CERITAKU 6
Rasanya benar benar menjengkelkan,
penat dan lelah.Terkuras emosi dan fisik. Aku masih duduk termenung di depan
teras. Perasaanku campur aduk, sebegitu rumitnyakah permasalahan antara Andi
dan Rafky?
“ngapain lu bang?”, Reno yang baru
saja pulang menegurku.
“eh, elu. . .” aku menjawab singkat.
Lagi males aja membuat percakapan dengan adikku yang satu ini.
“buset dah. Lu kenapa? Kesambet bang? Atau di
tolak cewe ya?” Mulut
Reno nyerocos tanpa henti. Aku mendongakkan kepalaku, sedikit melotot pada adik
gantengku satu satunya ini.
“kayaknya gua lupa sesuatu nih
menyangkut lu Ren”
Reno menelan air ludahnya, terlihat
gugup. “apaan?”
“ngomong apa aja lu ma Andi
kemaren?”, tanyaku langsung. Baru ingat, kalo aku belum membuat anak satu ini
meringis minta ampun. Reno
hanya senyum senyum kaga jelas.
“kaga ngomong apa apa ko”, Reno
menjawab dengan santai. Aku menatapnya tajam. “ya sekedar berbagi cerita doang
bang”.
Aku masih tidak percaya, jadi
tatapan tajamku aku naikkan intensitasnya. Tapi tidak seperti Reno dan ibuku
yang sangat ahli dalam mempermainkan mental lawan dengan tatapan mata, aku sama
sekali tidak berbakat dalam hal ini. Reno masih cengengesan. Jadi aku pakai
strategi lain.
“gua jadi kena masalah gara gara
itu”, aku berbicara dengan intonasi malangnya-nasibku-ini. Dan itu lebih ngena, Reno
langsung mendekatiku dan duduk di sampingku.
“kenapa bang? Masalah apa?”
“gua di ketawain satu kelas karena
mereka tau gua pernah ngompol saat kelas 2 SMP.” Kalau yang ini aku cuma
bertaruh, Andi tidak pernah ngomong kalau Reno menceritakan aibku yang satu
ini.Tapi melihat ekspresi Reno, sepertinya taruhanku bakal menang.
“Andi janji kemaren kaga bakal
cerita ke orang lain”, Reno seperti menyesal. Aku hanya tertawa dalam hati. Ekspresi ku tetep
nasibku-yang-malang aku pasang.
“jadi kaga selera makan Ren, lu kok
tega? Ngejual aib abang lu?” aku mulai mendramatisir keadaan. Bukan apa apa,
tapi karena jiwa sosial adikku ini cukup tinggi jadi cara ini pasti kena tepat
sasaran dah.
“maaf dah bang, kemaren tu Andi uda
janji kaga bakal cerita ke orang orang. Sumpah!! Ntar kalau gua ketemu Andi gua
bogem dah.” Aku hanya cekikikan, tapi dalam hati cekikikannya.
“percuma lu bogem dia, semua orang
uda pada tau. Kayaknya yang bisa ngobatin nyeseknya dada gua cuma rujak
eskrimnya pak Muhdin dah.Tapi gua kaga punya duit.” Reno berpikir sejenak.
“bentar bang, lu tunggu sini aja.
Gua beliin” Kata
Reno sambil berlari lari kecil ke luar teras halaman. Aku tersenyum geli. Padahal tempat pak Muhdin
jualan sekitar 10 menit jalan kaki.
Aku masuk ke dalam rumah.Terkunci,
berarti ibu masih di toko. Aku mengambil kunci di bawah pot yang di gantung ,
membuka pintu lalu langsung menuju kamarku. Belum lama aku berbaring, Reno udah
nongol di depan pintu kamarku.
“ini bang rujak eskrimnya”, Reno
mengulurkan sebuah mangkok.
“hha? Pinjem mangkok siapa lu?”, aku
heran. Perasaan tadi Reno kaga bawa mangkok. Apa dia dapet
dooprise mangkok cantik? Kenapa
kaga di bungkus aja?
“punyanya pak Muhdin lha, tapi tadi
yang lagi jaga si Nia jadi di suruh bawa mangkok aja. Ntar dia sendiri yang
bakal ngambil kesini.”
“owh”, aku hanya menjawab singkat.
Nia, aku masih bingung dengan gadis itu. Gadis yang masih seusia
Reno, namun harus putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu untuk
membiayainya masuk SMP. Wajahnya cukup manis, dia sering main kesini untuk
belajar bersamaku atau Reno. kata Reno, Nia naksir aku. Tapi kalau menurutku
dia malah naksir Reno.
“dimakan lha bang, sebagai
permintaan maaf gua. Mau sampai kapan lu ngelamun coba?”, kata Reno sambil
menepuk bahuku.
“iye, ne mau?”, kataku sambil
mengangkat sendok berisi rujak eskrim, tanpa kusangka Reno membuka mulutnya dan
langsung melahap dengan nikmat.
“gua cuma nawarin. Hmm, kurang
sesendok ni jatah gua”, aku ngedumel
“buset dah, baru juga kurang
sesendok. Lagian suruh siapa lu nawarin gua?”
“itu namanya basa basi geblek! Ramah
tamah!”
“bodo ah, kalau ada yang nawarin ya
sikat aja” Reno berkata sambil berlalu dari kamarku. Untuk sementara masalah
Rafky dan Andi di endepin dulu, sekarang baiknya makan rujak eskrim lha. Kalau di tempatku, rujak
eskrim adalah sekumpulan aneka buah yang dipotong kecil kecil dengan kuah
pedas. Koreksi,
super pedas jika mengacu pada rujak eskrim yang sedang aku makan ini. Untuk yang satu ini, Reno
sepertinya niat pesan yang super pedas. Dasar kelakuan!! Lalu di campur dengan
eskrim. Pokoknya,
enak banget. Pedes, tapi ada rasa dingin dan manis dari eskrimnya. Belum lagi
buahnya yang seger seger. Pengen kan? Pengen kan?
Tepat saat aku menghabiskan satu
mangkok rujak eskrimku, Reno masuk lagi ke kamarku. Hanya memakai celana
pendek seragam SMPnya.
“ngapain lu?”, tanyaku sewot.
“yaelah jutek amat kayak perawan
kaga laku laku, minjem hp lu bentar dong bang”
“buat apaan?”
“minta satu sms doang”
“tu ada di atas meja”, kataku sambil
menunjuk hpku yang tergeletak nyaman di atas meja belajarku. Belum sempat Reno
mengambil hpku, lagu sign dari JT sudah berkumandang. Aku langsung menyambar
hpku. Dari
ibu.
“halo, ada apa bu?”, aku menyapa
pelan dan sopan.
“Nansa ya?”, sejak kapan suara ibuku
jadi ngebass? Bego!! Ini bukan ibuku! Suara lelaki yang sangat aku hapal.
“ayah? Mana ibu? Kenapa hp ibu bisa di
tangan ayah?” tanyaku bertubi tubi. Ada rasa dendam dalam suaraku. Pria yang 12 tahun lalu
tega meninggalkan ibu, aku dan Reno hanya demi wanita yang lebih muda dan lebih
cantik.
“ibumu ada di rumah sakit”. Aku syok
mendengar kalimat barusan.
“hanya tersrempet mobil, tidak ada
luka parah”, tambah suara di sebrang sana.
“mobil ayah kan?”, tanyaku gregetan.
Tak ada jawaban dari ayah.
“rumah sakit mana?” tanyaku cepat.
Aku mencatat alamat rumah sakit yang di berikan ayah. Lumayan dekat dari sini.
“kenapa bang?”, tanya Reno.
“pake baju lu, lu ikut gua
sekarang!”
“ngapain?”
“ibu kecelakaan”. Satu jawaban
singkat dari mulutku berhasil membuat Reno langsung beraksi, berlari ke
kamarnya lalu menyusulku yang sudah ada di teras.
“kunci pintunya Ren”. Tanpa
menjawab, Reno mengunci pintu, lalu mengikuti berjalan cepat ke depan gang.
***
Aku tertegun begitu sampai di rumah
sakit. Ada
ayah dan Sri Indarwati, istri ayah yang sekarang. Lalu ibu yang sedang
duduk di sebuah kursi panjang. Aku
segera berlari menghampiri ibu yang kemudian disusul Reno yang sempat terpaku
sesaat.
“ibu baik baik aja kan?” ibu menowel
kepalaku pelan.
“apa yang bisa membuat ibu kenapa
napa?”. Aku hanya tersenyum. Ibuku
baik baik saja. Aku
yakin itu.
“Nansa, Reno”, itu suara ayahku.
Aku menoleh, Reno yang tadi sedang
mengagumi perban yang ada di tangan kiri ibu pun ikut menoleh. Aku melihatnya, binar
kerinduan di mata ayah.
“Kalian sudah besar sekarang”, kata
ayah dengan suara serak. Ini
menjadi pertemuan keluarga yang paling aneh menurutku. Seorang pria dengan istri
barunya bertemu dengan mantan istrinya juga anak anaknya di rumah sakit. Hmm. .
.
“apa urusan ayah?”, Reno menjawab
dengan ketus. Ayah hanya tersenyum miris. Mungkin menyesal telah meninggalkan
ibu, aku dan Reno. Sedangkan
dari istri mudanya, Sri Indarwati ayah tidak mempunyai keturunan. Ironis sekali.
“ibu ayo”, kata Reno sambil memapah
ibuku.
“bang, mau sampai kapan bengong di
situ?” kata Reno membuyarkan lamunanku. Aku sebenarnya ingin memeluk ayah,
merasakan dekapanya yang dulu.Tapi rasa marahku lebih besar, aku memilih
berlalu. Meninggalkan
ayah dengan istrinya yang sekarang. Aku bahagia dengan kehidupanku yang
sekarang, tanpa ayah.
***
Aku melihatnya, Rafky yang sedang
membantu seorang nenek nenek menyebrang
jalan. Sepele, tapi seberapa banyak orang yang mau melakukan perbuatan mulia
ini? Hanya
segelintir. Dan Rafky melakukannya, entah itu neneknya sendiri atau neneknya
orang lain. Aku masih mengamatinya dari jauh, lalu tertegun saat melihat Rafky
tertawa.Ya, Rafky tertawa.Tampan sekali.Tapi kenapa dia selalu pasang wajah
sangar di depanku? Koreksi,
bukan di depanku saja tapi di hampir semua kesempatan tak pernah dia tertawa
selepas ini. Aku
jadi urung untuk melangkah kesana. Menunggu hingga Rafky meninggalkan
nenek nenek itu baru aku berani melangkah kesana. Aku tersenyum sekilas pada
sang nenek yang di beri tawa lebar oleh Rafky tersebut lalu duduk di
sampingnya. Semoga busnya cepet datang, kataku dalam hati.
“eyang, kan aku uda bilang jaketnya
di pake” Suara itu membuatku agak terlonjak. Walaupun intonasinya
berbeda, tapi tetep aja aku mengenali suara serak serak menyebalkan itu.
“masih jam 5 Riri, belum terlalu
dingin.” Riri? Karena saking penasaran dengan cucu nenek ini yang suaranya sangat aku hapal tapi
namanya berbeda ini membuat aku menoleh. Aku mengenalinya, sosok tampan itu
sedang tersenyum meringis ke sang ‘eyang’. Aku tidak salah, itu Rafky. Tapi
hey, wait a minute. Riri? Cowok
jutek, galak, sadis itu di panggil Riri? Ingin rasanya aku ke sana lalu menabok
pipi sang nenek! Riri? Bayangin aja, nama itu terlalu manis, terlalu imut
untuk cowok sejutek Rafky!! Kemudian
kejadian naas itu terjadi, si ‘Riri’ melihatku dan aku melihatnya.
“Nansa?” eng ing eng, baru kali ini
dia bisa menyebut namaku dengan benar. Biasanya, dia cukup memanggilku
dengan sebutan ‘hey’ ato ‘lu yang di sana’ ya semacam itu lha. Dan aku merasa terhormat. Sungguh.
“hehehe”, aku hanya meringis garing.
“wah, jadi kalian saling kenal?”, tanya si eyang.
“kita satu kelas eyang. Mau kemana
lu?” tanya Rafky ramah. Bener, aku kaga bohong. Ramah!! Aku saja sempat
tertegun 3 menit, eh salah 5 menit.
“manden, eyang mau kemana?”, sengaja
aku menanyakannya pada si ‘eyang’. Si eyang memandangiku dan Rafky bergantian.
“kalian sedang bertengkar atau ada
masalah ya?”, tanya si eyang lebih tepatnya ke Rafky daripada aku.
“kaga kok eyang. Sebentar ya eyang,
aku mau ngomong sama Nansa bentar”. Rafky berkata sambil menarik tanganku untuk
menjauh. Dan jangan pikir ini adalah acara-pegang-tangan-yang-romantis, karena
jujur Rafky terlalu baik sehingga menghadiahkan pegangan tangan yang super
kencang. Ato meremas lebih tepat?
“lu bisa kan pura pura kita kaga ada
masalah?”, kali ini intonasi itu kembali ke bentuk yang wajar, JUTEK.
“lha? Bukannya kita emang kaga ada
masalah RIRI?”, sengaja aku menekankan kata Riri.
“oke, berarti bisa kan lu sedikit
ramah ke gua?”. Keningku mengkerut. Jadi selama ini aku kurang ramah ke
dia? Senyumku
yang dulu sering ku sunggingkan saat berpapasan dengannya, berusaha ngobrol
santai dengannya itu masih di sebut kurang ramah. SETAN ALAS!!
“oya, dan jangan panggil gua
Riri!!”, kali ini kadar juteknya agak meningkat. Rafky berbalik lalu kembali ke
‘pangkuan’ si eyang. Oke
deh, Rafky sepertinya pantas untuk masuk nominasi the best actor of the year. Aktingnya sebagai cucu
yang baik patut di acungi jempol.
“Nansa, duduk sini nak. Eyang juga mau ke manden.
Kita bareng aja”, sang eyang menawariku untuk duduk di sampingya. Aku pun
beringsut mendekat. Aku berpikir bahwa kita akan bareng dalam artian naik bus
yang sama. Namun pikiran itu kandas saat sebuah Toyota alphard (kalau merk, dan
tulisan salah jangan protes!! Karena aku kaga dapat royalty dari mereka)
berhenti dan om Bimo keluar dari mobil.
“maaf ma, agak terlalu lama. Macet
tadi”, kata om Bimo. Keluarga
aneh, kenapa kaga di jemput ke rumah si eyang aja? Kenapa harus nunggu di
halte bus coba?
“kebiasaan. Ayo Nansa, kamu bareng
eyang aja”. Lalu om Bimo menoleh ke arahku.
“Nansa, maaf om tadi tidak lihat
kamu. Kamu mau kemana?”, tanya om Bimo ramah.
“manden om”
“ya udah bareng aja, ayok!!”, kata
om Bimo sambil menggandeng tanganku.
“nggak usah om, ntar ngerepotin.”
“uda, gpp. Kita juga mau ke manden
kok. Ayo,
jangan malu malu lha!”
Akhirnya aku terpaksa naik. Ada Risky dan Andi juga
ternyata di dalam, Andi agak kaget melihatku. Sedangkan Risky hanya
tersenyum ringan. Tunggu dulu, Toyota alphard itu mobil yang lumayan gede kan?
Jadi kalau om Bimo, tante Anita, eyang, Rafky, Andi, Risky dan aku masuk mobil
masih muat kan? Pokoknya kalian bayangin aja semua orang duduk nyaman di dalam
mobil. Di larang keras membayangkan mereka berdesak desakan di dalam mobil
layaknya di angkot, jangan!!
Tante Anita dan om Bimo ada di
depan, eyang dan ‘Riri’nya duduk di tengah sedangkan aku, Andi dan Risky berada
di belakang. Emang benar apa yang di katakan Andi kemaren, eyang sama sekali
tidak menyapa Andi atau Risky. Tapi aku tak menemukan fakta jika Rafky membenci
tante Anita, mereka bahkan sering terlihat bercanda. Tapi sepertinya om Bimo
lebih ‘perhatian’ ke Risky dan Andi. Beberapa pertanyaan sepele seperti ‘Andi,
Risky pusing kaga? Rafky?’ mungkin jika kalimat itu di ucapkan sekali tidak
bakal kentara, tapi jika berulang ulang dengan pola kalimat yang sama? Yang
berbeda mungkin hanya dari pusing ke lapar atau mungkin mual, namun tetap saja
nama Andi dan Risky di sebut dulu jeda sesaat baru Rafky. Tapi wajar saja, Andi
dan Risky kan anak dari istri yang di cintai om Bimo, sedangkan Rafky adalah
anak dari istri yang terpaksa dinikahi om Bimo. Tapi kenapa aku jadi mengurusi
rumah tangga orang? Hush, pamali Nansa!!
“Nansa satu kelas dengan Riri kan?”,
si eyang bertanya. Entah nama Andi lupa di cantumkan atau memang sengaja tidak
di cantumkan? Entahlah.
“iya nek”, jawabku singkat. Aku
menggenggam tangan Andi erat, sekedar memberi support.
“Riri hebat ya, jago basket. Pelajaran juga tidak
jeblok jeblok amat. Eyang bener bener bangga, bla bla bla. . .”.aku tidak
menggubris apa yang di ucapkan sang ‘eyang’, karena pada intinya dia hanya sedang
menyindir Andi. Aku
semakin erat menggenggam tangan orang yang saat ini selalu merajai di setiap
pikiranku. Mengambil
hp, lalu menulis pesan singkat.
‘aku mencintaimu. Aku ada di sisimu’
Aku send ke myLuph
Tak lama hp Andi bergetar, membaca
singkat pesan yang masuk lalu tersenyum padaku. Matanya seperti
mengucapkan terima kasih dan aku juga mencintaimu. Perjalanan ini jadi
terasa sangat panjang. Biasanya
dari rumahku ke Manden hanya butuh waktu sekitar 30 menit naik bus.Tapi 30
menit ini terasa lama sangat. Beberapa kali om Bimo terpaksa menyela sang eyang
karena sudah keterlaluan memojokkan Andi. Well, mungkin Andi memang bukan
lelaki dengan otak yang ‘wah’, tapi menurutku pacarku ini kaga bego bego amat.
Respek ku terhadap si eyang jadi agak menurun.
“om. Aku turun di pertigaan depan
sana aja”, kataku menunjuk pertigaan yang ada di depan kurang lebih masih 500m.
“oke, emang mau kemana Nan ?”
“ke Dr. Hariyadi om”
“mau periksa?”, tanya om Bimo. Aku
diam sejenak.
“enggak om, dia ayahku”, hmm terucap
juga dari mulutku. Walaupun mungkin keluarga Andi tidak mengenal siapa itu Dr.
Hariyadi tapi cukup sulit untuk mengucapkan bahwa Hariyadi adalah ayahku.
“kamu anaknya Hari?”, om Bimo
menatapku lewat spion depan. Mobil sudah berhenti, tinggal aku turun dan
mengucapkan terima kasih. Tapi tak sopan rasanya kalau aku mengabaikan
pertanyaan om Bimo barusan.
“iya om, trimakasih om buat
tumpangannya. Nansa duluan”, kataku sambil turun dari mobil lalu berlari lari
kecil.
“iya, salam buat Hari”, teriak om
Bimo dari dalam mobil.
Aku melambaikan tanganku, yang di
balas oleh semua yang ada di dalam mobil kecuali Rafky tentunya.Tak lama
kemudian hp ku bergetar.
‘makasih sayank’ dari myLuph. Aku
hanya tersenyum sendiri. Andi tadi hampir diam sepanjang perjalanan, hanya
berbicara saat di tanya oleh om Bimo.
Sekarang di sinilah aku, di depan
sebuah rumah bercat putih. Cukup bagus walau tak semegah rumah Andi. Rumah ayahku. Aku malah jadi bingung
sendiri, antara mau masuk atau kaga.
“den Nansa?”, itu suara mbok Tum,
orang yang dulu sempat merawatku waktu aku masih bayi.
“mbok Tum, hehe”, aku hanya bisa
tersenyum garing.
“kenapa di situ aja den? Ayo masuk” Aku dengan canggung
memasuki rumah ayahku. Dulu
aku sempat pernah tinggal di sini, hanya 5 tahun. Aku mengikuti mbok Tum
masuk ke dalam rumah lalu duduk di ruang tamu. Ya, aku hanya tamu di
sini.
“sebentar den, mbok panggilin
bapak”. Bapak di sini yang di maksut adalah ayahku. Aku hanya menganggukkan
kepalaku. Saat
sedang mengutak atik hpku, sebuah suara merdu menyapaku.
“Nansa? Sudah lama?”, itu Sri
Indarwati. Aku mendongak.
“kaga tante, baru bentar kok”.
Nampak wajah Sri Indarwati agak kecewa. Sudah sejak lama dia
ingin aku dan Reno memanggilnya ‘mama’ karena dia mandul.
“mau minum apa? Sudah makan?”, tanya
Sri Indarwati bertubi tubi. Aku tidak pernah bilang kan kalau ibu tiriku ini
galak? Memang Sri Indarwati tidak galak, dia baik padaku dan Reno, tapi tetap saja, dia
telah merebut ayahku dari ibuku.
“Nansa?”, suara itu berhasil
mengejutkanku. Suara orang yang sangat kurindukan tapi juga sangat kubenci.
Ayahku. . .
Tbc. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.