FOLLOW ME

Senin, 28 Januari 2013

CINTAKU DIBAGI TIGA chapter nine


Aku ingin sekali berkata bahwa aku juga merindukannya. Namun sepertinya mulutku tidak bisa di ajak bekerjasama. Aku terlalu gengsi dan lagi pula aku masih belum lupa kejadian tempo dulu itu. Aku tidak pernah mencari tahu siapa sebenarnya Felix, walaupun aku sangat penasaran sekali dengannya. Dimana Denny dan Felix saling mengenal. Benarkah Felix lebih dulu berpacaran dengan Denny sebelum aku. Aku penasaran.

“kamu masih ingat Felix?” aku mendongak menatap wajahnya sebelum akhirnya mengangguk.
“aku tahu, aku nggak layak lagi untuk mendapatkan kesempatan kedua. Aku surprised banget waktu tadi kamu telepon aku. Aku nggak mencintai Felix Gan .Felix sakit.” Denny menarik nafas panjang sebelum akhirnya membuka mulutnya lagi.
“dia sudah meninggal sebulan yang lalu. Aku menemaninya, aku ingin dia bahagia di saat-saat terakhir.” Aku menggeleng pelan. Jadi Felix sakit? Dan untuk karena itu, Denny berpacaran dengannya? Kenapa dia tidak pernah bilang dari dulu? Kenapa baru sekarang?
“kenapa baru sekarang?”
“aku nggak mau ganggu hubungan kamu sama Radit. Lagipula, Felix mengawasiku lewat Tantra.” Hhah? Keningku sukses berkerut dalam. Hubunganku dengan Radit? Apa maksutnya? Hei, aku dan Radit hanya bersahabat. Tidakkah semua orang tahu itu?
“nggak usah beralibi. Aku dan Radit Cuma bersahabat. Jangan bawa-bawa Radit dalam. . .” Aku memijat pelipisku. “masalah ini, okay? Lagipula, sepertinya sudah cukup terlambat sekarang kalau kamu minta aku untuk jadi pacar kamu lagi.” Lanjutku kemudian.
“karena sudah ada Radit di hati kamu?” aku memutar kedua bola mataku. Demi Tuhan! Radit hanya sahabatku!
“darimana kamu ambil kesimpulan seperti itu? Aku dan Radit hanya berteman? Tidakkah jelas? Just Friend! No more!” Denny malah tersenyum mendengar penjelasanku yang sedikit berapi-api.
“kamu belom menyadarinya.” Aku sudah akan membantah lagi ucapannya, namun ternyata pesanan ayam bakar kita sudah datang. Aku langsung mengalihkan perhatianku pada ayam bakarku. Aku butuh makan! Aku emosi! Enak saja, menuduhku sudah jatuh cinta pada Radit! Tidakkah Denny sadar bahwa aku masih sangat mencintainya? Tidakkah dia bisa lihat dari kedua bola mataku yang masih saja memujanya? Kalau dia memang tidak mau mengajakku balikan, seenggaknya dia tidak usah membawa-bawa Radit kedalam masalah ini. Seberapa banyak tadi aku menggunakan kata tidakkah?
“kalau boleh jujur, aku menikmati dinner malam ini sama kamu. Badan kamu sekarang makin isi ya?” aku hanya tersenyum garing. Lima bulan ini aku memang nge gym rutin. Bersama Radit tentunya. Masih aku hapal betul saat pertama kali kita nge gym bareng, kita berdua seperti anak kampung masuk kota. Sama sekali nggak tahu ini alat buat apaan. Bahkan mengoperasikan threadmill pun kita gugup setengah mati. Aku tertawa sendiri membayangkan saat-saat itu.
Aku juga masih ingat, saat pertama kali guru privat kita, Mas Andi datang. Aku dan Radit heboh sendiri. Mas Andi itu wajahnya ganteng banget, jadi waktu aku dan Radit pertama kali mengikuti les privat kita, kita malah sibuk godain Mas Andi. Bahkan sampai sekarang, kita masih sering godain Mas Andi.
“ada yang lucu ya?” tanya Denny pelan. Lamunanku buyar. Aku tersenyum tipis.
“nggak, oya apa kabar orang tua kamu?” aku berusaha mengalihkan topic pembicaraan.
“baek, sering banget nanyain kenapa kamu nggak pernah maen ke rumah lagi.”
“kapan-kapan deh aku kesana. Si Lita apa kabar? Masih suka ngompol?”
“hhaha, makin parah! Padahal kemaren pusernya uda digigit capung. Masih aja tu anak ngompol tiap malam.” Aku tertawa pelan masih sambil menggigiti ayam bakarku. Lita itu adalah adik bungsu Denny. Mereka tiga bersaudara. Denny Prayoga, Andito Arseno dan Marlita Anggraini. Lita ini sudah tujuh tahun, tapi masih hobi banget ngompol. Sedangkan kalau Dito cerewetnya bukan main. Beda sekali dengan Denny yang pendiem.Tiga anak, tiga macam sifat. Dulu, aku selalu menikmati saat-saat Denny membawaku maen ke rumahnya. Karena selain halaman rumahnya yang ditumbuhi pohon mangga dan rambutan dan itu membuat rumah Denny selalu sejuk. Rumah Denny juga sangat ramai. Aku suka sekali suasana itu. Berbeda sekali dengan suasana di rumahku. Aku anak tunggal. Satu-satunya. Dan itu membuat rumahku sepi. Aku tidak pernah kekurangan kasih sayang. Tidak, aku hanya merasa kesepian. Salahkah? Salah satu alasan juga kenapa aku jarang sekali pulang kampung.
“hei, pulang yok? Udah malem.” Aku hanya mengangguk pelan. Setidaknya, aku tidak bakal omong kosong. Aku pasti akan main ke rumah Denny kapan-kapan. Aku kangen banget suasana itu.
***

Aku masih terdiam di bangku ku walaupun bell pulang sudah berbunyi 5 menit yang lalu. Radit tadi sudah bilang kalau dia nggak bisa pulang bareng. Ada kegiatan rohis. Kalian nggak usah heran, karena tadinya aku juga sempat syok setengah mati. Sahabatku itu, cowok yang kalau mamanya sedang keluar kota suka menghabiskan waktunya dari satu club malam ke klub malam yang lain, dan mungkin kalau masuk masjid akan terbakar, ternyata malah masuk kegiatan keagamaan. Rohis pula! Aku sih memilih tidak ikut. Karena jujur, aku pasti tidak akan menikmatinya. Bukan karena aku Islam KTP atau bagaimana, hanya saja untuk kegiatan-kegiatan  seperti itu aku belom siap. Sholat saja masih bolong-bolong. Dan aku yakin Radit mengikuti ekskul Rohis juga pasti karena ada maksud tersembunyi. Oops, ampuni pikiran jahatku Tuhan.
Kelas sudah sepi. Hanya ada Tantra, Beno dan Elliot yang masih didalam kelas. Wajar lah, udah lima belas menit sekarang dari waktu pulang. Gawat, sumpah!
“Gan, gua duluan ya?” pamit Elliot. Aku hanya mengangguk sambil melambaikan tanganku asal.
“Ell tunggu! Katanya lu mau minjemin gua tugas lo!” sahut Tantra yang langsung mengejar Elliot yang sudah ada di depan pintu. Aku hanya bisa tertunduk. Mati gua, mati!
“kenapa lo? Mau nginep?” sialan nih.
“nggak! Lagi iseng aja gua nungguin ampe sekolahan bubar.” Jawabku asal menanggapi pertanyaan Beno.
“bareng nggak?” tanya Beno lagi.
“mm. .” Aku menatap Beno yang kini duduk disebelahku, lalu menunduk lagi. Aduh! Gimana ngomongnya ya?
“ada apa sih? Aneh banget tau nggak sih lo? Gua tinggal ya?” aduh, jangan! Gawat, gawat.
“yah, jangan dong. Tega banget sih lu!” jawabku langsung.
“makanya yok pulang!” aku hanya menggeleng pelan. Malu banget.
“kenapa sih lo? Ngomong ada apa?”
“celana gua robek.” Kataku lirih. Yup! Celanaku robek, gede banget pas bagian pantat. Mana lagi nggak pake boxer lagi langsung sempak. Adududuh.
“serius? Seberapa gede?” aku tahu Beno berusaha menahan tawa. Tuh anak ya! Dengan sedikit malu-malu aku berdiri dan menghadap belakang. Begitu melihat bagian celanaku yang robek, Beno langsung tertawa terbahak-bahak,
“lo tuh ya! Ada-ada aja! Mana gede banget lagi. Kok bisa sih?”
“bisa nggak lu tunjukkin belasungkawa lu dikit aja ke gua? Sial, parah banget tahu. Mana jalan ke parkiran kan mesti nglewatin lapangan basket. Parkiran mana sepi jam segini!” Beno langsung membekap mulutnya dengan tangan. Sebisa mungkin menahan tawanya.
“trus gimana? Lagian lo juga nggak antisipasi sih! Bawa jaket kek gitu!”
“jiah, mana gua tahu kalau celana gua mau robek gini! Lagian panasnya kayak neraka bocor gini masa iya gua bawa jaket!” kataku tambah panic.
“ck, tas lo ransel pula!” Beno geleng-geleng kepala sambil berdecak.
Aku dan Beno sama-sama terdiam. Sama-sama bingung. Akhirnya Beno nyeletuk tanpa dosa.
“ya udah, kita terjang aja. Mau gimana lagi coba?” mendengar usul Beno aku langsung menggeleng kuat-kuat.
“nggak setuju gua! Gila apa!? Anak-anak basket lagi pada ekskul gitu. Mana lapangan parkir pasti masih penuh lagi.”
“trus gimana? Mau nunggu malem dulu baru pulang? Elo juga sih nggak pake boxer segala!” ya emang sih. Tapi mana tahu aku kalau celanaku bakal robek gede kayak gini? Mana aku lagi pake sempak yang agak kummel lagi. Malu tingkat dewa, sumpah! Beno meraih tasku dan mengendurkan talinya.
“nih pake! Udah mentok nih!” aku menerima tasku dan memakainya langsung menghadap belakang.
“gimana Ben? Keliatan nggak?” tanyaku harap-harap cemas.
“hmm, ngepas banget sih! Udah lah nggak papa. Gua nutupin lo dari belakang.” Kata Beno sambil mendorong tubuhku untuk berjalan duluan. Kita berdua berjalan persis kayak anak TK mau maen kereta-keretaan!
“sorry ya Ben, hari ini gua jadi ngrepotin lo.” Ucapku pelan.
“kelewatan lo mah!” Beno geleng-geleng kepala.
“emang baru kali ini doang lo ngrepotin gua?” ucap Beno selanjutnya. Iya, aku sadar semenjak kejadian buku paket PKn itu, aku memang jadi lebih sering bergantung kepada Beno daripada Radit. Apalagi Radit makin sibuk dengan agenda Rohisnya. Secara, nanti pada saat classmeeting mereka bakal tampil. Aku kan tidak ikut eksul apa-apa. Biasa, penyakit anak malas.
Koridor yang kita telusuri sudah lengang. Kelas-kelas juga sudah kosong. Waktu melewati lapangan basket pun kita aman sentosa. Walaupun tadi Denny sempat menyipitkan matanya melihatku yang berjalan dengan diiringi Beno tepat dibelakangku.
Begitu sampai di lapangan parkir, Beno melepaskan tangannya dari bahuku. Berusaha bersikap biasa saja dan santai. Beno sempat berbisik padaku agar aku rileks, supaya orang-orang tidak curiga ada yang tidak beres denganku.
Tapi ini yang paling gawat, motor Beno itu motor cowok. Saat naik ke boncengan pasti ntar bolong di celananya kelihatan banget.
“buruan naek!” kata Beno tak sabar yang melihatku hanya celingukan kanan kiri. Lalu dengan gaya cuek dan secepat kilat aku langsung naek ke motor Beno. Tapi sepertinya usahaku kurang cepat.
“beuh, merah menyala oiy!” itu suara Ian. Beuh! Ngapain sih tu anak belom pulang? Tanpa menghiraukan Ian yang sepertinya mulai memberitahukan teman-teman yang lain bahwa hari ini aku mengenakan sempak merah menyala dan agak kusam, Beno langsung tancap gas. Dalah hati, besok aku pasti nggak akan sekolah! Mulut Ian kan ember!
***

Usai makan malam, aku langsung menghampiri Radit yang tengah sibuk dengan kertas-kertas yang aku tidak tahu itu apa.
“Dit, gua besok nggak masuk sekolah ya? Gua malu banget tadi, sumpah!” Radit mendongak, menatapku dengan tatapan tanda tanya.
“emang tadi kenapa?” tanyanya yang kembali sibuk dengan kertas-kertas apalah itu. Aku langsung menceritakan kejadian tadi siang pas aku pulang sekolah dengan seksama. Tidak ada yang aku kurangi ataupun aku tambah-tambahin. Ceritaku diakhiri dengan tawa Radit yang keras.
“jahat lu ya? Tega! Tawa lu itu lho.”
“ya lo nya juga. O’on banget sih! Kok bisa gitu celana lo robek?” aku mendengus sebal.
“sial lu ya. Ya mana gua tahu? Kalau mau apes, ya mana bisa kita nolak ya kan?” aku merebahkan diriku di ranjang.
“ya Dit? Besok lu kasih surat ijin gua buat kaga sekolah? Ya? Ya?” rayuku kemudian.
“okay deh. Ntar gua ngomong sama nyokap biar dibuatin surat ijin buat lo. Tapi lusa lo masuk kan? Mau setahun lo nggak masuk juga, anak-anak tetap bakalan ingat tau!”
“iya gua ngerti. Satu hari aja Dit. Thanks so much ya?” Radit hanya mengangguk dan langsung kembali dengan kertas-kertas sialan itu. Akhir-akhir ini, Radit emang sibuk banget. Aku juga nggak tahu kenapa dia mau repot-repot ikut ekskul yang jelas-jelas dulu dia pernah bilang bahwa semua itu merepotkan.
Saat aku tengah asyik dengan novelku, ponselku tiba-tiba bergetar. Melihat nama yang tertera di layar, aku langsung melangkah keluar tanpa suara.
“Gan, lo besok masuk kan?” tanya Beno begitu aku memencet tombol answer.
“apaan?”
“lo besok masuk kan? Nggak pura-pura sakit atau ngumpet di rumah?” ulang Beno.
“kenapa lu ngomong gitu?” aku bertanya takjub. Jangan-jangan nih anak punya indra ke enam nih!
“feeling aja. Kayaknya besok gua nggak bakal bisa ngusilin lo.”
“iya sih. Besok rencananya gua nggak bakal masuk. Satu hari aja kok. Malu banget tadi.” Kataku akhirnya jujur dalam pengakuanku.
“bener kan feeling gua? Masuk dong Gan! Ya? Masuk ya?” aku tersenyum tipis. Dulu, mungkin tidak akan ada obrolan seperti ini. Kenapa aku tiba-tiba merasa Beno perhatian padaku ya? Jangan Gan! Ingat, Radit itu menyukai Beno!
“gua malu banget Ben! Sumpah!”
“kan tadi siang kita barengan. Jadi gua malu juga lah.” Aku mengkerutkan keningku. Kenapa Beno harus malu? Aneh!
“yaaah, tapi kan. . .”
“pokoknya besok lo mesti kudu masuk! Atau gua jemput? Gua jemput aja ya? Ya?” kok jadi maksa ya? But wait! Kalau besok Beno jemput aku, Radit gimana? Kalau Radit lihat gimana? Aduh, memang sih aku dan Beno hanya berteman. Aku juga tidak ada keinginan buat ngegandeng Beno buat jadi bf, secara aku masih yakin kalau dia straight. Tapi bagaimana menurut Radit? Aku dijemput Beno? BIG NO!
“gua bisa berangkat sendiri kok Ben.” Kataku akhirnya.
“yakin? Gua jemput lah. Pokoknya gua jemput.”
Klik.
Sambungan diputus. Gila ini anak! Sarap! Kudisan!
“jadi bolos nggak nih besok?” Radit bertanya sambil senyum menggoda. Lha, sejak kapan nih anak ada disini?
“nggak, hhehe.” Kataku sambil meringis. “ada yang takut nggak bisa ngusilin gua besok.” Oops, ampun dah. Keceplosan!
Radit malah tersenyum, jenis senyum yang seolah-olah dia tahu suatu rahasia yang sangat besar.
“Beno ya?” aku melihat mata Radit berbinar iseng.
“hhehe.” Aku hanya bisa tersenyum garing.B ilang nggak ya kalau dia besok bakalan jemput? Aduh!
“kalian kayak orang pacaran sekarang! Kemana-mana berdua mulu!” aku tertegun mendengar ucapan Radit. Aku menatap wajahnya, namun aku tidak mendapati wajah kecemburuan disana.
“idih! Siapa juga yang mau pacaran sama dia! Lagian gua nggak mungkin ngrebut jatah temen!” kataku agak nggak ikhlas.
“sembako kali pake jatah-jatahan. Lagian siapa bilang gua masih naksir Beno? Udah ganti lagi.” Kata Radit sambil lalu.
“hhah? Siapa Dit?” kataku penasaran. Radit sudah nggak naksir Beno lagi? Sejak kapan? Kok dia nggak pernah cerita ya? Ngefek ya kalau Radit cerita?
“entar juga lo tau. Yang jelas anaknya bego nggak ketulungan kalo soal cinta sama olahraga!” deg! Bego olahraga? Kan aku banget tu. Hush! Nggak mungkin lah. Lagian aku mah bukannya bego olahraga, tapi emang nggak bisa olahraga. Itu beda kan ya?
Begitu Radit berlalu aku merasakan kesepian yang luar biasa. Gelisah. Sangat gelisah. Aku mencoba untuk mengatur nafasku sepelan mungkin.Tarik lewat hidung, dan lepaskan lewat mulut. Tidak berhasil! Aku masih saja gelisah.
Aku kembali ke kamar dan mencoba terlelap. Gagal! Aku sama sekali tidak bisa menutup mataku. Bayangan Beno dan keisengannya muncul begitu saja di kepalaku. Jangan! Jangan bilang aku mulai naksir Beno! Jangan!
Besok Beno bakal menjemputku dan kita bakal ke sekolah bareng untuk yang pertama kalinya. Sebenarnya Cuma itu sih. Tapi, kenapa aku gelisah banget ya? Oh ya, besok aku mau pake seragam yang mana nih!
Aku meloncat dari ranjang dan langsung membuka almari. Aku memilih seragam terbaik yang aku punya. Padahal sebenarnya juga nggak beda jauh dari tiga seragam lainnya. Aku menoleh kearah rak sepatu. Mataku melotot, kok sepetuku semuanya jelek ya?
“gila! Jadi selama ini gua ke sekolah pake sepatu jelek gini? Kok gua nggak pernah nyadar sih?!” desisku pada diri sendiri. Parah banget!
“ah, bodo amat sepatu gua jelek gini. Pokoknya yang penting, besok gua harus keliatan cakep!” kataku mantap. Aku langsung ngibrit ke kamar mandi. Memperhatikan wajahku sendiri di cermin.
“kok muka gua kusem banget sih?” kataku hopeless. Aku melirik masker wajah yang sering dipake oleh Radit. Hmm, minta dikit ah.
Akhirnya aku tiduran dengan wajah bermasker. Pertama kali seumur hidup! Radit yang baru saja masuk kedalam kamar langsung kaget. Dia hanya geleng-geleng kepala melihatku yang terbalut masker dan ketimun yang aku dapatkan tadi dari Mbok Parni yang aku iris bulat-bulat menutupi mataku. Biar mataku fresh!
Namun tidak berapa lama setelah dari kamar mandi, Radit langsung teriak.
“lu pake seberapa banyak sih masker gua Gan? Tinggal separo gini! Padahal kemaren baru beli.”
Aku yang tengah berbaring langsung meringis.
“ya, biar langsung kerasa gitu efeknya. Wajah gua kusem banget.Besok gua ganti deh.” Kataku akhirnya. Selama ini aku selalu menertawakan Radit yang rempong banget. Dia punya masker, punya facial foam dan tetek bengek perawatan wajah lainnya. Ya tidak heran kalau wajah Radit mulus kayak bayi. Perawatannya aja bejibun. Dulu, aku hanya sering pake facial foam, deodorant, handbody sama parfum doang. Itupun belinya suka nitip Mbok Parni. Dulu lagi, sebelum aku ngekos di rumahnya Radit, aku belinya malu-malu. Pasti sambil beli detergen, sabun, dll. Biar ketutupan gitu.
“lo pikir maskeran itu kayak operasi plastic? Bisa langsung ketahuan gitu hasilnya? Aneh lo ya! Ada-ada aja! Kenapa sih lo? Kayak perawan lagi jatuh cinta aja!”
“apa lu bilang? Jatuh cinta? Nggak ya! Gua nggak lagi jatuh cinta!” kataku tegas. Walaupun dalam hati aku mulai bertanya-tanya.
Sedang jatuh cintakah aku?
Yonathan Beno Wicaksono? BIG NO BANGET DEH!!

Bersambung lagi,.
Ke chapter 10 ya?

5 komentar:

  1. hahaha ... klo orng jth cinta memang sll memprhtkn penampilan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. yeee... aq pntr kn... bs msk trnyt...

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. prok prok prok,.
      hhehe,.

      Hapus

leave comment please.