DESIRE, SEX AND PASSION
MENGERIKAN. Kata itu sangat pantas
untuk menggambarkan kematian Federline, pendeta yang sangat aktif dalam
kegiatan bersosialisasi. Drew hanya menggelengkan kepalanya perlahan. Kematian
Federline memang cukup tragis, ada 3 peluru di tubuhnya. Satu di kepala, satu
lagi di dada tepat di jantungnya dan yang terakhir di testisnya. Drew masih
buta dengan kasus yang harus di hadapinya ini. Sebagai detektif kepolisian,
Drew masih belum mempunyai gambaran yang jelas untuk kasus yang cukup
menggemparkan penduduk di kota kecil ini. Dugaan sementara adalah Beatrix,
istri muda dari sang pendeta dan Josh anak satu satunya. Karena hanya mereka
yang berada di dekat Federline saat maut menjemputnya.
Drew berjalan ke rumah bagian
samping. Disitulah terlihat Josh yang sedang menghibur ibu tirinya. Jika
melihat tangis Beatrix yang meraung raung seperti ini mungkin orang orang tidak
akan curiga. Tapi sebagai detektif kepolisian, Drew harus tetap mencurigai
siapapun.
“maaf nyonya Beatrix, bisa mengganggu
sebentar?”, sapa Drew sopan. Josh agak menyingkir.
“ya. . .”, Beatrix masih menjawab
dengan isak tangis.
“nyonya Beatrix. . .”
“Betty saja Drew”, potong Beatrix
sebelum Drew sempat menyelesaikan kalimatnya.
“baik, Betty. Boleh kah saya tau
posisi anda tadi malam?”
“aku sudah mengatakannya berulang
ulang, aku ada di ruang tengah bersama Josh”, Betty kembali terisak parah. Hal
ini sedikit membuat Drew tidak enak hati. Tapi ini sudah menjadi tugasnya, ini
pekerjaannya.
“adakah yang melihat?”, tanya Drew
dengan hati hati. Betty menggelengkan kepalanya dengan lesu.
“hanya ada aku dan Josh Drew”, Betty
menjawab dengan lemah. Oke, saat ini informasinya sudah cukup, lagipula Drew
tidak enak hati dengan keluaga yang sedang berkabung ini. Drew juga masih harus
menunggu laporan dari bagian forensic dan juga hasil uji lab. Anak buahnya
masih melakukan pencarian di sekitar TKP, kalau kalau menemukan barang bukti
yang mungkin di tinggalkan pelaku. Pembunuhan ini di lakukan sangat rapi. Dan
jika melihat kondisi Federline, sang pembunuh sepertinya adalah orang yang
sangat dekat denganya. Federline tertembak dalam kondisi tanpa sehelai benang
pun. Ya, dia telanjang bulat. Dan ini menyebabkan Drew mencurigai Betty. Orang
yang tidak akan membuat Federline malu untuk telanjang karena Betty adalah
istrinya.
Tapi tidak semudah itu, tidak ada
barang bukti yang mengarah ke Betty. Betty sedang bermain piano, itu yang di
katakan Betty saat kejadian tembakan berlangsung. Lagipula, Betty lha yang
menelpon polisi. Jadi? Kasus ini masih tetap saja buntu.
“aku pulang dulu”, kata Drew
berpamitan pada anak buahnya. Anak buahnya hanya mengangguk. Ini sudah hampir
jam 10 malam. Drew membawa mobilnya seperti kesetanan. Begitu sampai di
apartemenya, Drew langsung menuju ke kamarnya dan melucuti pakaiannya satu
persatu hingga benar benar telanjang. Dengan geram, Drew masuk ke bawah shower.
“aku pasti akan menangkapmu
jahanam”, kata Drew sambil memukul dinding kamar mandi dengan cukup keras.
***
Jasmine berjalan anggun.
Menghiraukan tatapan memuja laki laki yang melihatnya. Dengan tinggi 172cm,
berwajah cantik dan bertubuh seksi membuat Jasmine selalu menjadi pusat
perhatian. Jasmine sempatkan membeli Koran lokal sebentar lalu masuk ke dalam
mobil Ferrari yang sudah terparkir manis di depan sebuah toko.
“kau lama sekali”, kata orang yang
berada di balik kemudi sambil melihat Jasmine sekilas. Jasmine hanya tersenyum
kecil lalu mulai membaca Koran yang tadi sempat di beli olehnya. Tanpa menunggu
lama lama lelaki di balik kemudi itu langsung membawa mobil mewah itu merayap
di jalan raya. Pekikan itu membuat lelaki di balik kemudi itu secara reflek
memencet klakson mobil. Wajahnya Nampak terlihat kesal.
“apa apaan? Sudah datang terlambat
dan sekarang teriak histeris tidak jelas”, lelaki di balik kemudi terlihat
bersungut sungut.
“lihat Luke, Federline mati” kata
Jasmine sambil menyerahkan Koran lokal
yang baru saja di bacanya. Lucas agak tertegun membaca Koran di tanganya.
“mati juga dia”, kata Lucas beberapa
saat kemudian.
“jangan terlalu senang”. Lucas
menoleh
“apa maksutmu? Jelas aku senang. Aku
tidak munafik dan kabar Federline mati ini cukup membuatku terhibur”. Kata
Lucas sambil tersenyum sinis.
“tepat sekali. Dan seperti itu lah
juga anggapan orang orang bahwa hanya aku dan kau yang akan pesta di atas
kematian Federline. Kau tau artinya itu?”, tanya Jasmine. Dan itu tepat
mengenai sasaran.
“bukan aku yang membunuhnya”, kata
Lucas lirih.
“aku tak yakin, tapi sebisa mungkin
jangan membuat perhatian polisi teralih ke kita. Oke?”
“ya, aku juga tak ingin berurusan
dengan polisi”, kata Lucas di plomatis.
Lucas melajukan mobilnya seperti
biasa, begitu sampai di halaman depan rumahnya Lucas membunyikan klakson 3
kali. Pintu gerbang terbuka beberapa saat kemudian, Lucas menurunkan jendela
mobilnya dan mengangguk pada Martin security di rumahnya yang di balas dengan
anggukan dan cengiran lebar dari Martin.
“sudah berapa kali kau ‘main’ dengan
Martin?”, Lucas terperanjat mendengar pertanyaan dari kakaknya yang terkesan
menuduh.
“maksutmu?”
“jangan membohongiku Luke, kau jelas
jelas gay. Dan Martin juga sepertinya sama sepertimu. Dia tidak terangsang
waktu aku goda tempo kemarin dulu”. Lucas hanya tersenyum geli saat mendengar
penuturan dari kakak ‘cantik’nya ini.
“mungkin kau kurang berusaha”, kata
Lucas kemudian. Jasmine melotot.
“lelaki normal pasti akan terangsang
saat melihatku berbikini. Dan Martin tidak”. Kali ini Lucas tertawa.
“yakin sekali kau”
“sangat yakin. Karena kenyataannya
memang begitu”, kata Jasmine sambil keluar dari mobil dan tak lupa menghadiahi
Lucas dengan bantingan pada pintu mobilnya. Dasar kakak kurang ajar, sudah
minta jemput masih saja ngomel ngomel. Setelah memarkir mobilnya Lucas keluar
dari mobil mewah warna merah itu. Rambut pirangnya yang terkena matahari
membuatnya seperti berwarna keemasan. Seraut wajah tampan itu tersenyum sekali
lagi pada Martin baru masuk ke dalam rumah. Merasa sangat lelah, Lucas langsung
tertidur saat kepalanya menyentuh bantal.
***
Entah jam berapa itu, Lucas merasa
tubuhnya di guncang guncangkan oleh seseorang. Tidurnya terganggu.
“ada apaan?”, kata Lucas jutek.
“ada polisi mencari tuan muda”,
perkataan dari pembantunya ini membuat Lucas sadar seketika. Polisi? Ada urusan
apa? Lucas langsung mencuci wajahnya dan pergi ke ruang tamu.
Sesaat Lucas terpaku melihat lelaki
di depanya. Polisi ini tidak seperti polisi kebanyakan. Wajahnya tampan,
badanya pun tegap dan kulitnya berwarna sawo matang. Seksi sekali.
“Mr. Lucas Crandall?”, lelaki
tersebut bertanya sambil mengulurkan tangan. Lucas menyambutnya, lalu ada
getaran itu. Lucas merasakanya, getaran yang mengusik relung hatinya yang
paling dalam.
“ya” jawab Lucas singkat setelah
jemari mereka tak lagi bertaut.
“saya Drew McLinn dari kepolisian”
“ya, silahkan duduk Mr. McLinn?”
“Drew saja. Terimakasih”
“oke, lalu kedatangan anda. . .?”
sengaja Lucas menggantung kalimat itu. Secara implisit menanyakan maksut dari
kedatangan si seksi-tapi-berbahaya ini.
“dimana anda malam hari kemarin?”.
Ini interogasi, kata Lucas dalam hati. Sialan.
“saya berada di rumah teman saya”,
kata Lucas singkat.
“dimana?”
“2 blog dari rumah ini”
“apakah ada saksi mata?”, tanya Drew
terus mengejar.
“ada 3 orang temanku kalau mereka bisa di sebut saksi. Dan maaf
sebelumnya Mr. McLinn, apa urusan saya dengan pertanyaan pertanyaan sialan ini?”,
kata Lucas sedikit emosi.
“Federline terbunuh”
“so. . .?”, Lucas menatap Drew
dengan menaikkan sebelah alisnya.
“anda pasti tau kenapa, anda berdua
selalu terlihat bertengkar di manapun anda berdua berada”, Drew agak menunduk.
“lalu kau menjadikannya sebagai
alasan untuk menginterogasi aku? Cerdas sekali”, kata Lucas sedikit
tersinggung.
“maafkan saya, saya hanya
menjalankan tugas. Bolehkah saya mengajukan pertanyaan lagi?”. Lucas memutar
dua bola matanya.
“oke, apa?”
“anda masih sering hobi berburu?”
“ya, satu minggu sekali”, jawab
Lucas tanpa tau arah dari pertanyaan ini.
“berarti anda jago tembak ya?”.
Pertanyaan ini di ajukan sangat santai oleh Drew, tapi Lucas menyadarinya.
Menyadari ancaman di balik pertanyaan ini.
“ya”, akhirnya Lucas menjawab.
“Federline mati dengan luka tembak”,
papar Drew.
“owh, malang sekali”, wajah Lucas
terlihat sangat bersimpati.
“dan anda jago tembak”, cecar Drew.
“kau. . .”
“kalian bermusuhan”, Drew terus
mengejar, berharap bahwa Lucas akan kelepasan bicara tentang sesuatu yang akan
membawa Drew ke titik terang kasus ini. Lucas diam sesaat, namun kemudian
bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
“anda sudah sangat putus asa Mr.
McLinn? Atau anda terlalu malas mencari bukti bukti sehingga secara membabi
buta menyudutkanku?”. Pertanyaan dari Lucas tersebut sempat mengguncangnya.
Anak ini angkuh, batin Drew dalam hati.
“saya rasa tidak ada yang salah
dengan apa yang saya ucapkan”, kata Drew kemudian.
“memang tidak ada, tapi mungkin ada
baiknya kalau anda segera kembali dulu ke kantor polisi lalu datang kemari lagi
dengan bukti yang kuat. Saya akan dengan senang hati meladeni anda”. Drew
tercekat, pintar sekali anak ini mengusirnya. Bahasanya tertata rapi, tapi ada
maksut implisit di dalamnya. Drew akhirnya bangkit dari tempat duduk, lalu
menyalami Lucas.
“senang bertemu dengan anda, Mr.
Lucas Crandall”
“sayangnya saya tidak begitu suka
dengan anda Mr. McLinn”.
***
Drew termenung sendiri membayangkan
pertemuannya tadi dengan Lucas Crandall, anak lelaki satu satunya keluarga Crandall.
Entah kenapa ada rasa yang berbeda. Dan Drew merasa bingung, karena baru kali
ini dia merasakanya pada seorang pria. Selama ini dia selalu bermain normal
dengan para wanita yang menjadi kekasihnya. Tapi melihat Lucas tadi, seperti
menemukan rasa damai tersendiri. Rasa apa ini? Getar getar aneh yang menyelusup
ke dalam palung jiwanya saat dia harus bersalaman dengan Lucas tadi. Mata hijau
lumut yang memandangnya dengan angkuh tadi seperti menghipnotisnya. Drew pernah
mendengar gosip tentang Jasmine dan Lucas Crandall, dua kakak beradik itu gemar
sekali melakukan pesta. Jasmine, Drew belum pernah melihat langsung tapi
menurut berita yang di dengar Jasmine mempunyai seraut wajah yang mempesona.
Tidak heran jika adiknya saja setampan itu.
Di kota kecil ini, mereka berdua
sangat terkenal. Selain karena mereka adalah anak keluarga paling terpandang di
kota kecil ini, mereka juga sangat senang bikin onar. Tapi mereka selalu lolos
dari kepolisian, sekali lagi uanglah yang berbicara. Namun kali ini, jika salah
satu di antara mereka lha pelakunya Drew tak kan segan segan menjebloskan
mereka ke dalam penjara.
“Drew?”. Drew agak terperanjat.
Rossie menepuk bahunya, menatapnya dengan wajah prihatin.
“kau kurang istirahat”, kata Rosiie
prihatin. Drew mengangguk.
“tidurku kurang lelap dua hari terakhir
ini”
“jangan terlalu memaksakan diri
untuk kasus ini Drew”, Rossie berkata sambil mengambil sebuah kursi. “mau
kopi?”, tambahnya sambil mengangkat segelas cangkir. Drew mengambil cangkir itu
dari tangan Rossie, tangan mereka sempat bersentuhan. Dan Rossie merona. Drew
sudah hampir 2 bulan menjalin hubungan dengan wanita yang sekarang duduk di
pangkuannya ini. Dan Rossie sering menginap di sini, mungkin sebentar lagi dia
akan memindahkan barang barang dari apartemen lantai bawahnya dan membawanya ke
sini. Kalau untuk yang satu ini, Drew akan keberatan. Rossie melingkarkan
tanganya ke leher Drew.
“aku merindukanmu sayang”, katanya
sambil mencium tengkuk Drew pelan. Biasanya, gairah Drew akan langsung
terpancing. Tapi kali ini tidak, justru di benaknya malah membayangkan wajah
Lucas yang memeluknya dengan manja. SETAN!!! Ada dengan diriku? Batin Drew
kesal. Sedangkan Rossie merasa bingung. Kekasihnya ini tetap tak bergeming,
padahal dia sudah berusaha kuat untuk mencumbunya.
“ada apa denganmu?”, kata Rossie
akhirnya. Lelah karena bara yang ia percikkan tak kunjung membara.
“tidak ada apa apa”, kata Drew
pelan.
“tak mungkin, wanita lainnkah? Atau
aku sudah tak cukup menarik untukmu?!”, Rossie semakin kalut. Dia mencintai
Drew dan sama sekali belum siap untuk kehilangannya.
“aku hanya kecapekkan Ros, kau
seharusnya maklum dengan keadaanku saat ini”, kata Drew akhirnya. Ekspresi
marah pada wajah Rossie perlahan memudar, dia kembali memeluk Drew.
“maafkan aku”, kata Rossie pelan.
Drew hanya mengangguk lalu meletakkan secangkir kopi tadi ke atas meja. Gantian
Drew yang mencium Rossie dan membalikkannya sehingga ia sekarang berbaring di
atas Rossie di sofa ruang tamunya. Rossie tersenyum nakal.
“kau kecapekkan”, kata Rossie pelan.
“tidak untuk bagian tubuhku yang
satu ini”, kata Drew sambil menurunkan celana pendeknya. Mata Rossie berbinar.
***
“aku takut”, kata pria itu perlahan.
Wanita cantik yang berbaring di sampingnya memandangnya perlahan.
“kenapa?”
“aku takut polisi akan menangkapku”,
pria itu bergidik. Jasmine bangkit dari ranjang, mengambil sebuah piyama lalu
memakainya.
“polisi tak kan mencurigaimu”, kata
Jasmine perlahan.
“itu menurutmu Jessie, tapi
bagaimana kalau akhirnya polisi mulai menemukan bukti bukti yang mengarah
padaku? Aku takut”. Jasmine tersenyum, hanya pria ini yang memanggilnya dengan
nama Jessie. Pria malang, kata Jasmine dalam hati lalu memeluk laki laki yang
di cintainya ini.
“aku akan melindungimu sayang, kau
tenang saja”, kata Jasmine kemudian. Pria itu tersenyum lalu memandang Jasmine
tanpa berkedip.
“aku mencintaimu”, kata sang pria
sambil balas memeluk Jasmine. Tanganya dengan lihai melepas piyama yang tadi
sempat di pakai oleh Jasmine.
“buat aku tidak merasa takut malam
ini sayang”. Jasmine tersenyum, lalu menurunkan bibirnya pada benda kenyal di
bawah pusar sang pria. Memasukkannya ke dalam bibirnya. Jasmine sangat tau ini
akan membuat lelaki yang sudah mengisi hatinya lebih dari 3 tahun lalu ini
melenguh nikmat.
***
Drew tengah memeriksa laporan dari
anak buahnya ketika Steve, rekan setimnya
masuk ke dalam ruangannya.
“kami menemukan ini Drew”, kata
Steve sambil menyerahkan benda kecil berbentuk kotak. Kaset rekaman.
“apa ini?”, tanya Drew ke heranan.
“Coba kau dengarkan dulu”, Drew
akhirnya memasang kaset rekaman itu pada dvd player yang ada di ruangannya.
“halo”
“ya?”
“ini
aku Josh”
“hy
sayang, ada apa?”
“jam
tanganku tertinggal”
“oke,
dimana?”
“di
kamar ayahmu sepertinya”
“siap,
akan aku ambilkan nanti”
“thanks,
rahasiakan ini sayang”
“oke
honey”
Drew agak tercengang mendengar
percakapan di telepon barusan.
“kami menyadap telepon di rumah
Federline tanpa memberitahu Beatrix maupun Josh. Tapi sepertinya hal ini malah
memberi sedikit titik terang Drew”, kata Steve panjang lebar. Drew hanya bisa
mengangguk, masih tak mempercayai pendengaranya barusan. Itu suara Lucas
Crandall. Kenapa bisa? Walaupun Drew benar benar bersyukur dengan adanya suara
rekaman ini, tapi di satu sisi hatinya menjerit. Kenapa harus Lucas? Kenapa
bukan yang lain? Dan hatinya agak sedikit miris saat Lucas dan Josh saling
menyapa dengan kata sayang. Ada hubungan apa di antara mereka berdua? Drew
benar benar kesal, marah dan apa? Cemburu? Cemburukah?
“Drew?”, kata Steve membuyarkan
lamunan Drew.
“ya?”
“Apa komentarmu?”
“aku belum bisa berbicara apa apa,
trus saja kumpulkan bukti. Rekaman ini belum cukup kuat. Bisa saja jam tangan
milik Lucas tertinggal bukan pada hari kematian Federline”, kata Drew kemudian.
Kening Steve mengkernyit.
“kau tau pemilik suara dan jam
itu?”, tanya Steve keheranan. Drew terhenyak, sialan!! Bodoh sekali aku, kenapa
aku harus menyebut nama Lucas tadi. Kata Drew dalam hati.
“ya”, jawab Drew akhirnya.
“kalau seperti ini sepertinya bakal
lebih mudah. Tapi tunggu dulu, yang di maksut dengan Lucas yang kau bilang tadi
bukan Lucas Crandall kan?”, Steve terlihat seperti kebingungan.
“suara itu memang milik Lucas
Crandall”, kata Drew putus asa. Hatinya seperti tidak rela jika Lucas lha yang
membunuh Federline. Itu artinya Lucas akan di penjara. Tidak, aku tidak bisa.
Ada apa denganku? Kenapa aku jadi
lembek seperti ini? Kalau memang Lucas lha pelakunya aku harus tetap
memenjarakannya, kata Drew dalam hati.
“kalau benar suara itu milik Lucas
Crandall ini bakalan menjadi kasus yang lumayan alot”, kata Steve mengembalikan
pikiran Drew yang sedang termenung.
“kenapa?”, tanya Drew bingung.
“mereka sangat berkuasa Drew, dan
lagi Lucas adalah anak kesayangan mereka. Dia lebih dimanja daripada siapa
kakaknya yang cantik itu?”, ganti Steve yang bertanya pada Drew.
“Jasmine”, Drew menjawab singkat.
“ya, Jasmine!! Dia cantik sekali,
mirip seperti ibunya dulu”. Drew agak mengkernyitkan dahinya. Memang Steve
sudah cukup berumur, rekan Drew yang satu ini sudah hampir berusia 50 tahun.
“kau kenal dengan ibunya?”, tanya
Drew antusias. Drew tau pembicaraan ini sudah sangat melenceng, tapi tak urung
Drew penasaran juga dengan ibunda dari si tampan Lucas.
“hampir semua orang yang seusia
denganku mengenalnya Drew. Dia cantik, anggun dan mempesona. Tak heran jika
akhirnya George Crandall meminangnya. Mereka sebenarnya keluarga yang bisa jadi
panutan seandainya 2 anak mereka tidak banyak tingkah”, Steve menjelaskan
panjang lebar. Drew hanya tersenyum ringan.
***
Drew menatap nanar ke dalam isi
rumah. Lagi lagi pembantu yang sama yang membukakan pintu untuknya. Pembantu
ini, Susan kalau tidak salah namanya mengantarkan Drew menuju kolam renang.
Setelah sampai di tepi kolam, Susan meninggalkanya. Drew menatap sesosok tubuh
yang sedang berenang bolak balik. Dan tiba tiba sesuatu di pangkal pahanya
menggeliat bangun, ada apa ini? Aku terangsang oleh pria yang sedang berenang?
Umpat Drew dalam hatinya.
Sesosok yang tadi berenang itu
menepi, lalu naik ke daratan melalui tangga. Drew di buat ternganga dengan
pemandangan itu. Rambut pirang pemuda itu basah, air masih menetes netes di
permukaan tubuhnya. Seksi sekali. Pemuda itu menatap ke arah Drew sekilas lalu mengambil handuk.
“sudah menemukan bukti yang kuat
untuk menjeratku Mr. McLinn?”, kata Lucas dengan nada sinis. Tangannya terangkat
ke atas, berusaha mengeringkan rambutnya dengan handuk. Drew hanya bisa menelan
ludah, serasa tak berkutik di hadapan Lucas.
“mungkin kau bisa menjelaskan kenapa
jam tanganmu bisa tertinggal di kamar Federline?”, tanya Drew setelah bisa
menguasai pikirannya. Wajah Lucas kontan memucat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.