FOLLOW ME

Senin, 11 Februari 2013

CINTAKU DIBAGI TIGA chapter twelve


Aku mendengar suara yang lumayan berisik di sekitarku. Aku mencoba membuka mataku walaupun agak terasa berat. Lalu bayang samar-samar itu menjadi semakin jelas. Aku tersadar sekarang bahwa aku tengah tertidur dengan orang-orang yang memperhatikanku dengan wajah sarat kecemasan. Dan aku melihat Denny juga Beno yang berkali-kali menepuk pipiku. Bahkan aku melihat setitik air mata Denny di kedua ujung matanya.
Hey, aku tidak mati bodoh! Hanya saja, bola sialan itu sepertinya cukup keras menghantam kepalaku.
“Gan, kamu nggak apa-apa kan? Kepalanya sakit? Inget siapa aku?” Denny bertanya bertubi-tubi begitu melihatku yang sudah membuka kedua mataku.
“Jelas sakit lah, itu bola keras banget. Kenapa Den? Kamu pikir aku amnesia?”
“kayaknya dia emang udah sadar.” Kata Beno lirih. Orang-orang yang tadinya mengerumuniku pun berkurang dan hanya tersisa Denny dan Beno yang masih menatapku dengan wajah khawatir.
“I’m fine okay? Never better!” aku melihat Denny menghembuskan nafas lega.
“tapi kamu harus tetap diperiksa ke rumah sakit. Kamu mungkin nggak ngrasa apa-apa, tapi siapa tahu ternyata didalam kepala kamu terjadi pendarahan.” Aku sedikit menjadi was-was begitu mendengar perkataan Denny. Pendarahan otak gitu maksut Denny? Tapi kepalaku cuman terkena bola kan? Masa sih sampai pendarahan? Jangan bercanda dong ah.
“serius Den?” Denny mengangguk mantap. Dan aku juga bisa melihat raut wajah Beno yang semakin khawatir.
“yok aku antar.” Kata Denny sambil membantuku berdiri.
“Nggak bisa gitu Den! Gani kesini kan sama gue, jadi ya gue yang nganter dia!” Denny menarik nafas panjang sebelum menunjuk ke tengah lapangan dengan dagunya.
“lo ditungguin temen-temen lo! Ada pertandingan kan lo?” Beno sudah akan menyanggah lagi, namun aku mendahuluinya.
“Nggak apa-apa Ben, gua sama Denny saja. Lo main gih sana.” Beno mengangguk walaupun wajahnya masih kelihatan belum terima.
Denny menuntunku keluar lapangan dan menuju lapangan parkir. Perasaanku campur aduk. Antara senang, malu dan sakit di kepalaku yang luar biasa bercampur jadi satu. Sesampainya di rumah sakit Denny langsung sibuk sendiri dengan reseptionis. Mencari ayahnya, yang seorang dokter bedah. Sepertinya penghuni rumah sakit ini sudah hafal dengan tampang Denny, terbukti dari beberapa dokter yang menyempatkan untuk menyapa Denny. Wajar sih, ayahnya kan salah satu dokter senior di rumah sakit ini. Denny masih dengan baju futsalnya. Damn it! He’s so sexy! Damn! Damn!
Akhirnya aku dibawa ke sebuah ruangan untuk menjalani MRI. Katanya sih, takut kalau ada intercranial bleeding. Lebay sih sebenarnya, tapi aku menurut saja, supaya proses ini cepat selesai. Demi Tuhan! Kepalaku Cuma terkena bola! Haruskah seberlebihan ini kepanikan Denny?
Aku tengah tidur-tiduran di kamarku (kamar tidur rumah sakit maksutku, Denny memaksaku-dengan sangat-bahwa aku belom boleh keluar rumah sakit.), ketika Radit masuk dengan wajah khawatir.
“lo kenapa sih? Kecelakaan ato gimana? Sampai harus rawat inap segala!” aku memutar kedua bola mataku. Radit baru saja masuk dan langsung nyerocos kaga jelas. Aku masih sangat capek tadi karena harus berdebat dengan Denny supaya dia tidak memberitahukan keadaanku ke kedua orang tuaku. Dan sekarang? Apakah aku harus menjelaskan kepada Radit bahwa kepalaku hanya terkena bola saja?
“Kepala gua kena bola tadi pas di lapangan futsal.” Radit melongo sesaat.
“Itu doang?” kali ini aku mengangguk pelan.
“Gila!Cuma karena kepala lo kena bola doang lo harus rawat inap begini? VVIP lagi. Gila, siapa yang mau bayar Gan?” aku mengangkat kedua bahuku. Yang memaksa kan Denny, jadi dia dong yang harus bertanggung jawab. Lagipula, orangtuaku bisa memarahiku sebulan penuh kalau tahu aku -yang notabene hanya terkena bola doang- dirawat diruangan VVIP yang mungkin lebih cocok untuk para pejabat. Gila! Sawahku di kampung bisa habis kali buat biaya ini semua. Apalagi MRI nya, itu kan juga nggak murah.
“Gua angkat tangan kalau soal administrasi.” Jawabku jujur.
“Semua udah beres kok. Ayah udah ngurus semuanya.” Aku dan Radit secara kompak menoleh ke arah sumber suara dan melihat Denny yang tengah bersandar di pintu masuk. Harus ya dia pose seperti itu? Pose seksi ala-ala model L’men gitu?
“Thanks Den. Tapi aku nggak kenapa-napa kan?”
“He eh, nggak ada luka yang serius.” Aku menghembuskan nafas lega.
“Berarti Gani udah boleh pulang kan?” tanya Radit yang dijawab dengan anggukan Denny. Wajahku berbinar-binar sekarang. Segera saja aku bangkit dari ranjang empukku dan berdiri dengan tegap. Tidak sabar untuk keluar dari rumah sakit jahanam ini. Maksutku, siapa sih orang yang menyukai rumah sakit?
“Lo duluan Dit, masih ada yang mau gua omongin sama Gani.” Denny berkata sambil menahan tanganku. Radit melihatku sebentar dan aku menganggukan kepalaku. Mengisyaratkan bahwa aku akan baik-baik saja.
“Oke, gua tunggu di mobil Gan.” Aku mengangguk. Setelah Radit keluar dari kamarku, Denny langsung mengunci pintu kamar (demi berjalannya cerita sesuai apa yang diinginkan penulis, bisa dong kunci kamar rumah sakit di tangan Denny! Dilarang protes! Hahaha.)
“Mau ngomong apaan Den?” tanyaku sedikit was-was. Perlukah dia mengunci pintunya kalau hanya ingin berbicara? Seluruh inderaku langsung waspada.
“Udah berapa kali aku bilang, jauhi Beno!” suara Denny pelan, tapi aku masih bisa mendengar nada perintah disana.
“Bukan urusan kamu sekarang. I’m not yours anymore!”
“Dia itu bawa pengaruh buruk buat kamu Gan! Sadar nggak sih?” sejak kapan Denny bisa berpikiran sepicik ini tentang orang lain?
“Tahu apa kamu soal Beno? Kamu nggak tahu apa-apa!” Denny mendecak-decakkan lidahnya gemas.
“Pokonya jauhi Beno, kalau nggak. . .”
“Kalau nggak apa?!” semburku langsung sambil menerjang Denny dan membuka pintu kamarku. Gila, aku lupa kalau pintunya dikunci tadi. Terpaksa aku menghadap ke arah Denny lagi.
“Aku mau pulang. Kuncinya, tolong!”
“Dan melewatkan pertunjukkan yang satu ini?” kata Denny sambil melepas kaos futsalnya. Shit! Not now! Denny mau striptease didepanku sekarang? Badannya memang semakin bagus. Sudah berapa lama aku tidak melihat tubuhnya lagi? 6 bulan? 7 bulan? Dan dia semakin seksi. Shit! Shit! Shit!
“Atau yang ini?” kali ini Denny melepas celana pendeknya. Jadi sekarang dia mau pamer badan? Kalau tujuannya untuk merangsangku, dia berhasil. Tenggorokanku sudah tercekat melihat tubuhnya yang hanya di balut oleh celana dalam.
“Please Den? Biarin aku pulang.”
“Pulang? Wajah kamu sudah penuh nafsu gitu, dan kamu pengen pulang?” aku mendecak sebal. Aku tidak mau hilang kendali! Walaupun saat ini aku sedang sendiri dan tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun, namun tetap saja ini bukan style ku. Berhubungan seks dengan seseorang yang tidak terikat apapun denganku itu bukan gayaku.
Aku mendekat pelan ke arah Denny, meraih kepalanya dan menundukannya agar bibirnya setara dengan bibirku. Menciumnya dengan teknik yang aku tahu bisa membuat Denny lepas kendali. Terbukti dengan gerakan tangan Denny yang memeluk pinggangku semakin erat agar semakin merapat ke tubuhnya. Dengan gerakan liar, aku meraih celana dalamnya dan melepasnya lalu membuangnya sejauh mungkin.Tanpa membuang waktu, aku langsung melepas ciumanku, meraih celana pendek Denny yang tergeletak di lantai dan mengambil kunci pintu kamarku.
Secepat kilat aku pergi, dengan kondisi Denny yang sudah telanjang bulat, dia tidak mungkin mengejarku. Melihatku yang berjalan dengan tergesa-gesa, Radit menatapku heran.
“lama banget sih lo!”
“sshh, buruan cabut!”
***

Aku benar-benar tidak bisa menatap Denny. Selain karena muak dengan apa yang dia lakukan kemaren malam di rumah sakit, aku juga jadi mengingat-ngingat seluruh lekuk tubuh Denny yang semakin matang. Benarkah penis masih bisa tumbuh saat kita berusia enam belas? Karena itu yang aku lihat dari Denny. Sepertinya milik pusakanya itu semakin bertambah panjang dan besar sejak terakhir aku melihatnya. Gila! Bahkan aku masih ingat sedetail itu! God, help me!
“lo kenapa Gan? Sakit?” aku menggeleng pelan menanggapi pertanyaan Elliot. Aku sadar, sangat sadar bahwa beberapa kali Denny melirikku dan itu membuat aku salah tingkah. Aku bukan perawan lagi! Demi Tuhan! Jadi perlukan aku salah tingkah menghadapi pria yang dulu merampas keperawananku? BIG NO!
“lo udah ngerjain tugas Bahasa Inggris kan?” sekarang aku menoleh ke arah Elliot dengan tampang khawatir plus polos.
“tugas yang mana Ell?”
“itu yang di suruh buat interview dalam bahasa Inggris.” Aku meringis tanpa dosa.
“belom. Hhehe.”
“udah gua duga. Nih, gua uda bikin dua kemaren. Lo salin aja.” mataku berbinar-binar cerah. Gila, Elliot baek banget sumpah!
“thanks Ell. Lu emang temen gua paling caem dunia akherat deh!”
“iya, buruan gih nyalinnya. Ntar keburu Pak Imam dateng.”
“sip.” Aku langsung menyalin tugas Bahasa Inggris Elliot yang sudah dia kerjakan special banget buat aku. Jiahaha. Lumayan lah, kegiatan ini bisa bikin aku untuk sementara waktu mengabaikan Denny. Dia kan masih pertengahan enam belas ke tujuh belas, tapi kenapa tubuhnya udah mateng bener gitu sih? Seksi banget. Gani! Fokus sama Bahasa Inggris lo! Kataku pada diriku sendiri dalam hati.
“kebiasaan banget kamu Gan! Ngerjain PR atau tugas di sekolah. Nggak pernah di rumah.” Beno yang baru saja masuk ke kelas langsung menghadiahkan pertanyaan untukku yang dalem banget artinya. Thanks to Beno.
“udah sih, kayak lu nggak kenal gua aja.” jawabku malas sambil masih tetap fokus dengan tugasku. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Beno, karena tiba-tiba dia sudah memijit bahuku. Pelan dan enak.
“enak kan pijatan aku?” aku hanya mengangguk dan saat aku menatap kedepan aku di hadiahi pandangan garang Denny dan pandangan ingin tahu Radit. Aduh, pasti nanti Radit bakal mewawancaraiku secara eksklusif sebelum makan malam deh. Dan itu sudah pasti akan menghambat proses aku makan malam dengan nikmat. Dan Denny, apa sih yang ada di kepalanya? Masih cemburukah dia? Ah, bodo amat lah.
“tulisan kamu tu rapi banget ya Gan. Bagus!” aduh, Beno mulai aneh lagi kah? Masalahnya, pujiannya tu jayus banget.
“he eh. Thanks.” Sekarang tangan Denny sudah memijit lembut kepalaku.Terkadang mengusap-usap rambutku dengan gemas.
“cie cie cie, Gani sama Beno nih. Cinta terlarang uiy!” kayaknya mulut Ian emang udah rombeng.
“Eh Yan, rambut Gani lembut banget lho. Mau coba nyentuh nggak? Nggak kalah sama rambut cewek yang abis di smoothing!” ini Beno apa-apaan sih? Kok malah jadi promosi rambutku?
“masa sih, aku coba pegang ah.” Sebelum Ian beranjak dari tempat duduknya, aku sudah menghadiahi dia pelototan tajam.
“cih, Gani curang! Beno boleh, masa gue nggak!” aku memeletkan lidahku menanggapi omongannya Ian.
“sentuh aja tuh rambut si Derry!” kata Beno yang sekarang merangkulku dari belakang. Ini anak kemasukan setan apa sih? Mesra banget, seolah-olah aku pacarnya saja. Aku memutar pandanganku ke seisi kelas. Ini juga pada apa-apaan ya? Nggak komen sama sekali melihat perlakuan mesra Beno ke aku?
“enak aja lo Ben! Derry kan cepak! Yang ada jari gue ntar berdarah.” Anak-anak cowok belakang pada tertawa dan Derry langsung menjitak kepala Ian. Kayaknya sakit banget tuh, Ian saja sampai meringis-ringis gitu.
Ditengah pelajaran Bahasa Inggris yang tengah berlangsung, aku malah sibuk melamun. Apa sih yang orang lihat dari aku? I mean, wajahku kan nggak cakep. Lumayan sih emang. Lumayan pas-pasan gitu maksutku.Walaupun sekarang badanku nggak sekurus dulu. Mulai terisi oleh otot-otot yang sudah lumayan. Seenggaknya kalau soal body, aku cukup PD lah sekarang.
Namun yang aku heran, kenapa aku masih saja tidak bisa olahraga? KENAPA? Serve ku dalam voli masih kacau –kayaknya sampai kapanpun tak kan pernah bisa diperbaiki- dan dribble ku dalam bola basket masih sama parahnya kayak dulu. Apakah ini sebuah kutukan? Kutukan yang akan hilang jika aku sudah menyukai seorang gadis lagi? Hopeless dong ya?
Hp ku bergetar.
Sms dari Denny.

Msih k inget y kmren?

Apa-apan ini anak? Sengaja nih, mau memancing di air keruh?

Mnurt km?

Tak menunggu lama hingga Denny membalas smsku.

Wjah u msih horny gtu.

Begitu membaca sms dari Denny barusan, aku langsung memasukkan kembali ponselku ke dalam saku celana abu-abuku. Menatap kedepan tepat di punggung Denny. Mungkin saking tajamnya tatapanku, Denny pun menengokkan kepalanya ke belakang.Tersenyum geje ke arahku.
“ass hole!!” teriakku lirih, sangat lirih. Namun Denny pasti bisa mengerti karena bibirku mengatakannya dengan gerakan yang sangat  jelas. Dia malah menjilat-jilat bibirnya dengan gerakan sensual. Fucking shit!
***

“Mbok Parni, lihat Radit nggak?” tanyaku pada Mbok Parni yang tengah asyik dengan piring-piring di wastafelnya sambil bersenandung. Mbok Parni bersenandung lagu,
Cinta satu malam, oh indahnya
Cinta satu malam, buat ku melayang

Mungkin Mbok Parni ingin menyaingi kesuksesan Melinda kali ya.
“Di belakang mas, tadi sih katanya mau nyuci apa gitu.”
“Nyuci?” aku keheranan. Radit nyuci? Tanda-tanda mau kiamat kali.
“iya, saya aja juga heran kok mas.” Aku menganggukan kepalaku sambil berlalu ke belakang.Tempat yang biasanya digunakan sebagai tongkrongannya Mbok Parni di pagi hari. Dan aku melihat Radit memang tengah mencuci. Dengan tampang serius pula.
“woy, rajin amat lu ya!” Radit tampak terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Dan dia segera menyembunyikan apapun itu yang tengah dia cuci.
“Lu nyuci apaan sih?” tanyaku yang merasa keheranan dengan sikap salah tingkah Radit.
“nothing. Bukan apa-apa kok.” Aku yang diserang rasa penasaran tinggi langsung merebut sesuatu yang disembunyikan oleh Radit. Mataku membelalak.
“I’m so sorry. Really!” aku masih tidak bisa berkata apa-apa. Buat apa Radit mencuci celana dalam dan boxerku?
“Lu ngapain sih Dit?” tanyaku akhirnya. Masih dengan nada bingung dan tidak percaya.
“nyuci lah!” aku memutar kedua bola mataku. Dari jauh juga aku sudah tahu kalau dia tengah mencuci.Tapi apa-apaan ini? Aku menatapnya tajam, berusaha membuat dia sejujur mungkin denganku.
“gua terobsesi sama lo.” Radit menjawab dengan kepala menunduk. Semburat merah jambu menjalar di pipinya.
“maksut lu?”
“gue sayang sama lo Gan! Masak sih lo nggak nyadar? Tapi karena gue tau diri, gue ini bukan tipe lo, karena sejauh yang gue liat lo lebih suka model-model seksi kayak si Denny atau kalau nggak cowok yang selalu berpenampilan keren kayak Beno. Gua nggak mungkin bisa jadi pacar lo! Gua sadar itu! Makanya . . .”
“makanya apa?”
“gue suka nyiumin semua bekas pakaian lo yang baru aja lo pake.” Mulutku menganga selebar tembok Borobudur.
“lu nggak pernah bilang Dit!”
“gimana gue mau bilang, kalau tiap hari yang lu ceritain si Denny! Kalau nggak lo cerita tentang Beno. Beno inilah, Denny itulah! Mana pernah lo cerita tentang gue!” aku sedikit geli. Ingin sekali bibirku menyunggingkan senyum tapi aku tahan. Mana mungkin kan kita cerita tentang si A dengan si A? Radit ngelucu nih!
“Trus Risky? Bukannya lu suka dia?”
“kapan gue bilang gitu?” aku sedikit berpikir. Radit kayaknya pernah ngomong kok.
“itu pas gua tanya ke elu malam dulu itu.”
“gue kan nggak pernah ngiyain Gan! Gua Cuma balik nanya tau dari siapa lo? Gitu kan?” iya ya? Kayaknya Radit emang nggak pernah ngiyain.Tapi sumpah, Radit menyukaiku? Sejak kapan?
“sejak kapan Dit? Lu suka sama gua?”
“sejak lo selalu ada buat gue! Sejak lo nemenin gue di rumah sakit karena nyokap gue kecelakaan. Sejak lo tinggal bareng gue! Cinta itu dateng karena terbiasa Gan! Dan gue terbiasa menghabiskan semua waktu gue sama lo!”
“jadi itu alasan sebenarnya lu ikut Rohis? Lu pengen ngehindarin gua?” aku mengambil kesimpulan. Rohis adalah satu-satunya ekskul yang nggak mungkin bakal aku ikutin. Radit menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.
“Gue sayang sama lu Gan, tapi gue tahu gue nggak mungkin milikin elo. Jadi sahabat tempat lo bisa cerita semuanya aja udah bikin gue seneng. Lo ngusel-ngusel gue tiap malem aja udah bikin gue melayang. Nggak ada niat gue buat ngehindarin elo Gan! Sungguh!” hatiku bergejolak. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Jadi selama ini Radit menyukaiku? Dan dia memendamnya sendiri.
“Trus, kenapa lu nyuci celana dalem gua?” kini Radit menatapku dengan tatapan heran.
“menurut lo yang nyuci celana dalam lo selama ini Mbok Parni?” aku mengangguk. Ya siapa lagi coba?
“gila lo ya Gan! Parah banget! Baru kali ini gue ketemu cowok separah lo!” aku mencebik sebal. Apa masalahnya? Dulu juga kalau di kampung yang nyuciin juga ibuku, ada masalah apa ya?
“harus gitu ya kalau celana dalem dicuci sendiri?” Radit menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatapku gemas.
“kenapa ya gue bisa sayang sama lo?” kali ini aku tersinggung. Emangnya aku nyuruh dia buat sayang sama aku? Enak aja!
“mana gua tahu!” aku berkata pendek sambil berlalu. Aku langsung menuju kamarku dan tiduran disana. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Radit menyukaiku, dan tentu saja aku tidak bisa menghapus fakta itu begitu saja dari pikiranku. Jangan-jangan, setiap malam kita tidur berdua Radit curi-curi buat ngelaba aku lagi? Eh, bukannya aku sendiri ya yang suka ngusel-ngusel dia? Aku memang bukan tipe yang tenang tidak bergerak saat tidur. Aku selalu memeluk sesuatu, entah itu guling, boneka atau apapun.
Gila, berarti selama ini aku ngasih rejeki gratis dong ke Radit? Namun, gimana aku mesti bersikap ya setelah ini? Maksutku, aku kan tidak bisa bersikap biasa-biasa saja seperti dulu. Radit suka aku, entar kalau aku peluk-peluk dia, dikira aku ngasih harapan lagi. Padahal selama ini kan aku sering banget meluk dia.
Aduh, galau attack me!

Tbc. . .
Chapter 13 ya?
tinggal 2 chapter lagi,.
See you. . .

1 komentar:

  1. Anonim2/12/2013

    ga nyangka tinggal 2 chapter lg,,, ^_^

    BalasHapus

leave comment please.