Aku ingin sekali berkata bahwa aku juga
merindukannya. Namun sepertinya
mulutku tidak bisa di ajak bekerjasama. Aku terlalu gengsi dan lagi pula aku masih
belum lupa kejadian tempo dulu itu. Aku
tidak pernah mencari tahu siapa sebenarnya Felix, walaupun aku sangat penasaran
sekali dengannya. Dimana Denny dan
Felix saling mengenal. Benarkah
Felix lebih dulu berpacaran dengan Denny sebelum aku. Aku penasaran.
“kamu masih ingat Felix?” aku mendongak
menatap wajahnya sebelum akhirnya mengangguk.
“aku tahu, aku nggak layak lagi untuk
mendapatkan kesempatan kedua. Aku surprised banget waktu tadi kamu telepon aku.
Aku nggak mencintai Felix Gan .Felix
sakit.” Denny menarik
nafas panjang sebelum akhirnya membuka mulutnya lagi.
“dia sudah meninggal sebulan yang lalu. Aku
menemaninya, aku ingin dia bahagia di saat-saat terakhir.” Aku menggeleng pelan. Jadi Felix sakit? Dan untuk karena itu, Denny berpacaran
dengannya? Kenapa dia tidak
pernah bilang dari dulu? Kenapa
baru sekarang?
“kenapa baru sekarang?”
“aku nggak mau ganggu hubungan kamu sama
Radit. Lagipula, Felix
mengawasiku lewat Tantra.”
Hhah? Keningku sukses
berkerut dalam. Hubunganku dengan
Radit? Apa maksutnya? Hei, aku dan Radit hanya bersahabat. Tidakkah semua orang tahu itu?
“nggak usah beralibi. Aku dan Radit Cuma
bersahabat. Jangan bawa-bawa Radit dalam. . .” Aku memijat pelipisku. “masalah
ini, okay? Lagipula, sepertinya sudah cukup terlambat sekarang kalau kamu minta
aku untuk jadi pacar kamu lagi.” Lanjutku
kemudian.
“karena sudah ada Radit di hati kamu?” aku
memutar kedua bola mataku. Demi Tuhan! Radit hanya sahabatku!
“darimana kamu ambil kesimpulan seperti itu? Aku dan Radit hanya berteman? Tidakkah jelas?
Just Friend! No more!” Denny malah tersenyum mendengar penjelasanku yang
sedikit berapi-api.
“kamu belom menyadarinya.” Aku sudah akan
membantah lagi ucapannya, namun ternyata pesanan ayam bakar kita sudah datang.
Aku langsung mengalihkan perhatianku pada ayam bakarku. Aku butuh makan! Aku
emosi! Enak saja, menuduhku sudah jatuh cinta pada Radit! Tidakkah Denny sadar bahwa aku masih sangat
mencintainya? Tidakkah dia bisa
lihat dari kedua bola mataku yang masih saja memujanya? Kalau dia memang tidak mau mengajakku
balikan, seenggaknya dia tidak usah membawa-bawa Radit kedalam masalah ini. Seberapa banyak tadi aku
menggunakan kata tidakkah?
“kalau boleh jujur, aku menikmati dinner
malam ini sama kamu. Badan kamu sekarang makin isi ya?” aku hanya tersenyum
garing. Lima bulan ini
aku memang nge gym rutin. Bersama
Radit tentunya. Masih aku hapal betul saat pertama kali kita nge gym bareng,
kita berdua seperti anak kampung masuk kota. Sama sekali nggak tahu ini alat
buat apaan. Bahkan
mengoperasikan threadmill pun kita gugup setengah mati. Aku tertawa sendiri membayangkan saat-saat
itu.
Aku juga masih ingat, saat pertama kali guru
privat kita, Mas Andi datang. Aku
dan Radit heboh sendiri. Mas
Andi itu wajahnya ganteng banget, jadi waktu aku dan Radit pertama kali
mengikuti les privat kita, kita malah sibuk godain Mas Andi. Bahkan sampai sekarang, kita masih sering
godain Mas Andi.
“ada yang lucu ya?” tanya Denny pelan.
Lamunanku buyar. Aku tersenyum
tipis.
“nggak, oya apa kabar orang tua kamu?” aku
berusaha mengalihkan topic pembicaraan.
“baek, sering banget nanyain kenapa kamu
nggak pernah maen ke rumah lagi.”
“kapan-kapan deh aku kesana. Si Lita apa
kabar? Masih suka ngompol?”
“hhaha, makin parah! Padahal kemaren pusernya
uda digigit capung. Masih aja tu anak
ngompol tiap malam.” Aku tertawa pelan
masih sambil menggigiti ayam bakarku. Lita
itu adalah adik bungsu Denny. Mereka
tiga bersaudara. Denny Prayoga,
Andito Arseno dan Marlita Anggraini. Lita
ini sudah tujuh tahun, tapi masih hobi banget ngompol. Sedangkan kalau Dito
cerewetnya bukan main. Beda sekali dengan Denny yang pendiem.Tiga anak, tiga
macam sifat. Dulu, aku selalu
menikmati saat-saat Denny membawaku maen ke rumahnya. Karena selain halaman rumahnya yang ditumbuhi
pohon mangga dan rambutan dan itu membuat rumah Denny selalu sejuk. Rumah Denny juga sangat ramai. Aku suka sekali suasana itu. Berbeda sekali dengan suasana di rumahku. Aku anak tunggal. Satu-satunya. Dan itu membuat rumahku sepi. Aku tidak pernah kekurangan kasih sayang. Tidak, aku hanya merasa kesepian. Salahkah? Salah satu alasan juga kenapa aku jarang
sekali pulang kampung.
“hei, pulang yok? Udah malem.” Aku hanya mengangguk pelan. Setidaknya, aku tidak bakal omong kosong. Aku
pasti akan main ke rumah Denny kapan-kapan. Aku kangen banget suasana itu.
***
Aku masih terdiam di bangku ku walaupun bell
pulang sudah berbunyi 5 menit yang lalu. Radit tadi sudah bilang kalau dia nggak bisa
pulang bareng. Ada kegiatan rohis. Kalian nggak usah heran, karena tadinya aku
juga sempat syok setengah mati. Sahabatku itu, cowok yang kalau mamanya sedang
keluar kota suka menghabiskan waktunya dari satu club malam ke klub malam yang
lain, dan mungkin kalau masuk masjid akan terbakar, ternyata malah masuk
kegiatan keagamaan. Rohis pula! Aku sih memilih tidak ikut. Karena jujur, aku
pasti tidak akan menikmatinya. Bukan karena aku Islam KTP atau bagaimana, hanya
saja untuk kegiatan-kegiatan seperti itu aku belom siap. Sholat saja masih bolong-bolong. Dan aku yakin Radit mengikuti ekskul Rohis
juga pasti karena ada maksud tersembunyi. Oops, ampuni pikiran jahatku Tuhan.
Kelas sudah sepi. Hanya ada Tantra, Beno dan Elliot yang masih
didalam kelas. Wajar lah, udah lima belas menit sekarang dari waktu pulang.
Gawat, sumpah!
“Gan, gua duluan ya?” pamit Elliot. Aku hanya mengangguk sambil melambaikan
tanganku asal.
“Ell tunggu! Katanya lu mau minjemin gua
tugas lo!” sahut Tantra yang langsung mengejar Elliot yang sudah ada di depan
pintu. Aku hanya bisa tertunduk. Mati gua, mati!
“kenapa lo? Mau nginep?” sialan nih.
“nggak! Lagi iseng aja gua nungguin ampe
sekolahan bubar.” Jawabku asal
menanggapi pertanyaan Beno.
“bareng nggak?” tanya Beno lagi.
“mm. .” Aku menatap Beno yang kini duduk
disebelahku, lalu menunduk lagi. Aduh! Gimana ngomongnya ya?
“ada apa sih? Aneh banget tau nggak sih lo?
Gua tinggal ya?” aduh, jangan! Gawat, gawat.
“yah, jangan dong. Tega banget sih lu!”
jawabku langsung.
“makanya yok pulang!” aku hanya menggeleng
pelan. Malu banget.
“kenapa sih lo? Ngomong ada apa?”
“celana gua robek.” Kataku lirih. Yup!
Celanaku robek, gede banget pas bagian pantat. Mana lagi nggak pake boxer lagi langsung
sempak. Adududuh.
“serius? Seberapa gede?” aku tahu Beno
berusaha menahan tawa. Tuh anak ya! Dengan sedikit malu-malu aku berdiri dan
menghadap belakang. Begitu melihat bagian celanaku yang robek, Beno langsung
tertawa terbahak-bahak,
“lo tuh ya! Ada-ada aja! Mana gede banget
lagi. Kok bisa sih?”
“bisa nggak lu tunjukkin belasungkawa lu
dikit aja ke gua? Sial, parah banget tahu. Mana jalan ke parkiran kan mesti
nglewatin lapangan basket. Parkiran mana sepi jam segini!” Beno langsung
membekap mulutnya dengan tangan. Sebisa
mungkin menahan tawanya.
“trus gimana? Lagian lo juga nggak antisipasi
sih! Bawa jaket kek gitu!”
“jiah, mana gua tahu kalau celana gua mau robek
gini! Lagian panasnya kayak neraka bocor gini masa iya gua bawa jaket!” kataku
tambah panic.
“ck, tas lo ransel pula!” Beno geleng-geleng
kepala sambil berdecak.
Aku dan Beno sama-sama terdiam. Sama-sama bingung. Akhirnya Beno nyeletuk tanpa dosa.
“ya udah, kita terjang aja. Mau gimana lagi
coba?” mendengar usul Beno aku langsung menggeleng kuat-kuat.
“nggak setuju gua! Gila apa!? Anak-anak basket lagi pada ekskul gitu. Mana lapangan parkir pasti masih penuh lagi.”
“trus gimana? Mau nunggu malem dulu baru pulang? Elo juga sih nggak pake boxer segala!” ya
emang sih. Tapi mana tahu aku kalau celanaku bakal robek gede kayak gini? Mana
aku lagi pake sempak yang agak kummel lagi. Malu tingkat dewa, sumpah! Beno
meraih tasku dan mengendurkan talinya.
“nih pake! Udah mentok nih!” aku menerima
tasku dan memakainya langsung menghadap belakang.
“gimana Ben? Keliatan nggak?” tanyaku
harap-harap cemas.
“hmm, ngepas banget sih! Udah lah nggak papa. Gua nutupin lo dari belakang.” Kata Beno sambil mendorong tubuhku untuk
berjalan duluan. Kita berdua berjalan persis kayak anak TK mau maen
kereta-keretaan!
“sorry ya Ben, hari ini gua jadi ngrepotin
lo.” Ucapku pelan.
“kelewatan lo mah!” Beno geleng-geleng
kepala.
“emang baru kali ini doang lo ngrepotin gua?”
ucap Beno selanjutnya. Iya, aku sadar semenjak kejadian buku paket PKn itu, aku
memang jadi lebih sering bergantung kepada Beno daripada Radit. Apalagi Radit makin sibuk dengan agenda
Rohisnya. Secara, nanti
pada saat classmeeting mereka bakal tampil. Aku kan tidak ikut eksul apa-apa.
Biasa, penyakit anak malas.
Koridor yang kita telusuri sudah lengang. Kelas-kelas juga sudah kosong. Waktu melewati lapangan basket pun kita aman
sentosa. Walaupun tadi
Denny sempat menyipitkan matanya melihatku yang berjalan dengan diiringi Beno
tepat dibelakangku.
Begitu sampai di lapangan parkir, Beno
melepaskan tangannya dari bahuku. Berusaha
bersikap biasa saja dan santai. Beno
sempat berbisik padaku agar aku rileks, supaya orang-orang tidak curiga ada
yang tidak beres denganku.
Tapi ini yang paling gawat, motor Beno itu
motor cowok. Saat naik ke
boncengan pasti ntar bolong di celananya kelihatan banget.
“buruan naek!” kata Beno tak sabar yang
melihatku hanya celingukan kanan kiri. Lalu dengan gaya cuek dan secepat kilat
aku langsung naek ke motor Beno. Tapi sepertinya usahaku kurang cepat.
“beuh, merah menyala oiy!” itu suara Ian.
Beuh! Ngapain sih tu anak belom pulang? Tanpa menghiraukan Ian yang sepertinya
mulai memberitahukan teman-teman yang lain bahwa hari ini aku mengenakan sempak
merah menyala dan agak kusam, Beno langsung tancap gas. Dalah hati, besok aku
pasti nggak akan sekolah! Mulut Ian kan ember!
***
Usai makan malam, aku langsung menghampiri
Radit yang tengah sibuk dengan kertas-kertas yang aku tidak tahu itu apa.
“Dit, gua besok nggak masuk sekolah ya? Gua malu banget tadi, sumpah!” Radit
mendongak, menatapku dengan tatapan tanda tanya.
“emang tadi kenapa?” tanyanya yang kembali
sibuk dengan kertas-kertas apalah itu. Aku
langsung menceritakan kejadian tadi siang pas aku pulang sekolah dengan
seksama. Tidak ada yang aku kurangi ataupun aku tambah-tambahin. Ceritaku diakhiri dengan tawa Radit yang
keras.
“jahat lu ya? Tega! Tawa lu itu lho.”
“ya lo nya juga. O’on banget sih! Kok bisa
gitu celana lo robek?” aku mendengus sebal.
“sial lu ya. Ya mana gua tahu? Kalau mau
apes, ya mana bisa kita nolak ya kan?” aku merebahkan diriku di ranjang.
“ya Dit? Besok lu kasih surat ijin gua buat
kaga sekolah? Ya? Ya?” rayuku
kemudian.
“okay deh. Ntar gua ngomong sama nyokap biar
dibuatin surat ijin buat lo. Tapi lusa lo masuk kan? Mau setahun lo nggak masuk
juga, anak-anak tetap bakalan ingat tau!”
“iya gua ngerti. Satu hari aja Dit. Thanks so
much ya?” Radit hanya mengangguk dan langsung kembali dengan kertas-kertas
sialan itu. Akhir-akhir ini,
Radit emang sibuk banget. Aku
juga nggak tahu kenapa dia mau repot-repot ikut ekskul yang jelas-jelas dulu
dia pernah bilang bahwa semua itu merepotkan.
Saat aku tengah asyik dengan novelku,
ponselku tiba-tiba bergetar. Melihat nama yang tertera di layar, aku langsung
melangkah keluar tanpa suara.
“Gan, lo besok masuk kan?” tanya Beno begitu
aku memencet tombol answer.
“apaan?”
“lo besok masuk kan? Nggak pura-pura sakit
atau ngumpet di rumah?” ulang Beno.
“kenapa lu ngomong gitu?” aku bertanya
takjub. Jangan-jangan nih anak punya indra ke enam nih!
“feeling aja. Kayaknya besok gua nggak bakal
bisa ngusilin lo.”
“iya sih. Besok rencananya gua nggak bakal
masuk. Satu hari aja
kok. Malu banget
tadi.” Kataku akhirnya
jujur dalam pengakuanku.
“bener kan feeling gua? Masuk dong Gan! Ya? Masuk ya?” aku tersenyum tipis. Dulu, mungkin
tidak akan ada obrolan seperti ini. Kenapa aku tiba-tiba merasa Beno perhatian
padaku ya? Jangan Gan! Ingat, Radit itu menyukai Beno!
“gua malu banget Ben! Sumpah!”
“kan tadi siang kita barengan. Jadi gua malu
juga lah.” Aku mengkerutkan
keningku. Kenapa Beno harus
malu? Aneh!
“yaaah, tapi kan. . .”
“pokoknya besok lo mesti kudu masuk! Atau gua
jemput? Gua jemput aja
ya? Ya?” kok jadi maksa ya? But wait! Kalau besok
Beno jemput aku, Radit gimana? Kalau
Radit lihat gimana? Aduh, memang sih
aku dan Beno hanya berteman. Aku
juga tidak ada keinginan buat ngegandeng Beno buat jadi bf, secara aku masih
yakin kalau dia straight. Tapi
bagaimana menurut Radit? Aku
dijemput Beno? BIG NO!
“gua bisa berangkat sendiri kok Ben.” Kataku
akhirnya.
“yakin? Gua jemput lah. Pokoknya
gua jemput.”
Klik.
Sambungan diputus. Gila ini anak! Sarap!
Kudisan!
“jadi bolos nggak nih besok?” Radit bertanya
sambil senyum menggoda. Lha, sejak kapan nih anak ada disini?
“nggak, hhehe.” Kataku sambil meringis. “ada
yang takut nggak bisa ngusilin gua besok.” Oops, ampun dah. Keceplosan!
Radit malah tersenyum, jenis senyum yang
seolah-olah dia tahu suatu rahasia yang sangat besar.
“Beno ya?” aku melihat mata Radit berbinar
iseng.
“hhehe.” Aku hanya bisa tersenyum garing.B ilang nggak ya kalau dia besok bakalan
jemput? Aduh!
“kalian kayak orang pacaran sekarang!
Kemana-mana berdua mulu!” aku tertegun mendengar ucapan Radit. Aku menatap wajahnya, namun aku tidak
mendapati wajah kecemburuan disana.
“idih! Siapa juga yang mau pacaran sama dia!
Lagian gua nggak mungkin ngrebut jatah temen!” kataku agak nggak ikhlas.
“sembako kali pake jatah-jatahan. Lagian
siapa bilang gua masih naksir Beno? Udah
ganti lagi.” Kata Radit sambil
lalu.
“hhah? Siapa Dit?” kataku penasaran. Radit sudah nggak naksir Beno lagi? Sejak kapan? Kok dia nggak pernah cerita ya? Ngefek ya kalau Radit
cerita?
“entar juga lo tau. Yang jelas anaknya bego
nggak ketulungan kalo soal cinta sama olahraga!” deg! Bego olahraga? Kan aku
banget tu. Hush! Nggak mungkin lah. Lagian
aku mah bukannya bego olahraga, tapi emang nggak bisa olahraga. Itu beda kan
ya?
Begitu Radit berlalu aku merasakan kesepian
yang luar biasa. Gelisah. Sangat gelisah. Aku mencoba untuk mengatur nafasku sepelan mungkin.Tarik
lewat hidung, dan lepaskan lewat mulut. Tidak berhasil! Aku masih saja gelisah.
Aku kembali ke kamar dan mencoba terlelap.
Gagal! Aku sama sekali tidak bisa menutup mataku. Bayangan Beno dan
keisengannya muncul begitu saja di kepalaku. Jangan! Jangan bilang aku mulai
naksir Beno! Jangan!
Besok Beno bakal menjemputku dan kita bakal
ke sekolah bareng untuk yang pertama kalinya. Sebenarnya Cuma itu sih. Tapi, kenapa aku gelisah banget ya? Oh ya,
besok aku mau pake seragam yang mana nih!
Aku meloncat dari ranjang dan langsung
membuka almari. Aku memilih
seragam terbaik yang aku punya. Padahal sebenarnya juga nggak beda jauh dari
tiga seragam lainnya. Aku menoleh kearah
rak sepatu. Mataku melotot,
kok sepetuku semuanya jelek ya?
“gila! Jadi selama ini gua ke sekolah pake
sepatu jelek gini? Kok gua nggak
pernah nyadar sih?!” desisku pada diri sendiri. Parah banget!
“ah, bodo amat sepatu gua jelek gini.
Pokoknya yang penting, besok gua harus keliatan cakep!” kataku mantap. Aku langsung ngibrit ke kamar mandi. Memperhatikan wajahku sendiri di cermin.
“kok muka gua kusem banget sih?” kataku
hopeless. Aku melirik masker wajah yang sering dipake oleh Radit. Hmm, minta dikit ah.
Akhirnya aku tiduran dengan wajah bermasker.
Pertama kali seumur hidup! Radit yang baru saja masuk kedalam kamar langsung
kaget. Dia hanya
geleng-geleng kepala melihatku yang terbalut masker dan ketimun yang aku
dapatkan tadi dari Mbok Parni yang aku iris bulat-bulat menutupi mataku. Biar
mataku fresh!
Namun tidak berapa lama setelah dari kamar
mandi, Radit langsung teriak.
“lu pake seberapa banyak sih masker gua Gan?
Tinggal separo gini! Padahal kemaren baru beli.”
Aku yang tengah berbaring langsung meringis.
“ya, biar langsung kerasa gitu efeknya. Wajah
gua kusem banget.Besok gua ganti deh.” Kataku
akhirnya. Selama ini aku
selalu menertawakan Radit yang rempong banget. Dia punya masker, punya facial foam dan tetek
bengek perawatan wajah lainnya. Ya tidak heran kalau wajah Radit mulus kayak
bayi. Perawatannya aja bejibun. Dulu, aku hanya sering pake facial foam,
deodorant, handbody sama parfum doang. Itupun belinya suka nitip Mbok Parni. Dulu lagi, sebelum aku ngekos di rumahnya
Radit, aku belinya malu-malu. Pasti
sambil beli detergen, sabun, dll. Biar
ketutupan gitu.
“lo pikir maskeran itu kayak operasi plastic?
Bisa langsung ketahuan gitu hasilnya? Aneh lo ya! Ada-ada aja! Kenapa sih lo?
Kayak perawan lagi jatuh cinta aja!”
“apa lu bilang? Jatuh cinta? Nggak ya! Gua
nggak lagi jatuh cinta!” kataku tegas. Walaupun
dalam hati aku mulai bertanya-tanya.
Sedang jatuh cintakah aku?
Yonathan Beno Wicaksono? BIG NO BANGET DEH!!
Ke chapter 10 ya?