Mataku lebih parah bengkaknya
daripada saat aku putus dari Denny dulu. Ini hari Jum’at dan aku
memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Sabtu besok juga nggak masuk lagi. Jadi aku bisa istirahat
full tiga hari. Karena Radit pengertian banget, dia rela-rela saja membuatkanku
surat ijin sakit. Kalian jangan berpikiran bahwa aku sakit beneran. Tidak, aku sangat sehat. Hanya hatiku saja yang
tengah terluka parah.
Aku turun ke bawah dan mendapati
Mbok Parni tengah menyapu lantai. Daripada bengong, mending aku bantu-bantu Mbok Parni
sajalah.
“Mbok, aku aja yang nyapu. Ntar Mbok tinggal
ngepel.” Kataku
setelah posisiku didepan Mbok Parni.
“Wuih, kebetulan nih. Mbok mau nyuci
aja kalau gitu. Makasih
lho mas Gani.” Aku
tersenyum tipis sambil mengambil sapu yang tadi dipegang oleh Mbok Parni.
Dengan menyapu nanti fisikku bakal capek, kalau capek tinggal tidur, jadi tidak
ada waktu untuk memikirkan Beno! Ternyata pekerjaan ini tidak seringan yang aku
sangka. Gila, belum juga dapet separuh udah capek banget. Nafas juga tinggal
setengah.
“Gimana mas? Bagian mana aja yang udah
di sapu? Biar
Mbok pel dulu.” Aku
yang tengah minum air putih –dalam rangka istirahat sejenak- langsung menoleh
melihat Mbok Parni yang sudah sangat siap dengan ganggang pel dan embernya.
“Lha? Emang yang nyuci udah
beres Mbok?”
“Beres! Baru direndam molto. Nanti selesai ngepel
langsung jemur. Setelah itu kan Mbok bisa leyeh-leyeh sebentar.” Aku
manggut-manggut. Rock emang Mbok Parni ini, segala kegiatannya sudah
terorganisir secara rapi men! Beuh, cadas!
“itu bagian depan udah Mbok.” Kataku
sambil cepat-cepat menyelesaikan acara menyapuku. Masa iya aku kalah dari
Mbok Parni? Hurry up! Hurry up!
Fiuh, nyapu rumahnya Radit itu emang
cetar ulala membahana badai catarina. Capek sangat uiy! Mending aku disuruh
nyapu kelas aja lah. Aku
tengah merebahkan diriku di sofa ruang keluarga.Tv yang aku nyalakan sama
sekali tidak aku tonton. Hanya biar kaga terasa sepi saja, makanya aku
menyalakan tv. Sedang ada insert siang di tv. Host nya Ersa Mayori sama Indra
Herlambang. Gossip yang tengah ditayangkan adalah Angelina Sondakh yang tengah
menangis-nangis enggak jelas. Lah? Katanya enggak ditonton?
“Mas, ini ada kerupuk tersanjung.
Mbok baru goreng, lumayan kan buat nemenin Mas Gani nonton tv.” Aku menoleh,
melihat Mbok Parni yang tengah duduk dibawah. Aku segera ikut-ikutan duduk
dibawah, selain nggak enak –masa iya aku duduk di sofa sedangkan Mbok Parni
dibawah?- aku juga tengah menghampiri kerupuk tersanjung yang jelas tersaji
didepan Mbok Parni. Kerupuk tersanjung? Aneh banget namanya, jangan-jangan ada
kerupuk tersayang, kerupuk tercinta juga nih!
“Aneh ih namanya. Kok aku nggak pernah
denger ya Mbok?”
“Ini buatan ibu-ibu PKK di kampung
si Mbok mas! Cobain
saja, enak kok.” Emang
sih bentuknya menarik. Kecil-kecil
berbentuk bintang beraneka warna. Rasanya juga gurih. Enak. Ini adalah hal terandom
yang pernah aku lakukan. Nonton tv bareng ibu paruh baya sambil ngemil kerupuk
tersanjung. Uih, berasa nonton di bioskop sama pacar! Apa banget sih ya!
“Mas Gani kenapa nggak masuk sekolah
tho?” aku bingung mau menjawab apa. Masalahnya, aku tidak mungkin berkata bahwa
aku sakit. Sakit kok bisa nyapu! Makan kerupuk dengan lahap! Tapi aku juga
tidak mungkin cerita kalau aku tengah patah hati. Tengsin bro!
“Mas Gani barusan ditolak cewek ya?”
Jleb banget! Ngena tepat sasaran, hanya saja kata cewek lebih afdol jika
diganti dengan cowok. Itu
lebih jleb lagi nantinya.
“Mbok ini ya mas, udah ditinggal
suami Mbok belasan tahun! Tapi
Mbok bahagia-bahagia saja. Anak-anak
Mbok dikampung itu semangat hidup si Mbok. Mbok kerja buat mereka,
mereka bahagia ya si Mbok ikut seneng mas. Sama kayak orang tua mas Gani,
mereka pasti sedih kalau lihat mas Gani mbolos.” Double Jleb! Iya ya, hanya
karena ditolak cowok masa aku mbolos? Lemah banget sih aku! Cowok apa bukan
sih? Lekong bo! Hhaha.
“Mas Gani ini kan wajahnya manis,
pasti nanti banyak yang suka kok mas. Masih muda lagi! Gagah!” aku merona
sekarang. Yah, walaupun pujiannya datang dari Mbok Parni tetap saja itu sebuah
pujian kan?
“Makasih ya mbok.” Ujarku pelan.
“lho, makasih buat opo tho mas?”
“Ya itu tadi wejangan-wejangannya.”
“Waduh, jadi beneran tho mas Gani
ini mbolos karena ditolak cewek? Waduh-aduh. Pokoknya nih mas, kalau
belom usaha sampe pol, jangan nyerah!” aku mengulas senyum tipis.
Drt Drt Drt
Ponselku bergetar syahdu. Denny.
“Ya Den? Kenapa?” jawabkku tanpa
basa-basi.
“Aku didepan rumah kamu.” Klik, sambungan telepon
langsung dimatikan.
Aku pamit ke Mbok Parni untuk keluar
sebentar. Didepan gerbang aku mendapati Denny tengah duduk diatas motor dengan
pose L’men banget. Ini anak kayaknya secara tidak sadar terobsesi pengen jadi
model L’men dah.
“kamu nggak sakit kan? Bisa ikut aku
sebentar?” aku mengangguk pelan. Denny membawaku ke rumahnya.Tidak
ada siapa-siapa di rumahnya, seperti biasa.Tapi Lita pasti sebentar lagi
pulang. Ibu
Denny guru, sedangkan ayahnya seorang dokter –seperti yang kalian tahu- dan
adiknya yang satu lagi si Dito masih duduk dibangku SMP.
“Kamu bolos ya Den?” Denny
mengangguk sambil berjalan kebelakang. Aku mengikutinya. Aku masih cinta Denny
kah? Atau
rasa itu sudah hilang? Aku
tidak bisa memastikan.
“itu ikan koi yang dulu kita beli
bareng.” Tunjuk Denny ke arah kolam kecil dibelakang rumahnya.
“Wuih, udah gede banget ya sekarang? Gila, berapa kilo tu Den? Padahal dulu kecil
banget.” Mataku
bersinar takjub. Aku
ingat dulu diawal kita jadian kita emang membeli sepasang ikan koi. Karena aku ngekos,
makanya ikannya dipelihara Denny. Sebagai symbol bahwa cinta kita akan
bertumbuh seiring pertumbuhan ikan koi itu. Ironis memang, ikan itu tumbuh besar
sedangkan cinta kita berdua kandas dalam waktu relative singkat.
“Aku selalu ngrawat mereka
baik-baik. Berharap
mereka bisa tumbuh lebih besar lagi.” Aku menoleh dan melihat Denny yang
tengah menerawang jauh.
“Aku masih berharap bahwa cinta kita
bisa tumbuh sebesar itu. Bahkan
mungkin lebih besar. Lebih
besar lagi.” Denny
mengambil nafas perlahan.
“Felix itu pasien dirumah sakit
ayahku Gan. Orang
tua Felix yang meminta sendiri ke ayahku agar anaknya bisa menghabiskan akhir
hidupnya bersama orang yang dia cintai.”
“Itu kamu? Ayah kamu tahu kalau kamu
gay?” tanyaku perlahan. Denny menggeleng.
“Ayahku nggak pernah tahu. Jiwanya sebagai dokter
yang tidak tega melihat kondisi Felix. Dia memintaku supaya mau pura-pura
mencintai Felix.” Okay, aku mengerti sekarang. But, honestly bukankah
penjelasan ini sudah agak terlambat? Aku masih sayang Denny. Jujur, tapi bukan sayang
seperti dulu lagi. Aku
mengerti sekarang. Ada
yang sudah mengisi relung hatiku dan itu bukan Denny lagi. Sejak kapan pastinya, aku
tidak tahu. Hanya
saja aku semakin menyadari bahwa hatiku memang sudah dimiliki utuh oleh Beno.
“Jika dulu kamu yang mendekati aku,
sekarang aku yang akan mendekati kamu. Aku akan membuat kamu cinta lagi
sama aku.” Aku
tersenyum tipis.
“it’s okay Den, I’m waiting. But,
jujur nih ya. Aku belom makan siang loh.” Denny tertawa lepas.
“we are good now? Baikan? Kita temen
kan? Kamu nggak bakal bertingkah seolah aku bajingan tengik lagi?” sekarang
giliranku yang tertawa.
“You know what? With that innocent
look on your face, maybe you should be a politician Den! You could easily
fooled anyone.”
“really? Termasuk kamu?”
“Yes, you did it to me.” Denny mau
mengucapkan entah apa itu namun tidak jadi karena Lita tiba-tiba sudah datang
dan memelukku.
“Mas Gani!! Temenin Lita makan siang
yok! Lita kangen!” makan siang? Kenapa
aku harus menolak?
***
Kata Mbok Parni, kalau belum
berjuang pol-polan itu ya jangan menyerah. Jadi, aku memilih Sabtu
ini untuk membolos lagi. Alasannya
begini, selama beberapa bulan terakhir ini Beno sering sekali menghabiskan
waktu bersamaku. Jadi
jika aku menghilang kemaren hari Jum’at dan sekarang hari Sabtu aku tidak masuk
lagi aku berharap kalau Beno mulai sadar bahwa dia kangen aku. Wait a minute,
kemaren hari Jum’at kan? Kok aku malah nonton insert? Nggak Jum’atan? Dan ada
yang janggal lagi nih, Lita kan masih tujuh tahun. Aturan dia masih kelas dua
SD atau satu SD kan? Kenapa pulangnya sehabis Jum’atan? Nggak mungkin Lita
Jum’atan kan ya?
Penyelesaian cepat ala penulis
abal-abal;
1. Aku sebenarnya Jum’atan.
Jadi adegan aku dan Mbok Parni sedang ngemil bareng sambil nonton tv itu
dilakukan setelah aku pulang jum’atan. (maksa banget. Tapi biarlah! Kebetulan
waktu itu Insert lagi pindah jam tayang.)
2. Lita yang pulang sehabis
Jum’atan. Hallo? Kan bisa saja dia main dulu kemana gitu. Anak jaman sekarang
gitu loh, nggak hang out nggak gaul men! (sadar mas, Lita masih tujuh tahun!)
3. Kalau kedatangan Denny
nggak perlu klarifikasi kali ya, dia kan datang sehabis Jum’atan. Oh ya, hanya
perlu diklarifikasi bahwa sebenarnya Denny tidak membolos, tapi dia sudah
pulang sekolah.
4. Pasti ada yang usil nanya,
kenapa nggak di edit aja? Kenapa harus ada klarifikasi segala? Suka-suka gue
dong, situ kok rempong.
Jadi
aku menghabiskan Sabtu ceria ini dirumah saja. Nggak ada niat bakal hang out
kemana-mana. Aku juga sudah akan membiasakan diri untuk membuka hati lagi.
Untuk Denny tentunya. Siapa
tahu nanti ada rajutan cinta Denny-Gani jilid dua. Hanya saja aku masih
belom menyerah soal Beno. Kalau Denny saja masih gigih untuk mendapatkan aku
kembali, maka aku akan lebih gigih untuk mendapatkan Beno. Nggak mungkin dia
nggak ada rasa! Aku yakin! Dari perlakuannya selama ini, aku yakin Beno punya
perasaan khusus untukku. Hanya
saja mungkin dia belum menyadarinya. Atau terlalu malu kali.
Aku
yang tengah asyik menggonta-ganti chanel agak terkejut dengan kepulangan Radit
bersama Risky. Aku sudah tidak ada rasa sirik atau cemburu dengan Risky. Bagiku, aku dan Radit memang
lebih baik hanya bersahabat, bersaudara.Tidak untuk pacaran. Aku dan Radit sudah
sepakat dengan hal itu.
“Hy
kak Gani.” Sapa
Risky begitu dia duduk di sofa sampingku. Aku tersenyum tipis
menanggapi sapaannya.
“Lo
dicariin Beno tadi. Kayaknya tu anak khawatir banget sama lo.” Kata Radit dari
arah dapur.Tidak berapa lama kemudian dia muncul kembali dengan minuman untuk
Risky.
“makasih
a’ Radit.”Aku memutar pandanganku dan menatap Radit penuh pandangan menyelidik.
A’a? Gila aja! Yang bener aja bos! Tu anak ya nggak kira-kira. Masa iya Risky udah jatuh
kepelukan si raja dugem satu ini? Anak itu kan alim banget masa sih jadi belok?
Radit hanya memberiku senyum jahil.
“Lo
pacaran sama Radit ya?” tanyaku langsung ke Risky. Daripada harus nanya ke
Radit? Birokrasinya berbelit-belit! Risky tampak malu-malu sambil sesekali
menatap Radit. Jiah, udah kebaca banget! Pantesan aja tu anak getol banget
ikutan Rohis. Dapet brondong!
“tega
lu ya nggak cerita?” kataku langsung pada Radit.
“gimana
gue mau cerita, lo nya aja galau mulu!”
“traktir
gua sekarang! Gua belom makan siang nih!” aku langsung mengambil kesempatan.
Ini kebetulan apa nggak ya? Kok dari kemaren alesanku belom makan siang mulu?
“Lah,
bukannya tadi udah ya? Mbok
Parni aja udah beres-beres meja makan kok.”
“hasyah!
Itu tadi Cuma pemanasan doang. Buruan! Atau gua nagih Risky aja nih?” kataku
mengancam sambil melirik Risky dengan tatapan berbahaya. Risky hanya menunduk
dan senyum malu-malu.
“Iye-ye!
Susah ya punya sodara kayak lo! Yok Dek ikut sekalian.” Buset dah panggilannya
bo, A’a-dedek. Kenapa nggak mamah Dedeh aja sekalian?
Finally,
Radit membawaku ke rumah ayam bakar. Agak nyesek sih sebenarnya, ini kan tempat
aku nembak Beno kemaren lusa. Haduh, jangan menyerah Gani! Usaha! Beno pasti
lama-lama luluh. Jiah.
“Kapan
kalian jadian?” tanyaku sambil menunggu pesanan datang.
“Baru
juga seminggu ini.” Aku
langsung menatap Radit dengan tatapan
tega-banget-lo-ya-sekarang-maen-rahasia-rahasiaan.
“Ati-ati
aja lu Ris, kalau diajak clubbing jangan mau!” kataku sekarang menasehati
Risky. Sayang banget cowok sealim ini harus ikutan rusak kayak aku sama Radit.
“A’a
Radit udah janji kok nggak bakalan clubbing lagi.” Panggilannya itu loh,
bikin efek mual lebih berasa. Aku
melirik Radit dan dia langsung mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Suer,
gue nggak bakalan nyentuh yang namanya club-club malam lagi.”Ucap Radit
kemudian.
“Boleh
gabung nggak? Masih ada space kosong kan?” aku menoleh. Sial! Beno! Aku kan
belom siap ketemu dia! Kebetulan ronde dua nih!
“Gabung
aja Ben!Tu duduk sebelah Gani aja.” Radit sialan!
“kamu
gimana Gan? Udah sehat?” aku baru saja mau menjawab pertanyaan Beno tapi sudah
didahului Radit.
“dia
nggak sakit Ben! Pura-pura doang, biar dikhawatirin sama lo tuh!” ingatkan aku
sepulang nanti untuk mencabik-cabik lidahnya Radit. Beno tersenyum lalu
manggut-manggut.
“Udah
pada pesen belom nih?” tanyanya kemudian.
“kita
udah kok.” Lagi-lagi Radit yang menjawab. Sepertinya dia dengan
sendirinya sudah menobatkan dirinya sendiri untuk menjadi juru bicaraku dan
Risky. Terima
kasih Radit, baik budimu biar Tuhan yang membalas.
“oh,
gue pesen dulu kalau gitu, sekalian ke toilet sebentar.” Kata Beno sambil
bangkit berdiri dan menghampiri pelayan yang tengah berdiri dekat meja utama. Berbicara sebentar dan
kemudian berlalu. Sepertinya
ke toilet.
“sial
lu ya Dit!” serangku begitu aku melihat Beno sudah tidak terlihat lagi batang
hidungnya.
“Gue
kan Cuma niatnya ngebantu Gan! Seneng kan lo bisa duduk berdampingan sama akang
Beno!” aku mencibir dan Radit malah tertawa-tawa tidak jelas. So shit banget
sih! Aku berniat mengucapkan protesku lagi ke Radit, namun Beno sudah terlanjur
datang.Aku hanya tersenyum-senyum nggak jelas. Salting kayak monyet
dikasih pisang.
Nggak
berapa lama pesanan kita datang. Bagus banget! Jadi aku hanya perlu menyibukkan
diriku dengan ayam bakarku. Terserahlah kalau mereka mau diskusi atau apa, aku
sudah sangat kelaperan banget. Mereka
sesekali saling bercanda. Dan
candaan mereka nggak asik banget. Karena yang jadi bahan candaan itu
adalah aku. Mereka
seperti tidak menyadari –terutama Radit dan Beno, karena Risky hanya menimpali
sesekali- kalau orang yang sedang mereka bicarakan itu ada didekat mereka.
“Kenapa
sih Ben lo sensi banget sama Gani dulu?” tanya Radit dengan entengnya. Sekali
lagi, sepertinya dia sudah menganggapku menghilang entah kemana.
“Masa
sih gue gitu? Enggak
ah!”
“Serius! Gani aja sampai depresi
berat liatin tingkah laku lo ke dia dulu. Ya kan Gan?” aku tersenyum keki. Jadi
sekarang Radit sadar kalau aku masih disini.
“Hahaha,
eh ntar boleh kan Gani bareng gue aja?” jiah! Kenapa Beno ijinnya ke Radit? Apa dia pikir Radit itu
bapakku?
“Boleh
banget Ben! Kebetulan, gue sama Risky mau malam mingguan. Jadi gue nitip adek
gue ya! Awas aja kalau adek gue sampai lecet, gue cakar-cakar muka ganteng lo!”
kayaknya aku ketinggalan berita dah. Sejak kapan ya aku diangkat jadi
adiknya si Bandot ini? Lagian
seenak jidat ini dia ngasih aku ke Beno gitu aja. Biadab banget, dia pikir aku
pelacur apa ya? Ancamannya
juga cakaran, nggak ada yang lebih machoan sedikit? Jambak gitu! Atau kalau
nggak gampar-gamparan gitu. Hahaha, sama saja Gani!
“Kalau
gitu gue duluan ya? Awas
lo Ben kalau adek gue sampai kenapa-napa. Yok Dek.” Radit berdiri. Namun sebelum dia pergi,
dia sempetin nyamperin aku.
“Kesempatan
jangan dibuang gitu aja!” bisiknya pelan.
“Take
care ya! Ayam bakarnya biar gue yang bayar.” Kata Radit sambil berjalan ke meja
kasir.
Selepas
kepergian Radit aku hanya diam. Gila, grogi berat uiy. Grogi banget. Gugup!
“Kamu
marah sama aku?” ha? Marah?
“Nggak
Ben! Marah buat apaan? Kan kamu nggak salah.” Shit, jadi aku juga sudah
ikut-ikutan pake aku-kamu ke Beno.
“Kirain. Kamu sakit apa sih Gan?”
“Sakit
hati.” Jawabku pendek sambil mengaduk-aduk esteh ku.
“hah?
Seriusan? Parah? Udah diperiksa dokter
belom?”
“Parah
banget! Katanya
hatiku patah.” Beno
menatapku sesaat, lalu sepertinya dia mengerti maksut eksplisit dari
kata-kataku.
“Maaf. Oya, aku mau ngajak kamu
ke suatu tempat. Yok! Ntar keburu malem.” Aku bangkit berdiri.
Nyesel juga tadi keluar Cuma pake celana pendek sama kaos pendek doang. Dingin
banget uiy. Tumben-tumbenan nih, biasanya malam-malam juga panas.
“Nih
pake sweater aku. Kamu
Cuma pake kaos pendek gitu. Ntar masuk angin.” See? Adakah lelaki straight yang
seperhatian ini ke teman LELAKInya kalau dia tidak mempunyai perasaan khusus?
Nihil banget! Eh, sweater Beno yang dulu kan juga belom aku balikkin. Aduh.
Segera setelah aku memakai sweater Beno, aku segera duduk manis diboncengannya.
Bodoh amat lah, seharusnya kan aku lebih agresif! Maksutku, kan aku yang sedang
PDKT bukan si Beno. Ini kok malah jadi kebalikan ya?
Dengan
wajah yang semakin memerah, aku memberanikan diriku untuk memeluk pinggang
Beno. Tapi emang apes banget, belum juga dapet lima menit meluk pinggangnya,
motor Beno sudah berhenti. Aku segera turun dari motor. Come on Gani! Lebih
agresif dong! Kataku pada diri sendiri.
“Kita
kebawah.” Aku mengikuti langkah Beno dari belakang. Ini daerah mana sih ya? Malam sih, jadinya nggak
begitu jelas. Halah alibi banget! Bilang aja nggak tau. Rempong! Aku surprised
banget melihat pemandangan dibawahku. Pemandangan rumah-rumah kumuh Jakarta. Aduh, kalau kayak gini
aku jadi dilema. Pengen banget bantuin, tapi aku bisa apa? Lagian Beno juga
pilih tempatnya kok ya nggak banget gitu.
“Lihat
pemandangan di depan sana Gan?” aku mengangguk. Keliatan jelas banget Ben,
rumah kumuh Jakarta.
“Aku
pengen jadi orang yang suatu saat bisa membawa perubahan pada Jakarta Gan.
Belum tahu sih mau jadi apa, tapi satu hal yang pasti. Aku pengen kamu ada
disisiku saat itu.” Mataku
sukses melotot. What? Apa kata Beno tadi.
“Maaf
buat kemaren Gan, tapi dua hari ini aku berpikir banyak. Aku juga sayang kamu. Aku udah pikirin
baik-baik keputusanku ini. Yang kemarin itu masih berlaku kan? Aku mau kok jadi
pacar kamu.” Tampar aku! Ini serius kah? Bukan mimpi?
“Kamu
serius Ben?” Beno
mengangguk sambil tersenyum. Gila! Aku meleleh.
“Will
you be my boyfriend Gani Prasetya?” aku mengangguk dengan semangat. Yeah!
TAMAT
Epilog
Aku
berjalan berdampingan dengan pacar baruku, Yonathan Beno Wicaksono menuju ke
kelas. Sekarang, aku tidak akan memusingkan ejekan-ejekan teman sekelasku.
Karena pada kenyataannya aku dan Beno memang pacaran sekarang. We’re in
relantionship now. Begitu sampai didepan kelas aku melihat Denny yang tengah
tersenyum manis padaku.
“Aku
udah ngerjain PR Matematika untuk kamu Gan!” katanya saat aku sudah berada
didepannya.
“Thanks.
Aku lupa kalau ada PR.” Aku tidak sadar kalau Beno sudah menatap penuh
kebencian kearah Denny.
“Aku
juga udah ngerjain kok Gan. Nyontek
punyaku aja.” Kata
Beno tepat dibelakangku.
“Yakin
jawabannya bener semua?” tanya Denny sedikit mengejek. Harus aku akui, aku
lebih percaya Denny untuk urusan pelajaran. Tapi, aku kan pacarnya Beno
sekarang.
“Apaan
sih lo? Nantangin gue lo Den?!” Beno mulai nyolot. Aku melihat Elliot yang
baru saja masuk kelas. Kalau
diantara Beno dan Denny jelas aku lebih percaya Denny. Tapi jika diantara Denny
dan Elliot? Si
cowok ranking satu?
“Ell,
gue nyontek PR Matematic dong.” Kataku beranjak pergi. Membiarkan Denny dan Beno
bersitegang sendiri.
“Kok
gitu sih Gan? Aku
udah capek-capek nih ngerjain PRnya.” Denny tidak mau terima.
“Hhehe,
sorry Den. PR kamu aku bawa juga kok. Mau aku cocokkin sama punyanya
Elliot.”
Denny
mau menyusulku yang sudah duduk dibangkuku tapi langsung dicegat Beno.
“itu
bangku gue, lo duduk manis sini aja bareng Genta!” Denny langsung menjitak
kepala Beno. Hhahaha,
sepertinya Denny sudah bisa membuka diri dengan anak-anak lain dikelas ini. Aku
tidak tahu apa yang terjadi selama aku tidak masuk kemaren, tapi aku melihat
Denny mulai bisa membaur. So, masa sweat seventeen emang sepertinya berlaku
untukku.
Okay,
this is my story. Hope you enjoy this.
Thanks
uda setia sampai chapter akhir. See you in next different story.
emmhhh kayaknya agak buru2 ya,,, hehehe,,, tp bagus kok
BalasHapusmasih ada session dua kok.
BalasHapushhehe.
cepet donk k
Hapuslg donk k
BalasHapusBagusss banget ceritanya. Keren pokoknya! Hehehe. Gak sabar sama session 2 nya. Salam dari Semarang :)
BalasHapussip. Thanks for read and enjoying my story!!
Hapus