FOLLOW ME

Sabtu, 31 Agustus 2013

THE SERIES 3

Okay, aku harus relaks. Benar-benar relaks. Ini hanya sekedar terapi Sen, biar nanti terbiasa. Namun tetap saja saat mataku dengan jelas menangkap adegan mandi Herry dan Hendra yang dengan santai bilas dihadapanku malah membuatku salting sendiri. Pengennya menikmati, tapi nanti takut ketahuan kalau aku doyan lelaki.Tapi kalau nggak dilihat kok sayang sekali. Itu kan tepat didepan mata gitu.
“Kamu nggak ikut mandi tho Sen?” aduh, Herry jangan bertanya sambil menghadap ke arahku dong. Itu tititmu melambai-lambai pengen di elus-elus.
“Nggak! Dingin gini, ntar masuk angin!”
“Halah, alesan!” kata Herry sambil melanjutkan acara bilasnya. Gila ya nih dua anak! Exposed banget gitu.
Setelah acara bilas selesai, kita kembali ke rumahnya Herry. Udah disediain banyak makanan. Aku kurang tahu nama-nama dari makanan itu. Namun saat aku mencoba ternyata enak juga.
“Ini namanya Balung kuwuk mas! Cobain tho mas Seno. Ayo, Hendra juga cobain!” balung kuwuk? Aneh banget namanya. Itu bentuknya kayak apa ya? Aduh, nggak berbentuk deh.Tapi enak, walaupun agak keras di gigi. Ada juga mendhut, kalau yang ini aku agak kurang suka. Lengket-lengket gitu sih. Terus karang gesing. Banyak deh yang disediain ibunya Herry.
“Aduh Bu, malah jadi ngerepotin ibu nih!” kataku kurang enak. Abis jumlah hidangannya banyak banget. Kayak buat sepuluh orang.
“Ues tho mas, gak apa-apa! Ibu seneng kalau mas Seno main kesini.” Aku hanya tersenyum kecil. Akhirnya karena hari sudah sore, aku memutuskan untuk pulang. Tentu saja Herry ikut, kan motor dia masih ada dirumahku. Aku mengantarkan Hendra terlebih dahulu, baru setelah itu kita menuju rumahku untuk mengambil motornya si Herry.
“Thanks ya Her! Asik banget tadi.”
“Sama-sama tho Sen! Eh, kamu iki kok nggak pake mobil sendiri saja ke sekolah?”
“Gue belom punya SIM bos!” kataku sambil mengantar Herry sampai pintu gerbang depan. Herry segera menstater motornya, tersenyum padaku sesaat.
“Duluan yo Sen! Aku balik dulu.” Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Hati-hati Her!” Herry masih sempat mengangguk sebelum akhirnya lepas landas. Hasyah!
Today is beautiful day! Beneran deh, aku tidak pernah menyangka bahwa di tempat ini tersembunyi tempat yang menakjubkan seperti tadi. Natural dan belom tersentuh dunia modern.
“Kenapa Sen? Senyum-senyum sendiri?” mamaku muncul dari dalam sambil membawa serabi. Aku yang sedang duduk santai di kursi teras langsung malu sendiri karena ketahuan tengah senyum-senyum sendiri.
“Lagi Happy nih ma Seno.” Aku mendekat pada mamaku sambil mengambil serabi yang dibawa mamaku.
“Happy kenapa nih anak mama yang cakep sendiri?” ya iyalah cakep sendiri, lha aku ini anak tunggal kok.
“Pokoknya Happy! Ini siapa yang bikin Ma? Enak banget!” tanyaku mengalihkan topic pembicaraan.
“Lek Tukah! Eh kamu tu semenjak disini udah ketemu belom sama Adi?” keningku berkerut. Adi siapa ya?
“Adi siapa ma?”
“Kamu beneran lupa tho Sen? Dulu sebelum kita pindah ke Tangerang kan kamu mainnya sama dia!”
“Mama mah aneh! Kita pindah kan Seno baru tiga tahun! Mana ingat Seno ma!” mamaku geleng-geleng kepala sendiri sambil senyum-senyum malu.
“Hehehe, iya ya. Ya udah, sebelum makan malam kamu main gih ke rumahnya Lek Tukah di belakang, sambil ngembaliin piring ini.” Aku manyun. Memang sih kita pindah pada saat aku usia tiga tahun. Lalu lebaran tahun berikutnya kita tidak ke rumah eyang karena mama keguguran.Tahun berikutnya kita tidak datang lagi karena mama harus operasi mengangkat tumor di rahimnya. Baru saat aku berusia enam tahun kita sekeluarga bisa lebaran ke rumah eyang. Dan kalau aku ingat-ingat, aku tidak pernah tahu tuh kalau Lek Tukah punya anak lelaki. Setahuku anaknya itu si Karina! Dan itu cewek. Eh, kabar Karina gimana ya? Masa udah hampir sebulan aku disini dia nggak main kesini sih?
“Aduh ma, piringnya diisi apa gitu! Masa iya mau dibalikkin kosongan gitu? Mana kayaknya belom dicuci lagi!” mamaku meringis lagi sambil masuk kedalam. Lima menit kemudian mamaku sudah balik lagi dengan piring berisi buah anggur.
“Mama nggak bilang kalau punya anggur!”
“Baru beli tadi sama papamu! Masih ada di meja makan tuh! Udah gih anterin dulu!” aku segera menyambar piring berisi penuh anggur itu dari mamaku dan menuju rumahnya Pak Dirman dan Lek Tukah. Rumah eyangku tuh besar banget! Mungkin kalau dibangun secara modern bakal megah banget, seperti rumah artis Hollywood mungkin. Tapi ya begitulah, eyangku itu tidak suka dengan yang namanya perubahan! Dulu saja renovasi dilakukan karena rumah eyang emang beneran udah hampir bobrok! Padahal duit eyang banyak banget!
Aku berjalan sambil sedikit-sedikit mencicipi anggur yang aku bawa. Kan nggak etis nanti kalau ternyata anggurnya asem. Halah, ngeles aja!
Ternyata Pak Dirman sedang di teras. Rumah Pak Dirman ini masih masuk wilayah tanah eyangku loh. Seperti yang aku bilang tadi rumah eyang dan lahannya tuh hanya Tuhan yang tahu seberapa luasnya. Karena banyak rumah warga yang dibangun diatas tanah milik eyang. Oleh karena itu, eyang disegani banget!
“Lha Mas Seno! Waduh, ada apa ini Mas?” Pak Dirman yang mengetahui kedatanganku langsung saja menyambut dan  menghampiriku.
“Nggak apa-apa Pak. Ini mau ngembaliin piring.”
“Welah, kok repot-repot iki tho Mas Seno. Nanti kan gampang diambil ibune anak-anak tho!”
“Nggak papa Pak, sekalian main kok.” Rumah Pak Dirman juga ternyata sudah direnovasi. Seingatku dulu masih terbuat dari kayu sekarang sudah batu bata.
“Bu! Ini lho ada Mas Seno! Masuk yok mas!” aku masuk dan duduk nyaman di ruang tamu rumah Pak Dirman.Tidak berapa lama Lek Tukah muncul sambil kembali membawa piring berisi anggur yang tadi aku bawa ditambah beberapa kue di toples.
“Waduh, Lek nggak usah repot-repot! Seno Cuma main kok!”
“Hush! Mas Seno ini lho! Udah ayo dimakan! Itu teh jahe angetnya diminum.” Aku jadi tidak enak sendiri. Itu tadi anggur kan aku bawa buat Lek Tukah masa iya dihidangkan lagi buat aku? Hihihi.
“Karina mana Lek?” aku yang tadi menjawab pertanyaan-pertanyaan sepele dari Lek Tukah kini bertanya tentang sahabat kecilku dulu itu.
“Karina sekolah di kota sebelah Mas Seno! Ngekos dia, pulangnya sebulan sekali. Nanti kalau pulang Lek suruh main”
“Kelas berapa sekarang Karina Lek?”
“Dua SMP mas! Maklum nggak naik kelas satu kali!” akhirnya aku hanya ngobrol basa-basi sama Lek Tukah dan Pak Dirman. Mau pamit pulang rasanya nggak nemu kalimat yang pas. Ponselku bergetar. Sebenarnya itu sms dari Herry tapi aku gunakan ini buat alasan aku pamit. Ntar mamaku bisa melotot karena waktu makan malam bisa ditunda lagi gara-gara aku belom datang.
“Waduh, Lek, Pak, Seno pamit dulu ya! Udah dicariin mama!” alibiku.
“Lah? Nggak makan malam disini aja tho Mas Seno?” tawar Lek Tukah.
“Lain kali Seno main kesini lagi Lek. Ntar Seno makan malam disini deh! Janji!”
“Janji lho ya Mas Seno. Ati-ati ya Mas ya!”
“Iya Lek!” aku segera menelusuri jalan yang tadi aku lewati. Belum genap setengah jalan, aku bertemu seseorang yang mungkin menjadi daftar terakhir orang yang ingin aku temui tahun ini. Taufik! Ngapain tu anak nyasar sampai kesini? Aku sengaja pura-pura tidak tahu. Sebodo amat dah, ngeselin sih orangnya.
“Darimana Sen?” hah? Nggak salah dengar nih kuping?
“Itu dari rumah tetangga. Lo sendiri?”
“Ini mau pulang. Duluan ya!” aku mangut-manggut bego. Ya saking bingungnya dengan sikap Taufik barusan aku jadi seperti orang idiot. Beneran dah! ini Taufik kesambet kali ya? Sumpah, Sikapnya kayak nggak ada dendam sama sekali. Padahal kan sepertinya dia dendam pas MOS. Seperti punya urusan pribadi gitu sama aku. Bodo amat ah! Makan malam sudah menanti! Cepet ah jalannya!
***

Aku tengah ngumpul bareng Herry dan Hendra di kantin saat Taufik masuk kedalam kantin. Sepertinya kemarin itu, Taufik emang kesambet. Lihat saja ekspresi wajahnya ke arahku. Jutek banget kayak induk anjing baru beranak.
“Eh, foto sing kemarin di kali kedu mana Sen?”
“Nih, mau lo cetak Her? Nggak tau malu banget lo!” Herry meringis saja sambil menerima ponselku. Dia sepertinya takjub dengan fotonya sendiri. Berarti dia tidak hanya eksibis namun juga narsis.
“Kamu bisa nggak cetakkin? Kamu kan punya printer tho Sen? Ntar kertas fotonya aku yang beli.” Aku mengangguk walaupun tidak mengerti. Maksutku, dia kan foto hanya mengenakan celana dalam dan itupun basah. Buat apaan coba foto seperti itu dicetak?
“Emang buat apaan tho Her?” good job Hen! Seengaknya aku tidak perlu bertanya sendiri. Thanks to Hendra.
“Rahasia.”
“Nggak asik lo main rahasia-rahasiaan!” Herry Cuma cengengesan saja. Kita bertiga ngobrol ngalur ngidul. Ya emangnya kita mau ngomongin soal pelajaran? Nggak mungkin kan? Nanti juga kita masuk kelas pelajaran sudah menanti.
“Eh, katanya kalo kita kelas tiga bakalan ada study tour ke Bali lho.” Ini Herry yang mulai.
“Makanya kan kita wajib nabung seminggu dua kali. Ya itu buat persiapan study tour.” Sambung Herry lagi. Memang sih, kita semua diwajibkan untuk menabung seminggu dua kali. Biar nanti pas study tour tidak ada yang tidak ikut karena alasan biaya.
“Itu kan masih lama Her! Dua tahun lagi.” Kataku pelan. Aku sengaja tidak menambahi bahwa study tour SMPku ke Bali dan sudah sangat sering ke Bali, nggak etis saja kali ya.
“Hehehe, tapi aku seneng banget! Nggak sabar!”
“Halah, nanti kalo udah mulai belajar kamu yo lupa tentang Bali.” Aku tertawa saja kalau Hendra dan Herry sudah mulai berdebat. Lucu aja lihat keduanya debat dengan bahasa jawa. Walaupun aku nggak ngerti.
Seperti biasa, kalau sudah jam pulang gini Herry sudah cabut duluan dengan motornya. Sedangkan aku dan Hendra masih setia menunggu Pak Karyo menjemput. Tumben-tumbenan Pak Karyo jemputnya terlambat. Biasanya on time bahkan kadang-kadang jemput lebih awal.
“Pak Karyo kok lama amat ya? Biasanya on time nih!”
“Macet kali Sen!” aku menatap Hendra dengan jengah.
“Gila, macet? Sejak kapan nih kota mengenal macet?”
“Hehehe. Sabar saja. Udah di sms belom?”
“Udah, nggak ada balesan! Apa gue telepon aja ya?” Hendra mengangguk. Emang mungkin lebih cepat kalau aku langsung menelepon.
Ternyata hasilnya juga nihil. Nggak diangkat! Akhinya aku menelepon mamaku.
“Ma, jemput Seno dong!” kataku langsung begitu sambungan teleponku diangkat.
“Iya. Ini mama juga sudah di jalan. Pak Karyo sakit jadi nggak bisa jemput kamu.”
“Oh, ya udah. Cepet ya ma.”
“Iya.” Jawab mamaku singkat sambil mematikan sambungan telepon. Pak Karyo sakit apa? Perasaan fisik Pak Karyo tuh terlihat sehat dan bugar banget.
“Piye Sen?”
“Mamaku lagi jemput kok Hen. Pak Karyo sakit.” Hendra hanya ber-ooo panjang. Aku sendiri tengah sibuk dengan pikiran-pikiranku sendiri. Tidak selang berapa lama mamaku sudah datang.
“Pak Karyo sakit apa ma?” tanyaku begitu aku dan Hendra masuk mobil.
“Ini mau nganterin Hendra dulu?” Mamaku emang sudah hafal dengan Hendra. Ya secara itu anak sering banget aku ajak main ke rumah. Tapi kok mama nggak menjawab pertanyaanku sih?
“Ke rumah aja ma. Hendra main dulu dirumah sama aku.” Mamaku hanya mengangguk.Tumben ini mama nggak secerewet biasanya. Ada apaan sih sebenarnya? Sumpah aku jadi bingung sendiri.
“Perasaan tadi pagi Pak Karyo masih baik-baik saja kok. Masa iya sekarang dia sakit?” lagi-lagi mamaku tidak menjawab.
Aku sedikit tersentak saat sudah memasuki gapura kampung tempat tinggal eyang. Ada bendera putih disana. Belum genap keterkejutanku, aku sudah disuguhi pemandangan yang tidak biasa. Dirumah eyang banyak sekali orang.
“Sen, Pak Karyo sudah nggak ada Sen.” Ujar mamaku pelan. Aku syok jujur. Maksutku tadi pagi Pak Karyo masih baik-baik saja. Aku tahu itu karena dia masih mengantarkanku ke sekolah.
“Kapan ma?” tanyaku tidak bertenaga.
“Tadi siang. Pak Karyo tertabrak motor saat menyebrang jalan Sen.” Umur manusia memang tidak ada yang tahu. Selama ini aku memang tidak tahu apa-apa tentang Pak Karyo. Setahuku dia dari dulu bujangan sampai berkeluarga memang sudah menjadi sopir pribadi eyangku. Bahkan sudah dianggap keluarga.Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang Pak Karyo. Yang aku tahu hanya dia sangat baik, ramah, sopan dan tepat waktu. Betapa jahatnya aku! Tidak mengetahui apa-apa tentang sopirku. Aku juga tidak pernah bertanya pada Pak Karyo tentang keluarganya. Damn me!
Aku turun dari mobil dan berlalu ke kamarku. Setelah aku berganti baju aku bersama Hendra dan mamaku pergi kebelakang.Ternyata rumah Pak Karyo terletak dibelakang rumah Pak Dirman.
“Taufik?” aku tidak habis pikir. Kok ada Taufik? Aku juga melihat beberapa senior yang aku kenal.
“Lha itu kamu masih ingat sama Adi. Dia anaknya Pak Karyo. Temen main kamu dulu waktu kamu kecil.” Aku berusaha mengingat-ingat, namun tetap saja tidak ada memori tentang Adi di otakku.
“Taufik itu Adi?”
“Taufik Adi Widayat. Masa kamu lupa?” aku beneran tidak ingat. Sumpah! Sepertinya aku harus menggali ingatanku. Namun tidak sekarang pastinya. Taufik dan ibu separuh baya yang aku taksir adalah istri Pak Karyo berjalan menghampiriku dan mamaku.
“Ikut berduka ya Bu.” Kata mamaku sambil menjabat wanita paruh baya tersebut.
“Nggih Bu Lilis. Niki Mas Seno? Bagus temen saiki nggih?” aku tidak mengerti yang mama dan wanita ini bicarakan. Aku hanya ikut menyalami wanita ini dan sedikit terkejut saat wanita ini memelukku dengan sangat erat. Menepuk-nepuk pipiku sesaat dan memandangiku gemas. Bahkan air matanya semakin deras mengalir setelah melihat wajahku. Kenapa?
Lalu saat aku menyalami Taufik. Jujur dendamku hilang tidak berbekas. Aku sudah tidak mengingat-ingat lagi kejadian-kejadian saat MOS dimana dia dengan semena-mena menghukumku seenak jidat. Aku melihat luka yang dalam di wajahnya. Kerapuhan yang berusaha ditutupi dengan wajah tegar.Tidak ada air mata di wajahnya. Hanya matanya yang merah sudah menunjukkan seberapa dalam luka yang dia derita.
“Aku ikut berduka cita Mas Adi.” Aku tidak tahu kenapa aku memanggilnya ‘Mas Adi’. Insting saja. Dan aku bisa melihat sedikit air muka terkejut di wajahnya.
“Iya sama-sama Dek Angga.” Jawabnya sambil memelukku erat. Aku bingung. Dek Angga? Lagi-lagi aku mengutuk otakku. Kenapa aku bisa tidak mengingat satu momenpun bersama Taufik? Yang aku ingat hanya momenku saat bersama Karina.Tapi bersama Taufik? Atau Adi? Tidak ada sama sekali. Lagipula pandangan wajahnya tadi. Pandangan merindu. Sial! Adakah sesuatu di masa laluku dengan Adi? Aku dan Hendra hanya mengobrol kecil. Sedangkan mamaku sudah menemani ibunya Taufik lagi. Beberapa kali wanita yang masih terlihat cantik itu menangis di pundak mamaku. Dan sesekali juga melirikku dengan tatapan merindu. Aku benar-benar tidak mengerti!
***

Aku memandangi wajah mama dan papaku bergantian. Pasti mereka tahu sesuatu! Ini sudah dua hari lewat dari waktu Pak Karyo meninggal dan kali ini aku tengah menginterogasi mama dan papaku. Mereka pasti tahu sesuatu, terlihat dari mereka berdua yang dari tadi hanya berpandang-pandangan saja.
“Come on Ma, Pa! aku siap kok nerima kenyataan apa saja! Termasuk kalau aku ternyata adik kandung Adi!” teriakku putus asa karena kedua orang tuaku tetap tidak mau membuka suara.
“Hush! Kamu itu anak kandung papa sama mama! Wajah kamu saja nurun dari mama gitu!” iya sih. Wajahku memang wajah mama versi laki-laki.Terus? Kenapa Bu Marini –ibunya Adi- menatapku sarat kerinduan seperti itu?
“Lah terus apa Ma? Aku pengen tahu!”
“Ibu Marini itu ibu susu kamu.” Deg. Maksutnya apa?
“Dulu, waktu mama ngelahirin kamu mama tidak bisa mengeluarkan ASI.  Ibu Marini yang menyusui kamu Sen.” Okay, I knew it.
“Tapi kenapa aku nggak ingat sama sekali sama Bu Marini sama Adi Ma?” papaku menarik nafas panjang.
“Kamu dulu nangis meraung-raung saat mau berpisah dengan Bu Mar. Mungkin kamu nggak inget karena kamu masih tiga tahun waktu itu.Tapi saat kita datang lagi pas lebaran, umur kamu enam tahun waktu itu. Kamu menangis sejadi-jadinya waktu Bu Mar ingin memeluk kamu. Kamu ingat?” aku samar-samar memang mengingat momen itu. Dimana aku ketakutan dan menangis setiap ada wanita yang menurutku asing waktu itu ingin memelukku.
“Sejak itu Bu Mar hanya mengamati kamu dari jauh. Beliau tidak tega melihat kamu yang selalu menangis jika beliau mendekat.” Oh gitu. Gila ya! Kok bisa aku membenci ibu susuku sendiri? Ya, tapi aku kan tidak bisa disalahkan juga. Aku masih kecil waktu itu.
“Kenapa sih Mama nggak cerita?”
“Lah kamu nggak pernah nanya.” Aku merengut. Huh! Dengan langkah yang seolah-olah aku tengah merajuk aku meninggalkan kedua orangtuaku yang tengah duduk di teras dan bergegas masuk ke dalam kamar.
Apa iya aku sekarang ke rumahnya Bu Mar saja ya? Minta maaf gitu. Ih, tapi bisa mati gaya. Mau ngomong apaan aku nanti? Ah, masa bodo ah! Yang penting aku main dulu kesana. Urusan mau ngomong apaan bisa dipikirin ntar.
Aku segera melangkahkan kakiku walaupun masih dengan ragu. Tersenyum kecil pada Lek Tukah yang tengah menyapu halaman rumahnya.
“Mau kemana Mas Seno?” tanya Lek Tukah sambil menghentikan aktifitas menyapunya sebentar.
“Ini mau ke rumah Bu Mar Lek.” Lek Tukah hanya tersenyum kecil sambil mengangguk dan meneruskan aktifitas menyapunya. Aku melangkah lagi dan semakin meragu. Aduh, balik lagi aja kali ya?
“Lho Mas Seno?” tepat saat aku mau membalikkan tubuhku, aku kepergok Bu Mar.
“Hehe, iya Bu.” Aku menjawab salting. Nggak ngerti harus bagaimana.
“Darimana? Mampir dulu yuk ke rumah Ibu.” Aku hanya mengangguk dan menjawab tidak jelas sambil mengikuti Bu Mar masuk kerumahnya.
“Mas Seno sekarang udah gede ya? Gagah!” aku kembali tersenyum tidak enak. Aduh, mau ngomong apaan nih?
“Lho Dek Angga?” Taufik yang baru saja keluar dari kamarnya terkejut malihatku. Aku juga terkejut dan penasaran pastinya. Karena seumur-umur belum pernah ada yang memanggilku Angga. Bahkan mama dan papaku sekalipun.
“Angga? Kenapa Mas Adi manggil aku Angga?” lalu aku melihat wajah kebingungan dalam raut Bu Marini dan Taufik Adi Widayat. Beneran tambah nggak ngerti!


Bersambung lagi. . .

Sabtu, 24 Agustus 2013

THE SERIES 2

Aku benar-benar sudah menemukan the big and brilliant idea buat ngerjain si Taufik. Ya, emang sih tu anak nggak pernah menantangku atau mengejekku secara terang-terangan, namun jika dilihat dari ekspresi wajahnya saat bertemu denganku, sudah dipastikan dia tengah mengejekku dalam hatinya! Aku yakin! Jadi hari ini, saat pelajaran tengah berlangsung aku ijin untuk kebelakang. Ini jam-jam terakhir sebelum kita pulang. Dengan santai aku berjalan menghampiri lapangan parkir, aku tentunya sudah mendapatkan info dengan sangat seksama mana motor milik Taufik. Setelah sampai ditempat korban, aku segera menancapkan paku super tajam –ini kata penjualnya langsung tubles ditempat- tepat di ban motor Taufik. Rasain tu! Makanya nggak usah rese!
Dengan senyum geli aku segera kembali ke kelas, mengikuti jalannya pelajaran dengan cengar-cengir sendiri. Membayangkan bahwa Taufik nanti bakal mendorong motornya kurang lebih beberapa meter ke tukang tambal ban panas-panas gini itu cetar ulala banget.
“Kamu iki kenapa tho Sen? Cengar-cengir, edan po piye?”
“Hush! Enak aja lo! Lagi happy ini gue.”
“Lha happy kenopo?” Hendra bertanya dengan polos. Ini anak emang rada ngegemesin.
“Pokoknya happy.”
“Wah, kamu kentir berarti.” Aku menatap Hendra dengan intens.
“Kentir? Apaan tu?”
“Strees!” kata Hendra sambil terkekeh geli. Jelas tanpa suara, ini kan sedang proses pembelajaran. Ketahuan guru bisa berabe cekikak-cekikik sendiri.
“Sialan lo!” aku menjitak kepala Hendra pelan. Aku benar-benar excited, nunggu hingga pelajaran selesai. Nggak sabar banget pengen liat ekspresi Taufik nanti. Hhihi, pasti gokil dah!
Akhirnya bell pulang bordering juga. Aku dengan semangat empat lima langsung mengajak Hendra buat pulang, sekalian menyiapkan perbekalan buat PERSAMI nanti sore. Sengaja banget aku lambatkan langkahku saat melintasi lapangan parkir.
“Wah, parah iki Fik! Kempes pes banmu!” aku nggak tahu nama orang yang ngomong itu siapa, tapi jelas aku jadi tertawa sendiri. Syukurin!
“Kayaknya sih disengaja iki Fik!” aku makin menahan tawaku. Emang! Aku loh yang ngempesin plus nusukin paku cantik diban motornya Taufik. Hahahaha.
“Piye? Aku bantu dorong sampai tempatnya Pak Mulyo ya!” jiah, dorong motor aja rame-rame! Cupu banget! Namun, aku tidak bisa menikmati menderitanya Taufik karena Pak Karyo sudah menjemputku.
“Yok Hen!” Hendra dengan sedikit sungkan masuk juga ke mobilku.
“Wah, adem banget Sen mobilmu.” Aku hanya tersenyum kecil dan langsung mengajak Hendra ngobrol panjang. Kita sudah punya team. Satu team atau disebut sangga terdiri dari 10 anak. Dan aku ditunjuk sebagai ketua sangga. Yah, alasannya sih nggak masuk akal. Katanya karena badanku paling tinggi. Hah? Apa banget ya?
Dikota ini nggak ada mall, jadi aku dan Hendra keliling pasar tradisional buat memburu perlengkapan PERSAMI kita.Tentu saja aku dan Hendra hanya mencari perlengkapanku dan Hendra saja. Karena, semua sudah aku bagi rata. Setiap anak di teamku sudah pasti dapat tugas sendiri-sendiri. Aneh bin ajaib emang, kita disuruh membawa biji kacang hijau sejumlah duaratus biji. Aku sengaja tidak menghitungnya, kurang kerjaan amat! Ada juga bawang putih tunggal. Aku menyerahkan tugas ini ke Lek Tukah. Ember, lalu kayu bakar trus mie instan segala macam. Oh ya telur bebek yang berdiameter 2cm! Parah nggak tuh? Aku juga sembarangan bawanya! Bodo amat, emang aku gila apa ngukur diameter telur bebek segala macam!
Kita disuruh berkumpul pukul empat sore, awalnya kita seperti apel pramuka biasa. Lalu dilanjutkan ke materi-materi oleh guru-guru pembimbing. Tetap saja, push up dan sit up jadi makanan emput bagi kami. Aku sih tidak kena, jarang ada senior yang berani menghukumku. Tepat pukul enam kita istirahat, sholat dan makan hingga jam delapan karena ada pencerahan agama dari para senior.
Jam delapan malam kita berbaris dilapangan lagi. Mendengarkan penjelasan dari kakak-kakak senior bahwa kita malam ini musti hati-hati. Intinya sih, mereka nakut-nakutin kita! Oh ya, PERSAMI ini dilakukan dilingkungan sekolah, alasannya sih pasti karena didekat sekolah sudah ada hutan kecil yang ditumbuhi pohon bambu, pinus, pohon sengon, dll. Setelah menikmati api unggun dengan disuguhi anak-anak kelas dua yang akan dilantik menjadi Bantara –aku tidak tau singkatan apa itu- hingga jam sepuluh malam akhirnya kita boleh masuk tenda dan tidur. Garis bawahi, tendanya kita bikin dilapangan sekolah! Emang sih lapangan sekolahnya luas banget kayak lapangan bola.
Aku dan teamku tidak tidur. Buat apa? Karena jam satu dini hari nanti kita bakal dibangunin buat ikutan jerit malam. Katanya sih serem banget. Pret ajah! Aku segera membuka semua snack yang aku bawa sambil mengeluarkan kartu remi dari tasku.
Sebelumnya, mungkin aku perlu jelasin dulu kali ya anggota teamku. Ada Tommy, anaknya kecil, senyumnya manis dan anaknya ramah plus sopan banget. Trus Herry, aku bisa bilang tingkahnya kayak preman! Sok jago, tapi didepanku dia nggak berkutik. Kalah tinggi soalnya. Irfan, putih banget nih anak. Pendiam plus kalo ngomong ala kadarnya. Aris, kalau ini anak bawel banget. Sumpah, kayak pembaca berita! Nyerocos terus! Ada lagi Nahayu, dia cowok lho. Soalnya tingkah lakunya lembut banget kayak putri keraton. Tapi dia tetap cowok. Candra, yah bisa dibilang biasa aja, nggak bawel nggak juga pendiam. Nggak ada yang special. Feri, ini anak sok cool parah! Tapi emang cool sih.Trus ada lagi Widi, kocol abis ini anak. Selera humornya parah banget! Bikin  ngakak mulu kalau udah ngomong dia.
“Yang mau molor silahkan, yang mau maen kartu ayok!” kataku sambil merapatkan diri. Bayangin aja, satu tenda buat lima orang! Emang sih tendanya dari sekolah dan itu guede banget! Tapi tetap saja kita desak-desakkan. Jadi teamku sendiri dibagi menjadi dua tenda. Aku, Widi, Hendra, Aris dan Irfan jadi satu. Sedangkan Tommy, Herry, Feri, Nahayu dan Candra di tenda yang satunya lagi. Irfan memilih tidur, sedangkan aku, Widi, Hendra dan Aris memilih untuk maen kartu hingga jam satu nanti. Tentu saja sambil ngemil plus nahan cekikak-cekikik karena banyolannya Widi. Kita kan nggak mau dicap berisik sama tetangga sebelah.
“Sumpah ya, lo bikin ngakak mulu nih!” kataku sambil berusaha menahan tawaku akibat banyolannya Widi barusan. Aris yang ikut nahan tawa malah tawanya keluar dari bawah.
Tuuuut
Aris kentut! Tu anak Cuma cengengas-cengenges aja! Sumpah, baunya nggak nahan!
“Ambune jan seperti telur busuk!” Hendra mengatakannya sambil membuka resleting pintu tenda kita.
“Parah lo Ris! Sumpah!”
“Hhehe, sorry sorry!” kata Aris seperti tidak berdosa.
“Kamu makan bangkai tho tadi?” ini kata Widi. Aku dan Hendra langsung ketawa sejadi-jadinya melihat tampang Widi yang gokil abis. Irfan saja sampai terbangun. Kayaknya racunnya Aris sudah mewabah nih!
“Woi! Itu sangga berapa yang pada berisik?!” sepertinya ada senior yang tengah patroli nih.
“Tutup Ris pintunya!” perintahku pada Aris dan semua tenang membisu. Aku dan Hendra masih menahan tawa. Widi ekspresinya berlebihan sekali, persis seperti waria yang ketakutan di uber-uber kamtib. Irfan melanjutkan tidurnya lagi. Kita semua benar-benar tegang. Ya jelas, karena takut dihukum! Senior kan parah banget! Dikit-dikit nyuruh push up! Dikit-dikit nyuruh jalan jongkok! Dikit-dikit nyuruh sit up! Nyuruh kok dikit-dikit.
Akhirnya kita meneruskan maen kartu kita dengan diam dan tenang. Namun belum lama kita menikmati permainan kartu kita, para senior sudah teriak-teriak pake toa buat bangunin kita. Yup! Jerit malam dimulai.
Semua sangga disuruh berbaris berdasarkan regunya. Dan setelah penjelasan panjang lebar dari para senior, kita diwajibkan untuk duduk menurut regu masing-masing (sumpah, ini aku otak-atik, kalimatnya tetep aja jelek buat dibaca). Ada dua senior yang membuat soal dengan dua bendera kecil di tangannya. Sandi apa ya namanya, aduh aku lupa! Aku sih nggak ngerti apa-apa soal sandi-sandi. Sandi bendera? Morse? Eh, emang ada sandi bendera? Morse bukannya yang pake bunyi-bunyian gitu? Au ah gelap. Tapi tenang, ada Tommy di reguku yang jago banget. Alhasil, sanggakulah yang pertama berangkat. Asik!
“Iki beneran ki kita kesini?” tanya Nahayu agak ragu. Kita udah masuk ke hutan kecil disamping sekolah.
“Bener! Tu tanda panahnya ngarah kesini kok.”
“Tapi kok posnya belom kelihatan ya?” aku tetap fokus jalan. Masalahnya satu sangga hanya boleh bawa dua senter. Jadi ya gitu deh suasananya. Serem!
“Hawane ndak enak gini.” Kali ini Hendra juga ikut mengeluarkan uneg-unegnya.
“Sangga yang laen mana? Kok urung nyusul tho.” Sumpah, kalau anggota sanggaku pada ngomongin kata-kata negative kayak gini aku juga bisa ikut-ikutan parno ntar.
“Hush! Tu posnya udah kelihatan! Udah jangan parno!” kita segera tiba di pos dua. Pertanyaan-pertanyaan tentang Pramuka yang jujur aku tidak mengerti sama sekali sudah dijawab Tommy dengan sangat cepat. Uidih, nggak rugi nih punya anggota maniak pramuka. Berguna banget disini! Setelah melakukan yel-yel kami yang agak norak dan dilumuri apa itu aku nggak tau. Pokoknya item-item gitu kayak tentara!
Kita segera melanjutkan ke pos tiga. Menurut prekdisiku sih kita udah jauh masuk ke hutan. Apalagi jalan setapaknya makin susah dilalui.
“Itu putih-putih dipojokkan sana opo tho Sen?” lagi-lagi Nahayu. Aku dan juga anggota yang lain langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan Nahayu. Ada pocong. Yup! POCONG!
“Halah, kui ki paling kakak kelas yang menyamar!” iya ya, bener juga ya. Ada gitu setan nampakkin diri ke banyak orang. Paling kan satu atau dua orang doank yang lihat. Lha ini? Semua anggota sanggaku bisa melihat.
“Lempar pake botol air minum yang udah kosong aja Her! Kalau perlu kencingi dulu botolnya!” usulku iseng. Eh, nggak taunya betul-betul diisi air kencing Herry betulan. Sempat nelen ludah juga lihat tititnya Herry. Itu masih lemes aja gede banget. Dia masih lima belas tahun kan sama kayak aku? Gila! Aku belom genap lima belas sih.
Kita ngakak sejadi-jadinya pas tu pocong berusaha ngehindar dari botol yang dilempar Herry. Apalagi aku menyuruh Herry menutup botolnya jangan terlalu kenceng. Makan aja tuh air kencing si Herry!
“Wah, kamu iki ternyata strees juga tho Sen? Cocok iki sama aku!” Herry langsung sok akrab. Tapi sepertinya aku emang bakalan cocok sama Herry. Sama-sama badung dan tukang iseng! Akhirnya setelah kita melewati semua pos. Dimana di pos tiga kita disuruh menutup mata dan disuapi sesuatu yang amis dan panjang. Rasanya sih kayak cacing, tapi aku percaya itu pasti mie instan yang kita bawa tadi sore dicampur telur bebek mentah! Amis banget soalnya. Di pos empat kita disuruh merayap hingga pos lima. But Finally, kita berhasil masuk lapangan lagi jam 4 dini hari! Kita langsung boleh istirahat sambil menunggu sangga yang lain berdatangan.
“Seru ya tadi! Asik!” Nahayu saja sepertinya bisa menikmati acara jerit malam ini.
“Gokil pastinya!” jawabku menyetujui. Mungkin kalau aku sekolah SMA di Jakarta nggak bakalan ada yang kayak gini. Mulai sekarang, aku syukuri aja deh apa yang ada.
“Sing dadi pocong siapa ya? Pasti bau pesing banget!” semua anggota sanggaku tertawa lebar kecuali Herry. Itu anak kayaknya tersinggung air kencingnya dibilang pesing. Dalam hati aku sangat berharap yang jadi pocong tadi si Taufik!
***

“Sen, lagi ngapain kamu didalam?” Tanya mamaku dari luar kamar.
“Nggak ngapa-ngapain ma. Ada apaan?”
“Itu ada teman kamu didepan.”
“Bentar lagi Seno keluar ma!”
“Cepetan! Kasian tu kalau nunggunya lama.” Mendengar kata mamaku aku segera bangun dari ranjangku. Mencuci wajah sebentar baru keluar kamar. Ternyata Hendra dan Herry. Tumben-tumbenan ini anak berdua main kesini.
“Ada apaan nih? Tumben main kesini?” tanyaku begitu sudah duduk dihadapan mereka.
“Maen aja, masa iya nggak boleh?”
“Kita mau ngajakkin kamu ke suatu tempat Sen!” kata Herry bersemangat.
“Hhah? Kemana?” Herry tidak langsung menjawab. Mulutnya masih penuh dengan makanan yang baru saja dihidangkan oleh Lek Tukah.
“Ke kali kedu.” Aku menelengkan kepalaku kekiri.
“Kali kedu? Tempat apaan tu?”
“Ikut wae Sen! Seru kok!” kali ini Hendra pun ikut promosi. Jadi sejak PERSAMI waktu itu, Herry semakin akrab denganku dan Hendra. Ya bisa dibilang kita bertiga selalu gila-gilaan bareng.
“Okay! Gue ganti baju dulu. Bawa mobil gue aja ya? Motor lo biar ditinggal disini dulu Her!”
“Sip-sip!” kata Herry sambil rebutan setoples chesstik bareng Hendra. Tu anak berdua ya dirumah orang juga masih aja rebutan makanan.
Walaupun belum mempunyai SIM, namun aku berani nyetir mobil kali ini, soalnya kata Herry tadi nggak bakal ada polisi minggu-minggu gini. Dan ternyata benar! Nggak nampak satu polisi pun berjaga-jaga. Dengan instruksi dari Herri aku membawa mobilku masuk ke sebuah perkampungan.
“Jalannya ngepas banget Her!”
“Emang iki jalannya kok. Aku kan tinggal disini.” Aku mengangguk-angguk mengerti. Jadi ini kampung tempat tinggal Herry.
“Tu di depan rumah cat ijo berhenti Sen. Ada lahan luas buat parkir.” Aku segera mengikuti instruksi Herry. Ternyata rumah cat ijo itu rumahnya Herry. Asri banget, walaupun belakangnya banyak pohon bamboo. Menambah kesan angker plus mistis. Hhehe.
Tidak selang berapa lama kita turun dari mobil ada wanita kira-kira usia empat puluhan menghampiri kita.
“Weh, Her! Koe iki ngajak konco ra kondo-kondo mbek Ibu tho!” aku hanya bisa menelengkan kepalaku kekiri. Nggak ngerti sama sekali sama apa yang tengah dibicarakan wanita tadi.
“Iki Seno bu! Dia nggak mudeng bahasa Jawa!”
“Waduh, mas Seno cucunya eyang Prawiro itu? Maaf-maaf mas, tempatnya ala kadarnya begini.” Perkataan wanita ini –yang aku taksir adalah ibunya Herry- semakin membuatku tidak enak hati. Semua warga kota kecil ini sudah tahu namaku kah?
“Nggak apa-apa bu! Saya yang ngrepotin malah!”
“Nggak enak ini ibu. Lha iki sopo Her?” tanya ibunya Herry sambil menunjuk Hendra.
“Ini Hendra Bu, kancaku! Bu, ngobrolnya mengko wae, kita mau main di kali kedu dulu.”
“Oh, yowes. Ati-ati yo le! Mas Seno dijaga lho!” aku hanya mengerti sedikit-sedikit pembicaraan ibu dan anak itu.Tidak butuh lama, Herry langsung mengajak kita berjalan kaki. Kampung ini masih asri. Banyak banget pohon bamboo disini.
Sekarang ini kita melewati turunan dengan pohon bamboo disekitar kita. Serem juga, apalagi kita jarang sekali bertemu atau berpapasan dengan orang lain.
“Masih jauh Her?” Herry dan Hendra malah cekikikan menanggapi pertanyaanku.
“Takut ya? Hhihihi.” Jawab Herry enteng.
“Sial lo!” aku jadi tidak bertanya-tanya lagi. Namun sepuluh menit kemudian mataku terbelalak. Amazing banget view disini. Airnya jernih! Dengan pohon bamboo di tepi kiri kanan sungai.
“Gimana Sen?”
“Ajib banget! Keren sumpah! Eh foto gue dong!” aku segera mengeluarkan smartphoneku. Beberapa kali aku foto dengan berbagai pose. Kita juga foto berdua bergantian dan bertiga dengan tanganku pribadi.
“Dibawah sana masih ada sendang lho.”
“Sendang? Apaan tu?” tanyaku penasaran.
“Tempat buat nyuci juga mandi. Kalo siang gini sepi! Kalau sore ntar rame!” rasa penasaranku tergugah.
“Cowok cewek campur gitu?” tanyaku penasaran.
“Ya sendiri-sendiri tho Sen! Nek buat cewek namanya sendang kelamben. Kalo buat cowok sendang pancuran!” Jelas Herry panjang lebar.
“Lo kalau mandi disitu juga?”
“Dulu sih iya, tapi sekarang ues ora. Rumahku ada PAMnya sekarang.” Karena aku penasaran akhirnya kita turun buat lihat yang namanya sendang pancuran. Uih, keren ternyata. Jadi ada pancuran kecil gitu yang keluar dari pohon bamboo yang tumbang.
“Itu bikinan orang sini Her?”
“Nggak Sen! Kalau kata orang-orang dulu itu sudah ada dengan sendirinya. Aku juga nggak ngerti persisnya gimana. Aku lahir udah ada.” Aku hanya bisa ber ooo ria sambil manggut-manggut. Jadi mungkin ini adalah buatan alam.
“Mau renang? Enak lho airnya. Jernih!” tawar Herry yang langsung disanggupi dengan semangat oleh Hendra.
“Renang dimana?” tanyaku heran. Perasaan kali kedu tadi airnya nggak dalam deh. Mana asik buat renang?
“Ikut guweh.” Ucap Herry menirukan logatku namun dengan agak medhok. Aku dan Hendra hanya tertawa-tawa saja mendengar ucapannya. Ternyata ada juga bagian kali kedu yang agak dalam. Jernih banget, kalau dilihat dari atas sih airnya seperti berwarna hijau, tapi kalau diraih pake jari. Uih, bening! Hendra dan Herry sudah melucuti pakaiannya dan hanya menyisakan sempak saja. Gila, itu tititnya Herry membayang gitu.
“Kamu nggak ikut renang tho Sen?” aku menggeleng pelan. Berabe kalau aku ikut renang dan mereka melihat celanaku menggembung tanpa kendali. Sekarang saja bagian bawah tubuhku itu sudah menggeliat-liat minta pembebasan.
“Wah, ra asik koe!” aku mengacuhkan mereka. Aku pura-pura melihat view disekitar, walaupun kadang-kadang aku melirik juga ke arah mereka berdua. Lebih tepatnya ke arah Herry. Itu anak kayaknya nggak sadar kalau wajah dan tubuhnya sudah bikin aku kebat-kebit. Hendra badannya bagus juga, cukup ideal dan enak dilihat. Namun aku sepertinya biasa saja dengan Hendra.Tidak ada feeling khusus. Dia sahabatku. Titik.
Kalau Herry, aduh!
“Sen, potret dong!” Herry baru saja keluar dari air. Shit! Tititnya membayang dengan jelas dari luar sempaknya. Oh, please help me now!
Dengan gaya pura-pura biasa saja, aku memotret Herry. Ini anak sepertinya ada bakat sebagai eksibisme. Dia berpose-pose layaknya model. Lumayan lah, nggak bakal aku hapus ini foto.
“Udah yok turun, kita bilas sekalian.” Aduh, ini artinya mereka mau naked? NAKED? No! aku pasti nggak kuat nih.


Bersambung dulu ye.