FOLLOW ME

Minggu, 29 Juni 2014

THE SERIES 20

Aku kembali memandangi pantulan diriku dalam cermin. Sempurna, menurutku. Aku melihatnya lebih detail lagi. Aku mewarisi tinggi badan Mamaku, bahkan aku lebih tinggi dari Mamaku. Dulu, awal aku pindah kesini tinggiku baru 172cm. Aku yakin sekarang sudah lebih dari itu. Mungkin hampir 180, hampir. Tubuhku juga, eehm seksi. Weird gak sih, kalau kita mulai terangsang melihat tubuh telanjang kita sendiri di cermin?
Rambut hitam yang agak ikal, kulit putih tanpa beset. Aku yakin aku bakalan jadi idola baru jika masuk tv. Seraut wajah yang aku yakin 100 persen aku peroleh dari Mama. Bukannya Papaku jelek, aku juga akan bersyukur jika yang kuwarisi adalah wajah Papaku.
Latihan karate yang cukup berat juga membuat tubuhku mau tidak mau mulai memunculkan otot-otot, walau belum sempurna, aku yakin aku masih bisa masuk dalam kategori, “salah satu cowok idaman untuk dijadikan pacar”. Oh Tuhan, aku mulai menggila!!
Dan, aku melirik ke bawah perutku yang mulai menampilkan 6 garis samar-samar, lalu turun lagi hingga menemukan rambut yang mulai tumbuh rapi di selakanganku. My dick is not bad. Tidak terlalu besar atau panjang memang, namun penisku normal. Tidak memalukan jika tanpa sengaja terlihat. Penisku normal. Ukuran, fungsi dan bentuknya simetris.
Oh, aku beneran gila sekarang!!
Sebelum pikiranku semakin kacau dan aku tidak bisa menahan keinginan tanganku untuk mulai bermain-main dengan batang kejantananku, aku mulai berpakaian. Cukup cepat supaya aku bisa mengabaikan perasaan aneh yang mulai menjalari naluriku. Aku butuh pelampiasan, dan kali ini aku yang jadi top. Sebelum keluar ruangan, sekali lagi aku memperhatikan bayanganku di pantulan cermin. Jass yang dibuat oleh Revan benar-benar keren.
Aku keluar kamar dan mendapati Mama, Papa, Paman Prie, Lek Tien dan juga Eyang sudah siap. Aku tersenyum sedikit, acara peresmian gedung baru ini agaknya memang cukup resmi. Jika dilihat dari penampilan anggota keluargaku tentu saja. Kita berangkat dengan tiga mobil. Papa, Mama dengan Eyang sedangkan Lek Tien bersama Paman Prie. Aku? Aku bersama pacarku, Galih. Setidaknya dia yang akan mengantarku. Sebenarnya aku disuruh bareng Eyang, Mama dan Papa, tapi aku mengelak dengan seribu satu alasan.
“Adek ganteng. Wibawanya keliatan.” Aku melirik Galih sekilas dan menyadari bahwa Galih pun berpakaian rapi. Aku menimang-nimang sebentar, masih ada waktu tidak jika aku menuntaskan hasratku dulu?
“Mas, tepiin mobilnya sebentar.”
“Buat apa Dek?”
“Seno pengen nusuk Mas.” Galih sedikit tercengang sebelum akhirnya paham. Dan yah, beruntungnya aku yang mempunyai pacar pengertian sepertinya. Maksutku, kalaupun dia menolak juga aku tidak akan marah. Tapi?
“Oke, tumben pengen nusuk? Cepet aja ya Dek, Mas takut waktunya gak keburu.” Aku mengangguk cepat sambil tanganku melepas celana Galih hingga pantat putihnya terpampang jelas di depanku.
***


Aku datang tepat waktu. Sebenarnya terlambat jika mengacu pada waktu yang ditentukan oleh undangan, namun aku sebut tepat waktu karena acara belum dimulai. Jadi, yah sepertinya budaya mengaret tidak hanya ada di kota-kota besar saja. Aku beruntung hidup di Indonesia.
Aku dipandu oleh adik kelas ke tempat duduk paling depan, bergabung bersama keluargaku. Aku memandang berkeliling dan menemukan fakta bahwa keluargaku memang diperlakukan berbeda, dari kursi hingga snack yang dihidangkan. Sekali lagi aku beruntung lahir di keluarga yang cukup dan terhormat. Setidaknya, aku benar-benar sangat beruntung. Hendra agaknya cukup benar, aku tidak perlu merengek-rengek untuk sekedar membeli mobil. Sedangkan diluar sana? Sudahlah.
Seperti yang kalian ketahui, acara resmi seperti ini cukup membosankan. Sambutan-sambutan yang entah apa isinya karena jelas aku sama sekali tidak mendengarkan. Bahkan saat Eyangku sendiri yang memberi kata sambutan, aku malah sibuk memikirkan cara agar aku bisa menyembunyikan kantukku yang sudah sangat akut. Intensitas menguapku semakin intens.
Dilanjutkan dengan tari daerah, yang ditampilkan oleh anak-anak kelas satu. Untuk yang ini aku sedikit melek. Aku menyipitkan mataku, ketika pandanganku bertumpu pada salah satu penari. Aku ingat, anak itu pernah memberiku surat cinta. Siapa namanya? Ah, aku bahkan tidak mengingatnya. Dia semakin terlihat manis. Beberapa kali dia mencuri-curi lihat kearahku. Aku tahu dia menyukaiku. Sebenarnya, insting saja. Habisnya, dia tidak henti-hentinya melirik ke arahku.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pemotongan pita lalu makan-makan. Aku lapar, hahaha. Jujur saja, selain mengantuk aku juga lapar. Sepanjang acara makan aku berusaha menghindari Hendra. Tidak cukup sulit karena dia juga cukup sibuk sebagai panitia. Aku mengambil dua piring, mengambil ayam bakar, masing-masing satu lalu kepiting asap kemudian beberapa  tempura. Orang akan mengatai aku rakus karena pada dasarnya piringnya cukup besar, apa peduliku? Mereka tidak akan berani membicarakanku terang-terangan. Itu tabu, karena aku Seno Prawiro.
Aku menuju parkiran, menuju mobilku lalu mengetuk kaca jendelanya pelan. Galih tersenyum lalu keluar dari mobil, aku memberikan satu piringku kepadanya.
“Mas pasti laper.” Galih meringis sebelum akhirnya memakan ayam bakarnya.
“Ngantuk juga Dek.” Aku bersender pada mobil sambil menikmati malam cerah ini. Bulan dan bintang tampak begitu dekat, hal yang tidak mungkin aku lihat di Jakarta.
“Mas, kayaknya didalem ada tissu basah kan?” Aku bertanya begitu aku sudah melibas habis makanan yang ada di atas piringku. Tanpa bertanya Galih masuk mobil lagi sebelum akhirnya keluar dengan tissu basah di tangannya.
Dia mengambil satu lalu meraih tanganku, menjilati sisa-sisa makanan yang tadi masih menempel disana, setelah yakin bersih Galih melap tanganku dengan tissu basah hingga benar-benar bersih. Kemudian dia mulai membersihkan bibirku, dengan tissu basah, bukan dengan menjilatinya maksutku.
Jujur aku tercengang, mungkin terkesan jorok. Tapi bagiku ini eksotis. Bahkan mulai menimbulkan sensasi aneh di pikiranku. Jilatannya tadi benar-benar merangsangku. Ooh, akhir-akhir ini aku memang mudah terangsang. Aku juga tidak tahu alasannya.
“Kita pulang Mas,”
“Acaranya kan belum selesai Dek?” Aku melirik ke aula yang masih terang karena cahaya lampu dan juga ramai karena orang masih sibuk bercengkrama satu dengan yang lain.
“Fuck them! And I wanna fuck you again.” Untungnya Galih mengerti apa yang aku ucapkan.
“Tapi nanti gantian ya?” Galih bertanya sebelum akhirnya melajukan mobil ke arah rumah.
***

Aku melihat mobil itu pergi dengan agak ngebut. Seno sepertinya benar-benar sudah melupakanku. Aktingku yang seolah-olah hilang ingatan sepertinya manjur untuk membuat Seno menjauh dan menyerah. Ini demi kebaikkan bersama. Aku dan Seno, kami tidak akan pernah bersatu. Bahkan jika aku perempuan sekalipun. Dia seorang priyayi dan aku orang biasa.
Lagipula, aku dan Seno tidak cocok. Gara-gara aku, dia terlibat dengan Taufik. Seandainya Seno tidak pernah tahu bahwa aku diancam Taufik kala itu, maka Taufik pun akan tetap menjadi kakak yang baik untuk Seno.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Perasaan mendamba itu begitu kuat, aku ingin memeluknya. Menciumi sekujur tubuhnya, kulitnya yang khas.
Melihat dia tertawa karena kekonyolanku. Kapan hal itu akan terjadi lagi? Kapan? Aku selalu mengingatkan diriku sendiri bahwa Seno bukanlah milikku, sebesar apapun aku menginginkannya, sebesar apapun cinta kami. Dulu.
Karena sekarang, tampaknya yang masih menyimpan cinta itu hanya aku. Seno sudah mendapatkan gantiku. Tapi semudah itukah?
Aku menggeram sambil merutukki diriku sendiri, apa yang aku harapkan? Aku berpura-pura tidak mengenalnya, bersikap seolah-olah tidak ingin tahu kehidupannya lagi, dan sekarang apa? Aku ingin Seno masih memperjuangkanku? Aku bahkan mungkin sudah tidak layak menjadi temannya lagi.
“Her? Ngapain disini?” Aku menoleh dan perasaan bersalah itu semakin menganga. Korban lain dari tindakanku, Hendra. Aku menggeleng.
“Balik aula yok, serem disini gelap-gelapan gini.” Aku mengangguk sambil mengikuti Hendra. Sambil berjalan, aku menoleh ke belakang lagi. Aku mencintaimu Sen, masih dan akan terus begitu.
***

Aku memandangi Galih yang sudah terlelap disampingku, tersenyum ke arahnya lalu mengecup keningnya. Aku memungut satu persatu pakaianku dan memakainya kembali. Dahiku sedikit berkerut saat aku mengambil jas batikku, Revan pasti akan mencekikku. Jas itu terkotori oleh beberapa cipratan spermaku dan Galih tadi. Aku mengambilnya, berjalan sepelan mungkin dan keluar dari kamar Galih.
Aku meletakkan jas itu di tempat pakaian kotor sedemikian rupa hingga cairan sperma yang sudah mulai mengering itu tidak terlihat.
Masih jam 4 pagi, aku berjalan ke kamarku. Dan ketika aku baru saja naik ke atas ranjang, aku melihat foto itu. Aku, Herry dan Hendra. Herry ditengah, dan Hendra tidak tahu, jika dibelakang tangan Herry meremas bokongku. Seperti film, potongan-potongan kenanganku bersama Herry berkelebat di pikiranku.
Air mataku jatuh tanpa aku sadari, apakah aku masih mencintainya? Mencintai seseorang yang bahkan tidak ingin aku hadir dalam kehidupannya. Aku meletakkan foto itu lagi di tempat semula aku mengambilnya. Ini membuang waktuku. Masih jam 4, sepertinya aku masih punya cukup waktu untuk kembali tidur.
***


“Oke, jadi . . .” Papa dan Mama berpandangan sebelum akhirnya menatapku lagi.
“Kamu beneran yakin mau kuliah di US Sen?” Oke, jadi masalah ini bakal dibahas secara serius sekarang. Aku terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk.
“Ya sudah, Mama usahakan cari-cari teman Mama yang ada disana, sekalian nyari tempat tinggal buat kamu.” Aku melongo. Aku pikir, bakal ada debat seru atau kek gimana gitu, tapi? Jauh diluar dugaan kedua orang tuaku legowo begitu saja. Yah, memang sih aku juga pernah bilang. Dulu waktu SMP, kalau aku enggak salah inget, aku juga sering bilang pengen kuliah di US. Jadi ya mungkin Papa dan Mama uda menyiapkan hati kali ya bakal ditinggal anak satu-satunya.
“Masih lama kali Ma,” Aku menyuarakan protes yang langsung dijawab hardikkan tajam papa.
“Ya gak ada salahnya tho? Jadi pada saatnya ntar, kamu tinggal berangkat. Iya kalau kamu lolos. Hahaha.”
“Aku kan pinter Pa, engga bego-bego amat lah.”
“Setau Mama, Anindita anaknya ada yang di US,” Mama menerawang sebentar. Kalian ingat? Mamaku itu mantan model, Anindita ini adalah salah satu teman baik Mama. Sekarang masih juga eksis keluar masuk tv.
“Trus?” Aku bertanya agak hati-hati.
“Ya kalo bisa Mama pengen nitip kamu ke dia. Kamu kan kudu dijaga, aduh pergaulan diluar kan parah Sen. Mama khawatir . . .”
“Seno bisa jaga diri, lagian emang Seno barang gitu bisa dititipin?”
“Hush! Kamu tahu kan maksud Mama! Ya udah, mandi sana katanya Eyang mau ngajak kamu tuh.” Mama membenarkan posisi duduknya merapat ke Papa.
“Kemana?” pertanyaanku dijawab dengan gelengan kompak kedua orangtuaku. Hhhh.
***

Pemandangan berupa pepohonan memang sudah sering aku lihat. Tapi kali ini, mobil ini masuk hutan. Aku melirik berkeliling, aku bahkan tidak tahu jika Eyang punya mobil jeep sekeren ini. Sebenarnya, seberapa kayanya sih Eyangku ini? Kita bertiga,  aku, Galih dan Eyang sedang menuju . . . nowhere. Karena aku sendiri juga tidak tahu tujuan kita, begitupun Galih. Galih hanya mengikuti petunjuk Eyang.
Jalan yang kita lalui sudah jauh dari jalan besar. Hanya jalan sempit yang hanya bisa dilewati satu mobil. Kiri kanan pemandangan yang aku lihat hanya pepohonan. Excuse me, no people here?
Kenyataannya mungkin memang gitu, sejak mobil ini memasuki jalan sempit ini, aku belum melihat satu orang pun.
“Kita mau kemana sih Eyang? Serem banget gini jalannya.” Eyang menoleh ke arahku lalu mengelus-elus rambutku penuh sayang. Lalu kembali menatap kedepan. Oke, jadi pertanyaanku enggak di jawab.
Aku menoleh kesamping, lalu tertegun sesaat. Perkampungan? Aku mengucek-ucek mataku sebentar kemudian tertegun. Aku tidak salah lihat, ini perkampungan. Orang-orang yang mulai keluar dari rumah mereka dan mengamati kami. Aku menatap takjub pada bangunan yang rata-rata masih terbuat dari kayu. Hanya saja, bangunan ini terlihat begitu alami, begitu menyatu dengan alam sekitar mereka yang rata-rata masih berupa pepohonan. Oh God, sampai kapan kota kecil ini akan terus memberiku kejutan? It’s beautifull.
Eyang menyuruh Galih untuk menghentikan mobil di depan sebuah halaman gedung yang aku rasa gedung paling besar disini. Eyang turun diikuti aku dan Galih. Pemandangan selanjutnya hampir tidak bisa aku percaya, para penduduk yang sedari tadi mengamati mobil kami langsung menyerbu eyang. Berebutan ingin mencium tangan eyang. Lalu ada orang tinggi, lebih tinggi dariku bahkan, menyela orang-orang tersebut dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Seperti bahasa jawa, tapi aku belum pernah mendengar bahasa seperti itu sebelumnya.
Aku melirik Galih, berharap bahwa aku bukan satu-satunya orang yang tidak mengerti bahasa ini. Oh, aku salah. Galih sepertinya paham. Tamat.
Orang itu, mengobrol dengan Eyang, menepuk-nepuk bahu Eyang secara akrab dan melirikku beberapa kali. Aku pura-pura mengabaikannya, juga pura-pura mengabaikan lirikkan orang-orang disekitarku dan mengeluarkan smartphoneku. Stupid! No signal here. Dengan kecewa, aku memasukkan kembali barang berupa logo buah-buahan itu ke saku.
“Iki lho putuku Wo,” Oh, akhirnya Eyangku notice juga kalau aku masih disini dan menjadi satu-satunya yang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Orang itu memandangiku beberapa lama lalu tersenyum lebar. Ganteng!
“Jarwo,” Orang itu menggenggam tanganku erat. Tipikal pemimpin, dan mungkin dia memang ketua suku disini. Hahahaha.
Percaya diri, dan seksi.
“Arseno,” Balasku kemudian.
“Wah, ganteng tenan lho putumu Las,” Oh, akhirnya dia bisa berbahasa yang aku mengerti. Sebenarnya nama Eyangku itu Lasmi Pratini, Prawiro itu nama Eyang kakung. Dan melihat orang ini, si Jarwo ini yang memanggil Eyang hanya dengan nama saja, sepertinya orang ini teman dekat Eyang. Tapi masa sih? Jarwo ini kelihatan seperti masih awal 30 an.
“Jarwo ini orang kepercayaan Eyang disini.” Aku manggut-manggut saja sambil memasuki bangunan, yang aku duga adalah rumah Jarwo. Di dalam bangunan, aku masih dibuat terkejut lagi. Kursi-kursi dari kayu yang diukir sedemikian rupa, dan semua perabotan yang masih begitu alami? Oh, aku tidak ingin menggunakan kata ketinggalan jaman. Karena pada kenyataannya, perabotan-perabotan ini terlihat begitu artistik.
“Kamu makan dan istirahat dulu, nanti agak sorean baru Eyang ajak kamu ke suatu tempat.” Aku mengangguk. Jarwo dan beberapa pemuda juga beberapa gadis-gadis  mulai mengeluarkan beberapa makanan. Secara malu-malu beberapa gadis itu melirikku atau Galih.
Aku dan Galih memang agak berbeda dengan para penduduk sini yang kesemuanya berkulit gelap, sepanjang yang aku lihat aku belum menemukan yang berkulit terang. Bahkan mungkin kulit cokelat eyangku pun masih terbilang putih disini.
Mungkin, hanya mungkin mereka belum pernah melihat orang berkulit terang sepertiku atau Galih. Apalagi aku beberapa tingkat lebih putih dari Galih. Bukan mereka jelek-jelek, bagiku mereka malah terlihat eksotis. Ditambah beberapa pemuda hanya mengenakan semacam sarung yang hanya sebatas paha. Aku tidak tega menyebut itu rok mini, hanya memang mirip. Dan pikiran nakalku mulai merayapi otakku, mereka pakai sempak gak ya? Buahahaha.
***

Eyang mengajakku berjalan beberapa menit, dan lagi-lagi membuatku berdecak kagum. Kami hanya bertiga, Galih disuruh istirahat di rumah Jarwo oleh Eyang. Dan lihat apa yang aku temukan disini, kuda? Di hamparan lahan hijau yang lumayan luas ini terdapat beberapa kuda yang dibiarkan bebas, walau pagar kayu mengelilingi mereka. Jarwo bersiul cukup kencang dan ada dua kuda yang langsung mendekat.
“Yang ini Lucca,” Oh, jadi Jarwo juga bisa ngomong Indonesia? Sejak tadi kek. Kuda yang ditunjuk Jarwo berwarna hitam pekat. Terlihat gagah dan angkuh.
“Kalo ini Lucci.” Aku agak tersenyum geli dengan cara Jarwo memberi nama kedua kuda ini yang terdengar sangat cute.
“Cukup, Eyangmu yang memberi nama, bukan aku.”
“Maaf,” aku mengucapkannya dengan tulus walau senyum geli belum memudar dari bibirku.
“Cucumu menyebalkan Las,” Tawa Eyangku pecah. Aku terhenyak, belum pernah aku melihat Eyang selepas ini. You know? Selama ini Eyangku selalu bersikap layaknya ratu, anggun dan ramah namun membuat orang sungkan. Sekarang? Eyang bertingkah seperti gadis belasan tahun!
Eyang memang masih cantik, aku akui itu. Wajah dan tubuhnya memang masih terlihat seperti 50an. Dan kali ini Eyang memakai celana panjang dan kaos. Aku belum pernah melihat Eyang berpakaian seperti ini sebelumnya. Membuatnya terlihat begitu muda dan energik. Hahaha.
“Ayo, kenalan sama Lucci.” Jarwo membuyarkan lamunanku. Aku mengamati kuda putih yang tengah mengamatiku itu. Aku menjulurkan tanganku dan kemudian kepala kuda itu diturunkan agar aku leluasa mengelus kepalanya. Ini pertama kalinya aku menyentuh kuda. And, it’s amazing!! Rasanya aku jadi tidak heran dengan beberapa orang yang rela mengeluarkan duit jutaan rupiah hanya untuk mencari kuda ras murni. Mereka begitu indah.
“Hahaha, dasar kuda genit! Lihat cowok ganteng langsung suka.” Lucci menggeram pelan seperti protes dengan ucapan Jarwo barusan.
“Ayo kamu naik, bakalan capek kalau jalan kaki.” Jarwo berkata sambil membantu Eyangku naik kuda bersamanya. Jadi mereka satu kuda berdua? Licik sekali, sepertinya dugaan ku benar nih. Tapi masa iya? Maksutku, Jarwo bahkan lebih muda dari Papaku, anak Eyang!
Aku memandangi Lucci, gimana cara naiknya? Sepertinya Jarwo tahu kegalauanku karena dia turun lagi dari Lucca.
“Ayo aku bantu,”
“Aku blom pernah naek kuda sebelumnya, kalo jatuh gimana?”
“Pelan-pelan aja, kata Lasmi kamu suka tantangan? Lagipula, Lucci suka sama kamu, dia kuda baik gak bakalan nyelakain kamu. Yakin!” Aku mengangguk lemah dan dengan bantuan Jarwo aku menaikki Lucci. Begitu diatas Lucci, secara insting aku mengelus-elus kepala kuda itu lagi. Kayaknya, aku juga mulai menyukai Lucci. Jarwo memberiku instruksi bagaimana cara agar sang kuda mulai berjalan.
Aku mengikuti Jarwo dan Eyang yang awalnya berkuda pelan, namun sejurus kemudian agak kencang. Aku tertantang untuk menyusulnya, ngebutpakai mobil aja aku berani, kenapa pakai kuda enggak? Aku menurunkan kepalaku hingga segaris dengan telinga Lucci, membisikkan sesuatu. Kalau tempo dulu aku bisa komunikasi dengan ular kenapa dengan kuda enggak? Kan harus dicoba.
Seperti mengerti instruksiku, Lucci menambah kecepatan walau masih terbilang pelan. Sepertinya dia tidak ingin membahayakanku sebagai penunggangnya.
Setelah agak lama, aku baru bisa menyusul Jarwo dan Eyang yang ternyata sudah berhenti di depan, PEMAKAMAN? Aku melihat tulisan Prawiro di nisannya.
“Ini makam Eyang Buyut?” Eyang hanya mengangguk. Makam itu begitu sederhana, tapi terawat. Tidak ada modifikasi atau dibuat seperti rumah-rumahan.
Jadi ini makam Eyang Buyut, kenapa begitu jauh disini?
“Eyang Buyut kamu lahir disini Sen,” Kata Eyang seperti tahu kebingunganku. Aku melihat ada yang aneh dari kuburan Eyang Buyut.
Aku seperti melihat kumpulan asap hitam dari kuburan Eyang buyut, sebelum kesadaranku yang entah kenapa semakin hilang. Dan akhirnya aku roboh.


Bersambung lagi . . .