FOLLOW ME

Rabu, 03 April 2013

CERITAKU 4


CERITAKU 4



Aku menghembuskan nafas berlahan. Batinku masih bergejolak, mengingat setiap momen saat aku dan Andi di teras tadi. Ya, walaupun Andi belum terang terangan bilang aku suka kamu.Tapi aku cukup mempunyai harapan. Harapan bahwa suatu saat aku akan memiliki Andi seutuhnya, bukan sebagai teman tapi sebagai kekasih. Kulirik jam dinding yang tepat berada di atas almariku, jam 11 malam. Namun mataku masih enggan terpejam. Mungkin aku masih galau, di curhati segala sesuatu yang begitu rahasia dalam kehidupan Andi. Aku mengulang apa yang di ucapakan Andi tadi sore, tak menyangka kalau ayah Andi dan Rafky adalah satu orang yang sama. Sungguh! Mereka sama sekali tidak mirip, Andi mempunyai seraut wajah polos. Mata yang terlalu lebar untuk ukuran cowok, hindung mancung sempurna, bibir tipis yang agak kemerahan. Seperti ada magnet untuk mengagumi Andi. Ada binar binar jenaka di matanya. Polos, mungkin itu kesan yang didapat begitu orang melihat Andi untuk pertama kali.
Rafky? Aku belum pernah lihat matanya memancarkan kejenakaan.Yang ada hanya tatapan tajam dan mengintimidasi. Hidungnya mancung, walau agak sedikit bengkok. Bibirnya tidak tipis, namun penuh bewarna kehitaman.Yang ini karena dia demen banget ngerokok. Kenapa aku bisa tau? Ingat? Aku pernah jadi fansnya selama beberapa tahun. Tapi tidak untuk saat ini dan seterusnya. No way!! Kesimpulannya, mereka sama sekali tidak mirip! Mungkin Andi bisa membuat cewek cewek remaja histeris, namun Rafky bisa membuat wanita dewasa bertekuk lutut. See? Tau bedanya kan? Entah pukul berapa itu, mataku pun akhirnya terpejam.
Tok tok tok
“nak bangun nak sudah siang”.Terdengar suara ibuku dari luar. Aku menggeliat kekiri. Suara itu berlalu. Tapi tidurku kembali tidak nyaman 5 menit kemudian.
“bangun nak, sudah jam 7”, kali ini aku menggeliat ke kanan.
“Ardhinansa  Adiatama”, terdengar suara ibu lembut. Tapi aku sudah hafal di luar kepala. Hanya ada satu kemungkinan kalau ibuku sudah memanggil nama lengkapku. Kesal!!
“bentar, lagi beresin ranjang kok bu”, jawabku yang masih di atas tempat tidur. Segera aku turun dari tempat tidur, membereskannya sedikit, lalu keluar kamar dengan pasang wajah kesal.
“gak usah cemberut, gak mempan ke ibu”, kata ibuku waktu melihat aku keluar kamar.
“ini kan minggu!!”, jawabku putus asa. Ibuku memandangku sesaat. Aku langsung lemas.
“ada apaan sih bu?” Aku paling tidak kuat dengan tatapan ibuku yang satu ini, artinya bisa bermacam macam tergantung situasi. Saat ini tatapan ibuku seperti mengatakan minggu-bukan-jadi-alasan-bangun-siang. Seperti itu jika tatapan ibuku aku terjemahkan. Tempo dulu tatapan yang sama tapi berarti berbeda, ya seperti yang kukatakan  tergantung suasana.
“bantuin Reno rapiin halaman depan, rumputnya sudah tinggi tinggi”, kata ibuku sambil berlalu ke dapur. Tanpa menjawab aku langsung menuju ke kamar mandi. Setelah mencuci wajahku, aku baru keluar ke halaman depan.
“uda beres kan Ren?”, tanyaku dari depan pintu.
“buset dah, baru bangun lu bang? Pelor amat sih. Bantuin gih!! Kurang dikit ni.” Bukan karena adikku kurang ajar, tapi emang kita terbiasa menggunakan bahasa seperti ini sejak kecil. Aku lebih dari tau kalau adikku sangat menghormatiku.
“yee, tinggal dikit kan? Ya udah beresin aja sekalian !nanggung tau, lagian kaga baik kaga menyelesaikan pekerjaan yang uda di mulai. Mau lu punya istri berewokan?”, aku agak meringis.
“sialan lu, bantuin cepet!”
“Nansa”, terdengar suara ibuku dari dalam. Hiiiiy, daripada ntar di kasih tatapan susanna lagi, mending aku bantuin Reno panas panasan. Sebenarnya sih ibuku adalah ibu yang paling super, bisa membesarkan aku dan Reno sendirian.  Aku salut dan aku sayang ibuku.
“ngapain nih? Kayaknya uda beres kok”. Kataku begitu berada di depan Reno. kali ini aku mendapat tatapan, menurut-lu? nya Reno. Mungkin keluargaku memang mempunyai bakat berbahasa mata.
“tu sapuin rumput rumput yang uda gua potong, ntar tinggal di bakar aja”. Kali ini Reno berbicara dengan bibirnya, bukan dengan matanya lagi. Segera aku mengambil sapu ijuk besar dan mulai menyapu. Hampir semua rumput sudah terkumpul saat terdengar deru suara sepeda motor. Itu Andi, dan aku merasa tidak siap. Hanya memakai celana boxer pendek dan singlet putih. Aku merasa kurang nyaman dengan penampilanku, padahal kalau hari hari biasa aku pede pede aja.Tapi sekarang ada Andi.Huuuumm. . .
“Nan!!”, dia menyapaku begitu turun dari sepeda motornya.
“mau aku bantuin?” tambah Andi kemudian.
“kaga. Kamu tungguin aku  di dalam aja.”
“oke”, kata Andi sambil berlalu.
Hha? Aku menyesal telah mengucapakan kata kaga, sebenarnya itu hanya kamuflase supaya Andi memaksa pengen membantu. Lha ini? Dia sama sekali kaga niat membantu. Kalau niat kan seharusnya memaksa. Waktu aku jawab kaga tadi seharusnya dia tetep memaksa merebut sapuku, trus bilang, “kamu tu kaga boleh panas panasan”. Wkwkwkw, dunia khayal!! Kaga kejadian sama sekali. Makin bĂȘte saat aku melihat Andi dan Reno asyik ngobrol. Perasaan aku belum ngenalin mereka? Aku segera membereskan pekerjaan sialan ini, menuangkan sedikit minyak tanah dan membakarnya. Aku memutuskan untuk langsung mandi baru menemui Andi.
“gile, jadi lu satu kelas sama Risky?”, kalimat itu di ucapkan Andi saat aku masuk ke ruang tamu.
“hu um, beda banget lu ma Risky. Lu gokil punya”.Wajahku memerah, kalimat yang di ucapkan Reno barusan terkesan kurang ajar.Tapi bukannya marah Andi malah cengengesan. Dasar wong edan.
“pastinya!! Eh, kamu Nan. Uda siap ya?”, barusan ini suara Andi. Bola mataku berputar, ini orang sarap ya? Siap kemana? Ke alam baka?
“emang mau kemana?”, tanyaku mumpung masih bisa sopan. Maaf saja aku masih kesel karena ditinggal nyapu sendirian.
“kan aku ngajak kamu jalan, masa lupa?”, tanya Andi polos. Keningku mengernyit. Perasaan aku tidak didiagnosa dokter mempunyai degradasi daya ingat dah. Kapan Andi ngajaknya?
“jalan kemana An?”, tanyaku mulai agak emosi.
“muter muter aja. Yok!!” kata Andi sambil beranjak dari tempat duduknya. Aku setuju aja walau wajahku di pasang sejutek mungkin. Kuesel pokoknya.
“duluan Ren, ntar kapan kapan di sambung lagi.” Andi agak berteriak karena sudah berada di halaman depan.
“sip!! Ntar gua bocorin lagi dah informasinya”, kata Andi kaga kalah kenceng teriaknya.


Aku dan Andi berada di suatu tempat yang lumayan sepi. Banyak pohon yang tumbuh sehingga udara terasa sejuk.
“duduk sini”, kata Andi sambil menepuk nepuk batu yang ada di sampingnya. Aku berjalan duduk di sampingnya.
“ngobrolin apa tadi sama Reno?”
“apa ya? Hihihi”, Andi cengengesan. Pengen aku cipok bibirnya. Hehe
“aku ya?”, tanyaku menyelidik.
“wuidih. Ge eR amat! Tapi emang iya. Ngobrolin kamu”
“soal?”
“aku baru tau kamu belum pernah pacaran”. Wajahku sontak langsung memerah. Kayaknya Reno belom pernah di korek pake linggis ni kupingnya. Aku pastikan begitu sampai rumah Reno meringis minta ampun.
“hmm. . .”. jawabku. Jujur karena aku kaga tau mesti ngomong apalagi.
“kamu tau kan perasaanku?”, tanya Andi. Kali ini wajahnya serius.Bahkan binar mata jenakanya tidak tampak kali ini.
“maksut kamu?”, tanyaku memakai jurus ini-maksutnya-apa-sih?
“kamu pasti sadar kedekatan kita lebih dari teman”. Andi terlalu bertele tele. Aku jadi sedikit emosi. Jadi aku jawab aja, “iya, aku juga suka kamu”.
Andi agak tertegun, lalu mulai tertawa.Ya. Tertawa! Dan perlu di garis bawahi, Andi tidak sembarangan tertawa.Dia ngakak lebar banget. Hha? Emang ada yang aneh? Dari dialok barusan ketahuan banget kan Andi mau nembak aku? Trus lucu ya kalau aku inisiatif jawab duluan sebelum dia ngomong? Andi terus tertawa.
1 menit, it’s fine aku masih senyum pepsodent.
2 menit, no problem. Bikin orang ketawa itu ibadah.
5 menit, gigiku mulai gemeletukan.
7 menit, busa keluar dari bibirku.
10 menit, tubuhku kejang kejang.
Waduh, ini kesel atau epilepsi yak? Salah bukan seperti ini yang penulis harapkan. Aku tersenyum kecut, bener bener kecut. Saking betenya karena di ketawain mulu.
“uda selesai?”, tanyaku ke Andi saat tawanya sudah mereda. Andi masih cekikikan. Oke, Sepertinya aku harus rela kalau salah satu sepatuku bersarang di mulut kecilnya. Aku beranjak dari tempat dudukku, berasa gondok setengah mati karena jadi bahan tertawaan.
“hei tunggu,”. Kata Andi sambil tangannya menarik tanganku untuk kembali duduk di sampingnya.
“jadi kamu mau kan jadi pacar aku?”. Tanya Andi serius.Tak ada tawa lagi yang menghiasi bibirnya. Saatnya aku balas dendam.
“humpt”, aku melengos ke kiri.
“kok gitu? Katanya kamu juga suka aku?” Aku masih mendengar nada cekikikan saat Andi mengucapkan kata kata barusan.
“ra sudi”. Jawabku singkat. Andi mencolek daguku.
“jiah, ngambeg ceritanya ni? Atau strategi minta di sun ya?”, Andi mengucapkan itu sambil merangkul pundakku. Digoda seperti itu oleh orang yang di sayangi, mana tahan?
“minta di lamar”, jawabku asal.
“hehe. . .”. andi hanya nyengir. Tapi aku kaga mau menggantung, jadi aku tanya sekali lagi. Sekedar untuk memastikan, walau sesudah bertanya aku nyesel habis habisan.
“jadi sekarang kita pacaran kan?” Dan terdengarlah suara tawa itu. Yup! Andi tertawa lagi. Sepertinya, komitmenku untuk merelakan sepatuku di jadikan sumpal untuk bibir mungilnya harus aku realisasikan sekarang deh.
“kenapa sih? Rese banget. Aku kan nanya, kenapa mesti di ketawain sih?”
“iya sayang, kita pacaran. Aku sayang kamu. Sepertinya tadi aku lupa ngomong itu.” kata Andi sambil mencolek daguku.
“ehem. . .” suara orang batuk yang di buat buat itu sukses  mengagetkan aku dan Andi

Tbc. . .
Maaf masih sedikit. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.