FOLLOW ME

Minggu, 17 Februari 2013

DESIRE, SEX AND PASSION


DESIRE, SEX AND PASSION


MENGERIKAN. Kata itu sangat pantas untuk menggambarkan kematian Federline, pendeta yang sangat aktif dalam kegiatan bersosialisasi. Drew hanya menggelengkan kepalanya perlahan. Kematian Federline memang cukup tragis, ada 3 peluru di tubuhnya. Satu di kepala, satu lagi di dada tepat di jantungnya dan yang terakhir di testisnya. Drew masih buta dengan kasus yang harus di hadapinya ini. Sebagai detektif kepolisian, Drew masih belum mempunyai gambaran yang jelas untuk kasus yang cukup menggemparkan penduduk di kota kecil ini. Dugaan sementara adalah Beatrix, istri muda dari sang pendeta dan Josh anak satu satunya. Karena hanya mereka yang berada di dekat Federline saat maut menjemputnya.
Drew berjalan ke rumah bagian samping. Disitulah terlihat Josh yang sedang menghibur ibu tirinya. Jika melihat tangis Beatrix yang meraung raung seperti ini mungkin orang orang tidak akan curiga. Tapi sebagai detektif kepolisian, Drew harus tetap mencurigai siapapun.
“maaf nyonya Beatrix, bisa mengganggu sebentar?”, sapa Drew sopan. Josh agak menyingkir.
“ya. . .”, Beatrix masih menjawab dengan isak tangis.
“nyonya Beatrix. . .”
“Betty saja Drew”, potong Beatrix sebelum Drew sempat menyelesaikan kalimatnya.
“baik, Betty. Boleh kah saya tau posisi anda tadi malam?”
“aku sudah mengatakannya berulang ulang, aku ada di ruang tengah bersama Josh”, Betty kembali terisak parah. Hal ini sedikit membuat Drew tidak enak hati. Tapi ini sudah menjadi tugasnya, ini pekerjaannya.
“adakah yang melihat?”, tanya Drew dengan hati hati. Betty menggelengkan kepalanya dengan lesu.
“hanya ada aku dan Josh Drew”, Betty menjawab dengan lemah. Oke, saat ini informasinya sudah cukup, lagipula Drew tidak enak hati dengan keluaga yang sedang berkabung ini. Drew juga masih harus menunggu laporan dari bagian forensic dan juga hasil uji lab. Anak buahnya masih melakukan pencarian di sekitar TKP, kalau kalau menemukan barang bukti yang mungkin di tinggalkan pelaku. Pembunuhan ini di lakukan sangat rapi. Dan jika melihat kondisi Federline, sang pembunuh sepertinya adalah orang yang sangat dekat denganya. Federline tertembak dalam kondisi tanpa sehelai benang pun. Ya, dia telanjang bulat. Dan ini menyebabkan Drew mencurigai Betty. Orang yang tidak akan membuat Federline malu untuk telanjang karena Betty adalah istrinya.
Tapi tidak semudah itu, tidak ada barang bukti yang mengarah ke Betty. Betty sedang bermain piano, itu yang di katakan Betty saat kejadian tembakan berlangsung. Lagipula, Betty lha yang menelpon polisi. Jadi? Kasus ini masih tetap saja buntu.
“aku pulang dulu”, kata Drew berpamitan pada anak buahnya. Anak buahnya hanya mengangguk. Ini sudah hampir jam 10 malam. Drew membawa mobilnya seperti kesetanan. Begitu sampai di apartemenya, Drew langsung menuju ke kamarnya dan melucuti pakaiannya satu persatu hingga benar benar telanjang. Dengan geram, Drew masuk ke bawah shower.
“aku pasti akan menangkapmu jahanam”, kata Drew sambil memukul dinding kamar mandi dengan cukup keras.
***




Jasmine berjalan anggun. Menghiraukan tatapan memuja laki laki yang melihatnya. Dengan tinggi 172cm, berwajah cantik dan bertubuh seksi membuat Jasmine selalu menjadi pusat perhatian. Jasmine sempatkan membeli Koran lokal sebentar lalu masuk ke dalam mobil Ferrari yang sudah terparkir manis di depan sebuah toko.
“kau lama sekali”, kata orang yang berada di balik kemudi sambil melihat Jasmine sekilas. Jasmine hanya tersenyum kecil lalu mulai membaca Koran yang tadi sempat di beli olehnya. Tanpa menunggu lama lama lelaki di balik kemudi itu langsung membawa mobil mewah itu merayap di jalan raya. Pekikan itu membuat lelaki di balik kemudi itu secara reflek memencet klakson mobil. Wajahnya Nampak terlihat kesal.
“apa apaan? Sudah datang terlambat dan sekarang teriak histeris tidak jelas”, lelaki di balik kemudi terlihat bersungut sungut.
“lihat Luke, Federline mati” kata Jasmine sambil menyerahkan  Koran lokal yang baru saja di bacanya. Lucas agak tertegun membaca Koran di tanganya.
“mati juga dia”, kata Lucas beberapa saat kemudian.
“jangan terlalu senang”. Lucas menoleh
“apa maksutmu? Jelas aku senang. Aku tidak munafik dan kabar Federline mati ini cukup membuatku terhibur”. Kata Lucas sambil tersenyum sinis.
“tepat sekali. Dan seperti itu lah juga anggapan orang orang bahwa hanya aku dan kau yang akan pesta di atas kematian Federline. Kau tau artinya itu?”, tanya Jasmine. Dan itu tepat mengenai sasaran.
“bukan aku yang membunuhnya”, kata Lucas lirih.
“aku tak yakin, tapi sebisa mungkin jangan membuat perhatian polisi teralih ke kita. Oke?”
“ya, aku juga tak ingin berurusan dengan polisi”, kata Lucas di plomatis.
Lucas melajukan mobilnya seperti biasa, begitu sampai di halaman depan rumahnya Lucas membunyikan klakson 3 kali. Pintu gerbang terbuka beberapa saat kemudian, Lucas menurunkan jendela mobilnya dan mengangguk pada Martin security di rumahnya yang di balas dengan anggukan dan cengiran lebar dari Martin.
“sudah berapa kali kau ‘main’ dengan Martin?”, Lucas terperanjat mendengar pertanyaan dari kakaknya yang terkesan menuduh.
“maksutmu?”
“jangan membohongiku Luke, kau jelas jelas gay. Dan Martin juga sepertinya sama sepertimu. Dia tidak terangsang waktu aku goda tempo kemarin dulu”. Lucas hanya tersenyum geli saat mendengar penuturan dari kakak ‘cantik’nya ini.
“mungkin kau kurang berusaha”, kata Lucas kemudian. Jasmine melotot.
“lelaki normal pasti akan terangsang saat melihatku berbikini. Dan Martin tidak”. Kali ini Lucas tertawa.
“yakin sekali kau”
“sangat yakin. Karena kenyataannya memang begitu”, kata Jasmine sambil keluar dari mobil dan tak lupa menghadiahi Lucas dengan bantingan pada pintu mobilnya. Dasar kakak kurang ajar, sudah minta jemput masih saja ngomel ngomel. Setelah memarkir mobilnya Lucas keluar dari mobil mewah warna merah itu. Rambut pirangnya yang terkena matahari membuatnya seperti berwarna keemasan. Seraut wajah tampan itu tersenyum sekali lagi pada Martin baru masuk ke dalam rumah. Merasa sangat lelah, Lucas langsung tertidur saat kepalanya menyentuh bantal.
***



Entah jam berapa itu, Lucas merasa tubuhnya di guncang guncangkan oleh seseorang. Tidurnya terganggu.
“ada apaan?”, kata Lucas jutek.
“ada polisi mencari tuan muda”, perkataan dari pembantunya ini membuat Lucas sadar seketika. Polisi? Ada urusan apa? Lucas langsung mencuci wajahnya dan pergi ke ruang tamu.
Sesaat Lucas terpaku melihat lelaki di depanya. Polisi ini tidak seperti polisi kebanyakan. Wajahnya tampan, badanya pun tegap dan kulitnya berwarna sawo matang. Seksi sekali.
“Mr. Lucas Crandall?”, lelaki tersebut bertanya sambil mengulurkan tangan. Lucas menyambutnya, lalu ada getaran itu. Lucas merasakanya, getaran yang mengusik relung hatinya yang paling dalam.
“ya” jawab Lucas singkat setelah jemari mereka tak lagi bertaut.
“saya Drew McLinn dari kepolisian”
“ya, silahkan duduk Mr. McLinn?”
“Drew saja. Terimakasih”
“oke, lalu kedatangan anda. . .?” sengaja Lucas menggantung kalimat itu. Secara implisit menanyakan maksut dari kedatangan si seksi-tapi-berbahaya ini.
“dimana anda malam hari kemarin?”. Ini interogasi, kata Lucas dalam hati. Sialan.
“saya berada di rumah teman saya”, kata Lucas singkat.
“dimana?”
“2 blog dari rumah ini”
“apakah ada saksi mata?”, tanya Drew terus mengejar.
“ada 3 orang temanku  kalau mereka bisa di sebut saksi. Dan maaf sebelumnya Mr. McLinn, apa urusan saya dengan pertanyaan pertanyaan sialan ini?”, kata Lucas sedikit emosi.
“Federline terbunuh”
“so. . .?”, Lucas menatap Drew dengan menaikkan sebelah alisnya.
“anda pasti tau kenapa, anda berdua selalu terlihat bertengkar di manapun anda berdua berada”, Drew agak menunduk.
“lalu kau menjadikannya sebagai alasan untuk menginterogasi aku? Cerdas sekali”, kata Lucas sedikit tersinggung.
“maafkan saya, saya hanya menjalankan tugas. Bolehkah saya mengajukan pertanyaan lagi?”. Lucas memutar dua bola matanya.
“oke, apa?”
“anda masih sering hobi berburu?”
“ya, satu minggu sekali”, jawab Lucas tanpa tau arah dari pertanyaan ini.
“berarti anda jago tembak ya?”. Pertanyaan ini di ajukan sangat santai oleh Drew, tapi Lucas menyadarinya. Menyadari ancaman di balik pertanyaan ini.
“ya”, akhirnya Lucas menjawab.
“Federline mati dengan luka tembak”, papar Drew.
“owh, malang sekali”, wajah Lucas terlihat sangat bersimpati.
“dan anda jago tembak”, cecar Drew.
“kau. . .”
“kalian bermusuhan”, Drew terus mengejar, berharap bahwa Lucas akan kelepasan bicara tentang sesuatu yang akan membawa Drew ke titik terang kasus ini. Lucas diam sesaat, namun kemudian bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
“anda sudah sangat putus asa Mr. McLinn? Atau anda terlalu malas mencari bukti bukti sehingga secara membabi buta menyudutkanku?”. Pertanyaan dari Lucas tersebut sempat mengguncangnya. Anak ini angkuh, batin Drew dalam hati.
“saya rasa tidak ada yang salah dengan apa yang saya ucapkan”, kata Drew kemudian.
“memang tidak ada, tapi mungkin ada baiknya kalau anda segera kembali dulu ke kantor polisi lalu datang kemari lagi dengan bukti yang kuat. Saya akan dengan senang hati meladeni anda”. Drew tercekat, pintar sekali anak ini mengusirnya. Bahasanya tertata rapi, tapi ada maksut implisit di dalamnya. Drew akhirnya bangkit dari tempat duduk, lalu menyalami Lucas.
“senang bertemu dengan anda, Mr. Lucas Crandall”
“sayangnya saya tidak begitu suka dengan anda Mr. McLinn”.
***


Drew termenung sendiri membayangkan pertemuannya tadi dengan Lucas Crandall, anak lelaki satu satunya keluarga Crandall. Entah kenapa ada rasa yang berbeda. Dan Drew merasa bingung, karena baru kali ini dia merasakanya pada seorang pria. Selama ini dia selalu bermain normal dengan para wanita yang menjadi kekasihnya. Tapi melihat Lucas tadi, seperti menemukan rasa damai tersendiri. Rasa apa ini? Getar getar aneh yang menyelusup ke dalam palung jiwanya saat dia harus bersalaman dengan Lucas tadi. Mata hijau lumut yang memandangnya dengan angkuh tadi seperti menghipnotisnya. Drew pernah mendengar gosip tentang Jasmine dan Lucas Crandall, dua kakak beradik itu gemar sekali melakukan pesta. Jasmine, Drew belum pernah melihat langsung tapi menurut berita yang di dengar Jasmine mempunyai seraut wajah yang mempesona. Tidak heran jika adiknya saja setampan itu.
Di kota kecil ini, mereka berdua sangat terkenal. Selain karena mereka adalah anak keluarga paling terpandang di kota kecil ini, mereka juga sangat senang bikin onar. Tapi mereka selalu lolos dari kepolisian, sekali lagi uanglah yang berbicara. Namun kali ini, jika salah satu di antara mereka lha pelakunya Drew tak kan segan segan menjebloskan mereka ke dalam penjara.
“Drew?”. Drew agak terperanjat. Rossie menepuk bahunya, menatapnya dengan wajah prihatin.
“kau kurang istirahat”, kata Rosiie prihatin. Drew mengangguk.
“tidurku kurang lelap dua hari terakhir ini”
“jangan terlalu memaksakan diri untuk kasus ini Drew”, Rossie berkata sambil mengambil sebuah kursi. “mau kopi?”, tambahnya sambil mengangkat segelas cangkir. Drew mengambil cangkir itu dari tangan Rossie, tangan mereka sempat bersentuhan. Dan Rossie merona. Drew sudah hampir 2 bulan menjalin hubungan dengan wanita yang sekarang duduk di pangkuannya ini. Dan Rossie sering menginap di sini, mungkin sebentar lagi dia akan memindahkan barang barang dari apartemen lantai bawahnya dan membawanya ke sini. Kalau untuk yang satu ini, Drew akan keberatan. Rossie melingkarkan tanganya ke leher Drew.
“aku merindukanmu sayang”, katanya sambil mencium tengkuk Drew pelan. Biasanya, gairah Drew akan langsung terpancing. Tapi kali ini tidak, justru di benaknya malah membayangkan wajah Lucas yang memeluknya dengan manja. SETAN!!! Ada dengan diriku? Batin Drew kesal. Sedangkan Rossie merasa bingung. Kekasihnya ini tetap tak bergeming, padahal dia sudah berusaha kuat untuk mencumbunya.
“ada apa denganmu?”, kata Rossie akhirnya. Lelah karena bara yang ia percikkan tak kunjung membara.
“tidak ada apa apa”, kata Drew pelan.
“tak mungkin, wanita lainnkah? Atau aku sudah tak cukup menarik untukmu?!”, Rossie semakin kalut. Dia mencintai Drew dan sama sekali belum siap untuk kehilangannya.
“aku hanya kecapekkan Ros, kau seharusnya maklum dengan keadaanku saat ini”, kata Drew akhirnya. Ekspresi marah pada wajah Rossie perlahan memudar, dia kembali memeluk Drew.
“maafkan aku”, kata Rossie pelan. Drew hanya mengangguk lalu meletakkan secangkir kopi tadi ke atas meja. Gantian Drew yang mencium Rossie dan membalikkannya sehingga ia sekarang berbaring di atas Rossie di sofa ruang tamunya. Rossie tersenyum nakal.
“kau kecapekkan”, kata Rossie pelan.
“tidak untuk bagian tubuhku yang satu ini”, kata Drew sambil menurunkan celana pendeknya. Mata Rossie berbinar.
***


“aku takut”, kata pria itu perlahan. Wanita cantik yang berbaring di sampingnya memandangnya perlahan.
“kenapa?”
“aku takut polisi akan menangkapku”, pria itu bergidik. Jasmine bangkit dari ranjang, mengambil sebuah piyama lalu memakainya.
“polisi tak kan mencurigaimu”, kata Jasmine perlahan.
“itu menurutmu Jessie, tapi bagaimana kalau akhirnya polisi mulai menemukan bukti bukti yang mengarah padaku? Aku takut”. Jasmine tersenyum, hanya pria ini yang memanggilnya dengan nama Jessie. Pria malang, kata Jasmine dalam hati lalu memeluk laki laki yang di cintainya ini.
“aku akan melindungimu sayang, kau tenang saja”, kata Jasmine kemudian. Pria itu tersenyum lalu memandang Jasmine tanpa berkedip.
“aku mencintaimu”, kata sang pria sambil balas memeluk Jasmine. Tanganya dengan lihai melepas piyama yang tadi sempat di pakai oleh Jasmine.
“buat aku tidak merasa takut malam ini sayang”. Jasmine tersenyum, lalu menurunkan bibirnya pada benda kenyal di bawah pusar sang pria. Memasukkannya ke dalam bibirnya. Jasmine sangat tau ini akan membuat lelaki yang sudah mengisi hatinya lebih dari 3 tahun lalu ini melenguh nikmat.
***


Drew tengah memeriksa laporan dari anak buahnya ketika Steve, rekan setimnya  masuk ke dalam ruangannya.
“kami menemukan ini Drew”, kata Steve sambil menyerahkan benda kecil berbentuk kotak. Kaset rekaman.
“apa ini?”, tanya Drew ke heranan.
“Coba kau dengarkan dulu”, Drew akhirnya memasang kaset rekaman itu pada dvd player yang ada di ruangannya.

“halo”
“ya?”
“ini aku Josh”
“hy sayang, ada apa?”
“jam tanganku tertinggal”
“oke, dimana?”
“di kamar ayahmu sepertinya”
“siap, akan aku ambilkan nanti”
“thanks, rahasiakan ini sayang”
“oke honey”


Drew agak tercengang mendengar percakapan di telepon barusan.
“kami menyadap telepon di rumah Federline tanpa memberitahu Beatrix maupun Josh. Tapi sepertinya hal ini malah memberi sedikit titik terang Drew”, kata Steve panjang lebar. Drew hanya bisa mengangguk, masih tak mempercayai pendengaranya barusan. Itu suara Lucas Crandall. Kenapa bisa? Walaupun Drew benar benar bersyukur dengan adanya suara rekaman ini, tapi di satu sisi hatinya menjerit. Kenapa harus Lucas? Kenapa bukan yang lain? Dan hatinya agak sedikit miris saat Lucas dan Josh saling menyapa dengan kata sayang. Ada hubungan apa di antara mereka berdua? Drew benar benar kesal, marah dan apa? Cemburu? Cemburukah?
“Drew?”, kata Steve membuyarkan lamunan Drew.
“ya?”
“Apa komentarmu?”
“aku belum bisa berbicara apa apa, trus saja kumpulkan bukti. Rekaman ini belum cukup kuat. Bisa saja jam tangan milik Lucas tertinggal bukan pada hari kematian Federline”, kata Drew kemudian. Kening Steve mengkernyit.
“kau tau pemilik suara dan jam itu?”, tanya Steve keheranan. Drew terhenyak, sialan!! Bodoh sekali aku, kenapa aku harus menyebut nama Lucas tadi. Kata Drew dalam hati.
“ya”, jawab Drew akhirnya.
“kalau seperti ini sepertinya bakal lebih mudah. Tapi tunggu dulu, yang di maksut dengan Lucas yang kau bilang tadi bukan Lucas Crandall kan?”, Steve terlihat seperti kebingungan.
“suara itu memang milik Lucas Crandall”, kata Drew putus asa. Hatinya seperti tidak rela jika Lucas lha yang membunuh Federline. Itu artinya Lucas akan di penjara. Tidak, aku tidak bisa.
Ada apa denganku? Kenapa aku jadi lembek seperti ini? Kalau memang Lucas lha pelakunya aku harus tetap memenjarakannya, kata Drew dalam hati.
“kalau benar suara itu milik Lucas Crandall ini bakalan menjadi kasus yang lumayan alot”, kata Steve mengembalikan pikiran  Drew yang sedang termenung.
“kenapa?”, tanya Drew bingung.
“mereka sangat berkuasa Drew, dan lagi Lucas adalah anak kesayangan mereka. Dia lebih dimanja daripada siapa kakaknya yang cantik itu?”, ganti Steve yang bertanya pada Drew.
“Jasmine”, Drew menjawab singkat.
“ya, Jasmine!! Dia cantik sekali, mirip seperti ibunya dulu”. Drew agak mengkernyitkan dahinya. Memang Steve sudah cukup berumur, rekan Drew yang satu ini sudah hampir berusia 50 tahun.
“kau kenal dengan ibunya?”, tanya Drew antusias. Drew tau pembicaraan ini sudah sangat melenceng, tapi tak urung Drew penasaran juga dengan ibunda dari si tampan Lucas.
“hampir semua orang yang seusia denganku mengenalnya Drew. Dia cantik, anggun dan mempesona. Tak heran jika akhirnya George Crandall meminangnya. Mereka sebenarnya keluarga yang bisa jadi panutan seandainya 2 anak mereka tidak banyak tingkah”, Steve menjelaskan panjang lebar. Drew hanya tersenyum ringan.
***


Drew menatap nanar ke dalam isi rumah. Lagi lagi pembantu yang sama yang membukakan pintu untuknya. Pembantu ini, Susan kalau tidak salah namanya mengantarkan Drew menuju kolam renang. Setelah sampai di tepi kolam, Susan meninggalkanya. Drew menatap sesosok tubuh yang sedang berenang bolak balik. Dan tiba tiba sesuatu di pangkal pahanya menggeliat bangun, ada apa ini? Aku terangsang oleh pria yang sedang berenang? Umpat Drew dalam hatinya.
Sesosok yang tadi berenang itu menepi, lalu naik ke daratan melalui tangga. Drew di buat ternganga dengan pemandangan itu. Rambut pirang pemuda itu basah, air masih menetes netes di permukaan tubuhnya. Seksi sekali. Pemuda itu menatap ke  arah Drew sekilas lalu mengambil handuk.
“sudah menemukan bukti yang kuat untuk menjeratku Mr. McLinn?”, kata Lucas dengan nada sinis. Tangannya terangkat ke atas, berusaha mengeringkan rambutnya dengan handuk. Drew hanya bisa menelan ludah, serasa tak berkutik di hadapan Lucas.
“mungkin kau bisa menjelaskan kenapa jam tanganmu bisa tertinggal di kamar Federline?”, tanya Drew setelah bisa menguasai pikirannya. Wajah Lucas kontan memucat.

Tbc. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.