FOLLOW ME

Minggu, 31 Agustus 2014

BARISTA 7

Chapter Seven


Shandy Pov
Kebetulan yang membawa keberuntungan. Beno! Aku melihatnya sedang bersama pacarnya. Geli juga melihat tingkahnya yang terkadang konyol menggoda pacarnya. Ah, aku yang lebih tepat berada disamping Beno. Tinggi badan kita berdua hampir sama, jadi kita berdua pasti serasi. Aku memperhatikannya sesekali, sampai dia akhirnya melihatku. Bingo! Dengan langkah gontai aku menghampirinya. Aku dengan jelas bisa melihat tanda-tanda kecemasan di mata Beno. Sebentar-sebentar dia melirik antara aku dan pacarnya yang sedang sibuk belanja. Pasti Beno top, tapi tak apalah aku jadi bottom untuk Beno.
“Hi Ben,” Beno sebenarnya tampak malas menyahut sapaanku. Tapi wajah cemasnya juga menarik. Aku makin ingin mendapatkannya.
“Hi.” Beno menjawab dengan ogah-ogahan. Pacarnya yang sedari tadi sibuk, menoleh ke arahku. Hahaha, dia membenciku. Aku bisa melihat dari tatapan matanya yang tajam. Dan entah untuk memanasiku atau apa, Beno merangkul pacarnya dengan gaya posesif. Aku tahu, itu sinyal untuk memberitahuku bahwa dia sudah punya pacar. Tapi apa salahnya cowok setampan Beno mempunyai selingan? Aku? Aku tidak keberatan.
“Sorry Shan, gue lagi sibuk. Duluan ya.” Beno mendorong troli dan pacarnya yang masih menatapku dengan tatapan tidak suka.
Ini bakalan menarik, sepertinya pacarnya Beno sudah tahu kalau aku adalah ancaman. Justru ini semakin membuatku tertantang, seberapa besar kesetiaan Beno? Dan seberapa besar kepercayaan sang pacar? Haha, Beno, Beno, I am obsesed.
“Siapa itu tadi? Ganteng banget, temen lo?” Rendy menghampiriku yang masih menatap punggung Beno dari tempatku berdiri.
“Kaga, cuman kenalan.”
“Ajak gabung aja sekalian. Temmy pasti suka, bening gitu wajahnya.”
“Pasti ditolak, dia uda tajir dari lahir. Gak perlu kerja keras buat dapetin yang dia mau.”
“Sinis banget. Buahaha, lo naksir dia ya?” Aku menoleh ke arah Rendy.
“Kaga, gue obsesi pengen dapetin dia. Itu doang.”
“Parah lo!!” Rendy menepuk punggungku kemudian berlalu. Obsesi? Benarkah hanya itu? Lalu kenapa setiap malam wajah Beno selalu menghantuiku? Debaran jantung yang berirama lebih cepat jika aku melihatnya, atau perasaan ingin bertemu dengannya? Yakin hanya obsesi Shan? Aku bertanya pada diriku sendiri dan menggeleng. Aku jatuh cinta. Aku tersenyum lalu mengejar Rendy yang sudah sibuk kembali dengan belanjaannya.
***

Gani Pov
“Sumpah ya, yang namanya Shandy itu nyebelin banget!” Aku membuka potato lalu melahapnya dengan kurang ajar.
“Lo cakar-cakaran sama dia?” Aku melirik sinis pada Radit yang bertanya dengan nada sepolos gadis usia 7 tahun.
“Pengennya sih gue cakar itu muka, tapi itu di mall! Tengsin gue.” Kataku sambil memotong buah apel dalam bentuk kubus kecil-kecil.
“Nih apelnya uda gue potongin. Lo lebay banget pake masuk angin segala macem.”
“Kemaren kan gue keujanan Gan. Thanks.”
“Dasar fisik lo aja kali yang lemah.”
“Babik lo ya,” Aku tertawa mendengar umpatan Radit.
“You know what Dit? Bitch temenan sama Bitch, Ratu sama Ratu, dayang sama dayang.”
“Intinya adalah . . .”
“Ya kalo gue babik, gue juga temenan ama babik.”
“Hahaha, sial lo ya!! Tapi gue setuju sih ama lo. Emang gak semuanya sih ya. Tapi kalau diperhatiin kan emang gitu. Semacam membentuk gank atau lingkungan dalam lingkungan kan?” Aku menggeleng. Bahasa Radit terlalu tinggi, aku ragu Radit tahu arti kalimat dari yang dia omongkan tadi. I mean, dia lagi demam gitu kan? Bisa jadi dia tengah menginggau. Lalu tiba-tiba aku kepikiran lagi tentang Shandy. Dan aku mwnjadi lesu.
“Gue takut gue bakalan dapet karma Dit.” Aku duduk di tepi ranjang. Ketakutanku juga bukannya tanpa alasan. Shandy begitu memikat, aku yakin tidak sulit untuk type cowok seperti Shandy mencari pacar.
“Karma? Emang apa yang udah lo lakuin sebelum ini?”
“Gue ninggalin Denny! Untuk orang sebaik Denny? Gue melukainya.”
“Emang kita tahu kalau Denny dan Felix ternyata hanyalah sandiwara Denny doang? Denny sendiri yang bilang Felix itu bf nya.”
“Seandainya gue lebih sabar, seandainya gue dengerin Denny waktu itu.” Radit menonyor kepalaku dengan kekuatan maksimal ala orang yang sedang demam.
“Dan lo gak bakalan punya quality time bareng Beno. Masih inget masa-masa Beno deket sama lo sebelum kalian pacaran? Saat dimana seolah-olah dunia Beno itu adalah elo? Seinget gue, sampai sekarang buat Beno, elo adalah dunia kecilnya. Gak yakin gua Beno mau pertaruhin lo cuman buat hal main-main kayak selingkuh.”
“Tapi . . .”
“Dan kalaupun Beno selingkuh, it’s not your karma. Remember this Gan, hal buruk dan baik itu bakalan dateng. Pasti bakalan dateng. Jadi buat apa lo khawatirin hal-hal yang pasti bakal dateng? Kayak kematian misalnya? Ngapain khawatir? Toh juga bakal dateng kan walau kita khawatir sekalipun.”
“Tumben lo pinter?”
“I am smart but down to earth.”
“Haha, ngaco! Diminum dulu gih obatnya.” Aku dan Radit berpandangan lalu tertawa barengan.
“Sumpah Gan, gue lebih rela kehilangan bf gue daripada harus kehilangan temen kayak elo.” Aku memeluk Radit. Teman yang selalu ada bahkan disaat-saat terberatku sekalipun.
“I will do the same.”
***

Aku dan Radit tengah memeriksa daftar list armada bus yang menawarkan harga kompetitif namun worth it buat ditumpangi sampai Sukabumi. Beberapa yang menarik langsung aku call. Aku dan Radit memang bukan ahli negosiasi, tapi ada Elliot.
“Hei Gani, sibuk banget kayaknya.” Tantra berdiri di samping kursi tempatku duduk.
“Lo pasti ada maunya, ngomong aja to the point.” Aku tetap fokus pada list di hadapanku. Sudah semakin mendekati hari H. Udah harus bisa dapet transportnya.
“Galak banget sih. Ntar aja deh pas lagi lenggang.” Aku meletakkan kertas promo ke atas meja dan menatap Tantra yang sedang kedip-kedipan genggeus dengan Ian. Pasti ada something nih, sedangkan Ian juga sesekali menyenggol bahu Beno dengan gaya minta ditonjok. Something wrong or something right nih?
So, here I am. Di kantin sekolah yang masih kosong karena  jam pembelajaran masih berlangsung. Dengan Tantra yang masih senyum genggeus. Beno disampingku yang dari tadi diam dan Ian, pandangan matanya yang tajam dan ingin tahu.
“Kita udah tahu,” Tantra memulai dengan nada detective Conan yang akan menguak sebuah kasus.
“Uda tahu kalau H&M lagi ada diskon gede-gedean?” Sahutku santai sambil meminum jus avocado milik Beno. Aku memesan jus alpukat. Dan masih belum aku minum, karena sepertinya Beno tidak bernafsu meminum jusnya, aku dengan baik hati membantu menghabiskannya.
“Kalau Britney kemaren jalan-jalan ke Mars.” Aku melongo mendengar ucapan Tantra. Gak nyangka bakal minjem Britney dalam joke nya.
“Kalian pacaran kan?” Sambung Ian.
“Kan emang iya, kok baru tahu?” Jawabku, aku melihat isi gelas Beno yang sudah kosong. Kembali meletakkan gelas Beno di depan pemiliknya dan aku beralih ke gelasku sendiri yang masih penuh.
“Lo gak kaget kita berdua uda tahu?” Pertanyaan Ian membuatku seolah-olah aku bukan bangsa manusia, seolah-olah aku berasal dari planet yang berbeda.
“Justru kalau kalian gak tahu atau gak ngeh kan malah aneh, masa iya kalian kaga curiga tiap ke toilet kita berdua selalu barengan?” Ian dan Tantra saling tatap.
“Atau masa kalian gak perhatiin pas ganti baju mau olahraga, mata Beno gak pernah lepas liatin gue?”
“Kamu kan juga merhatiin aku.” Aku menatap Beno.
“That’s why, aneh aja kalau mereka baru tahu kita pacaran sekarang.”
“Ternyata lo gak kaget, gak asik!! Eh, tapi jangan-jangan anak sekelas juga uda pada curiga lagi?” Ini sebenarnya juga aku khawatir. Sudah sering aku bilang pada Beno supaya tidak terlalu mesra. Tapi susah kalau punya pacar yang senggol dikit langsung horny.
“Engga bakalan. Gue bakalan lebih hati-hati sekarang.” Beno berkata pelan.
“Kamu? Hati-hati?” Aku menatap Beno sayu, tangan kiriku meremas pahanya lembut.
“Jangan mancing!” Aku tertawa pelan sambil masuk kedalam kantin.
“Eh, gue mau pesen makan nih. Kalian mau makan juga kaga?”
“Ditraktir? Uang tutup mulut kan?”
“Oke, kacang pilus satu biji satu biji ya.”
“Sial.”
***

Aku dan Radit memeriksa list barang yang harus masuk kedalam koper. Koper? Oke, sebut kami berlebihan, tapi ini kan liburan 2 hari 1 malam. Lalu ada rafting, outbond, maen lumpur, pasti butuh baju banyak kan?
“Lotion nyamuk? Sunblock? Lipbalm?” Radit mengecek lagi kopernya.
“Completed.”
“Lo gak bawa celana dalem seksi gitu Gan?”
“Gilingan lo! Satu kamar kan lima orang,”
“Banyak semak-semak nganggur kaleus.” Radit senyum-senyum porno.
“Ah, andai aja Risky boleh ikut.” Sambung Radit lagi.
“Lo tu ya, demen banget sih maen out door!!”
“Sensasinya bruh!!” Aku memutar kedua bola mataku. Main kilat di toilet sekolah saja sudah membuatku senam jantung tak karuan. Apalagi main out door? Gimana kalau kepergok warga terus dikawinkan? Dalam kasusku kayaknya gak bakal semulus itu, maksutku dibawa ke KUA terus dikawinkan. Kaga dilempari batu atau dibakar aja sudah untung.
Oke, kesampingkan faktor ketahuan. Lalu gimana kalau ada pemain ketiga yang terlibat? Ular phyton may be? Semut rang rang? Itu yang keliatan, lha kalau yang enggak kasat mata juga pengen join? Yakali.
“Gak bakal gue maen out door.” Kataku singkat.
“Yakin? Jangan terlalu mainstream deh mainnya di kamar mele kek perawan abad 12.”
“Jangan hasut gue, setan!!”
“Haha, lo gak bawa kondom buat jaga-jaga?” Aku terperangah dengan pertanyaan Radit.
“Enak aja, lo pikir gue mau ngapain disana?” Kataku sewot sambil menarik laci dan mengambil beberapa buah kondom dari situ.
“Jiah, tetep cari-cari kesempatan ya.”
“Seperti kata lo, banyak semak-semak nganggur kaleus.”
***

Jadi selain aku dan Radit hanya Puspita yang membawa koper, lainnya hanya membawa tas ransel. It’s okay, tidak ada salahnya kan kita jaga-jaga? Tempat duduk mini busnya dua-dua. Dengan kapasitas empat puluh orang. Kita satu kelas hanya 36 orang. Wali kelas kita satu, untungnya wali kelas kita masih muda dan single. Jadi bakalan asyik. Lagipula, ini kan acara pribadi sebenarnya bukan kegiatan sekolah.
Setelah semua anak-anak dirasa komplit, bus segera lepas landas. Haha.
Aku berdiri dari tempat dudukku dan berjalan ke depan.
“Tan, pindah bentar boleh?” Tantra memandangiku sebentar.
“Mau pacaran ya?” Aku menggeleng. Walaupun sepertinya agak keberatan, toh akhirnya Tantra pindah ke tempat Elliot yang duduk sendirian.
“Mau yang deket jendela?” Beno berbicara sambil berdiri. Aku mengangguk.
“Ngantuk ya? Sampai jam berapa semalem nyiapin barang sebanyak itu buat dibawa?” Beno mengelus-elus kepalaku sambil merebahkannya ke pundak miliknya.
“Jam satu.” Jawabku sambil menguap dan meringkuk, tangan kananku menyelinap memeluk pinggang Beno yang tertutup selimut yang sudah disediakan bus. AC dalam bus lumayan dingin. Perjalanan ke Sukabumi mungkin memerlukan waktu 3 hingga 4 jam. Dan ya, aku kurang tidur. Tidur di pundak Radit sangat tidak disarankan karena Radit sudah mengubah dua tempat duduk menjadi satu untuk dia kuasai sendiri.
“Bawa apa aja yank?” Suara Beno lirih,  jadi mungkin akan sulit didengar oleh orang lain. Apalagi mereka juga tengah sibuk sendiri. Ada yang gosip lah, ngupil lah atau sibuk menghabiskan snack temennya. Hih!
“Baju, sunblock, macem-macem, trus ntar buat tempat oleh-oleh. Kan Minggu besok aku pulkam sebentar.”
“Aku ikut boleh?” Aku menengadahkan kepalaku.
“Hmm? Kan cuman bentar aku pulangnya.”
“Ya makanya aku pengen ikut.”
“Ntar deh,” Aku berkata sambil memejamkan mataku. So sleepy.
***

Tiba di tempat yang dimaksud oleh panitia, hampir dari kita semua enggak ada yang kecewa. Amazing! Kita menginap di pondok Imah. Satu pondok diisi lima orang. Dan beruntungnya, dalam listku ada Beno dan Radit. Oke, jadi aku, Beno, Radit, Denny dan Tantra. Kurang drama apa coba? Model pondok Imah ini kayak rumah adat Kalimantan mana gitu, pokoknya yang gantung-gantung gitu. Jadi, lantainya gak nyentuh tanah. Ada lapangan khusus, yang rencananya kalau engga hujan, ntar malem bakalan dibuat sebagai acara api unggun plus berbeque ala-ala gitu.
Bus yang mengantar kita tidak bisa sampai kesini. Mereka hanya sampai jalan depan. Berangkatnya kesini kita dijemput mobil pick up yang ada tudungnya. Mirip seperti angkot jaman dulu di film si Doel anak sekolahan. Jangan ditanya cara bawanya ya, tiba disini dengan selamat aja kita uda puji syukur banget.
Setelah anak-anak lelaki, termasuk aku kelar jum’atan, kita mengisi perut. Lunch! Persiapan karena sehabis ini kita bakalan basah-basahan. Satu game yang uda ditunggu-tunggu. Rafting!! 12km, kurang edan apa coba? Dan you know what? Arusnya lagi deres-deresnya. Arggggh! Gokil, can’t wait!
Satu boat ada enam orang dengan guide satu orang. Aku ada di boat ketiga. Bocoran aja nih, guide yang memandu boat ketiga masih muda, eh emang semuanya masih muda ding. Tapi setidaknya guide ku agak beningan. Celana ketat dan singlet yang . . .
Beno dan Denny ada di depan. Eh lupa, jadi di boatku isinya ada aku, Beno, Denny, Puspita, Radit dan ketambahan Ayuk. Aku dan Radit sengaja memilih yang paling belakang, biar deket-deket sama mas guide. Namanya Lingga. Baru 20 tahun!!


***

Sebelum ntar malem ada api unggun plus bakar-bakaran, ada waktu free sejenak. Buat bebersih, mandi atau nyemil sore yang udah disediain sama Pondok Imah. Ada pijet gratis juga. Terbatas cuman sampai jam 7 malem. Setelah beres mandi dan pijetan, aku kembali ke Pondok Imah kedua, tempatku nanti bakal tidur. Kasurnya kasur lantai sih, tapi lumayan tebal. Lagipula, ada Beno dan Denny, gak mungkin aku khawatir soal dingin lagi kan ya? Hahaha.
“Hi, gimana? Uda enakkan?” Beno tengah memakai celana pendeknya dengan santai. Tidak tahu bahwa efek dia shirtless itu masih tetap membuatku deg-degan dan umm, turn on. Seberapa pun sering aku melihatnya shirtless.
“Lumayan, keknya suaraku bakal habis besok gegara jejeritan tadi.”
“Oya? Sini aku kasih ekstra suara.” Aku masih belum mengerti arti dari ‘memberi ekstra suara’ ketika Beno mendekat lalu mencium bibirku lembut.
“Ntar ada yang dateng. Katanya mau hati-hati sekarang?” Aku mendorong Beno dengan berat hati. Ini beneran berat. Beratnya berciuman dengan pacar dan terpaksa disudahi karena takut ketahuan itu sama dengan beratnya kamu ngakat Agung Hercules yang lagi Gendong Ade Rai dan kebetulan Ade Rai sedang njinjing Prety Asmara. Bayangin deh beratnya.
“Iya-iya, abis jeritnya kamu tadi di boat mirip teriaknya kamu pas orgasme sih.” Oke, it’s to much ya. Perasaan tadi aku teriaknya biasa aja. Enggak ada unsur sengaja didesah-desahin atau gimana.
“Jangan ngawur.” Aku mengobrak-abrik koperku  bertepatan dengan  Tantra dan Denny yang masuk ke pondok. Dilema, aku tidak mungkin kembali ke kamar mandi hanya untuk mengganti handukku dengan baju. Apalagi mereka berdua sudah pernah melihatku telanjang. Kecuali Tantra tentu saja.
Dengan cuek aku memakai celana pendek dan kaos singlet pas badan. Sebodo amat deh dengan Tantra, dia straight kan? Seingatku dia straight.
“Pantes aja Beno kepincut ama elu, lu mulus banget sih jadi cowok.” Oh, mungkin dugaanku salah. Mungkin Tantra ada bakat bisex.
“Hasyah, minggir gue mau keluar.”
“Kamu makin seksi ya?” Ini terucap dari bibir Denny. Dan seketika itu juga aku merasakan hawa di pondok memanas.
“Ati-Ati Den liatin pacar orang.”
“Lha kenapa? Mata, mata gue. Terserah gue lah.”
“Daripada kalian berantem disini dan bikin berantakkan, mending kumpulin tenaga berantem di lumpur besok.” Ideku benar-benar mulia banget. Maksutku, aku tidak berkata ala drama korea.
Semisal;
“Kalau kalian berantem, aku bakal loncat.” atau
“Aku gak tau harus milih siapa, plis jangan berantem!!” Drama banget.
Untung dua kalimat lenjeh itu tidak keluar dari mulutku. Setidaknya di game perang lumpur, gak bakal ketahuan juga mereka mukulnya beneran sekuat tenaga. Hahahaha.


Bersambung . . .

Sabtu, 16 Agustus 2014

BARISTA 6

Chapter six

Shandy Pov
Dengan bermodalkan ingatan seadanya, aku menuju studio kemaren. Yang kalau dilihat dari luar seperti gudang tidak terpakai itu. Aku sendirian, karena Rendy gak ada sesi. Dia juga terlalu sibuk untuk siap-siap ikutan  sebuah ajang seperti male pageant, kurang lebih. Yah, semoga dia masuk deh. Gak sulit sebenarnya, dia kan ganteng, body uda jadi. Ya kecuali kalau dia ketahuan gak punya health habbit. Tapi itu semua bisa di drama ulang kan ya?
Aku dipersilahkan masuk oleh bodyguard berbadan sangar ketika aku mengucapkan akan bertemu Temmy. Sepertinya tempat ini memang dijaga ketat. Terkesan tidak diabaikan dari luar tapi diam-diam pengawasannya membunuh.
“Hei, gue Shandy ada janji sama Temmy.” Kataku langsung begitu sampai di meja Galang. Penerima tamu yang juga fisiknya oke. Sepengamatanku, yang kerja disini cowok semua. Aku belum melihat makluk hawa berkeliaran disini.
“Oh, bentar.” Galang, aku tahu namanya karena membaca badge name dia di seragamnya. Dia memencet nomor di telepon, berbicara sebentar dengan nada sopan dan kemudian menutupnya.
“Lo langsung aja ke studio dua, fotografernya uda nunggu.”
“Studio dua dimana ya?”
“Lo dari sini jalan lurus trus belok kiri, naik tangga satu kali, ada tulisan gede disitu studio dua.” Galang, walaupun agak jutek, sepertinya bakal jadi teman yang asyik.
“Oke, thanks.” Galang tidak membalas ucapan terimakasihku. Tapi dia menunjuk satu kupon dan memberikanku satu kotak snack dan air mineral.
“Ini kupon buat ntar lo kasih ke gue buat makan siang setelah lo selesai sesi.”
Aku ingin mengucapkan terima kasih lagi, tapi dia sudah sibuk dengan beberapa telepon yang masuk.
Aku melangkah ke ruangan yang tadi disebutkan Galang. Ruangannya gede juga. Aku seperti orang linglung, menatap sekitar dengan pandangan kagum yang tidak dibuat-buat. Walaupun untuk majalah gay, porno lagi, tapi studio ini bagus banget!
“Woi ganteng, sapos pos?” Aku menoleh ke arah sumber suara. Tadinya sih, mendengar logatnya, aku kira dia banci gagal tampil. You know lah, yang pakaiannya norak, ngejreng trus make up nya belepotan gak sesuai warna kulit. Tapi nyatanya? Dia memang ngondek, tapi kulitnya putih bersih, pakaiannya juga normal. Kaos pas badan dan jeans robek-robek.
“Gue Shandy,”
“Owh, yang modelina berong itu? Cucok, cuss ikut akika sebentong. Yey, perlu di make over.” Aku bingung, tapi tetep mengikuti cowok ngondek ganteng ini. Ganteng?
Aku disuruh membuka semua bajuku dan hanya memakai jubah mandi. Sambil menata rambutku dan juga membedakiku sedikit, aku tahu banyak tentang cowok banci satu ini. Yah, karena pada dasarnya dia terus bercerita tanpa kuminta.
Namanya Teddy, satu hal yang aku syukuri karena dia tidak berusaha mengganti namanya. Menjadi Tina misalnya, atau Teddora. Buahahaha.
“Perfect!! Yey bakaln hietz deh, percaya ma Akika. Cuss, bentar lagi si Tem Tem bakal dateng.”
“Tem Tem?”
“Iuh, desse gak usah perong –perong deh. Temmy, itu fotografer yey! Mujur banget nasib yey langsung digarap orang atas.”
***

“Yak, tahan. Usahain jubah mandi lo nutupin kontol lo. Yak gitu, tatap lurus ke kamera. Tatap, bikin yang liat lo pengen nyicipin tubuh lo!”
Aku berusaha mengikuti instruksi Temmy, ada beberapa orang disini. Si Teddy yang selalu siap kalau aku sedikit saja mulai berkeringat. Padahal ruangan ini lumayan adem. Lalu dua orang yang kadang-kadang membetulkan letak jubah mandiku. Jubah mandi ini dibuat-buat seolah melorot, hanya tangan kananku yang masuk ke lengan baju, sisi kiri tubuhku terekspose.
“No! Itu bukan tatapan menggoda, itu tatapan narsis! Come on! Lo bukan lagi foto pake tongsis buat DP BBM!!”
Trus gimana? Susah juga ya jadi model.
“Bayangin elu adalah seorang striper miskin yang besok mesti dapet duit, di depan lo ada gadun-gadun yang siap ngasih lo duit banyak, tatap mereka! Feel it!!”
Aku tak perlu membayangkan kalau aku adalah striper karena pada kenyataannya aku memang stripper. Aku membayangkan banyak gadun di depanku, terpesona dengan tubuhku dan apa yang akan aku lakukan? Bagaimana cara aku menatap mereka agar mereka tergoda untuk membayar mahal untuk melihatku? Aah, itu dia . . .
“Bagus, rasain, rasain, yak, tahan, tahan.”
Flash
Flash
Flash
“Sekarang lepas jubah mandi lo, hadap sini. Tututupi kontol lo pake tangan. Ncleng tolong bantuin!” Si Kencleng, asistennya Temmy membantuku melepas jubah mandiku. Yang sebenarnya sangat bisa aku lakukan sendiri. Teddy mengelap wajahku dengan tissue, membenarkan sedikit rambutku dan mengolesi tubuhku dengan minyak agar lebih mengkilat.
“Oke, kita mulai lagi.”
***

Gani Pov

“Hey Lita,” Lita mendongak kearahku lalu tersenyum. Matanya berbinar walau tampak sayu.
“Mas Gani, tadi Mas Denny bilang mau bawa Mas Gani.”
“Ini Mas Ganinya uda Mas culik,” Denny menimpali. Aku tersenyum sambil membelai Lita.
“Uda maem belom Lita?” Lita menggeleng.
“Pahit.”
“Ntar gak sembuh-sembuh lho, Mas Gani suapin ya?” Aku berusaha semampuku membujuk Lita agar makan. Walau hanya habis 4 sendok bubur tapi lumayan. Mudah-mudahan besok panasnya sudah reda.
Oya, jadi kenapa aku berada di rumah Denny sekarang?
Jadi, tadi Denny menelponku. Bilang bahwa Lita sakit, gak mau makan kecuali disuapin olehku. Aku gak percaya. Jujur saja, alasan macam apa itu? Kalau dia yang kangen, masa harus pake Lita melulu sih alesannya?
Tapi kemudian, saat Lita sendiri yang berbicara aku akhirnya luluh. Dengan dijemput Denny, disinilah aku sekarang. Padahal aku, beberapa hari yang lalu bertekad untuk menjauhi Denny. GATOT.
“Uda sejak kapan Lita sakit Den?” Aku mengikuti Denny ke dapur. Mbok Walmi sedang belanja, tau sendiri orang tua Denny dokter super sibuk. Jadi hanya ada kita bertiga di rumah. Sedangkan Lita pasti sudah tertidur.
“Kemaren, aku bikinin hot coklat ya?” Denny menoleh ke arahku sambil tersenyum. Dan mau tidak mau jantungku berpacu lebih. Aku menyuapkan sisa bubur Lita yang belum habis ke mulutku. Daripada harus dibuang? Lagipula aku lapar.
Denny membawa dua mug. Satu berisi coklat panas dan satunya berisi mancha. Dia menyerahkan satu mug ke tanganku lalu duduk disampingku.
“Kita uda jarang ya berduaan kayak gini.” Aku terdiam. Aku menyayangi Beno, sungguh! Tapi aku juga menyayangi Denny, masih menyayanginya. Tapi benar kata Radit, aku tidak mungkin memiliki keduanya. Itu hanya akan menimbulkan rasa sakit.
“Iya.” Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirku. Selama sesaat hanya ada keheningan diantara kita berdua.
“Aku punya temen baru Gan,” Aku menoleh ke arah Denny lalu tersenyum.
“Coba aku pengen lihat.” Denny membawaku keluar melalui pintu samping, lalu menuju kolam kecil. Tempat ikan Koi ku dan Denny hidup. Tambah gede aja itu ikan. Montok!!
Seekor anjing jenis Siberian Husky tengah bermain-main dengan bola. Tingkahnya lucu. But, seriously? A dog?
“Kamu pelihara anjing? Emang boleh?” Aku tahu keluarga Denny muslim.
“Itu punya saudaraku. Dia titip buat semingguan disini. Lucu ya? Kamu kan tahu aku suka anjing.” Denny memang pernah mengatakan itu. Dia suka anjing dan ingin memelihara anjing. Tapi, keluarganya tidak pernah setuju.
“Galak gak?”
“Agresif iya, galak engga.” Aku mencoba berjongkok ketika anjing itu tiba-tiba terdiam dan menatapku lama. Mungkin dia ingin mengamatiku yang notabene adalah orang asing. Aku mengulurkan tanganku untuk mencoba mengelus kepalanya. Dan tanpa diduga, dia berjingkit mendekatiku.
“He’s like you.” Denny tersenyum.
“Dia cowok?” Denny mengangguk lalu meraih tanganku.
“Masuk yuk, uda mulai sore, aku antar kamu pulang.” Tanpa sengaja memang, tangan Denny yang menggenggam tanganku. Erat, sama seperti dulu. Sayangnya, aku juga sama sekali tidak berniat untuk melepaskan tanganku dari genggaman Denny. Terasa salah, tapi dengan berbagai alasan aku mencari pembenaran. Aku membenarkan diriku sendiri. Membenarkan perasaanku yang mulai dilanda ragu.
***

“Liburan?” Tanyaku tak percaya pada orasi ihh, maksutku pengumuman yang disampaikan oleh Puspita, wakil ketua kelas. Elliot sang ketua kelas sedang keluar. Mungkin ke toilet, aku tidak bertanya tadi.
“Sebentar lagi kita bakal test akhir semester kan? Makanya sebelum kita belajar gila-gilaan kita butuh liburan!!”
“Kenapa gak abis test aja?” Ian nyeletuk.
“Hash! Pasti banyak yang enggak bisa! Karena liburan bareng keluarga. Ya kan?”
“Kok mendadak gini sih?” Pertanyaan Tantra ini langsung memancing kemarahan Puspita, aku mendoakan Tantra dalam hati.
“Mendadak? Lo kemana aja? Ini udah sering dibahas tauk! Kalo lo gak mau ikut ya udah gak usah! Gak ada lo gak ngaruh.” Jleb banget.
“Trus mau diadakan kapan Pus?”
“Seminggu sebelum Ujian, acaranya Jum’at Sabtu. Kita uda bentuk panitianya kok.” Aku sukses melongo. Lebih tepatnya, aku, Beno, Tantra dan Ian. Ketahuan deh yang sering absen kalau ada meeting kelas.
Ketuanya Denny, hmmm aku heran kenapa bukan Elliot. Dan kalau panitia yang lain-lain aku tidak begitu peduli, tapi mataku sukses melotot ketika melihat namaku juga tercantum sebagai panitia. Bukan jabatan yang maha penting, tapi menjadi panitia itu sesuatu yang sangat aku hindari. Aku semacam mempunyai alergi menjadi orang-orang penting sebuah organisasi.
“Lo gak salah ketik Pus?” Aku menunjuk namaku yang terpajang sebagai seksi transportasi. Seksi transportasi 2 sih, yang pertama Radit. Ya kan sama saja.
“Engga, kalau disuruh dengan sukarela mana ada yang mau jadi panitia?” Aku mengangguk-angguk mengerti. Iya juga sih.
“Oya, untuk yang jadi panitia ntar ada meeting sepulang sekolah, WAJIB banget buat dateng.”
***

Beno tidak ada dalam list panitia, sedangkan Radit hari ini tidak masuk, jadilah aku meeting dengan diam. Aku tidak mungkin mengajak Elliot bercanda, itu sama saja dengan mengajak biarawati berhubungan seks. Mungkin bisa, tapi mustahil terjadi. Liburan kali ini dipilih di Sukabumi ‘cherroke’. Sebenarnya, akan ada pilihan, Bandung, Jogja atau Bali. Tapi, panitia akan mengarahkan agar anak-anak sekelas nanti memilih Sukabumi. Akan ada rafting, outbond. Aku hanya menyimak, mereka sedang mendiskusikan bagaimana cara agar anak-anak sekelas nanti memilih Sukabumi.
Seperti, kalau di Bandung sudah biasa. Terlalu mainstream, gak beda-beda jauh dari Jakarta. Gitu-gitu aja. Jogja? Terlalu jauh, bakal menghabiskan waktu, kalau menggunakan pesawat nanti menyita banyak dana. Bla bla bla bla. Bali? Toh nanti kelas tiga juga bakalan ke Bali studytour sekolah. Gak enak banget kan liburan dua kali ke tempat yang sama, dan masih banyak lainnya. Aku salut!
Aku bernafas lega ketika akhirnya meeting selesai.
“Keknya agak egois juga kalau kayak gitu keputusannya.” Aku dan Denny berjalan menuju parkiran.
“Sebenernya seisi kelas juga uda tahu kok kalau bakal ke Sukabumi, disana kan pegunungan, banyak yang setuju.”
“Kenapa aku gak tahu ya?” Denny menstater motornya.
“Kamu terlalu sibuk pacaran, mau makan dulu?” Aku diam sejenak.
“Boleh,” Aku berkata sambil naik ke atas motor.
Denny membawaku ke Bakmi GM di dalam sebuah mall. Agak canggung juga sebenarnya makan berduaan bareng mantan pacar gini. Walau sebenarnya aku kadang-kadang masih makan bareng Denny. Tumben juga Denny mengajakku makan di dalam mall.
Suasananya lumayan rame, biasa jam segini kan jam-jamnya orang balik kantor.
“Yakin cuman mesen itu?” Aku memang hanya memesan NasGor Ayam Smooked, tapi berdasarkan pengalamanku makan di Bakmi GM, satu porsi uda lumayan banget bikin perut bengkak kekenyangan.
“Yakin, ini aja engga yakin abis apa kaga.” Denny hanya tersenyum sambil menatapku. Serasa banget kayak lagi jalan sama gebetan.
“Kamu kenapa sih Gan makin manis? Aku malah jadi semakin susah move on kan?” Mungkin kalau aku sedang minum, aku bakalan kesedak. Tapi karena sekarang aku lagi tidak ngapa-ngapain, aku hanya bisa bengong. Bengong kek orang bego.
“Tu kalau lagi malu, pasti tambah cute.” Shit!
“Jangan mulai ngegoda deh Den.”
“Nope.” Aku mendongak dan menatap Denny yang tengah tersenyum sambil matanya tetap menatapku.
“I still love you.” Kata-kata itu tidak terucap dari bibir Denny, namun gerakan bibirnya sangat jelas. Aku bisa membacanya, dan berusaha keras untuk membayangkan Beno dengan segala daya pikatnya. Dan aku berhasil, Beno menang.
“Stop it Den, it’s not working anymore.” Dan Denny hanya nyengir, semakin tampan. Sukses membuat jantungku berdegup lebih kencang. Beno kalah.
***

Beno Pov

Tantra dan Ian melirikku lagi, dan lama-lama bikin aku jengah. Sialan!
“Come on lha bro! Lo ada hubungan apa sih sama Gani?” Lagi-lagi pertanyaan ini. Di ulang-ulang, tidak perduli seberapa sering aku menjawabnya.
“Temen lah.”
“Kita uda sohiban dari SMP, masa iya gue kaga tau gelagat aneh lo bro!” Ian kembali menatapku. Kali ini tatapannya begitu mendesak. Mendesak sebuah kejujuran.
“Iya temen.”
“Temen tapi ML,” Aku melotot ke arah Tantra yang mengucapkan kata-kata itu dengan santai. Tak berapa lama kemudian Ian menyodok rusuk kirinya.
“So, kemaren pas lo keluar dari toilet bareng? Gak usah ngeles, toilet lain banyak yang kosong.” Kata-kata dari Ian tepat sasaran, walaupun aku sebenarnya masih bisa ngeles.
Shit! Gani selalu mengingatkanku bahwa terlalu bahaya bermain di area sekolah. Tapi aku tak pernah bisa menahannya. Oh, apapun yang berhubungan dengan Gani memang tidak bisa aku tahan. He is my priority. Gimana aku bisa tahan sementara Gani di sampingku menggigit-gigit bibirnya minta dicipok?
“Kita gak bakal jauhin lo kalau misalnya lo sama Gani gituan.”
“Gituan?” Aku mengangkat kedua alisku.
“Ya gitu, kayak cewek ama cowok. Pacaran, trus gitu-gituan.”
“I get your point.”
“Serius Ben! Dari dulu juga kita berdua udah curiga, jauh sebelum lo sama Gani deket kayak sekarang.” Aku hampir memuntahkan minumanku kembali.
“Hah? Serius? Gue ‘gay’ banget gitu?” Aku memang tidak pernah mendeklarasikan diriku sendiri macho, tapi masa aku ngondek?
“Bukan! Kalau lo ngondek, uda kita berdua bulli dari SMP! Curiga, dari banyaknya cewek yang memuja-muja lo, gak ada satupun yang elo jadiin pacar.” Ian nyerocos.
“Dan kalau lo ketemu cowok yang mukenya manis-manis kek Gani gitu lo pasti sibuk curi-curi pandang. Lo pikir kita gak perhatiin?”
“Oh.”
“Oh doang? Jadi beneran lo pacaran ama Gani? Uda berapa lama?”
“Hampir 6 bulan.”
“Selama itu dan kita berdua kaga tau,”
“Gani juga pernah pacaran sama Denny.”
“What? Denny? Si cool itu? Ngaco lo Ben!”
“Tanya aja orangnya, mau nanya apalagi ke gue sekarang?” Tantra dan Ian nyengir.
“Uda ,gitu-gitu’an sama Gani?” Sumpah aslinya aku mau tertawa.
“Eh bentar-bentar, lo kok gak ngaceng kalo pas bilas bareng sama gue abis gym? Gue kan seksi, ganteng juga.” Aku menjitak Tantra dengan serius.
“Gue cuman terangsang sama Gani doang.” Tantra dan Ian saling melirik sebelum akhirnya nyengir.
“Yakin?” Tampang mereka berdua tampak licik. Aaahhhh.
***

Aku menemani Gani belanja bulanan. Tubuhku masih agak pegel gegara digebukkin Ian dan Tantra tadi. Cowok sama cewek kalau pacaran kayak gini juga gak ya? Dulu, sebelum pacaran sama Gani, yang beliin perawatan wajah pasti si mama. Karena Mama itu pengen banget punya anak cewek, pengen banget anak-anaknya bersih. Masker, lalu pijat lulur bareng. Berempat, Mama, Papa, Mas Yoga, aku. Hahaha. Kalau gak diturutin bisa marah besar si nyonya. Tapi sekarang aku gak perlu dipaksa lagi. Gimana ya? Mau disebut metroseksual pun aku tidak peduli. Buktinya, wajahku lebih mulus dibanding pria kebanyakkan atau bahkan cewek tanpa harus ditutupi bedak. Dan jelas tanpa harus di edit-edit atau memakai camera 360. Thanks to my mom.
“Aku mau ganti sabun, ini bagus gak ya wanginya? Kamu suka gak?” Gani menyodorkan sebuah produk sabun cair tepat ke depan hidungku.
“Terlalu wangi.” Gani meletakkannya lagi. Aku menyukainya, suka ditanyai apa pendapatku tentang semua hal yang ingin Gani lakukan. Entah, aku merasa aku dihargai. Apalagi ketika Gani benar-benar menuruti apa yang aku katakan. Tidak terlalu sering sepanjang pengamatanku.
“Kalo yang ini?” Aku mengangguk.
“Tapi aku lebih suka wangi tubuh kamu sayang.” Aku berbisik di telinganya sambil mencium pipinya singkat. Gani meremas pinggangku sebelum akhirnya berjalan lagi. Dengan geli aku mengikuti berjalan dibelakang Gani. Lalu kemudian mataku tertumbuk pada satu sosok. Shandy.
Shit! Males banget ketemu tu anak.
Sialnya, Shandy menyadari keberadaanku. Terlalu ketara kalau tiba-tiba aku menjauh sekarang, apalagi Gani yang sama sekali tidak suka kalau acara berbelanjanya di interupsi. Sial!! Dan sekarang Shandy berjalan menghampiriku.


Bersambung . . .