Sadar
atau tidak aku sadari, aku menjadi menghindari Radit. Aku juga tidak tahu, hanya saja aku sekarang
menjadi gampang salah tingkah jika didekatnya. Aku juga tidak bisa bersikap seperti dulu
lagi, memeluk dia atau mengacak-acak rambut ikalnya. Gila! Sejak Radit mengaku
secara blak-blakan kalau dia menyukaiku, entah kenapa aku menjadi gugup dan
entahlah! Aku tidak tahu!
Seperti
saat ini, aku dan Radit hanya diam-diaman di kamar. Radit sedang membaca komik dan aku pura-pura
tengah mengerjakan PR Fisika. Demi Tuhan, jika aku sedang tidak gugup parah
seperti ini, aku tidak akan melibatkan diriku sendiri secara sukarela untuk
menguras otakku dengan rumus-rumus Fisika yang hanya Tuhan yang tahu seberapa
sulitnya.
Aku
menyerah, aku memutuskan untuk membantu Mbok Parni saja yang tengah memasak.
“Gua
ke belakang dulu ya Dit.”
“Hem.”
Cih, cara jawabnya nggak niat banget.
Aku
menemukan Mbok Parni yang tengah berkutat dengan seonggok ayam potong
utuh.Terlintas begitu saja di otakku begitu melihat ayam montok yang tengah di
pegang-pegang oleh Mbok Parni untuk sedikit iseng.
“Mbok,
jangan dipotong-potong dulu ayamnya.”
“Aduh!
Mas Gani ini lho, ngagetin aja! emang buat apa mas?” Mbok Parni bertanya penuh
ingin tahu saat aku mengeluarkan ponselku. Aku memposisikan ayam montok itu dalam posisi
duduk. Menyilangkan pahanya sedemikian rupa –ini agak susah- dan membuat dua
sayapnya seolah-olah tengah berkacak pinggang. Setelah dirasa posisi itu ayam hot, aku
langsung memotretnya. Dan kagum sendiri dengan hasilnya. Sip dah!
“Mbok,
aku nggak jadi bantuin masak ya?” kataku sambil ngeloyor pergi.
“Ye!
Mas Gani ini! Sekarang udah nggak pren sama si Mbok!” aku hanya terkekeh geli
mendengar gerutuan Mbok Parni. Aku memang kadang-kadang suka membantu Mbok
Parni memasak atau kadang membersihkan taman kecil di depan. Secara gitu, aku
sadar ngekost disini dengan harga cukup bersahabat namun dengan fasilitas
segudang sungguh keberuntungan. Apalagi dulu, tante Wasti sempat menolak kalau aku membayar tiap bulan.
“Dit,
pinjem motor lu bentar dong.” Aku memeluk Radit dari belakang. Aku sudah
memutuskan, sejak aku melihat seonggok ayam utuh itu –yang tentu saja sudah
tidak berbulu- bahwa aku akan bersikap biasa-biasa saja terhadap Radit.
Bersikap seperti dulu aku bersikap.Terima kasih ayam, karena entah bagaimana
kamu telah menginspirasiku.
Radit
agak sedikit terkejut dengan pelukanku.Ya, mengingat bahwa akhir-akhir ini aku
sering sekali menghindarinya.
“tu
kuncinya diatas meja. Mau kemana lo Gan?”
“best
of my secret.” Kataku dengan intonasi penuh rahasia.
“gaya
lo! Kayak pejabat mau korupsi aje!” aku hanya tertawa sambil keluar dari kamar.
Kayaknya besok bakal asyik nih. Hhihihi, jadi nggak sabar.
***
Esok
harinya, hari yang sangat aku tunggu-tunggu, lima belas menit sebelum pelajaran
pertama dimulai, aku memasuki kelas dengan Radit dibelakangku. Tangan kananku
membawa selembar amplop cokelat besar yang biasanya digunakan oleh orang-orang
untuk melamar pekerjaan. Aku melirik anak-anak cowok belakang yang tengah sibuk berkumpul
disitu.Tumben-tumbenan si Beno udah berangkat. Namun justru ini semakin memuluskan niat
isengku.
Dengan
senyum yang aku buat semisterius mungkin, aku menghampiri sarang penyamun itu.
Padahal aku kan duduk disitu juga, berarti aku penyamun dong? Beno
memperhatikanku dengan seksama, ekor matanya mengikuti setiap gerak-gerikku. Aku jadi tertawa sendiri.
Dengan
gaya sekalem mungkin, aku memecah kerumunan cowok-cowok itu. Setelah sebelumnya
aku meletakkan tasku dulu di tempat dudukku.
“Hei,
gua punya gambar telanjang loh. . .” bisikku cukup keras hingga kerumunan para
cowok itu menghentikan aktifitasnya sementara dan melihatku dengan tatapan
tidak percaya.
“Apa
lo bilang?” tanya Ian dengan berbisik pula. Aku ingin sekali tersenyum geli
melihat ekspresi ini anak-anak yang gokil abis. Mata mereka terbelalak maksimal.
“Gua
punya gambar telanjang!” ulangku dengan nada meyakinkan.
“Nggak
mungkin! Ngibul aja sih lo Gan!” bantah Ian setengah nggak percaya. Ni cowok satu emang rombeng.
“Ya
udah kalau nggak percaya. Gua kan Cuma nawarin aja. Tapi bener nih pada nggak
mau lihat? Hot banget, tau nggak?” aku bergaya seolah-olah hal ini memang nggak
penting. Dan sepertinya itu sedikit membuat wajah-wajah yang tadi tidak percaya
menjadi sedikit meragu.
“Beneran
Gan, yang elo bawa itu gambar telanjang?” sekarang Derry yang bertanya dengan
menelan ludah.
“Yee!
Kan udah gua bilang tadi! Ck!” aku berlagak kesal, bersikap jengkel karena
dituduh berbohong. Dan itu membuat ekspresi yang tadi ragu-ragu menjadi percaya bahwa yang
aku bawa memang gambar telanjang. Emang gambar telanjang sih. Aku terkekeh geli dalam hati tapi.
“Bener
Gan itu gambar telanjang?” sekarang Elliot yang bertanya. Dia sepertinya tidak percaya bahwa aku mampu
melakukan hal gila seperti ini.
“Sumpah! Makanya amplopnya gua segel, supaya tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!”
“Mana? Mana? Mana? Sini buruan lihat!” Ian sepertinya memang nggak sabaran. Udah rombeng, nggak sabaran pula.Tangannya
ingin merebut amplop cokelat dari tanganku. Namun dengan gerakan segesit mungkin aku
menyembunyikan dokumen Negara yang sangat penting ini.
Aku
melirik ke seisi kelas. Aku melihat Radit yang juga kaget dengan tindakanku. Aku sengaja tidak bercerita ke Radit, namanya
juga rahasia. Apalagi Denny, tu anak kayaknya syok banget. Para anak-anak cewek juga
sudah mulai membicarakan apa yang tengah
aku lakukan dengan bisik-bisik.
Aku
memberikan amplop yang tengah aku bawa kepada Ian, yang kebetulan berada paling
dekat denganku. Ian menerima dengan sigap, tapi aku menghimbau agar jangan dibuka
terlebih dahulu.
“Lo
ternyata parah banget ya Gan! Rusak moral lo.” Ucap Ian setelah menerima amplop
cokelat itu dariku.
“Lu
bilang gua rusak banget, tapi lo terima juga amplopnya, berarti lo rusak juga
kan?”
Ian
hanya meringis mendengar perkataanku. Tangannya sudah akan membuka amplop
cokelat itu, namun aku segera mencegahnya.
“Tunggu
dulu! Jangan dibuka sekarang dong! Gua nggak mau entar dituduh kalau gua udah nyebarin gambar porno dikelas.”
Dengan
gerakan cepat aku segera berlari keluar kelas. Mengamati mereka dari jendela.
“Emang,
dia yang nyebarin kok! Ngapain juga pake acara dituduh!” aku masih mendengar ucapan Ian itu
yang disambung oleh tawa dari cowok-cowok yang mengerumuninya.
Aku
memperhatikan dari jendela dengan seksama, ketika cowok-cowok itu semakin
merapat, lalu terdengar suara amplop disobek. Dan sedetik kemudian. . .
terdengar suara makian dan sumpah serapah. Aku yang sadar situasi langsung
berlari menjauh. Bersembunyi dibalik tangga yang menghubungkan ke koridor kelas tiga
dengan tertawa keras-keras.
Aku
masih mendengar sumpah serapah cowok-cowok itu.
“Gani
sialan! Kurang ajar! Kirain gambar telanjang betulan!” ini seruan Ian. Kayaknya dia yang paling kecewa.
“Awas
lo ya Gan! Jangan kira pulang lo bisa selamat.” Ini dari Derry.Tawaku malah
semakin menjadi-jadi mendengar sumpah serapah mereka yang nggak karuan. Aku menunggu hingga suasana kelas menjadi
agak aman lalu mengambil ponselku dan menghubungi Beno.
“Ben,
gua uda bisa masuk nggak nih?” tanyaku begitu sambungan teleponku diangkat.
“belom!
Mereka malah bilang kalau kamu berani masuk kelas, kamu mau ditelanjangin!”
“masa
sih? Lu ngibul ya? Gua kan Cuma becanda doang. Pada nggak asik nih! Becanda
gitu doang langsung marah!”
“mereka
ngomongnya gitu kok. Kamu dimana sekarang?” aku bisa mendengar Beno terkekeh
geli disana.
“dibalik
tangga. Gimana Ben? Bentar lagi masuk nih!”
“kamu
tunggu aja disitu, aku jemput.” Beno mematikan sambungan teleponku.Tidak
beberapa lama dia muncul. Aku tersenyum geli menyambut kedatangannya dan tidak lama tawaku lepas
lagi.
“kamu
tuh ya! Ngrepotin aja!” aku hanya meringis. Dengan segera aku berjalan dibalik punggung
Beno. Gimana pun juga, Beno adalah salah satu anak cowok yang disegani oleh
para penghuni di kelasku jadi ya minta tolong ke dia itu adalah keputusan yang
sangat tepat.
“Gimana
guys? Seksi kan? Pahanya oke banget kan? Kayaknya sih itu ayam korea deh,
soalnya putih mulus gitu.” Kataku begitu sudah masuk kedalam kelas. Ian, Derry bahkan Elliot dan teman-teman
cowok lainnya menatapku dengan tatapan membunuh. Melihat ekspresi itu aku semakin tertawa
geli.
“Gua
masih punya satu lagi lho, mau pada liat nggak?” tanyaku usil.
“Bener-bener
aku tinggal nih ya? Aku pindah bangku nih!” ancam Beno yang melihat tingkah usilku
yang semakin menjadi-jadi.
“Jangan!
Jangan Ben!” emang sudah agak lama aku tukeran duduk sama Tantra yang kini
duduk bareng Elliot dan aku satu bangku dengan Beno! Aku merangkul Beno dengan
gaya sok asyik.
“Peace
okay? Damai, damai.” Kataku sambil nyengir. Dan tidak berapa lama para cowok itu
ikut-ikutan tersenyum geli. Hhihihi.
***
Sejak
kejadian iseng itu, Beno jadi protektif terhadapku. Dia takut aku akan
melakukan keisengan-keisengan yang lebih fatal lagi. Kemana-mana harus bareng!
Bahkan ke toilet sekalipun! Kalau nggak bisa bareng, harus ada yang nemenin! Gila!
Dan ancamannya adalah dia bakal pindah bangku kalau aku melanggar. Jiah, kayak anak SD saja.Tapi anehnya, aku
menurut juga.
Seperti
kali ini, aku tengah kelaperan berat.Tadi pagi nggak sempet sarapan dan di
istirahat pertama ini Beno nggak keluar kelas. Dia lagi sibuk nyalin PR
Biologi.Tumben-tumbenan itu anak nggak ngerjain PR. Itu artinya, aku juga nggak
boleh keluar kelas. Pokoknya harus bareng.
“Kenapa
Lo Gan?” tanya Ian yang baru saja memasuki kelas.
“Laper
banget gua!” aku menjawab denga suara yang aku buat sekeras mungkin. Tujuannya
jelas, biar Beno denger! Aku melihat Ian melirik Beno sekilas.
“kalau
laper ya ke kantin lah Gan!”
“nggak
boleh pergi sendiri.” Kataku memelas.
“Ya
udah, sini bareng gue! Ben, Gani ke kantin bareng gue! Lo tu ya, pacar lo
hampir semaput gitu! Ngapain sih lo?” mendengar perkataan Ian, aku tabok tu
mulut rombengnya. Walaupun kenyataannya sekarang mereka memang sering sekali
ngecengin aku sama Beno. Cinta terlarang antara Yonathan Beno Wicaksono dengan
Gani Prasetya. Padahal faktanya itu adalah hoax semata. Aku berharap sih, tapi Beno? Cuih!
“Ini
ngerjain PR Bio. Eh Gan, kan kamu udah aku kasih roti tadi?” Beno sama sekali
tidak menghentikan aksi menyalinnya. Ya iyalah, PR Biologi kan bejibun gitu.
Selesai dalam lima belas menit aja udah alhamdullillah banget.
“Roti
kecil gitu mana kenyang! Dibagi dua lagi sama lu! Cuma ngotorin gigi aja, tau
nggak!” kataku sambil berdiri dan berjalan mengikuti Ian menuju kantin.
“kalau
gitu aku nitip.” Seru Beno begitu aku dan Ian sudah sampai di ambang pintu
kelas.
“bodo!”
jawabku cuek. Ian yang berada disampingku tertawa geli.
“nitip
apa lo Ben?” tanyanya.
“apa
aja yang bisa bikin perut gua keisi. Lemper kek, tahu isi kek. Bakwan juga oke.”
“sip.”
Kata Ian sambil mengacungkan jempolnya.
“Gila,
sendirinya kelaperan gitu, masa iya nyuruh gua nunggu jam istirahat kedua.
Sableng tu anak.” Dumelku pada Ian. Ian hanya tertawa geli.
“Ngomong
apa kamu Gan?” jiah, ternyata Beno masih ngedenger aja. Aku mengabaikan pertanyaannya. Keburu bel
nanti coy!
Akibat
dari proteksi Beno yang berlebihan hanya karena keisenganku tempo dulu,
anak-anak cowok jadi berasumsi negative terhadapku.
“Lo
pernah nyolong ya Gan waktu maen ke rumah Beno? Makanya dia ngawasin lo ketat
baget, takut lo nyolong lagi di tempat lain.” Ini kata Ian. Rombeng emang.
“Pasti
lo itu mata keranjang ya Gan? Makanya Beno nggak biarin lo jalan sendiri, takut lo nancep ke lain hati.” Ini kata Tantra denga senyum-senyum jahil. Gila, emang mereka kira aku dan Beno pacaran?
“nggak
gitulah, Gani tu punya penyakit ayan! Epilepsy gitu! Makanya Beno jagain dia
ketat banget! Takut kumat sewaktu-waktu. Ya kan Gan?” Yang ini perkataan Derry
yang cukup bikin dada sedikit nyesek. Ini sebenarnya aku tahu niatnya bela aku, tapi caranya itu lho.
Otomatis
omongan-omongan itu bikin aku bête.
“kalian
tu ya? Masa yang jelek-jelek doang. Tukang nyolong lah, mata keranjang lah, lebih
parah lagi, apa kata lu tadi Der? Gua ayan? Enak aja! Trus apa lagi hah? Kurang
asemb?!” aku mendengus sebal dari bangku Radit.
“lha
terus apa dong alesan Beno sampai segitunya sama lo?”
Aku
berdiri dan berjalan ke bangkuku. Menatap Beno yang tengah menatapku dengan pandangan bertanya-tanya.
“Ya,
karena Beno tu cinta banget sama gua! Dia itu nggak bisa hidup semenit pun tanpa gua, tau!” kataku asal. Sebodo amat lah.
“beuh!
Homo attack bo!” seru Derry.
“romantic
cyinn.” Ini kata Ian lagi.
“emang.
Makanya, elu- elu pade kaga usah berisik. Mengganggu kemesraan kita tau!” ujarku sambil
duduk dibangkuku. Aku menoleh pada Beno yang tengah tercengang menatapku.
“hi,
darling. Mereka ngiri banget sama kita. Katanya, kita itu mesra banget!” kataku
dengan nada seriang mungkin tapi muka makin bête. Syukurin aja Lu Ben! Emang gua
maling apa di proteksi segitu ketatnya. Harus lapor satu jam sekali. Tamu aja
cuman lapor 24 jam sekali! Aku masih ngedumel dalam hati. Sama sekali tidak
menyangka bahwa Beno akan meraih kepalaku dan mengecup pelan di keningku. Aku
syok, apalagi anak-anak sekelas.
“CUIH,
BETE!!”
“NORAK! KAMPUNGAN!”
“MAHO
BOO!”
“UDIK!”
Aku
mendengar ucapan-ucapan mereka, tapi tidak begitu peduli. Beno barusan ngecup keningku. Ini betulan. Aku mengusap keningku perlahan dan semburat
merah jambu menjalar dipipiku. Beno sialan! Aku malu banget!
***
Aku
menatap Beno yang tengah memakan ayam bakarnya dengan ekspresi serius.Tanya
nggak ya? Tanya? Nggak? Tanya? Nggak? Eem, tanya aja lah. Daripada nanti mati
penasaran.
“Ben,”
panggilku lirih.
“hemm?”
Beno tetep nggak menoleh. Dia asyik dengan ayam bakarnya. Aduh, ayam bakarku kan tinggal tulang,
masa iya aku pura-pura tengah makan ayam bakar lagi?
“Itu
tadi apa?” kini Beno mendongakkan kepalanya, menatapku dengan tatapan bingung.
“apa
gimana?”
“itu
yang tadi di kelas.” Sebenarnya sih, inti dari pertanyaanku itu adalah apakah
ciuman Beno di kening tadi memiliki arti yang special buat dia atau hanya iseng
doang. Karena buat aku, itu sesuatu yang luar biasa sekali.
“yang
mana?” Gila nih anak! Masa iya aku harus menjelaskan adegan cium kening itu ke
Beno. Dia harusnya ngeh dong ya!
“Yang
itu. . .” cih, sulit banget sih. Ayo Gani, ngomong ayo!
“Lihat
deh Gan, tu cewek seksi banget ya? Tipe aku banget.” Hha? Aku sukses melongo. Cewek?
“Lu
suka cewek?” Tuhan! Aku keceplosan! Kini Beno menatapku dengan pandangan aneh.
Aduh, ini mulut kenapa bisa keceplosan gini sih! Bego, bego, bego banget!
“lha,
emang aku suka cewek Gan! Kamu kira aku homo gitu? Emang ada tanda-tanda kalau aku homo?” pengen
banget aku mengingatkan kejadian saat dia sering merangkulku, memijat-mijat
kepalaku atau membelai-belai rambutku. Dan jangan lupa kejadian yang masih
fresh, baru keluar dari oven, Beno mencium keningku! Tadi siang! Catet ya, tadi
siang! Gila aja, masa sih Beno udah lupa? Pikun amat! Bukankah itu sudah cukup
bukti kalau Beno menyukaiku? Ya kan? Iya dong!
“Gua
suka sama lu! Lebih dari teman. Gua pengen jadi pacar lu Ben!” nanggung!
Mending aku ungkapin sajalah. Beno menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan.Tatapan
terluka, tatapan bahagia sekaligus kecewa pada saat yang bersamaan.
“sorry
Gan, aku nggak bisa.” Aku lemas. Beno memberi aku harapan, namun ternyata hanya aku saja yang kege eran. Faktanya Beno tidak menganggapku lebih dari
seorang sahabat .Malam itu aku jadi pendiam, saat Beno mengantarku pulang aku juga hanya
mengucapkan kata-kata seadanya saja. Pengennya sih tadi pas di rumah ayam bakar aku langsung pergi begitu
Beno menolakku. Namun aku mikir-mikir juga, masa iya aku mau naek taksi? Sayang ongkos. Hemat. Hemat. Gila ya, demi hemat batinku teraniaya.
Begitu
nyampe kamar, Radit yang melihatku tanpa gairah hidup langsung memelukku.
“Gan? Lo kenapa?” aku menatap Radit sesaat lalu
menangis di pelukannya. Ditolak oleh orang yang kita cintai itu begitu menyakitkan. Sungguh!
Rasanya sesak.
Setelah
tangisku reda, aku segera bangkit dari pelukan Radit. Membasuh wajahku sebentar agar tidak terlihat
begitu menyedihkan.
“Gan?”
lagi-lagi Radit bertanya.
“Nggak
apa-apa kok. Nanti gua cerita ya Dit? Gua mau tidur dulu bentar.” Radit tersenyum
dipaksakan.
“Okay.
Sleep well Gan.” Aku tersenyum tipis. Aku berusaha memejamkan mataku, namun justru kenangan-kenangan bersama
Beno berseliweran di kepalaku.
Kenapa
kamu berhenti bersikap menyebalkan Ben?
Kenapa
kamu harus jadi baik?
Kenapa
kamu harus jadi orang yang bisa aku andalkan?
Kenapa?
Kenapa
sifat menyebalkanmu menghilang?
Aku
mencintaimu Ben! Demi Tuhan! Tidakkah kamu melihatnya dari tatapan mataku?
Tidakkah
kamu tahu semua sifatmu selama ini membuat benteng yang sudah lama aku ciptakan
hancur? Benteng yang memagari hatiku agar tidak jatuh hati padamu? Kalau seandainya kamu tidak ada rasa, kenapa
kamu harus berubah menjadi sebaik ini? Kenapa kamu tidak bertahan saja dengan sifat menyebalkanmu? Aku merutuki diriku sendiri.
Tuhan,
kenapa aku tidak jatuh cinta saja pada Radit? Dia jelas-jelas mencintaiku!
Sakitnya mencintai lelaki straight!
Penulisnya
ikutan ngegalau. Bersambung aja yok.
See
you in chapter 14 ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.