Radit masih menangis sesenggukan di
dadaku. Mamanya koma dan yakin, aku sangat mengerti perasaannya. Rasa takut
kehilangan. Rasa takut ibunya kenapa-napa. Rasa takut akan kejadian terburuk
yang akan menimpa ibunya. Aku mengerti. Aku bisa merasakannya. Takut, cemas,
khawatir dan sedikit harapan. Harapan bahwa esok semuanya akan baik-baik saja.
Dan aku masih disini. Memang aku hanya diam, tapi tidak akan kemana-mana. Aku
akan menemaninya, hingga ada perkembangan yang berarti untuk ibunya. Sampai
masa kritis ibunya lewat.
Aku sudah memberitahu Denny bahwa
aku tidak bisa datang. Aku yakin Denny kecewa, begitu juga aku. Tapi mau
bagaimana lagi? Teman di kelas yang akrab dengan Radit baru aku. Dan disini
mereka adalah orang baru. Tidak ada sanak saudara. Semua saudara mereka ada di
luar pulau Jawa. Mungkin baru besok atau lusa mereka baru bisa datang. Sampai
saat itu, siapa yang akan menguatkannya? Memberinya dukungan semangat?
“aku takut Gan.”
“sshh, everything will be fine.”,
kataku sambil membelai kepalanya. Aku merogoh ponselku di saku celana. Sudah
jam 8 malam dan ibunya Radit masih di ICU. Dari Radit aku tahu kalau mobil yang
dikendarai ibunya Radit bertabrakan dengan truk yang sopirnya mengantuk. Klasik
memang, dan terkesan sinetron sekali. Tapi, betapa sering kejadian seperti ini
terjadi? Akibat kelalaian seseorang, terjadilah peristiwa mengenaskan ini.
Kalau tidak merugikan orang lain sih aku tidak keberatan. Namun kalau seperti
ini? Mau mati kok ya ngajak-ngajak!
Kira-kira pukul setengah Sembilan,
dokter baru memindahkan ibunya Radit ke kamar rawat inap. Masa kritisnya sudah
lewat. Kata dokter tidak ada luka yang serius, dan jujur ini hampir membuatku
berteriak. Kalau tidak ada luka yang serius mana mungkin mamanya Radit bisa
selama itu di ruang ICU! Apa dia pikir aku anak kecil yang bisa di bodohi? Dan
aku katakan tadi, aku hampir berteriak. HAMPIR! Karena saat melihat wajah Radit
yang penuh harap aku jadi tidak tega untuk meluruhkannya.
Mbok Parni, pembantu rumah tangganya
Radit tepat datang jam Sembilan. Dia menyuruh aku dan Radit untuk pulang dan
istirahat. Biar dia yang jaga katanya. Awalnya Radit menolak, tapi aku memaksa!
Bagaimanapun juga, Radit butuh istirahat! Percuma jika nanti ibunya sudah
sehat, eh malah gantian Radit yang tepar! Dan aku tidak mungkin meninggalkannya
sendirian. Tidak sekarang, disaat dia sangat membutuhkan seorang teman.
Rumah Radit tidak terlalu besar,
namun modern. Segala sesuatunya ditata sedemikian rupa, sehingga tampak
minimalis tapi keren. Aku ijin untuk memakai kamar mandinya untuk mandi.
Rasanya tubuhku lengket semua. Hmm, walaupun Radit aneh tapi aku menyukai
seleranya dalam memilih sabun cair dan sampo. Wanginya enak.
Ketika aku tiba dikamarnya, Radit
tengah melamun. Tatapan matanya kosong. Aku menyentuh pundaknya pelan, membuat
dia menoleh padaku dan tersenyum.
“badanmu ternyata gak kurus-kurus
amat ya? Ototnya lumayan.” Dia berkata sambil memandangi tubuhku lekat-lekat.
“tanpa lu bilang juga gua uda tau.
Pinjam kaos sama celananya dong! Kalau boleh.”
“kalau gak boleh?”
“berarti gua tidur telanjang.”
Jawabku kemudian.
“berarti gak boleh aja.” Dia berkata
sambil tersenyum kecil. Aku suka melihat Radit sudah tidak sesedih tadi.
Minimal, mendung di wajahnya sudah berkurang.
“sial lu!”
“hhehe, ambil aja di lemari! Pilih
sendiri.” Aku membuka lemari yang tepat berada di samping ranjang tempat Radit
berbaring. Memilih-milih sebentar lalu akhirnya memutuskan untuk memakai kaos
putih polos dan celana pendek berwarna biru. Ukurannya pas di tubuhku ternyata.
“kamu uda ngabarin Denny? Aku
takutnya dia cemas nanyain kamu.” Aku menoleh ke arahnya. Lalu mengangkat
ponselku sebagai isyarat bahwa aku akan menghubunginya. Radit hanya tersenyum
mengijinkan. Aku keluar dari kamar Radit dan menuju ruang tamu, menekan
sederetan nomor yang sudah aku hafal di luar kepala. Aku memang tidak menyimpan
nomor Denny dengan nick name ‘sayang’, ‘myluph’, ‘myhoney’ atau tetek bengek
panggilan sayang lainnya. Jaga-jaga karena ponselku selalu berpindah-pindah
tangan. Jadi solusinya, aku menghapalkan nomornya. Dan aku sudah sangat hafal,
sehafal aku mengingat siapa nama orang tuaku. Pada dering ketiga baru telepon
itu di angkat.
“ya?” Denny pasti sudah tertidur
tadi. Terlihat dari suaranya yang berat.
“hei, udah bobo ya?”
“he em. Gimana sama ibunya Radit?”
“masa kritisnya udah lewat Den. Den,
maaf ya?” aku tau mungkin bukan aku yang salah. Keadaan lah yang memaksaku
untuk membatalkan perayaan ulang bulan kita. Tapi aku tetap ingin meminta maaf.
Rasanya, aku benar-benar kurang ajar.
“buat apa sayangku? Oya, sayangku
uda mamam belom tadi?” mau tak mau aku tersenyum mendengar perkataannya.
Bagaimana mungkin aku tidak jatuh hati padanya? Dia manis sekali kan?
“uda, dibawain sama pembantunya
Radit tadi. Sayangku sendiri gimana? Uda mamam juga kan? Aku kangen! Seharian
ini kan gak ketemu.” Aku mulai manja. Tidak salah kan? Dengan pacar sendiri
ini. Diseberang aku mendengar Denny terkekeh pelan.
“uda tadi abis dua mangkok bakso.
Enak banget Gan! Sambelnya manteb! Kamu pasti udah ngiler kalau tadi ikut.”
“berarti kapan-kapan ajak aku lagi
kesitu.”
“hhehe, iya. Radit gimana? Dimana
dia sekarang?”
“dia lagi di kamarnya Den. Oya,
besok mungkin aku kaga masuk sekolah. Kasihan Radit nunggu ibunya sendirian.”
Aku mendengar Denny agak mendengus disana.
“jangan cari-cari kesempatan dalam
kesempitan ya? Awas kalau nakal!”
“iya, kamu bobo lagi gih! Besok kan
kamu sekolah.”
“iya sayangku. Sun nya dulu donk.”
Denny merengek manja. Ya Tuhan, bagaimana bisa dia terlihat sangat cool jika di
depan banyak orang sedangkan dihadapanku Denny tak ubahnya seperti anak kecil?
Mungkin Denny berkepribadian ganda.
“mwuuuuah, good nite”
“mwuuuuuah too. Sleep well ya? Miss
you.” Kata Denny sebelum akhirnya menutup teleponnya. Aku menghembuskan nafas
panjang. Hari ini hari yang sangat panjang dan melelahkan. Dan juga sangat
berat bagi Radit. Aku hanya bisa berharap bahwa esok, semuanya akan baik-baik
saja.
***
Aku berjalan pelan menyusuri koridor
yang menghubungkan kelas dua dan kelas tiga. Sebenarnya aku sangat enggan
melakukan ini, tapi aku harus. Sebentar lagi jam pelajaran Fisika dan akan ada
praktikum di laboratorium. Kalian pasti bertanya-tanya, lalu apa hubungannya
dengan koridor yang menghubungkan kelas dua dan tiga? Aku lupa membawa jas lab!
Mungkin itu bisa memberi kalian sedikit gambaran.
Jadi begini, guru Fisikaku, Pak
Asril, itu guru yang sangat disegani. Guru Fisikaku ini sebenernya jarang
marah, tapi beliau punya sense of kill
yang berbeda dari guru-guru killer lainnya. Karena kalau biasanya guru-guru
killer ‘membunuh’ muridnya dengan omelan panjang atau tugas yang menumpuk,
apalagi surat ngadu yang dilayangkan ke wali murid. Pak Asril hanya perlu
menatap.
Karena jika Pak Asril sudah mulai
menatap tajam, setiap objek yang menjadi tatapannya sudah barang tentu merasa
hidupnya di ambang maut. Dan untuk keluar dari marabahaya tersebut, yakni
ditatap tajam oleh Pak Asril, hanya ada satu cara! Yaitu menjadi murid yang
baik. Contohnya, duduk manis saat pelajaran Fisika, mendengarkan setiap
penjelasan Pak Asril dengan ekspresi tekun dan perhatian, jangan lupa
sekali-kali mengangguk-anggukan kepala, mencatat dengan lengkap dan rapi serta
mengerjakan setiap PR yang diberikan.
Dan inilah yang aku lakukan
sekarang, mencari pinjaman jas lab! Dari info yang beredar tadi, hanya kelas 3A2
yang membawa jas lab. Mereka ada praktikum Biologi tadi. Dan kenapa aku
melakukan ini dengan sangat enggan? Karena anak 3A2 terkenal paling badung dan
paling iseng. Apalgi dengan adik kelas sepertiku? Namun jika aku harus memilih,
aku mending di isengi anak-anak 3A2 daripada harus di black list oleh Pak
Asril. Karena berdasarkan informasi yang dapat dipercaya, yaitu dari anak-anak
yang sudah di black list oleh Pak Asril. Di black list oleh Pak Asril itu sama
saja sudah merusak masa depan kita. Karena, sebaik apapun kita nantinya, nilai
Fisika yang tertera di raport akan selalu 6,5 hingga guru Fisika kita bukan Pak
Asril lagi. Mengerikan ya tipe-tipe guru seperti ini?
Oya, ini sudah seminggu berlalu
sejak malam ibunya Radit masuk rumah sakit. Radit sudah masuk sekolah lagi. Dia
juga sudah tidak sesedih dulu. Kondisi ibunya semakin membaik. Semua kabar baik
kan? Cuma satu kabar buruknya, Radit semakin bergantung padaku! Aku muali risih
karena ditatap dengan pandangan aneh oleh anak-anak kelas 3A. Dan saat aku
sampai di depan kelas 3A2, nyaliku menciut. Hampir semuanya laki-laki! Gila!
Aku ini kan orangnya pemalu!
“permisi kak, bisa pinjam jas lab?”
aku bertanya setelah sebelumnya mengetuk pintu. Suasana yang tadi seperti pasar
kaget tiba-tiba sunyi senyap. Dan semua mata tertuju padaku. Sial! Aku berusaha
tampil se’cool’ mungkin. Masih dengan senyum ala-ala iklan pasta gigi, dan aku
juga sudah merasakan gigiku mengering. Gondok sebenarnya, karena mereka masih
menatapku tanpa ada inisiatif sedikitpun untuk meminjami jas lab. Lalu
tiba-tiba aku merasakan ada yang mendekatiku sambil menyerahkan jas lab.
“jangan lupa dicuci dulu sebelum
dibalikin!”, jelas suara itu suara cowok. Dan aku terlalu gugup untuk mengamati
wajahnya dengan seksama, karena bagiku yang terpenting saat ini adalah keluar
dari kelas laknat ini.
“emm, thanks kak.” Aku berjalan
pelan dan berusaha sekalem mungkin. Namun begitu sudah sampai di depan pintu
aku langsung lari ngibrit! Gila! Bayangin aja tu, kalian di lingkungan yang
sama sekali tidak kalian kenal dan ditatap 38 pasang mata dengan tatapan aneh!
Yang lebih parah lagi, mereka menatap tanpa berkedip dan secara terus-menerus!
Salting iya! Merasa jelek iya!
“dapet Gan?” tanya Radit begitu aku
masuk ke dalam kelas. Hari ini, team basket inti ada pertandingan melawan
sekolah sebelah. Jadi otomatis, Denny ijin. Jujur aku iri, seandainya saja aku
adalah team inti basket. Tapi semua hanya mimpi. Karena kemampuanku di bidang
olahraga sangat hopeless. Kecuali olahraga lari, kalau yang ini jangan ditanya,
karena aku pernah juara dua tingkat provinsi. Kira –kira itu terjadi 3 tahun
yang lalu saat aku kelas 2 SMP. Kalau sekarang? Tau deh!
Aku hapal betul tanggapan
teman-temanku saat pelajaran olahraga.
“ayo lanjut! Giliran gua yang serve
kan?” waktu itu pas olahraga volli. Dan masih aku ingat teman-temanku yang jadi
lawan teamku langsung bergeser jauh-jauh keluar lapangan.
“kok pada mencar?”
“elo kan biasa Gan! Lapangannya
dimana, ntar servenya kemana!” dan aku hanya bisa terkikik. Seperti yang aku
jelaskan tadi. Begonya olahragaku tu emang uda gawat banget! Kaga ada harapan.
Dan komentar itu belom seberapa dibandingkan komentar-komentar seperti;
“Gani jangan disuruh serve deh.
Bolanya kemana-mana!” atau
“netnya dinaikkin aja lha. Atau
diturunin aja nyampe nyentuh tanah. Gani nih, kalo gak bolanya nabrak net,
pasti lewat kolong.”
Lha itu kalau volli, kalau basket;
“bolanya ditendang aja Gan! Abis
dribble lu parah!” itu masih mending ketimbang,
“khusus buat Gani nih, kalo lu bisa
ngelempar bola sampai setinggi perempat tiang, anggep aja tu bola hampir masuk
ring. Minimal kena bibirnya ring deh!” seperti itulah. Aku emang bego olahraga.
Bego banget! Sebenarnya itu juga bukan keinginanku. Aku sih maunya bisa jago
olahraga, tapi apa daya? Kemampuan tak ada! Oke, balik ke laboratorium!
“dapet! Tenang aja! Pak Asril uda
dateng?” tanyaku balik kepada Radit. Radit menggeleng.
“belom, palingan bentar lagi.” Aku
hanya menganggukkan kepalaku. Awas saja kalau ternyata Pak Asril kaga masuk,
aku sunatin dua kali dia!
“kabar nyokap lu gimana Dit?”
tanyaku sembari mengenakan jas lab. Hmm, aroma jas lab ini enak.
“udah mendingan. Mungkin lusa uda
bisa pulang.”
“syukur deh.” Aku baru saja akan
menanyakan perkembangan hubungan Radit dengan Beno, namun Pak Asril keburu
masuk lab. Fyuuh, nanti aja lha.
Kalian tahu? Aku selalu menganggap
aneh orang-orang yang menyukai pelajaran Fisika. Entah kenapa, materi-materi
pelajaran Fisika itu ‘gak banget’. Contoh nih, ngapain kita repot-repot jatuhin
kelereng trus di itung berapa waktunya? Kurang kerjaan! Ada lagi, buat apa kita
ngukur bayangan kita sendiri di cermin? Aneh! Tapi mungkin itu Cuma ada di
pikiranku. Aku yakin kalian semua menyukai Fisika. Lalu mungkin karena aku yang
sedang sangat menikmati acara talk show ala Pak Asril ini (aku lebih menganggap
ini sebagai talk show daripada harus menerima kenyataan pahit bahwa Pak Asril
adalah guru Fisika, bayangin! Guru killer ngajar pelajaran killer!), aku tidak
menyadari bahwa ada insan yang akan menjatuhkan harga diriku di mata Pak Asril.
“Gan, pinjem bollpointnya donk! Lu
kan kaga nyatet. Ngalamun gitu.” Mampus! Suara itu memang lirih, tapi aku yakin
semua penghuni lab dapat mendengarnya. Termasuk Pak Asril! Karena beliau
sekarang tengah menatapku dengan pandangan tajamnya.
Beno sialan! Umpatku dalam hati.
Gila, aku mati gaya! Baru kali ini aku mengalami sendiri ditatap tajam oleh Pak
Asril! Dan rasanya? Jangan tanya! Seketika itu juga, aku menjadi pusat
perhatian anak-anak sekelas. Aku tahu, seisi kelas sekarang tengah menyaksikan
dengan tegang saat Pak Asril meletakkan buku yang dipegangnya, berhenti
menjelaskan berbagai rumus yang bikin kepala cepet kisut. Sumpah demi seluruh
isi jagad raya, ini benar-benar maha bencana!
Pak Asril menuju meja praktikumku
dengan tatapannya yang mematikan, tanpa mengeluarkan sedikitpun suara.
Sesampainya di mejaku, Pak Asril meraih buku catatanku yang tergeletak dengan
indah di meja dan mulai membuka-buka lembar demi lembar buku catatan Fisikaku.
Aku melihat bagaimana wajah Pak Asril berubah semakin dingin dan menakutkan.
Aku yakin sekarang beliau sudah tahu, bahwa terakhir kali aku mencatat
pelajaran beliau mungkin kira-kira tahun 1500 SM.
Dan satu lagi kelebihan Pak Asril,
tanpa harus banyak bicara persoalan akan selesai saat itu juga. Dengan masih
diiringi tatapan tajamnya yang masih diarahkan padaku dan menjulangkan tubuh
tinggi besarnya tepat dihadapanku, aku meminta maaf dan berjanji akan segera
melengkapi buku catatanku yang isinya Cuma tulisan “FISIKA” gede-gede di
halaman pertama dan “BAB SATU” di halaman berikutnya.
Awas saja, kamu pasti bakal terima
pembalasanku Beno sialan! Umpatku dalam hati. Gila aja tuh anak, ngerjainnya
uda kelewatan dan gak asik banget! Aku juga bisa mendengar anak-anak yang lain
pada cekikikan. Gila aja ya, temen mereka dapet musibah malah diketawain.
Mungkin ini karma kali ya, soalnya aku juga sering menertawakan mereka yang
kena omel guru. Sekarang, aku berada di posisi itu. Dan rasanya nyesek banget.
***
“gila ya! Candaan Beno tu gak asik
banget tadi!” aku masih saja kesal. Peristiwa tadi tentu kaga bakal aku lupain
gitu aja. Awas aja tu anak.
“udah lah, yang berlalu biarlah
berlalu. Tu bakso dimakan gih! Keburu dingin ntar!” jadi, sekarang ini aku
sedang bersama Radit di kantinnya Bu Karyadi. Karena aku kesal, dan jelas yang bersalah
adalah gebetannya si Radit walaupun aku yakin, Beno sama sekali kaga tahu kalau
dia sedang digebet Radit. Secara, cara pendekatannya Radit tu lebih rahasia
daripada penggemar rahasia sekalipun! Radit mentraktirku, anggap aja permohonan
maaf dari Beno katanya. Pret lah!
“jangan dibelain! Mentang-mentang lu
suka dia! Lu tu harusnya objektif! Karena sekarang temen lu ini lagi kaga suka
banget sama yang namanya Yonathan Beno Sialan kutu kupret itu, lu seharusnya
gitu!”
“enak aja! Temen sih temen, tapi kalau
soal perasaan ya beda donk!” sepertinya Radit memang benar-benar menyukai tu
cowok sialan. Apa sih lebihnya dia? Menang keren doang gitu. Sifatnya negative
semua. Beno itu sangat tepat kalau diibaratkan seperti bunga Raflessia! Indah,
tapi bau busuk! Daripada nanti kita adu mulut hanya karena cowok begundal itu,
aku lebih memilih diam. Menikmati semangkok bakso Bu Karyadi yang masih hangat
lebih manfaat kali ya?
“tu, pacarmu!” tunjuk Radit dengan
dagunya ke arah pintu kantin. Aku melongok dan melihat Denny disana. Dengan
seragam basketnya. Eem, boleh aku mengatakan ini? So sexy! Begitu melihatku,
Denny langsung berjalan menuju tempatku. Meletakkan tasnya di kursi sebelahku
lalu masuk ke dalam untuk memesan makanan.
“harus aku akui, pacarmu itu
aromanya enak! Sex appealnya berasa banget!” mendengar ucapan Radit yang lebih
tepat berupa bisikan itu aku langsung menoleh ke arahnya dan melotot.
“tenang! Aku Cuma kagum, okay? Aku
duluan ya? Daripada nanti jadi obat nyamuk.”
“yakin?” tanyaku sambil mengedarkan
pandanganku. Hmm, pantes Radit buru-buru mau cabut. Beno uda mau balik ke kelas
sih! Jadi, kalau kalian mau tahu, kita ngomongin orang yang hanya berjarak 5
meja dari kita. Gila? Nggak juga.
“sampai kapan lu mau kayak gini?”
mendengar pertanyaanku, dahi Radit langsung mengkerut.
“maksutnya?”
“lu! Gimana mau PDKT, nyapa dia aja
lu takut.” Inilah faktanya kenapa Radit lebih hebat daripada pemuja rahasia!
Karena dia selalu gugup jika didepan Beno. Bahkan, saat tu anak disapa secara
tidak sengaja oleh Beno, senengnya sampai berjam-jam!
“semua ada waktunya.” Kata Radit
pelan sambil berjalan keluar kantin. Aku hanya geleng-geleng kepala. Anak yang
aneh. Oya lupa, dia memang aneh ding.
“lho? Radit mana Gan?”
“ke kelas, takut jadi obat nyamuk
katanya.” Denny terkekeh sebentar sambil memberikanku sebungkus kacang kulit.
Mungkin dia kira aku monyet.
“buat iseng nemenin aku makan. Bakso
kamu udah abis.” Bagus deh, lumayan lha. Sebenarnya, aku pengen minta dibelikan
bakso lagi. Tapi kayaknya perutku sudah gak bakalan muat. Kacang kulit? Not bad
lah, daripada kuwaci. Makannya susah!
“gimana tadi pertandingannya? Menang
kan?” krauk krauk. Tanyaku sambil mengunyah kacang kulitku.
“pasti! Tapi tadi hampir seimbang.
Ntar malem, kamu ada acara?”
“banyak! Nonton tv, pergi ke warnet,
mandi trus tidur! Emang kenapa?”
“hhahaha, mau jalan? Aku ajak kamu
ke tempat bakso kemaren.” Mataku langsung berbinar. Yes! Jatah makan malam hari
ini sudah ada yang menanggung! Lumayan kan, makan siang Radit yang traktir,
makan malam Denny yang traktir. Sering-sering aja kayak gini, pasti aku bisa
hemat. Cepet kaya gitu.
“gimana?” Denny sepertinya enjoy
banget sama siomaynya. Dan kayaknya tu siomay enak banget deh.
“boleh, kamu mau jemput jam berapa?”
aku berusaha membayangkan bahwa kacang kulit yang sedang aku makan ini adalah
siomay terenak di dunia.
“ntar abis maghrib ya?” aku
mengangguk bersemangat. Lalu aku menyadari satu hal, cowok yang ada di meja
depanku dari tadi menatapku. Kalau dilihat dari tag namenya yang berwarna
hijau, berarti dia kelas 3. Aneh juga kenapa anak kelas tiga makan di kantin
kelas dua. Mereka kan punya kantin sendiri diatas. Aku mengeluarkan ponselku
dari saku. Berlagak mengetik sms padahal sebenarnya aku hanya menggunakan
ponselku sebagai cermin. Banyak orang yang bilang bahwa jika orang menatap kita
dengan intens, berarti orang itu suka dengan kita. Tapi pandanganku berbeda,
karena jika aku ditatap selekat itu berarti hanya ada satu alasan. Mungkin ada
sesuatu di wajahku? Atau mungkin ada cabai yang terselip di gigiku? Secara tadi
aku makan sambel. Aku menggerak-gerakkan ponselku. Tidak ada yang aneh dengan
wajahku. Kecuali bentuk mukaku yang biasa saja, itu kan emang uda dari sononya.
“kenapa sih Gan?” sepertinya Denny
menangkap kegelisahanku.
“nggak papa.” Aku gak mungkin
ngomong ke Denny kalau ada pria lain yang tengah menatapku. Selain itu hanya
akan menimbulkan ejekan, maksutku siapa sih yang bakal naksir aku? Denny
menyukaiku saja itu sebuah anugerah. Itu juga dapat menimbulkan masalah. Dan
aku paling anti dengan yang namanya masalah.
Kali ini pria itu berdiri dan
berjalan mendekatiku. Ini seperti adegan-adegan di telenovela. Sumpah, satu hal
yang aku rasakan adalah pasti ada yang salah dengan wajahku!
“jas labnya besok dibalikin ya!”
hha? Dia itu yang minjemin aku jas lab? Shit! No way!
Tbc. . .
keren...T.O.P...B.G.T.....!!
BalasHapusmana ne lanjutannya..... yg session 2nya? kayak seru deh.... ditunggu ya updatenya....
BalasHapusUda tamat kok. Ada semua 😀
Hapus