FOLLOW ME

Sabtu, 28 November 2015

BOTTOM 18


Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Uki Bagus Walantaga
Hari ini adalah malam takbir. Gema beduk terdengar hampir dari segala penjuru. Aku? Aku berada di rumah, bersama Mama, Papa, Fadil, Kemal, dan juga si pacar, Daniel. Kalian pasti agak kaget kenapa si ganteng bisa berada disini? Makan ketupat, membantu mama memasak tadi, bermain game bersama Fadil, lalu mengajari Kemal cara merayu cewek yang jitu. Well, I laugh lil bit pas part yang itu. Daniel, ternyata tahu banyak cara how to seduce a girl. Lebih jago dari aku, malah.
Mama? Mungkin bisa dibilang berkah Ramadhan, atau mama memang sudah menyerah untuk memaksaku memilih Daniel atau keluarga. Kemarin, pas aku dan Daniel ke Bandung untuk bertemu Sophia, mama telepon supaya Daniel diajak merayakan malam takbiran di rumah kami. Mama juga mengajak Sophia, namun Sophia harus terbang ke Belanda untuk mengurusi beberapa bisnisnya. Walaupun kata Daniel, mamanya itu ke Belanda karena ingin bertemu kekasih barunya. Atau, menghindar dari pertanyaan Daniel. Dan disinilah kita semua berkumpul. Mama bersikap sama seperti sebelum dia melihatku dan Daniel berciuman beberapa bulan yang lalu itu. Hangat. Semoga ini bukan trik baru mama lagi, aku capek sungguh.
“Aku gak mau ketupatnya, mau sate kambingnya aja.” Daniel, memprotes ketika aku akan membuka dan memotong ketupat baru.
Di sampingnya, Fadil ikut membeo, “Fadil juga enggak mau ketupat!”
Aku menggelengkan kepalaku perlahan. Ini nih, setiap Daniel berada di radius yang sangat dekat dengan Fadil, pasti Fadil akan mulai bertingkah. Papa hanya tersenyum ringan.
“Pakai nasi tapi ya?” Aku membujuk.
“Bang Daniel pake nasi?” Fadil malah bertanya pada Daniel, Daniel menggeleng. Lalu Fadil ikut-ikutan menggeleng. Agaknya, posisiku sebagai kakak sudah tergantikan. Ingatkan aku untuk mencekik leher si ganteng nanti. Mencekik dengan cinta.
“Pa, Ma, Kemal keluar sebentar ya? Nanti Kemal bakalan nginep di rumahnya Andi.”
“Emang mau kemana sih?” Mama, selalu mengkhawatirkan anaknya. Walaupun Kemal sekarang sudah beranjak besar. Tahun depan dia sudah akan masuk SMA.
“Biasa mah, keliling sama anak-anak yang lain. Oke Ma?” Kemal memeluk Mama, toss dengan Daniel, mencium tangan Papa dan tanganku, menguyel-uyel rambut Fadil sebelum kemudian hilang dari balik pintu.
“Kalian berdua? Gak ikutan jalan-jalan keluar?” Tanya Papa, lebih ditujukan untukku dan Daniel.
Daniel meletakkan tusuk sate yang jelas sudah tidak tersisa daging sedikitpun di kayunya, “Emang biasanya ada apaan, om?”
Aku melap bibir Daniel yang belepotan kecap bumbu sate. Kebiasaan makannya yang berantakkan kayaknya bakal ampe tua ini. Kemudian melap bibir Fadil juga.
“Biasanya sih bakal ada kembang api, arak-arakkan ondel-ondel, rame lho Dan.” Daniel langsung menatapku bersemangat. Papa, sepertinya aku harus memberitahu beliau, walaupun Daniel dan Fadil berbeda usia, tingkah mereka tidak berbeda jauh. Jadi . . .
“Fadil juga ikut!!” Sudah aku duga.
“Nah, tunggu apa lagi?” Tanya Daniel sambil berjalan ke arah pintu keluar.
Aku menarik nafas panjang. Ingin rasanya aku berteriak pada Papa keras-keras. Sepertinya, Papa menggunakanku dan Daniel agar bisa berduaan saja dengan Mama.
“Oke,” Aku meletakkan lapku ke meja sebelum akhirnya berjalan ke pintu. Daniel dan Fadil sudah berada di luar, saking semangatnya.
“Mah, aku keluar sebentar.”
“Oke, hati-hati ya Ki.”
Aku keluar pintu dan mengikuti mereka berdua yang seperti anak kecil pergi ke pasar malam untuk pertama kalinya. Jadi keingat kejadian dulu sewaktu di Semarang. Daniel yang merengek minta ditemani ke pantai. Walau ternyata pantainya jelek.
“Ah capek, beli McFlurry yuk Ki?” Daniel berkata, lima menit setelah kita melihat kembang api, dan beberapa anak muda yang sedang bermain petasan.
“Aah, Fadil juga mau.” Fadil, lagi-lagi membeo dari dalam gendongan Daniel.
“Dasar tukang fotocopy!” Kataku sebelum akhirnya merangkul Daniel. “Di dekat sini ada McD kok.” Lanjutku.
***

“Ini pertama kalinya aku tidur di kamarmu Ki.” Aku yang baru saja masuk kamar karena baru beres mandi, menoleh ke arah Daniel, keheranan.
“Kenapa emangnya?”
“Design kamarmu ini loh, kaku banget!” Daniel tertawa ringan sambil bangkit dan turun dari ranjang. Dia berjalan dengan santai ke arahku. Lalu membawaku ke dalam pelukannya. Daniel hanya memakai boxer pendek, kalau kalian ingin tahu dan penasaran. “Perut kamu makin keras ya?” Daniel membisikkan kata-kata itu di telingaku. Bulu-bulu di sekitar tengkukku langsung bergidik. Aku memacarinya lebih dari satu tahun, kita berpelukan sudah tidak terhitung jumlahnya, berhungan seks pun, sebentar, biasanya tiga kali seminggu. Pernah seminggu non stop –Tapi, tak aku hitung disini-, dikali 4 kali ada 12. Lalu dikali 13, uumm, kita berhubungan seks sudah 156 kali. Benar tidak matematikaku? Well, pasti lebih sih jumlahnya. Bisa dua kali lipat kalau yang di mobil juga dihitung.
Ngelantur! Intinya, jantungku masih seperti perawan, yang baru saja disentuh oleh lelaki yang dicintainya untuk pertama kali. Lucu!
“Aku kangen, Ki.” Makna kangennya Daniel disini, bukan kangen karna kita sudah lama tidak bertemu. Bukan itu, kangennya disini, dia ingin berhungan seks denganku. Sangat jelas terdengar dari nada manjanya.
“Iya.” Jawabku singkat, sambil melepaskan diri dari pelukan Daniel dan menuju lemariku.
Daniel menatapku bingung, sebelum akhirnya dia melepaskan boxernya. Nah, kalau aku sudah berhubungan seks 156 kali, bisa saja lebih, aku sudah melihat Daniel telanjang bulat, mungkin di kali tiga dari 156. Angka aktualnya mungkin bisa lebih dari itu.
Tetap saja, ketika aku menoleh dan melihat titit tidak disunatnya yang menggelantung indah, jantungku berdegup tiga kali lebih cepat. “Pakai boxermu, ganteng. Aku gak bisa.”
“Kamu impoten, sekarang?” Daniel menggembungkan pipinya. Bagaimana bisa dia masih terlihat seperti anak belasan tahun? Tidakkah dia menua? Atau dia vampir? “Aku kangen Ki!!” katanya lagi, kali ini dengan nada merajuk.
“Besok aku harus sholat Ied, sayang. Please? Ngerti ya? Besok itu Idul Fitri, bukannya aku enggak pengen juga,” Aku melirik tititnya, lalu menghela nafas. Menenangkan diriku dan juniorku dibawah sana. “Tapi aku pengen beneran fitri di hari yang Fitri, ngerti ya?” Mungkin Daniel tidak paham bahasaku. Lagipula, kesannya aku seperti sedang membujuk anak kecil.
Daniel menatapku sebentar sebelum akhirnya memakai boxernya kembali. Sepertinya dia ngambek.
Aku menyusulnya berbaring diatas ranjang selepas selesai memakai celana pendek dan kaos. Aku memeluknya dari belakang, karena dia memunggungiku. Aku mengelus dan membelai rambutnya. Rambutnya yang sudah dia pangkat pendek. Aku menciumi kepalanya berkali-kali. Ingin menunjukkan, rasa sayangku yang tidak terhingga padanya. Daniel memang tidak bersuara, namun dia semakin merapatkan tubuhnya padaku. Ya Tuhan, aku mencintainya. Sudah masuk dalam fase lebay alay se alay-alaynya.
Aku mendengar dengkuran halus sesekali keluar dari bibir Daniel, “I love you.” Bisikku di telinganya.
***

“Aduh, Uki, tambah gagah ya sekarang.” Aku yang baru saja masuk kedalam dapur, melongo bingung. “Dulu itu ya, kamu masih kecil banget lho! Udah lama ya gak ketemu tante?” Someone lightning me, please.
Aah, doaku langsung dijamah Tuhan. “Ki, ini lho Tante Anes. Inget gak? Pasti gak inget lho ya. Baru pulang dari Amerika lho tante Anes ini.” Mamaku masuk kedalam dapur. Sebenarnya, aku ke dapur ingin mengambil makanan untuk si ganteng. Tadi, sewaktu aku berangkat sholad Ied, dia masih tertidur pulas, dan aku yakin dia masih belum bangun juga sekarang.
Aku tersenyum tidak jelas, karena gambaran tante Anes ini sama sekali tidak ada dalam memori otakku.
“Tante Anes gak dateng sendiri lho, dia bareng sama anaknya Ki, anak lelakinya.”
“Ponakkan, jeung!” Potong tante Anes cepat. “Aku mah masih single.” Disambung dengan tertawa ala sosialita.
Mama menatapku sebentar, seperti ada keraguan, “Daniel mana Ki? Kok belum kelihatan?”
“Masih tidur kayaknya Ma,”
“Bangunin dong, kita sarapan bareng!”
Aku dengan perasaan linglung langsung menuju kamarku. Dugaanku salah, ternyata si ganteng sudah beres mandi. Handuk masih melilit di pinggangnya. Rambutnya basah. Dia memakai sabunku, dan juga shampoku. Aku tersenyum sendiri, entahlah, hal-hal kecil ketika Daniel memakai handukku, atau sikat gigiku –sangat sering- aku merasa kalau ada bagian dalam diriku yang menyatu dengan bagian tubuhnya. Sudah kubilang kan? Jatuh cintaku masuk dalam tahap lebay alay se alay-alaynya.
“Cepet pakai baju gih, kita sarapan bareng.” Aku berkata sambil memeluknya dari belakang.
Daniel mengangguk, namun tangannya masih sibuk dengan handphonenya. “Aku tunggu di meja makan ya?”
“Iya, sayang.” Jawabnya singkat.
Saat aku masuk kedalam ruang makan, pandanganku tertumbuk pada sesosok pemuda jangkung berambut pirang, bermata hijau. Agaknya, dialah keponakan tante Anes. Dia bukan bule kok, hanya rambutnya di cat dan matanya, aku tidak bisa bilang itu asli atau memakai softlens. Tebakanku sih softlens. Wajahnya saja Asia banget.
“Ini Anton, keponakkan tante.”
Anton tersenyum padaku, senyum ramah, basa-basi, demi kesopanan. Bukan jenis senyum menggoda atau bagaimana. Aku tidak pernah diberi senyuman menggoda. Oleh Daniel, sesekali, namun oleh orang asing? Belum pernah. Tidak seperti si ganteng, dimana-mana selalu ada orang yang curi-curi pandang ke arahnya. Yang nekad malah ngajak kenalan dan seperti kataku tadi, memberikan senyuman menggoda, senyuman kode. Memang beda level sih, tingkat kegantengan dan keseksiannya. Tapi kan dia milikku.
“Gue Uki.” Kataku singkat. Sedikit senyum kesopanan juga.
Tante Anes baru saja akan membuka mulutnya lagi ketika dia mendadak terdiam. Terdiam namun masih dengan mulut terbuka. Aku menoleh ke belakang dan melihat Daniel berjalan santai lalu kemudian duduk disampingku. Dia memakai jenis kaos yang lengannya buntung dan putingnya bisa ngintip kemana-mana itu. Ada tulisan di depan kaos buntungnya, “Bitch, I Love My Hubby.” Dan senyumku langsung terkembang.
“Ini siapa Ki?” Tanya tante Anes setelah bisa menguasai keadaan. Keadaan dirinya sendiri yang linglung karena melihat cowok ganteng muscle dengan baju setengah terbuka. Aku mulai tidak suka dengan baju-baju pilihan Daniel ini.
“Daniel, teman satu kantornya Uki.” Mama muncul dari dapur membawa mangkok lumayan besar sambil tersenyum. Mama jelas-jelas tidak ingin aku buka mulut. Padahal aku baru saja ingin mengatakan, Daniel, pacar saya tante. Begitu. Apa-apaan dengan sebutan ‘teman kantor’? Namun, seperti biasa, aku hanya bisa diam.
“Aduh, ganteng pisan.” Tante Anes blingsatan seperti cacing kepanasan. Aku melirik Anton yang duduk disampingnya. Bertingkah sama. Sedangkan Danielnya cuek-cuek saja. Dia sibuk memainkan handphonenya.
“Bang Daniel, Fadil minta pangku dong.” Daniel meletakkan Iphonenya ke atas meja sebelum meraih Fadil dan memangkunya. Beberapa kali gerakan tangan Fadil membuat kaos yang dipake Daniel tersingkap dan membuat puting merah jambunya mengintip. Aku bersumpah, aku seperti melihat Anton meneteskan air liurnya.
“Wah, sarapannya rame ini.” Papa masuk ke ruang makan dan ikut bergabung. Mama masih sibuk di dapur.
“And hot.” Bisik tante Anes, pelan, namun aku masih bisa mendengarnya.
Akhirnya, setelah semua hidangan disiapkan oleh Mama, yang melarang aku untuk membantunya tadi, kita mulai sarapan ‘rame dan hot’ ini. Aku bisa melihat tangan tante Anes dan Anton yang sepertinya gatel ingin melap bibir Daniel yang belepotan. Atau bibirnya Fadil? Karena pada dasarnya mereka berdua sangat mirip saat makan. Beberapa kali aku menyuapi Fadil, sesekali menyuapi Daniel. Gesture sederhana, namun aku yakin Anton menyadarinya. Hubunganku dengan Daniel. Aku memang ingin menunjukkannya, karena aku yakin Anton juga gay. Mana ada cowok straight, memakai softlens berwarna hijau?
Danielnya sendiri sih masa bodoh. Dia sibuk makan.
“Anton ini calon dokter lho Dan.” Mama, tiba-tiba mengeluarkan suaranya. Aku heran, untungnya apa memberitahu Daniel kalau Anton ini calon dokter?
“Aaah tante, baru juga mulai kok, kuliahnya.” Ooh, masih bocah ingusan. Seriusan ya, aku ingin sekali menyumpal mulut Anton yang seperti serigala kelaparan melhat Daniel. Matanya dipenuhi nafsu.
“Dokter? Emang berani lihat darah?” Daniel nyeplos begitu saja. Masih sambil makan. Puding yang jadi korbannya sekarang. Aku tidak habis pikir dengan kebutuhan perutnya yang luar biasa itu, tapi masih bisa tampil fit dan seksi. Kemana semua makanan yang dia konsumsi? Kenapa tidak jadi lemak? Yeah, meskipun dia sharing dengan Fadil.
“Bukan masalah kecil, bahkan setelah kuliah gue selesai, gue pengen ambil spesialis bedah jantung.” Ada kesombongan yang enggak bisa disembunyikan disana.
Daniel menatap Anton dengan seksama. Mengamati apakah banci tampil ini bakalan sanggup membedah jantung seseorang. Wait, aku masih pasang tampang ramah kok. Hanya pikiranku saja yang berkecamuk ingin nyekik lehernya Anton.
“Good luck.” Daniel tersenyum, membuat Anton langsung ke ge eran, “Moga aja pasiennya tenang disana dan gak balas dendam ke elo ntarnya pas ketemu di alam baka.” Tuh kan, andai saja Tuhan, mulutku bisa setajam mulutnya Daniel.
Aku bisa mendengar gumaman tante Anes yang berkata, “Pedes amat bibirnya, untung gantengnya di atas rata-rata.”
Dan aku tersenyum samar. Dulu, sebelum aku pacaran dengan Daniel, aku juga kurang menyukainya. Bibirnya itu bisa bikin mati berdiri saking tajamnya. Tapi sejak aku menjadi pacarnya, aku baru tahu kalau bibirnya juga bisa memberikan kenikmatan tiada tara.
***

Joshua Daniel Pradipta
Aku sibuk dengan ponselku. Chating dengan Jordan, mencari tahu informasi sebanyak mungkin tentang ayahnya. Aku tidak mungkin menanyakannya pada Mamaku, kemarin aku ingin mencoba, tapi ketika tahu Mama sedang bahagia karena telah menemukan cintanya kembali. Iya, mamaku kasmaran lagi. Puber season dua kali. Dan aku tidak ingin merusak kebahagian mamaku. Jadi, aku belum membahasnya sama sekali dengan Mamaku.
“Sayang, beneran kamu mau balik ke apartment?”
Aku menoleh ke arah Uki dan tersenyum lalu mengangguk pelan. “Kamu kan perlu silahturahmi ke tempat saudara-saudara kamu Ki. Aku malas ikutan, mending tidur.”
“Oke, ntar aku pulangnya agak sorean, biar bisa masakkin dinner buat kamu.”
“Thank you.” Kataku sambil fokus kembali ke handphoneku.
Uki hanya mengantarku sampai di pinggir jalan. Repot kalau harus masuk juga. Aku mencium bibirnya lembut, sebelum akhirnya turun dari mobil. Aku menunggu hingga mobil Uki hilang dari pandanganku.
Pandangaku terpaku pada sosok yang sekarang tengah berdiri karena melihat kedatanganku. “Gue kira lo pulang ke Bandung, gue tungguin lo agak lama, udah hampir pulang malah. Untung gue agak bersabar.”
Aku masih hapal wajah dan suara renyahnya. “ Hendri.” Aku menulusuri penampilannya yang hanya mengenakan celana jeans, kaos dan sepatu kets. “Lo gak lebaran?” Tanyaku.
Hendri menggeleng, “Enggak, lagipula gak ada saudara juga yang bisa gue kunjungi.”
Aku masih terpaku di tempatku. Hanya tidak menyangka jika Hendri bisa berada disini. Maksutku, kita sudah tidak bertemu dalam kurun waktu yang cukup lama. Dan tiba-tiba dia show up disini.
“Gue ganggu waktu lo gak? Kalau iya, gue bisa balik.”
Aku menggeleng pelan. “Enggak.”
Hendri mengikutiku dalam diam, aku sama sekali tidak tahu tujuannya datang kemari.
Aku masuk dan melempar tubuhku diatas sofa di depan televisi. Hendri masih berdiri di hadapanku, mengamati apartmentku dengan cermat. “Apartment lo rapi ya? Gue kira bakal berantakkan atau seenggaknya ada kolor nangkring di sofa.”
“Dulu, iya! Tapi sejak Uki tinggal disini, dia selalu memastikan kalau semua barang akan berada di tempat dimana mereka seharusnya berada.” Aku menoleh kearah Hendri, “Gue gak pernah pakai kolor kalau sedang berada didalam rumah.”
“Dan jangan karena ada gue, lo jadi sungkan. Biasa saja Dan.”
Aku tertawa sebentar, “Kalau gue tahu lo ini straight, gue bakalan biasa saja. Tapi karena lo gay, dan temen bobo lo yang banyaknya sama persis dengan warga Kampung Pulo, gue mesti sedikit lebih berhati-hati. Gue ganti baju dulu ya.”
Hendri tersenyum, “Ok.”
“Kalau lo mau minuman dingin atau juice something, ambil aja di kulkas. Well, jangan anggap rumah sendiri ya? Tahu sopan santunlah.”
Hendri tertawa, “I’ll do kok Dan.”
***

Hendri Subakti
Mata gue agak panas melihat foto Daniel dan Uki yang terpajang di dinding, di samping tv dan juga di depan pintu kulkas. Gue melihatnya tadi sewaktu mau mengambil minuman dingin.
Betapa beruntungnya itu cowok bisa memliki cowok seperti Daniel.
Gue menelan ludah dengan agak susah ketika Daniel keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah gue. Dia memakai singlet berwarna putih, dan celana pendek diatas lutut. Gue menebak, dia tidak memakai celana dalam. Bayangan penisnya sedikit tecetak jelas di celana pendeknya.
“Dari banyaknya minuman didalam kulkas, lo milih air putih?” Daniel bersidekap, lalu menggelengkan kepalanya.
“Kata lo, gue gak boleh seperti di rumah sendiri?”
Daniel tertawa, “Yeah, you should not.”
Dia berjalan menuju kulkas, sedikit nungging dan membuat penis gue ereksi seketika. Gue harus akui, mungkin Daniel adalah lelaki tampan dengan bokong terindah diatas bumi. Bukan tipe bokong besar model Kim K. Tapi bokong yang penuh melekuk dengan indah. Bukan kesamping, tapi lekuknya ke belakang. Menonjol, menantang untuk gue remas-remas. Pasti putih mulus seperti warna kulit yang tidak tertutupi baju itu. Atau mungkin lebih putih?
“Lo ngapain main kesini?” Tanya Daniel to the point. Gue belajar sesuatu, untuk mendapatkan tipe cowok seperti Daniel ini, lo juga mesti cablak dan blak-blakkan seperti dia.
“Kangen aja sama lo.” Jawabku singkat. Daniel hanya tertawa ringan sambil duduk di sofa, disamping sofa yang sedang gue dudukki. Kalau kakinya ngangkang, bakal ada kesempatan gue ngelihat kontolnya ngintip. Yah, semoga saja kesempatan itu ada ntar. Hahha.
Daniel menyesap minumannya sebentar, “Lo masih berhubungan sama Jordan?”
Gue, terkejut sebentar. Gue enggak tahu darimana Daniel tahu tentang Jordan, tapi agaknya Jakarta memang tidak seluas yang orang bilang. “Gue udah enggak bareng dia Dan, gue kan nungguin lo.”
Daniel menatap gue dengan pandangan menilai sebelum akhirnya fokus kembali ke handphonenya. “Nungguin gue sambil ngentotin Rasjid? Atau Ngentotin Rasjid sambil nungguin gue?” Daniel meletakkan Iphone 6 nya. “Lo ngejar gue itu karena lo penasaran sama gue. Setelah lo bisa boboin gue, lo bakalan nglepeh gue. Titik, ending deh.”
“Lo itu spesial Dan.”
“Is that what you told to all your victims?” Gue terkekeh sebentar mendengar nada sarkas dalam suara Daniel. Alasan kenapa Daniel tidak mudah ditaklukkan karena dia biasa menaklukkan. Jadi, jika dia tidak tertarik dengan buruannya, semenarik apapun buruannya, Daniel tidak akan memburu. Itulah hasil observasiku selama ini. Uki, contohnya! Daniel belum pernah menaklukkan yang tipe-tipe seperti Uki, makanya Daniel terobsesi untuk memburunya. Agak surprised hubungan mereka berjalan satu tahun lebih. Nah, satu hal yang harus aku lakukan adalah, menjadikan diriku sendiri mangsa yang ingin diburu Daniel. That’s it!!
Masalahnya, jika gue menjadi diri gue sendiri kecil kemungkinannya Daniel bakalan tertarik sama gue. Dia pasti udah sering ngeburu tipe buaya darat macam gue. Jadi, gue harus nyari tahu, tipe mana yang belum pernah diburu oleh Daniel.
“Mau makan Dan? Dibawah tadi gue lihat ada yang jual siomay. Di pinggir jalan sih.”
Daniel menatap gue, agak lama. “Oke, lapar juga ini gue.”
Dan dia keluar masih dengan singlet putih dan celana pendeknya. Dia sengaja atau bagaimana sih?
***

Uki Bagus Walantaga
“How yours day?” Daniel menanyakkannya sambil merebahkan kepalanya di dadaku. Kita berdua tengah menonton The Lord of The Rings. Bagian pertama, dimana aku menemukan fakta bahwa Cate Blanchett tidaklah begitu cantik namun mempunyai kharisma tersendiri.
“Awfull, yours?” Tanyaku balik.
Daniel meraih tanganku untuk memeluk pinggangnya, “Same.”
Aku menelusupkan tanganku kedalam kaos yang dipakai Daniel, “Tell me.”
Daniel, menggesek-gesekkan kepalanya di dadaku. Seperti kucing, apa ya istilahnya, uum, ndusel. Begitulah.
“This is feel wrong?” Daniel bergumam pelan. Namun aku masih bisa mendengarnya. “This is feel wrong?” Ulangnya sekali lagi.
“This entire time, I am completly in love with you. And I felt my love for you, was real.”
“It’s real, ganteng.”
“It isn’t, Uki. I am not a good guy, remember? I am selfish, keras kepala, selalu pengen menang sendiri. With me, you have no future Ki.” Aku menghela nafas panjang. Pasti ada sesuatu. Enggak mungkin si ganteng tiba-tiba ngajak berantem gini kalau enggak ada pemicunya.
“Your mother sent me this.” Daniel menyerahkan iPhonenya. Disitu ada obrolan Daniel dan mama dalam whatsapp. Dan ada foto Anton shirtless. Aku menggeram pelan.
Daniel bangkit berdiri, mondar-mandir sebentar. “You are not gay, Uki. I am gay. I am not do the right things selama ini, now I have to do, but you. I am bad for you, Uki Bagus Walantaga.”
“Aku ngerti.” Ucapku pelan. Masih sedikit terkejut, ternyata itu rencana Mama. Seharusnya aku curiga kenapa bisa ada Anton tadi pagi di rumah yang tanpa mengaktifkan gay radar, semua orang akan tahu kalau dia gay. Aku tak habis pikir, mamaku bisa melakukan hal itu. Mungkin beliau tahu kalau aku tak pernah bakal bisa meninggalkan Daniel, sekarang dia menyerang Daniel supaya meninggalkanku. Well done, Mom. But you will fail again.
“And why you’re still here?”
“Because I love you, Daniel Pradipta. Mungkin aku bukan tipe cowok yang bisa dapetin semua cewek, atau semua gay bakal netesin air liurnya kalau ngeliat aku telanjang. But, I made my choice, 13 month ago that I choosed you. And I stand with my choice.”
“Kamu gak bakalan ngerti rasanya deg-degan sebagai seorang ayah nungguin istrinya melahirkan. Gak ngerti rasanya ngadepin istri yang ngidam aneh-aneh biar anakmu enggak gumoh.”
“Aku tanggung resikonya.”
“Gimana kalau suatu saat aku bosan sama kamu trus aku ninggalin kamu?”
“Will you do that?”
“I have no idea, Ki! Siapa sih yang bisa ngejamin masa depan kita bakalan kayak gimana? Seenggaknya kalau kamu nikah sama perempuan, bakal ada pemikiran ulang, pengadilan panjang, hak asuh anak. With me? Nothing.”
“Udah aku bilang, aku tanggung resikonya.”
“You have no idea what you into for, honey.”
“You sound like my Mom,” Aku menahan emosiku. Emosi untuk ibuku, bukan untuk Daniel, heran apa saja yang sudah ibuku katakan pada Daniel di balik punggungku, “Apa kamu pikir kalau aku pisah dari kamu, ninggalin kamu sekarang, aku bakal seneng? Kamu pikir, aku bakalan ecxited nungguin istriku melahirkan sementara yang aku pikirin adalah kamu? Do you still love me?”
“I love you, it’s hurt.”
“Kalau gitu, jangan bahas ini lagi ya sayang? Karena kalaupun suatu saat kamu ninggalin aku karena kamu jatuh cinta dengan orang lain, aku akan berusaha ikhlas. Tapi aku gak bakal cari pengganti kamu, baik laki-laki maupun perempuan.”
Daniel terhenyak sebentar sebelum akhirnya jatuh ke pelukanku. “I am just thinking what your Mom said to me, Ki.”
Aku mengelus kepalanya dengan sayang.
“Aku gak bisa ngasih kamu banyak hal, Ki.”
“You already gave me everything Dan.” Sesuatu petualangan yang bahkan belum pernah aku bayangkan sebelumnya. And I thank for it.
Tiba-tiba Daniel tergelak, “Well, dari sekian banyak cowok ganteng diluar sana, kenapa mamamu memilih Anton? I mean, I can guarantee, that he’s a bottom!! Not my type, at all.”
“Aku juga dulu bukan tipe kamu, ya kan?” Aku nyeletuk.
Daniel termangu sebentar, “Iya juga ya.”
Aku semakin mengeratkan pelukanku. Aku memang bukan pure gay, aku masih bisa ereksi kok kalau ngelihat teteknya Jupe. Berbeda dengan Daniel dan Evan yang sibuk ngomentarin bajunya Jupe, bukan malah fokus sama belahan dadanya. Iya, aku berbeda dengan Daniel. Tapi aku mencintainya, aku bisa jamin yang itu.
Jika aku bisa mengabaikan perintah agamaku sejauh ini, kenapa aku tidak bisa mengabaikan perintah ibuku juga? Persetan dengan neraka. Biarlah aku di neraka asal bersama Daniel. Aah, nah kan! Cintaku memang tengah berada di level lebay alay sealay-alaynya.

Bersambung . . .