FOLLOW ME

Senin, 26 Oktober 2015

BOTTOM 17


Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Joshua Daniel Pradipta
Well, I’m not kind person yang bisa pretend baik-baik saja padahal aku benci dan kesal setengah mati. Itu bisa dikatakan kelebihan sekaligus kekuranganku memang. Aku bukan Uki, oke? Yang bisa senyum semanis madu even di hadapan orang yang dia benci. Aku tidak bilang Uki munafik, dia hanya terlalu baik, terlalu sungkan, yang kadang bikin aku gemas sekaligus kesal. Seperti saat ini, well, kalian ingat Dorsella? Transgender yang matanya tidak bisa lepas memelototi selangkanganku? Oh, please, not to be harsh but I don’t like her.
Jadi, dia mengundangku dan partner dalam tulisannya, untuk datang ke acara buka bersama. Katanya akan ada pameran beberapa barang artis yang akan dilelang dan nantinya, hasilnya akan disumbangkan untuk anak-anak panti asuhan. Aku tidak tertarik untuk membeli barang-barang bekas artis. Kecuali bekasnya Britney sama Andrew Garfield, bakal aku pertimbangkan.
Balik lagi ke Uki yang bisa senyum manis dihadapan Rasjid, walaupun aku tahu Uki membencinya. Aku enggak ngerti kenapa Rasjid bisa berada disini, namun ternyata dia termasuk dalam daftar ‘artis’ yang menyumbangkan barang bekasnya. Aku bahkan enggak tahu kalau Rasjid sekarang sudah menjadi seorang selebriti. Well, aku memang jarang menonton saluran lokal, gak pernah membaca majalah lokal juga, atau bahkan detik.com pun aku gak update. Tapi, benarkah aku seketinggalan itu? Dimana Jihan Fahira? Diana Punky? Atau si hot Marcelino? Aku seperti berada di dunia yang berbeda, aku tua!! Well, kalian angkatan 90’an, kalian mengerti aku kan? Oke, kalian mau tahu tahun lahirku? 1988. Iya, aku sudah setua itu. Gilak!
Rasjid, eumm, dulu dia lebih tinggi dariku. Dulu, sewaktu kita masih pacaran. Sekarang, dia kalah tinggi. Aku merasa superior di hadapannya. Dan kalau aku ingat air mata yang aku buang sia-sia untuk si asshole ini, aku jadi ingin menampar diriku sendiri. He doesn’t deserved it. Sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya? Bertahun-tahun! Dulu, aku menganggapnya luar biasa tampan, seksi, dan kombinasi antara nerd and hot. Now? He’s just like an average guys on earth. Nothing interest on him, except his eyes. Oke, enough.
“Jadi kalian udah jalan berapa lama?” Rasjid, bertanya sambil meminum anggurnya dengan cara berkelas. Sengaja mengintimidasi Uki.
Uki yang hanya minum air mineral, antara enggak ngerti atau memang polos, tetap memamerkan senyumnya, “Udah setahun lebih.”
“Ooh, baru setahun.” Perkataan yang meremehkan.
“Yah, but serious one. I am gonna marry him. Dimana Dan? Holland? Or US?”  Kata-kata itu keluar dari bibir Uki dengan mulus, ditambah gerakan tangannya yang memelukku untuk semakin merapat ke tubuh pendeknya. Oke, Uki gak pendek, dia hanya seratus enam puluh lima? Tujuh? Yang pasti gak sampai seratus tujuh puluh. Dibandingkan denganku yang seratus delapan puluh lebih? Well, kalian simpulkan sendiri.
Aku tak mengira Uki bisa melakukan ini, seperti yang aku bilang, ini Uki sedang akting atau memang dia terlalu polos? Kalian tahu kan, tipe-tipe kayak Uki ini bakat banget jadi aktor.
“Ya ampun Daniel, yeti sindang juga. Kirain yeti gak bakalan come-come lho.” Ladies and Gentleman, meet the one and only, transgender yang aku benci but I loved in the same time. Dorsella. Anggap perkataanku sebelumnya tentang dia hanya bohong belaka.
“Hei, gorgeous.” Balasku.
Dorsella tersenyum genit sebelum akhirnya mencium pipiku. Lalu kemudian mencium pipi Uki juga. She knows that Uki is my boyfriend. Well, ada banyak hal yang tidak aku ceritakan pada kalian sejak pertemuanku dengan Dorsella tempo dulu, akan aku ceritakan, kalau aku ada waktu. Hahaha.
“Sini, akika bawa diana bedua ke tempat favorit akika, excuse us ya Rasjid ganteng.” Rasjid hanya tersenyum ringan, I didn’t care.
Dorsella membawaku dan Uki naik ke bagian atas dari gedung ini. Angin malam menerpa wajahku saat Dorsella membuka pintu dan membawaku serta Uki ke tempat terbuka. Pemandangan kota Jakarta sangat memukau dari tempat ini.
“Acara lelangnya baru akan mulai jam sembilan. Jadi, kita bisa mengasingkan diri dulu sebentar.” Kata Dorsella, kalem. Aku ulangi, KALEM.
“Well, where the akika? Diana word?” Dorsella tertawa terbahak. Sedangkan Uki hanya tersenyum dikulum.
“Sayang, kamu kalau senyum jangan dikulum gitu dong! Itu kayak ngode tahu!”
Uki langsung memerah, haha, I love teasing him, “Ngode apa?”
“You know exactly what I mean, Hon.”
“Cukup ya, jangan sampai kalian lanjut ngeseks disini, karna bisa jadi besok kalian masuk angin.”
“Gue masih gak familiar lho dengan lo yang enggak pakai bahasa aneh lo itu.”
“Nah, itu dia Dan, sometimes, I be like, emang aneh ya kalau transgender kayak gue berlaku selayaknya wanita biasa? Bertutur kata seperti wanita? Bukan seperti banci? I mean, gue operasi plastik karena gue pengen jadi pere jeung? Bukan setengah-setengah lagi!”
Aku mendekat, mengambil air mineral dari tangan Uki, sedikit menuangkannya ditanganku, lalu membasuhnya di wajah Dorsella.
“Hei, lo ngapain?”
“Kalau lo mau orang-orang gak liat lo aneh, hapus rias tebal lo itu. Jadilah kayak orang kebanyakkan, berlaku seperti orang kebanyakkan,  lakuin hal-hal mainstream. Seperti you know, wanita dilarang pamer dada, paha. Laki-laki dilarang perawatan salon. Like that, peraturan tak tertulis.”
Dorsella menatapku lama, “I can’t Dan. Gak mungkin kan gue nyembunyiin tetek gue, padahal dokter udah susah payah bikinin secantik ini.”
“Nah! Then, stay weird, stay to be who you are, jangan karena orang-orang pengen A trus lo berlaku A. People will find way to be your friend. And to be your boyfriend!!”
Dorsella tersenyum, lalu menatap Uki, “Pasti berat ya Ki, punya laki model gini?”
Uki tertawa sambil menatapku, “You don’t even know the childish part.”
Aku langsung menatap Uki tajam, “Jangan cerita!”
“Kalau lo sampai ketakutan gitu, aku malah semakin pengen tahu, Come on Ki, we have a lot of time to sharing.”
“Seriously? You all wanna do this to me?” Mereka berdua menatapku lalu tertawa.
***

Uki Bagus Walantaga
Aku suka Daniel, aku cinta si ganteng, setiap hari, rasanya semakin menumpuk. Rasanya seperti aku berdiri diatas tumbuhan menjalar. Semakin hari, semakin bertumbuh, bahkan mungkin hingga menutupi tubuhku. Saat itu terjadi, akan sulit untuk membabatnya tanpa melukaiku juga. Jadi, mungkinkah aku bisa hidup tanpa Daniel. Pertanyaan konyol, sudah pasti bisa! Bisakah aku bahagia tanpa Daniel? Bisa! Namun akan berbeda. Akan ada yang berlubang. Aku sendiri bahkan tak mengira kalau aku bakalan jatuh cinta segila ini dengan sesama pria! Pernahkah aku menduga? Tidak!
Daniel mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi seorang model. But, he’s more than that! He’s more than just handsome. He’s cute, funny, smart, sarcast sometimes, or being silly and dork. Ah, kalian pasti bosan mendengarkanku yang hampir setiap saat melontarkan pujian untuk si Ganteng. Tapi ya memang begitulah dia di mataku. Aku menyukai gerakkan refleks tangannya yang menggandeng tanganku. Atau memelukku tanpa ragu. Seolah, secara tidak  langsung dia ingin mengatakan kepada semua yang hadir disini, ‘aku miliknya’. Jadi, tidak ada alasan bagiku, untuk tidak bangga mendapatkannya sebagai seorang kekasih. Even itu harus berhadapan dengan fans-fansnya.
“Kak Daniel ya? Aku follower kakak lho di IG, boleh selfie bareng gak?” Itu masih belum ganggu.
“Eh, masnya, boleh minta tolong fotoin aku sama kak Daniel gak?”
Yang satu ini juga masih fine kok.
“Eh, Kak Daniel sekarang mau jadi artis ya? Udah punya asisten juga.”
Aku masih rapopo. Seriusan. Karna aku tahu, mereka bukan apa-apa bagi Daniel. Yang menyita perhatianku adalah Rasjid. Dia pemuda yang mempesona, dan seumuran dengan Daniel. Plus, pernah menjalin hubungan dengan Daniel bertahun-tahun. Dia ancamanku. Well, masih ada Hendri juga, atau Jordan. Tapi yang disini adalah Rasjid, dan dia tidak bisa mengalihkan pandangan matanya dari Daniel. Aku tahu resiko punya pacar tipe ‘He is so adorable, cute and hot in the same time’.
Kali ini, begitu aku tahu Rasjid melihat kearahku dan Daniel lagi, aku mencium pipi Daniel. Daniel menoleh, terkejut sebentar, tersenyum lebar,  sebelum akhirnya malah mengulum bibirku sebentar. Like I said before, cintaku makin numpuk!!
***

Rasjid Sutata
Sulit buat gue ngejalanin apa yang disuruh Hendri kalau lawannya model-model kayak Uki. Akting sok polos, tapi di otaknya menyimpan banyak rencana. Dia bukan Daniel yang sangat mudah ditebak.
Sedari tadi, gue bahkan hanya sanggup mengobrol ringan dengan Daniel. Mengompor-ngompori Uki? Kayaknya kagak bakalan berhasil. Gue pernah nglakuin itu, dan lihat, mereka masih hahahihi sambil sesekali cipokkan.
Daniel, gak seekspresif itu waktu dulu pacaran sama gue. Daniel memang berubah, seinget gue, dulu dia tipe anak yang nyebelin abis. Gue pacaran sama dia, karena dia salah satu anak populer dan well, siapa sih yang gak pengen nyobain pantat kapten team basket paling hot di kampus? Walaupun dia nyebelin, tapi semua orang memujanya. Memuja ke atlestisan tubuhnya, paras tampannya, dan kecerdasan otaknya. Kombinasi yang mematikan, dan hampir semua orang merasa sangat beruntung kalau Daniel bisa mengingat nama mereka. Daniel congkak, arogan, semua keinginannya harus terpenuhi. Dia selalu berlagak kalau dia adalah raja di kampus.
Kepopuleran gue memang melonjak ketika gue sering hang out bareng Daniel dan ganknya, Evan dan Maya. Dayang-dayangnya Daniel.
Walaupun Daniel memperlakukan gue seperti thropi yang baru saja dia menangkan, gue tetap bertahan hingga hampir tiga tahun.
Lalu, ketika Andri, wakil kapten team basket yang unyu itu mulai menunjukkan kertertarikannya untuk gue, gue gak ambil pikir panjang dan mulai merayunya. Berselingkuh dari Daniel, pasti akan menghancurkan Daniel. Awalnya, gue pengen ngedeketin Evan, sahabat baiknya. Apa yang akan terjadi dengan Daniel kalau pacarnya tidur dengan sahabat baiknya?
Tapi Evan terlalu loyal. Dia menyayangi Daniel seperti saudara sendiri. Dan walaupun gue tahu Evan juga suka sama gue, tapi dia memilih untuk ngejauhin gue.
Lalu apakah ego gue terpuaskan saat melihat Daniel hancur? Ya! Saat itu.
Sekarang gue melihatnya, begitu banyak berubah. Dia memperhatikan detail-detail kecil tentang Uki. Tersenyum hangat pada beberapa orang. Walaupun sarkastiknya kadang muncul begitu saja. Namun entah kenapa itu membuatnya menjadi semakin menarik. Bukan menyebalkan.
Did Uki changes him? Or it was me that changed him?
***

Evan Sutedjo
Gue memisahkan kulit ayam dari dagingnya untuk gue makan entar. Emang udah kebiasaan gue sih kayak gini. McD tetep rame ya, even siang-siang gini di bulan Ramadhan. Agak mengagetkan juga sih.
“Gimana lelangnya Dan? Lo ada beli something?”
Daniel yang sedang sibuk melumuri burger nya dengan saos mendongakkan kepalanya, “Gue beli beberapa jaket bekasnya Mario Lawalata, yang ternyata kekecilan. Lo mau? Bisa buat Reno tuh.”
“Katanya lo gak tertarik?”
“Kan itung-itung berbagi berkat Van. Kalau lo mau ntar lo bisa ambil, kayaknya pas kalau buat Reno.”
Gue mengangguk sebelum akhirnya menikmati ayam gue. Daniel pun kembali sibuk dengan burgernya. Sometime, kita memang begini. Menghabiskan waktu bersama, namun dalam diam. Bukan sibuk dengan gadget masing-masing, tapi lebih menikmati ‘me time’. Me time kok berdua? Lha itulah uniknya persahabatan gue ama Daniel, kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam berduaan namun dalam dunia masing-masing. Tanpa perlu merasa kalau kita berdua sedang mengacuhkan satu sama lain. It’s just happen naturally.
“Koh Daniel?” Gue noleh dan mendapati pemuda, mungkin masih SMA atau mahasiswa semester awal. Chinesse, cute, menatap Daniel dengan tatapan, well, memuja. Like always people do when ketemu sama Daniel.
“Hi Jo, makan siang lo?!” Jawaban Daniel ini khas. Pernyataan, bukan pertanyaan. Gak basa-basi, kayak kebanyakkan orang. Misalanya, ‘Ngapain lo disini?’ Hello? Ini McD gituloh, ya makan lah, gak mungkin kan dia mau nonton. Orang-orang sekarang kebanyakkan melontarkan basa-basi yang sebenarnya jawabannya sudah mereka tahu. Retorik!
“Iya, sama Papa. Tuh!!” Si Jo menunjuk om-om yang diumurnya yang gue duga sudah setengah abad, masih terlihat menarik. Ps, gue bukan penyuka gadun ya. Jadi ini pandangan gue secara objektif.
Si Om-om yang gue duga berumur setengah abad namun tetap menarik itu langsung menghampiri gue dan Daniel.
“Tempat lain penuh, kita berdua makan gabung sini aja, gak papa kan?” Jo nyerocos lagi.
“Oh ya Van, ini Jordan. Jordan, ini Evan.” Gue melambaikan tangan gue, karena tangan gue kotor. Belepotan saos dan remahan ayam, jadi gak mungkin gue melakukan jabat tangan.
“Pah, makan sini aja. Ini Koh Daniel Pah, yang sering Jordan ceritain.”
“Lo jahat juga Jo, bokap lo disuruh mesen, sedangkan lo malah ngobrol.” Daniel ini ya kalau ngomong. “Silahkan om.” Lanjutnya.
“Hahaha, jadi berasa muda lagi nih kalau ngumpul sama anak-anak muda gini. Jadi ini toh Daniel, flavouristnya Saviour? Saya sering dengar sepak terjang anda dalam mengcopy formula perusahaan lawan. Genius.”
“Walah, jadi bukan karena cerita Jordan om? Jadi gede kepala nih.”
“Please don’t. Karena saya enggak menyangka kalau kamu itu masih sangat muda. Untuk menjadi flavourist biasanya harus punya pengalaman dulu sebagai technical itu tahunan lho.”
“Bakat kali ya om, may be. Because I love food.”
“Gak keliatan dari badannya. You look great, diet?”
“Nope, I ate everything om. Vegetable except. I do not like it.”
“Wah, gak sehat dong gaya hidupnya? Tapi badan kamu bilang sebaliknya lho Dan.”
“My boyfriend always force me to eat sayuran om. Menyebalkan, tapi ya sudahlah.”
Si tampang om yang belom memperkenalkan diri atau diperkenalkan oleh si Jordan ini mengeluarkan tampang oooo maklum sambil menatap gue.
“I am not his boyfriend.” Kata gue tanpa pikir panjang sambil menunjuk ke Daniel. Gue tahu sih Daniel udah coming out, tapi tetep aja ucapan entengnya ngomong tentang boyfriend itu masih bikin kaget. I mean, reaksi orang kan bisa beda-beda. Untung ini si om walau agak kaget tapi masih bisa terima. Gimana kalau ini om adalah seorang homophobic? Daniel ini emang harus di training tentang mikir dulu baru ngomong deh kayaknya.
Si om geleng-geleng kepala, “Sorry, I thought. Well, nevermind. Oya, kantor kalian dekat dari sini?”
“Yup, cuman lima menitan pake mobil.”
“Kalau om kebetulan baru tadi ada acara di kampusnya Jordan, kebetulan lewat sini, makan sekalian deh.”
Dari cara si Om –yang by the way, belum dikenalkan juga oleh Jordan- menatap Daniel, seperti ada something. Well, bukan nafsu atau sejenisnya. Dilihat dari cara ngomong aja, gue udah ngeh kalau Ayahnya Jordan ini pria baik-baik.
“You’re remind me of someone.”
Daniel mendongak, gue juga. Gak ngeh sih ini si om ngomong ke siapa? Gue? Gak mungkin. Antara Jordan sama Daniel. Dan karna Jordan sama sekali kayak gak sadar, berarti mungkin untuk Daniel.
“Me?” Daniel bertanya ragu. Gue melanjutkan makan ayam goreng gue, walau tetap menyimak dalam diam.
“Ya, sama cinta pertama om.”
“Papa gay?” Jordan iseng nyeletuk yang bikin gue batuk-batuk keselek. Daniel kayaknya cuek aja.
Si om ketawa ringan, well, mungkin ini om bisa masuk dalam salah satu daftar the hottest gadun di Jakarta. “Bukan gitu Jo, wajahnya si Daniel ini mirip Sophia, papa udah pernah cerita kan?”
Kali ini Daniel terlihat tertarik. “Sophia Pradipta? She’s my mom.”
Ada suasana akward yang mendadak tercipta. Selama ini Sophia selalu merahasiakan identitas ayah Daniel. Well, belum tentu juga si om ini adalah ayah Daniel kan? Kemungkinan itu sangatlah jarang, mendekati enggak mungkin. Namun, tetap ada kemungkinan kan? Maksud gue, kalau Tuhan pengen mempertemukan Daniel dengan ayahnya, siapa yang bisa menghalangi coba?
***

Uki Bagus Walantaga
Aku pulang ke apartment dan mendapati si ganteng sedang melamun. Di tangan kanannya dia memegang apel yang baru digigit sedikit. Hari ini aku ada visiting ke salah satu klien di Cikupa, jadi agak pulang telat. Berangkat sebelum makan siang, jadi bisa dibilang aku seharian ini gak ketemu sama si ganteng.
Aku melonggarkan dasiku, lalu melepasnya dan menaruhnya di sofa panjang tepat di depan televisi, bersamaan dengan tas kerjaku yang ngomong-ngomong beratnya luar biasa karena berisi botol-botol sample.
Pergi ke dapur, mengambil air putih, bersama pisau lalu menyusul Daniel yang ternyata masih melamun di balkon.
Aku mengambil apel yang baru satu gigitan itu, memotongnya kecil lalu menyuapkannya ke bibir Daniel. Daniel memakannya dan mengunyahnya asal.
“Hey, how are you?” Aku mengelus pipi Daniel pelan.
Daniel menatap mataku, sebelum akhirnya merebahkan kepalanya di pundakku. “I’m good.”
Tanganku memeluk tubuh Daniel yang sudah menempel ke tubuhku. Mencium aroma khas Daniel sehabis mandi ini laksana aroma terapi. Penghilang capek. “Are you, oke?” Tanyaku sekali lagi.
Daniel hanya menjawab dengan anggukan. I know, that he isn’t oke.
“Udah makan? Wanna grab something?”
Kali ini Daniel menggeleng.
“Gelengan itu buat jawaban udah makan atau grab something?”
“Both.”
Kali ini aku yang menggelengkan kepalaku. Si ganteng antara marah padaku, atau manjanya kumat atau dia ada masalah yang tidak ada sangkut pautnya denganku. Well, aku sama sekali tidak bisa menebak yang mana. I mean, pagi tadi kita masih baik-baik saja kok.
“Ya udah, aku teraweh dulu ya?” Mungkin ada baiknya aku biarkan si ganteng untuk sendirian dulu.
Si ganteng mengangguk. Well, mungkin dia sariawan. Aku meletakkan apel yang sudah aku potong kecil-kecil kedalam piring kecil.
“Apelnya diabisin ya Dan,” Kataku sembari meninggalkan Daniel larut dalam pikirannya.
***

Di Masjid aku masih kepikiran. Beneran deh, gak biasanya kan si bawel itu diam? Selepas teraweh aku memutuskan pulang sebentar, sekedar melepas kangen untuk Fadil dan Kemal. Melajukan mobilku dengan batas wajar. Ada rasa ragu, maju mundur, saat sudah berada di depan rumah. Mau turun atau mending balik saja? Jujur saja aku juga merindukan Mama walau Fadil dan Kemal lebih memenuhi prioritasku sekarang.
Aku sering menjemput mereka sepulang dari sekolah kok. Atau kadang weekend main bareng di time zone.
Aku melihat ruang tengah yang masih terang, menandakan mereka belum tidur. Aku menghembuskan nafas perlahan sebelum akhirnya turun dari mobil. Rasa deg-degan itu masih ada, semakin kencang dengan seiringnya aku semakin mendekati pintu depan.
“Assalamu’alaikum. . .” Rasanya sudah lama sekali aku tidak mengucapkan salam ini.
Fadil yang pertama berlari ke pintu depan. Memelukku erat dan minta digendong, “Mah, Pah, ini Bang Uki pulang.”
“Lho Ki, enggak bilang-bilang mau pulang?” Papa bertanya sewaktu aku tiba di ruang tengah. “Udah makan kamu?” Sambung beliau.
Sepertinya aku belum makan besar. Hanya sempat makan gorengan saja tadi. Aku menggeleng lemah.
“Ya udah makan dulu sana, Mamamu kebetulan masak makanan favorit kamu. Kangen kamu tadi dia bilang.” Aku tersenyum ke arah Papa sebelum melempar tatapanku ke arah Mama yang sedari tadi masih diam. Sepertinya memang masih marah padaku.
“Kemal dimana Ma?” Tanyaku, sekedar basa-basi. Aku tahu adikku yang satu itu jarang di rumah. Yang nginap di rumah temannya lah, ada kegiatan sekolah lah.
Hening. Tidak ada jawaban.
“Bang, kok Abang enggak ngajak Bang Daniel? Fadil kan kangen sama Bang Daniel!” Fadil berkata sambil menelusupkan kepalanya ke leherku.
“Bang Danielnya lagi sibuk Dil.”
“Dil, kamu turun dulu. Biar abangmu itu makan dulu.” Aku hampir tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. Tadi itu benar Mama yang ngomong kan?
Fadil dengan menggerutu turun dari gendonganku, “Mama ih, gak asik!” Katanya sambil ikut bergabung dengan Papa menonton televisi lagi.
“Jam segini kok belum makan? Kamu puasa kan? Maag kamu ntar kambuh lho. Suka susah kamu makannya memang dari dulu.” Aku tersenyum. Apakah Mama sudah berubah?
“Tadi udah makan gorengan kok Ma,”
“Tetep aja enggak sehat itu. Udah makan dulu!”
Jujur, aku hari ini makan malam sambil nahan tangis. Rasanya aku kangen sekali dengan suasana seperti ini. Sepertinya air mataku ingin berlomba-lomba keluar. Dan aku menahannya mati-matian. Aku tidak ingin terlihat cengeng.
Aku membawa piring dan sendok kotor bekas makanku barusan ke wastafel di dapur. Disana, aku melihat Mamaku yang sedang memasak sesuatu. Atau mungkin menyiapkan makan untuk sahur besok. Jadi besok tinggal dipanasi saja. Aku mencuci piring dan sendokku dalam diam. Bukan apa-apa juga, namun lebih karena aku tidak tahu harus memulai mengobrol darimana.
“Gimana dengan Daniel, Ki?”
Aku tergagap sebentar, “Daniel baik-baik aja Ma.”
“Kamu sering-sering dong pulangnya. Biar ini rumah enggak terlalu sepi.”
Lagi-lagi aku tersenyum gagu, “Iya Mah.”
***

Hatiku masih diliputi kegembiraan ketika aku pulang ke apartment. Seenggaknya, ada kemungkinan bahwa mama akan berubah. Well, aku masih belum yakin juga. Masalahnya, kadang Mama suka unpredictable. Jangan-jangan beliau menyimpan strategi jahat? Well, aku juga gak boleh securiga itu juga sih.
Namun kebahagiaanku tidak bertahan lama ketika melihat posisi Daniel belum bergeming dari posisi tadi aku meninggalkannya. Walaupun apel di atas piring kecil sudah habis. Rasanya hatiku jadi ikut pilu juga. Aku belum pernah melihat Daniel seperti ini sebelumnya.
Aku meletakkan makanan yang tadi mama bungkuskan untukku. Untuk sahur katanya.
Berjalan mendekati Daniel lalu memeluknya, tanpa berkata apa-apa. Daniel adalah type orang yang keras kepala. Jadi, kalau dia tidak mau cerita, sekeras apapun usaha yang aku lakukan, dia akan tetap menutup mulutnya rapat-rapat. Memeluknya, menyadarkannya bahwa dia tidak sendirian, bahwa dia mempunyai aku disini. Itu yang bisa aku lakukan sekarang.
“Ki. . .”
Aku merebahkan kepala Daniel ke dalam leherku, “Hmmm?”
“Kalau aku tanya-tanya ke Mama, tentang Papa, walau aku tahu itu akan membuat Mama sedih, aku durhaka enggak?”
Aku memeluk si ganteng makin erat. Enggak tahu harus menjawab dengan bagaimana.
“Aku, kayaknya tahu siapa Papaku Ki.” Daniel semakin merapatkan tubuhnya, “Tapi aku gak yakin.”
Aku merasakan kulit leherku basah. Daniel, menangis?
“Rasa-rasanya aku dulu sering iri ketika teman-temanku dijemput ayah mereka. Bisa main permainan laki-laki bersama ayah mereka. I knew my Mom were great. She’s amazing. But today, I just . . .”
Kamu adalah pemain basket yang luar biasa, ingin sekali aku membisikkan kata-kata itu ke telinga si ganteng. Tapi bibirku kelu. Yang bisa aku lakukan hanyalah memeluknya. Aku merasa di posisi sebagai pacar yang sama sekali tidak berguna sekarang. Merasa bodoh. Tidak bisa memberi kata-kata yang membuat si ganteng semangat. Aku malah . . .
“Ki?” Daniel mendongakkan kepalanya. “Kok kamu nangis?”
“Karena lihat kamu kayak gini, dan aku gak bisa apa-apa buat bisa bikin kamu mendingan.”
Daniel merekahkan bibirnya, memamerkan sederatan gigi putihnya, tersenyum menatapku. “You are the most sensitive guy that I’ve ever dated.”
“Is that good?” Tanyaku ragu.
“I love you, thanks for being my boyfriend. Aku sayang kamu.” Jawaban Daniel sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, walaupun melambungkan egoku tinggi.
This, the most beautifull creature on earth is my boyfriend.

Bersambung . . .

Sorry, that aku agak lama updatenya. Kerjaan kantor yang well, gak sibuk-sibuk amat. Namun ide-ideku yang mendadak mampet. Oke, mungkin kalau kalian bisa merekomendasikan novel lucu atau bacaan romantis ringan untuk memancing ideku? Boleh tinggalkan di komen, atau well, kalau kalian punya kontakku bisa langsung chat. Thanks untuk tetap setia menunggu update tan cerita dariku.


Jakarta, 25 Oktober 2015 dan tengah bosan dengan rutinitas sehari-hari.

Ardhinansa Adiatama