CERITAKU 4
Aku menghembuskan nafas berlahan. Batinku masih bergejolak,
mengingat setiap momen saat aku dan Andi di teras tadi. Ya, walaupun Andi belum
terang terangan bilang aku suka kamu.Tapi aku cukup mempunyai harapan. Harapan
bahwa suatu saat aku akan memiliki Andi seutuhnya, bukan sebagai teman tapi
sebagai kekasih. Kulirik jam dinding yang tepat berada di atas almariku, jam 11
malam. Namun mataku masih enggan terpejam. Mungkin aku masih galau,
di curhati segala sesuatu yang begitu rahasia dalam kehidupan Andi. Aku
mengulang apa yang di ucapakan Andi tadi sore, tak menyangka kalau ayah Andi
dan Rafky adalah satu orang yang sama. Sungguh! Mereka sama sekali tidak mirip,
Andi mempunyai seraut wajah polos. Mata yang terlalu lebar untuk ukuran cowok,
hindung mancung sempurna, bibir tipis yang agak kemerahan. Seperti ada magnet untuk
mengagumi Andi. Ada
binar binar jenaka di matanya. Polos,
mungkin itu kesan yang didapat begitu orang melihat Andi untuk pertama kali.
Rafky? Aku belum pernah lihat
matanya memancarkan kejenakaan.Yang ada hanya tatapan tajam dan mengintimidasi. Hidungnya mancung, walau
agak sedikit bengkok. Bibirnya
tidak tipis, namun penuh bewarna kehitaman.Yang ini karena dia demen banget
ngerokok. Kenapa
aku bisa tau? Ingat? Aku pernah jadi fansnya
selama beberapa tahun. Tapi
tidak untuk saat ini dan seterusnya. No way!! Kesimpulannya, mereka sama sekali
tidak mirip! Mungkin Andi bisa membuat cewek cewek remaja histeris, namun Rafky
bisa membuat wanita dewasa bertekuk lutut. See? Tau bedanya kan? Entah pukul
berapa itu, mataku pun akhirnya terpejam.
Tok tok tok
“nak bangun nak sudah
siang”.Terdengar suara ibuku dari luar. Aku menggeliat kekiri. Suara itu berlalu. Tapi tidurku kembali
tidak nyaman 5 menit kemudian.
“bangun nak, sudah jam 7”, kali ini
aku menggeliat ke kanan.
“Ardhinansa Adiatama”, terdengar suara ibu lembut. Tapi
aku sudah hafal di luar kepala. Hanya ada satu kemungkinan kalau ibuku sudah
memanggil nama lengkapku. Kesal!!
“bentar, lagi beresin ranjang kok
bu”, jawabku yang masih di atas tempat tidur. Segera aku turun dari tempat
tidur, membereskannya sedikit, lalu keluar kamar dengan pasang wajah kesal.
“gak usah cemberut, gak mempan ke
ibu”, kata ibuku waktu melihat aku keluar kamar.
“ini kan minggu!!”, jawabku putus
asa. Ibuku memandangku sesaat. Aku langsung lemas.
“ada apaan sih bu?” Aku paling tidak kuat
dengan tatapan ibuku yang satu ini, artinya bisa bermacam macam tergantung
situasi. Saat
ini tatapan ibuku seperti mengatakan minggu-bukan-jadi-alasan-bangun-siang. Seperti itu jika tatapan ibuku
aku terjemahkan. Tempo dulu tatapan yang sama tapi berarti berbeda, ya seperti
yang kukatakan tergantung suasana.
“bantuin Reno rapiin halaman depan,
rumputnya sudah tinggi tinggi”, kata ibuku sambil berlalu ke dapur. Tanpa
menjawab aku langsung menuju ke kamar mandi. Setelah mencuci wajahku, aku baru
keluar ke halaman depan.
“uda beres kan Ren?”, tanyaku dari
depan pintu.
“buset dah, baru bangun lu bang?
Pelor amat sih. Bantuin gih!! Kurang dikit ni.” Bukan karena adikku kurang
ajar, tapi emang kita terbiasa menggunakan bahasa seperti ini sejak kecil. Aku lebih dari tau kalau
adikku sangat menghormatiku.
“yee, tinggal dikit kan? Ya udah
beresin aja sekalian !nanggung tau, lagian kaga baik kaga menyelesaikan
pekerjaan yang uda di mulai. Mau lu punya istri berewokan?”, aku agak meringis.
“sialan lu, bantuin cepet!”
“Nansa”, terdengar suara ibuku dari
dalam. Hiiiiy, daripada ntar di kasih tatapan susanna lagi, mending aku bantuin
Reno panas panasan. Sebenarnya sih ibuku adalah ibu yang paling super, bisa membesarkan
aku dan Reno sendirian. Aku salut dan aku sayang
ibuku.
“ngapain nih? Kayaknya uda beres
kok”. Kataku begitu berada di depan Reno. kali ini aku mendapat tatapan,
menurut-lu? nya
Reno. Mungkin keluargaku memang mempunyai bakat berbahasa mata.
“tu sapuin rumput rumput yang uda
gua potong, ntar tinggal di bakar aja”. Kali ini Reno berbicara dengan
bibirnya, bukan dengan matanya lagi. Segera aku mengambil sapu ijuk besar
dan mulai menyapu. Hampir
semua rumput sudah terkumpul saat terdengar deru suara sepeda motor. Itu Andi,
dan aku merasa tidak siap. Hanya memakai celana boxer pendek dan singlet putih. Aku merasa kurang nyaman
dengan penampilanku, padahal kalau hari hari biasa aku pede pede aja.Tapi
sekarang ada Andi.Huuuumm. . .
“Nan!!”, dia menyapaku begitu turun
dari sepeda motornya.
“mau aku bantuin?” tambah Andi
kemudian.
“kaga. Kamu tungguin aku di dalam aja.”
“oke”, kata Andi sambil berlalu.
Hha? Aku menyesal telah
mengucapakan kata kaga, sebenarnya itu hanya kamuflase supaya Andi memaksa
pengen membantu. Lha
ini? Dia sama sekali kaga niat membantu. Kalau niat kan seharusnya memaksa.
Waktu aku jawab kaga tadi seharusnya dia tetep memaksa merebut sapuku, trus
bilang, “kamu tu kaga boleh panas panasan”. Wkwkwkw, dunia khayal!! Kaga
kejadian sama sekali. Makin bĂȘte saat aku melihat Andi dan Reno asyik ngobrol. Perasaan aku belum
ngenalin mereka? Aku
segera membereskan pekerjaan sialan ini, menuangkan sedikit minyak tanah dan
membakarnya. Aku
memutuskan untuk langsung mandi baru menemui Andi.
“gile, jadi lu satu kelas sama
Risky?”, kalimat itu di ucapkan Andi saat aku masuk ke ruang tamu.
“hu um, beda banget lu ma Risky. Lu
gokil punya”.Wajahku memerah, kalimat yang di ucapkan Reno barusan terkesan
kurang ajar.Tapi bukannya marah Andi malah cengengesan. Dasar wong edan.
“pastinya!! Eh, kamu Nan. Uda siap
ya?”, barusan ini suara Andi. Bola mataku berputar, ini orang sarap ya? Siap kemana? Ke alam baka?
“emang mau kemana?”, tanyaku mumpung
masih bisa sopan. Maaf saja aku masih kesel karena ditinggal nyapu sendirian.
“kan aku ngajak kamu jalan, masa
lupa?”, tanya Andi polos. Keningku mengernyit. Perasaan aku tidak
didiagnosa dokter mempunyai degradasi daya ingat dah. Kapan Andi ngajaknya?
“jalan kemana An?”, tanyaku mulai
agak emosi.
“muter muter aja. Yok!!” kata Andi
sambil beranjak dari tempat duduknya. Aku setuju aja walau wajahku di
pasang sejutek mungkin. Kuesel
pokoknya.
“duluan Ren, ntar kapan kapan di
sambung lagi.” Andi agak berteriak karena sudah berada di halaman depan.
“sip!! Ntar gua bocorin lagi dah
informasinya”, kata Andi kaga kalah kenceng teriaknya.
Aku dan Andi berada di suatu tempat
yang lumayan sepi. Banyak
pohon yang tumbuh sehingga udara terasa sejuk.
“duduk sini”, kata Andi sambil
menepuk nepuk batu yang ada di sampingnya. Aku berjalan duduk di sampingnya.
“ngobrolin apa tadi sama Reno?”
“apa ya? Hihihi”, Andi cengengesan. Pengen aku cipok
bibirnya. Hehe
“aku ya?”, tanyaku menyelidik.
“wuidih. Ge eR amat! Tapi emang iya.
Ngobrolin kamu”
“soal?”
“aku baru tau kamu belum pernah
pacaran”. Wajahku sontak langsung memerah. Kayaknya Reno belom pernah di korek
pake linggis ni kupingnya. Aku pastikan begitu sampai rumah Reno meringis minta
ampun.
“hmm. . .”. jawabku. Jujur karena
aku kaga tau mesti ngomong apalagi.
“kamu tau kan perasaanku?”, tanya
Andi. Kali ini wajahnya serius.Bahkan binar mata jenakanya tidak tampak kali
ini.
“maksut kamu?”, tanyaku memakai
jurus ini-maksutnya-apa-sih?
“kamu pasti sadar kedekatan kita
lebih dari teman”. Andi terlalu bertele tele. Aku jadi sedikit emosi. Jadi aku jawab aja, “iya,
aku juga suka kamu”.
Andi agak tertegun, lalu mulai
tertawa.Ya. Tertawa! Dan perlu di garis bawahi, Andi tidak sembarangan
tertawa.Dia ngakak lebar banget. Hha? Emang ada yang aneh? Dari
dialok barusan ketahuan banget kan Andi mau nembak aku? Trus lucu ya kalau aku
inisiatif jawab duluan sebelum dia ngomong? Andi terus tertawa.
1 menit, it’s fine aku masih senyum
pepsodent.
2 menit, no problem. Bikin orang ketawa itu
ibadah.
5 menit, gigiku mulai gemeletukan.
7 menit, busa keluar dari bibirku.
10 menit, tubuhku kejang kejang.
Waduh, ini kesel atau epilepsi yak? Salah bukan seperti ini
yang penulis harapkan. Aku
tersenyum kecut, bener bener kecut. Saking betenya karena di ketawain
mulu.
“uda selesai?”, tanyaku ke Andi saat
tawanya sudah mereda. Andi masih cekikikan. Oke, Sepertinya aku harus
rela kalau salah satu sepatuku bersarang di mulut kecilnya. Aku beranjak dari tempat
dudukku, berasa gondok setengah mati karena jadi bahan tertawaan.
“hei tunggu,”. Kata Andi sambil
tangannya menarik tanganku untuk kembali duduk di sampingnya.
“jadi kamu mau kan jadi pacar aku?”.
Tanya Andi serius.Tak ada tawa lagi yang menghiasi bibirnya. Saatnya aku balas dendam.
“humpt”, aku melengos ke kiri.
“kok gitu? Katanya kamu juga suka
aku?” Aku
masih mendengar nada cekikikan saat Andi mengucapkan kata kata barusan.
“ra sudi”. Jawabku singkat. Andi mencolek daguku.
“jiah, ngambeg ceritanya ni? Atau
strategi minta di sun ya?”, Andi mengucapkan itu sambil merangkul pundakku. Digoda seperti itu oleh
orang yang di sayangi, mana tahan?
“minta di lamar”, jawabku asal.
“hehe. . .”. andi hanya nyengir.
Tapi aku kaga mau menggantung, jadi aku tanya sekali lagi. Sekedar untuk
memastikan, walau sesudah bertanya aku nyesel habis habisan.
“jadi sekarang kita pacaran kan?”
Dan terdengarlah suara tawa itu. Yup! Andi tertawa lagi. Sepertinya, komitmenku
untuk merelakan sepatuku di jadikan sumpal untuk bibir mungilnya harus aku
realisasikan sekarang deh.
“kenapa sih? Rese banget. Aku kan
nanya, kenapa mesti di ketawain sih?”
“iya sayang, kita pacaran. Aku
sayang kamu. Sepertinya tadi aku lupa ngomong itu.” kata Andi sambil mencolek
daguku.
“ehem. . .” suara orang batuk yang
di buat buat itu sukses mengagetkan aku
dan Andi
Tbc. . .
Maaf masih sedikit. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.