FOLLOW ME

Selasa, 29 Juli 2014

CATATAN NGACO SEORANG ARDHINANSA ADIATAMA


Aku, Ardhinansa Adiatama. Aku gay, dan ini kisahku. Sebenarnya, aku tidak begitu bangga mengucapkan kata ‘aku gay’. Coba tebak, siapa yang mau jadi gay? Kalau kalian bisa memilih? Naif, karena kebanyakkan orang straight tak kan pernah mengerti gay, atau lebih spesifiknya tidak akan mengerti kondisiku. Ketika aku memutuskan untuk berterus terang dengan temanku, rata-rata mereka akan bilang, “Lo sakit?”
Sakit? Aku sehat! Aku bisa berkomunikasi, aku bisa bersosial, aku bisa melakukan apa yang orang straight bisa lakukan. Kenapa aku dibilang sakit? Bahkan oleh beberapa gay sendiri? Kenapa mereka mengejudge diri mereka sakit?
Jujur, aku tidak mau dibilang sakit! Aku memang tidak tertarik dengan perempuan, walaupun jujur aku bisa menghamili mereka kalau aku mau. Memangnya ada perbedaan berarti antara sperma gay dan sperma straight? Kecuali kalian impoten.
Bukankah hanya disitu letak perbedaanya? Straight menyukai dan tertarik dengan lawan jenis, sedangkan gay tertarik dengan sesama jenis? Lalu kenapa? Sama seperti straight yang tidak mungkin sembarangan menyosor semua kaum lawan jenisnya, gay juga tidak sembarangan menyosor. Kita punya cinta, kita punya kriteria, kita juga punya hati. Oh! Kecuali beberapa bajingan yang hanya mementingkan seks dan seks. Tapi bukankah straight juga banyak? Banyak yang hanya memetingkan seks?
Lalu kenapa aku gay?
Aku jadi ingat, waktu itu aku masih 13 tahun. Remaja tanggung yang selalu ingin tahu. Saat itu, aku tidak tahu bahwa lelaki yang suka lelaki disebut gay. Boro-boro, karena aku juga belum bisa mendiskripsikan perasaanku kalau aku bertemu atau mengobrol dengan Sani Satrio Wibowo. Perasaan deg-degan. Pengen barengan terus, atau perasaan tiba-tiba kesal menyebalkan jika perhatiannya teralih dariku. Aku masih ingat betul cara dia memperlakukanku, berbeda dengan cara dia memperlakukan teman-teman prianya yang lain. Aku merasa spesial, aku masih ingat pangkuannya, pelukan hangatnya.
Puncaknya saat aku berusia 14 tahun. Aku mempunyai pembimbing rohani, namanya Hendra. Dan karena aku dibesarkan dengan keluarga yang taat beribadah dan terbiasa bercerita apa saja dengan Hendra, aku menceritakan masalahku. Perasaan anehku ke Sani yang sama sekali belum aku mengerti.
Hendra diam setelah mendengar ceritaku. Dia malah lalu bertanya,  apakah aku dekat dengan Papaku? Apakah sewaktu kecil aku lebih suka mainan perempuan daripada robot-robotan atau mainan anak cowok lainnya? Aku yang waktu itu masih 14 tahun hanya terdiam lalu menggeleng.
Kini, aku bisa tersenyum geli.
Tidak ada yang salah dengan keluargaku, tidak ada yang salah dengan cara mendidik ibuku, tidak ada yang salah dengan masa kecilku dan bagiku gay juga bukan kesalahan. Mau menyalahkan siapa? Tuhan?
Aku terlahir dengan 3 saudara. Kakak pertamaku perempuan, selisih hampir 12 tahun dariku karena Mamaku nikah muda. Lalu kakak keduaku laki-laki bernama Bimo. Dan adikku Ragil. Masa kecilku bahagia dan menyenangkan. Aku juga tak pernah kekurangan kasih sayang seorang Papa. Lalu kenapa?
Aku bermain robot-robotan, tamiya, kasti, renang di sungai bahkan kadang-kadang Mamaku harus mencariku di sawah karena aku masih bermain layang-layang hingga sore hari. Aku melakukan permainan laki-laki sewaktu kecil.
Mamaku membesarkan tiga anak lelaki. Kami diperlakukan sama, tidak ada cerita-cerita mamaku ingin anak perempuan, sehingga aku didandani seperti perempuan, tidak ada juga cerita-cerita mamaku ngidam Tessi atau Olga, karena aku yakin jaman itu Olga juga belum nongol di tv, aku juga ragu keluargaku sudah punya tv.
Jadi berhentilah kalian menyalahkan mamaku! Dia wanita yang hebat, seorang wanita yang bisa membuat suaminya betah hingga puluhan tahun, membuat anak-anaknya betah mendengar dongengnya ketika mau tidur, membuat anaknya tidak pernah takut untuk bertanya tentang apapun ke mamanya. Mamaku luar biasa!
Jangan juga menyalahkan masa kecilku. Aku berteman dengan laki-laki, melakukan permainan laki-laki. Dan tidak ada yang keliru. Oh, kecuali saat-saat aku lebih suka didapur membantu Mama, mengiris bawang putih, tanya ini itu. Tapi apakah itu salah? Apakah itu tanda-tanda aku akan gay?
Ada saat-saat dimana aku merasa kotor, saat-saat dimana aku merasa tidak layak ke gereja karena aku gay, saat-saat dimana aku merasa aku adalah anak gagal yang tidak mungkin bisa membahagiakan orang tuanya. Apakah kalian pernah mengalami perasaan itu? Perasaan hina itu?
Hendra tidak pernah memberiku solusi, dan aku perlahan-lahan mundur dari kegiatan gereja. Aku hanya datang setiap ibadah hari Minggu, itupun bersama keluargaku. Seperti yang aku katakan tadi, ada perasaan bersalah kepada Tuhan, ada perasaan tidak pantas bertemu Tuhan.
Sejak perasaan aneh ke Sani perlahan aku pahami, aku malah jadi menarik diri. Jadi pendiam, minder dan merasa kecil. Sampai akhirnya kakakku tahu. Ya, Bimo tau dari buku kecil diariku. Aku menulis semuanya disitu, acak-acakkan, berantakkan, tapi aku merasa hanya buku itu yang mengerti aku. Bukan Hendra, bukan juga para pendeta yang hanya bisa mengatakan bahwa aku salah. Tanpa aku tahu, salahku dimana. Aku gay, ya itu dia salahku. Aku gay dan aku salah. Oya, atau teori kedua yang lebih gila lagi. Bahwa roh sodom dan gomorah merasukiku, demi Tuhan!! Aku sehat dan tidak kerasukkan.
Mas Bimo menjauh, aku merasakannya. Dia yang biasanya mengajariku mengerjakan PR, kini tak melakukannya lagi. Tapi aku masih beruntung, dia tidak mengadukanku ke Mama atau Papa. Aku belum siap mengecewakan mereka. Aku belum siap menjadi alasan para tetangga menggunjing kegagalan orangtuaku mendidikku karena aku menjadi gay. Aku tidak mau hal itu terjadi, sungguh.
Lalu beberapa hari kemudian, ketika rumah sedang sepi dan aku tengah menonton tv, aku ingat waktu itu acaranya Wiro Sableng, Mas Bimo memelukku sambil sesenggukan.
“Maafin Mas Dek,” Aku bingung. Apa yang perlu dimaafkan? Bukan salah Mas Bimo aku jadi gay. Dia tidak ada andil, sama sekali! Namun adegan selanjutnya adalah kita tangis-tangisan bareng sambil pelukan. Sampai-sampai adikku yang baru pulang main melongo melihat kita berdua. Dan masih melontarkan joke-joke menghina ke aku ataupun mas Bimo setelahnya, bahkan hingga saat ini. Hingga hari ini.
Hendra juga sama, tidak pernah menceritakan apa yang pernah aku utarakan ke kedua orang tuaku.
Hingga saat ini, orangtuaku tidak tahu. Mungkin mereka tahu, mungkin.
Beberapa teman tahu, sejak Mas Bimo bilang bahwa aku tetap adiknya apapun keadaanku, bahkan jika aku jadi penjahat sekalipun, aku tetap adiknya, dia akan tetap menjagaku, dia akan tetap berada di garis depan yang membelaku.
Aku yakin orangtuaku akan melakukan hal yang sama. Adikku? Walau kita sering berantem, rebutan ayam goreng kalau sudah tinggal satu, rebutan sandal, rebutan saluran tv, tapi aku tidak pernah ragu kalau dia menyayangiku. Bahkan jika mungkin dia tahu bahwa kakaknya ini gay. Kakak yang selalu dia peluk saat tidur, kakak yang selalu dia repotkan dengan cerita cewek-cewek yang naksir berat ke dia. Aku juga menyayangi adikku. Aku mencintai keluargaku.
Aku bangga memiliki mereka, aku bersyukur lahir dan besar diantara mereka, di antara kasih sayang yang melimpah. Yang tak pernah sedikitpun meragukan keputusanku. Aku mencintai mereka dan akan selalu.
Mama, aku menyayangimu. Mungkin aku belum bisa memberikan apa-apa, tapi aku berusaha menjadi anak baik. Aku akan menjaga nama Mama di depan tetangga-tetangga di kampung. Mama akan tetap dianggap Mama yang hebat karena mempunyai 4 anak yang mengagumkan. Aku pasti akan menjaga nama baik Mama, aku janji.
Papa, terimakasih buat semua ajarannya. Permainan catur, lawan tanding badminton yang paling kece yang tak pernah bisa aku kalahin. Buat nasehat-nasehat konyolnya, terima kasih buat pesawat terbangnya, pasti capek harus menggendongku, mas Bimo dan Ragil bergantian. Aku janji aku bakal jadi ayah yang hebat. Ayah yang hebat lho ya, bukan suami yang hebat.
Mbak Lestari, wanita terkuat yang pernah aku kenal. Bisa merobohkan adik-adiknya padahal adik-adiknya cowo semua. Hahaha, mbak selalu bisa membuat adik-adik cowoknya tidak berdaya, sepertinya nurun dari Mama. Aku sayang sama Mbak. Pengakuan jujur kalo aku sempat naksir dengan Mas Galih. Tapi tenang, aku tidak makan sodara sendiri, apalagi suami mbak sendiri. Tapi ada moment-moment ketika aku ke rumah embak, terus mendapati Mas Galih mondar-mandir hanya memakai celana dalam. Jelas itu bukan salahku, itu keberuntunganku.
Teman curhat paling handal dan bisa dipercaya, Mas Bimo. Aku bisa curhat apa saja ke dia. APA SAJA karena dia sudah tahu semuanya. Aku update semuanya ke dia, mulai dari lagi deket sama siapa, cowok mana yang sedang aku taksir dan minta pendapat apakah cowok itu cukup baik atau tidak. Trimakasih buat malam-malam pilu, malam-malam dimana aku merasa adik paling beruntung sedunia.
Si bawel dan si anak bungsu yang menganggap kalau dia lebih pantas jadi kakakku daripada adikku, aku sayang padamu. Ragil, selalu berdiri di garis depan kalau aku sedang berantem dengan anak tetangga. Tetapi selalu jadi yang tercepat mengambil jatah susuku tiap pagi. Padahal sudah ada tiga gelas susu. Berakhir dengan Mama yang harus membuatkan segelas lagi untukku. Kenapa tidak pernah mengambil jatah Mas Bimo? Dan jawabanmu selalu bikin aku emosi, selalu bikin kita berantem dan terpaksa harus membuat kita mendengarkan pidato setengah jam ala Mama.
“Menjahili adik sendiri itu wajib hukumnya!”
Kita memang selisih tidak ada satu tahun, tapi hukum alam tidak bisa ditentang Ragil, aku tetap Mas mu.  Terbukti secara naluriah kamu memelukku, meringkuk dipelukanku setiap malam. Sedih rasanya kita sudah tidak berbagi ranjang lagi sekarang. Tidak rebutan bantal guling karna hanya ada satu.
Aku Mencintai Keluargaku Lebih Dari Apapun dan Akan Selalu Begitu.

Catatan Ngaco Seorang Ardhinansa Adiatama

Sabtu, 19 Juli 2014

BARISTA 5

Chapter 5

Beno Pov
Dating sama Gani selalu menjadi moment berharga. Entah itu hanya makan bareng, nonton atau hanya jalan-jalan gak jelas keliling mall. Kita berdua sama-sama bukan sex oriented, walaupun aku tidak keberatan jika tiba-tiba Gani menarikku ke toilet dan kita bercinta disana. Sound like a good idea.
“Ada bokep terbaru gak bang? Yang bagusan tapi.” Hahaha, satu hal lagi yang aku suka dari Gani. Dia gak pernah berpura-pura menjadi orang lain, pacarku itu selalu terlihat bangga dengan dirinya sendiri. Bukan narsis, lebih ke percaya diri. Dan pas. Salah satu pesona yang mungkin juga tidak pernah Gani sadari.
“Yang kek biasanya kan? Atau sudah suka cewe sekarang?” Toko kaset bajakkan ini memang sudah menjadi langganan Gani. Jauh sebelum aku tahu, Gani sudah langganan disini. Dan yah, bisa dilihat Abang yang jual pun sudah hapal.
Gani pernah cerita, awalnya dia malu-malu kucing buat beli film-film yang covernya cowok-cowok shirtless, eh lama-lama malah ditawarin bokep ama yang jual. How lucky!!
“Ahh, suka ama cewe mainstream bang. Ada gak?”
“Ada nih, Asia kan? Ada yang dari Thailand juga lho. Koleksi terbaru.”
“Beuh, komplit amat. Abang juga nonton ya?” Abang itu tertawa keras.
“Ah elo, ntar lo abis nonton langsung praktek kan?” Abang si penjual kaset itu berkata sambil melirikku. Aku tak ambil peduli. Aku meneruskan aktifitasku memilih film-film baru. Yang bagus namun tidak begitu worth untuk ditonton di bioskop.
“Uda selese?” Gani menghampiriku yang langsung aku jawab dengan anggukkan.
Kita masih menyempatkan makan sebelum akhirnya naik keatas untuk nonton. Dan jujur aku tak secerewet biasanya. Aku lebih banyak diam. Entahlah, hanya saja perasaan bersalah itu tidak mau pergi. Salah satu sisi diriku memintaku untuk jujur pada Gani tentang ciumanku dengan Shandy. Satu sisi lainnya menyuruhku jangan, dan aku belum siap dengan resikonya. Bagaimana kalau Gani marah? Bagaimana kalau nanti dia lalu minta putus? Aku gak mau.
***

Gani Pov
(Jujur, lebih enak nulis dari sisi Gani daripada tokoh lainnya)

Kediaman Beno sedikit banyak membuat aku gelisah, bukan apa-apa sih. Tapi jarang aja, cowo sebawel dia jadi pendiem gini. Aku uda cerita panjang-panjang ampe berbusa, cuman dijawab;
“Oya?”
“Hahaha,”
“Masa sih?”
Tapi sudahlah, dia mungkin lagi datang bulan. Trust me deh, walaupun enggak kayak cewe yang ngucur darah dan perlu dipakein sayap, tapi cowo juga punya waktu-waktu sensi tertentu. Berdasarkan riset, ehm, riset aku sendiri sih. Cowok rata-rata punya waktu sensi setiap beberapa minggu sekali. Riset ini terbukti di Radit, Denny, Tantra, Ian sapa lagi ya? Oya Beno. Lupa, aku juga ding. Aku kan cowo.
“Ice cream?” Alis Beno terangkat setelah aku mengatakan bahwa aku lagi pengen es krim.
“Uda malem lho beb, dingin lagi. Ntar kamu flue lagi. Musim ujan kok pengen es krim.” Beno menambahkan. Tapi seperti yang dia tahu sendiri kalau aku lagi pengen, gak bakal ada yang bisa menghentikanku. Halah!
“Lagi pengen, uda lama gak tauk.”
“Jadi kemaren itu uda bisa disebut lama.” Aku memberengut ke arahnya lalu berjalan tanpa mengindahkan Beno lagi. aku mendengar langkah Beno yang menyusulku dari belakang.
“Seriusan nih lagi pengen?” Tanya Beno lagi sambil menunggu pintu lift terbuka.
“Ngebet banget malah.”
Kita menuju lantai paling bawah. Disini ada semacam mini market, hanya lebih luas dan komplit dibandingkan Indomaret misalnya, atau Alfamart atau mungkin Alfamidi. Indomidi sudah ada belom ya?
“Just curious, what kind ice cream do you want?”
“Vanilla, yang plain aja beb.” Jawabanku itu ditanggapi dengan perasaan bingung. Ya wajar sih, karena selama ini aku selalu memakan apa saja yang berbau cokelat. Lebih tepatnya, apapun makanan yang ada rasa coklatnya.
“Toppingnya yang mau aku beli agak banyakkan dan bervariasi.” Kataku sambil mulai memasukkan belanjaanku ke troli.
“Itu bisa buat persediaan satu minggu.”
Aku menatap Beno dan mengginggit bibirku dalam-dalam.
“You know what? I have a dirty idea about this ice cream.” Tanganku secara agresif meremas lembut kejantanan Beno secepat kilat sebelum akhirnya mendorong troliku ke kasir. Memikirkan ide nakal yang tengah melintas di otakku membuatku tersenyum mesum sendiri. Kenapa tidak? Sudah lama juga aku dan Beno tidak berhungan seks. Eemm, sudah tiga hari. Buatku itu waktu yang sudah cukup lama.
***

“Actually Ben, I have an idea.”
“Apa itu kalau aku boleh tahu?” Aku menaruh seplastik belanjaanku yang berisi ice cream dan juga tetek bengeknya di atas meja yang baru saja dibeli beberapa minggu lalu, meja makan yang menurutku artistik. Orangtua Beno sepertinya penyuka seni. Mungkin.
“Mas Yoga pulang gak malam ini ke rumah?” Tanyaku sebelum aku menjelaskan ideku. Ide mesumku lebih tepatnya.
“Enggak, Mas Yoga baru pulang minggu depan.” Tahu Yoga kan? Kalau belom tahu ada baiknya baca Cintaku Dibagi Tiga dulu, hasyah malah promosi. Yoga sekarang sudah jadi mahasiswa, di salah satu Universitas negeri di Bandung.
“Eem oke,”
“Ide kamu apa sih?” Aku tahu kalau kedua orang tua Beno tengah pergi ke Semarang, ada saudara jauh mereka yang menikah disana. Beno tidak mempunyai pembatu rumah tangga. So? Ini bakal aman kayaknya.
“Aku gak bisa jelasin ideku kalau kamunya masih gak rileks gitu.”
“Hah? Maksut kamu apa?” Aku menunjuk baju seragamnya.
“Lepas dulu ya seragamnya? Ntar kotor kena es krim.” Aku menelan ludah ketika dengen gerakan pelan Beno melepaskan kancing seragamnya satu persatu dan meletakkannya. Sepertinya, pacarku itu mulai ngerti ke arah mana ideku bakal berlanjut.
“Ada yang kurang keknya, eemm apa ya?” Aku terlihat berpikir sejenak sementara pandangan Beno tidak pernah teralihkan dariku.
“Pants?” Tanyaku kemudian dengan ekspresi lugu.
“I thought you never ask,” Beno menjawab sambil berdiri. Gesture tangan Beno yang melepas ikat pinggangnya secara perlahan, melepaskan kaitan celananya, menurunkan resliting dengan sukses membuatku susah bernafas. Celana merah pucat kotak-kotak itu berakhir di bawah kaki Beno.
“Sekedar saran aja sih beb, celana dalamku sekalian dilepas gak?” Aku terkesiap pelan. Melihat Beno telanjang memang bukan hal yang baru. Aku sudah sering melihatnya, hanya saja ketika aku melihat lagi, kekaguman itu tetap sama persis sewaktu aku melihatnya pertama kali. Degub jantungku seperti berlomba-lomba memompa pasukan darah ke seluruh tubuhku.
“Boleh,” Tenang Gan, kalau kamu lost control maka permainan ini akan cepat berakhir. Kataku pada diriku sendiri.
Kemudian ketika Beno sudah berdiri tegak, tanpa sehelai benang pun menempel di dirinya, aku benar-benar merasa pasokan oksigen di paru-paruku habis. Pesonanya masih sama, all muscle, all abs, dan pandanganku tertumbuk pada benda menarik yang sudah berdiri menantang hingga menyentuh pusar sang pemiliknya.
Aku mengambil es krim yang tadi aku taruh dan langsung membukanya. Es krim tersebut sudah agak lumer, tapi menang inilah ideku. Akan agak kesulitan kalau es kim ini masih keras. Aku berjalan ke arah Beno dengan senyum mengembang.
“It’s time for ice cream,” Aku berjalan pelan sebelum akhirnya aku pura-pura tersandung dan menumpahkan sedikit es krim ke tubuh Beno. Bahkan ada beberapa yang menempel di penisnya. It’s that brilliant!!
“Oops, sorry. Aku bersihin ya?” Tanpa menunggu persetujuan dari Beno aku langsung menggunakan lidahku. Beberapa es krim yang menempel di dada, lalu perut dan sedikit dibagian yang paling menarik. Aku fokus dibagian dada terlebih dahulu, menjilatinya lalu menyesap sedikit di bagian puting, kembali ke dada lalu mengginggit kecil di putingnya lagi.
Beno menggeram, namun belum ambil inisiatif. Beno sepertinya benar-benar ingin aku yang mengendalikan situasi. Aku turun ke perut lalu membuat gerakan memutar sebelum akhirnya ke menu utama.
“Aku rasa tumpahan es krimnya bertambah di bagian sini.” Aku berkata sambil menujuk precum yang baru saja menetes keluar.
“But more delicious, I thing.” Kataku lagi sebelum akhirnya melahap benda sekeras batu namun lembut itu. Beno makin menggeram. Untuk beberapa saat dia membiarkan aku mengekspos bagian paling pribadinya itu sampai akhirnya dia menarikku untuk berdiri lalu secepat kilat melepas seluruh pakaianku. Ciuman Beno penuh tuntutan, tuntutan untuk dibalas, dengan gairah yang sama besar.
Beno mendorongku hingga aku tergeletak di atas meja makan. Bibirnya terus menerus memborbardir bibirku dengan ciuman-ciuman. Sementara kedua tangannya mulai mengangkat kedua kakiku.
Tangan kanan Beno meraih eskrim yang tidak jauh dari jangkauannya dan meletakkannya tepat di lubang pantatku. Rasa dingin langsung menjalari, namun tidak lama, karena begitu lidah Beno menari-nari disana, aku semakin panas. Dan ketika dengan nakal Beno membaluri penisnya dengan es krim, aku hanya bisa pasrah. Bersiap-siap ketika batang berlapiskan es krim itu mulai menggempur memberi sensasi dingin, perih dan enak.
***


“Yang tadi itu gila,” Beno sedang rebahan di tempat tidur. Kita sudah pindah ke kamar Beno setelah tadi bercinta habis-habisan di meja makan. Aku sangat berharap keluarga Beno tidak akan menemukan secuil tanda-tanda bekas kita bercinta tadi. Setetes sperma misalnya.
“Dan kamu menikmatinya.” Aku membuka lemari Beno, memilih-milih baju yang menurutku tidak terlalu gombrong untuk aku pakai.
“Mandi dulu sana ah, aku gak mau kamu peluk kalau kamu belum mandi gitu.” Beno tersenyum sebentar sebelum akhirnya bangkit dari kasur dan menuju kamar mandi.
Giliranku sekarang yang rebahan di atas ranjang. Aku mendengar air shower yang dinyalakan dan tersenyum sendiri. Sejujurnya, aku masih mau lanjut ke ronde dua. Menemani Beno mandi misalnya, lalu bercinta habis-habisan disana.
Tapi, entah kenapa aku sedang tidak bernafsu. Kediaman Beno sepanjang di mall tadi masih menghantuiku. Bagaimna jika? Kalo seandainya? Entahlah, aku jadi memikirkan hal yang tidak-tidak.
“Mikirin apa sih Beb?” Rambut basah Beno disusupkan ke leherku yang membuatku langsung mendorong kepalanya menjauh.
“Dingin.” Beno tersenyum sebelum akhirnya melepas handuknya dan bergabung bersamaku di dalam selimut.
“Aku bisa bikin anget.”
“Lagi males.”
“Masa?” Beno menuntun tanganku untuk memegangi juniornya yang sudah mengeras lagi. Shit! Kalau kayak gini gimana mau males lagi?
“Yakin males?” Aku menyingkapkan selimut dan secara terang-terangan melihat Beno telanjang. Gila! Aku terangsang lagi.
***

“Lo adalah temen paling nyebelin yang pernah gue kenal seumur hidup gue.” Radit masih mengomel sementara aku sibuk dengan COC ku. Bentar lagi aku bakal punya Barbarian King. Hahahaha.
“Serius deh Dit, gue males banget kalau harus ketemu Shandy.”
“Kita nemuin ibunya bukan Shandynya.”
“Kalo ntar ada dia gimana?”
“Gue juga males kali Gan! Tau sendiri pas di RS yang rajin ngomelin gue siapa!” Aku meletakkan smartphone ku.
“Yakin kita harus kesana? Gak ada jalan lain gitu?” Radit mengambil nafas panjang.
“Gue harus mastiin kalau Ibunya Shandy uda baik-baik aja. Gimana juga kan gue yang nyerempet dia Gan.”
“Ya udah lah, gue ganti baju dulu.”
“Nah gitu donk. By the way bawain buah-buahan gak ya?” Aku memilih baju yang agak simple. Kaos buntung yang aku doble dengan kemeja yang tidak aku kancingkan. Lalu celana khaki.
“Bawain aja, buat basa-basi.” Aku memandangi pantulan diriku di cermin sebelum akhirnya menghadap ke arah Radit.
“Dit . . .”
“Lo udah bilang mau, jadi kaga ada alasan buat batalin!!” It’s gonna be weird.
Mungkin hari ini adalah hari keberuntunganku. Shandy tidak ada di rumah, entahlah ada dimana, aku juga tidak ingin tahu.
“Silahkan lho itu tehnya.” Aku dan Radit langsung menjawab dengan senyuman gaje.
Setelah berbasa-basi sebentar dan Radit memberikan sedikit uang -Yang ditolak oleh Ibunya shandy- kita akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah.
“Tu kan gue bilang juga apa? Gak ada Shandy kan? Lagian masalah lo ama dia apa sih Gan? Kalo gue kan jelas udah di black list ama dia.”
“Tau ah Dit, gak suka aja gue ama dia. Feeling aja.”
“Gila lo ya, ngebenci orang tanpa alasan gitu.”
“Wajar lah, orang bisa suka tanpa alasan, kenapa benci harus pake alasan?” Aku menjawab agak sewot. Tapi bener juga kata Radit, dan aku belum pernah seperti ini sebelumnya. Membenci orang tanpa alasan. Apa salah Shandy sehingga aku gak suka banget sama dia? Karena dia marah-marah ke Radit? Engga juga, bukan alasan yang kuat. Karena dia stripper? Damn! Ngebenci orang karena profesinya? It’s not me! Enggak tahulah, mungkin bener kata Radit, aku ngebenci Shandy karena tanpa alasan. Aku menghela nafas panjang.
“Kita nongkrong bentar yuk Dit, kemana gitu.”
“Oke,”
***

Shandy Pov

Awalnya aku memang risih menjadi stripper. Seriously!! Tapi bayangin aja, bisa dapet duit satu juta dalam bentuk cash dalam semalam, belum lagi jika ada saweran masuk celana, beuh bisa lebih! Lagipula, aku tidak tidur sama mereka, hanya menjadi penari. Halal kan? Oh shit, apa peduliku dengan halal atau haram sekarang? Aku bisa hidup lumayan, dengan uangku sendiri. Bukan uang om ku, bukan dengan meminta-minta belas kasihan om ku. Aku masih kerja di caffe, namun sekarang aku juga menjadi stripper. Dan karena menjadi stripper tidak bisa setiap malam. Satu minggu aku hanya kebagian jadwal 1 kali. Mungkin karena aku masih belum booming. Hahaha.
Kali ini aku mencoba hal baru. Masih dengan Rendy, anak ini membawaku ke sebuah gedung yang kalau dari luar terlihat seperti gudang yang tidak terpakai. Tetapi begitu masuk kedalam, it’s amazing! Ada beberapa poster bergambar cowok-cowok dalam berbagai pose. Kesamaan mereka hanya satu, mereka telanjang!
Dan hal baru inilah yang akan aku coba. Naked model buat satu majalah khusus gay. Hal-hal seperti ini yang tadinya aku tidak tahu, entah kenapa malah sekarang semakin akrab di telingaku. Bahkan mungkin sebentar lagi akan menjadi lingkunganku. Lumayan, tiga juta satu kali sesi pemotretan.
“Tuh orangnya!”
Cowok yang rambutnya dicat pirang muncul. Tampang mukanya datar banget.
“Kok lo telat?”
“Macet parah tadi, ujan-ujan gini lagi.”
“Ooh,” Ini orang ekspresinya bener-bener datar asli! Sekarang si rambut pirang ini menoleh ke arahku dan memperhatikan penampilanku atas bawah.
“Ini talent baru yang mau lo kenalin ke gue?”
“Ho oh, kenalan gih!”
“Gue Shandy,” Aku mengulurkan tanganku dan langsung dia sambut walau hanya sebentar.
“Temmy.” Asli bener-bener datar si Temmy ini.
“Bisa apa aja dia?” Kali ini Temmy bertanya pada Rendy.
“Ask him!”
“Pernah jadi model?”
“Blom.” Jawabku singkat yang lalu ditimpali dengan helaan nafas si Temmy.
“Amatir gini lo bawa ke gue!” Temmy ini ngeselin ya? Aseli pengen gue tonjok.
“Bodi dia bagus lho! Lagian elo kan yang minta model baru, biar agak fresh! Dia kan belom pernah di publish!” Begitu mendengar penjelasan Rendy, si Temmy ini memperhatikan penampilanku lagi. kali ini lebih jeli.
“Coba buka kaos lo.”
“Disini?” Aku memperhatikan beberapa orang mondar-mandir tidak jelas di area ini.
“Ya udah ikut gue. Elo Ren, sana ke studio 2, uda ada Fafa.”
“Sip boss!” Sebelum pergi, Rendy menepuk bahuku pelan.
“Take it easy bro, relax!”
Aku dibawa Temmy ke sebuah ruangan. Tertutup, aku menduga ini adalah ruangan dia. Mungkin Temmy adalah salah satu orang penting disini. Ya diliat dari cara dia yang bisa memerintah orang seenaknya disini.
“Oke, so?” Begitu Temmy berbicara seperti itu, aku langsung melepas kaosku.
“Hmm, lo fitnes?” Aku mengangguk.
“Gue yakin lo bakal ngejual, tapi lo yakin? Ini foto telanjang lho, bukan sempak-sempakkan lagi.” Aku berpikir sebentar. Kata Rendy sih, pemasaran majalah ini ke luar Indonesia. Di Indonesia penjualannya hanya untuk kalangan tertentu. Dan pesan lewat online pun belum tentu bisa deal.
Aku mengangguk mantap.
“Fine kalau lo udah yakin. Sekarang coba lo telanjang depan gue,”
“Disini? Bukannya di studio?”
“Apa bedanya? Toh ntar yang liat lo telanjang bukan cuman pembeli majalah doang, ada krue, ada fotografer dan ada gue juga. Kadang malah outdoor.” Penjelasan Temmy masuk akal. Tapi kenapa aku jadi ragu? Ah sudahlah, sudah terlanjur basah. Nyemplung aja sekalian.
Aku langsung melucuti semua pakaianku hingga tak bersisa.
“Gede juga ya kontol lo, bakalan jadi aset baru nih lo!” Aku diam saja. Bahkan ketika Temmy tanpa malu-malu memandangiku dengan tatapan menilai.
“Oke, pake baju lo! Pemotretan lo hari Senin jam dua. Gak ada kontrak, jadi begitu lo selesai, lo dapet duitnya. Dan urusan foto lo itu buat apa, itu uda jadi hak gue, deal?”
“Oke, deal.”
“Fine, hati-hati di jalan.” Aku tersenyum sebelum akhirnya keluar dari ruangan Temmy. Masih menunggu Rendy selesai sesinya. Jadi anak baik-baik toh aku masih belum merasakan nikmatnya dunia, jadi kalau dengan cara ini bisa, kenapa engga? Lalu jika aku bisa tampil mentereng di depan Beno, mungkin dia bakal sedikit berpikir berbeda. Dibandingkan dengan pacarnya yang sekarang, aku jelas lebih ganteng dan seksi.
Tunggu Ben, lo bakal jadi milik gue.


Bersambung ya . . .

Sabtu, 05 Juli 2014

HIP HIP DOR

Di Balik Barista dan Cintaku Di Bagi Tiga


TAAARAAA !!!!
SUMPAH, GUE ISENG BANGET --,--
Ehm, sebelumnya cuma warm you gays aja, agak susah sih ngebayangin tokoh-tokoh ini make baju seragam SMA, but yoweslah. Buktinya, di ganteng2 serigala banyak yang uda ABG uzur perannya jadi anak SMA. So, enjoy this picture.
Tapi sebelum itu, aku bakalan ngajuin disclaimer nih. Karena gambar ini aku nemu di google, twitter sih lebih banyak, jadi buat siapa saja yang merasa itu adalah gambar kamu segera hubungi aku. Maka jika kalian keberatan, gambar itu akan aku ganti dengan gambar orang lain. Ngerti kan? Hehehe, maaf-maaf sebelumnya. Bukan ajang promosi juga. Hahahaha
Denny Prayoga
Pemain basket, cool dan seksi. Hahaha,




Raditya Putra, gak nemuin sisi bawelnya nih. But, biarlah.




Beno. Agak susah juga sih cari karakter ini anak satu, tapi semoga yang ini tidak mengecewakan kalian semua,.
 Yonathan Beno Wicaksono





Shandy tokoh utama juga nih di Barista


Gani Prasetya, si tokoh utama. Oops, nemuin gambarnya cuman atu. :)


BARISTA 4

Chapter 4
Shandy Pov
Aku menutup kotak nasi berisi ayam bakar yang baru saja aku makan seperempat. Enggak nafsu! Padahal laper banget. Tapi lagi-lagi, ketika aku punya beban pikiran yang berat gini, nafsu makanku selalu hilang begitu saja. Aku melirik chat bbm yang masih menyisakan space kosong yang aku tak tahu harus aku isi apa. Padahal sebenarnya simple, tinggal bales iya atau enggak. Lalu send, beres deh.
Ah, andai saja bisa semudah itu.
Tak lama kemudian smartphone itu bunyi, yang entah kenapa kali ini membuatku malas untuk mengangkatnya. Pasti Rendi.
“Shan, lo napa lama amat balesnya?”  Semprot Rendi begitu aku mengangkat panggilan darinya.
“Sorry bro, baru kelar makan gue.”
“Ah elo, trus gimana tawaran gue tadi? Uda jam tujuh, ya pa kaga?”
Batinku kembali bergejolak.
“Shan?”
Aku gak tau kenapa Tuhan selalu menempatkan aku dalam situasi sulit kayak gini. Please God, give me a sign.
“Kalo lo gak mau, gue langsung ajak yang lain nih.”
Ambil atau kaga ya?
“Shan! Buruan!”
“Anu, iya deh. Gue ambil.”
“Gitu dong ganteng. Siap-siap lo, ntar jam sembilan gue jemput.”
Pengen rasanya teriak aku gak mau, tapi yang keluar dari mulutku malah sebaliknya. Gak ngerti deh ntar bakal kek gimana.
***

“Ren, kita . . .”
“We are the king.”
“Gue belom pernah,”
“Halah ntar lo juga bisa, yang perlu lo lakuin cuman gini nih.” Rendi menggoyangkan pantatnya maju mundur dengan gerakkan eksotis.
“Shake your ass dude,” Katanya sebelum dia bergegas menyusul tiga cowok yang sudah menunggu di lobi. Aku berjalan tergesa mengikuti mereka. Ah, hati nuraniku sebenarnya menolak buat nglakuin kayak gini, ngebayangin bakal kesini aja aku kaga pernah.
Tapi sekarang, here I am. Disalah satu gay club di Jakarta, bukan sebagai pengunjung, tapi sebagai stripper. Bukan koreonya yang aku cemaskan, stripper mana ada koreo sih? Tapi bagian dimana aku harus nglepasin satu persatu bajuku didepan publik itu yang masih ngeri. Sumpah, gak bisa bayangin! Tapi lagi-lagi otakku berpikir lain, ini adalah satu-satunya jalan supaya aku mendapatkan uang satu juta rupiah sialan itu dan langsung aku kembalikan ke Pak Rudi. Jadi ceritanya, waktu praktikum kemarin aku tanpa sengaja memecahkan desikator. Harganya dua juta lebih. Yang satu juta setengah, aku dapatkan dari hasil tabunganku. Hasil sisa gaji yang selalu berhasil aku sisakan tiap bulannya. Sebenarnya, aku bisa saja meminta pada om ku, tapi akhir-akhir ini om ku selalu mengeluh tentang ekonomi keluarganya yang sedang carut marut. Dan ini membuatku sungkan.
Aku melintasi lorong temaram menuju sebuah ruangan di kanan jalan. Ada tiga ruangan disana, yang satu berisi beberapa orang yang  kalau di lihat dari gaya pakaian mereka, aku menerka kalau mereka adalah para DJ atau mungkin home band club ini. Satu ruangan ditengah terkunci dan paling kanan adalah ruangan yang akan aku singgahi.
“Renata!”
“Rendiiii, kirain yey gak bakalan dateng.”
“Haha, kapan sih gue gak profesional?”
“Cuss, yey memang the best. Ganteng, cucok!”
“Oya, Renata kenalin ini Shandy. Dia bakal gantiin Gugun buat sekali show.”
“Oh, heii gue Renata.”
“Shandy.” Kataku singkat. Cowok kemayu tersebut memandangiku cukup lama atas bawah.
“Lumayan juga mata yey kalau milih barang baru.”  Kata-kata Renata disambut tawa oleh Rendi.
“Oke, cyin, cusss tiga puluh menit lagi acara bakal dimulai! Silahkan ambil perlengkapan perang kalian, by the way ada design baru yang cucok banget sama selera akika.” Aku mengkernyitkan dahiku dalam. Perlengkapan perang?
Aku melihat semua cowok sibuk menaruh barang-barang mereka ke locker. Suara DJ sudah membuah gemuruh di luar sana.
“Simpen semua barang-barang lo di locker, kaga bakalan ilang.” Aku bergerak dan memilih locker paling pojok.
“Yang tadi itu namanya Renata, aslinya sih Reno. You know lah.” Oke, dalam situasi lain mungkin aku bakal tertawa, kali ini? Aku hanya bisa tertawa getir. Maksutku, dia lebih memilih dipanggil Renata? Daripada Reno yang jelas-jelas nama aslinya dan bagus pula.
“Gila! Cakep, seksoy abes!” Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang cowok bermuka blasteran tengah mengamati dan menjembreng beberapa kostum. Gila, itu yang bakal gue pakai ntar?
“Shan, ini punya lo!”
Aku menerima kostum army. Lengkap dengan sempak putih polos yang terlalu tipis menurutku. Aduh, ini sempak mah make gak make bakal sama aja efeknya. Gila ini!
“Dalam dua puluh menit semua udah harus beres kostum!” Rendi memberi instruksi. Dan tanpa risih semua langsung melepas semua baju mereka disini. Gila, aku harus ganti disini juga? Bareng-bareng? Perasaan bingung mulai menelusupiku, kenapa aku tidak terangsang ya? Perasaan kalau lihat Beno aku langsung bisa on, kenapa lihat mereka engga? Padahal mereka juga cakep-cakep, ada yang lebih cakep dari Beno malah.
“Hey, anak baru buruan donk!!”
Aku menghela nafas sesaat sebelum dengan cepat mengganti kostumku. Sebelum nantinya aku ditegur untuk kedua kali.
***

Gani Pov
To be honest, ini pertama kalinya aku main ke gay club. Serius deh. Kalau tempat clubbing biasa sih pernah beberapa kali sama Radit. Kita berempat, aku, Beno, Radit dan Risky finally merasakan dunianya orang dewasa. Hahaha, walau tadi masuknya agak ribet, but here we are.
“Kayak gini tho yang namanya diskotik? Brisik banget.” Risky mengeluarkan suara setelah habis menenggak jus strawberrynya. Yah, kalian tidak salah baca. Jus strawberry. Dan aku juga agak heran kenapa club ini menyediakan jus strawberry. Ganjil.
Aku menyesap wine ku sebelum akhirnya merapat ke Beno. Beberapa kali aku melihat ada mata-mata lapar seakan mau menerkam cowokku itu. Jadi ya, aku gak boleh lepas dari Beno barang sedetikpun.
“Dance yuk?” Beno menarikku ke dance floor. Lagu En La Obscuridad milik Belinda menggema. Lumayan banget buat menggoyangkan badan. Ini gay bar club, jadi tanpa malu-malu aku melingkarkan tanganku ke leher Beno. Bergerak-gerak erotis, sengaja ingin menyulut gairah Beno.
“You make me on fire beb,” Bisikkan Beno tersebut hampir tidak bisa aku dengar. Namun jika menilik tonjolan didalem celananya yang makin menggembung, aku paham arah pembicaraannya.
Tiba-tiba musik dibuat pelan, dan seorang drag queen –Syahrini wanna be- naik ke atas panggung.
“Are you excited for tonight?” Si Syahrini jadi-jadian tersebut fasih menirukan logat Syahrini. Hanya dengan versi suara nge bass. Kalian bayangin sendiri lah.
Suara teriakan seru bergeming dari seantero ruangan. Dan karena ini pertama kalinya aku berada disini, aku tidak mengerti kondisi ini. Sebelum akhirnya cowok-cowok muscle muncul di atas panggung dan mulai bergoyang.
“They are yours tonight!!” Selesai ngomong itu musik mulai kencang lagi. Kali ini dengan parade cowok-cowok ganteng diatas panggung yang mulai melolosi pakaian mereka satu persatu. Stripper dancer? God!! Aku mengajak Beno agak mendekat ke stage, kapan lagi coba?
“Seksi, I like sexy guy.”
“Apa aku gak seksi?” Aku menoleh ke arah Beno dan memberinya ciuman kilat di bibir.
“Kamu itu cowok terseksi beb,” kataku, sebelum akhirnya pandangan mataku tertumbuk pada satu sosok cowok yang agak canggung diatas stage. Aku mengamatinya lebih lama, takut nantinya salah lihat.
“It’s that your Friend? Shandy?” Beno mengikuti arah tanganku dan terkesiap pelan.
“Kita pulang yuk, udah malem.” Aku yang tidak tahu kenapa mood Beno berubah langsung mengikutinya. What’s wrong? Ah sudahlah, dari dulu aku memang selalu memacari orang yang pikirannya tidak pernah bisa aku tebak.
***

“Lo serius Gan? Si Shandy yang nyokapnya keserempet mobil gue itu?” Aku mengangguk, entah untuk keberapa kali.
“Gue gak mungkin salah liat Dit, lagian lo sendiri? Emang lo kaga lihat aksi strippernya?” Radit menjawab pertanyaanku dengan cengengesan tanpa dosa.
“Si Risky gak betah, berisik katanya. Pulang deh kita.”
“Lagian lo aneh, Risky kan biasanya di masjid ngapa lo ajak ke diskotik coba?”
 Radit meringis sebentar lalu mengginggit cokelatnya. Mengulumnya sebentar sebelum perhatiaannya kembali terarah padaku.
“Terus lo curiga dia ada apa-apa sama laki lo?”
Aku mengambil satu cokelat yang terdampar secara acak di atas meja belajar.
“Ya abis, tingkah si Beno aneh gitu pas lihat si Shandy ini joget-joget telanjang.”
“Gue saranin sih jangan sampe salah ambil keputusan lagi aja. Lo gak pengen nyesel dua kali kan? Cukup si Denny aja lah yang elo sesali ampe sekarang.” Radit memasukkan potongan terakhir cokelatnya, “Emang si Shandy beneran telanjang? Bagus gak sih bodinya?”
“Ya kayak model-model L’men gitu. Tapi belom jadi bener. Kaga telanjang bulat juga, tapi sempaknya aja kayak saringan tahu, ngeceplak banget! Mana kayaknya dia lagi ngaceng lagi. Buahahaha.”
“Heh, untuk ukuran yang kata lo cuman lihat sekejab, lo terlalu detail tauk!”
“Gini ya Dit, gue itu gak pernah bisa yang namanya nolak rejeki, jadi ya kalo ada pemandangan syur gitu nikmatilah. Jarang-jarang lho liat perkakas cowo lain kecuali punya laki gue.”
“Noh, di twitter buanyaaak. Pada nawarin diri malah, gue bot butuh di puasin ama top yang manly. Hih, najong! Kek gak laku aja!”
“Buahaha, ikutan promo gih lo!!” Kataku sambil ikut merebahkan diri di ranjang.
“Ngomong-ngomong soal bot ama top, gue mau nanya nih. Lo yang jadi topnya Risky atau kebalikannya?” Radit memalingkan wajahnya dan terlihat semburat merah menjalar di pipinya. Cielah, jawab top atau bot aja ampe segitu malunya.
“Gue Topnya.” Aku membelalakkan mataku berlebihan.
“Lo bohong.”
“Menurut lo?!”
“Iih, pantesan lo sok manly di depan Risky.” Mendengar perkataanku barusan, Radit malah menarik nafas panjang.
“Gue takut Gan.”
“Takut kenape?”
“Kalo misalnya Risky tau gue gak semanly yang gue tampilin ke dia gimana? Lo kan tahu sendiri kadang-kadang gue suka keceuplousan, apalagi kalau lagi bareng elo. Naluri ngondek gue bangun.”
“Menurut gue nih ya, menurut gue lho ya, Risky gak bakal begitu permasalahin kengondekkan elo kok kalau dia emang cinta sama lo. Lagian, lo ngondek juga cuman pas sama gue doang keknya.”
“Lo mah enak, Beno uda tahu kalau lo ngondek.”
“Taik Babi lo!”
“Buahahaha, tapi iye juga ya. Keknya gua gak ngondek deh. Liat aja temen-temen di kelas gak ada yang curiga gue pacaran ama Risky tuh.”
“Tapi menurut gue, semanly-manlynya cowo gay, pasti sisi cong nya juga kadang tanpa sengaja keliatan.” Radit bangun dari tempat tidur. Berjalan mondar-mandir dan terlihat menimang-nimang sesuatu.
“Kalau Denny? Pernah keliatan ngondek gak?”
“Enggak.” Jawabku spontan. Setauku sih engga.
“Teori lo salah donk kalau gitu.” Aku memutar kedua bola mataku sebelum akhirnya menarik selimut sebatas leher.
“Good night Dit.”
“Jiah, kalah debat kabur.” Setelah ucapan itu keluar aku merasakan pukulan mendarat di kepalaku. Radit sialan, aku mengambil bantal yang paling dekat denganku dan membalasnya tak kalah kuat.
Oh, pasti bakal begadang lagi ini perang-perangan bantal -,-
***

Shandy Pov
Deg-degan iya. Gimana enggak? Beno ada disini, sore ini, di caffe ini, sendirian. Dan dia bilang dia pengen bicara denganku. Dia menungguku selesai bekerja. Dimejanya ada coklat cake dan ice coklat, sepertinya dia memang rajin pesan apa-apa yang berbau coklat. Shifku berakhir jam 3. Dan itu sekitar 15 menit lagi. Aku mengamati Beno dalam diam. Dia tampan, aku tahu itu. Dari cara dia berpakaian, bersikap, bahkan saat dia menyesap coklatnya atau memakan cake nya, Beno selalu terlihat keren.
Hhh, aku menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya pergi ke belakang, memberi tahu kepada Andi beberapa hal yang tadi belum sempat aku kerjakan dan pergi ke locker. Aku mengambil jaket dan berpamitan dengan teman-temanku sebelum akhirnya menghampiri meja Beno. Dan degub jantungku makin tak terkendali. Beno mendongak lalu tersenyum, dan aku meleleh.
“Lo uda selesai Shan?” Aku mengangguk dan menarik kursi di depannya.
“Lo mau bicarain tentang apa Ben? Tumben amat, ampe nyamperin ke tempat kerja gua lagi.”
“Pengen ngobrol aja, cari tempat yang lebih enak yuk?”
“Mau ke rumah gue? Deket kok dari sini.” Tawarku yang langsung dijawab anggukan oleh Beno.
Setengah mati aku menahan tanganku untuk memeluk Beno yang berada di jok depan. Gila ya? Karena ini cowok, aku bisa uring-uringan setengah mati. Dulu waktu aku jatuh cinta sama cewe enggak sampe segininya.
“Sorry, gak ada coklat disini.” Kataku sambil mengeluarkan beberapa makanan kecil ke meja.
“Hahaha, gue sebenarnya gak doyan-doyan amat ama coklat.”
“Excuse me? Tapi lo selalu mesen coklat, ya kan?”
“Itu kesukaan pacar gue, hahaha. Cuman lagi belajar suka ama apa yang dia sukai aja.” Hatiku pedih. Seperti ada luka, dan mau tidak mau aku jadi membayangkan cowok twink yang dalam beberapa kesempatan selalu bersama Beno.
“Si cowo manis itu ya? He’s lucky to having boyfriend like you.” Keceplosan! Aku mengamati Beno yang tiba-tiba diam. Mati!! dia pasti marah, weleh, kok bisa lancar banget tadi aku ngomongnya ya? Mana gak bisa ditarik lagi kan ya?
“No, gue yang beruntung punya dia.” Beno tersenyum.
“Lo uda berapa lama jadi striper?” Kali ini aku yang diam. Darimana Beno tau? Perasaan aku hanya sekali dan itupun aku rahasiakan dari beberapa temenku. Kecuali . . .
“Lo ada di club itu?”
“Lo gak ngejawab pertanyaan gue. Eh, sorry gue kepo. Cuman, lo uda gue anggep temen. Gue cuman pengen tau temen gue aja, gue gak mau . . .”
“Gak mau temenan sama stripper?” Sambarku cepat. Daripada marah, aku lebih malu. Malu karena didepan orang yang aku cintai aku tidak bisa menampilkan sisi kelebihanku.
Beno menggeleng.
“I don’t give a damn with your job, actually. But, masa harus jadi strip sih Shan?”
Aku mengambil nafas panjang, “It’s just once.”
Beno menatapku bingung. Aku menimang-nimang segala resiko sebelum akhirnya memilih untuk bergeser duduk makin dekat dengan Beno. Dan aku rasa Beno tidak keberatan.
“Itu cuman sekali dan itupun karena gue kepaksa.” Akhirnya aku menjelaskan kronologisnya kepada Beno. Ada beberapa yang aku tutupi namun tidak ada yang aku lebih-lebihkan.
“So, you are gay?”
“No.”
“Trus kenapa lo jadi stripper di club gay?”
“Lha emang ada aturan gitu yang jadi stripper harus gay juga?” Beno menggeleng. Lalu beberapa saat kemudian tertawa.
“I am sorry. Hahaha.”
“Gak papa, I am not gay but I like you.” Suara tawa Beno terhenti. Dia menoleh dan menatapku seakan-akan aku adalah setan. Dan entah apa yang ada dipikiranku kala itu, aku langsung memajukan wajahku. Dengan coba-coba bibirku menyentuh bibir Beno. Awalnya Beno diam, dan karena aku menganggap bahwa itu adalah persetujuannya, aku semakin bernafsu mencium bibirnya sebelum akhirnya Beno mendorongku dan menghadiahiku bogem mentah. Aku kaget, terkejut, lebih ke perbuatan beraniku yang menciumnya. Reaksi Beno yang memukulku aku anggap wajar. Namun ketika aku mendongak, aku melihat wajah sarat amarah dan jijik.
Dan tanpa berkata apa-apa, Beno melangkah keluar dari rumahku. Bodohnya aku!! Aku bodoh!! Tolol!!
***

Beno Pov
Aku memandangi Gani yang tengah sibuk dengan gadgetnya. Tangan kiri ada gorengan, sedangkan tangan kanan sibuk memainkan game clash of clan. Beberapa kali bibirnya maju dan mengeluarkan umpatan karena troopsnya kalah war. Dan karena Gani juga, aku disuruh download game itu juga. Pada faktanya, dia yang mainin juga.
Gani juga yang memperkasai membuat sebuah clan tertutup pada game itu. Isinya ya anak-anak kelas sini yang kebetulan juga lagi gandrung main game itu.
“Tan, lo nyerang nomer dua donk, gampang banget itu!” Gani menoleh ke belakang sambil mencomot gorengan. Lagi. Aku itung-itung sudah lebih dari 5 tahu goreng masuk kedalam perutnya.
“Aku dianggurin nih?” Gani mendongak lalu tersenyum.
“Kamu udah attack belom? Kayanya belom deh, sini aku yang attackin.” Tanpa babibu Gani langsung mengambil smartphone ku dan langsung membuka game clash of clan. Aduh, susah kalau punya pacar maniak anime semisal one piece. Dimana Gani pernah merengek-rengek minta cari boneka Zoro yang jarang banget ada yang jual. Dan maniak game, ya kayak sekarang ini. Karena jam kosong, bukan dimanfaatin buat belajar malah pada asyik mainin game. Katanya lagi clan war, plus lagi seru. Aah, sudahlah.
“Ntar pulang temenin ke toko kaset bentar ya?”
“Yey menang!!” Gani menoleh ke arahku sembari menyerahkan smartphone ku kembali. “Mau nyari film apaan emang? Bokep?”
Aku mengacak-acak rambutnya dengan sayang. Kalau ini enggak dikelas aku pasti udah meluk dia, menciumi bibirnya sampe merah bengkak. Aduh, ada yang meronta bangun jadinya -,-.
“Enggak, iseng aja. Kali aja nemu film bagus.”
“Iya, sekalian nonton ya? Ada Maleficient lho. Bagus!!”
“Gan, bagi naga donk! Gue mau attack nih.” Tantra menginterupsi. Emang lebih enak kalau sama pacar itu ngobrolnya berduaan.
“Bentar, naga gua masih farmer nih. Blom jadi. Ntar gue kasih. Eh, Ben lihat deh, seksi ya?” Gani mengajukan tabnya lebih dekat ke arahku. Ada sebuah foto disitu, cowok shirtless. Dan itu jelas fotoku.
“Dapet darimana foto itu?”
“Kemaren pas aku liat dia futsal. Cinta banget aku sama dia,” Pengen banget aku peluk!! Rasa bersalah menganga waktu tanpa sebab bayangan aku dicium Shandy berkelebat. Secara teknis aku memang tidak berselingkuh, hanya saja sesaat aku sempat menikmati ciuman itu. Dan sesaat, untuk pertama kalinya aku lupa Ganiku.
Aku menatap Gani yang sekarang sudah pindah ke belakang bersama Tantra, Ian, Radit dan Elliot yang sibuk membicarakan clan of clans. Aduh, pacarku itu semacam menjadi leader game tersebut di kelas ini.
Aku gak pengen kehilangan kamu Gan, aku gak pengen. Kata-kata itu hanya mampu aku ucapkan dalam hati. Kejadian buruk bersama Shandy bakal aku simpen. Dan Gani gak perlu tahu, sampai kapanpun.


Bersambung . . .