FOLLOW ME

Rabu, 30 April 2014

BARISTA 3

Chapter 3

Gani Pov
Di hari Minggu yang lumayan cerah ini, cuaca yang sangat jarang terjadi di musim hujan begini. Aku menghabiskan waktuku keliling Mall. Sebenarnya, aku hanya ingin mampir ke Gramedia. Ada buku yang harus aku beli. Eem, komik sih sebenarnya. Sendirian.
Beno ke gereja, Radit? Aku yakin dia dan Risky masih terbaring di atas ranjang. Denny? Aku tidak mungkin terus-terusan merepotkannya. Maksutku, kita sudah menjadi mantan. Apalagi, Denny sepertinya masih punya feeling untukku. Jadi ya, aku tidak ingin dibilang memberi harapan palsu.
Aku keliling sebentar sebelum akhirnya masuk Gramedia. Dua telingaku tersumpal headset. Yah, ini memang kebiasaanku kalau sedang berpergian sendirian. Tidak ada teman yang bakalan diajak mengobrol, jadi? Mending dengerin musik saja.
Tanganku tepat akan meraih komik one piece yang ke 69, maksutku komik One Piece seri 69, ketika tangan lain juga akan mengambil komik itu. Tangan kita saling bersentuhan sedikit. Oke, fine! Ini mirip kejadian di ftv menyeh-menyeh begitu. Waktu seakan terhenti, lalu aku menoleh secara slow motion lalu ada bling-bling di wajahku ala bintang iklan ponds. Maafkan aku.
Hanya saja kejadiannya memang begitu. Minus slow motion dan bling-bling pastinya. Atau rambut tergerai ala Sandra Dewi di iklan clear.
“Ambil aja,” Denny. Ya, kebetulan gak kebetulan yang mungkin ala ftv menyeh-menyeh itu tadi.
“Thanks, tapi dibelakang masih banyak kok. Jadi kamu gak perlu cari ke toko lain.” Denny tersenyum sebelum akhirnya mengambil komik itu juga. Kebetulan komik one piece nya memang masih banyak.
“Sendirian? Beno mana?”
“Ya, Beno ke gereja. Kamu? Sendirian juga?” Denny mengangguk pelan. Dulu aku pernah bilang kan kalau Denny itu cool? Yah, dia memang cool.
“Habis ini mau kemana?” Aku menggeleng pelan.
“Gak ada, paling pulang terus ngerjain PR terus bobo.”
“Kamu? Ngerjain PR?” Denny bertanya dengan nada tak percaya. Seolah-olah. . . Ini penghinaan. Semalas itukah aku, hingga mengerjakan PR di rumah begitu tabu untukku?
“Don’t be a jerk.”
“Sorry, but kita bisa kok ngerjain PR bareng. Tapi sebelum itu nonton dulu yuk?”
“Emang ada film bagus?”
“Captain America bagus kok. Kata Tantra sih bagus. Aku lihat review nya juga lumayan oke.” Aku menimbang-nimbang sesaat. Minggu ini aku memang free. Maksutku, aku tidak ada janji dengan Beno buat ngedate or something. Dengan Radit pun tidak ada. Aku yakin di otak Radit namaku pun bahkan tidak ada untuk hari ini, so?
“Oke. Emang uda beli tiketnya? Biasanya full kan kalau film-film kek gini.”
“Tenang, pasti dapet kok.”
Aku dan Denny langsung naik ke lantai atas. Jadi inget pas dulu aku dan dia masih pacaran. Entah, aku bahkan tidak yakin kita masih bisa jalan bareng seperti ini setelah dulu kita pernah saling benci sesaat. Aku juga tidak begitu kaget melihat mbak-mbak Cineplex yang agak terlalu ‘ramah’ melayani Denny. Haah, Denny dan Beno memang memiliki beberapa kesamaan. Ganteng dan popular.
Hanya saja mereka berbeda. Beno hangat, Denny dingin. Di sekolah, penggemar Beno jauh lebih banyak. Dia selalu up to date soal style. Tau mana yang bagus di tubuhnya dan mana yang bakalan kelihatan jelek di tubuhnya. Dia selalu tampil hampir sempurna di semua kondisi. Sekolah, rumah, hang out, intinya Beno enggak pernah terlihat enggak keren dimanapun dia berada.
Denny? Penggemarnya juga sebenarnya tidak kalah banyak dengan Beno. Hanya saja tidak blak-blakan. Denny cuek, dalam hal penampilan ataupun etika. Bukan berarti dia suka membolos atau bagaimana, dia hanya terlihat seperti bad boy. Padahal tidak. Aku tahu dia penyayang, aku tahu dia orangnya tidak tegaan, aku tahu dia kadang menyepelekan kebahagiaannya sendiri. Hmm, karena itu juga aku putus dengannya. Kadang aku menyesal, tapi kadang tidak. Beno dan Denny sebenarnya tidak pantas untukku. Apa yang bisa dibanggakan dariku kecuali wajah yang manis? Tak ada. Aku enggak manly, enggak smart, enggak kaya-kaya banget.
Lamunanku buyar begitu melihat Denny membawa dua bungkus popcorn dan dua gelas minuman.
“Masuk yuk, uda mau dimulai tuh filmnya.” Aku mengangguk sambil tersenyum ringan dan mengambil satu gelas minuman dari tangan Denny. Penyesalanku putus dengannya semakin besar. Jujur, aku masih menyayanginya. Beno, maafkan aku.
Kita dapat tempat duduk yang lumayan strategis. Filmnya memang bagus. Pantas saja jika film ini menjadi box office di beberapa negara.
“Kamu mau langsung pulang atau ke rumahku? Kita bisa ngerjain PR bareng.” Seharusnya aku bisa bilang tidak. Seharusnya, aku bisa memperkecil kemungkinan cinta yang semakin tumbuh lagi setelah beberapa waktu yang lalu layu.
“Oke, boleh.” Aku memang bodoh!!
***

“Kamar kamu gak berubah Den.” Kataku begitu masuk ke kamar Denny. Disini, kenanganku dan Denny juga banyak. Di meja belajarnya juga masih ada fotoku bersama dia waktu dulu. Aku semakin pahit menelan ludah.
“Malas aja mau ngerubah-rubahnya. Lagian yang dulu desain ini kan kamu.” Aku tersenyum masam. Memang aku, aku yang mengusulkan wallpaper dinding bergambar one piece. Komik kesukaan kita berdua, bertiga sih sebenarnya karena Radit juga suka one piece.
Kita bahkan sampai memesan karena gambar one piece jarang ditemukan. Aku juga yang mengatur letak almari, tempat tidur dan meja belajar. Cover bed yang aku pilih  juga ternyata masih Denny pakai.
“Jujur aku masih sayang kamu Gan. Tapi, aku gak ingin memaksakan kehendak aku lagi. Aku tahu kamu bahagia sama Beno.” See? Dia memang selalu begitu. Selalu lebih mementingkan kebahagian orang lain daripada dirinya sendiri. Dulu karena dia ingin Felix bahagia, dia juga mengorbankan perasaannya sendiri. Hingga kita berdua putus.
Aku tersenyum dan mengambil fotoku berdua dengan Denny yang diletakkan di meja belajar. Aku tersenyum mengingat kenangan-kenangan itu.
“Do you remember?” Aku mengangguk.
“Gan? Kamu masih sayang sama aku?” Aku berpaling dan menghadap Denny. Wajahnya sendu, matanya penuh harap. Seharusnya, tanpa bicara pun Denny sudah tahu perasaanku jika melihat mataku.
“Aku gak bisa Den, aku ada Beno. Dan aku juga sayang sama dia. Aku gak bisa.” Denny memelukku.
“Aku tahu, aku tahu. Dan aku ngerti.”
***

Beno Pov
“Tumben lo gak sama Gani Ben?” Tantra yang baru saja selesai bilas menghampiriku yang masih duduk-duduk di lobby. Aku dan dia baru saja selesai nge gym bareng. Entahlah sejak kapan aku mulai ingin terlihat seksi, kekar dan dewasa. Aku iri pada Denny, dia terlihat seksi tanpa harus dia berusaha keras. Dan aku mengkhawatirkan Ganiku.
Selama ini Gani memang tidak ada tanda-tanda akan selingkuh atau bahkan balikkan lagi sama Denny, tapi aku tahu pasti Gani masih menyayangi Denny.
“Dia ada acara, tumben lo nanyain Gani? Kangen? Baru juga Sabtu kemaren lo ketemu.” Aku bertanya balik.
“Kampret lo! Dia kan manis Ben! Bikin kangen emang.” Deg. Aku mencoba mengontrol perasaan asing yang mulai merebak.
“Jangan bilang lo naksir dia?” Tanyaku mulai was was.
“Kaga Ben, gua masih doyan cewek kali, yuk cabut yuk ah!” Aku menghela nafas sebentar sebelum akhirnya keluar dari tempat gym. Satu hal yang paling aku benci dari sifat Gani adalah dia tidak sadar dengan pesona dirinya sendiri. Senyumnya, cemberutnya itu magnet bagi laki-laki. Bahkan laki-laki straight  sekalipun. Buktinya Ian, Tantra dan anak-anak belakang lainnya memperlakukan Gani secara spesial. Aku kadang cemburu. Dan Gani sama sekali tidak pernah sadar.
“Bro, lo oke kan? Gak lagi kesurupan?” Tantra menepuk bahuku dari samping.
“Sialan lo?! Gua cuman lagi mikir bego!”
“Mikir atau galau lo? Kelamaan ngejomblo sih lo! Tuh si Ribka, Sella, kan cantik-cantik! Perhatian lagi sama lo, lo gak tertarik gitu?”
“Gua lagi males pacaran Tan,”
“Jangan-jangan bener lagi lo ada apa-apa sama Gani ya? Hayo? Ngaku lo?” Aku menjitak kepala Tantra. Cukup membuatnya sedikit meringis.
“Ngadep depan kalau lagi nyetir tuh!”
“Ciye ngambeg, kalau lo gak ada apa-apa sama Gani, boleh dong gua deketin Gani? Heh?”
“Mau mati lo?” Kataku spontan.
“Tuh kan. Ciye,” Aku langsung terdiam. Entahlah, aku sama sekali tidak bisa konsen. Kangen Gani.
“Thanks ya Tan!” Kataku begitu sampai di depan sebuah butik. Butik milik Mamaku
“Yakin gak mau gua tungguin Ben? Banyak tante girang lho didalem.”
“Yaelah, kan ada nyokap gua! Masak iya nyokap gua tega gua jadi santapan tante girang?”
“Oke lah, gua cabut duluan bro!” Aku mengangkat tanganku. Setelah mobil Tantra tidak terlihat, baru aku masuk kedalam butik. Sebenarnya males gila aku harus menemani mamaku, tapi ya itu ancamannya uang jajannya bakal dikurangi. Curang banget kan? Licik!
“Uda selese Ma?” Aku yang sudah agak hapal dengan letak butik ini langsung menuju tempat Mamaku menghabiskan sebagian waktunya. Yah, sejak aku dan Mas Yoga sudah beranjak gede, Mama mutusin buat mencari kesibukkan lain. Dan, viola butik inilah kesibukkan Mama sekarang.
“Sebentar lagi sayang.”
“Come on, ini Minggu lho Ma.” Aku sebenarnya sore ini mau ngapelin Gani. Uda kangen banget.
“Iya, bentar lagi kok. Daripada bawel kamu kasih pesanan ini ke tamu yang nunggu di depan tuh.”
“Males ah.” Jawabku langsung. Super males.
“Eh, eh, eh, kamu mau uang jajan kamu Mama kurangi? Ayo ah, uda ganteng gitu harus nurut sama Mama.” Tu kan? Tu kan? Andelannya motong uang jajan. Lebay nih Mama.
Dengan agak bersungut-sungut aku mengambil satu kantong plastik cukup besar. Masih agak kurang ikhlas aku menemui tamu yang sedang menunggu di depan. Kok tadi aku kayak enggak lihat ya?
“Mas, ini pesanan punya mas ya?” Aku berusaha ramah. Yah, bisa dibilang, aku memang berbakat jadi pramuniaga toko. Senyumku maut kalau kata Gani. Tuh kan Gani lagi. Efek kangen nih.
Mas-mas yang aku taksir berusia sekitar 20 tahunan itu menoleh dan bangkit berdiri. Lha kok?
“Beno? Lo ngapain disini?”
“Elo San? Haha, bantuin nyokap. Minggu gini kan pekerjanya pada libur San. Ini bener pesenan lo?”
“He eh, buat seragam baru caffee. Lo jarang main ke caffee sekarang.”
“Males San kalau sendirian. Hahaha.”
“Kan bisa gua temenin ntar.” Eh? Kok aku ngrasa ada yang lain dengan Sandy ya? Apa ya? Lebih sok akrab ke aku?
“Haha, yang ada gua ganggu lo kerja.” Dan obrolan pun berlanjut. Setidaknya mengurangi sedikit kebeteanku.
***

Gani Pov
“Dit, gua mau nanya donk. Serius nih.” Radit yang tengah sibuk menyalin PR yang tadi aku kerjakan bareng Denny langsung mendongak. Actually Denny yang ngerjain. Aku? Aku sibuk main barbie sama Lita. Hahaha.
“Nanya apaan?”
“Kalau misal nih ya, misal lho ya, gua CLBK sama Denny gimana ya? Misal lho ya gua bilang.”
“Ya gak papa.” Aku sedikit terkejut dengan jawaban Radit. Maksutku, aku kira tadi dia akan memarahiku atau memberi wejangan-wejangan ala Mama Dedeh.
“Kok bisa?”
“Ya bisa, lo kan labil banget Gan. Gua uda ngeduga banget kok lo bakal nanya kek gini ke gua. Dari dulu gua juga uda nunggu. Ternyata lebih lama dari perkiraan gua.” Radit menjawab masih sambil sibuk menyalin PR ku.
“Maksut lo lebih lama apaan?”
“Lo itu masih sayang Denny, gua aja tanpa lo bilang pake misal-misal gitu juga gua uda ngeh. Tapi surprised juga sih lo nyadarnya baru sekarang. Setelah hampir empat bulan lo macarin Beno.”
“Gua kan sayang juga sama Beno Dit.” Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang.
“Tapi gak mungkin lo pacarin dua-duanya kan? Lo dulu gegabah sih mutusin Denny.”
“Eh Nek, kalo lihat situasi dulu wajar donk gua mutusin Denny!” Aku seperti tidak terima begitu saja disalahkan begitu.
“Lagian lo kan juga ikut andil pas gua putus sama Denny.”
“Ya udah, trus mau gimana lagi sekarang? Gak mungkin lo mutusin Beno trus balik lagi ke Denny kan?”
“Kayaknya gua bakal pusing nih. Arggggh!!” Aku menjatuhkan diriku ke atas ranjang.
“Uda lah Gan gak usah belagak kayak Bella deh, yang direbutin Edward sama Jacob.” Mendengar perkataan Radit aku langsung meliriknya sengit.
***

Sandy Pov
Aku baru saja beres mandi ketika Bram adikku berlari-lari kecil menghampiriku.
“Kenapa sih lo Bram?”
“Ibu Bang!! Ibu!!”
“Iya, kenapa sama nyokap?”
“Ibu keserempet mobil Bang!” Piring yang tengah aku bawa langsung terlepas begitu saja dari tanganku. Aku terdiam sesaat, entahlah, antara kaget, marah, takut, khawatir yang menjadi satu.
“Bang. . .?”
“Eh, dimana Ibu sekarang Bram?”
“Uda dibawa ke rumah sakit sama Bapak sama Om Rudi.” Aku segera bergegas berganti baju sebelum akhirnya mengajak Bram pergi ke rumah sakit. Mungkin aku berlebihan, karena nyatanya Ibuku tidak apa-apa. Hanya keserempet. Anak yang membawa mobil itu juga ada, aku menatapnya sekilas. Jelas aku marah, tapi masih bisa aku redam. Masih SMA, dan sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi dimana?
“Semua biaya akan saya tanggung Bu, sekali lagi maaf. Saya benar-benar tidak sengaja.”
“Tidak sengaja kata lo?! Untung nyokap gua cuman keserempet, lo pikir bakal selese cuman dengan maaf hah?!” Aku menyahut dengan emosi. Rasanya benar-benar tidak terima.
“Sandy! Ini bukan salah Nak Radit!! Ibu tadi yang sibuk ngobrol dengan Bapak jadi tidak memperhatikan jalan.” Huh, jadi Ibuku malah sudah berkenalan dengan orang yang sudah menabraknya? Bagus sekali!!
***

Gani Pov.
Aku tadi pagi dijemput Denny, oh sudahlah kalian tidak usah bertanya apa alasannya, aku sedang tidak bergairah untuk menjelaskannya, oke? Jadi sewaktu tadi Radit BBM aku bahwa dia menyerempet orang, aku langsung panik. Aku tahu Radit suka ngebut, tapi dia jago nyetir kok. Ah, kalau sedang apes apapun bisa terjadi kan?
Aku dan Beno langsung menuju rumah-sakit-tempat-korban-tabrak-Radit-dirawat. Jujur aku panik. Aku lebih mencemaskan Radit sejujurnya. Walaupun dia nyablak, tapi aku tahu saat ini dia pasti kalut.
“Dit, Lo gak papa?” Aku langsung menghampiri Radit begitu melihatnya. Radit sendiri langsung memelukku dan aku bisa merasakan pundaknya yang bergetar.
“It’s okay Dit, I’m here.”
“Apanya yang oke? Dia nabrak nyokap gua tahu!” Aku mendongakkan kepalaku dan melihat Sandy? Sendy? Cindy? Aku lupa, siapapun itulah namanya. Aku mengedarkan pandanganku dan menemukan Ibu-Ibu paruh baya yang tangan dan kakinya di perban. Namun sepanjang penglihatanku dia baik-baik saja. Aku melepaskan pelukan Radit sebentar, lalu menghampiri ibu-ibu tadi.
“Ibu gak papa? Ada yang sakit Bu? Dokter gimana?”
“Ibu sehat nak, Ibu malah khawatir sama teman kamu. Dia masih syok.” Aku tersenyum lalu bertanya sekedar basa-basi dan memastikan bahwa sang korban bener-bener baik-baik saja dan menganggap masalah ini selesai. Aku juga bertanya pada dokter yang memang mengiyakan bahwa tidak ada luka serius. Hanya lecet dan memar.
“Oke Dit, yuk gua anter lo pulang.” Aku masih mendengar si Sandy? Sendy? Atau Cindy itu mengoceh tidak jelas. Aku tahu mungkin dia kesal atau apa, aku paham. Setelah aku pamit ke Beno aku langsung mengemudikan mobil Radit dengan kecepatan sedang.
“Gua takut Gan, gua takut.”
“Sssst, everything will be fine, everything will be fine Dit.” Aku sendiri ragu mengucapkan hal ini. Bagaimana kalau keluarga korban tidak terima? Lalu mereka melapor ke polisi? Aku tidak bisa membayangkan Radit di penjara, maksutku, he’s my best friend. Hah, semoga semua bakal baik-baik saja. Yah, semoga. . .


To be continued

Selasa, 08 April 2014

BARISTA 2

 Chapter 2

Keesokan paginya aku melihat Beno terlihat berjalan agak pincang. Awalnya sih, aku mau ngambek tapi begitu melihat keadaannya yang jelas menuntut belas kasihan, apalagi aku adalah pacarnya dan orangnya tidak tegaan, aku memutuskan untuk tidak jadi ngambek.
“Kamu kenapa Ben?” Aku membantunya berjalan menuju bangku disebalahku.
“Kemaren motorku jatuh.” Aku mengernyit dalam. Perasaan kemaren aku melihat dia masih baik-baik saja memboncengkan seorang COWOK.
“Malem jatuhnya?”
“Sore abis pulang sekolah,” Kelas masih sepi. Hanya ada aku dan Beno. Yang lainnya sebagian belum datang sebagian lagi berada di kantin, mungkin mereka belum sarapan.
“Bukannya kamu masih baik-baik aja sorenya? Malah bonceng cowok kan?” Gilak, mulutku emang ember jebol beneran. Kata-kata itu meluncur mulus tanpa hambatan.
“Kapan?” Beno malah nanya kayak orang bego.
“Lah kemaren sore? Di perempatan jalan deket warung bakso sambal setan.”
“Kamu sama siapa ke warung baksonya? Denny ya?”
“Gak usah mengalihkan topik pembicaraan Ben, tega banget kamu! Lha katanya mau jemput nyokap nyatanya malah selingkuh.”
“Lha yang selingkuh itu siapa?”
“Lha terus kenapa gak berenti pas kamu lihat aku?”
“Aku gak lihat kamu!” Beno malah terlihat keheranan.
“Lha orang kamu noleh terus lihat aku terus melengos lagi kok.”
“Yang bawa motor itu bukan aku! Kakiku masih sakit, gimana mau bawa motor. Yang bawa itu mas-mas yang nolongin aku.” Kata-kata pembelaan sebenarnya sudah di ujung bibirku minta pelepasan, hanya saja aku urungkan kembali. Manusia memang paling pintar membela diri kan?
“Eh, masa sih?” Aku memang kemarin tidak terlalu memperhatikan sih. Yah kan itu motornya Beno jadi aku kira yang di depan pasti Beno. Lagian itu helm juga yang biasa dipakai Beno.
“Iya! Masih gak percaya? Kita bisa temuin Sandy, cowok yang kemarin nolongin aku.” Aku mengangguk-angguk gaje. Yah, jadi aku cemburu buta gitu?
“Trus sekarang aku nanya, kemaren kamu itu sama siapa ke bakso setannya? Denny kan?”
“Lha salah gitu aku makan bakso sama dia?” Jelas jawabanku seperti anak perawan yang baru kenal jejaka. Polos tak berdosa.
“Denny itu mantan kamu tauk!”
“Emang kalau mantan harus selalu jadi musuh?” Aku duduk disebelahnya dan mulai mengeluarkan buku PR ku. Kemarin aku meminjam buku PR Elliot namun belum sempat aku salin.
“Dia masih sayang sama kamu lho.”
“Yang penting kan sayangku buat kamu bukan buat Denny.” Jawabku santai sambil menyalin PR. Sudah sering Beno mendebatkan hal tidak penting ini. Maksutku, aku sekelas dengan Denny dan aku merasa tidak ada masalah untuk berteman dengannya. Toh, sebelum aku dan dia pacaran kita berteman kan? Jadi apa salahnya kalau kita kembali berteman?
“Aku cemburu.” Aku meletakkan bolpointku dan menoleh ke arah Beno. Dia menunduk dengan rona merah yang menjalar di pipinya. Dia belum pernah mengatakan ‘aku cemburu’ sejelas ini.
“Kalau gitu hal yang sama juga aku rasain ke kamu. Aku juga cemburu kamu selalu ramah sama fans-fans kamu. Bukannya aku gak suka kamu ramah. Tapi kesannya kayak kamu ngasih harapan ke mereka. Dan aku gak suka.” Baru saja Beno akan mengeluarkan kalimat pembelaan, anak-anak yang lain keburu masuk ke kelas.
“Nih Gan, gorengan buat lo.” Radit melemparkan bakwan dan tahu goreng yang terbungkus plastik transparan ke meja ku.
“Thanks. Mau?” Aku menawarkan ke Beno yang langsung dibalas dengan anggukan. Aku merengut. Maksutku, tawaranku tadi hanya basa-basi. Ini gorengan kan cuman dua. Mana kenyang kalau dibagi dua?
“Kalau gak iklas, tadi gak usah nawarin.” Beno gantian merengut. Aku tersenyum simpul sebelum mengambil tahu goreng dan mengangkatnya tepat di depan mulut Beno.
“Aaaa. . .” Tanpa ragu Beno langsung melahap tanpa sisa.
“Eh, buset masih pagi kaleus kalau mau pacaran di kelas!!” Tantra langsung teriak yang bikin aku dan Beno meringis gaje.
“Lo bisa ikutan gabung kok Tan, kita threesome. Buahahha.” Aku langsung menjitak kepala Beno begitu kata-kata itu keluar dari bibirnya.
***

Well, sudah semingguan ini aku terus teringat sama Beno. Entahlah, karena sebelumnya aku belum pernah segila ini memikirkan seseorang. Apalagi dia laki-laki. Gila aja!
“San, kamu sibuk nak?” Aku menggeleng menjawab pertanyaan ibuku.
“Bisa temani adikmu beli sepatu? Kasian dari kemarin adikmu minta Ibu belum sempat belikan.”
“Iya Bu, Sandy mandi dulu kalau gitu.” Aku segera bergegas ke kamar mandi. Hari ini aku memang tidak ada kegiatan. Hari Minggu gitu, kuliah libur aku juga tengah dapet giliran off di caffe. Jadi ya tak apalah menemani Bram –adik ku satu-satunya- beli sepatu. Sekalian refreshing.
“Sepatu lo yang kemaren emang napa Bram?”
“Kan cuman satu Bang! Apalagi ini musim ujan, gak ada gantinya! Repot!” Aku Cuma manggut-manggut. Aku dan Bram masih berputar-putar di Matahari Dept Store. Nyari yang bagus tapi harganya masih bersahabat. Aku tengah menimang-nimang sepatu yang cukup keren dan ingin memperlihatkannya pada Bram ketika mataku menangkap sosok yang selama ini selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Beno.
Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum ringan dan berjalan menghampiriku.
“Hey San, lagi ngapain lo?” dia bertanya sambil menepuk pundakku ringan.
“Nemenin adek gua beli sepatu. Lo sendiri?”
“Baru balik dari gereja, ini lagi nunggu pacar buat ice skatingan bareng. Kalau gitu duluan ya?” Aku mengangguk dengan perasaan merana. Pacar? Jadi Beno sudah punya pacar? San, San! Wake up! Cowok sekeren dan seganteng Beno mana mungkin jomblo! Lagian kalau dia jomblo, belum tentu dia mau sama lo juga kan?
“Bang Sandy, gua mau yang ini? Boleh?” Lamunanku terbuyarkan oleh Bram. Ah, sudahlah biarlah waktu yang menjawab.
Bram terlihat senang dengan sepatu pilihannya. Dia kelihatan tidak sabar untuk mencobanya besok Senin. << ini kalimat seperti kepaksa banget gitu yak nyempil disini? Ah, sudahlah.
“HokBen yuk Bram!”
“HokBen kan mahal Bang,”
“Uda gak papa. Sekali-kali ini. Lagian abang juga baru aja gajian. Yok!” Deg. Saat aku dan Bram akan duduk sambil menunggu pesanan yang sudah kita bayar siap aku melihat dia lagi. Kali ini Beno tidak sendirian. Ada cowok manis disampingnya, cowok yang dulu pernah aku lihat bersama Beno waktu ke caffe. Beno tadi bilang nunggu pacar kan? Ato jangan-jangan?
Aku memperhatikan mereka dengan seksama. Termasuk ketika Beno mengambil tissu dan membersihkan bibir cowok manis di depannya. Sakit rasanya. Entahlah, padahal Beno jelas-jelas bukan pacarku. Yah, dia bukan pacarku. Lalu kenapa hatiku sesakit ini?
***

“Lo kemana aja tadi sama Beno?” Radit bertanya sambil memilih-milih topi berbentuk kepala binatang yang lucu. Jadi, kita lagi milih-milih hadiah untuk kado ulang tahunnya Risky. Pacarnya Radit.
“Ice skating, trus makan trus Beno futsal, gua balik.” Aku mencoba mengenakan topi motif Siberian Husky dan menatap pantulannya di kaca. Lucu!
“Gak nemenin dia futsal lo? Yang ini gimana Gan?” Aku menoleh untuk melihat Radit dan menggeleng pelan.
“Kagak, gua kaga pengen kepala gua kena bola lagi. Lagian, gua uda janji buat nemenin lo buat beli kado. By the way, lo serius gitu mau ngado Risky topi bentuk animal gini? He is not 15 years anymore!!”
“Gua ngerti, gua cuman lagi pengen beli topi kembaran sama dia yang lucu. Kalo buat kadonya gua mau ngasih jam tangan”
“Oke, trus lo yang jadi top nya atau bot nya sih? Lo belum pernah cerita deh.” Radit langsung melotot mendengar pertanyaanku yang jelas enggak nyambung sama sekali sama topik yang lagi kita angkat. Apalagi ini kita lagi di dalam toko orang. Walaupun sepi sih.
“Lo kebiasaan nyablak deh Gan, liat sikon dong.”
“I know, no bodies here kok.” Jawabku santai.
“Menurut lo kalau Beno pake ini lucu kaga?” Aku menunjukkan topi bentuk kepala panda. Sumpah, lucu banget.
“Dia bakal kelihatan cute. Lo mau top lo kelihatan cute?” Aku membuang muka dengan sinis mendengar perkataan Radit.
“I love Beno just the way he is.”
“Iya deh iya. Yuk ah, cuss keburu ujan ntar.” Oke, aku dan Radit sebenarnya normal-normal saja tingkah kita. Hanya saja kalau kita berdua jalan bareng, naluri ngondek kita keluar. Untung banget dulu aku menolak Radit. Coba kalau dulu aku terima dia? Kan jadi lesbian kita. Tapi seriusan deh, aku penasaran dengan Risky. Maksutku, masak cowok sekalem dia yang jadi top nya? Tapi. . .
Aku melirik Radit yang berjalan di sampingku. Lebih gak mungkin lagi kalau Radit yang jadi top nya. Itu mustahil.
***

“Kamu pikir ini lucu?” Beno tengah memakai topi berbentuk kepala panda yang aku beli tadi.
“You look so cute.” Jawabku santai sambil membuka koleksi majalah film milik Beno.
“Thanks, but my boy I do not wanna terlihat cute dimata kamu. Aku ingin terlihat sebagai seorang pria.” Aku menengadahkan kepalaku sebelum akhirnya tawaku lepas.
“Melihat kondisi bahwa setiap malam aku yang ngangkang di atas perkakasmu bisa dipastikan kalau kamu emang terlihat seperti seorang pria dewasa.” Beno tersenyum lembut sebelum akhirnya menghampiriku yang tengah berbaring diatas ranjangnya.
“Do I?” Katanya lembut sebelum akhirnya bibirnya mencaplok bibirku.
“Ben. . .”
“Ya Beb?”
“Mandi sana!! Aku gak pengen telat tauk!” Aku mendorong Beno yang tengah menindihku.
“Just one ronde?” Pintanya memelas. Persis anak TK yang minta dibelikan permen.
“Ben, ini uda hampir jam tujuh tauk!”
“Oke, hehehe.” Beno nyengir sambil mengambil handuk dari almari.
Jadi aku dan Beno emang bakal dateng ke acara ultahnya si Risky. Sebenarnya sih cuman kita berempat, aku, Beno, Radit dan Risky. Itupun kita cuman makan plus nongkrong gaje di caffe. Risky yang bayar. Buahaha.
Mataku tengah menatap foto Chris Evan untuk film Captain America, winters soldiers sebelum aku melihat Beno keluar dari kamar mandi. Tubuhnya yang basah dan hanya berlilitkan handuk membuatku susah meneguk air liur. Kerongkonganku mendadak kering. Dengan gaya binal, aku mendekati pacar yang sudah hampir tiga bulan aku pacari itu.
“Aku gak keberatan kalau kita main satu ronde, atau mungkin dua?” Kataku pelan sambil menarik lepas handuknya.
***

“Happy Birthday.” Kataku pelan sambil menyalami Risky. “Actually, ini uda yang ketiga kalinya gua ucapin happy birthday ke elo jika digabung sama BBM plus mention gua di twitter.”
“Harus dijelasin gitu Gan?” aku mengangkat bahuku pelan.
“Kalian punya kado apa nih? Masa gua doang yang keluar duit buat nraktir kalian.”
“Kado gua sama Beno uda titipin ke pacar lo. Ntar malem kalian bisa buka sambil titit Radit ato titit lo nacep di mulut masing-masing.” Beno dan Radit langsung melotot ke arahku dengan berlebihan ketika kata-kata itu keluar dari mulutku. Lancar tanpa dosa.
“Kenapa? Oke, by the way, sekarang lo bisa jujur ke gua Ris, lo top nya ato lo bottomnya?”
“Gan, sekali lagi pertanyaan lo ngaco, gua bakal sodomi elo pakai ganggang pel.” Radit sepertinya serius dengan ancamannya jika dilihat dari cara dia memandangku. Oke, mungkin aku agak berlebihan. Dan aku hanya bisa mengkernyit pelan.
“Sorry kuenya telat. Enjoy ya Ben.” Aku mengernyit, lagi ketika salah satu pelayan di caffe ini membawa beberapa kue yang emang kami pesan tadi. Bukannya dia tadi jadi barista ya? Dan dia kenal Beno? Atau sok kenal? Aku memperhatikan Beno yang mengangguk sambil tersenyum ramah. Oke, jadi barista ini engga sok kenal. Tapi memang kenal.
“Siapa?” Aku bertanya ketika barista tadi sudah berlalu.
“Itu Mas-mas yang nolongin aku pas aku jatuh dari motor.” Jawab Beno santai sambil menyeruput minumannya.
“Lo jatuh dari motor? Kapan? Kok gua kaga tau ya?” Radit mengambil kue paling besar dan langsung menggigitnya besar-besar. Sangat tidak seksi.
“Lo kan sibuk nge rohis mulu di Mushola.” Beno menjawab ringan sambil menggigit-gigit kecil kuenya. Ini baru seksi.
“Jangan bilang kalian pacaran di Mushola?” Sambarku cepat. Ya mengingat Risky ini kalem banget dan agamis banget. Tapi jika melihat Radit yang binal, hal itu bisa jadi mungkin.
“Pikiran lo ya Gan!” Tangan Radit menoyor kepalaku dengan kecepatan cahaya. Buahaha, oke aku bercanda. Tapi setidaknya, toyorannya cepat, bahkan aku tidak sempat menghindar.
“Berhubung besok Minggu, kalian akan menghabiskan waktu dimana?” Pertanyaan Radit yang ini agak jayus sih sebenarnya. Aku tahu dan mengerti bahwa mereka berdua mungkin akan menghabiskan sepanjang malam untuk you know what lah.
“Kalau lo mau nananina sama Risky, gua bisa nginap di rumah Beno kok.” Aku menjawab pertanyaan Radit barusan.
“Gan, lo temen yang pengertian banget aselik!”
“Gua kenal lo uda lama kaleus. Emang mau berapa ronde?” Lagi-lagi Radit dan Beno melotot. Mungkin aku akan menyarankan mereka berdua untuk ikutan casting film untuk peran antagonis. Mereka sangat berbakat. Sungguh. Aku berani bertaruh.
“Kenapa sih dari tadi cengar-cengir mulu?” Aku bertanya pada Beno ketika kita sudah berada di lapangan parkir. Radit dan Risky sudah hilang entah kemana. Mungkin mereka sudah berada di kasur yang hangat berlimbahkan keringat. Aah, hanya mungkin.
“Gak papa. Mau makan lagi gak? Kan malam ini butuh stamina yang lumayan.” Aku dengan cepat mengerti arah pembicaraan Beno. Yah, sebenarnya aku juga mengharapkannya. Maksutku, aku dan Beno memang jarang bisa making love secara bebas. Aku tinggal sekamar bersama Radit jadi sangat tidak kondusif jika aku dan Beno nananina disana. Sedangkan di rumah Beno kadang ada Yoga, kakaknya Beno yang suka nyelonong tiba-tiba ke kamar Beno. Tapi malam ini?
Gak mungkin dong Yoga nyelonong malam-malam buta ke kamar adiknya?
“Gimana kalau sate kambing Ben?” Aku menawarkan sambil tersenyum penuh misteri.
“Oke, yuk Beb cabut.” Tepat saat motor Beno akan berlalu, si barista tadi keluar memanggil Beno. Hih!
“Sorry Ben ganggu, cuman mau ngasih ini nih. Gelang lo ketinggalan.” Aku menatap gelang itu. Setahuku itu gelang milik Risky. Ya sudahlah, mungkin orang ini salah kira.
“Oke, thanks ya San. Gua cabut dulu.” Beno mengangguk ramah. Aku pun mau tidak mau juga tersenyum ramah padanya. Tapi ada satu hal yang mengganjal di pikiranku, kenapa aku tak menyukai si barista tadi? Entahlah, walaupun aku tidak mengenal dia secara detail dan hanya pernah bertemu beberapa kali aku sudah kurang menyukainya. Bahkan sejak awal bertemu aku sudah tidak suka.
Sudahlah, pusing aku. . .


To be continue

Selasa, 01 April 2014

THE SERIES 18

Sudah lebih dari sebulan dan tidak ada tanda-tanda jika ingatan Herry akan kembali. Sempat terbesit kecurigaan jika Herry hanya berpura-pura saja, namun aku tepis jauh anggapan itu. Entahlah, karena kami di kelas yang berbeda hubungan kami pun semakin menjauh. Bahkan jika berpapasan saja hanya terlontar senyum ringan. Senyum ramah seadanya.
Aku sendiri semakin giat belajar, latihan karate dan juga move on. Hahhaha, aku ingin melanjutkan studyku ke luar negeri. Jika kalian berpikir bahwa salah satu alasannya adalah karena Herry, aku jawab bukan. Aku sudah ikhlas. Lagipula, ada Galih dan Hendra.
Kuliah di luar negeri sebenarnya sudah menjadi mimpiku sejak SMP. Dan aku hanya ingin mewujudkan mimpiku. Harvard atau Yale. Dua kampus itu menjadi incaranku. Dan aku harus mulai dari sekarang, dari kelas dua SMA!
“Mas, kunci mobil mas yang bawa?” Aku bertanya pada Galih yang sedang mencuci mobil Papa.
“Engga Den. Terakhir kali kan Aden yang make.”
“Iya sih Mas, Seno lupa naruh dimana.” Aku masuk kembali kedalam rumah. Mengublek-ublek hampir semua ruangan. Perasaan, aku gak pernah seteledor ini meletakkan kontak mobil.
“Di kamarmu cah bagus.” Deg!
“Kakek buyut?” Gosh! Eh emang dia gosh sih. Tapi, setelah sekian lama? Kok baru muncul?
“Munculnya selalu tiba-tiba dan unpredictable! Seno uda merasa gila lho bisa ngobrol sama orang meninggal.”
“Ya wong cuman kamu yang bisa kakek ajak bicara.” Aku menutup pintu kamarku serapat mungkin. Aku yakin, kalau lihat di film-film aku pasti seperti ngobrol sendiri. Jadi daripada aku dikira gila, stres dan sebagainya, aku memilih untuk menutup pintu kamarku rapat-rapat dan berbicara sangat pelan.
“Kamu mesti ati-ati lho Le.” Aku mengublek-ublek tas kecilku yang tadi ditunjuk oleh kakek buyut bahwa kontak mobilku disitu.
“Lho emang kenapa Kek?” aku masih mengatur volume suaraku serendah mungkin.
“Taufik. . .”
Tok Tok Tok. Suara ketukan di pintu kamarku menginterupsi apa yang akan disampaikan kakek buyutku. Dengan enggan, aku melangkah membuka pintu.
“Mas Galih?”
“Tadi Mas seperti ngeliat ada orang masuk kamar Aden, siapa Den?” Deg! Masa Galih bisa ngeliat kakek buyut juga?
“Kaga ada orang kok Mas.” Galih masih celingukkan sebelum akhirnya mengangguk dan berlalu dari kamarku. Aku menoleh ke sekelilingku dan mendapati bahwa kakek buyutku sudah tidak ada. Apa maksutnya dengan Taufik?
***

“Lo mau ngajak gua ke kebun yang dulu itu Van?” Kalian ingat kebun kopi yang dulu dipegang oleh Taufik? Yang isinya cowok-cowok muda ganteng? Yah, kebun itu dipegang Revan sekarang. Eem, tepatnya dia yang mengajukan diri dengan sangat semangat dan antusias. Aku, kurang lebih memahami alasannya.
“Emang sekarang lagi panen kopi?”
“Ya enggak dodol! Tapi mereka kan harus bersihin rumput liar, milihin kopi yang sudah masak, jemur kopinya.”
“Gua kira tugas mereka cuman metik doang.” Aku menjawab tanpa rasa bersalah.
“Kayaknya lo emang harus lebih belajar lagi deh Sen, yang kita terima itu kan kopi dalam bentuk bubuk, lo pikir tinggal mereka kunyah trus uda jadi bubuk gitu?”
“Lo gak usah sesewot itu juga kali.” Aku melempar wajahku ke arah jendela. Kebun ini masih sama. Hanya saja, sudah ada beberapa pria yang lebih tua. Sepertinya Revan menambah pegawai baru. Walaupun yang muda-muda lebih banyak jumlahnya.
“Kita parkir di depan pondok saja Den.” Galih yang sedari tadi diam meminta persetujuanku yang aku jawab hanya dengan anggukan.
Ada beberapa pondok disini. Pondok yang ini lumayan besar, mungkin paling besar. Ada tiga ruangan. Dua untuk tempat tidur dan satu lagi untuk ruang kerja, akhir-akhir ini Revan lebih sering tidur di pondok ini daripada di rumah. Salah satu alasan kenapa aku jarang mengobrol dengan Revan beberapa minggu terakhir ini.
Pondok yang lain digunakan untuk tidur beberapa pekerja disini. Jaga malam, karena disini ada mesin penggiling kopi dan juga beberapa hewan ternak. Takut ada yang mencuri. Mungkin.
Baru beberapa menit kita masuk ke dalam pondok, BRESS!!! Hujan gede! Aku termenung, perasaan tadi sore masih cerah.
“Ulala, kita terjebak deh.” Revan berkata sambil keluar dari pondok. Beberapa saat kemudian dia masuk lagi bersama seorang laki-laki. Masih muda dan bajunya yang basah menunjukkan lekuk tubuhnya yang proposional. Aku menelan ludah, sudah berapa bulan aku tidak berhubungan seks? Bahkan mungkin onani?
“Kita nginep disini.” Revan kembali berkata sambil mengambilkan handuk kering untuk pemuda tadi.
“Kita kan bawa mobil Rev, gua pulang ah!!” Kataku sebal. Aku benci kebun! Apalagi harus tidur disini!
“Silahkan! Tapi jalanan yang becek, kemungkinan longsor, cuaca cerah aja jalanannya susah apalagi ujan deres begini! Lagipula Toyota Camry lo terlalu mungil tauk! By the way, kenalin ini Herman, salah satu pekerja disini.” Anak yang bernama Herman itu menyalamiku dan Galih dengan senyuman akrab. Revan pinter banget sih memilih lakik.
Revan membantu melepas baju Herman yang basah, dan dengan gaya yang aku tau dengan pasti menggoda Herman saat Revan juga membantunya mengeringkan badan. Dasar jablay!! Mereka pasti ada sesuatu. Tapi saat aku melihat lekuk tubuh Herman yang sekarang terpampang nyata, lelaki homo mana yang gak bakalan meleleh? He’s hot!!
“Oke, gua mau rehat dulu.” Kata Revan sambil mengerling padaku dan sedikit menyeret Herman.
“Sepertinya yang dibilang Den Revan bener Den, kita menginap saja malam ini. Aden laper? Ada mie rebus di belakang.” Aku agak kaget juga.
“Mas Galih sering kemari?”
“Lumayan Den.”
“Ooh, karena cowoknya ganteng-ganteng ya disini?” Ya Tuhan, aku cemburu? Atau gila?
“Buat saya, Den Seno tetap yang terganteng.” Bibirnya hanya terpaut beberapa senti sebelum akhirnya semakin dekat dengan bibirku.
“Sen, kalo lo laper ada mie rebus di belakang.” Revan menginterupsi tepat saat bibir Galih menyentuh bibirku. Dasar jalang sialan!
“Oops, sorry.” Permintaan maaf Revan jelas tidak tulus jika melihat wajahnya yang setengah nyengir, selebar cengiran kuda.
“Gua kaga bakalan ganggu lagi, janji!!” aku mendengus sebal sebelum akhirnya mengikuti Galih ke belakang pondok. Aku dan Galih tidak berpacaran kalau kalian ingin tahu. Hanya saja, beberapa kali kita berciuman. Tidak lebih, hanya ciuman.
Sebenarnya, sudah hampir empat kali Galih memintaku menjadi pacarnya. Hanya saja, aku masih trauma. Walaupun aku bilang sudah ikhlas tadi, tetap saja jika melihat Herry aku masih saja berharap suatu saat nanti dia akan kembali mengingatku. Mengingat cintanya padaku.
Kabar terakhir yang aku dengar dia sudah pacaran dengan cewek adik kelas, aku bisa apa?
Sudahlah, mengingat Herry hanya akan membuka luka lama. Dan aku masih belum mau membuat luka baru. Bukan berarti aku meragukan cinta Galih untukku, hanya saja seperti yang sudah aku bilang tadi. Aku masih belum siap. Hatiku belum utuh kembali.
“Mie rebus atau mau mie goreng Den?”
“Rebus aja Mas, telornya dua.” Jawabku sambil duduk di kursi kayu dekat meja.
Galih memang tampan, aku akui itu. Tapi modal dalam berpacaran tidak cukup hanya dengan cinta dan modal tampang yang oke saja kan? Entahlah, kalau di ingat-ingat memoriku bersama Herry, aku tidak percaya dia melupakanku sedemikian mudahnya. Aku tahu dia hilang ingatan, namun tidak adakah secuil pun memory yang dia ingat tentang aku? Yang katanya adalah pacar pertamanya?
“Ini Den, lumayan buat angetin badan hujan-hujan gini.” Aku melempar senyum ringan sebelum aku mulai menyantap mie rebusku. Enak dan beda. Buahaha, mie rebus apanya yang beda coba?
***

“Mas mau ngapain?” Aku bertanya pada Galih yang tengah melepas bajunya.
“Ganti bajulah Den, kan mau tidur.” Iya sih, tapi baru kali ini aku melihatnya ganti baju didepanku. Dan saat Galih melepas kain terakhir yang menempel di tubuhnya, dia berbalik menghadapku.
“Menurut Den Seno, saya seksi tidak?” Aku menelan ludah beberapa kali. Tubuh indah Galih terpampang polos dan nyata di hadapanku.
“Seksi mas. Gak pake baju mas tidurnya? Lagi hujan deras gini, ntar masuk angin.” Sebenarnya, aku sangat menikmati acara Galih yang sedang berbugil ria didepanku. Hanya saja, aku takut lepas kendali. Minta diperkosa misalnya.
“Kan ada Aden yang bisa ngangetin.” Aku gelagapan. Gila, aku tak menyangka Galih akan seberani ini memancingku. Apa dengan bugil saja belum cukup hingga dia harus mendekat ke tempat aku berbaring?
Aku seperti terhisap oleh daya tarik fisik yang dimiliki Galih. Jujur, aku meleleh. Siap untuk disantap. Bibir Galih hampir sangat dekat ketika pintu kamar pondokku terbuka.
“Seno, kamu . . .”
Kaget, itu yang langsung membuatku mendorong Galih kesamping.
“Herry? Ngapain kamu disini? Kok tau aku disini?”
“Itu gak penting!! Jelasin dulu apa yang aku lihat barusan itu! Kamu tega ya Sen!” Aku kembali tersentak. Herry mengingatku? Dia beneran mengingatku?
“Her, ini gak sesuai yang kamu sang. . .”
“Kenapa gak bilang? Kita kan bisa main bertiga? Hmmm?” Ya Tuhan! Benarkah Herry yang baru saja mengatakan kalimat itu? Main bertiga? Threesome?
“Lih, kamu gak ikutan gabung? Aku tahu kamu pengen banget nikmatin tubuh Seno kan? Ayolah, gak usah malu-malu.” Aku sudah yakin kalau Galih akan menolak ajakan gila Herry, namun lagi-lagi aku dibuat kaget, terkejut, tercengang dan lain sebagainya apapun itu kalian menyebutnya.
Galih mendekat ke arah kami berdua dan dia memelukku dari belakang. Kata-kata protes hampir keluar dari bibirku tepat saat Herry menciumnya dengan brutal. Sedangkan tangan Galih mulai bergerilya melepas kancing kemejaku dan mulai menggarapi putingku. Jari-jari Galih terus-menerus mencubit-cubit ringan putingku. Kedua tanganku di pegang erat oleh Herry sementara bibirnya terus-menerus menciumku.
Lama-lama perlawananku melemah. Aku mulai menikmati permainan bertiga ini. Bahkan, aku mengalungkan kedua tanganku pada leher Herry dan balas menciumnya dengan ganas. Sedangkan jari-jari Galih tengah sibuk dengan celanaku. Berusaha melepasnya seefisien mungkin. Aku merasakan jemari Galih yang mengelus kejantananku beberapa kali dengan gerakan yang seperti tidak disengaja yang membuatku langsung ereksi parah. Aku butuh klimaks!
Aku membanting Herry ke atas ranjang dan menindihnya. Sementara tanganku meraih Galih dan menuntunnya agar lebih liar menggarapi tubuhku. Aku terbuai, aku bahkan tak menggubris fakta bahwa apa yang tengah kami lakukan ini seperti film porno. Bahkan mungkin lebih hot dari film porno.
Sementara aku dan Herry yang tengah sibuk berciuman, Galih tengah sibuk mempersiapkan aku untuk menerima kejantanannya masuk kedalam tubuhku. Dan aku merintih saat batang tumpul itu mencoba membobol pertahananku. Aku tahu aku memang bukan perawan lagi, hanya saja tetap sakit pada awalnya. Dan saat Galih mulai memompanya maju mundur aku terlonjak.
***

Aku melihat sekelilingku dan menatap Galih yang tertidur di bawah. Aku menepuk-nepuk pipiku sesaat kemudian merogoh celanaku. Basah sedikit. Gila! Aku mimpi basah! Threesome lagi. Ini adalah mimpi terliar sepanjang aku hidup di dunia. Gilak! Edan! Threesome!
Aku mengusap wajahku dan mengacak-acak rambutku dengan gaya frustasi. Diluar masih hujan deras. Awet bener hujannya. Aku kembali menoleh ke arah Galih yang masih tertidur dengan sangat pulas. Jelas dia berpakaian lengkap dan tidak telanjang. Jadi? Dan pastinya mustahil Herry tiba-tiba berada disini kan? Yaelah, di dalam mimpi apa yang mustahil?
Aku turun dari ranjang dan berjalan menuju ke belakang pondok. Sambil mengambil air hangat dan meneguknya pelan-pelan aku kembali termenung. Kalau aku mempunyai kemampuan khusus melihat mahkluk halus, kenapa yang aku lihat hanya kakek buyut? Bukan berarti aku ingin melihat setan-setan yang lain. Hanya saja, kenyataan ini menguatkan aku bahwa sebenarnya aku hanyalah bocah biasa seperti bocah lainnya.
Aku tidak pernah mengalami gangguan mistis. Ya hanya dengan kakek buyut.
“Hey, Aden kok disini?”
“Tadi kebelet pipis Mas, Mas sendiri ngapain?” Aku berbalik dan tersenyum ringan. Sekilas aku seperti melihat Herry, lalu aku sadar bahwa itu Galih. Mungkin aku terlalu merindukannya bak orang gila.
“Tadi Mas kebangun, lalu lihat Aden gak ada di tempat tidur. Makanya Mas cariin, Mas khawatir terjadi apa-apa sama Aden.” Aku kembali dibuat tersenyum. Seandainya aku bisa membuka hatiku kembali dan membuang harapan bahwa Herry akan mengingatku lagi suatu saat nanti, mungkin pria di depanku ini yang pertama kali akan aku pertimbangkan. Hahaha.
“Aden baik-baik saja kan?” Aku mengangguk lemah menjawab pertanyaan Galih.
“Ayo Mas tidur lagi, masih malam ini.”
“Iya Den.” Aku berjalan mendahului Galih saat aku mendengar bunyi seperti orang jatuh. Aku langsung menoleh dan melihat Galih yang terjatuh ke lantai. Dan belum sempat aku bergerak, sesuatu seperti membungkam mulutku yang membuat kesadaranku semakin lama semakin menipis.
***

Kepalaku serasa pusing dan pening. Aku mencoba membuka mataku walau terasa seperti lengket karena lem alteco. Ruangan ini asing. Cahaya berpendar-pendar di atas kepalaku sebelum akhirnya aku dengan jernih bisa melihat ruangan ini dengan jelas. Kaki dan tanganku terikat. Aku mencoba mengingat-ingat kenapa aku bisa berada disini.
“Kamu sudah bangun anak manis?” Taufik? Suara itu? Aku merinding seketika. Ya Tuhan. Aku sudah akan mengakatan kata-kata umpatan ketika aku sadari bahwa mulutku ternyata ditutup lakban. Dasar sialan!
“Well, Well,” Taufik menyeringai puas ketika melihatku yang terlihat tidak berdaya.
“Ton, bawa anak itu kemari.” Aku menoleh ke arah anak yang dipanggil Ton itu yang sekarang telah berlalu ke belakang.
“Ini adalah salah satu pondok yang jarang sekali dikunjungi oleh orang-orang. Karena apa? Karena pondok ini angker. Buahahaha.” Taufik tertawa seperti orang gila.
Tidak lama kemudian orang yang bernama Ton itu kembali dengan membawa seseorang. Ya ampun Galih!! Tangannya terikat dan Galih terlihat sama tidak berdayanya sepertiku. Taufik berjalan mendekatiku yang langsung membuatku was-was dan waspada. Dia mendekatkan sebuah belati tepat dileherku.
“Ton, lepas ikatannya.” Tanpa suara si Ton langsung melepas ikatan Galih. Galih terlihat akan memukul Ton tapi tidak jadi ketika melihat belati yang berada di dekat leherku.
“Den. . . .”
“Ssssh, kamu bergerak sedikit, pisau ini juga akan bergerak semakin dekat ke kulitnya. Hihihi.” Wajah Galih semakin pucat.
“Sekarang buka semua bajumu. Kalau tidak mau maka baju anak ini yang akan aku buka paksa.” Galih tercekat. Begitu pun dengan aku. Aku lupa fakta bahwa walaupun psiko, Taufik tetaplah homo. Mana mungkin dia tidak ngiler melihat Galih?
Yang aku salut adalah pembawaan Galih yang tetap tenang. Walaupun wajahnya pucat, tapi dia tidak gemetar. Dengan kalem dia membuka semua bajunya hingga telanjang bulat.
“Ngaceng, aku pengen kontolmu ngaceng.” Galih seperti akan protes tapi tidak jadi. Gila, andai saja ada celah sedikit aku untuk bebas. Karateku bisa di andalkan jika hanya melawan dua orang ini. Setidaknya aku butuh bebas.
Disaat aku sibuk mencari cara agar lipatan tanganku bebas, Galih tengah berusaha membangkitkan penisnya.
“Ckckck, Ton bantu tuh bocah biar ngaceng.” Yang bernama Ton itu tangannya langsung menggenggam penis Galih. Galih menepis tangan itu dengan kasar.
“Sst sst kalo kamu tidak kooperatif, mungkin bocah ini yang akan menggantikanmu telanjang bulat.” Galih lalu terdiam. Bahkan ketika si Ton mulai mengoral penisnya. Aku memejamkan mataku. Aku tidak ingin melihatnya, aku tidak ingin!
“Lihat!! Lihat!! Lihat baik-baik!! Makanya jadi adik itu jangan membangkang! Mas Adi akan menghukum semua orang yang coba-coba ingin merebut hatimu Dek Angga. Buahahaha.”
Aku semakin bergidik ketakutan.


Bersambung. . .