CERITAKU 8
“habis dari kamar kecil tadi”, kata
Andi sambil menutup resletingnya dengan cengengesan. Aku berpikir sejenak,
letak kamar kecil lumayan jauh dari kelas. Yang dekat justru yang
melewati tempat parkir. Kenapa
kaga ke kamar kecil yang dekat tempat parkir aja? Lalu wajah bersemu merah
Rika tadi? Oh Tuhan, ada apa dengan otakku hari ini? Apa yang aku pikirkan sih?
Tapi sedikit curiga boleh kan? Kalau misal tadi Rika sedang mengoral Andi? 15 menit? Cukup kan? Maaf karena sebenarnya aku belom pernah
di oral jadi kaga tau waktu efisiennya.
“woey?! Kok bengong?”, kata Andi
sambil menepuk bahuku pelan.
“gak papa kok”, aku agak merunduk.
“aku kaga jadi pulang bareng”,
tambahku kemudian. Andi agak kaget.
“kenapa?”, tanya Andi.
“aku ada acara mendadak”, lagi lagi
aku berkata masih dengan menundukkan kepala.
“acara apaan sih? Aku boleh ikut
kan? Aku pengen nemenin kamu”, aku merasa iba.Tapi entah kenapa aku tidak bisa
bersama Andi untuk saat ini. Hanya
gara gara resleting Andi terbuka dan wajah mesum Rika? What happen with me?
Tapi sekuat apapun aku berusaha mengangkat kepalaku dan menatap Andi, aku tidak
bisa. Perasaanku
lemah.
“aku bisa pulang sendiri nanti An”,
kataku tertahan.
“aku bener bener kaga bisa ikut?”,
Andi masih memohon.Aku berpikir sejenak.
“nanti kamu bisa jemput”, kataku
akhirnya.
“owh, beres deh kalau gitu. Nan?”,
Andi memanggilku sangat lembut.
“apa?”, aku menjawab. Masih dengan
kepala tertunduk.Tapi kemudian jari jari kokoh namun lentik itu mengangkat
daguku.
“aku sayang kamu. Jangan tinggalin
aku”, kata Andi kemudian. Jujur
rasanya aku ingin memeluknya. Melabuhkan
kepalaku di dadanya, merasakan dekapanya. Namun keinginan itu aku
tahan kuat. Ini
di parkiran dan masih banyak orang. Aku hanya bisa tersenyum.
“aku juga sayang kamu”, kataku
sedikit pelan takut terdengar orang orang di sekeliling kami. Andi tersenyum,
senyum yang sama ketika Andi menembakku dulu. Senyum yang sama yang telah
membuat aku jatuh hati.
“nanti sms ya?”, kata Andi sambil
mengacak acak rambutku.
“iya”
Aku melihat Andi menstater motornya
dan berlalu dari tempat parkir. Masih
menikmati punggungnya, mengagumi sosoknya. Kekasihku. Namun aku tak lama lama
berada di tempat parkir, aku segera melangkahkan kakiku menyusuri koridor
kelas. Aku
menuju ruang seni. Ini
bukan hari Jum’at dan Sabtu jadi otomatis
ruang seni kosong. Aku
mengeluarkan kunci duplikat ruang seni dari tasku, kunci yang dulu dipercayakan
oleh pak Jatmiko untuk di pegang olehku.
Disinilah aku terisak. Aku benar
benar terisak, entah apa pemicunya. Atau mungkin aku menangis tanpa sebab? Aku tak tau, aku hanya
ingin menangis. Hanya
ingin menangis. Salahkah
jika pria ingin menangis? Tanpa aku sadari ada seseorang di sampingku, aku
masih menelusupkan wajahku di kedua tanganku dan sesenggukan di sana sehingga
tidak tau persis siapa yang datang. Dan lagi, aku terlalu malu untuk
mendongakkan kepalaku dan melihat wajah orang di sampingku. Setelah Aku merasakan
orang itu telah berlalu, aku baru berani mengangkat wajahku. Mengusap bekas air
mataku dengan kaosku dan merasa malu sendiri telah menangis sesenggukan tadi.
Padahal sebelum pulang tadi aku baik baik saja. Lalu aku melihatnya,
melihat kertas itu. Karena
penasaran aku mengangkat kertas itu dan membacanya.
“NANSA, AKU SELALU MEMPERHATIKANMU. HANYA AKU TAK
TAU CARA PALING PAS UNTUK MULAI MENGOBROL DENGANMU. AKU TERLALU MALU”
Aku agak tertegun membaca pesan itu. Siapakah? Kenapakah? Dan aku meyesalinya,
menyesal karena tidak mengangkat wajahku saat orang itu datang. Bodoh! Bodoh! Tapi toh kalo
aku mengangkat wajah tadi pasti jelek banget. Di saat aku merutuki diriku sendiri
karena ketololanku sehingga tidak bisa melihat
orang-yang-merasa-malu-untuk-mulai-mengobrol-denganku itu, Hpku bergetar.
“halo, kenapa An?”
“hei sayang. Uda boleh jemput
belum?”. Suara Andi. Dan
lagi lagi aku menyesal telah menangis meraung tadi. Untuk apa aku menangis tadi
jika pacarku seromantis ini?
“sudah, aku lagi mau keluar gerbang
sekolah”
“sip! Kalau gitu aku otw ke sana”
“oke, aku tunggu,” jeda sesaat, karena
Andi hanya diam di ujung telepon sana.
“An?”, tanyaku akhirnya karena Andi
tak juga berbicara.
“iya. Aku masih di sini ko. Boleh
minta sesuatu kaga yank?”
“minta apaan?”
“minta sun”, kata Andi. Wajahku
memerah, walau aku tau Andi tak melihatku.
“aku malu”, jawabku pelan.
“kalau gitu nanti langsung aja.
Muuuuuach, ni aku cicil”, kata Andi sambil mematikan sambungan teleponnya. Aku hanya tersenyum
sendiri. Gila
kali aku ya? Tadi nangis sendiri sekarang senyum sendiri lagi, buset dah siap
siap priksa aja nih.
Aku melangkah keluar dari ruang seni
dan tak lupa menguncinya kembali. Kertas misterius tadi aku simpan
dalam sakuku. Dengan
gontai aku melangkah menuju gerbang sekolah. Aku celingukan mencari
Andi, namun batang hidungnya tak tampak. Motor maticnya belum kelihatan. Saat
aku masih berdiri di depan gerbang, sebuah mobil new Honda jazz menepi. Aku tak
begitu menghiraukan kedatangan mobil itu, namun begitu sang pengemudi turun aku
hanya ternganga.
“Andi?”
“iya lha! Siapa lagi? Yok masuk!”,
masih dengan terkejut aku pasrah saja saat Andi membukakan pintu belakang
untukku. Maklum
aku hampir tak pernah lihat Andi membawa mobil. Karena masih terkejut
juga aku tidak bertanya kenapa aku harus duduk di kursi belakang.Tapi
pertanyaan itu terjawab saat aku sudah masuk ke dalam mobil. Kursi depan sudah
di tempati oleh RIKA ANGGRAENI. Why? Kenapa harus ada dia? Tak perlu Andi
menjemputku dengan mobil jika ada ‘bedebah’ ini di dalamnya. Dan sepertinya
Andi tau apa yang di dalam pikiranku sehingga Andi berkata dengan santai.
DENGAN SANTAI!!!
“Rika mau tau sedikit tentang kota
ini Nan. Kaga masalah kan kalo kita ajak jalan jalan sedikit?”, aku hanya
tersenyum. Padahal dalam hati dongkol setengah mati. Kalau mau mengajak
‘bedebah’ jalan jalan kenapa ngajakin aku coba? Kenapa aku bisa sebenci
ini dengan Rika? Tau
ah, mungkin feeling aja.
Dan di sinilah aku sekarang, mirip
kambing congek. Rika
menggelayut manja di tangan Andi dan Andi sepertinya tidak berniat melepaskan
gelendotan si manja Rika. Aku
berjalan di belakang mereka sambil meratapi nasibku sendiri. Sambil sibuk
menghitung hari kapan aku lulus sekolah nanti karena saking betenya kaga di
ajak ngobrol dari tadi.
Akhirnya pulang juga. Andi mengantarkan Rika
lebih dulu dan sekarang hanya ada aku dan Andi di dalam mobil. Aku hanya
menanggapi sekenanya apa yang di ucapkan oleh Andi. Perasaanku kaga stabil. Dan rasanya aku ingin
marah.
“turunin aku di depan situ aja”,
kataku akhirnya
“kaga masuk aja? Masih ada satu gang
lagi kan?”, tanya Andi
“kaga usah, aku mau mampir dulu ke
rumah temenku”
“bener ni gak papa?”
“iya, gak papa”. Andi hampir mencium
bibirku seandainya aku tidak dengan sengaja menghindarinya.
“kenapa?”, tanya Andi. Aku tak menjawab dan
berniat turun dari mobil, namun tangan Andi memegang lenganku.
“aku tanya kenapa?!”, Andi bertanya
dengan sedikit menaikkan intonasinya.
“kenapa apanya?”, tanyaku pura pura
bego.
“kamu menghindari ciumanku?”
“aku kaga menghindar ko”
“kalo begitu . . .”, Andi berkata
sambil mendekatkan bibirnya ke bibirku. Aku langsung melengos.
“kenapa sih sayang? Lagi sariawan?”.
Kalo aku sedang tidak dalam kondisi marah besar, mungkin aku akan tertawa
mendengar ucapan Andi barusan.
“belum siap”, jawabku singkat. Lalu
mungkin Andi menyadarinya, sifat ketusku dari tadi.
“kamu marah”. Itu peryataan bukan
pertanyaan. Dan
aku hanya diam.
“kenapa kamu marah?”, Andi bertanya
sekarang.
“kamu tau? Kaga ada orang yang
tertawa lebar di dunia ini saat pacarnya mesra dengan orang lain di depan
matanya sendiri!!”, aku berusaha menjawab tenang tanpa emosi. Namun aku gagal.
“kamu cemburu?”, Andi kembali
bertanya
“kamu pikir?! Salah kalo aku
cemburu? Salah
kalo aku merasa seperti kambing congek dengan pacarku sendiri? Salah kalo aku
merasa di acuhkan sepanjang tadi?”, aku benar benar emosi sekarang. Sudah
hampir menangis. Lagi. Tapi aku tahan. Aku tak
ingin menagis di depan Andi. Tidak untuk kali ini.
“kamu histeris kaya cewe”, perkataan
dari Andi ini sukses membuatku terluka. Aku membuka pintu mobil dan Andi diam
tak mencegahku. Aku
Berlari lari kecil menuju rumahku. Saat sudah sampai di rumah aku
langsung menuju kamarku, berbaring dan menangis. Menangis hingga aku
terlelap.
***
Aku malas berangkat sekolah, tapi
ibuku sepertinya sedang tidak mau toleransi denganku. Akhirnya dengan malas aku
melangkah ke depan gang. Sengaja aku berangkat siangan agar terlambat. Lalu
motor itu, motor yang sama yang kemarin menebengiku berangkat sekolah. Kali ini
dia membuka helmnya,
“naik”, katanya jutek. Agaknya aku
sudah mulai terbiasa dengan nada juteknya ini.
“kaga. Makasih”
“naek”, kali ini intonasi itu naik 2
oktaf
“kaga”
“naik”, Rafky hampir berteriak. Dan
aku merasa kurang nyaman karena orang orang di sekitar kami mulai memperhatikan
kami dengan wajah penasaran. Akhirnya
dengan terpaksa aku naik ke belakang jok motornya. Namun Rafky tidak
membawaku ke sekolah. Walaupun
aku sedang galau, tapi aku masih waras untuk tau jalan ke sekolah tanpa
tersesat. Tapi
aku hanya diam. Terlalu malas untuk berdebat.
Rafky akhirnya berhenti dan samar
samar aku mengenali tempat ini, sebuah pemakaman umum yang cukup elit di
tempatku. Setelah menyapa petugas penjaga makam, Rafky berjalan dengan gontai menuju salah satu
makam yang agak jauh dari jalan besar.Terpaksa aku mengikutinya, aku tidak mau
di tinggal di sini sendirian seperti gembel. Karena bayangkan saja,
rambutku terkena angin (aku tidak pake helm), mataku bengkak (karena menangis
semalaman dan merutuki diriku sendiri betapa cengengnya aku) dan wajahku kusut.
Jadi berdiri sendiri di sini, di depan makam dengan penampilanku saat ini sudah
pasti membuat satpol pp bernafsu ingin meringkusku.
MELISSA LIDYA NINGRUM
Nama itu yang sempat aku baca pada
nisan yang sedang di beri bunga oleh Rafky. Aku menduga itu adalah ibunya
Rafky, Andi pernah cerita. Oh, Tuhan aku baru saja menyebutkan nama pria tak
berperasaan itu.
“ini mamaku”, kata itu terucap dari
bibir Rafky. Dan aku tak tau harus merespon seperti apa. Sepertinya tak etis
jika aku mengucapkan :
“owh”, lebih tak patut lagi jika aku
berbicara :
“penting ya? Masalah buat gua?”.Itu
sangat tidak etis. Jadi
lebih baik aku diam, karena jujur tak ada kata yang terlintas dalam benakku. Rafky juga diam. Tak
beberapa lama kemudian Rafky berdiri, menatapku sesaat dan berlalu menuju
motornya.
“dengan keadaan lu yang begini, lu
kaga pantes ke sekolah”, kata Rafky begitu aku berhasil menyusul langkah
langkah panjangnya. Aku hanya diam.
“kaga punya mulut lu ya?”, kali ini
sepertinya Rafky ngajak berantem. Tapi kali ini aku masih tetap diam. Entah
kenapa aku sedang malas berbicara. Namun Rafky sepertinya memang sedang
ingin menyulut emosiku, dia menstater motornya dan melaju begitu saja tanpaku. Sekian detik aku hanya
termangu, namun satu menit kemudian aku sudah sukses memaki makinya.
“bastard!! Anjing!! Balik lu kalo
berani!! Cemen amat lu ninggalin gua!!”, aku masih sibuk mengeluarkan kosakata
yang aku pelajari dari kebun binatang saat ada motor di belakangku yang hampir
menabrak kakiku.
“gitu dong. Dari tadi diem aja”. Aku
menoleh ke belakang dan langsung naik pitam. Aku menonjok lengannya
walau tak serius. Rafky
hanya meringis.
“ayo pukul lagi. Kalau lu bisa
ketawa lagi kayak biasanya, bisa memaki gua kayak biasanya”. Kata Rafky santai.
“Gua uda cukup diam selama ini,
karena gua berharap lu akan tetap menyukai gua. Masih setia mengagumi
gua. Gua pengen ngalahin prestasi lu dulu di kelas baru gua punya nyali buat
deketin lu. Tapi melihat lu deket ma Andi gua kaga rela. Gua cemburu”.Kata kata
yang di ucapkan Rafky dengan nada serius itu sempat membungkamku. Aku kembali diam. Tapi
kemudian aku berpikir, ini anak kepedean amat yak? Lagian yakin amat kalau
cintanya bakal aku terima. Oya,
yang lebih mendasar yakin amat kalau aku gay.
“kata siapa gua mengagumi lu?”
“orang bego juga tau kalau lu suka
ma gua. Tiap ketemu kepala lu meleng trus ke gua”.Rasanya aku pengen nyumpal
mulut Rafky pake sempak ku yang uda 3 hari kaga di cuci. Wew, baunya kayak apa
ya?
“terlambat Raf, gua bukan jomblo
lagi”, ada nada sesal dalam suaraku.
“gua kaga peduli. Gua akan rebut lu
dari Andi”. Aku menonjok lengannya lagi. Kali ini serius.
“gua bukan barang!”
“iya gua tau. Naek gih. Ato mau gua
tinggal di sini?”. Aku
terpaksa naik. Karena tidak ada kendaraan umum yang melewati kompleks pemakaman
ini. Rafky membawa motornya tidak terlalu kenceng dan entah karena aku
semalaman kurang tidur atau apa, aku tertidur. Ya! Bener banget! Aku tertidur
di atas motor Rafky.
Entah jam berapa itu mataku terbuka,
lalu aku melihat pemandangan indah itu. Rafky. Sedang ganti baju, hanya
memakai celana dalam saja. Aku
kembali pura pura masih tertidur. Kapan lagi coba kesempatan ini
datang? Oke, aku memang masih pacarnya Andi, tapi sedikit mengagumi ciptaan
Tuhan yang satu ini tidak salah kan? Jujur, Rafky memang memiliki tubuh yang
lebih ‘matang’ ketimbang Andi. Ini
penilaianku secara objektif. Tapi
kenapa kaga dari dulu dia nembak aku? Kenapa harus sekarang? Saat aku sudah jadi milik
Andi?
Rafky sudah selesai ganti baju dan
sekarang dia duduk di sisi ranjang, tanga kanannya membelai rambutku. Aku tak
tau harus berbuat apa. Rasanya damai sekali. Kemudian aku pura pura
menggeliat dan membuka mataku.
“Raf?”
“ya?”
“dimana?”, aku bertanya seperti
layaknya orang linglung.
“lu di kamar gua”
“kenapa?”
“ye, orang lu molor di atas motor.
Mana lu ngiler lagi”.Aku jadi malu sendiri. Bener kaga aku ngiler
tadi?
“boong banget lu. Seumur umur gua
kaga pernah ngiler!”, kataku sewot. Rafky lalu berdiri dan berjalan menuju
gantungan baju.
“ini apaan?”, tanya Rafky sambil
memperlihatkan baju seragam miliknya bagian punggung. Dan memang ada sebentuk
pulau tak jelas di sana.
“air mata kali”, jawabku masih
berusaha ngeles.
“owh, kaga bisa. Jelas jelas ini
iler lu!!”
“ya uda. Masalah buat lu?”
“jelas masalah lha. Ini mah sama aja
lu uda menjatuhkan martabat gua”
“halah, bahasa lu ketinggian! Sini
gua cuciin. Repot amat sih!”
“kaga usah. Mau gua simpen soalnya”. Aku hanya bisa termangu. Hha? Mau di simpen? Uda sarap
kali ya ni anak? Baju kena iler gitu di simpen. Kurang kerjaan banget. Nyimpen tu nyimpen duit
kek, komik kek ato nyimpen cowo cowo cakep. Wkwkwk
“mau pulang kapan?”, tanya Rafky.
Entah kenapa aku merasa tembok yang selama ini membentang antara aku dan Rafky
seperti perlahan lahan runtuh.
“ngusir gua lu?”
“ye kaga ngusir. Cuma nanya doang
juga”
“jam berapa sekarang Raf?”
“jam 7”
“hha? Serius lu?”, tanyaku seakan
akan tak percaya.
“kaga, gua becanda. Ya serius lha”
“aduh, gua pulang sekarang deh”,
kataku sambil turun dari ranjang.
“tas gua mana?”, tanyaku sewot.
“tu di atas meja. Yok gua anter”. Rafky berjalan dulu ke
halaman teras rumahnya. Selang
5 menit kemudian aku baru nyusul setelah cuci muka tadi. Aku tengah
berinisiatif mengagetkan Rafky ketika sebuah motor matic memasuki halaman. Aku
terpaku, itu Andi dan Rika. Semudah
itukah Andi membuangku? Andi
juga sepertinya kaget.
“whoey!! Ayo, ngalamun mulu kerjaan
lu!!”, Rafky berbicara. Kayaknya dia kaga sadar sama atsmofir yang kurang enak
di halaman teras ini. Ato pura pura kaga sadar?
“bentar Ri, gua mau ngomong ma
Nansa. Rik, kamu masuk dulu aja ya?”, Andi berbicara sambil menggandengku ke
halaman bagian samping. Rika langsung masuk. Rafky tetep berdiri di
samping motornya.
“apa yang kamu lakuin sama Rafky?”,
tanya Andi dengan nada kesal.
“kamu sendiri? Kita belum putus,
tapi kamu uda gandeng cewe”
“jawab dulu pertanyaanku!! Lagian,
mama emang pengen ketemu Rika!! Aku Cuma jemput aja kok”
“owh”, jawabku singkat.
“jawab pertanyaanku!”, Andi masih
mengejar jawaban dari mulutku ternyata. Aku melirik Rafky sekilas, dia masih
stay manis di samping motornya.
“aku Cuma main sama Rafky”, aku
menjawab santai.
“main?! Ngobrol aja kalian hampir
kaga pernah!!”
“ya trus? Apa salahnya kalau aku
sekarang pengen temenan ma Rafky? Masalah buat kamu ya?”
“aku sayang kamu, tau kan? Aku
cemburu”
“menurut kamu aku nggak? Tapi apa
aku bisa tahan kalau kamu juga memperlakukan Rika sama persis seperti kamu
memperlakukan aku!!”
“woey! Aku ma Rika Cuma temen!”,
Andi berkata sambil memelukku. Dan secara perlahan aku melepaskan pelukannya.
“sepertinya kamu harus menata
perasaan kamu dulu An. Antara aku dan Rika, pacar kamu yang sekarang dan pacar
kamu yang dulu. Aku kasih kamu waktu”.Andi terlihat gelisah.
“kita putus?”, tanya Andi dengan
wajah khawatir.
“siapa bilang? Aku hanya memberi
kamu waktu. Saat kamu uda bisa mutusin, kamu bisa bilang ke aku”
“berapa lama waktu yang kamu kasih?”
“tak terbatas, tapi aku harap secepatnya.
Karena aku tak yakin jika suatu saat kamu datang padaku nanti hatiku masih
untuk kamu”. Aku berkata sambil meninggalkan Andi termangu di sana.
“anterin gua, hampir jam 8”
“salah lu sendiri kali. Yok naik”,
kata Rafky. Di atas motor aku hanya termenung. Walaupun sekilas, tadi aku
melihat Rika memeluk pinggang Andi dengan erat. Bahkan tangannya berada
tepat di atas kejantanan Andi. Apa
Andi pikir aku buta? Bahkan aku sendiri belum pernah memegangnya!!
Seharusnya aku tak pantas memberi
pilihan pada Andi. Rika
wanita, sedangkan aku pria. Pilihan
yang jelas jelas tak berimbang. Tapi
aku sudah memikirkanya. Jika suatu saat aku akan benar benar kehilangan Andi.
Kembali air mataku menetes dalam diamku.
Tbc. . .
Pas buka pas ada update-an :) itu kenapa si Andi jadi deket-deket sama si Rika? Jangan-jangan biseks ya? Kasihan si Nansa. Kayaknya nanti bakal berpaling ke Rafky nih. Hahahaha. Tambah seru aja nih cerita!
BalasHapusditunggu ya??
Hapus