FOLLOW ME

Sabtu, 28 September 2013

SATPAMKU, PACARKU

Well, this just a short story. Aku bekerja di sebuah perusahaan multinasional. Perusahaan yang bergerak di bidang Fragrance, Colouring, Flavor, Savory dan masih banyak lagi. Enggak perlu lah aku ceritain panjang lebar tentang perusahaan tempat aku bekerja. Okay, kisah ini dimulai ketika ada satpam baru di perusahaanku.
He is not bad at all. He’s perfect! Body yahud, tidak gempal, tidak chuby tapi juga tidak kurus kering. Ideal dan atletis lah. Seraut wajah yang lumayan ganteng. And at first time I saw him, ada sesuatu yang berbeda yang dipancarkan olehnya. Well, may be aku jatuh cinta dengannya pada pandangan pertama. Klasik, but it’s true!
Namanya Bowo, Mukti Wibowo. Manly!! Gayanya cowok abis, dan setiap aku melihat dia, ada something about his look yang menggetarkan hatiku. Entah ya, dari cara dia berjalan, berbicara, tertawa, bahkan sendawanya pun aku anggap seksi. Oh, call me crazy now! Aura dia manly, tapi manis. Aduh! Susah dijelaskan dengan kata-kata. But, I fall in love with him so deep.
But the reallity is not like a romantic gay story. Dia cuek dan dingin. Saat berpapasan pun dia hanya menyapa basa-basi, karena aku adalah staff di perusahaan itu. Tatapan matanya ramah namun tidak hangat. Dan aku pun tidak berusaha mendekatinya. He’s straight! I know it!
But, once upon a time. Gille, ini uda kayak cerita dongeng aje. Haha, suatu hari aku harus kerja ekstra lembur karena ada permintaan dari client yang harus sudah siap dipresentasikan besok. Nah, sebagai satpam, otomatis Bowo juga ikutan lembur. Dia pulang kalau semua karyawan sudah pulang. Perusahaan tempatku bekerja memang tidak ada shift. Kita masuk jam 9 dan pulang jam 6 sore. Sabtu dan Minggu kita libur. Satpamnya juga Cuma satu. Ya Bowo itu. Tadinya bahkan tidak ada satpam, karena pihak perusahaan memasang keamanan elektrik, dimana hanya staff dan karyawan saja yang boleh masuk dengan card ID.
Namun sejak kejadian ada yang kemalingan motor, maka barulah dicari satpam. Ooh, Indonesia.
Aku bekerja ditemani Bowo, sayangnya aku bekerja di lantai 3 sedangkan Bowo berjaga-jaga di pintu masuk lantai dasar. Aduh, sama aja bohong dong! Nah, waktu itu Bowo memeriksa semua ruangan, perusahaanku ada 4 lantai. Dan dia masuk ke ruanganku karena ruanganku masih terang. Yaiyalah, masa aku kerja gelap-gelapan?
“kok tumben belum pulang Pak?” Sapanya. Ini adalah pertama kalinya dia nanya ke aku. Dan well, aku memang selalu pulang on time. Kali ini TERPAKSA lembur.
“Masih ada kerjaan Mas.”
“Sudah selesai?”
“Belum Mas, tapi mau aku lanjutkan besok saja. Diatas sudah gak ada orang.” Jawabku sekedarnya. Aku tidak ingin menunjukkan gelagat kalau aku suka dia.
“Sudah, selesaikan saja Pak, nanti saya temani.” Katanya kalem. Eh what? Ditemani Bowo? Mauuuuuuuu!! Eh, ngondeknya keluar deh. Akhirnya aku dan Bowo memutuskan untuk merebus mie dulu di pantry. Ya sekedar mengganjal perut lah. Akhir bulan, tau sendiri gaji cuman nyampe tanggal lima belas, lo kata iklan?
Akhirnya setelah menyatap mie dan minum es teh, aku dan Bowo naik ke lantai tiga lagi. Setelah sampai di depan ruanganku, kulihat dia hanya berdiri saja didepan tidak ikut masuk.
“Mas, temani didalam lah. Ngeri nih sendirian!”
“Eh iya Pak.”
Akibatnya, malam itu aku kerja tidak konsen! Masa iya, ada orang yang kita suka kita acuhkan begitu saja? Kami ngobrol ngalor ngidul tanpa arah. Dari A sampe Z dan aku menyempatkan untuk curi-curi pandang ke arahnya. Bowo memang benar-benar seksi. Sepertinya dadanya keras berotot. Jadi pengen berlabuh disana. Dan pandanganku kalau Bowo orangnya dingin terbantahkan saat itu juga. He’s friendly. Asik dan nyambung!
Sekitar jam sepuluh malam, Bowo pamit turun. Katanya mau ambil cemilan biar aku enggak kelaparan. Duileh, perhatiannya. . .
Akhirnya jam sebelas lebih pekerjaanku selesai. Sebelum aku pulang, kita sempat ngobrol-ngobrol di parkiran. Dia sempat cerita kalau dia itu orangnya gelian. Aku ingin sedikit menjahilinya dengan menggelitik dan mencolek-colek pinggangnya. Haha, pokoknya malam itu memorable banget!
Aku merasa sedang pacaran saja dengan Bowo. Becanda-becanda, saling colek, ketawa bareng abis itu liat-liatan sambil senyum-senyum, bahagia!! Aku sama sekali belum bahkan tidak terpikirkan ke arah seks. Aku hanya merasa nyaman dengan Bowo dan ingin menikmati waktu kebersamaan ini lebih lama lagi. Walau mungkin aku dan dia tidak bisa bf an, He’s straight. Setahuku sih.
“Pulang naek apa dek?” Deg, barusan Bowo manggil aku apa? Dek? Enggak salah denger nih kuping? Engga lagi congekkan kan aku? Biasanya dia manggil aku Pak, padahal aku lebih muda 2 atau 3 tahun darinya.
“Kayaknya sih taksi. Jam segini busway udah gak ada.” Jawabku dag dig dug.
“Sorry ya, aku cuman nganter sampai depan, soalnya mesti naik lagi.” Kok bahasa dia jadi lembut gini ya?
“Gak papa, dianterin sampai depan juga udah seneng. Tadi juga udah ditemani lembur, dikasih makanan lagi. Hehe.” Jawabku sambil senyum manis.
Lha, pas aku mau naik taksi, dia dengan santai bikin aku kelojotan dengan ngomong, “Lain kali Abang antar pulang ya.”
Weleh, mau nganter pulang beneran ato basa basi nih? Dan sepanjang perjalanan di dalam taksi aku senyum-senyum sendiri. Tumben amat, dia nyebut dirinya sendiri ‘Abang’. Beberapa kali sopir taksi ‘burung biru’ memperhatikanku dengan cemas dari kaca depan, namun tidak aku hiraukan. Malam ini aku bahagia!
***

Sejak malam itu sikapnya berubah padaku. Kalau kita bertemu atau tidak sengaja papasan, dia pasti tersenyum ramah dan hangat. Bahkan kalau tidak ada orang dia sering menepuk punggung dan pundakku. Dia juga sudah tidak memanggil aku dengan sebutan Pak lagi, tapi dengan sebutan Dik. Hehe, aku senang bukan main. Walaupun ada beberapa teman kantor yang merasa aneh dengan hal itu. Masa dipanggil Dik oleh satpam? Tapi aku tidak menghiraukannya. Sebodo amat.
Karena aku dan Bowo yang semakin akrab, dia mulai berani cerita tentang kehidupan pribadinya. Termasuk pacar dan selingkuhannya! Gila, dia punya dua cewek. Cukup sedih juga, harapanku untuk menjadi kekasihnya kandas sudah. Aku selalu menasehatinya untuk tidak bermain api. Namun dia cuek-cuek saja. Sepertinya Bowo tidak begitu peduli dengan cewek-ceweknya itu.
Pernah suatu kali waktu aku pulang dia tersenyum sangat manis. Hehe, mungkin aku kegeeran saja. Karna siapa tahu, dia tersenyum ramah pada semua orang, ya kan? Tapi tetap saja aku senang. Bahkan ketika aku sudah keluar dari kantor dia sms, “hati-hati di jalan ya Dik”. Siapa yang tidak berbunga coba, di sms oleh orang kita sayang begitu?
Aku memang berusaha sok mengakrabkan diri dengannya, dengan sms “selamat pagi”, “apa kabar” ya hal-hal sepele seperti itu. Dan sepertinya gayungku bersambut karena dia selalu membalas smsku. Bahkan kadang menelusupkan setitik perhatian seperti, “jangan lupa makan”, “jaga kesehatan ya”. Coba, mana ada satpam yang seperhatian itu?
But, ke geeranku tidak berlangsung lama. Suatu waktu Bowo sempat memamerkan foto-foto mesra dia dengan ceweknya. Sakit banget! Tapi aku mencoba tetap biasa saja. Hh, susahnya mencintai cowok straight, ya tidak? Ada kejadian lucu yang sampai sekarang pun kalau aku ingat, aku jadi makin cinta sama Bowo. Waktu itu pas jam makan siang, aku turun ke sebuah ruangan yang memang digunakan untuk makan siang. Perusahaanku ada katering.
Kebetulan di ruangan itu belum ada orang, ya iyalah orang aku turun jam setengah dua belas. Aturan makan siang jam dua belas. Maklum lah, lapar berat! Ada Bowo yang tengah mengangkat galon ke dispenser yang memang kebetulan kosong. Lha, bukannya itu kerjaannya cleaning service? Sudahlah, yang penting ada Bowo ini. Dunno ya, ini hanya perasaanku saja, or may be it’s true? Kalau hanya sedang berdua saja. Hanya ada aku dan Bowo, sikap Bowo itu romantis sekali, cara bicaranya juga manis dan tatapan matanya itu dalem. Tapi aku meyakinkan diriku sendiri bahwa, aku hanya ke geeran saja.
“Bang, kok gak pernah sms aku lagi sih?” Eh, aku ikut-ikutan manggil dia abang jadinya.
“Lha mau sms apa? Sms kosong?” Jawabnya santai.
“Ya sms apaan kek.” Aku mulai ‘manja’.
“Haha, masa mau sms ‘Hi Sayang’? Gitu?”
“Ya gitu juga boleh Bang.”
“Lah, kayak orang pacaran dong kita.” Katanya sambil tertawa lebar. Lha emang kita gak kayak orang pacaran? Jeritku dalam hati.
Mumpung belum ada teman kantor yang turun, aku cerita ke dia kalau valentine kali ini aku gak dapat cokelat. Dia hanya tertawa saja.
“Lah malah diketawain!”
“Kamu aneh kok Dik, kamu kan gak punya cewek! Gimana mau dapat coklat?” katanya sambil cengengesan.
“Abang aja lah yang ngasih coklat.”
“Kamu suka coklat?” Aku mengangguk antusias.
“Coklat ayam jago yang murah aja ya?”
“Terserah deh, apapun dari Abang, aku terima kok.” Kataku. Sumpah, manjaku udah keterlaluan banget! Tapi masak iya, Bowo enggak menangkap sinyal ini sih? Apa karena dia straight? Lagi-lagi ini asumsiku lho.
“Iya deh, ntar kalo kita jadian abang kasih coklat.” Aku melongo sesaat. Bowo bilang apa tadi? Kalau kita jadian? JADIAN? JADIAN? Belum juga kagetku hilang dia malah bilang, “Tapi kalo sayang kan gak mesti harus ngasih cokelat kan Dik?” Dia mengedipkan sebelah matanya sambil keluar ruangan. Oh shit! Bowo enggak lagi flirtting ke aku kan? I mean . . . arrgggggh!! Bowo, kamu bikin aku gila!
***

Hari Sabtu ini aku habiskan waktu dengan membusuk di kostan. Mau keluar kok rasanya males banget. Panas! Dan yang lebih malesin lagi, ntar itu malem Minggu kan? Bagi jomblo sepertiku, malam Minggu itu neraka jahanam! Aku masih berada di kasurku. Ngulet kanan kiri, mungkin ini kasur ada magnetnya. Buktinya, aku belum juga beranjak dari kasur ini dari sejak aku bangun tadi.
Aku mengambil hapeku yang berbunyi karena ada sms masuk. Dari nomor tak dikenal. Males sih, tapi aku buka juga.
Lagi dimana?
Itu bunyi smsnya. Siapa ya? And you know who? It’s Bowo! Yup! Bowo! Karena aku tidak percaya, aku sempat membalasnya begini.
Ini beneran Abang?

Iya

Lha buktinya apa?
Aku memang sedang tidak bisa menelepon. Karena selain beda operator, aku lagi drop pulsa. Baru saja pulsaku habis untuk paketin Bbku.

Kayak pacaran aja pake bukti segala.
Aku hanya senyum-senyum saja, okay berarti ini memang Bowo.
Iya deh, aku percaya

Lagi dimana?

Di Kostan aja Bang

Malam Minggu mau kemana?

Aku melotot sejadi-jadinya? Maksutnya apa nih? Dia mau ngajakkin aku malam Mingguan? Yakin? Sumpeh?

Membusuk di kostan Bang, Abang sendiri?

Haha, malam Mingguan sama Abang yuk?

Kyaaaaaaaaa, kyaaaaaaaaa, kyaaaaaaaaaaaa. Asli, aku kayak perawan mau diapelin pacar pertamanya. Seneng banget! Diajak Malam Mingguan sama Bowo! Akhirnya kita janjian buat ketemu di Mall Artha Gading yang dekat dengan tempat tinggalku. Eh ketahuan deh aku tinggal dimana. Aku dan Bowo pengen nonton Percy Jackson. Agak aneh juga sih, malam Minggu malah nonton sama cowok. Tapi sebodo lah, orang aku suka dia sih.
Pas nunggu studionya dibuka, kita becanda-becanda dan saling ngobrol ngawur. Tak jarang aku mencolek pinggangnya karena dia memang gelian orangnya. Sampai akhirnya dia meluk dari belakang sambil bilang, “Kamu bikin gemes deh Dek!” tangannya pun sambil menoel pantatku.
Jiah, mulai nakal dia! Tapi gak papa, aku suka kok. Didalam bioskop pun dia tidak risih merangkul pundakku. Kebetulan kita duduk di barisan belakang dan paling pojok lagi. Haha.
Tapi surprisenya tidak berhenti disitu, dia ternyata ingin menginap di kostanku. Ya, kalau dia pulang memang kejauhan sih. Aku sih tidak menolak, lagipula, aku juga sudah bertekad akan menembaknya malam ini. Diterima syukur, ditolak uda resiko, temenan aja hayuk, kalo dijauhi dan dibenci ya uda nasib. Setiba di kostanku, awalnya Bowo agak kaku. Tapi lama-kelamaan dia nyantai juga. Sambil nonton tv dan ngobrol aku sering curi-curi pandang ke arahnya. He’s so cute but sexy on the same time!
“Abang kok gak Malming sama pacarnya aja?” Aku mulai membuka percakapan.
“Lho, kamu juga pacarku kan?” Weleh? Becanda? Serius? Modus? Atau ngasih sinyal nih?
“haha,” Aku hanya bisa tersenyum dipaksakan. Salting sendiri abisnya! Nah, pas aku udah nyiapin kata-kata buat nembak Bowo, eh malah dia curhat soal pacarnya. Lidahku jadi kelu. Semua kata yang sudah aku susun di otakku buyar begitu saja. Haha, aku memang ke geeran saja sepertinya. Mungkin Bowo memang ramah pada semua orang. Akhirnya malam itu aku malah jadi tempat sampahnya. Dia curhat tentang ceweknya dari a sampe z. Intinya sih, dia lagi bete berat sama pacarnya. Sudahlah.
Bahkan, sewaktu tidur pun aku sengaja memunggungi dia. Entahlah, hatiku perih saja mendengar curhatan Bowo tentang pacarnya. Andai dia tahu perasaanku.
***

Sejak malam itu, aku memutuskan untuk agak menjauhi Bowo. Bagaimanapun juga, aku ingin menyerah dan mencari laki-laki lain yang memang bisa mencintaiku. Mengharapkan cinta dari Bowo sama saja seperti pungguk merindukan bulan. Tak tergapai, dan aku sudah menyerah. Satu hari, dua hari aku berusaha untuk menghindarinya. Hanya tersenyum tipis dan terkesan jaga jarak saat tidak sengaja berpapasan dengannya. Semoga aku bisa cepat mengusir namanya dari hatiku.
Saat istirahat siang, aku tengah bercanda dengan Denny. Ceritanya kita abis makan siang dan karena jam belum menunjukkan angka satu, aku memutuskan untuk tetap tinggal di ruang makan. Iseng-iseng aja lah. Lumayan, disini wifi nya kenceng. Dan ternyata ada Denny juga yang masih tinggal. Denny itu, anak marketing di lantai dua. Walaupun tidak akrab, tapi aku kenal lah sama dia. Secara kita satu kantor. Awalnya kita Cuma ngobrol basa-basi, tapi tidak disangka kalau Denny orangnya kocak parah. Alhasil kita jadi cepat akrab dalam hitungan menit. Saat itu aku tanpa sengaja melihat Bowo yang akan masuk ruangan. Mungkin dia mau makan siang, secara aku masih melihat ada dua box makan siang yang belum dimakan. Namun saat melihatku dan Denny, Bowo tidak jadi masuk. Kenapa?
Aku memang duduk berdempetan dengan Denny karena aku tengah menonton video di handphone Denny yang emang kocak abis.
Tak selang berapa lama, aku melihat di profil BB Bowo tertulis status, “Nah lho, kepergok kan lagi selingkuh” dengan disertai icon broken heart. Maksutnya? Ini buat aku? Ah sudahlah, jangan ge er! Pas sore mau pulang, aku pengen sengaja menyapanya. Sudah tiga hari enggak bercanda-canda sama Bowo. Kan kangen juga akunya. Tapi pas aku lewat didepannya, gantian aku yang dicuekkin! Asli, ngeselin nih orang lama-lama. Tapi mau gimana lagi? Akunya cinta! Eh, jangan-jangan dia ngambek lagi ya? Atau cemburu melihat aku dan Denny tadi siang! Sudah, jangan geer!
***

Minggu ini aku ambil cuti 3 hari. Sengaja memang, karena aku memang ingin pulang kampung. Kangen Ayah, Ibu, kakak dan adekku. Rindu halaman kampung juga. Pengennya sih, sebelum aku ambil cuti kemaren, aku sudah baikan sama Bowo tapi ya sudahlah. Toh, kita gak pacaran ini. Cintaku bertepuk sebelah tangan!
Pas hari Kamis, niatku sih aku mau libur seminggu. Kamis dan Jum’at aku mau bolos. Tapi ternyata aku tidak bisa. Udah kangen banget sama Bowo. Bayangin aja, dari Sabtu ampe Rabu aku kaga ketemu dia. Gimana enggak kangen coba?
Dan sengaja aku bawakan oleh-oleh dari kampung yang beda dari yang lainnya spesial untuk Bowo. Hehe, urusan untuk agak menjauhinya aku stop saja. Ternyata lebih sakit soalnya.
Pas aku melihatnya aku agak termenung. Makin unyu aja sih ini satpamku. Pantes aja banyak karyawan sini yang suka ganjen ke Bowo. Karena waktu itu sedang banyak orang, aku hanya sempat menyerahkan oleh-olehku ke Bowo sekedarnya. Nekad dan hanya bilang, “Bang ini Bang.” Terus ngeloyor pergi. Abis malu juga sih! Bowo juga hanya mengucapkan terima kasih singkat. Mungkin karena banyak orang kali ya.
Pas aku mau masuk lift, aku sengaja menoleh ke arahnya. Dan ternyata dia pun sedang menoleh ke arahku sambil senyum-senyum. Senyum dan tatapan yang sama seperti dulu. Haduh, senyuman dan tatapannya itu bener-bener menggoda iman! Ngeselin tuh orang! Hehe.
Siangnya ada BBM dari Bowo, “Makasih ya oleh-olehnya. Enyak!”
“Sama2.” Balasku singkat. Eh dia malah balas lagi dengan icon big hug. Uuhh, so tuit! Akhirnya aku jadi BBMan lagi sama Bowo. Di kantor sambil kerja dikit-dikit bales BBM dia. Haha, kocak! Kayak orang pacaran baru baikkan lagi abis ngambek-ngambekkan!
Pas mau makan siang, aku tidak sengaja melihat Bowo sedang mengambil AQUA di pantry. Karena ini kesempatan langka, aku bisa mengamati Bowo dari belakang. Bokongnya semekel banget! Kokoh dan berotot! Tanda kalo pejantan tulen, sexy! Eh, ternyata pandanganku kepergok oleh Bowo. Dia lalu senyum-senyum gaje. Waduh, malunya aku.
Tidak berapa lama, profill BB Bowo statusnya sudah berganti. “Hayo, kamu ketahuan ngintip abang, kangen ya?”
Hahaha, aku langsung senyum-senyum sendiri bacanya. Kena banget plus dalem! Sempet mikir juga sih, apa Bowo pasang DP itu khusus buat aku? Kocak nih ah satpamku. Padahal kita gak pacaran. Apa sebenarnya Bowo ada rasa untukku? Atau hanya sekedar iseng saja? Ah, bingung!
Hari ini aku kena lembur lagi. Apes! Gimana gak apes? Tadi meeting dengan client alot banget! Mana belum ada kesepakatan lagi! Jadi ya harus ada pertemuan tambahan lagi. Dan si bos nyuruh aku untuk memperdalam materi presentasi agar client lebih cepat percaya. Dampaknya, aku masih terdampar di ruanganku. Alamat pulang malam dan besok harus berangkat lebih awal. Menyebalkan tuh client! Awas aja kalo engga jadi deal ntar!
“Lembur Dik?” aku agak kaget juga, karena tadi sudah tidak ada orang di lantai tiga ini. Ternyata Bowo yang masuk ke ruanganku.
“Iya nih bang. Padahal aku capek!”
“Mau abang pijitin?” Eh? Penawaran yang lumayan mengundang gairah nih.
“Boleh Bang! Pada kaku nih badan!”
“Ntar aja ya Dik kalo Adik udah selese kerjaannya. Nanti pijitnya di lantai empat aja.” Aku mengangguk pelan. Lantai empat memang ada tempat khusus untuk sholat. Engga terlalu besar sih, tapi muat lah untuk tiduran lima orang.
“Abang turun bentar ya Dik.”
“Iya Bang!” aku jadi semangat nih! Gila aja, ntar bakal dipijitin Bowo. Ahuiy! Aku cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Haha, engga sabar nih ceritanya!
***

“Kemejanya dibuka aja Dik, sayang ntar kalo kena minyak telon.” Iya juga sih. Mana ada pijetan masih pake kemeja coba? Akhirnya aku melepas kemejaku, tapi masih memakai celana panjang. Anjirr, kalo celana panjangnya aku lepas juga, sempakkan doang donk aku?
“Badannya pada kaku nih. Jarang olahraga ya Dik?” aku hanya cengengesan. Mana sempet olahraga coba? Sampe kostan aja jam tujuh malam. Pijetan Bowo enak banget ternyata. Walaupun tangannya kekar, tapi pijetannya lembut. Wah, tipe ideal buat dijadiin pacar nih! Haha.
“Adek laki-laki tapi kok putih mulus gini, perawatan ya?” Bowo nanya lagi.
“Engga Bang, ini mah udah dari lahirnya sono kok.”
“Masak? Jarang lho cowok mulus gini kulitnya, gak belang sama sekali.” Aku senyum-senyum sendiri. Bowo agak keterlaluan juga nih mujinya, aku kan jadi makin cinta. Ahihir!
Buat catatan kalian aja ya! Kalau kalian berharap ada pijetan erotis, kalian kecewa. Sama sekali tidak ada! Padahal aku juga sedikit berharap. Namun Bowo mijitnya normal-normal saja. Kandas dah.
“Adek mau gak jadi pacar Abang?” Aku yang tengah dipijet Bowo langsung duduk tegak berdiri. Kenapa nih sama Bowo? Lagi iseng-iseng berhadiah atao mau ngerjai aku nih?
“Abang gak lucu!”
“Abang serius dek! Kamu beda!”
“Abang gay?” Aku bertanya agak pelan.
“Engga donk, abang bukan gay.” Aku memutar kedua mataku.
“Lha tapi abang nembak aku barusan. Aku kan juga laki-laki bang!” aku agak engga terima donk. Masa dia ngaku bukan gay? Padahal baru saja nembak aku! Dia anggap aku perempuan apa?
“Iya, abang tau! Orang abang cintanya sama Adek aja. Nafsunya sama Adek aja. Kalo sama laki-laki lain abang gak nafsu.” Paparnya pendek.
“Kalo sama Ro’i?” Ro’i itu salah satu cowok cakep di kantorku.
“Engga.”
“Denny? Nafsu engga sama Denny?”
“Engga. Nafsunya Cuma sama adek.”
“Kalo sama Mb. Anita?”
“Hehehe, itu abang masih mau!” Bowo menjawab dengan cengengesan. Uuhh, minta dicipok basah nih!
“Ganjen! Pantesan suka dua-duaan sama mb. Anita!”
“Adek cemburu ya?” katanya sambil mengerling menggoda.
“Itu kan karena aku sayang sama Abang.” Aku malu-malu kucing menjawabnya.
“Berarti adek mau donk jadi pacar abang?” Aku kembali mengangguk malu-malu. Tidak aku sangka-sangka dia memeluk dan langsung mencium keningku. Aduh, ternyata aku tidak perlu nembak Bowo. Dia udah nembak aku duluan. Anjiiiirr.
“Trus pacar sama selingkuhan abang gimana?”
“Udah abang putusin demi adek.” Aku tersenyum dan kembali kedekapan dadanya yang bidang. Aah, satpamku, pacarku!!



Tamat yeeeeeeeee.

Ini sebagai gambaran aje ye, buat imajinasi kalian.

tokoh Mukti Wibowo











Ini  Tokoh AKU.
Eh, What's my name? Masih blom pada tau ya? Hahahah

Selasa, 24 September 2013

THE SERIES 5

Aku mengikuti langkah mereka berdua dengan lesu. Mereka –Hendra dan Herry- memaksa ku untuk melihat-lihat kebun teh milik eyangku di daerah yang agak lumayan jauh dari rumahku. Aku baru tahu kalau eyangku juga punya kebun teh. Mereka betul-betul tidak tau diri. Aku paling benci dengan yang namanya kebun. Apapun! Mau itu kebun teh, atau kebun kopi, aku tetap tidak suka. Pokoknya tidak suka, dan aku sedang tidak ingin menjelaskan alasannya pada kalian.
“Wuih, adem banget!” Hendra melentangkan kedua tangannya.
“Ho oh! Betah aku disini.” Sahut Herry.
“Yaudah, kalian berdua nginep aja no disono!” kataku sambil menunjuk sebuah gubuk yang letaknya tidak jauh dari kami.
“Beuh! Tega!” Hendra mencibir yang langsung aku balas dengan mendengus.
“Gue nunggu di mobil aja ya? Kalian berdua ajalah yang keliling. Gue capek!”
“Gimana acara tu?”
“Ye kalian pergi,  gue stay.” Kataku sambil menuju mobil. Gila aja, jalanan kota ini penuh tanjakan berkelok-kelok semua. Bikin stress aku yang nyetir. Belum juga aku membuka pintu mobil, tanganku sudah ditarik Herry.
“Tuan rumah itu harus mengantar tamunya!” beuh, lagak ini anak minta digampar.
“Gue capek banget Her! Lagian mau nganter gimana? Gue sama nggak taunya sama kayak kalian!”
“Makanya kita menjelajah bareng! Apa perlu aku cengklek? Ben nggak capek?” cengklek? Apaan tu? Tapi boleh juga.
“Boleh dah dicengklek.” Herry langsung membungkuk.
“Cepet naik punggungku.” Oh, cengklek tu ternyata digendong belakang. Asek! Digendong Herry! Tidak menyia-nyiakan kesempatan aku segera hijrah kepunggung Herry.
“Berat juga kamu Sen.” Yaiyalah, badanmu boleh lebih gede, tapi ingat akukan lebih tinggi. Ternyata hawa disini memang sejuk banget. Adem, bikin nyaman. Herry juga tidak mengeluh, dan harus akui untuk saat ini punggung Herry adalah tempat ternyaman di dunia. Hhahaha. Namun setelah perjalanan agakjauh, aku segera turun, walaupun Herry tidak mengeluh, aku yakin dia kecapekkan. Dia mulai berkeringat soalnya.
Sekitar jam sepuluh siang kita istirahat disebuah gubug bareng bapak-bapak dan juga ibu-ibu yang bekerja disitu. Sekali lagi aku dibuat takjub. Mereka ternyata sudah mengenaliku. Katanya. Kalau eyangku kemari, eyang selalu membawa-bawa fotoku yang terbaru dan selalu membangga-banggakanku. Padahal apa yang mau dibanggakan? Yah, namanya juga nenek ke cucunya. Haduh, jadi malu sendiri. Eyangku melebih-lebihkan tentang aku ternyata, bahkan ngarang cerita tentang aku. Ini nih ya;
1.     Kata eyangku aku selalu ranking satu dari SD hingga SMP. Bohong besar! Aku ranking satu hanya waktu kelas tiga SD doang, setelah itu? Beuh, masuk sepuluh besar saja sudah sujud syukur! Tapi bukan berarti aku bodoh ya. Aku masih masuk duapuluh besar kok.
2.    Nah, yang ini lebih parah. Eyangku cerita ke orang-orang yang bekerja padanya, bahwa cucunya, Arseno Erlangga Prawiro demen banget sama yang namanya petualangan. Panjat tebing,  naik gunung dan sebagainya. Itu semua dusta! Aku lebih suka menghabiskan waktuku main basket atau main PS. Naik gunung? Ogah!
3.    Eyangku gembar-gembor bahwa aku bisa berjalan saat usiaku menginjak enam bulan. Yang ini sepertinya eyangku sudah habis akalnya. Aku jelas-jelas berjalan saat usiaku satu tahun lebih enam bulan. Mamaku dulu bahkan sempat mengira aku bakalan lumpuh. Makanya, hingga sekarang mama selalu melarangku melakukan olahraga berat. Yang aku tidak tahu untuk alasan apa.

Eyang, eyang. Haduh. Membanggakan cucu sendiri sih sah-sah saja tapi jangan sampai mengarang cerita juga donk. Malah aku jadinya cengengesan nggak jelas karena ceritanya nggak ada yang mendekati kebenaran.
“Pulang yok! Udah siang banget!” ujarku sambil melirik Herry dan Hendra. Masalahnya aku sudah tidak tahan disini. Dosaku nanti tambah banyak. Membohongi warga, haduh!
“Yowes, tapi makan siang dulu tho Sen?” jawab Herry sambil berdiri dan siap-siap.
Kita bertiga segera pamit pada bapak-bapak dan juga ibu-ibu yang tengah beristirahat di gubug itu. Perjalanan menuju tempat mobil diparkirkan tadi terasa lebih cepat. Setelah berjalan menuruni jalanan menanjak tadi akhirnya kita mampir di tempat makan yang kebetulan terlihat disitu. Setelah parkir mobil, kita bertiga langsung masuk. Tempatnya nyaman, pemandangan lembah-lembah Sumbing dan Sindoro terlihatjelas.
Aku memesan ikan bakar, menu kebanggaan di rumah makan ini. Hendra dan Herry ngikut. Halah tu dua anak!
Kota ini adem ya? Betah aku!” aku melirik Herry sebentar.
“Nopo Sen? Dari tadi ngelirikin aku terus.” Aku senyum geje. Ketahuan toh ternyata.
“Nggak. Itu muka lo kok aneh banget ya? Penasaran aja.” Jawabku asal.
“Semprul koe ki!” kata Herry sambil menoyor kepalaku pelan.
“Waduh, sudah berani noyor gue lo ya!”
“Hahaha, wek!” Herry malah tertawa senang sambil memeletkan lidahnya. He’s so cute! Gila, aku cinta mati nih! Herry, kapan kita bisa pacaran? Asek!
“Ues tho! Nggak capek apa bercanda terus!” Hendra langsung misuh-misuh sendiri. Merasa dicuekkin kali dia ya.
“Beuh, ngambeg nih nggak diajak bercanda.” Kataku sambil mencolek dagunya. Hendra makin misuh-misuh. Geli lihatnya. Yakin dah.
“Niki mas, pesenannya.” Mas-mas yang tadi melayani kami kembali lagi dengan menu pesanan yang udah kita pesan tadi. Kalau dari bau dan penampakkannya sih kayaknya delicious banget. Dan ternyata memang berasa! Dagingnya enak, durinya pun lunak.
“Ajib Sen! Poto dong!” lagi-lagi Herry heboh sendiri minta difoto. Ini anak sepertinya terserang virus narsis lebih dari seharusnya. Sudah akut dan tidak bisa ditolong lagi ternyata. Dia bergaya macam-macam. Mulai dari pura-pura tengah melahap ikan utuh, lalu terkapar di meja makan, terus seolah-olah sudah memakan berpiring-piring makanan dan mati kelaparan. Ini anak ya, aku dan Hendra saja sampai nyengir sendiri karena pengunjung yang lain mulai melirik-lirik kearah kita sambil senyum-senyum. But, finally aku bahagia banget hari ini. Capek sih juga iya, tapi jika waktu kita dihabiskan bersama orang yang kita cintai? Apa capeknya masih berasa? Jujur sih iya! Hush, ngelantur! Pokoknya, ini hari membahagiakan banget!
***

Aku diam sesaat memandangi pohon mangga disamping kamarku lewat jendela. Tu pohon kapan sih berbuahnya? Ya aku tahu sih ini bukan musim buah mangga. Tapi pengen saja nyoba mangga langsung dari pohonnya. Jangan-jangan tu pohon mandul lagi?
“Woi! Ngalamun aja dek!” sumpah aku kaget banget. Ternyata Taufik.
“Aaaah, Mas Adi nih! Bikin kaget sumpah!”
“Lha, salah sendiri ngalamun sambil ngedumel. Ngalamunin apa tho?”
“Seno tuh nggak ngalamun Mas, tapi lagi berdoa.” Mendengar jawabanku, Taufik langsung mengerutkan keningnya.
“Berdoa buat apaan?”
“Tu, biar pohon mangganya berbuah. Seno lagi pengen mangga.” Tak pelak lagi Taufik langsung tertawa. Lha? Emang ada yang lucu ya? Perasaan biasa saja deh. Lebay nih Taufik nih!
“Yo ndak mungkin tho! Lha wong ini belum musimnya.”
“Seno juga ngerti kali Mas ini bukan musimnya. Tapi kan impossible is nothing buat Tuhan.”
“Tapi nggak segitunya juga. Itu namanya Dek Angga mencobai Tuhan.”
“Mencobai? Apa maksut tuh?”
“Gini nih, Dek Angga kan tahu kalau Tuhan itu maha segalanya. Tapi bukan berarti Dek Angga bisa minta yang aneh-aneh. Tuhan bisa kok ngabulinnya, tapi untuk alasan apa? Misalnya, ini kan lagi musim kemarau, Dek Angga minta hujan supaya nggak perlu main keluar. Lah? Masa iya Tuhan mau mengabulkan? Padahal Tuhan bisa! Ntar Dek Angga pasti ngerundel kalau ujannya nggak turun. Pasti Dek Angga bakalan ngomong gini, “katanya maha kuasa kok nggak bisa datengin hujan?” ya kan? Itu sama aja mempertanyakan eksistensi Tuhan. (ini quote dari seseorang yang sampai sekarang aku belom mengerti artinya.)”
“Nggak ngerti aku mas! Beneran deh!”
“Hahaha, ikut Mas Adi bentar yuk!”
“Kemana Mas?” tanyaku penasaran. Aku paling anti dengan yang namanya rahasia-rahasiaan.
“Udah, ikut aja.” Akhirnya karena dipaksa, aku ngikut juga. Aku pamit pada mamaku sebelum akhirnya mengikuti Taufik yang entah membawaku kemana. Asal tidak membawaku ke alam baka saja. Ternyata oh ternyata aku diajak ke sawah. Jiah banget! Mending gini aku nggak mau ikut tadi. Sawah apanya yang mau dilihat coba? Cuma tanaman padi yang masih kecil-kecil gitu.
“Ini nih sawah eyang kamu. Kamu belom tahu kan?” aku lengsung menggeleng.
“Semuanya?” tanyaku tak percaya, Taufik hanya mengangguk membalas pertanyaanku. Anjirr, ini kalau dibuat taman bermain ajib banget nih. Luas banget gini!
“Itu orang-orang lagi ngapain Mas? Maenan air?” aku dibuat penasaran dengan orang-orang yang tengah berkubang didalam sawah.
“Itu namanya miyak’i, ngambilin rumput-rumput liar yang ikut tumbuh disekitar tanaman padi.” Aku hanya manggut-manggut sambil ber-oooo panjang. Jalan sama Taufik ini benar-benar nggak nyaman banget. Mau ngelucu ntar takutnya selera humor kita berbeda. Takut dianggap ngehina, padahal niatnya ngelucu. Masih mending jalan sama Herry atau Hendra, bebas ngomong apa saja. Kalau sama Taufik? Mikir-mikir dulu, takutnya ntar salah ngomong.
“Wajahmu itu manis banget ya Sen? Kalau cewek pasti cantik kayak mamamu.” Eitts, apa maksut nih tiba-tiba ngomong begituan? Muji atau ngeledek? Emang sih wajahku fotocopiannya mama, tapi kan aku dibuat lebih macho. Daguku lebih persegi, bahuku juga lebih bidang, lengan ototku juga udah mulai terbentuk. Enak saja aku dibilang cantik!
“Sstt, berhenti Sen.” Aku langsung berhenti mendadak. Karena agak kesal tadi aku melangkah dengan asal. Dan sekarang karena Taufik menyuruhku berhenti, aku menoleh kearahnya dengan raut wajah lumayan sepet.
“Kenapa?”
“Ada ular disamping kamu. Jangan bergerak dulu.” Aku melirik kebawah dan eng ing eng! Ini alasan kenapa aku tidak suka pergi kesawah ataupun kekebun, karena pasti banyak binatang melata seperti ini nih! Tu ular item gede nyeremin lagi.
“Itu bukan ular biasa Dek, itu ular penunggu sini. Jarang banget dia nampakkin diri sore-sore  gini.” Apa maksut lagi nih? Ular setan gitu maksudnya? Aku beranikan melirik lagi. Itu ular memang diam saja dan ukurannya memang wow banget. Tapi bukan phyton atau anaconda. Phyton dan anaconda setahuku tidak ada yang berwarna hitam legam kan ya? Atau ada? Yaelah, sotoy nih akunya. Ukurannya segede pahaku, sedang melingkar. Ular biasa ah, cuman memang agak gede saja.
“Itu nggak ada ekornya dek. Kamu pelan-pelan gih melangkah kesini.” Sebelum aku melangkah menghampiri Taufik aku sempatkan melirik lagi. Masa nggak ada ekornya? Aku perhatikan dengan seksama lagi. Itu ular kenapa melingkar sih? Jadi susah nih nyari ekornya, weleh! Itu ular buntung? Bener kata Taufik, nggak ada ekornya yang mengecil itu. Aku langsung lari kearah Taufik dan mungkin membuat ular itu terusik. Dia bangun, tubuhku gemetar, Taufik juga sama saja. Mata ular itu merah menyala, menatapku lekat-lekat lalu kemudian melingkar lagi. Itu emang bukan ular biasa. Masa iya ada manusia dia tidak menyerang atau malah pergi? Dia malah asyik melingkar lagi ditempat yang sama. Dan lagi, matanya tadi seakan-akan ingin berbicara padaku. Ini mungkin Cuma halusinasiku doang, walaupun memang aku merasa demikian.
Sesampainya dirumah aku segera menceritakan apa yang aku alami tadi pada mama dan papaku. Kebetulan ada eyang juga. Sengaja ceritanya aku tambah-tambahin biar semakin seram. Hahahaha.
“Itu ular gede? Buntung Sen?” tanya eyang dengan suara cemas.
“Iya eyang! Nggak ada ekornya!” aku jadi bingung sendiri melihat eyangku yang mulai berjalan mondar-mandir seperti setrikaan.
“Itu ular memang sudah ada sejak kakek buyutmu! Banyak pekerja disawah yang sudah melihatnya. Tapi kalo sampai ditatap kayak kamu Sen, itu belom pernah ada!” waduh, ini pertanda baik atau buruk ya?
“Udahlah Bu, mungkin ini Cuma kebetulan saja.” Papaku menenangkan eyangku yang sudah mulai panik.
“Eyang takut kamu dibawa pergi sama ular itu! Bancak’i! Ini harus dibancak’i!” aku menoleh kearah mama dan papaku. Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sedangkan aku sendiri tidak mengerti dengan arti kata BANCAK’I.
***

Disekolah aku benar-benar tidak tenang. Nanti sore bancak’inya mau digelar. Aku juga masih belom ngeh apa itu bancak’i. Aku hanya kepikiran dengan ular itu. Tatapan ular itu, seperti tatapan manusia. Entahlah aku yang terlalu mengkhayal atau bagaimana, tapi aku rasanya seperti itu. Dia sepertinya menderita sekali. Hasyah, aku kan bukan Harry Potter atau Lord Voldemord yang bisa bahasa ular!
“Sen, kantin yok!” hah?
“Apaan?” Herry mendecak kesal. Hari ini Hendra tidak masuk. Dia mengikuti lomba debat Bahasa Inggris di kabupaten.
“Kantin! Makan!”
“Oh.” Jawabku singkat sambil berdiri. Aku mencoba fokus dan melupakan kejadian sore kemaren. Gila, ular itu cengok banget. Okay, dengan tidak masuknya Hendra, setidaknya Herry jadi duduk satu meja denganku. How lucky?
“Koe nopo tho Sen? Aneh banget hari ini.” Aku yang tengah mengaduk-aduk siomayku langsung mendongak ke arahnya.
“Masa? Biasa aja kok Her!”
“Eh Sen, aku boleh nanya ndak nih?”
“Nanya apaan?”
“Tapi kamu jangan marah ya?” aku menatapnya tidak mengerti. Kenapa ni anak? Biasanya juga ceplas-ceplos kalau ngomong.
“Aku kalau jalan sama kamu kok nyaman banget ya? Aku juga suka pas kamu ngelirik-ngelirik ke arahku secara diam-diam. Kenapa tho Sen kamu sering nglirik-nglirik aku?” gila, jadi selama ini Herry sadar kalau aku suka diam-diam mencuri pandang ke arahnya. What the fuck?
“Ya karena gua sayang sama lo.” Jawabku cuek. Kepalang tanggung ini.
“Hah? Maksute opo Sen?”
“Ya gue suka sama lo. Sayang, cinta gitu.”
“Tapi aku kan laki-laki juga Sen?” ini anak bego atau emang nggak ngerti ya?
“Tapi lo nyaman kan sama gue? Mungkin itu karena lo juga cinta gue.”
“Hah? Mosok tho Sen?” ini anak bikin aku gregetan sumpah. Hemm, tapi ketidaktahuannya ini justru menguntungkanku.
“Gini aja, ntar malem lo nginep rumah gue. Biar lo tau lo itu cinta gue juga apa nggak!?” terlihat Herry menimbang-nimbang sebentar. Aku berlagak tidak peduli. Karena jika aku memasang tampang berharap, itu hanya akan semakin membuat Herry curiga.
“Woke deh. Emang kita mau ngapain Sen?”
“Ya menyelidiki perasaan lo ke gue. Lo kan bilang sendiri kalau lo nyaman sama gue. Ya tho?” Herry segera mengangguk antusias. Kutuk aku Tuhan, tapi aku benar-benar penasaran gila dengan perasaan Herry untukku. Jika nanti malam Herry menikmatinya, itu artinya besar kemungkinan Herry akan menjadi milikku. Jika tidak, ya aku harus mencari cinta baru dan murni menganggap Herry sebagai sahabatku. Oh shit, ntar sore kan ada acara bancak’i! Aku sampai lupa!
***

Rumahku sudah ramai orang ketika aku sampai. Aku diantar Herry dengan motornya tentu saja setelah tadi sebelumnya pulang dulu kerumah Herry untuk meminta ijin ibunya dan membawa seragam ganti untuk besok. Aku benar-benar excited untuk nanti malam. Berbagai khayalan mesum sudah meracuni otakku.
Bancak’i itu ternyata menggelar nasi yang sudah dicampur dengan sayur-sayuran aneka macam juga ada tempe dan telor lalu dibagi-bagikan dan dimakan bersama warga sekampung. Aku masih saja heran, karena ada beberapa orang yang masih ingin mendengar kisahku yang melihat ular jadi-jadian itu kemarin. Lalu timbul berbagai macam spekulasi, ada yang bilang bahwa eyang buyutku sudah setuju jika aku akan mewarisi semua kekayaannya. Karena hanya keluarga murni Prawiro saja yang bisa ditatap ular buntung itu. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar spekulasi tersebut. Masalahnya, aku kan cucu satu-satunya keluarga Prawiro. Sudah barang tentu lah kalau semua harta ini bakalan diwarisin ke aku nantinya.
Spekulasi kedua, aku adalah orang terpilih yang harus meneruskan kepemimpinan keluarga Prawiro. Hasyah banget kalau yang ini. Ular itu sepertinya menjadi misteri tersendiri di kampung ini. Karena katanya hanya orang-orang terpilih saja yang bisa melihat mata ular itu. Terus aku jadi seperti Saras 008 gitu kali ya? Bedanya, Saras manusia kucing, aku manusia ular. Kenapa nggak Nagin saja sekalian! By the way, ada yang masih ingat nggak sih dengan Nagin si dewi ular atau Saras 008? Jiah, malah jadi nostalgia!
Nah kalau spekulasi yang ketiga nih yang agak bikin ngeri. Katanya aku bakal diajak ular itu. Karena dulu setelah eyang buyut melihat ular itu, eyang buyut langsung jatuh sakit dan meninggal dunia. Wadaw! Aku kan masih empat belas tahun. Belum sunat lagi. Hah? Serius? Yup! Aku memang belum sunat. Karena selain itu tidak begitu dianjurkan di agamaku, aku juga masih takut jika perkakasku itu dipotong dengan sadis. Eyangku Islam, tapi mamaku Kristen. Dan entah kenapa papaku jadi mengikuti keyakinan mama. Mengenai bancak’i ini mamaku sempat adu ngotot dengan papaku supaya dibatalkan. Eh, tapi dilasanakan juga karena eyang lebih ngotot. Siapa sih yang berani sama eyangku kalau beliau sudah menggunakan ancaman, “orangtua tinggal siji saja kemauannya tidak dituruti.” Karena menurut mamaku tindakan semacam ini sudah termasuk klenik. Dan mamaku paling anti dengan hal beginian. Kalau boleh jujur, mamaku memang termasuk ekstrim sih.
Tapi kali ini aku dipihak mama. Aku, Herry dan juga mamaku malah asyik nonton tv sambil ngemil gorengan. Walaupun diluar sana banyak sekali warga kampung yang tengah makan bersama nasi bancak’an. Kita semua lagi nonton Carita De Angel. DVD tentunya, sepertinya mamaku belum puas melihat serial telenovela yang sempat hitz ini.
“Kamu nggak usah percaya yang gituan! Kita berdoa saja! Tuhan itu tahu yang terbaik bagi kita!” mamaku mulai bicara walaupun matanya tidak lepas mengamati papanya Dulce Maria yang menurutku sih biasa saja. Entah kenapa aku dan Herry juga sangat menikmati menonton telenovela ini? Hahaha.
“Iya ma, Seno nggak percaya kok.” Herry sama sekali tidak ikut ambil bicara. Ya kita tahu sendiri lah, Herry kalau sudah dihadapkan dengan yang namanya makanan, maka mulutnya hanya akan berfungsi mengunyah saja. Hal-hal lain yang terkait dengan gerakan mulut seperti berbicara  atau tertawa akan dia lewatkan.
“Bagus! Mama itu sebenarnya agak kurang suka dengan ide eyangmu ini! Namun mau bagaimana lagi?” aku juga hanya bisa menggeleng pasrah mengikuti mamaku. Bagaimanapun juga, umur eyang sudah hampir 73 tahun. Itu membuat beliau masih percaya dengan hal-hal yang berbau seperti bancak’i, selametan atau berbagai macam sesajen lainnya. Berbagai benda pusaka seperti keris, tombak juga masih bersemayam di kamar eyang. Kadang-kadang kalau aku sedang masuk ke dalam kamar eyang, ada hawa pengap yang entah kenapa tiba-tiba menyergap inderaku. Samar-samar aku juga kadang mendengar benda-benda itu bergerak sendiri. Itu ada isinya, begitu kata eyang. Benda-benda seperti keris dan tombak mini itu sebenarnya sudah diminta oleh Paman Pri, tapi kata eyang Paman Pri tidak bakalan kuat. Dan sewaktu benda itu dipindahkan ke kamar Paman Pri yang membuat Lek Tien uring-uringan, secara ajaib benda-benda itu kembali ke kamar eyang lagi. Begitu cerita yang aku dengar. Benda-benda itu sakti!
Aku berharap benda-benda sialan itu tidak masuk dalam daftar warisanku nanti. Aku tidak mau memiliki benda-benda itu! Sedang asyik-asyiknya nonton telenovela, eyang membawa sepiring nasi bancak’an untukku.
“Dimakan Sen, ini sudah di doakan lho. Biar kamu nanti jauh dari malapetaka.” Aku melirik mamaku sebentar. Setelah mama mengangguk aku menerima nasi itu. Eyang dengan tersenyum segera berlalu. Mama segera mengambil nasi ditanganku dan langsung mendoakannya dengan caranya. Doa mama itu cukup keras sehingga membuat Herry mau tidak mau ikut memejamkan mata. Mama berdoa agar segala macam roh pencobaan dijauhkan dari kami. Ya pokoknya gitu lah. Bagi aku pribadi, aku sudah tidak sabar menunggu malam ini. Kalau berhasil, maka Herry akan menjadi kekasihku kalau tidak ya aku harus rela cari cinta yang baru.
So excited tonight.


Bersambung. . .