalo lu ngerti panas, ngapain lu nyuruh gua? Uda kaga sayang lu ma gua?”, gua mulai sewot. Adikku dan ibuku adalah orang orang yang paling pinter membuat emosiku naik, but I love them. Beneran, aku sayang mereka.
“ye, apa salahnya sih nurutin kata adeknya”
“Heh!Seharusnya elu yang nurutin kata gua”, aku beranjak ke bagian belakang toko setelah mengambil mie rebus dan telur 2 butir.
“lu jaga bentar, gua mau masak mie”, kataku pada Reno.
“gua di bikinin sekalian lha bang. Tega amat lu ma adik sendiri juga”
“iye”, aku menjawab singkat. Toko yang merupakan hadiah terakhir ayahku untuk ibuku ini memang memiliki 2 bagian. Bagian depan yang luas untuk barang barang dagangan. Ada sembako, perabotan rumah tangga dan aneka kue. Sedangkan di bagian belakang sedikit lebih sempit dari bagian depan. Ada kasur lantai, tv, kompor kecil dan sedikit peralatan memasak ringkas. Aku terlalu focus pada mie rebusku (oke, ini memang sedikit berlebihan) hingga tak menyadari bahwa di depan posisi Reno sudah tergantikan. Aku tahu Reno sudah tidak ada saat aku keluar dari bagian belakang. Rafky sedang debat seru dengan pembeli. Aku hanya melongo dan mendengarkan perdebatan mereka tentang harga. Aku harus mengacungkan jempolku, Rafky mungkin bisa jadi penerus ibuku.
“Reno?”, tanyaku begitu sang pembeli sudah pergi dengan puas karena mendapatkan satu mug cantik.
“dia pergi tadi sama cewek. Eem, Nia kalau kaga salah namanya”.
Lalu aku menatapnya, bertanya dengan tatapan mataku kenapa dia bisa berada di sini.
“gua kaga sengaja tadi”, jawab Rafky kikuk. Bohong besar. Aku masih menatapnya dengan pandangan tak percaya. Karena setahuku Reno pun mungkin baru di kenal Rafky barusan. Dan kaga mungkin kalau tidak sengaja Rafky melihat Reno dan mampir. Kecuali mereka sudah lama saling kenal. Dan aku sudah mengatakan tadi, Reno pun mungkin baru dikenal Rafky barusan.
“come on. Jawab jujur RIRI”, sengaja aku tekankan kata Riri. Tapi nyatanya Rafky tidak marah.
“oke, gua uda tau tentang toko ini lama”, jawabnya kemudian. Wajahnya tampak kikuk.
“hha?”, aku hanya bisa membuka mulutku lebih lebar.
“gua memperhatikan lu uda lama. Lu suka pedes tapi paling kaga tahan sama pedes”, Rafky agak terkikik.
“paling doyan tidur, paling suka matematika. Kalau terlalu capek bakalan ngiler. . .”
“oke, stop it. Jadi lu penguntit? Gua koreksi, lu nguntit gua?”, aku memotong ucapan Rafky sekaligus bertanya padanya. Rafky ngakak, lalu aku teringat pesan misterius di ruang seni.
“lu liat gua nangis di ruang seni”
“hahaha, tampang lu asik gila waktu itu. Eehm, boleh kaga gua gantiin posisi Reno hari ini? Jagain toko? Bareng lu? Boleh?”, tampang Rafky di buat polos, seakan akan dia anak umur 5 tahun. Aku ngikik melihatnya, sama sekali tidak cocok. Tidak seperti Andi yang sangat ahli memasang tampang seperti itu. For God shake!! Aku sudah melanggar janjiku untuk tak menyebut nama Andi tadi. Aku berhenti mengikik, teringat tangan Rika yang menempel tepat di selangkangan Andi. Damn it!!
“hey, are you okey?”, Rafky menghampiriku.
“yah, gua baik baik aja. By the way, gua kaga nyangka kalo lu ngefans sama gua”
“sapa yang bilang gua ngefans ma lu?”, tanya Rafky sambil mengambil tempat duduk  di samping ku.
“terserah dah, bentar ada pembeli”, aku menyerah menanyai Rafky. Anak ini masih menyebalkan. Aku melangkah melayani pembeli, tapi tak ku pungkiri aku merasa senang. Kenapa tidak kamu lakukan hal ini dari dulu Raf? Kenapa baru sekarang? Saat hatiku sudah terikat terlalu jauh dengan Andi.
Pembeli tersebut pulang dengan puas. Harga yang aku beri terlalu murah, tapi aku tak peduli. Pikiranku masih kacau. Andi, aku kangen kamu. Ya Tuhan, perasaan ini menyiksaku.
“hey”, Rafky menepuk bahuku pelan.
“ya, sorry gua bukan temen yang baik saat ini”
“Gak papa, gua pengen nemenin lu. Boleh kan?”
“oke, gua tutup aja tokonya. Kita keluar sebentar”, kataku kemudian.
“woey, di sini aja”
“gua lagi pengen keluar”
“nyokap lu?”, tanya rafky sambil mengangkat  sebelah alisnya.
“dia pasti ngerti kok, katanya lu mau nemenin gua?”, aku menagih janjinya.
“iya deh. Terserah lu aja. Aku tersenyum, lalu siap siap menutup tokoku.
***


Aku yang memilih tempatnya. Dan di sinilah aku dan Rafky sekarang.  Di alun alun kota. Aku sedang asyik dengan batagor yang tadi aku pesan, berusaha melupakan Andi dan masalah yang dia bawa untuk ku. Rafky sendiri sibuk melihatku, mungkin sedang mempertimbangkan aku untuk di jadikan salah satu hewan peliharaanya. Melihat betapa lucunya aku makan batagor. Lupakan, aku hanya bercanda.
“lu lucu banget sih.” See? Mungkin dugaanku tadi benar.
“kenapa?”, tanyaku tanpa menatapnya.
“gua baru sadar kalo lu punya lesung pipit di pipi kiri lu”. Aku tersenyum tipis.
“dan gigi taring yang berlebih di sisi kiri”, tambah Rafky kemudian.
“itu gingsul”, kataku jutek.
“iya, gingsul. Gua suka. Pasti enak kalo di jilat pake lidah gua”. Aku tersedak. Ini anak sudah gila. Beberapa orang melihat ke arahku dan Rafky dengan pandangan aneh, tapi aku tak peduli. Masalahku sudah terlalu banyak dan aku sedang tidak bernafsu untuk menambah daftar masalahku.Tidak, terimakasih.
“lu diem aja”, Rafky berkata lagi. Ternyata anak ini lebih cerewet dari Andi. Ya Tuhan, aku menyebut namanya lagi.
“lagi makan guanya”
“hehe, iya. Gua suka lu”
“lu uda bilang kemaren lusa”, kataku pendek. Seharusnya kalau Rafky emang penguntit sejati, dia tau kalau aku paling kaga suka di ganggu kalau sedang makan. Aku mengangkat kepalaku, lalu aku tertegun memandang wajah Rafky.
“selama lu bareng gua, gua lom pernah liat lu ngerokok”, tanyaku pada Rafky. Rafky melongo.
“darimana lu tau gua ngerokok?”
“warna bibir lu berbicara banyak”. Rafky laqi lagi tertawa. Aku melihatnya, ternyata matanya pun bisa berseri. Walaupun dia tidak memiliki lesung pipit yang menggoda seperti Andi, tapi aku menyukainya. Seandainya dulu Rafky lebih jujur dan menyatakan perasaanya lebih dulu daripada Andi, aku tak akan sesakit ini. Hmm, hanya seandainya.
“lu kaga suka rokok, jadi buat apa gua ngerokok di depan lu? Gua kaga mau dapat pelototan lu lagi”
“gua kaga pernah melotot”
“masa? Lu hampir selalu melotot kalau ketemu gua”. Sumpah, percakapan ini gak penting. Aku melanjutkan makanku.
“lu uda pernah patah hati?”, tanyaku kemudian. Rafky menghembuskan nafasnya perlahan.
“gua lom pernah pacaran”, aku tersedak lagi. Jawabannya kaga nyambung, tapi aku penasaran dengan jawabannya.
“serius?”, tanyaku tak percaya. Cowok ganteng, kapten tim basket, seksi dan emm kalau yang ini menurutku lho agak sedikit cool. Okey, Rafky emang cool. Dan cowok spesies ini belom pernah pacaran? Kalian percaya? Kalau aku sedikit ragu.
“iya, serius. Gua nunggu lu”. Oh, shit!! Pernyataan ini membuat aku spheecless.
“seandainya lu lebih cepet ngomongnya Raf”
“hey hey”, Rafky memegang tanganku. Aku melepasnya, bukannya tak suka tapi ini kan alun alun kota.
“sekarang masih belom terlambat Nan, percaya ma gua”.
Aku member senyum manisku untuk Rafky.Terlihat Rafky berpikir tentang sesuatu.
“Nan?”
“apa?”
“gak, ada saos tu di sudut bibir lu”, aku memandangnya sekejab kemudian menjulurkan lidahku untuk menjilat saos-di-sudut-bibir-seperti kata Rafky tadi.
“stop!! Don’t do it!!”, Rafky berkata pelan. Aku menatapnya heran.
“kenapa?”
“eem, bikin gua horny”, kata Rafky lirih. Aku hampir tertawa. Ya Tuhan, Rafky lucu mampus. Aku menatapnya lekat lekat dan Rafky malah menunduk. Oh, aku ingin mengikik (ada kaga sih kosa kata mengikik? Kalau kalian kaga tau mengikik, itu adalah salah satu jenis tawa yang paling aku sukai).
“thanks Raf. Gua suka di temenin ma lu”
“ya. Sama sama”. Rafky tersenyum manis.
***

Sudah hampir seperempat jam ibu memarahiku. Walaupun aku menyesal, beneran aku menyesal.Tapi tetep aja kalau di marahin seperti emm, pernah dengar pidato guru yang membosankan saat upacara sekolah berlangsung? Kurang lebih rasanya seperti itu. Dan Reno juga tidak membantu, di balik punggung ibu, Reno sibuk mengejekku. Dasar adik durhaka. Aku tidak bisa berbuat banyak, menutup toko jam setengah 3 siang? Pada hari minggu pula!! Tamat sudah.
“jadi tadi kamu lebih milih main daripada bantu ibu?”. Oh jangan mempermainkan perasaanku dengan pernyataan ini. Pernyataan ini seperti menyudutkanku dan menggiring perasaanku pada rasa bersalah. Seakan akan ibuku bilang durhaka-sekali-kelakuanmu-kamu-menusuk-ibu-dari-belakang hampir seperti itu, hanya diperhalus.
“Nansa minta maaf bu. Janji kaga bakal di ulangi?”, kataku sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku tanda damai.
“ibu bukannya marah tapi kamu seharusnya bisa lebih bertanggung jawab dengan bla bla bla. . .”, tidak, ini sama persis dengan kalimat pembuka ibuku tadi sebelum memarahiku. Ibuku tidak berniat akan melakukan siaran ulang kan? Aku hanya bisa menghembuskan nafasku perlahan.
“Nansa minta maaf? Okey? Bisakah kita kubur masalah ini dan kembali melangkah ke depan?”, kataku sedikit hiperbola. Ibuku menghentikan pidatonya, menatapku sebentar lalu menatap Reno yang sedang makan malam dengan kaki di naikkan ke atas kursi.
“Moreno Adiatama, sejak kapan ibu mengajarimu makan dengan cara duduk seperti itu?”, ibuku menghampiri Reno dan aku hanya bisa mengikik. Di belakang ibuku aku menggerakkan bibirku seperti bilang thanks-Reno-lu-baik-banget dan mendapat balasan tatapan tajam dari Reno. Aku langsung ngacir ke kamarku.
Aku berusaha memejamkan mataku, sebisa mungkin mencoba untuk terlelap.Tapi tak bisa, kejadian Andi dan Rika kemarin malam masih menggangguku. Seperti film yang di putar berulang ulang dalam otakku. Aku masih tak percaya, sesepele itukah Andi menganggap arti hubunganku dengan dirinya? Tidak, malam ini tidak ada acara menangis lagi. Stop!! Selama fase break ini, aku akan berusaha untuk kembali menyukai Rafky. Apa susahnya? Ya Tuhan, kenapa? Well, aku memang tak pantas mengadu pada Tuhan, cinta seperti yang kurasakan ini saja sudah pasti membuat Tuhan enggan menengokku dan sekarang apa? Aku terkena masalah karenanya! Mungkin di langit sana aku malah sedang jadi bahan tertawaan.
Stop Nansa!! Jangan mengasihani dirimu sendiri!! Wake up!!
“belom molor lu bang?”, Reno nongol dari balik pintu kamarku.
“belom ngantuk gua, lu ngapain ke sini?”, tanyaku balik.
“mau cerita gua, boleh? Ganggu kaga?”, tanpa permisi Reno berbaring di sisiku.
“apa?”
“Nia nembak gua tadi, gua mesti gimana?”.Aku menatap adik semata wayangku.
“trus? Lu suka kaga ma Nia?”
“suka”, jawab Reno polos.
“ya udah, pacaran!! Beres kan?”
“masalahnya gua sukanya dikit ke Nia, lebih banyakan ke Dewi”. Aku kembali menatapnya. Salah, aku melotot ke arahnya.
“Dewi? Lu masih ngarepin tu anak? Gua kaga suka ma Dewi, kaga setuju gua”
“lha? Kok lu yang sewot? Kan yang mau pacaran gua. Tapi gua kaga mungkin pacaran sama Nia kalau perasaan gua Cuma setengah setengah ke dia kan? Kasian Nianya juga kan?”, kata Reno panjang lebar. Aku memutar kedua bola mataku. Kalau sudah bisa secanggih ini menyimpulkannya, kenapa nanyain pendapatku coba?
“ya ntu lu uda tau”
“tapi gua kasihan ke Nia kalau gua nolak dia”.
“ya uda terima dia”
“tapi gua kaga suka suka banget ma Nia”. Aku geram, mengambil bantal guling di sisiku langsung kupukulkan tepat di wajah Reno.
“you suck!!”, teriakku. Tapi sepertinya Reno kaga terima, dia segera membalas perlakuanku. Dan pertarungan bantal pun di mulai. Lama juga aku dan Reno kaga duel bantal kayak gini. Uda berapa bulan ya kaga duel bantal? Ketahuan kekanakannya. Wew.
“Ardhinansa Adiatama, Moreno Adiatama”. See? Kalian tau pemilik suara ini? Ibuku.
“Reno yang mulai dulu bu!”, kataku lantang.
Bang Nansa bu!”, Reno tak kalah kenceng teriaknya. Pintu kamarku dibuka, lalu aku dan Reno mendadak diam. Tatapan milik ibuku sepertinya cukup efisien untuk membungkam kelakuan kekanakanku dan Reno.begitu ibuku keluar, aku langsung memeluk Reno.
“thank you brada”, Reno berusaha melepaskan pelukanku.
“apaan sih bang?”
“gak papa”, kataku sambil tersenyum. Sedikit banyak aku tau, masih ada Reno, ibuku dan oya Rafky. Masih ada orang yang menyayangiku. So, move on Nansa!!
***


Kali ini aku tidak nebeng Rafky, tapi dia sengaja menjemputku. Menunggu dengan manis di depan teras, tersenyum penuh rahasia dengan Reno (untuk yang satu ini aku harus menyelidikinya, siapa tau Reno ngomong macem macem seperti dulu yang pernah kejadian dengan Andi) dan mencium tangan ibuku dengan sopan. Perfect, calon menantu ideal. Hahaha, seandainya saja bisa seperti itu. Lagi lagi hanya seandainya.
Di sekolah Andi berusaha untuk berbicara denganku dan aku berusaha menghindar. Di tambah Rika yang selalu melekat erat di sampingnya membuat Andi semakin tak punya kesempatan untuk berbicara empat mata denganku, tapi aku tak peduli. Aku masih marah dan rasanya ingin mencincang Rika.Tapi setelah aku pikir pikir, Rika matipun belum berarti masalah selesai. Yang ada nantinya aku mendapatkan satu tiket ekspres gratis sauna ke neraka plus liburan gratis menginap di hotel prodeo. Tidak, aku masih waras.
“ntar temenin gua bentar ya?”, kata Rafky saat pergantian jam pelajaran terakhir.
“kemana?”
“latihan basket”, kata Rafky singkat.
“sip”, jawabku sambil memberikan Rafky senyum termanisku. Pelajaran terakhir berlangsung alot. Banyak siswa yang sudah lebih memilih alam mimpi daripada mendengarkan pak Edi yang sedang menerangkan tentang masalah jaringan bla bla bla. Termasuk Rafky, anak ini sudah terlelap dari 30 menit sejak pak Edi masuk ke dalam kelas. Aku tengah melukis wajah Rafky yang sedang tidur dengan pensil. Sama sekali tak menyadari pak Edi yang berjalan ke mejaku.
“Nansa, bagus sekali catatanmu”, kata pak Edi sambil tangannya menjewer telinga Rafky. Mata Rafky terbuka dengan wajah kebingungan khas orang bangun tidur. Bahkan wajah setampan Rafky pun akan sedikit berkurang saat dia ber ekspresi seperti ini. Dan aku gelagapan, masalahnya di gambarku Rafky terlihat sensual sekali. Shit!!
“nanti sepulang sekolah kalian berdua temui saya”. Damn it!!

Tbc. . .




Ardhinansa

Selasa, 23 April 2013

CERITAKU 8


CERITAKU 8




“habis dari kamar kecil tadi”, kata Andi sambil menutup resletingnya dengan cengengesan. Aku berpikir sejenak, letak kamar kecil lumayan jauh dari kelas. Yang dekat justru yang melewati tempat parkir. Kenapa kaga ke kamar kecil yang dekat tempat parkir aja? Lalu wajah bersemu merah Rika tadi? Oh Tuhan, ada apa dengan otakku hari ini? Apa yang aku pikirkan sih? Tapi sedikit curiga boleh kan? Kalau misal tadi Rika sedang mengoral Andi? 15 menit?  Cukup kan? Maaf karena sebenarnya aku belom pernah di oral jadi kaga tau waktu efisiennya.
“woey?! Kok bengong?”, kata Andi sambil menepuk bahuku pelan.
“gak papa kok”, aku agak merunduk.
“aku kaga jadi pulang bareng”, tambahku kemudian. Andi agak kaget.
“kenapa?”, tanya Andi.
“aku ada acara mendadak”, lagi lagi aku berkata masih dengan menundukkan kepala.
“acara apaan sih? Aku boleh ikut kan? Aku pengen nemenin kamu”, aku merasa iba.Tapi entah kenapa aku tidak bisa bersama Andi untuk saat ini. Hanya gara gara resleting Andi terbuka dan wajah mesum Rika? What happen with me? Tapi sekuat apapun aku berusaha mengangkat kepalaku dan menatap Andi, aku tidak bisa. Perasaanku lemah.
“aku bisa pulang sendiri nanti An”, kataku tertahan.
“aku bener bener kaga bisa ikut?”, Andi masih memohon.Aku berpikir sejenak.
“nanti kamu bisa jemput”, kataku akhirnya.
“owh, beres deh kalau gitu. Nan?”, Andi memanggilku sangat lembut.
“apa?”, aku menjawab. Masih dengan kepala tertunduk.Tapi kemudian jari jari kokoh namun lentik itu mengangkat daguku.
“aku sayang kamu. Jangan tinggalin aku”, kata Andi kemudian. Jujur rasanya aku ingin memeluknya. Melabuhkan kepalaku di dadanya, merasakan dekapanya. Namun keinginan itu aku tahan kuat. Ini di parkiran dan masih banyak orang. Aku hanya bisa tersenyum.
“aku juga sayang kamu”, kataku sedikit pelan takut terdengar orang orang di sekeliling kami. Andi tersenyum, senyum yang sama ketika Andi menembakku dulu. Senyum yang sama yang telah membuat aku jatuh hati.
“nanti sms ya?”, kata Andi sambil mengacak acak rambutku.
“iya”
Aku melihat Andi menstater motornya dan berlalu dari tempat parkir. Masih menikmati punggungnya, mengagumi sosoknya. Kekasihku. Namun aku tak lama lama berada di tempat parkir, aku segera melangkahkan kakiku menyusuri koridor kelas. Aku menuju ruang seni. Ini bukan hari Jum’at  dan Sabtu jadi otomatis ruang seni kosong. Aku mengeluarkan kunci duplikat ruang seni dari tasku, kunci yang dulu dipercayakan oleh pak Jatmiko untuk di pegang olehku.
Disinilah aku terisak. Aku benar benar terisak, entah apa pemicunya. Atau mungkin aku menangis tanpa sebab? Aku tak tau, aku hanya ingin menangis. Hanya ingin menangis. Salahkah jika pria ingin menangis? Tanpa aku sadari ada seseorang di sampingku, aku masih menelusupkan wajahku di kedua tanganku dan sesenggukan di sana sehingga tidak tau persis siapa yang datang. Dan lagi, aku terlalu malu untuk mendongakkan kepalaku dan melihat wajah orang di sampingku. Setelah Aku merasakan orang itu telah berlalu, aku baru berani mengangkat wajahku. Mengusap bekas air mataku dengan kaosku dan merasa malu sendiri telah menangis sesenggukan tadi. Padahal sebelum pulang tadi aku baik baik saja. Lalu aku melihatnya, melihat kertas itu. Karena penasaran aku mengangkat kertas itu dan membacanya.



“NANSA, AKU SELALU MEMPERHATIKANMU. HANYA AKU TAK TAU CARA PALING PAS UNTUK MULAI MENGOBROL DENGANMU. AKU TERLALU MALU”


Aku agak tertegun membaca pesan itu. Siapakah? Kenapakah? Dan aku meyesalinya, menyesal karena tidak mengangkat wajahku saat orang itu datang. Bodoh! Bodoh! Tapi toh kalo aku mengangkat wajah tadi pasti jelek banget. Di saat aku merutuki diriku sendiri karena ketololanku sehingga tidak bisa melihat orang-yang-merasa-malu-untuk-mulai-mengobrol-denganku itu, Hpku bergetar.

“halo, kenapa An?”
“hei sayang. Uda boleh jemput belum?”. Suara Andi. Dan lagi lagi aku menyesal telah menangis meraung tadi. Untuk apa aku menangis tadi jika pacarku seromantis ini?
“sudah, aku lagi mau keluar gerbang sekolah”
“sip! Kalau gitu aku otw ke sana”
“oke, aku tunggu,” jeda sesaat, karena Andi hanya diam di ujung telepon sana.
“An?”, tanyaku akhirnya karena Andi tak juga berbicara.
“iya. Aku masih di sini ko. Boleh minta sesuatu kaga yank?”
“minta apaan?”
“minta sun”, kata Andi. Wajahku memerah, walau aku tau Andi tak melihatku.
“aku malu”, jawabku pelan.
“kalau gitu nanti langsung aja. Muuuuuach, ni aku cicil”, kata Andi sambil mematikan sambungan teleponnya. Aku hanya tersenyum sendiri. Gila kali aku ya? Tadi nangis sendiri sekarang senyum sendiri lagi, buset dah siap siap priksa aja nih.
Aku melangkah keluar dari ruang seni dan tak lupa menguncinya kembali. Kertas misterius tadi aku simpan dalam sakuku. Dengan gontai aku melangkah menuju gerbang sekolah. Aku celingukan mencari Andi, namun batang hidungnya tak tampak. Motor maticnya belum kelihatan. Saat aku masih berdiri di depan gerbang, sebuah mobil new Honda jazz menepi. Aku tak begitu menghiraukan kedatangan mobil itu, namun begitu sang pengemudi turun aku hanya ternganga.
“Andi?”
“iya lha! Siapa lagi? Yok masuk!”, masih dengan terkejut aku pasrah saja saat Andi membukakan pintu belakang untukku. Maklum aku hampir tak pernah lihat Andi membawa mobil. Karena masih terkejut juga aku tidak bertanya kenapa aku harus duduk di kursi belakang.Tapi pertanyaan itu terjawab saat aku sudah masuk ke dalam mobil. Kursi depan sudah di tempati oleh RIKA ANGGRAENI. Why? Kenapa harus ada dia? Tak perlu Andi menjemputku dengan mobil jika ada ‘bedebah’ ini di dalamnya. Dan sepertinya Andi tau apa yang di dalam pikiranku sehingga Andi berkata dengan santai. DENGAN SANTAI!!!
“Rika mau tau sedikit tentang kota ini Nan. Kaga masalah kan kalo kita ajak jalan jalan sedikit?”, aku hanya tersenyum. Padahal dalam hati dongkol setengah mati. Kalau mau mengajak ‘bedebah’ jalan jalan kenapa ngajakin aku coba? Kenapa aku bisa sebenci ini dengan Rika? Tau ah, mungkin feeling aja.
Dan di sinilah aku sekarang, mirip kambing congek. Rika menggelayut manja di tangan Andi dan Andi sepertinya tidak berniat melepaskan gelendotan si manja Rika. Aku berjalan di belakang mereka sambil meratapi nasibku sendiri. Sambil sibuk menghitung hari kapan aku lulus sekolah nanti karena saking betenya kaga di ajak ngobrol dari tadi.
Akhirnya pulang juga. Andi mengantarkan Rika lebih dulu dan sekarang hanya ada aku dan Andi di dalam mobil. Aku hanya menanggapi sekenanya apa yang di ucapkan oleh Andi. Perasaanku kaga stabil. Dan rasanya aku ingin marah.
“turunin aku di depan situ aja”, kataku akhirnya
“kaga masuk aja? Masih ada satu gang lagi kan?”, tanya Andi
“kaga usah, aku mau mampir dulu ke rumah temenku”
“bener ni gak papa?”
“iya, gak papa”. Andi hampir mencium bibirku seandainya aku tidak dengan sengaja menghindarinya.
“kenapa?”, tanya Andi. Aku tak menjawab dan berniat turun dari mobil, namun tangan Andi memegang lenganku.
“aku tanya kenapa?!”, Andi bertanya dengan sedikit menaikkan intonasinya.
“kenapa apanya?”, tanyaku pura pura bego.
“kamu menghindari ciumanku?”
“aku kaga menghindar ko”
“kalo begitu . . .”, Andi berkata sambil mendekatkan bibirnya ke bibirku. Aku langsung melengos.
“kenapa sih sayang? Lagi sariawan?”. Kalo aku sedang tidak dalam kondisi marah besar, mungkin aku akan tertawa mendengar ucapan Andi barusan.
“belum siap”, jawabku singkat. Lalu mungkin Andi menyadarinya, sifat ketusku dari tadi.
“kamu marah”. Itu peryataan bukan pertanyaan. Dan aku hanya diam.
“kenapa kamu marah?”, Andi bertanya sekarang.
“kamu tau? Kaga ada orang yang tertawa lebar di dunia ini saat pacarnya mesra dengan orang lain di depan matanya sendiri!!”, aku berusaha menjawab tenang tanpa emosi. Namun aku gagal.
“kamu cemburu?”, Andi kembali bertanya
“kamu pikir?! Salah kalo aku cemburu? Salah kalo aku merasa seperti kambing congek dengan pacarku sendiri? Salah kalo aku merasa di acuhkan sepanjang tadi?”, aku benar benar emosi sekarang. Sudah hampir menangis. Lagi. Tapi aku tahan. Aku tak ingin menagis di depan Andi. Tidak untuk kali ini.
“kamu histeris kaya cewe”, perkataan dari Andi ini sukses membuatku terluka. Aku membuka pintu mobil dan Andi diam tak mencegahku. Aku Berlari lari kecil menuju rumahku. Saat sudah sampai di rumah aku langsung menuju kamarku, berbaring dan menangis. Menangis hingga aku terlelap.
***


Aku malas berangkat sekolah, tapi ibuku sepertinya sedang tidak mau toleransi denganku. Akhirnya dengan malas aku melangkah ke depan gang. Sengaja aku berangkat siangan agar terlambat. Lalu motor itu, motor yang sama yang kemarin menebengiku berangkat sekolah. Kali ini dia membuka helmnya,
“naik”, katanya jutek. Agaknya aku sudah mulai terbiasa dengan nada juteknya ini.
“kaga. Makasih”
“naek”, kali ini intonasi itu naik 2 oktaf
“kaga”
“naik”, Rafky hampir berteriak. Dan aku merasa kurang nyaman karena orang orang di sekitar kami mulai memperhatikan kami dengan wajah penasaran. Akhirnya dengan terpaksa aku naik ke belakang jok motornya. Namun Rafky tidak membawaku ke sekolah. Walaupun aku sedang galau, tapi aku masih waras untuk tau jalan ke sekolah tanpa tersesat. Tapi aku hanya diam. Terlalu malas untuk berdebat.
Rafky akhirnya berhenti dan samar samar aku mengenali tempat ini, sebuah pemakaman umum yang cukup elit di tempatku. Setelah menyapa petugas penjaga makam, Rafky berjalan dengan gontai menuju salah satu makam yang agak jauh dari jalan besar.Terpaksa aku mengikutinya, aku tidak mau di tinggal di sini sendirian seperti gembel. Karena bayangkan saja, rambutku terkena angin (aku tidak pake helm), mataku bengkak (karena menangis semalaman dan merutuki diriku sendiri betapa cengengnya aku) dan wajahku kusut. Jadi berdiri sendiri di sini, di depan makam dengan penampilanku saat ini sudah pasti membuat satpol pp bernafsu ingin meringkusku.

MELISSA LIDYA NINGRUM

Nama itu yang sempat aku baca pada nisan yang sedang di beri bunga oleh Rafky. Aku menduga itu adalah ibunya Rafky, Andi pernah cerita. Oh, Tuhan aku baru saja menyebutkan nama pria tak berperasaan itu.
“ini mamaku”, kata itu terucap dari bibir Rafky. Dan aku tak tau harus merespon seperti apa. Sepertinya tak etis jika aku mengucapkan :
“owh”, lebih tak patut lagi jika aku berbicara :
“penting ya? Masalah buat gua?”.Itu sangat tidak etis. Jadi lebih baik aku diam, karena jujur tak ada kata yang terlintas dalam benakku. Rafky juga diam. Tak beberapa lama kemudian Rafky berdiri, menatapku sesaat dan berlalu menuju motornya.
“dengan keadaan lu yang begini, lu kaga pantes ke sekolah”, kata Rafky begitu aku berhasil menyusul langkah langkah panjangnya. Aku hanya diam.
“kaga punya mulut lu ya?”, kali ini sepertinya Rafky ngajak berantem. Tapi kali ini aku masih tetap diam. Entah kenapa aku sedang malas berbicara. Namun Rafky sepertinya memang sedang ingin menyulut emosiku, dia menstater motornya dan melaju begitu saja tanpaku. Sekian detik aku hanya termangu, namun satu menit kemudian aku sudah sukses memaki makinya.
“bastard!! Anjing!! Balik lu kalo berani!! Cemen amat lu ninggalin gua!!”, aku masih sibuk mengeluarkan kosakata yang aku pelajari dari kebun binatang saat ada motor di belakangku yang hampir menabrak kakiku.
“gitu dong. Dari tadi diem aja”. Aku menoleh ke belakang dan langsung naik pitam. Aku menonjok lengannya walau tak serius. Rafky hanya meringis.
“ayo pukul lagi. Kalau lu bisa ketawa lagi kayak biasanya, bisa memaki gua kayak biasanya”. Kata Rafky santai.
“Gua uda cukup diam selama ini, karena gua berharap lu akan tetap menyukai gua. Masih setia mengagumi gua. Gua pengen ngalahin prestasi lu dulu di kelas baru gua punya nyali buat deketin lu. Tapi melihat lu deket ma Andi gua kaga rela. Gua cemburu”.Kata kata yang di ucapkan Rafky dengan nada serius itu sempat membungkamku. Aku kembali diam. Tapi kemudian aku berpikir, ini anak kepedean amat yak? Lagian yakin amat kalau cintanya bakal aku terima. Oya, yang lebih mendasar yakin amat kalau aku gay.
“kata siapa gua mengagumi lu?”
“orang bego juga tau kalau lu suka ma gua. Tiap ketemu kepala lu meleng trus ke gua”.Rasanya aku pengen nyumpal mulut Rafky pake sempak ku yang uda 3 hari kaga di cuci. Wew, baunya kayak apa ya?
“terlambat Raf, gua bukan jomblo lagi”, ada nada sesal dalam suaraku.
“gua kaga peduli. Gua akan rebut lu dari Andi”. Aku menonjok lengannya lagi. Kali ini serius.
“gua bukan barang!”
“iya gua tau. Naek gih. Ato mau gua tinggal di sini?”. Aku terpaksa naik. Karena tidak ada kendaraan umum yang melewati kompleks  pemakaman  ini. Rafky membawa motornya tidak terlalu kenceng dan entah karena aku semalaman kurang tidur atau apa, aku tertidur. Ya! Bener banget! Aku tertidur di atas motor Rafky.
Entah jam berapa itu mataku terbuka, lalu aku melihat pemandangan indah itu. Rafky. Sedang ganti baju, hanya memakai celana dalam saja. Aku kembali pura pura masih tertidur. Kapan lagi coba kesempatan ini datang? Oke, aku memang masih pacarnya Andi, tapi sedikit mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini tidak salah kan? Jujur, Rafky memang memiliki tubuh yang lebih ‘matang’ ketimbang Andi. Ini penilaianku secara objektif. Tapi kenapa kaga dari dulu dia nembak aku? Kenapa harus sekarang? Saat aku sudah jadi milik Andi?
Rafky sudah selesai ganti baju dan sekarang dia duduk di sisi ranjang, tanga kanannya membelai rambutku. Aku tak tau harus berbuat apa. Rasanya damai sekali. Kemudian aku pura pura menggeliat dan membuka mataku.
“Raf?”
“ya?”
“dimana?”, aku bertanya seperti layaknya orang linglung.
“lu di kamar gua”
“kenapa?”
“ye, orang lu molor di atas motor. Mana lu ngiler lagi”.Aku jadi malu sendiri. Bener kaga aku ngiler tadi?
“boong banget lu. Seumur umur gua kaga pernah ngiler!”, kataku sewot. Rafky lalu berdiri dan berjalan menuju gantungan baju.
“ini apaan?”, tanya Rafky sambil memperlihatkan baju seragam miliknya bagian punggung. Dan memang ada sebentuk pulau tak jelas di sana.
“air mata kali”, jawabku masih berusaha ngeles.
“owh, kaga bisa. Jelas jelas ini iler lu!!”
“ya uda. Masalah buat lu?”
“jelas masalah lha. Ini mah sama aja lu uda menjatuhkan martabat gua”
“halah, bahasa lu ketinggian! Sini gua cuciin. Repot amat sih!”
“kaga usah. Mau gua simpen soalnya”. Aku hanya bisa termangu. Hha? Mau di simpen? Uda sarap kali ya ni anak? Baju kena iler gitu di simpen. Kurang kerjaan banget. Nyimpen tu nyimpen duit kek, komik kek ato nyimpen cowo cowo cakep. Wkwkwk
“mau pulang kapan?”, tanya Rafky. Entah kenapa aku merasa tembok yang selama ini membentang antara aku dan Rafky seperti perlahan lahan runtuh.
“ngusir gua lu?”
“ye kaga ngusir. Cuma nanya doang juga”
“jam berapa sekarang Raf?”
“jam 7”
“hha? Serius lu?”, tanyaku seakan akan tak percaya.
“kaga, gua becanda. Ya serius lha”
“aduh, gua pulang sekarang deh”, kataku sambil turun dari ranjang.
“tas gua mana?”, tanyaku sewot.
“tu di atas meja. Yok gua anter”. Rafky berjalan dulu ke halaman teras rumahnya. Selang 5 menit kemudian aku baru nyusul setelah cuci muka tadi. Aku tengah berinisiatif mengagetkan Rafky ketika sebuah motor matic memasuki halaman. Aku terpaku, itu Andi dan Rika. Semudah itukah Andi membuangku? Andi juga sepertinya kaget.
“whoey!! Ayo, ngalamun mulu kerjaan lu!!”, Rafky berbicara. Kayaknya dia kaga sadar sama atsmofir yang kurang enak di halaman teras ini. Ato pura pura kaga sadar?
“bentar Ri, gua mau ngomong ma Nansa. Rik, kamu masuk dulu aja ya?”, Andi berbicara sambil menggandengku ke halaman bagian samping. Rika langsung masuk. Rafky tetep berdiri di samping motornya.
“apa yang kamu lakuin sama Rafky?”, tanya Andi dengan nada kesal.
“kamu sendiri? Kita belum putus, tapi kamu uda gandeng cewe”
“jawab dulu pertanyaanku!! Lagian, mama emang pengen ketemu Rika!! Aku Cuma jemput aja kok”
“owh”, jawabku singkat.
“jawab pertanyaanku!”, Andi masih mengejar jawaban dari mulutku ternyata. Aku melirik Rafky sekilas, dia masih stay manis di samping motornya.
“aku Cuma main sama Rafky”, aku menjawab santai.
“main?! Ngobrol aja kalian hampir kaga pernah!!”
“ya trus? Apa salahnya kalau aku sekarang pengen temenan ma Rafky? Masalah buat kamu ya?”
“aku sayang kamu, tau kan? Aku cemburu”
“menurut kamu aku nggak? Tapi apa aku bisa tahan kalau kamu juga memperlakukan Rika sama persis seperti kamu memperlakukan aku!!”
“woey! Aku ma Rika Cuma temen!”, Andi berkata sambil memelukku. Dan secara perlahan aku melepaskan pelukannya.
“sepertinya kamu harus menata perasaan kamu dulu An. Antara aku dan Rika, pacar kamu yang sekarang dan pacar kamu yang dulu. Aku kasih kamu waktu”.Andi terlihat gelisah.
“kita putus?”, tanya Andi dengan wajah khawatir.
“siapa bilang? Aku hanya memberi kamu waktu. Saat kamu uda bisa mutusin, kamu bisa bilang ke aku”
“berapa lama waktu yang kamu kasih?”
“tak terbatas, tapi aku harap secepatnya. Karena aku tak yakin jika suatu saat kamu datang padaku nanti hatiku masih untuk kamu”. Aku berkata sambil meninggalkan Andi termangu di sana.
“anterin gua, hampir jam 8”
“salah lu sendiri kali. Yok naik”, kata Rafky. Di atas motor aku hanya termenung. Walaupun sekilas, tadi aku melihat Rika memeluk pinggang Andi dengan erat. Bahkan tangannya berada tepat di atas kejantanan Andi. Apa Andi pikir aku buta? Bahkan aku sendiri belum pernah memegangnya!!
Seharusnya aku tak pantas memberi pilihan pada Andi. Rika wanita, sedangkan aku pria. Pilihan yang jelas jelas tak berimbang. Tapi aku sudah memikirkanya. Jika suatu saat aku akan benar benar kehilangan Andi. Kembali air mataku menetes dalam diamku.
Tbc. . .