Aku
berjalan pelan kedalam kelas dengan Beno dibelakangku. Aku sedikit was-was,
karena pasti Ian sudah menyebarkan event terakbar kemaren siang. Mendengar Beno
yang cekikikan dari tadi, aku pun menoleh dan melirik tajam ke arahnya. Satu yang aku heran, kenapa Beno
nggak komen tentang penampilanku ya? Wajahku
yang makin bersinar kek, karena semalem udah maskeran. Atau seragamku yang rapi banget
gitu.
“Do shut
up, please?” kataku dengan senyum seramah mungkin. Beno malah makin kenceng
ketawa. Susah
emang.
Aku
celingukan dan langsung duduk di bangkuku. Mudah-mudahan Ian belom nyebarin
berita kemaren siang atau kalau nggak Ian udah lupa sama kejadian kemarin itu.
Kejedot tembok kek, atau apa kek, biar dia amnesia. Tapi sepertinya itu
mustahil banget.
“Gan,
bener ini poto lo?” Elliot
yang baru aja dateng langsung nyodorin ponselnya ke arahku. Disitu, aku bisa
melihat dengan jelas, aku yang tengah mengangkat kakiku waktu akan bonceng
Beno. Sial, kenapa tu robekan jadi kayak gede banget ya? Beno yang sudah duduk dibelakangku
langsung menyambar ponsel Elliot. Dan
tawanya langsung meledak.
Ya. Ya. Ya. Ya.
Tertawalah
sepuas anda. Sumpah! Bisa gila aku!
“dapet
darimana Ell?” tanyaku panic.
“Ian,
semalem lewat MMS.” Ampun
dah. Tamat
sudah harga diriku. Dan
ternyata hampir semua anak cowok mendapat MMS dari Ian. Pertanyaannya adalah, kok bisa
sih angle nya tepat banget gitu? Walaupun itu foto dari belakang, dan wajahku
sama sekali tidak tampak tapi tetap saja, itu kan FOTOKU!
“cie cie
cie, Gani! Hot banget sih sempaknya! Merah uiy!” aku menoleh ke arah Tantra
yang duduk sebangku dengan Beno.
“thank
you. Mau lihat isi dalem sempaknya sekalian nggak?” kataku ramah. Seramah pramuniaga melayani
customer.
“hoek!
Najis!” aku melirik sebal sebelum akhirnya menghadap lagi ke depan.
Hari ini
aku sukses jadi gurauan anak-anak sekelas. Sepertinya mereka benar-benar
puas sudah menyiksaku. Tapi
emang sih, robeknya gede banget. Aku
juga heran. Robek
segitu gede kok aku nggak nyadar ya dimana kejadian pas robeknya. Beno juga tidak membantu, dia
malah asyik ikutan ngikik atau bahkan ketawa kalau ada yang sedang meledekku. Sial, aku termakan rayuannya
untuk masuk hari ini dan dia cuek banget gitu.
Untung
saja hari ini jam pelajaran full nggak ada yang kosong. Paling tidak, itu
sedikit membantuku. Membuat
anak-anak teralihkan untuk sementara waktu. Aku membereskan buku-bukuku sebelum
akhirnya memasukkannya ke dalam tas dan bersiap-siap mau pulang.
“Gan,
bareng gua atau bareng Beno nih?” teriak Radit yang udah didepan pintu. Aku melirik Beno sebentar dan dia
mengangguk.
“bareng
Beno gua. Hari ini gua nggak nge gym ya!” aku balas teriak. Radit mengangguk sebelum akhirnya
hilang ditelan koridor. Ngeri
banget ya ditelan koridor?
Hari ini
aku memang ingin menyelidiki Radit. Dengan
dibantu Beno tentunya. Sumpah, aku penasaran banget, apa sih yang membuat itu
anak getol banget di kegiatan Rohis? Aku memastikan terlebih dahulu, jika hari
ini Radit benar-benar tidak akan ikut ekskul. Dan begitu melihat mobilnya yang
sudah raib dari parkiran, aku segera melangkahkan kakiku ke Mushola diiringi
dengan Beno tentunya. Semua
anak-anak Rohis heran melihatku yang berjalan pelan menuju Mushola. Wajar saja
sebenarnya, karena hampir dua tahun aku bersekolah disini, aku sama sekali
belum pernah menginjakkan kakiku kemari. Keterlaluan sekali ya? Yah, tapi itulah aku. Gani Eka
Prasetya.
Beno
menunggu di pelataran, dia tidak mau masuk. Padahal aku sudah bilang padanya
bahwa masuk mushola bukan berarti dia sudah menjadi mualaf. Tapi dia tetap getol nggak mau
masuk. Ya,
sudahlah.Terpaksa aku berjuang sendiri. Aku menebarkan senyum termanisku
sebelum menghampiri Puspita, cewek yang kebetulan satu kelas denganku. Cewek
berjilbab lebar itu tengah berdiskusi dengan cowok manis yang entah kenapa
belum aku lihat sebelumnya. Ya mungkin karena lingkungan pergaulan kita
berbeda. Dia
selalu ke Mushola sedangkan aku lebih sering melihat anak-anak yang sedang
latihan basket. Dia
sedang sholat, aku mungkin malah tengah tertawa-tawa di kantin. Ampuni aku Tuhan dan jangan cabut
nyawaku sekarang. Aku
serius.
“hai.”
Sapaku pada Puspita. Seperti
yang bisa kutebak, cewek itu terkejut bukan maen melihatku yang berada di
Mushola.
“eh Gan,
ngapain kamu?”
“nyariin
Radit. Dia ada nggak?” alibi! Jelas-jelas aku tahu banget kalau Radit sudah
ngacir pulang duluan. Hari
ini adalah jadwal kita nge gym dan Radit tidak mungkin melewatkan untuk melihat
Ethan (salah satu instruktur di tempat fitness centre langganan kita) yang
gantengnya setara dengan Jared Letto, vokalis idola kita berdua, aku dan Radit
maksutnya.
“oh, kak
Radit hari ini nggak dateng. Ada urusan katanya.” Cowok manis itu yang
menjawab. Aku melihat tag namenya. Berwarna putih. Anak kelas satu berarti. Pantas aku belom pernah lihat. Risky Prasetya, hmm, kenapa nama belakangnya
harus sama dengan nama belakangku sih?
“waduh
gitu ya? Oya, nama lu siapa tadi?” Puspita dan cowok tadi menatapku dengan
tatapan bingung. Emang
kita belom kenalan, itu cowok juga belom menyebutkan namanya. Namun aku pura-pura tidak peduli.
“Risky.”
Jawabnya masih dengan agak kebingungan. Aku menjentikkan jariku sama persis
dengan gaya Beno kalau sedang menjentikkan jarinya.
“oya
Risky! Kelas berapa lu Ris?” Puspita menatapku curiga. Semua teman kelasku memang tidak
pernah terang-terangan mengatakan bahwa aku dan Denny dulu pacaran.Tapi aku
yakin mereka pernah curiga. Ya,
karena sifat cuekku yang kadang-kadang menunjukkan kemesraanku dengan Denny
didepan umum. Itu dulu
dan kadang-kadang. Sekali lagi, kadang-kadang lho ya!
“1 K 2.”
Jawabnya singkat. Sepertinya
dia tidak menyukaiku. Aku juga tidak menyukainya, entahlah untuk alasan apa.
Aku hanya kurang suka saja dengannya. Kalau
cinta bisa tanpa alasan, benci juga bisa dong?
“oke.
Kalau gitu duluan ya Pus, Ris!” kataku sambil balik badan dan pergi. Sepertinya aku kalau lama-lama
disini bisa terbakar.
“udah?”
tanya Beno saat aku memakai sepatuku. Aku menggeleng pelan.
“aku
pengen tahu yang namanya Risky Prasetya
kelas 1 K 2.” Beno menatapku agak lama sebelum dia membuang nafasnya dengan
agak kesal.
“besok
bisa kan? Gue pengen
ngajak kamu ice skating.” Moodku langsung drop. Ice skating? Yang benar
saja! Apakah Beno tidak tahu kalau aku itu nggak bisa olahraga! Jenis apapun!
Dan menurutku ice skating masih masuk dalam salah satu jenis olahraga.
“any idea
except ice skating?” tanyaku dengan sedikit penekanan pada kata ice skating.
“gue ajari nanti.” Beno tersenyum. Nih anak pasti bakal ngerjain
aku. Aku sudah siap akan mengatakan keberatanku, namun Beno mendahuluiku.
“atau lo
pulang sendiri?” sial nih anak.
***
Aku
guling guling diatas kasurku dan hal itu sukses membuat Radit yang tengah
berkutat dengan laptopnya menghentikan kegiatannya sejenak dan menoleh ke
arahku.
“lo gila
ya? Ato depresi?” aku bangkit dari ranjang dan duduk di tepi kasurku.
“lo nggak
bakalan percaya sama apa yang terjadi sama gua sepulang sekolah tadi!” Radit
langsung memutar kursinya dan menghadapku sekarang.
“kenapa?
Lu diperkosa Beno? Atau lu dikeroyok preman rame rame? Trus disodomi?” aku
mengkernyitkan dahiku.Takjub dengan pemikiran Radit yang luarbiasa.
“diperkosa
Beno sih masih bisa gua tolerir, tapi dikeroyok preman trus disodomi? Nggak deh
kayaknya. Makasih,
tapi buat lu aja preman-premannya.”
“sial lo!
Emang kenapa lu tadi siang?”
“gua bisa
ice skating!” seruku garing. Buat sebagian orang, mungkin ice skating adalah
hal yang biasa. Biasa
banget malah. Buatku?
Itu luar biasa! Unbelievable!
“yakin?
Nggak lagi ngibul kan lo?” Radit kini menatapku dengan raut tidak percaya.
“yup,
Beno yang ngajarin gua.”
Seketika itu aku melihat wajahnya yang agak sendu. Namun tidak lama. Wajahnya kembali terlihat
biasa-biasa saja. Apakah
Radit masih menyukai Beno? Aku
jadi tidak enak sendiri.
“Dit,
kenapa sih lu akhir-akhir ini sibuk banget? Kita uda jarang banget pergi
bareng.” Radit
mengalihkan wajahnya. Wajah
sendu itu terlihat lagi walau hanya sekilas. Radit hanya diam. Aku yang
menunggunya membuka mulut pun jadi tidak sabar.
“lu masih
suka sama Beno?” tanyaku kemudian. Radit menggeleng.
“lu suka
sama gua?” kataku nggak tau malu. Radit menatapku sesaat lalu menggelengkan
kepalanya lagi. Jujur,
ada sebersit kecewa yang tiba-tiba menghantamku.
“lu lagi
PDKT sama Risky?” aku masih saja bertanya. Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba
nama Risky muncul di benakku.
“lo tau
darimana?” jadi benar Radit sedang PDKT dengan Risky. Sebersit kecewa itu
semakin menganga. Ada apa denganku? Kenapa rasanya seperti tidak rela? Ah,
mungkin ini efek karena aku sedang gelisah saja.
“nggak
dari siapa-siapa. Good luck ya buat PDKT nya.” Kataku pelan sambil membaringkan
tubuhku diatas ranjang dan mencoba untuk mulai terlelap. Kenapa aku jadi nggak enak hati
banget sih?
Aku masih
belom terlelap, sementara Radit yang tidur disampingku sudah mulai mendengkur
pelan. Aku balik
badan memunggungi Radit, mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Entah kenapa aku jadi
mengingat-ingat kejadian dulu. Saat
aku dan Radit pertama bertemu. Aku yang menganggap bahwa aku dan Radit tidak
akan cocok, sekarang malah jadi sahabat dekat.
Sial,
lamunanku malah makin ngawur. Aku mengingat kejadian tadi sore sewaktu aku dan
Beno pulang setelah kita puas ice skating an. Ceritanya gini nih.
Waktu itu emang sudah
mendung.Tapi karena aku nggak ngerasa bakal ujan, aku dan Beno nyantai aja. Nyantai banget sih sebenarnya.
Motor juga melaju nggak terlalu kencang. Anehnya, pada saat gerimis Beno
bukannya memacu motornya lebih kenceng, dia malah menepi. Dan memberikan sweaternya
untukku.
“pake aja, takutnya ntar ujan
gede.” Aku sukses bengong. Maksutku,
bukannya dia didepan? Lebih
butuh sweater ini daripada aku? Ya kan?
“lha lu gimana Ben?”
“udah nggak papa, gua mah tahan
cuaca ekstrim.” Lagaknya, tapi nggak papa lah. Sweater Beno ini. Tapi ternyata cuaca emang nggak lagi sahabatan ma aku. Mungkin
dia sedang marah sama aku. Bisa gitu ya?
Yang tadinya gerimis tiba-tiba
makin kenceng ujannya. Karena
udah deket, Beno terjang terus.D an
ini pendapatku. Pendapatku
lho ya, cowok yang lagi pake seragam SMA pas badan, tanpa kaos dalam, kena ujan
dan basah, itu terlihat sangat luar biasa seksi. Itu yang aku lihat dari Beno. He’s so sexy.
“makasih ya? Mau mampir dulu
nggak? Nunggu
sampai ujannya reda?” tawarku pada saat Beno sudah sampai dirumahku, rumah
Radit maksutku.
“nggak usah, gua langsungan aja.
See ya!” kata Beno sambil melambaikan tangannya sebentar. Aku hanya tersenyum.
Aku
sekarang tidak sedang memeluk sweater Beno ya! Sweater Beno sudah aku cuci dan
aku jemur di atas. Aku
nggak yakin kalau aku sudah jatuh cinta lagi. Pada Beno. Sangat tidak yakin. Karena kadang-kadang hatiku masih
deg-deg sir kalau bertatap muka dengan Denny. Hh, ribet banget ya.Tidur aja
lah.
***
Aku
melirik Beno beberapa kali. Itu
anak pucat banget. Kayaknya
dia tumbang karena kemaren terjang ujan gede gitu aja. Aku
berbisik pada Tantra supaya mau tukar duduk sebentar saja. Tantra langsung
mengiyakan. Mengingat
nanti bakal ada ulangan, rasanya bukan hal yang luar biasa jika Tantra sangat
antusias duduk sebangku dengan Elliot. Si
cowok ranking satu.
“lu nggak
kenapa-napa kan?” aku menatap cemas pada Beno.
“nggak
papa. Sehat-sehat aja kok. Kamu
gimana? Nggak
flue kan gara-gara kemaren?”
Did he
use ‘kamu’ not ‘lo’ again?
“gua sih
baek-baek aja. Sehat banget malahan.” Beno
tersenyum menatapku. Bolehkah
aku berharap kalau Beno kayaknya naksir aku? Boleh? Perhatiannya itu lho, walaupun
dia tengil, rese, jahil, tapi boleh dong aku sedikit berharap?
“bagus
deh, soalnya kalo kamu flue ntar bakal nularin aku!” kata Beno kemudian.
Jiah,
bunuh saja aku!
Namun
sepertinya anggapan Beno bahwa dirinya baik-baik saja tidak sepenuhnya tepat.
Begitu jam pelajaran ketiga, wajahnya udah parah banget. Pucat! Aku
mengacungkan jariku saat Pak Asril menjelaskan tentang apalah itu aku kurang
tahu.
“iya,
kenapa Gani? Ada yang tidak jelas?” tanya Pak Asril kalem. Ada yang tidak
jelas? Sepertinya Pak Asril lagi mabok, itu mah bukan nggak jelas lagi namanya
tapi udah nggak ngerti sama sekali! Sejak insiden dulu itu, dimana gara-garanya
juga disebabkan oleh Beno, Pak Asril jadi hafal sekali dengan namaku.
“tidak
pak, saya ijin mengantar Beno ke UKS pak. Dia sakit.” Beno yang duduk disampingku
langsung melotot, tapi tidak begitu aku pedulikan.
“ya
sudah. Silahkan.”
“terima
kasih pak.” Kataku pelan sambil berdiri menuntun Beno. Gila, badannya aja panas banget.
Pantesan ni anak pucat banget wajahnya.
Setelah
diperiksa dokter jaga, yang kebetulan belum pulang. Biasanya dokter jaga di
sekolahku pulang jam sepuluh pagi. Beno disuruh istirahat di UKS setelah
sebelumnya disuruh minum beberapa obat.
“kamu
tadi apa-apaan sih Gan!” aku tidak memedulikan ucapannya, namun menyuruhnya
sedikit bergeser.
“gua lagi
males banget dengerin si Asril ngoceh. Lagian gua ngantuk banget. Biarin gua tidur barang sejenak. Bisa?”
“jadi
kamu manfaatin aku?” aku melihatnya dengan pandangan tajam. Lalu menyentuh
keningnya dengan tanganku.
“lu emang
lagi sakit Ben. Hargai perhatian gua, okay?” Beno tidak berkelit lagi, dia
langsung mengangguk.
“atau mau
gua peluk?” tawarku sebelum akhirnya mendapat anggukan dari kepalanya. Aduh,
tadi kan aku Cuma basa-basi. Tapi karena aku sudah menawari, aku pun harus
bertanggung jawab dengan tawaranku. Setelah
menarik selimut menutupi tubuhku dan tubuh Beno, aku segera memeluknya.
“sleep
well Ben.” Kataku pelan sebelum malah aku yang tertidur duluan. Aku ngantuk berat.
Tidurku
mulai terusik saat aku mendengar suara-suara berisik di sekitarku. Aku membuka mataku perlahan. Dan
agak surprise dengan apa yang kulihat. Ada Elliot, Tantra, Radit juga.
“yang
sakit siapa, yang molor siapa!” ini kata Radit begitu dia menyadari bahwa aku
sudah bangkit dari tidurku. Aku melenguh pelan sebelum akhirnya, menyadari
keadaanku.
“kok pada
disini?” tanyaku kebingungan.
“lagi
istirahat kedua nih Gan! Makanya jangan molor mulu!” Radit lagi nih. Aku
memutar kedua bola mataku. Dan
baru sadar kalau Beno masih memelukku. Dia
dalam posisi duduk, dan tangannya melingkar secara alami dipinggangku.
“kita
balik dulu ya! Udah bel nih. Kalian berdua ijin pulang aja kali! Udah jam
segini juga.” Kenapa tu ide nggak terlintas dari tadi ya? Ya iyalah, orang aku
aja molor! Aku segera melesat. Meminta
ijin pulang. Aku sudah
nggak selera buat mengikuti pelajaran lagi. Nanti malam gampang lah nyalin
catatan punya si Radit.
“cepet
banget ngurusnya?” tanya Beno begitu aku sudah kembali dengan kertas ijin
pulang untuk satpam sekolah.
“udah
sih, nggak usah rempong. Yuk buruan!” aku sedikit bingung sekarang. Dengan kondisi Beno yang sudah
limbung begini, nggak mungkin dia yang megang motor. Dan aku? Aku belom pernah megang motor
cowok. Apalagi
Honda CBR gini. Tapi
apalah mau dikata. Aku
harus. Ternyata nggak susah-susah banget, tapi susah aja. Kerasa lebih berat.
Yang penting selamet kan ya? Nggak usah lah aku ceritain kalau tadi aku hampir
nabrak tukang siomay yang lagi dorong gerobaknya atau aku yang hampir nyerempet
truk yang jelas-jelas diam tak bergerak. Sepertinya aku memang harus
membiasakan diri dengan motor jenis ini. Oya, aku juga nggak perlu
gembar-gembor kalau tadi aku hampir jatuh karena kaget setengah mati di klakson
dari belakang oleh sopir angkot.
Tu sopir
angkot gila ya, nggak tau apa ini pertama kalinya aku megang motor cowok.
Sontoloyo!
Begitu
sampai di rumah Beno, aku dibuat bingung lagi. Badan Beno makin panas. Baju seragamnya saja sudah basah
karena keringat. Maklum
lah coy, Jakarta jam satu siang tu panasnya kayak neraka bocor.
“ada es
batu nggak Ben?”
“di dapur
Gan, ada di kulkas.” Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung menuju dapur. Rumah ini sepi, nggak ada
siapa-siapa waktu aku dan Beno tadi dateng.Tak lupa aku juga mengambil baskom
dan mengisinya denga air setengahnya.
“punya
anduk kecil?” tanyaku begitu sudah sampai di kamar Beno lagi.
“tu, ada
di almari. Bagian bawah Gan!” Beno
berkata dengan lirih.
Jujur aku
sedikit terkejut dengan apa yang aku lihat. Ternyata Beno punya celana dalam
model yang cukup seksi. Yang
bagian pantatnya Cuma tali doang itu. Beno
sering pake nggak ya? Sumpah,
aku malah jadi ngalamun jorok.
“Ben. . .” panggilku lirih. Beno tidak menjawab. Aku sebenarnya pengan nanya dia
sering pake nggak itu celana dalam? Tapi sama sekali nggak ada jawaban. Aku
menoleh dan mendapati Beno setangah pingsan setengah sadar.Gimana ya
ngejelasinnya? Kondisi
dimana, Beno masih sadar, tapi dia juga sepertinya tidak sadar. Ya begitulah.
“gila,
bajunya kok bisa basah kuyup gitu ya? Parah banget keringatnya.” Aku langsung
bertindak cepat. Setelah
sebelumnya mengambil piyama dari almari. Lucu juga, ternyata Beno kalau
tidur masih pake piyama. Berasa kayak waktu kecil dulu.
Aku
segera melepas seragam dan celana abu-abunya dan sedikit tercekat saat mau
melepas celana dalamnya. Shit! Ntar kalau aku malah jadi nafsu gimana?
Gani!
Please! Bukan saatnya mesum! Kataku dalam hati berusaha mengingatkan diriku
sendiri.Dengan sangat perlahan aku melepaskan celana dalam yang dipakai Beno.
Kalau kalian tanya apakah aku menikmatinya, Ya! Aku sangat menikmatinya. Gila
saja, aku tengah menelanjangi cowok paling keren seangkatanku!
Titit
Beno bagus walau dalam keadaan lemas. Bulu-bulunya
juga cukup rapi. Lho? Ini bahas apaan ya? Ngelantur!
Setelah
aku mengganti baju seragamnya dengan piyama, aku langsung mengompres kepalanya. Aku jadi babysitter sekarang. Lagi asyik-asyiknya melihat buku
album foto-foto Beno dari masa kecil hingga sekarang, tiba-tiba saja ada yang
melesat masuk ke kamar Beno.
Damn it!
SAMUEL
YOGA WICAKSONO here.
Tbc. . .
Chapter
11 soon,.
aq pngn... Gani.. Beno. dn Denny.. ktm dlm waktu yg bersaman ... ky nya feeling nya dpt bngt deh....
BalasHapusmungkin nanti di session dua,.
Hapussoalnya session satunya uda tamat,.
hhehe,.
ada 14 part,.
wow.. bkl pnjang donk ni crt.... hebat...semangt y wlw blm rame di sini...
Hapusfirst love never die ya kan?
Hapusaduh apa sih,.
iya ...hehehe
BalasHapus