FOLLOW ME

Minggu, 28 September 2014

BARISTA 9

Chapter Sembilan

Shandy Pov
Aku membenci Gani? Tidak juga. Iri? Mungkin. Awalnya, aku hanya naksir Beno. Itu saja, lalu kemudian aku tahu bahwa Beno sudah mempunyai pacar. Gani. Dia benar-benar cowok yang beruntung. Wajah manis khas type-type bottom primadona para top. Aku tadi sempat menelusuri twitter Gani. Cukup kaget juga setelah mengetahui bahwa Denny adalah mantannya. Wow.
Sepertinya dia cukup sukses memikat cowok-cowok high quality. Denny, hmmm. Aku juga sudah memfollow akun twitternya. Syukur-syukur difollback. Bukankah para homo bakalan suka sama wajah-wajah sepertiku? Tiba-tiba aku mendapat ide. Tanpa menunggu lama aku langsung mengganti avatar twitterku menjadi fotoku yang tengah shirtles. Good job.
Aku baru saja mau mengirim picture ketika Bbku bergetar. Temmy, ngapain malem-malem gini telepon?
“Napa Tem?”
“Gue ada job buat lo. Fee nya gede, tapi beda dari biasanya.” Aku langsung mengubah posisiku menjadi duduk. Job! Berarti duit dalam rekeningku bakal nambah.
“Beda gimana?”
“Lo bisa nemuin gue di office sekarang kaga?” aku melirik jam dinding yang terpasang tepat di atas almari. Jam sembilan malam. Belum terlalu larut sebenarnya, namun entah kenapa aku agak ragu.
“Gimana? Bisa gak lo? Kalo gak gue oper ke model lain nih.”
“Oke, gue otw. Bye.”
Dalam waktu kurang dari 30 menit aku sudah mengganti bajuku dan berada di pinggir jalan besar untuk menunggu taksi. (Aduh, ini buat ngisi teks sebelum si Shandy tiba di office nya Temmy diisi apaan ya? Kalau tiba-tiba aku sudah sampai gitu kan agak gak nyambung gitu kan ya? Sudahlah ini enggak penting. – Penulis Pov)
Office sudah kosong. Meja tempat Galang bekerja juga sudah rapi. Hmm, dengan agak berhati-hati aku menuju ruangan Temmy. Disana juga sudah ada Rendy dan wait, aku belum pernah lihat anak itu sebelumnya. Manis, mungkin usianya masih belasan. Dibalik kaos polonya, aku bisa menebak kalau anak ini juga mempunyai body L’men wanna be. Kalau tidak, ngapain dia disini?
“Oh, lo dateng juga. Kenalin nih Shan, Tian. Tian, kenalin ini model gue Shandy.” Kata Temmy begitu batang hidungku sudah terlihat olehnya.
“Hi, gue Tian.” Ganteng!
“Shandy.”
“Oke, jadi langsung aja gue jelasin ya projectnya bakal kayak gimana. Ada klien yang minta buat foto underwear, buat promosi. Orang Thailand. Kita bakal ambil gambarnya di outdoor, gue uda nemu tempat yang pas dan yah, privasinya lumayan kejaga.” Aku masih bingung. Kata Temmy tadi bakal sedikit beda. Lalu apa bedanya? Toh, aku juga sudah sering foto dengan underwear, bahkan yang tanpa apa-apa saja aku sudah pernah.
“Modelnya kalian bertiga. Ada foto single, lalu berdua. Dimana masing-masing dari kalian bakalan berganti pasangan. Dan ada season foto kalian bertiga. Naked. Bener-bener naked. Artinya, foto perkakas lo bertiga bakal kena shoot kamera. Dan selama proses foto ada dokumentasi video. Seperti yang gue bilang fee nya tiga kali lipat dengan fee yang biasa kalian dapetin.” Temmy memandang kita bertiga secara bergantian.
“Ada yang keberatan? Bilang sekarang, biar gue punya waktu buat cari penggantinya.”
“Gue oke-oke aja.”
“Gue juga gak ada masalah.” Oke, sekarang tinggal aku yang belom memberi jawaban. Di video?
“Videonya bakal diedarin?” Akhirnya aku memberanikan buat bertanya. Temmy hanya mengangkat kedua bahunya.
“Gue gak tahu, karena seluruh picture dan video bakal dikirim buat klien. Hak dia buat mau diapain itu video.
“Gak ada sex scene kan tapi?”
“Gak ada. Gue bisa jamin yang itu.”
“Tiga kali lipat?”
“Iya Shan! Gimana? Lo ambil apa kaga?” Aku menimbang-nimbang keputusanku selama sesaat.
“Oke, gue ambil.”
“Good! Persiapin diri kalian, fitnes, jaga badan! Proses shooting bakal diadain minggu depan di villa milik temen gue.”
Aku berharap aku tidak salah ambil keputusan.
***

Gani Pov
Kelas tengah kosong, karena guru-guru tengah ada rapat. Sebenarnya ada tugas yang wajib dikumpulkan nanti. Tapi aku sudah selesai mengerjakannya. Bareng Elliot. Jadi aku sekarang free dan nganggur. Sambil sesekali aku menyapu pandangan ke segenap penjuru kelas. Isinya juga sama, anak-anak yang sedang sibuk menyalin tugas. Tugasku sendiri sudah entah berada dimana.
Aku berdiri dan memilih untuk duduk dipojok belakang. Membuka akun twitterku dan dengan iseng searching akun-akun yang sering mengupload foto-foto hot. Yah kadang-kadang ada yang asian bahkan Indonesia.
Aku sekali lagi mengamati keadaan, setelah aku merasa bahwa anak-anak yang lain tidak akan merusuhiku paling tidak untuk tiga puluh menit kedepan, aku mulai searching. Sekarang ini, twitter lebih bisa diandalkan untuk hal-hal berbau pornografi ketimbang google. Searh saja pake hashtag LokalHangat, LinkBokep, GayVid, pasti langsung banyak bermunculan. Buahahaha.
Aku kembali fokus ke smartphoneku. Mau tidak mau aku sedikit on. Ya mau gimana coba, gambar-gambar setengah telenji hot gitu kan bisa banget bikin greng.
Eh, aku seperti kenal gambar barusan. Gambar seorang cowok yang hanya ditutupi underwear basah yang sayang sekali tidak bisa menutupi bayangan tititnya yang kecoklatan. Shit! Gak ada tag accountnya lagi. Aku langsung menelusuri akun yang memposting foto tersebut.
Temmy Wijaya.
Di bio twitternya sih ditulis kalau dia seorang fotografer. Dan foto yang aku liat tadi. Itu jelas foto Shandy. Oke, dia stripper, mungkin dia juga tidak bakal jauh-jauh dari pekerjaan seperti ini. Model hot atau Hot model? Ya gak penting juga ya tinggal dibolak-balik ini. Banyak sisi Jakarta yang bahkan aku pun belum tahu dan sepertinya aku juga tidak ingin tahu.
Oke, item followingnya sedikit. Siapa tahu dia follow Shandy. Gila, aku jadi seorang stalker! Gak papalah yang penting gak kepencet favorite atau keretweet aja. Hahaha.
Oke, gotcha!
Hmm, dari sebagian besar foto yang dia upload sih sepertinya dia memang suka pamer badan.
Aku beralih melihat isi dari kicauan si Shandy. Aah, ini anak tipe yang sering nyampah di timeline juga ternyata. Sepertiku. Hahaha. Eh wait, di bionya ada nomor handphonenya.
Isi bionya sih lebay banget, for contact you can call 081 sekian sekian sekian. Kayak sekuter aja.
Hmmm. Aku belum pernah sesebel ini sama orang tapi ya sudahlah, aku mau ngerjain dia. Mungkin ini yang disebut The Insting Of Botty. Alias cemburu buta. Hahaha.
***

Minta bantuan Beno? Enggak mungkin, Beno jelas kenal sama Shandy. Bahkan mungkin uda ada nomor kontaknya. Radit? Aduh, hopeless deh sama dia. Yang ada ntar kita berdua malah ngondek-ngondekkan gaje. Pandanganku tertumbuk pada sosok yang sampe sekarang masih aku anggap sebagai Taylor Lautnernya sekolahku. Denny. Aah, tapi gimana ngomongnya? Denny kan walaupun pendiem gitu suka ribet kadang-kadang.
“Tumben lo mojok diem gini? Tugas lo emang udah selesai?” Aku menengok kesamping dan seketika mendapat pencerahan. Tantra! Doi tajir, aku melihat Tantra atas bawah dengan teliti. Good looking juga. Gak perlu cari korban karena korbannya sudah mendekat.
“Gue butuh bantuan lo!” Aku segera menyeret Tantra keluar dari hingar bingar kelas. Sedih juga karena sebentar lagi kita bakal naik kelas tiga. Tinggal menghitung hari lagi.
“Gila lo! Salah apa itu anak sama lo?” Suara Tantra lumayan kenceng saat aku sudah selesai mengeluarkan ide gilaku mengerjai Shandy. Aku dengan lemah menggeleng. Masalahnya, Shandy memang tidak ada salah denganku. Dia menyebalkan, iya! Tapi bukan berarti aku bisa mengerjai dia seperti ini.
“Iya juga sih. Ya udah deh lupain aja. Mungkin tadi gue terlalu iseng jadi kepikiran yang iseng-iseng juga.”
“Mending temenin gue ke kantin.”
“Enggak sama Ian atau Beno?”
“Mereka masih sibuk nyalin tugas akhir ini. Kapan lagi ke kantin berdua ama gue? Sapa tau entar di kelas tiga kita gak sekelas lagi. gue traktir.”
“Oke.”
“Buset, traktir itu masih work ya buat mancing elu!”
“Uda deh buruan. Rempong!” dan Tantra hanya tertawa.
Nongkrong berdua bareng Tantra di kantin ini baru pertama kalinya. Biasanya bakal ada Beno, Ian atau Radit. Tapi sekarang? Hanya kita berdua. Mau tidak mau, aku jadi mengamati Tantra lebih seksama. Suer deh, kayaknya  gay itu punya tabiat buruk curi-curi pandang ya kalau didekat cowok bening? Atau ini hanya terjadi denganku?
Tantra tidak jauh beda dari Beno secara fisik. Putih, tinggi dan atletis. Hanya saja, Beno populer, Tantra tidak begitu menonjol. Setahuku, Tantra tidak ikut tergabung dalam ekstrakurikuler apapun. Tidak ikut basket seperti Denny, football seperti Beno atau, aku memutar kedua bola mataku sebentar. Rohis seperti Radit. Oh lupa, aku juga tidak ikut tergabung dalam ekstrakurikuler apapun.
“Kenape lo? Baru sadar gue keren?” Aku tersedak siomayku.
“Lo emang keren Tan, gue akui itu. Tapi kenapa lo gak populer ya? Maksut gue, dari jaman baheula lo uda kemana-mana bareng Beno. Masak iya lo gak kecipratan populernya Beno sih?”
“Gue beda dari cowok lo yang gayanya flamboyan tapi sok cool itu! Gue ini introvert.” Tawaku sukses meledak. Introvert? Come on!
“Lo introvert? Oke, I believe it.”
“Lo bilang percaya tapi sambil cengar-cengir gitu. Gue serius, gue mudah banget ngalamin yang namanya akward moment. Gue gak terlalu suka ngumpul sama anak baru. Ya seperti yang lo bilang, that’s why temen gue dari dulu cuman Beno sama Ian doang. Gue gak jago bergaul Gan. Serius!”
“Tapi ini lo lagi ngobrol sama gue.”
“You are nice and sweet, may be itu kali ya yang bikin gue gak ngrasa strange kalo lagi deket sama lo Gan.”
“Nice and sweet? Ngaco lo! Kita baru ngobrol berdua tuh baru kali ini lho.”
“Jadi lo gak notice kalau gue suka merhatiin lo diem-diem?” Aku setengah kaget. Tantra?
“Becanda kali. Hahaha.”
“Sial lo!”
“Ngarep gue perhatiin?”
“Haha, thanks Tan. But seriously, I don’t need. Diperhatiin sama Beno dan Denny aja kadang uda bikin stres.”
“Jadi bener lo pernah pacaran sama Denny?”
“I did.”
“Mantep lo ya! Hahaha.”
***


Gw punya lagu buat lo

Aku tersenyum sendiri membaca BBM dari Tantra. Tumben ini anak BBM bukan urusan sekolah atau urusan yang penting.

Apa?

Tanpa menunggu lama,

All Of Me

Alisku mengkerut. John Legend?

Uda pnya.

Aku memasang earphone kedalam telingaku ketika ada wa dari Beno yang ingin mengajakku keluar. Dia uda ada dibawah ternyata.

Ini gw yg nyanyi. Mau gak? Gw send ya?

Tantra bisa nyanyi?

Oke.

Aku buru-buru turun kebawah. Dan ternyata Mbok Parni sudah membukakan pintu untuk Beno. Pacarku itu mengenakan jeans pas badan, oke bener-bener pas dan kaos yang ehm sekali lagi juga pas badan. Kalau aku lihat, sepertinya badan Beno makin jadi.
“Kok gak bilang mau kesini?”
“Surprise aja pengen ajak kamu makan.”
“Oke, tunggu bentar ya, aku ganti baju dulu.”
“Oke,” Tanpa menunggu waktu berjalan lebih lama lagi aku segera naik keatas. Berganti baju yang menurutku gak jelek-jelek amat buat diajak keluar, semprot parfum dikit, sisiran sekilas. Oke. Thanks to God, aku punya bibir merah siap cipok. Hahaha.
“Radit belom pulang ya? Kok gak keliatan tadi?” Aku mengangguk sambil mengikuti Beno.
“Tadi uda balik trus pergi lagi sama Risky.” Beno tidak memberi pertanyaan lagi.
Tumben Beno membawaku ke restoran mewah gini. I mean, dengan dia yang pake jeans dan kaos aku beranggapan bahwa kita bakal makan malam di tempat biasa. Oleh sebab itu aku juga cuman pake celana jeans pendek belel robek-robek di beberapa tempat dan kaos berkerah dengan tulisan FUCKING SKINNY BITCHES tepat di punggung. Oh My, aku salah kostum.
Setelah sang pelayan restoran membawaku dan Beno ke tempat yang memang sudah di booking. Oke, berarti Beno sudah merencanakan ini dari awal. Beno sih terlihat cuek, tapi aku? Ketika aku menatap sekeliling dan rata-rata dari para tamu lain memakai pakaian resmi, aku merasa sangat amat gembel.
“Kamu gak bilang bakal makan ditempat seperti ini.”
“Lho kenapa? Ini resto bagus lho. Kamu perhatiin gak? Pelayannya tetep ramah kan walau kita berdua gak pake pakaian resmi?”
“Iya. Tapi. . .”
“Udah, biasanya kamu cuek sama apa kata orang.” Oke deh. Aku diam sekarang.
“Gan?”
“Hmm?”
“Kamu inget enggak hari ini hari apa?”
“Jum’at. Besok libur.” Jawabanku membuat Beno sedikit menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ini enam bulan tepat kita jadian.” Aku berpikir sebentar. Hmm, tanggal aku jadian sama Beno itu. Ya Tuhan, yang aku inget kan tanggal kita jadian ama bulannya. Aku mana ngitung ini uda sebulan, dua bulan atau tiga bulan. Tapi hari jadian aku masih inget dong.
“Okay, I am sorry.”
“Ya, aku juga tau kamu pengingat yang buruk.”
“Thanks honey, I take it as a compliment.” Jawabku agak nyinyir sebenarnya.
“Kamu masih sayang sama aku kan? Setelah enam bulan kita pacaran? Belom bosen?”
“Hmm, bosen? Enggak. Aku gak bosen sama kamu. Dan yah, I still love you. Kenapa sih Ben?”
“Gak papa, aku kan ngebosenin orangnya.” Aku termangu sebentar.
“Ngebosenin dalam hal apa dulu nih? Seks? I think, kamu lumayan ada progres kemajuan sih gak kaku kayak kanebo kering lagi seperti awal kita pacaran.”
“Kaku? Kamu kali yang kaku, seberapa sering kamu nolak waktu aku ajak outdoor? Kamu yang ada progres sayang. Not me. Aku selalu unpredictable.” Membicarakan seks di restoran? Nasty ya? But, I don’t care!
“I have a plan.”
“What is it?” Aku bertanya sambil lalu karena menu hidangan sudah disajikan didepanku. Makanan selalu bisa mengalihkan duniaku.
“Aku uda sewa kamar hotel.” Aku mendongakkan kepalaku.
“Uda disewa? Uda dibayar?”
“Belum sih, kan masih rencana.”
“Gak usah deh Ben. Buang-buang duit kalau kayak gitu.”
“Aku pengen hari ini spesial aku sama kamu.”
“Gak berarti harus di hotel kan? Kamu mending makan dulu deh.” Aku mencium bakal adanya pertikaian disini. Beno, walau tidak sekeras kepala Denny, tapi tidak bisa dibujuk dengan mudah juga kalau sudah mempunyai rencana.
Dan aku? Aku bukan tipe orang yang akan menghamburkan uang begitu saja hanya untuk menyewa hotel mewah. Ini saja sudah terlalu berlebihan menurutku. Walau aku dan Denny tidak sampai enam bulan pacaran, aku yakin dia tidak akan terlalu membuang uang banyak hanya untuk hal sepele seperti ‘Enam Bulanan’. Shit! Aku malah jadi membanding-bandingkan begini.
“Jadi gak mau di hotel?” Aku dan Beno sudah berada di parkiran sekarang. Aku menggeleng.
“Kan aku yang bayar.” What? Entah kenapa harga diriku tersentil dengan kalimat barusan.
“Oke, selama ini kita jalan, kita nonton, kita makan kamu yang bayar! Itu juga karna kamu yang selalu ngelarang aku buat ngluarin duit kan? Kamu lupa?”
“Hei, kok jadi emosi? Merembet kesitu juga? Bukan itu maksutku.”
“Ahh, udahlah. Anterin aku pulang, aku ngantuk.” Aku marah. Rada kesel juga, tapi enggak berniat buat beranjak pergi biar dikejar. Males, iya kalau dikejar lha kalau kaga? Nangis aku! Aku diam saja ketika Beno mulai menstater motornya.
“Naik, atau aku yang naikkin?” Dengan gaya ogah-ogahan persis anak TK merajuk aku naik motor, namun urung memeluk pinggang Beno.
Sepanjang perjalanan, aku dan Beno hanya diam. Aku diam wajar, kan aku yang sedang marah. Lha Beno? Seharusnya ada something yang dia lakukan dong? Ngerayu dikit kek, ngebujuk dikit kek? Jujur nih ya, mulutku sebenernya uda gatel pengen ngomong, tapi aku tahan. Takutnya, jatuhnya ntar aku gak konsisten ngambeknya.
Beno tidak langsung mengantarku pulang ternyata, dia berhenti didepan tukang penjual martabak manis yang memang sering banget aku dan Radit datengin. Sama Beno juga sering.
Dengan gaya masih merajuk aku turun dari motor.
“Bang, martabaknya lima ya. Yang spesial semua.”
“Sip boss, ditunggu!”
“Agak cepet ya bang, soalnya pacar gue lagi ngambek.” Ada dua orang yang tengah mengantri. Sepertinya sepasang sekong juga yang langsung menatapku penuh iri. Sepertinya mereka gak perlu belajar bahasa tubuh kalau yang dimaksud ngambek oleh Beno itu adalah aku.
“Aku lagi gak mood makan martabak.” Aku dan Beno tengah berada di kamarku. Radit tadi bilang kalau dia bakal menginap di rumahnya Risky.
“Hmm, enam bulan kita pacaran dan baru kali ini aku lihat kamar kamu. Khas bottom.” Aku diam saja mendengar kalimat yang dikeluarkan Beno. Radit gitu-gitu kan dia top, yah dia yang bilang sih dia top.
“Apa yang bikin kamu berpikir khas bottom?”
“Tuh.” Beno menunjuk beberapa komik, buku, majalah yang tersebar cantik diatas kasur. Dan aku mengkernyit tidak paham. Sudahlah, aku sedang ngambek. Jadi jangan banyak bicara.
Beno mulai membuka bungkus martabaknya dan mulai melahap dengan gaya inoncent sambil nonton tv. Aku melirik sekilas, melihat lelehan coklat yang tepat sedang digigit Beno. Sabar, sabar Gan, inget? Lo lagi ngambek!
Tapi martabak itu seolah memanggil jiwaku untuk melahapnya. Aku gak kuat!!
Aku turun dari ranjang dan menyomot satu martabak.
“Katanya gak mood?” Aku tahu Beno tengah menahan senyum geli dibibirnya.
“You know what? Remaja mengubah pikiran mereka berulang kali sebelum mengambil keputusan.” Tu kan ini martabak emang juara.
“Oh gitu.” Hening.
Baik aku dan Beno masing-masing sibuk dengan pemikiran masing-masing. Sesekali aku melirik Beno dan sekuat tenaga pula aku menahan lidahku untuk tidak menjilati rempah-rempah martabak yang belepotan di bibirnya. Yakin, aku sudah menahan diri. Aku pastikan aku kuat menghadapi godaan bibir Beno ketika pada saat yang sama lidahku sudah mencecap rasa bibir Beno.
“Sorry for being childish.” Aku berkata sesudah menyudahi ciumanku.
“Aku juga minta maaf uda ngasih kamu surprise yang engga terlalu kamu suka.”
“I like it Ben, serius. But not to much.” Beno tersenyum lalu merogoh saku jeansnya.
“I have present for you.” Sepasang gelang. Satu bertuliskan Beno didalamnya yang aku pakai dan satu bertuliskan Gani yang Beno pakai.
“I love you so much,”
“I love you too.” Kataku sambil bibirku kembali merapat ke bibir Beno.
“Aku heran akhir-akhir ini kamu agresif banget.” Beno naik ke atas ranjang setelah melepas celana jeansnya. Melihat gelagatnya, sepertinya Beno bakal menginap disini malam ini.
“Do I?” Beno mengangguk.
“Gan? Boleh gak semalaman ini aku meluk kamu?” Aku tersenyum sebelum mengunci kamar, mematikan lampu lalu naik keatas ranjang. Aku merebahkan kepalaku diatas dada Beno, lalu tanganku menelusup kebalik kaosnya. Sesekali dengan iseng aku membelai putingnya.
“once again I love you, good night my prince.” Dan aku hanya tersenyum sambil memejamkan mataku. No sex, but I feel more than just orgasm.
“I love you too.”


Bersambung . . .

Senin, 22 September 2014

BARISTA 8

Chapter Delapan

Shandy Pov
Aku kangen Beno! Sumpah, bahkan klien yang tadi minta aku temani pun hanya aku tanggapi seadanya. Jadi tadi Rendy memintaku untuk membantunya. Membantu Rendy itu enggak bakal jauh-jauh ama hal yang berbau gay. Trust me, kayak sekarang ini.
Rendy mendapatkan ‘klien’ dan kliennya ini membawa teman. Oke, kalian pasti sudah bisa menebaknya kan? Yah, kita semacam double date. Mereka enggak membayar kita buat seks, walau pasti nanti mereka nuntut itu juga. Aku yakin.
Kita berdua semacam menemani mereka jalan-jalan. Di kesempatan seperti ini, biasanya aku menggunakannya untuk berbelanja beberapa barang bermerk dan high quality. Toh, mereka yang bakal bayar. Tapi enggak kali ini. Aku sama sekali tidak bisa konsentrasi. Sejak pertemuan terakhirku dengan Beno, aku semakin intens memikirkannya.
“Kamu kok diem aja sih kasep? Yakin gak laper?” Klien yang aku temani, berusia sekitar akhir dua puluhan. Dia beristri, kata Rendy begitu. Sebenarnya, dia juga gak jelek-jelek amat. Badan bagus karena aku yakin dia menghabiskan banyak uang untuk membayar personal trainner, membeli suplemen fitnes dan pasti dia sangat menjaga pola makannya.
Wajahnya juga bersih, aku juga yakin wajahnya tak pernah absen dari salon. Mungkin seminggu sekali. Tapi dia bukan Beno. Itu inti masalahnya.
Rendy menginjak sepatuku. Sepertinya itu kode agar aku lebih memperhatikan klienku. Gimanapun juga, aku sedang ‘kerja’.
“Engga mas, tadi uda makan. Aku pesen minum aja.” Aku berusaha menampilkan senyum menawan.
“Ya sudah, habis ini kita karaoke.” Ini dia. Aku melemparkan pandangan pada Rendy dan dia pura-pura tidak melihatku. Karaoke, biasanya dijadikan tempat untuk sex activity. Mereka berdua aku yakin bakal menyewa vvip room dan jelas, memintaku dan Randy melayani nafsu mereka. Aku sudah cukup hafal dengan trik ini.
Padahal, aku sudah mengatakan pada Rendy bahwa aku sedang tidak mood melakukan seks dengan siapapun, kecuali Beno tentu saja. Tapi mana mungkin dia minta?
Aku menyetel alarm smartphoneku agar berbunyi tepat 1 menit kemudian.
Segera setelah lagu dari Gaga, “G.U.Y” mengalun dari smartphoneku, aku pura-pura bahwa itu adalah panggilan masuk.
“Napa Dek?” Aku pura-pura tentu saja.
“Hah, Ibu sakit? Oke, lo tenang aja. Abang bakal langsung pulang.” Dengan gaya gusar aku menghampiri Rendy dan dua kliennya. What the hell!!
“Sorry, kayaknya aku gak bisa gabung. Ibuku tiba-tiba pingsan di dapur. Sorry, maaf banget ya?” Tanpa menunggu balasan mereka, aku langsung cabut.
Begitu aku sampai tengah jalan ada bbm masuk dari Rendy.

Lo boong kan tadi?

Aku langsung membalasnya tanpa lama.

Selamat threesome. Hahaha

Aku tersenyum sendiri, malam ini aku bakal menghabiskan waktu bersama keluargaku saja. Sejak menjadi go go boy, aku sudah jarang menghabiskan waktu bareng Ibu dan Bapak dan juga adikku. Hmm, beli donat aja dulu ya buat mereka.

***

Beno Pov
Acara bakar-bakaran tadi diselingi door prise. Walaupun berbequenya memang sudah sepaket dengan Pondok Imah, tapi hadiah door prisenya ternyata pure dari sisa uang iuran satu kelas. Salut juga sama panitianya, yah meski aku bukan bagian dari panitia. Hampir semua anak sudah masuk ke pondok masing-masing. Aku juga, demi menidurkan Gani. Karena aku sendiri belum mengantuk. Setelah yakin Gani tertidur, aku keluar dari pondok dengan perlahan. Sebisa mungkin tidak membangunkan Tantra, Radit dan Gani yang sudah terlelap.
“Lo suka begadang?” Aku duduk agak berjauhan dari Denny yang sedang merokok.
“Kaga, lagi pengen ngerokok. Abis satu batang gue langsung tidur, mau?” Denny menyodorkan satu batang dan aku langsung menggeleng.
“No, thanks. Gua gak ngerokok.” Denny tersenyum simpul. Setelah itu terjadi keheningan yang cukup lama. Aku jarang ngobrol dengan Denny. Kalaupun kita ngobrol, pasti enggak bakal jauh pengen berantem. Ya, karena kita mencintai orang yang sama. Dan aku juga cukup paham untuk tahu bahwa Gani juga masih menyayangi Denny, walaupun Gani tidak pernah mengungkapkan itu. Atau mungkin dia tidak sadar.
Aku yakin Denny juga tahu bahwa Gani masih menyimpan rasa terhadapnya.
“Adem ya disini. Nyaman.” Aku ikut memperhatikan sekitar. Suara jangkrik, angin sepoi-sepoi.
“Ya.” Aku merasakan Denny mendekat. Aura jantan langsung menyergap indraku, aku jadi tidak heran kenapa dulu Gani bisa jatuh cinta pada Denny. Dan sekarangpun mungkin masih. Aku meneguk ludah, aku benar-benar tidak ingin kehilangan Gani.
“Jangan nangis ntar kalau Gani balik ke pelukkan gue.” Kata Denny sebelum akhirnya masuk pondok. Dan aku semakin yakin, bahaya bukan hanya datang dari Shandy.
***

Omongan dari Denny tadi seperti ancaman. Aku belum bisa tidur dan hanya berbaring berdiam diri. Bukan karena ruangannya terlalu sempit ditiduri kita berlima, tapi aku takut kalau aku bergerak akan mengganggu kenyaman Gani. Aku menoleh ke kiri dan melihat wajah manisnya yang terlelap dalam damai. Aku mengangkat jariku dan membelai wajahnya lembut. Merasakan tekstur kenyalnya di jariku.
Bakal ada jerawat yang tumbuh di keningnya. Aku memajukan bibirku, merunduk lalu mencium ujung hidung Gani perlahan.
“I love you,”
“I love you too.” Gani mengangkat wajahnya dan tersenyum.
“Kamu belom bobo dari tadi?” Gani menggeleng.
“Uda, kebangun pas kamu masuk tadi,”
“I am sorry.” Gani tersenyum. Senyum yang aku tahu bahwa dia mempunyai rencana.
“Belom ngantuk kan? Keluar bentar yuk? Cari udara seger.”
“It’s midnight Gan. Kamu bisa masuk angin ntar.”
“It’s a big deal? Yes or not? Aku bisa keluar sendiri lho. By the way, ini sudah hampir jam lima pagi. Not midnight anymore.” Keras kepala!! Dengan langkah malas aku mengikuti Gani yang mulai berjalan pelan. Pondok Imah menyediakan sepeda untuk digunakan keliling kampung. Walau matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya, Gani tetap berkeras ingin bersepeda. Kita bersepeda pelan, aku dibelakang mengikuti Gani yang entah kenapa dia seperti sudah hapal dengan daerah ini.
Setelah melewati satu jembatan, Gani berhenti dan turun dari sepeda.
“Ikut aku sini bentar,” Aku ragu sesaat. Namun tetap aku ikuti langkah Gani. Aku duduk disamping Gani, dan hening beberapa saat. Aku terlalu malas membuka percakapan, dan mungkin Gani juga sama. Hingga akhirnya pemandangan itu membuatku takjub.
“Sunrise, gimana kamu bisa tahu tempat ini?” Gani menoleh ke arahku. Tersenyum manis dan mencium bibirku lembut. Tak biasanya Gani agresif, maksutku selama ini selalu aku yang mulai duluan. Dan sekarang? Tanpa aba-aba Gani sudah semakin liar memperkosa bibirku. Setelah puas, Gani berdiri.
“Balik yuk, ntar kita gak sempet mandi.” Enak sekali dia. Setelah membuat penisku ereksi maksimal, dia menyuruh balik? Enak saja! Aku menarik tangan Gani hingga dia kembali jatuh di atas pelukanku.
“Kita gak bakal balik sebelum yang satu ini.” Kataku sambil meremas pantatnya lembut.
“Ben, ntar bakal ada orang yang dateng!”
“Oya? I am not sure.” Gani akan mengeluarkan kata-kata pembelaan namun terlanjur aku tutup dengan bibirku. Dengan cekatan aku menurunkan celana training Gani beserta celana dalamnya. Dan aku menemukan fakta bahwa adik kecilnya juga tak kalah keras dengan punyaku.
“Yakin gak mau? Kok ngaceng?” Godaku.
“Shut up! Buruan deh.”
“Uda kebelet banget ya Gan?”
“Can you just push your dick to my hole and shake it?” Aku tersenyum simpul.
“I will my prince. I will, with my pleasure.”
***

Gani Pov
Bokongku masih ngilu. Enggak pake pelumas dan kondom. Haduh, percuma dong ya aku bawa tiga bungkus kondom kemaren. Useless. Radit dari tadi memandangiku dengan tatapan penuh arti. Kita semua tengah sarapan, sebelum nanti mengikuti outbond dan perang lumpur.
“You did it.”
“Ha? Nglakuin apa?” Aku hampir saja menumpahkan jus manggaku kalau tidak aku pegangi erat-erat tadi.
“Sex out door. Ya kan? Ngaku deh!” kekepoan Radit itu hampir selevel dengan Sinichi Kudo. Jadi kalau tidak aku jawab, dia pasti bakal cari tahu sendiri jawabannya. Nanya Beno misalnya. Hhh.
“Nope.”
“Liar!! Gue masih bisa ngeliat bekas pejuh Beno deleweran di kaki lo!” Aku menatap sekitar. Takut ada yang mendengar omongan Radit yang terlalu vulgar.
“I did not. Gue uda mandi ya!”
“Jadi bener donk lo ada nglakuin seks di out door?”
“Ntar gue cerita kalau kita uda di rumah, oke?” Dan Radit masih tersenyum penuh arti. Yang lama-lama makin gaje.
“Dit please? Can we skip my story?”
“Gak kita skip, kita Cuma menundanya. Lo bakal cerita!!” Aku memutar kedua bola mataku sebelum akhirnya menemukan tempat duduk dan langsung menyantap sarapanku.
“Boleh gabung kan, ladies?” Tanpa menunggu persetujuanku atau Radit, Tantra dan Ian sudah duduk dengan manis di meja kami. Aku bertukar pandang dengan Radit yang juga sedang menatapku. Kalau aku artikan, tatapan Radit juga hampir senada dengan tatapanku, ‘What the fuck going on here?’ Kurang lebih gitu artinya.
Masalahnya, bukan karena mereka berdua. Tantra dan Ian maksutku jarang mengobrol denganku. Hanya saja, cengiran mereka berdua dan bahasa tubuh mereka berdua itu aneh. Oh, nope. Sarapan menungguku. Biarkan saja tingkah mereka berdua, selama tidak mengambil jatah sarapanku.
“Gan, tadi pagi kok gue kayak denger sesuatu ya?” Aku menengadah menatap Tantra dengan tenggorokkan sulit menelan makanan yang baru saja aku kunyah. Oke, jadi aku dan Beno memang tidak hanya melakukannya di tempat terbuka saja. Tadi pagi, karena anak-anak sedang sibuk mandi, kita melakukannya lagi. Uuum, cuman oral bentar kok.
“Apa?” Suaraku tak bisa senormal yang aku inginkan.
“Eeem, mau tau aja atau mau tau banget?”
“So last year lo Tan! Basi!” Tantra hanya tertawa sambil tangannya menyikut Ian. So lame!
“Kok kalian berdua gak ikut gabung sama panitia yang lainnya yang lagi meeting sih?”
“Laper, lagian juga gak bakal ada hubungannya sama transportasi.” Aku menjawab dengan santai.
“Itu ayam gak lo makan?” Tanyaku melihat ayam milik Tantra yang masih utuh.
“Gak suka ayam.”
“Oh, oke. Thanks.” Kataku sambil dengan cepat memindahkan daging ayam goreng kremes yang tampak menari-nari di mataku itu ke tempat makanku.
“Eh,”
“Kan lo gak suka.”
“Lo itu ya Gan, kalau diperhatiin emang manis banget.” Aku sukses tersedak tulang ayam. Buahaha.
“Thanks, tapi jangan mulai flirt sama gue ya.” Dan Tantra hanya tersenyum.
***

“Sapa di dalem?” Ketokkan di pintu kamar mandi itu menggangguku yang sedang memegang sikat gigi yang aku jadikan mic sambil nyanyi gaje. Oke, well ini kebiasaanku kalau lagi mandi, sambil mendengarkan lagu dan bergaya seolah-olah aku adalah penyanyinya. Lip sinc, norak sih. Tapi yang tahu hanya aku, yah sekarang kalian juga tahu.
“Gue.” Suaraku khas, jadi mereka pasti sudah tahu.
“Bukain, aku mau masuk. Uda mepet banget ini waktunya.” Beno. Itu anak, bukannya tadi buruan mandi malah sibuk main bola sama anak-anak kampung sini. Aku? Sebenarnya sudah hampir 10 menit aku di dalam namun belum mandi juga. Gosok gigi aja belum kelar. Makanya aku memilih setelah semua anak beres mandi, baru aku mandi. Biar gak diganggu aksi lip sinc ku. Wkwkwkwk.
“Yang lain kosong kan?”
“Dipakai Tantra, Ian sama Doddy. Buruan buka deh!” Oya, Beno memang tidak main bola sendirian tadi. Akan selalu ada Ian dan Tantra. Doddy? Tumben.
“Ntar, abis aku kelar.”
“Kenapa sih? Malu? Toh aku udah sering liat kamu telanjang.” Dengan gondok aku membuka pintu kamar mandi. Beno masuk dengan cengiran lebar di bibirnya.
“Kok kamu belom mandi? Apa udah kelar?” Aku melirik Beno yang mulai melucuti pakaiannya satu persatu. Shit! Tadi pagi aku sudah muncrat hampir tiga kali, dan sekarang aku ngerasa horny lagi? Sejak kapan aku jadi nafsuan kayak Beno gini?
“Buruan gabung sini.” Beno memutar badannya hingga menghadap ke arahku. Kelelakiannya yang tampak gagah hingga sampai pusar menantang bibirku untuk segera melumatnya, shit! Beno juga lagi horny. Kamar mandi pondok imah dibuat menyatu dengan alam. Tapi tertutup, walau ada beberapa pohon yang dibiarkan tumbuh. Luas! Kalian mau jungkir balik juga bisa. Dari luar terkesan alami, namun didalamnya modern. Shower, closet duduk, minus bathub.
Aku segera melepas semua pakaianku. Seks kilat? Why not?
Aku menghampiri Beno, menundukkan kepalanya lalu melumat bibirnya. Gila, aku benar-benar menggila.
***

Shandy Pov
“It’s weird.”
“Apanya yang weird?” Aku menatap ke arah Bagus yang fokus matanya tengah lurus ke depan. Karena Bagus tak kunjung menjawab pertanyaanku, aku pun mengikuti arah pandangan mata Bagus.
“Aneh gak sih menurut lo? Cowok muda ama om-om yang barusan aja lewat?”
“Biasa ah menurut gue.” Aku berusaha tenang. Bagus adalah teman kuliahku. Tidak terlalu dekat, tapi kita sering ngobrol jika ada kelas bareng. Dan barusan yang dia bilang weird adalah sepasang om-om dan cowok muda tampan –yang dari gelagatnya sih bisa aku tebak kalau itu brondinya- yang memang bertingkah terlalu mesra.
“Gue gak abis pikir sama cowok-cowok jaman sekarang, emang stok cewek udah abis ya? Ampe sesama batang gitu digaet.”
“Orientasi seks seseorang kan bukan hak kita buat ngatur-ngatur Gus.”
“Iya, gue tau. Tapi sama om-om? Mungkin kalau itu cowok muda adalah cewek, bisa disebut simpenan kali ya?”
“Hush! Ngelantur lo, jadi mana yang mau lo tanyain ke gue tadi?” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Bagus sama sekali tidak tahu bahwa aku juga money boy.  Dan yah, aku tidak tertarik untuk memberitahu semua orang bahwa aku adalah ‘kucing’. Kalau bisa aku juga ingin bisa menikmati kehidupan seperti mahasiswa normal lainnya. Bukan kalau malam malah menari erotis hampir tanpa busana.
Bagus tengah sibuk menyalin beberapa materi tugas yang kebetulan belum dia punya. Aku mengambil gadget ku dan membuka twitter. Aku hampir melotot ketika TL ku dipenuhi twitpic dari akun twitter Beno. Walau belum di follback, namun sudah agak lama aku memfollow akunnya. Dan yah, aku sama sekali tidak mengharapkan di follow balik. Tidak di block saja aku sudah bersyukur.
Beberapa foto terlihat Beno dengan kaos singlet pas badan dan basah. Sepertinya habis rafting, melihat dayung yang tengah dia pegang dengan tangan kirinya. Aku meneguk ludah. Tahukah Beno bahwa fotonya ini sangat bisa digunakan untuk bahan berfantasi?
Aku memutuskan untuk menstalk akun twitter Beno. Siapa tahu akan lebih banyak gambar yang membuatku menahan nafas. Aku meneguk ludah, ketika Beno berpose shirtles. Ada tiga orang, yang satu aku tahu itu pacar Beno. Aku cukup terkejut mengetahui fakta bahwa pacar Beno memiliki bentuk tubuh yang lumayan. Walau tidak sixpack, namun gurat-guratan garis enam pack mulai tampak. Not bad at all, tapi tetap aku lebih pantas.
Lalu yang disampingnya, what a hot!! Cowok itu memeluk pacar Beno dan tersenyum kecil ke kamera. Bodinya seksi mampus! Tanpa menunggu waktu lama aku segera menyentuh akun twitter yang di tag Beno pada keterangan foto. Ada dua yang di tag Beno, dan karena aku hafal nama Gani adalah pacar Beno, aku mengklik yang satunya.
Denny Prayoga.
Hmmm, anak ini jarang update twitter sepertinya. Dia hanya menjawab beberapa mention. Twitpic juga jarang. Dan sepertinya, dia juga mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan Gani. Oke.
“Napa lo Shan? Ngalamun mulu!”
“Gak pa pa kok.” Sepertinya Denny juga lumayan.


Bersambung . . .