FOLLOW ME

Sabtu, 16 Februari 2013

CINTAKU DIBAGI TIGA end chapter


Mataku lebih parah bengkaknya daripada saat aku putus dari Denny dulu. Ini hari Jum’at dan aku memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Sabtu besok juga nggak masuk lagi. Jadi aku bisa istirahat full tiga hari. Karena Radit pengertian banget, dia rela-rela saja membuatkanku surat ijin sakit. Kalian jangan berpikiran bahwa aku sakit beneran. Tidak, aku sangat sehat. Hanya hatiku saja yang tengah terluka parah.

Aku turun ke bawah dan mendapati Mbok Parni tengah menyapu lantai. Daripada  bengong, mending aku bantu-bantu Mbok Parni sajalah.
“Mbok, aku aja yang nyapu. Ntar Mbok tinggal ngepel.” Kataku setelah posisiku didepan Mbok Parni.
“Wuih, kebetulan nih. Mbok mau nyuci aja kalau gitu. Makasih lho mas Gani.” Aku tersenyum tipis sambil mengambil sapu yang tadi dipegang oleh Mbok Parni. Dengan menyapu nanti fisikku bakal capek, kalau capek tinggal tidur, jadi tidak ada waktu untuk memikirkan Beno! Ternyata pekerjaan ini tidak seringan yang aku sangka. Gila, belum juga dapet separuh udah capek banget. Nafas juga tinggal setengah.
“Gimana mas? Bagian mana aja yang udah di sapu? Biar Mbok pel dulu.” Aku yang tengah minum air putih –dalam rangka istirahat sejenak- langsung menoleh melihat Mbok Parni yang sudah sangat siap dengan ganggang pel dan embernya.
“Lha? Emang yang nyuci udah beres Mbok?”
“Beres! Baru direndam molto. Nanti selesai ngepel langsung jemur. Setelah itu kan Mbok bisa leyeh-leyeh sebentar.” Aku manggut-manggut. Rock emang Mbok Parni ini, segala kegiatannya sudah terorganisir secara rapi men! Beuh, cadas!
“itu bagian depan udah Mbok.” Kataku sambil cepat-cepat menyelesaikan acara menyapuku. Masa iya aku kalah dari Mbok Parni? Hurry up! Hurry up!
Fiuh, nyapu rumahnya Radit itu emang cetar ulala membahana badai catarina. Capek sangat uiy! Mending aku disuruh nyapu kelas aja lah. Aku tengah merebahkan diriku di sofa ruang keluarga.Tv yang aku nyalakan sama sekali tidak aku tonton. Hanya biar kaga terasa sepi saja, makanya aku menyalakan tv. Sedang ada insert siang di tv. Host nya Ersa Mayori sama Indra Herlambang. Gossip yang tengah ditayangkan adalah Angelina Sondakh yang tengah menangis-nangis enggak jelas. Lah? Katanya enggak ditonton?
“Mas, ini ada kerupuk tersanjung. Mbok baru goreng, lumayan kan buat nemenin Mas Gani nonton tv.” Aku menoleh, melihat Mbok Parni yang tengah duduk dibawah. Aku segera ikut-ikutan duduk dibawah, selain nggak enak –masa iya aku duduk di sofa sedangkan Mbok Parni dibawah?- aku juga tengah menghampiri kerupuk tersanjung yang jelas tersaji didepan Mbok Parni. Kerupuk tersanjung? Aneh banget namanya, jangan-jangan ada kerupuk tersayang, kerupuk tercinta juga nih!
“Aneh ih namanya. Kok aku nggak pernah denger ya Mbok?”
“Ini buatan ibu-ibu PKK di kampung si Mbok mas! Cobain saja, enak kok.” Emang sih bentuknya menarik. Kecil-kecil berbentuk bintang beraneka warna. Rasanya juga gurih. Enak. Ini adalah hal terandom yang pernah aku lakukan. Nonton tv bareng ibu paruh baya sambil ngemil kerupuk tersanjung. Uih, berasa nonton di bioskop sama pacar! Apa banget sih ya!
“Mas Gani kenapa nggak masuk sekolah tho?” aku bingung mau menjawab apa. Masalahnya, aku tidak mungkin berkata bahwa aku sakit. Sakit kok bisa nyapu! Makan kerupuk dengan lahap! Tapi aku juga tidak mungkin cerita kalau aku tengah patah hati. Tengsin bro!
“Mas Gani barusan ditolak cewek ya?” Jleb banget! Ngena tepat sasaran, hanya saja kata cewek lebih afdol jika diganti dengan cowok. Itu lebih jleb lagi nantinya.
“Mbok ini ya mas, udah ditinggal suami Mbok belasan tahun! Tapi Mbok bahagia-bahagia saja. Anak-anak Mbok dikampung itu semangat hidup si Mbok. Mbok kerja buat mereka, mereka bahagia ya si Mbok ikut seneng mas. Sama kayak orang tua mas Gani, mereka pasti sedih kalau lihat mas Gani mbolos.” Double Jleb! Iya ya, hanya karena ditolak cowok masa aku mbolos? Lemah banget sih aku! Cowok apa bukan sih? Lekong bo! Hhaha.
“Mas Gani ini kan wajahnya manis, pasti nanti banyak yang suka kok mas. Masih muda lagi! Gagah!” aku merona sekarang. Yah, walaupun pujiannya datang dari Mbok Parni tetap saja itu sebuah pujian kan?
“Makasih ya mbok.” Ujarku pelan.
“lho, makasih buat opo tho mas?”
“Ya itu tadi wejangan-wejangannya.”
“Waduh, jadi beneran tho mas Gani ini mbolos karena ditolak cewek? Waduh-aduh. Pokoknya nih mas, kalau belom usaha sampe pol, jangan nyerah!” aku mengulas senyum tipis.
Drt Drt Drt
Ponselku bergetar syahdu. Denny.
“Ya Den? Kenapa?” jawabkku tanpa basa-basi.
“Aku didepan rumah kamu.” Klik, sambungan telepon langsung dimatikan.
Aku pamit ke Mbok Parni untuk keluar sebentar. Didepan gerbang aku mendapati Denny tengah duduk diatas motor dengan pose L’men banget. Ini anak kayaknya secara tidak sadar terobsesi pengen jadi model L’men dah.
“kamu nggak sakit kan? Bisa ikut aku sebentar?” aku mengangguk pelan. Denny membawaku ke rumahnya.Tidak ada siapa-siapa di rumahnya, seperti biasa.Tapi Lita pasti sebentar lagi pulang. Ibu Denny guru, sedangkan ayahnya seorang dokter –seperti yang kalian tahu- dan adiknya yang satu lagi si Dito masih duduk dibangku SMP.
“Kamu bolos ya Den?” Denny mengangguk sambil berjalan kebelakang. Aku mengikutinya. Aku masih cinta Denny kah? Atau rasa itu sudah hilang? Aku tidak bisa memastikan.
“itu ikan koi yang dulu kita beli bareng.” Tunjuk Denny ke arah kolam kecil dibelakang rumahnya.
“Wuih, udah gede banget ya sekarang? Gila, berapa kilo tu Den? Padahal dulu kecil banget.” Mataku bersinar takjub. Aku ingat dulu diawal kita jadian kita emang membeli sepasang ikan koi. Karena aku ngekos, makanya ikannya dipelihara Denny. Sebagai symbol bahwa cinta kita akan bertumbuh seiring pertumbuhan ikan koi itu. Ironis memang, ikan itu tumbuh besar sedangkan cinta kita berdua kandas dalam waktu relative singkat.
“Aku selalu ngrawat mereka baik-baik. Berharap mereka bisa tumbuh lebih besar lagi.” Aku menoleh dan melihat Denny yang tengah menerawang jauh.
“Aku masih berharap bahwa cinta kita bisa tumbuh sebesar itu. Bahkan mungkin lebih besar. Lebih besar lagi.” Denny mengambil nafas perlahan.
“Felix itu pasien dirumah sakit ayahku Gan. Orang tua Felix yang meminta sendiri ke ayahku agar anaknya bisa menghabiskan akhir hidupnya bersama orang yang dia cintai.”
“Itu kamu? Ayah kamu tahu kalau kamu gay?” tanyaku perlahan. Denny menggeleng.
“Ayahku nggak pernah tahu. Jiwanya sebagai dokter yang tidak tega melihat kondisi Felix. Dia memintaku supaya mau pura-pura mencintai Felix.” Okay, aku mengerti sekarang. But, honestly bukankah penjelasan ini sudah agak terlambat? Aku masih sayang Denny. Jujur, tapi bukan sayang seperti dulu lagi. Aku mengerti sekarang. Ada yang sudah mengisi relung hatiku dan itu bukan Denny lagi. Sejak kapan pastinya, aku tidak tahu. Hanya saja aku semakin menyadari bahwa hatiku memang sudah dimiliki utuh oleh Beno.
“Jika dulu kamu yang mendekati aku, sekarang aku yang akan mendekati kamu. Aku akan membuat kamu cinta lagi sama aku.” Aku tersenyum tipis.
“it’s okay Den, I’m waiting. But, jujur nih ya. Aku belom makan siang loh.” Denny tertawa lepas.
“we are good now? Baikan? Kita temen kan? Kamu nggak bakal bertingkah seolah aku bajingan tengik lagi?” sekarang giliranku yang tertawa.
“You know what? With that innocent look on your face, maybe you should be a politician Den! You could easily fooled anyone.”
“really? Termasuk kamu?”
“Yes, you did it to me.” Denny mau mengucapkan entah apa itu namun tidak jadi karena Lita tiba-tiba sudah datang dan memelukku.
“Mas Gani!! Temenin Lita makan siang yok! Lita kangen!” makan siang? Kenapa aku harus menolak?
***

Kata Mbok Parni, kalau belum berjuang pol-polan itu ya jangan menyerah. Jadi, aku memilih Sabtu ini untuk membolos lagi. Alasannya begini, selama beberapa bulan terakhir ini Beno sering sekali menghabiskan waktu bersamaku. Jadi jika aku menghilang kemaren hari Jum’at dan sekarang hari Sabtu aku tidak masuk lagi aku berharap kalau Beno mulai sadar bahwa dia kangen aku. Wait a minute, kemaren hari Jum’at kan? Kok aku malah nonton insert? Nggak Jum’atan? Dan ada yang janggal lagi nih, Lita kan masih tujuh tahun. Aturan dia masih kelas dua SD atau satu SD kan? Kenapa pulangnya sehabis Jum’atan? Nggak mungkin Lita Jum’atan kan ya?
Penyelesaian cepat ala penulis abal-abal;
1.   Aku sebenarnya Jum’atan. Jadi adegan aku dan Mbok Parni sedang ngemil bareng sambil nonton tv itu dilakukan setelah aku pulang jum’atan. (maksa banget. Tapi biarlah! Kebetulan waktu itu Insert lagi pindah jam tayang.)
2.   Lita yang pulang sehabis Jum’atan. Hallo? Kan bisa saja dia main dulu kemana gitu. Anak jaman sekarang gitu loh, nggak hang out nggak gaul men! (sadar mas, Lita masih tujuh tahun!)
3.   Kalau kedatangan Denny nggak perlu klarifikasi kali ya, dia kan datang sehabis Jum’atan. Oh ya, hanya perlu diklarifikasi bahwa sebenarnya Denny tidak membolos, tapi dia sudah pulang sekolah.
4.   Pasti ada yang usil nanya, kenapa nggak di edit aja? Kenapa harus ada klarifikasi segala? Suka-suka gue dong, situ kok rempong.


Jadi aku menghabiskan Sabtu ceria ini dirumah saja. Nggak ada niat bakal hang out kemana-mana. Aku juga sudah akan membiasakan diri untuk membuka hati lagi. Untuk Denny tentunya. Siapa tahu nanti ada rajutan cinta Denny-Gani jilid dua. Hanya saja aku masih belom menyerah soal Beno. Kalau Denny saja masih gigih untuk mendapatkan aku kembali, maka aku akan lebih gigih untuk mendapatkan Beno. Nggak mungkin dia nggak ada rasa! Aku yakin! Dari perlakuannya selama ini, aku yakin Beno punya perasaan khusus untukku. Hanya saja mungkin dia belum menyadarinya. Atau terlalu malu kali.
Aku yang tengah asyik menggonta-ganti chanel agak terkejut dengan kepulangan Radit bersama Risky. Aku sudah tidak ada rasa sirik atau cemburu dengan Risky. Bagiku, aku dan Radit memang lebih baik hanya bersahabat, bersaudara.Tidak untuk pacaran. Aku dan Radit sudah sepakat dengan hal itu.
“Hy kak Gani.” Sapa Risky begitu dia duduk di sofa sampingku. Aku tersenyum tipis menanggapi sapaannya.
“Lo dicariin Beno tadi. Kayaknya tu anak khawatir banget sama lo.” Kata Radit dari arah dapur.Tidak berapa lama kemudian dia muncul kembali dengan minuman untuk Risky.
“makasih a’ Radit.”Aku memutar pandanganku dan menatap Radit penuh pandangan menyelidik. A’a? Gila aja! Yang bener aja bos! Tu anak ya nggak kira-kira. Masa iya Risky udah jatuh kepelukan si raja dugem satu ini? Anak itu kan alim banget masa sih jadi belok? Radit hanya memberiku senyum jahil.
“Lo pacaran sama Radit ya?” tanyaku langsung ke Risky. Daripada harus nanya ke Radit? Birokrasinya berbelit-belit! Risky tampak malu-malu sambil sesekali menatap Radit. Jiah, udah kebaca banget! Pantesan aja tu anak getol banget ikutan Rohis. Dapet brondong!
“tega lu ya nggak cerita?” kataku langsung pada Radit.
“gimana gue mau cerita, lo nya aja galau mulu!”
“traktir gua sekarang! Gua belom makan siang nih!” aku langsung mengambil kesempatan. Ini kebetulan apa nggak ya? Kok dari kemaren alesanku belom makan siang mulu?
“Lah, bukannya tadi udah ya? Mbok Parni aja udah beres-beres meja makan kok.”
“hasyah! Itu tadi Cuma pemanasan doang. Buruan! Atau gua nagih Risky aja nih?” kataku mengancam sambil melirik Risky dengan tatapan berbahaya. Risky hanya menunduk dan senyum malu-malu.
“Iye-ye! Susah ya punya sodara kayak lo! Yok Dek ikut sekalian.” Buset dah panggilannya bo, A’a-dedek. Kenapa nggak mamah Dedeh aja sekalian?
Finally, Radit membawaku ke rumah ayam bakar. Agak nyesek sih sebenarnya, ini kan tempat aku nembak Beno kemaren lusa. Haduh, jangan menyerah Gani! Usaha! Beno pasti lama-lama luluh. Jiah.
“Kapan kalian jadian?” tanyaku sambil menunggu pesanan datang.
“Baru juga seminggu ini.” Aku langsung menatap Radit dengan tatapan tega-banget-lo-ya-sekarang-maen-rahasia-rahasiaan.
“Ati-ati aja lu Ris, kalau diajak clubbing jangan mau!” kataku sekarang menasehati Risky. Sayang banget cowok sealim ini harus ikutan rusak kayak aku sama Radit.
“A’a Radit udah janji kok nggak bakalan clubbing lagi.” Panggilannya itu loh, bikin efek mual lebih berasa. Aku melirik Radit dan dia langsung mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Suer, gue nggak bakalan nyentuh yang namanya club-club malam lagi.”Ucap Radit kemudian.
“Boleh gabung nggak? Masih ada space kosong kan?” aku menoleh. Sial! Beno! Aku kan belom siap ketemu dia! Kebetulan ronde dua nih!
“Gabung aja Ben!Tu duduk sebelah Gani aja.” Radit sialan!
“kamu gimana Gan? Udah sehat?” aku baru saja mau menjawab pertanyaan Beno tapi sudah didahului Radit.
“dia nggak sakit Ben! Pura-pura doang, biar dikhawatirin sama lo tuh!” ingatkan aku sepulang nanti untuk mencabik-cabik lidahnya Radit. Beno tersenyum lalu manggut-manggut.
“Udah pada pesen belom nih?” tanyanya kemudian.
“kita udah kok.” Lagi-lagi Radit yang menjawab. Sepertinya dia dengan sendirinya sudah menobatkan dirinya sendiri untuk menjadi juru bicaraku dan Risky. Terima kasih Radit, baik budimu biar Tuhan yang membalas.
“oh, gue pesen dulu kalau gitu, sekalian ke toilet sebentar.” Kata Beno sambil bangkit berdiri dan menghampiri pelayan yang tengah berdiri dekat meja utama. Berbicara sebentar dan kemudian berlalu. Sepertinya ke toilet.
“sial lu ya Dit!” serangku begitu aku melihat Beno sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya.
“Gue kan Cuma niatnya ngebantu Gan! Seneng kan lo bisa duduk berdampingan sama akang Beno!” aku mencibir dan Radit malah tertawa-tawa tidak jelas. So shit banget sih! Aku berniat mengucapkan protesku lagi ke Radit, namun Beno sudah terlanjur datang.Aku hanya tersenyum-senyum nggak jelas. Salting kayak monyet dikasih pisang.
Nggak berapa lama pesanan kita datang. Bagus banget! Jadi aku hanya perlu menyibukkan diriku dengan ayam bakarku. Terserahlah kalau mereka mau diskusi atau apa, aku sudah sangat kelaperan banget. Mereka sesekali saling bercanda. Dan candaan mereka nggak asik banget. Karena yang jadi bahan candaan itu adalah aku. Mereka seperti tidak menyadari –terutama Radit dan Beno, karena Risky hanya menimpali sesekali- kalau orang yang sedang mereka bicarakan itu ada didekat mereka.
“Kenapa sih Ben lo sensi banget sama Gani dulu?” tanya Radit dengan entengnya. Sekali lagi, sepertinya dia sudah menganggapku menghilang entah kemana.
“Masa sih gue gitu? Enggak ah!”
“Serius! Gani aja sampai depresi berat liatin tingkah laku lo ke dia dulu. Ya kan Gan?” aku tersenyum keki. Jadi sekarang Radit sadar kalau aku masih disini.
“Hahaha, eh ntar boleh kan Gani bareng gue aja?” jiah! Kenapa Beno ijinnya ke Radit? Apa dia pikir Radit itu bapakku?
“Boleh banget Ben! Kebetulan, gue sama Risky mau malam mingguan. Jadi gue nitip adek gue ya! Awas aja kalau adek gue sampai lecet, gue cakar-cakar muka ganteng lo!” kayaknya aku ketinggalan berita dah. Sejak kapan ya aku diangkat jadi adiknya si Bandot ini? Lagian seenak jidat ini dia ngasih aku ke Beno gitu aja. Biadab banget, dia pikir aku pelacur apa ya? Ancamannya juga cakaran, nggak ada yang lebih machoan sedikit? Jambak gitu! Atau kalau nggak gampar-gamparan gitu. Hahaha, sama saja Gani!
“Kalau gitu gue duluan ya? Awas lo Ben kalau adek gue sampai kenapa-napa. Yok Dek.” Radit berdiri. Namun sebelum dia pergi, dia sempetin nyamperin aku.
“Kesempatan jangan dibuang gitu aja!” bisiknya pelan.
“Take care ya! Ayam bakarnya biar gue yang bayar.” Kata Radit sambil berjalan ke meja kasir.
Selepas kepergian Radit aku hanya diam. Gila, grogi berat uiy. Grogi banget. Gugup!
“Kamu marah sama aku?” ha? Marah?
“Nggak Ben! Marah buat apaan? Kan kamu nggak salah.” Shit, jadi aku juga sudah ikut-ikutan pake aku-kamu ke Beno.
“Kirain. Kamu sakit apa sih Gan?”
“Sakit hati.” Jawabku pendek sambil mengaduk-aduk esteh ku.
“hah? Seriusan? Parah? Udah diperiksa dokter belom?”
“Parah banget! Katanya hatiku patah.” Beno menatapku sesaat, lalu sepertinya dia mengerti maksut eksplisit dari kata-kataku.
“Maaf. Oya, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat. Yok! Ntar keburu malem.” Aku bangkit berdiri. Nyesel juga tadi keluar Cuma pake celana pendek sama kaos pendek doang. Dingin banget uiy. Tumben-tumbenan nih, biasanya malam-malam juga panas.
“Nih pake sweater aku. Kamu Cuma pake kaos pendek gitu. Ntar masuk angin.” See? Adakah lelaki straight yang seperhatian ini ke teman LELAKInya kalau dia tidak mempunyai perasaan khusus? Nihil banget! Eh, sweater Beno yang dulu kan juga belom aku balikkin. Aduh. Segera setelah aku memakai sweater Beno, aku segera duduk manis diboncengannya. Bodoh amat lah, seharusnya kan aku lebih agresif! Maksutku, kan aku yang sedang PDKT bukan si Beno. Ini kok malah jadi kebalikan ya?
Dengan wajah yang semakin memerah, aku memberanikan diriku untuk memeluk pinggang Beno. Tapi emang apes banget, belum juga dapet lima menit meluk pinggangnya, motor Beno sudah berhenti. Aku segera turun dari motor. Come on Gani! Lebih agresif dong! Kataku pada diri sendiri.
“Kita kebawah.” Aku mengikuti langkah Beno dari belakang. Ini daerah mana sih ya? Malam sih, jadinya nggak begitu jelas. Halah alibi banget! Bilang aja nggak tau. Rempong! Aku surprised banget melihat pemandangan dibawahku. Pemandangan rumah-rumah kumuh Jakarta. Aduh, kalau kayak gini aku jadi dilema. Pengen banget bantuin, tapi aku bisa apa? Lagian Beno juga pilih tempatnya kok ya nggak banget gitu.
“Lihat pemandangan di depan sana Gan?” aku mengangguk. Keliatan jelas banget Ben, rumah kumuh Jakarta.
“Aku pengen jadi orang yang suatu saat bisa membawa perubahan pada Jakarta Gan. Belum tahu sih mau jadi apa, tapi satu hal yang pasti. Aku pengen kamu ada disisiku saat itu.” Mataku sukses melotot. What? Apa kata Beno tadi.
“Maaf buat kemaren Gan, tapi dua hari ini aku berpikir banyak. Aku juga sayang kamu. Aku udah pikirin baik-baik keputusanku ini. Yang kemarin itu masih berlaku kan? Aku mau kok jadi pacar kamu.” Tampar aku! Ini serius kah? Bukan mimpi?
“Kamu serius Ben?” Beno mengangguk sambil tersenyum. Gila! Aku meleleh.
“Will you be my boyfriend Gani Prasetya?” aku mengangguk dengan semangat. Yeah!

TAMAT

Epilog

Aku berjalan berdampingan dengan pacar baruku, Yonathan Beno Wicaksono menuju ke kelas. Sekarang, aku tidak akan memusingkan ejekan-ejekan teman sekelasku. Karena pada kenyataannya aku dan Beno memang pacaran sekarang. We’re in relantionship now. Begitu sampai didepan kelas aku melihat Denny yang tengah tersenyum manis padaku.
“Aku udah ngerjain PR Matematika untuk kamu Gan!” katanya saat aku sudah berada didepannya.
“Thanks. Aku lupa kalau ada PR.” Aku tidak sadar kalau Beno sudah menatap penuh kebencian kearah Denny.
“Aku juga udah ngerjain kok Gan. Nyontek punyaku aja.” Kata Beno tepat dibelakangku.
“Yakin jawabannya bener semua?” tanya Denny sedikit mengejek. Harus aku akui, aku lebih percaya Denny untuk urusan pelajaran. Tapi, aku kan pacarnya Beno sekarang.
“Apaan sih lo? Nantangin gue lo Den?!” Beno mulai nyolot. Aku melihat Elliot yang baru saja masuk kelas. Kalau diantara Beno dan Denny jelas aku lebih percaya Denny. Tapi jika diantara Denny dan Elliot? Si cowok ranking satu?
“Ell, gue nyontek PR Matematic dong.” Kataku beranjak pergi. Membiarkan Denny dan Beno bersitegang sendiri.
“Kok gitu sih Gan? Aku udah capek-capek nih ngerjain PRnya.” Denny tidak mau terima.
“Hhehe, sorry Den. PR kamu aku bawa juga kok. Mau aku cocokkin sama punyanya Elliot.”
Denny mau menyusulku yang sudah duduk dibangkuku tapi langsung dicegat Beno.
“itu bangku gue, lo duduk manis sini aja bareng Genta!” Denny langsung menjitak kepala Beno. Hhahaha, sepertinya Denny sudah bisa membuka diri dengan anak-anak lain dikelas ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku tidak masuk kemaren, tapi aku melihat Denny mulai bisa membaur. So, masa sweat seventeen emang sepertinya berlaku untukku.
Okay, this is my story. Hope you enjoy this.
Thanks uda setia sampai chapter akhir. See you in next different story.

6 komentar:

  1. Anonim2/16/2013

    emmhhh kayaknya agak buru2 ya,,, hehehe,,, tp bagus kok

    BalasHapus
  2. masih ada session dua kok.
    hhehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. vian enabel achalton3/12/2013

      cepet donk k

      Hapus
  3. Anonim3/12/2013

    lg donk k

    BalasHapus
  4. Anonim4/15/2013

    Bagusss banget ceritanya. Keren pokoknya! Hehehe. Gak sabar sama session 2 nya. Salam dari Semarang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sip. Thanks for read and enjoying my story!!

      Hapus

leave comment please.