Aku mendengar suara yang lumayan berisik di
sekitarku. Aku mencoba
membuka mataku walaupun agak terasa berat. Lalu bayang samar-samar itu menjadi semakin
jelas. Aku tersadar
sekarang bahwa aku tengah tertidur dengan orang-orang yang memperhatikanku
dengan wajah sarat kecemasan. Dan aku
melihat Denny juga Beno yang berkali-kali menepuk pipiku. Bahkan aku melihat setitik air mata Denny di
kedua ujung matanya.
Hey, aku tidak mati bodoh! Hanya saja, bola
sialan itu sepertinya cukup keras menghantam kepalaku.
“Gan, kamu nggak apa-apa kan? Kepalanya
sakit? Inget siapa
aku?” Denny bertanya
bertubi-tubi begitu melihatku yang sudah membuka kedua mataku.
“Jelas sakit lah, itu bola keras banget. Kenapa Den? Kamu pikir aku amnesia?”
“kayaknya dia emang udah sadar.” Kata Beno
lirih. Orang-orang
yang tadinya mengerumuniku pun berkurang dan hanya tersisa Denny dan Beno yang
masih menatapku dengan wajah khawatir.
“I’m fine okay? Never better!” aku melihat
Denny menghembuskan nafas lega.
“tapi kamu harus tetap diperiksa ke rumah
sakit. Kamu mungkin nggak ngrasa apa-apa, tapi siapa tahu ternyata didalam
kepala kamu terjadi pendarahan.” Aku sedikit menjadi was-was begitu mendengar
perkataan Denny. Pendarahan otak gitu maksut Denny? Tapi kepalaku cuman terkena
bola kan? Masa sih sampai pendarahan? Jangan
bercanda dong ah.
“serius Den?” Denny mengangguk mantap. Dan aku juga bisa melihat raut wajah Beno
yang semakin khawatir.
“yok aku antar.” Kata Denny sambil membantuku
berdiri.
“Nggak bisa gitu Den! Gani kesini kan sama
gue, jadi ya gue yang nganter dia!” Denny menarik nafas panjang sebelum
menunjuk ke tengah lapangan dengan dagunya.
“lo ditungguin temen-temen lo! Ada
pertandingan kan lo?” Beno sudah akan menyanggah lagi, namun aku mendahuluinya.
“Nggak apa-apa Ben, gua sama Denny saja. Lo main
gih sana.” Beno mengangguk walaupun wajahnya masih kelihatan belum terima.
Denny menuntunku keluar lapangan dan menuju
lapangan parkir. Perasaanku
campur aduk. Antara senang,
malu dan sakit di kepalaku yang luar biasa bercampur jadi satu. Sesampainya di rumah sakit Denny langsung
sibuk sendiri dengan reseptionis. Mencari ayahnya,
yang seorang dokter bedah. Sepertinya
penghuni rumah sakit ini sudah hafal dengan tampang Denny, terbukti dari
beberapa dokter yang menyempatkan untuk menyapa Denny. Wajar sih, ayahnya kan
salah satu dokter senior di rumah sakit ini. Denny masih dengan baju futsalnya.
Damn it! He’s so sexy! Damn! Damn!
Akhirnya aku dibawa ke sebuah ruangan untuk
menjalani MRI. Katanya sih,
takut kalau ada intercranial bleeding. Lebay sih sebenarnya, tapi aku menurut
saja, supaya proses ini cepat selesai. Demi Tuhan! Kepalaku Cuma terkena bola!
Haruskah seberlebihan ini kepanikan Denny?
Aku tengah tidur-tiduran di kamarku (kamar
tidur rumah sakit maksutku, Denny memaksaku-dengan sangat-bahwa aku belom boleh keluar rumah
sakit.), ketika Radit masuk dengan wajah khawatir.
“lo kenapa sih? Kecelakaan ato gimana? Sampai harus rawat inap segala!” aku memutar
kedua bola mataku. Radit baru
saja masuk dan langsung nyerocos kaga jelas. Aku masih sangat capek tadi karena
harus berdebat dengan Denny supaya dia tidak memberitahukan keadaanku ke kedua
orang tuaku. Dan sekarang? Apakah aku
harus menjelaskan kepada Radit bahwa kepalaku hanya terkena bola saja?
“Kepala gua kena bola tadi pas di lapangan futsal.” Radit melongo sesaat.
“Itu doang?” kali ini aku mengangguk pelan.
“Gila!Cuma karena kepala lo kena bola doang
lo harus rawat inap begini? VVIP lagi.
Gila, siapa yang mau bayar Gan?” aku mengangkat kedua bahuku. Yang memaksa kan
Denny, jadi dia dong yang harus bertanggung jawab. Lagipula, orangtuaku bisa
memarahiku sebulan penuh kalau tahu aku -yang notabene hanya terkena bola
doang- dirawat diruangan VVIP yang mungkin lebih cocok untuk para pejabat.
Gila! Sawahku di kampung bisa habis kali buat biaya ini semua. Apalagi MRI nya,
itu kan juga nggak murah.
“Gua angkat tangan kalau soal administrasi.” Jawabku jujur.
“Semua udah beres kok. Ayah udah ngurus
semuanya.” Aku dan Radit secara kompak menoleh ke arah sumber suara dan melihat
Denny yang tengah bersandar di pintu masuk. Harus ya dia pose seperti itu? Pose seksi
ala-ala model L’men gitu?
“Thanks Den. Tapi aku nggak kenapa-napa kan?”
“He eh, nggak ada luka yang serius.” Aku menghembuskan nafas lega.
“Berarti Gani udah boleh pulang kan?” tanya
Radit yang dijawab dengan anggukan Denny. Wajahku berbinar-binar sekarang. Segera saja aku bangkit dari ranjang empukku
dan berdiri dengan tegap. Tidak sabar
untuk keluar dari rumah sakit jahanam ini. Maksutku, siapa sih orang yang menyukai rumah
sakit?
“Lo duluan Dit, masih ada yang mau gua
omongin sama Gani.” Denny berkata sambil menahan tanganku. Radit melihatku sebentar dan aku menganggukan
kepalaku. Mengisyaratkan bahwa aku akan baik-baik saja.
“Oke, gua tunggu di mobil Gan.” Aku
mengangguk. Setelah Radit
keluar dari kamarku, Denny langsung mengunci pintu kamar (demi berjalannya
cerita sesuai apa yang diinginkan penulis, bisa dong kunci kamar rumah sakit di
tangan Denny! Dilarang protes! Hahaha.)
“Mau ngomong apaan Den?” tanyaku sedikit
was-was. Perlukah dia mengunci pintunya kalau hanya ingin berbicara? Seluruh
inderaku langsung waspada.
“Udah berapa kali aku bilang, jauhi Beno!”
suara Denny pelan, tapi aku masih bisa mendengar nada perintah disana.
“Bukan urusan kamu sekarang. I’m not yours
anymore!”
“Dia itu bawa pengaruh buruk buat kamu Gan!
Sadar nggak sih?” sejak kapan Denny bisa berpikiran sepicik ini tentang orang
lain?
“Tahu apa kamu soal Beno? Kamu nggak tahu apa-apa!” Denny mendecak-decakkan lidahnya gemas.
“Pokonya jauhi Beno, kalau nggak. . .”
“Kalau nggak apa?!” semburku langsung sambil
menerjang Denny dan membuka pintu kamarku. Gila, aku lupa kalau pintunya
dikunci tadi. Terpaksa aku
menghadap ke arah Denny lagi.
“Aku mau pulang. Kuncinya, tolong!”
“Dan melewatkan pertunjukkan yang satu ini?”
kata Denny sambil melepas kaos futsalnya. Shit! Not now! Denny mau striptease
didepanku sekarang? Badannya
memang semakin bagus. Sudah berapa
lama aku tidak melihat tubuhnya lagi? 6 bulan? 7 bulan? Dan dia semakin seksi. Shit! Shit! Shit!
“Atau yang ini?” kali ini Denny melepas
celana pendeknya. Jadi sekarang
dia mau pamer badan? Kalau
tujuannya untuk merangsangku, dia berhasil. Tenggorokanku sudah tercekat melihat tubuhnya
yang hanya di balut oleh celana dalam.
“Please Den? Biarin aku pulang.”
“Pulang? Wajah kamu sudah penuh nafsu gitu, dan kamu
pengen pulang?” aku mendecak sebal. Aku tidak mau hilang kendali! Walaupun saat
ini aku sedang sendiri dan tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun,
namun tetap saja ini bukan style ku. Berhubungan
seks dengan seseorang yang tidak terikat apapun denganku itu bukan gayaku.
Aku mendekat pelan ke arah Denny, meraih
kepalanya dan menundukannya agar bibirnya setara dengan bibirku. Menciumnya dengan teknik yang aku tahu bisa
membuat Denny lepas kendali. Terbukti
dengan gerakan tangan Denny yang memeluk pinggangku semakin erat agar semakin
merapat ke tubuhnya. Dengan gerakan
liar, aku meraih celana dalamnya dan melepasnya lalu membuangnya sejauh
mungkin.Tanpa membuang waktu, aku langsung melepas ciumanku, meraih celana
pendek Denny yang tergeletak di lantai dan mengambil kunci pintu kamarku.
Secepat kilat aku pergi, dengan kondisi Denny
yang sudah telanjang bulat, dia tidak mungkin mengejarku. Melihatku yang berjalan dengan tergesa-gesa,
Radit menatapku heran.
“lama banget sih lo!”
“sshh, buruan cabut!”
***
Aku benar-benar tidak bisa menatap Denny.
Selain karena muak dengan apa yang dia lakukan kemaren malam di rumah sakit,
aku juga jadi mengingat-ngingat seluruh lekuk tubuh Denny yang semakin matang. Benarkah penis masih bisa tumbuh saat kita
berusia enam belas? Karena itu
yang aku lihat dari Denny. Sepertinya
milik pusakanya itu semakin bertambah panjang dan besar sejak terakhir aku
melihatnya. Gila! Bahkan aku masih ingat sedetail itu! God, help me!
“lo kenapa Gan? Sakit?” aku menggeleng pelan
menanggapi pertanyaan Elliot. Aku sadar,
sangat sadar bahwa beberapa kali Denny melirikku dan itu membuat aku salah
tingkah. Aku bukan perawan lagi! Demi Tuhan! Jadi perlukan aku salah tingkah menghadapi
pria yang dulu merampas keperawananku? BIG NO!
“lo udah ngerjain tugas Bahasa Inggris kan?”
sekarang aku menoleh ke arah Elliot dengan tampang khawatir plus polos.
“tugas yang mana Ell?”
“itu yang di suruh buat interview dalam
bahasa Inggris.” Aku meringis tanpa dosa.
“belom. Hhehe.”
“udah gua duga. Nih, gua uda bikin dua
kemaren. Lo salin aja.” mataku berbinar-binar cerah. Gila, Elliot baek banget
sumpah!
“thanks Ell. Lu emang temen gua paling caem
dunia akherat deh!”
“iya, buruan gih nyalinnya. Ntar keburu Pak
Imam dateng.”
“sip.” Aku langsung menyalin tugas Bahasa
Inggris Elliot yang sudah dia kerjakan special banget buat aku. Jiahaha. Lumayan lah, kegiatan ini bisa bikin aku
untuk sementara waktu mengabaikan Denny. Dia kan masih pertengahan enam belas
ke tujuh belas, tapi kenapa tubuhnya udah mateng bener gitu sih? Seksi banget.
Gani! Fokus sama Bahasa Inggris lo! Kataku pada diriku sendiri dalam hati.
“kebiasaan banget kamu Gan! Ngerjain PR atau
tugas di sekolah. Nggak pernah
di rumah.” Beno yang baru
saja masuk ke kelas langsung menghadiahkan pertanyaan untukku yang dalem banget
artinya. Thanks to Beno.
“udah sih, kayak lu nggak kenal gua aja.”
jawabku malas sambil masih tetap fokus dengan tugasku. Aku tidak tahu apa yang
ada di pikiran Beno, karena tiba-tiba dia sudah memijit bahuku. Pelan dan enak.
“enak kan pijatan aku?” aku hanya mengangguk
dan saat aku menatap kedepan aku di hadiahi pandangan garang Denny dan
pandangan ingin tahu Radit. Aduh, pasti nanti Radit bakal mewawancaraiku secara
eksklusif sebelum makan malam deh. Dan itu sudah pasti akan menghambat proses
aku makan malam dengan nikmat. Dan Denny, apa sih yang ada di kepalanya? Masih
cemburukah dia? Ah, bodo amat lah.
“tulisan kamu tu rapi banget ya Gan. Bagus!”
aduh, Beno mulai aneh lagi kah? Masalahnya,
pujiannya tu jayus banget.
“he eh. Thanks.” Sekarang tangan Denny sudah
memijit lembut kepalaku.Terkadang mengusap-usap rambutku dengan gemas.
“cie cie cie, Gani sama Beno nih. Cinta
terlarang uiy!” kayaknya mulut Ian emang udah rombeng.
“Eh Yan, rambut Gani lembut banget lho. Mau coba nyentuh nggak? Nggak kalah sama
rambut cewek yang abis di smoothing!” ini Beno apa-apaan sih? Kok malah jadi
promosi rambutku?
“masa sih, aku coba pegang ah.” Sebelum Ian
beranjak dari tempat duduknya, aku sudah menghadiahi dia pelototan tajam.
“cih, Gani curang! Beno boleh, masa gue
nggak!” aku memeletkan lidahku menanggapi omongannya Ian.
“sentuh aja tuh rambut si Derry!” kata Beno
yang sekarang merangkulku dari belakang. Ini anak kemasukan setan apa sih?
Mesra banget, seolah-olah aku pacarnya saja. Aku memutar pandanganku ke seisi kelas. Ini juga pada apa-apaan ya? Nggak komen sama
sekali melihat perlakuan mesra Beno ke aku?
“enak aja lo Ben! Derry kan cepak! Yang ada
jari gue ntar berdarah.” Anak-anak cowok belakang pada tertawa dan Derry
langsung menjitak kepala Ian. Kayaknya sakit
banget tuh, Ian saja sampai meringis-ringis gitu.
Ditengah pelajaran Bahasa Inggris yang tengah
berlangsung, aku malah sibuk melamun. Apa sih yang
orang lihat dari aku? I mean, wajahku kan nggak cakep. Lumayan sih emang. Lumayan pas-pasan gitu maksutku.Walaupun
sekarang badanku nggak sekurus dulu. Mulai terisi
oleh otot-otot yang sudah lumayan. Seenggaknya kalau
soal body, aku cukup PD lah sekarang.
Namun yang aku heran, kenapa aku masih saja
tidak bisa olahraga? KENAPA? Serve
ku dalam voli masih kacau –kayaknya sampai kapanpun tak kan pernah bisa
diperbaiki- dan dribble ku dalam bola basket masih sama parahnya kayak dulu.
Apakah ini sebuah kutukan? Kutukan yang akan hilang jika aku sudah menyukai
seorang gadis lagi? Hopeless dong ya?
Hp ku bergetar.
Sms dari Denny.
Msih k inget y kmren?
Apa-apan ini anak? Sengaja nih, mau memancing
di air keruh?
Mnurt km?
Tak menunggu lama hingga Denny membalas
smsku.
Wjah u msih horny gtu.
Begitu membaca sms dari Denny barusan, aku
langsung memasukkan kembali ponselku ke dalam saku celana abu-abuku. Menatap kedepan tepat di punggung Denny. Mungkin saking tajamnya tatapanku, Denny pun
menengokkan kepalanya ke belakang.Tersenyum geje ke arahku.
“ass hole!!”
teriakku lirih, sangat lirih. Namun Denny pasti bisa mengerti karena bibirku
mengatakannya dengan gerakan yang sangat
jelas. Dia malah menjilat-jilat bibirnya dengan gerakan sensual. Fucking
shit!
***
“Mbok Parni, lihat Radit nggak?” tanyaku pada
Mbok Parni yang tengah asyik dengan piring-piring di wastafelnya sambil
bersenandung. Mbok Parni bersenandung lagu,
Cinta satu malam, oh indahnya
Cinta satu malam, buat ku melayang
Mungkin Mbok Parni ingin menyaingi kesuksesan
Melinda kali ya.
“Di belakang mas, tadi sih katanya mau nyuci
apa gitu.”
“Nyuci?” aku keheranan. Radit nyuci? Tanda-tanda mau kiamat kali.
“iya, saya aja juga heran kok mas.” Aku
menganggukan kepalaku sambil berlalu ke belakang.Tempat yang biasanya digunakan
sebagai tongkrongannya Mbok Parni di pagi hari. Dan aku melihat Radit memang tengah mencuci. Dengan tampang serius pula.
“woy, rajin amat lu ya!” Radit tampak
terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Dan dia segera menyembunyikan apapun itu yang
tengah dia cuci.
“Lu nyuci apaan sih?” tanyaku yang merasa
keheranan dengan sikap salah tingkah Radit.
“nothing. Bukan apa-apa kok.” Aku yang
diserang rasa penasaran tinggi langsung merebut sesuatu yang disembunyikan oleh
Radit. Mataku
membelalak.
“I’m so sorry. Really!” aku masih tidak bisa
berkata apa-apa. Buat apa Radit mencuci celana dalam dan boxerku?
“Lu ngapain sih Dit?” tanyaku akhirnya. Masih dengan nada bingung dan tidak percaya.
“nyuci lah!” aku memutar kedua bola mataku.
Dari jauh juga aku sudah tahu kalau dia tengah mencuci.Tapi apa-apaan ini? Aku menatapnya tajam, berusaha membuat dia
sejujur mungkin denganku.
“gua terobsesi sama lo.” Radit menjawab
dengan kepala menunduk. Semburat merah
jambu menjalar di pipinya.
“maksut lu?”
“gue sayang sama lo Gan! Masak sih lo nggak
nyadar? Tapi karena gue tau diri, gue ini bukan tipe lo, karena sejauh yang gue
liat lo lebih suka model-model seksi kayak si Denny atau kalau nggak cowok yang
selalu berpenampilan keren kayak Beno. Gua nggak mungkin bisa jadi pacar lo!
Gua sadar itu! Makanya . . .”
“makanya apa?”
“gue suka nyiumin semua bekas pakaian lo yang
baru aja lo pake.” Mulutku menganga selebar tembok Borobudur.
“lu nggak pernah bilang Dit!”
“gimana gue mau bilang, kalau tiap hari yang
lu ceritain si Denny! Kalau nggak lo cerita tentang Beno. Beno inilah, Denny
itulah! Mana pernah lo cerita tentang gue!” aku sedikit geli. Ingin sekali bibirku menyunggingkan senyum
tapi aku tahan. Mana mungkin kan kita cerita tentang si A dengan si A? Radit
ngelucu nih!
“Trus Risky? Bukannya lu suka dia?”
“kapan gue bilang gitu?” aku sedikit
berpikir. Radit kayaknya pernah ngomong kok.
“itu pas gua tanya ke elu malam dulu itu.”
“gue kan nggak pernah ngiyain Gan! Gua Cuma
balik nanya tau dari siapa lo? Gitu kan?” iya
ya? Kayaknya Radit
emang nggak pernah ngiyain.Tapi sumpah, Radit menyukaiku? Sejak kapan?
“sejak kapan Dit? Lu suka sama gua?”
“sejak lo selalu ada buat gue! Sejak lo
nemenin gue di rumah sakit karena nyokap gue kecelakaan. Sejak lo tinggal
bareng gue! Cinta itu dateng karena terbiasa Gan! Dan gue terbiasa menghabiskan
semua waktu gue sama lo!”
“jadi itu alasan sebenarnya lu ikut Rohis? Lu
pengen ngehindarin gua?” aku mengambil kesimpulan. Rohis adalah satu-satunya ekskul yang nggak
mungkin bakal aku ikutin. Radit menatapku
dengan tatapan yang sulit aku artikan.
“Gue sayang sama lu Gan, tapi gue tahu gue
nggak mungkin milikin elo. Jadi sahabat tempat lo bisa cerita semuanya aja udah
bikin gue seneng. Lo ngusel-ngusel gue tiap malem aja udah bikin gue melayang.
Nggak ada niat gue buat ngehindarin elo Gan! Sungguh!” hatiku bergejolak. Aku
tidak tahu harus berbuat apa. Jadi selama ini Radit menyukaiku? Dan dia memendamnya sendiri.
“Trus, kenapa lu nyuci celana dalem gua?”
kini Radit menatapku dengan tatapan heran.
“menurut lo yang nyuci celana dalam lo selama
ini Mbok Parni?” aku mengangguk. Ya siapa lagi coba?
“gila lo ya Gan! Parah banget! Baru kali ini
gue ketemu cowok separah lo!” aku mencebik sebal. Apa masalahnya? Dulu juga kalau di kampung
yang nyuciin juga ibuku, ada masalah apa ya?
“harus gitu ya kalau celana dalem dicuci
sendiri?” Radit menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatapku gemas.
“kenapa ya gue bisa sayang sama lo?” kali ini
aku tersinggung. Emangnya aku nyuruh dia buat sayang sama aku? Enak aja!
“mana gua tahu!” aku berkata pendek sambil
berlalu. Aku langsung
menuju kamarku dan tiduran disana. Apa yang harus
aku lakukan sekarang? Radit menyukaiku, dan tentu saja aku tidak bisa menghapus
fakta itu begitu saja dari pikiranku. Jangan-jangan,
setiap malam kita tidur berdua Radit curi-curi buat ngelaba aku lagi? Eh,
bukannya aku sendiri ya yang suka ngusel-ngusel dia? Aku memang bukan tipe yang
tenang tidak bergerak saat tidur. Aku selalu
memeluk sesuatu, entah itu guling, boneka atau apapun.
Gila, berarti selama ini aku ngasih rejeki
gratis dong ke Radit? Namun, gimana
aku mesti bersikap ya setelah ini? Maksutku, aku kan tidak bisa bersikap
biasa-biasa saja seperti dulu. Radit suka aku, entar kalau aku peluk-peluk dia,
dikira aku ngasih harapan lagi. Padahal selama ini kan aku sering banget meluk
dia.
Aduh, galau attack me!
Tbc. . .
Chapter 13 ya?
tinggal 2 chapter lagi,.
tinggal 2 chapter lagi,.
ga nyangka tinggal 2 chapter lg,,, ^_^
BalasHapus