FOLLOW ME

Senin, 15 April 2013

CERITAKU 6


CERITAKU 6



Rasanya benar benar menjengkelkan, penat dan lelah.Terkuras emosi dan fisik. Aku masih duduk termenung di depan teras. Perasaanku campur aduk, sebegitu rumitnyakah permasalahan antara Andi dan Rafky?
“ngapain lu bang?”, Reno yang baru saja pulang menegurku.
“eh, elu. . .” aku menjawab singkat. Lagi males aja membuat percakapan dengan adikku yang satu ini.
“buset dah. Lu kenapa? Kesambet bang? Atau di tolak cewe ya?” Mulut Reno nyerocos tanpa henti. Aku mendongakkan kepalaku, sedikit melotot pada adik gantengku satu satunya ini.
“kayaknya gua lupa sesuatu nih menyangkut lu Ren”
Reno menelan air ludahnya, terlihat gugup. “apaan?”
“ngomong apa aja lu ma Andi kemaren?”, tanyaku langsung. Baru ingat, kalo aku belum membuat anak satu ini meringis minta ampun. Reno hanya senyum senyum kaga jelas.
“kaga ngomong apa apa ko”, Reno menjawab dengan santai. Aku menatapnya tajam. “ya sekedar berbagi cerita doang bang”.
Aku masih tidak percaya, jadi tatapan tajamku aku naikkan intensitasnya. Tapi tidak seperti Reno dan ibuku yang sangat ahli dalam mempermainkan mental lawan dengan tatapan mata, aku sama sekali tidak berbakat dalam hal ini. Reno masih cengengesan. Jadi aku pakai strategi lain.
“gua jadi kena masalah gara gara itu”, aku berbicara dengan intonasi malangnya-nasibku-ini. Dan itu lebih ngena, Reno langsung mendekatiku dan duduk di sampingku.
“kenapa bang? Masalah apa?”
“gua di ketawain satu kelas karena mereka tau gua pernah ngompol saat kelas 2 SMP.” Kalau yang ini aku cuma bertaruh, Andi tidak pernah ngomong kalau Reno menceritakan aibku yang satu ini.Tapi melihat ekspresi Reno, sepertinya taruhanku bakal menang.
“Andi janji kemaren kaga bakal cerita ke orang lain”, Reno seperti menyesal. Aku hanya tertawa dalam hati. Ekspresi ku tetep nasibku-yang-malang aku pasang.
“jadi kaga selera makan Ren, lu kok tega? Ngejual aib abang lu?” aku mulai mendramatisir keadaan. Bukan apa apa, tapi karena jiwa sosial adikku ini cukup tinggi jadi cara ini pasti kena tepat sasaran dah.
“maaf dah bang, kemaren tu Andi uda janji kaga bakal cerita ke orang orang. Sumpah!! Ntar kalau gua ketemu Andi gua bogem dah.” Aku hanya cekikikan, tapi dalam hati cekikikannya.
“percuma lu bogem dia, semua orang uda pada tau. Kayaknya yang bisa ngobatin nyeseknya dada gua cuma rujak eskrimnya pak Muhdin dah.Tapi gua kaga punya duit.” Reno berpikir sejenak.
“bentar bang, lu tunggu sini aja. Gua beliin” Kata Reno sambil berlari lari kecil ke luar teras halaman. Aku tersenyum geli. Padahal tempat pak Muhdin jualan sekitar 10 menit jalan kaki.
Aku masuk ke dalam rumah.Terkunci, berarti ibu masih di toko. Aku mengambil kunci di bawah pot yang di gantung , membuka pintu lalu langsung menuju kamarku. Belum lama aku berbaring, Reno udah nongol di depan pintu kamarku.
“ini bang rujak eskrimnya”, Reno mengulurkan sebuah mangkok.
“hha? Pinjem mangkok siapa lu?”, aku heran. Perasaan tadi Reno kaga bawa mangkok. Apa dia dapet dooprise mangkok cantik? Kenapa kaga di bungkus aja?
“punyanya pak Muhdin lha, tapi tadi yang lagi jaga si Nia jadi di suruh bawa mangkok aja. Ntar dia sendiri yang bakal ngambil kesini.”
“owh”, aku hanya menjawab singkat. Nia, aku masih bingung dengan gadis itu. Gadis yang masih seusia Reno, namun harus putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu untuk membiayainya masuk SMP. Wajahnya cukup manis, dia sering main kesini untuk belajar bersamaku atau Reno. kata Reno, Nia naksir aku. Tapi kalau menurutku dia malah naksir Reno.
“dimakan lha bang, sebagai permintaan maaf gua. Mau sampai kapan lu ngelamun coba?”, kata Reno sambil menepuk bahuku.
“iye, ne mau?”, kataku sambil mengangkat sendok berisi rujak eskrim, tanpa kusangka Reno membuka mulutnya dan langsung melahap dengan nikmat.
“gua cuma nawarin. Hmm, kurang sesendok ni jatah gua”, aku ngedumel
“buset dah, baru juga kurang sesendok. Lagian suruh siapa lu nawarin gua?”
“itu namanya basa basi geblek! Ramah tamah!”
“bodo ah, kalau ada yang nawarin ya sikat aja” Reno berkata sambil berlalu dari kamarku. Untuk sementara masalah Rafky dan Andi di endepin dulu, sekarang baiknya makan rujak eskrim lha. Kalau di tempatku, rujak eskrim adalah sekumpulan aneka buah yang dipotong kecil kecil dengan kuah pedas. Koreksi, super pedas jika mengacu pada rujak eskrim yang sedang aku makan ini. Untuk yang satu ini, Reno sepertinya niat pesan yang super pedas. Dasar kelakuan!! Lalu di campur dengan eskrim. Pokoknya, enak banget. Pedes, tapi ada rasa dingin dan manis dari eskrimnya. Belum lagi buahnya yang seger seger. Pengen kan? Pengen kan?
Tepat saat aku menghabiskan satu mangkok rujak eskrimku, Reno masuk lagi ke kamarku. Hanya memakai celana pendek seragam SMPnya.
“ngapain lu?”, tanyaku sewot.
“yaelah jutek amat kayak perawan kaga laku laku, minjem hp lu bentar dong bang”
“buat apaan?”
“minta satu sms doang”
“tu ada di atas meja”, kataku sambil menunjuk hpku yang tergeletak nyaman di atas meja belajarku. Belum sempat Reno mengambil hpku, lagu sign dari JT sudah berkumandang. Aku langsung menyambar hpku. Dari ibu.
“halo, ada apa bu?”, aku menyapa pelan dan sopan.
“Nansa ya?”, sejak kapan suara ibuku jadi ngebass? Bego!! Ini bukan ibuku! Suara lelaki yang sangat aku hapal.
“ayah? Mana ibu? Kenapa hp ibu bisa di tangan ayah?” tanyaku bertubi tubi. Ada rasa dendam dalam suaraku. Pria yang 12 tahun lalu tega meninggalkan ibu, aku dan Reno hanya demi wanita yang lebih muda dan lebih cantik.
“ibumu ada di rumah sakit”. Aku syok mendengar kalimat barusan.
“hanya tersrempet mobil, tidak ada luka parah”, tambah suara di sebrang sana.
“mobil ayah kan?”, tanyaku gregetan. Tak ada jawaban dari ayah.
“rumah sakit mana?” tanyaku cepat. Aku mencatat alamat rumah sakit yang di berikan ayah. Lumayan dekat dari sini.
“kenapa bang?”, tanya Reno.
“pake baju lu, lu ikut gua sekarang!”
“ngapain?”
“ibu kecelakaan”. Satu jawaban singkat dari mulutku berhasil membuat Reno langsung beraksi, berlari ke kamarnya lalu menyusulku yang sudah ada di teras.
“kunci pintunya Ren”. Tanpa menjawab, Reno mengunci pintu, lalu mengikuti berjalan cepat ke depan gang.
***


Aku tertegun begitu sampai di rumah sakit. Ada ayah dan Sri Indarwati, istri ayah yang sekarang. Lalu ibu yang sedang duduk di sebuah kursi panjang. Aku segera berlari menghampiri ibu yang kemudian disusul Reno yang sempat terpaku sesaat.
“ibu baik baik aja kan?” ibu menowel kepalaku pelan.
“apa yang bisa membuat ibu kenapa napa?”. Aku hanya tersenyum. Ibuku baik baik saja. Aku yakin itu.
“Nansa, Reno”, itu suara ayahku.
Aku menoleh, Reno yang tadi sedang mengagumi perban yang ada di tangan kiri ibu pun ikut menoleh. Aku melihatnya, binar kerinduan di mata ayah.
“Kalian sudah besar sekarang”, kata ayah dengan suara serak. Ini menjadi pertemuan keluarga yang paling aneh menurutku. Seorang pria dengan istri barunya bertemu dengan mantan istrinya juga anak anaknya di rumah sakit. Hmm. . .
“apa urusan ayah?”, Reno menjawab dengan ketus. Ayah hanya tersenyum miris. Mungkin menyesal telah meninggalkan ibu, aku dan Reno. Sedangkan dari istri mudanya, Sri Indarwati ayah tidak mempunyai keturunan. Ironis sekali.
“ibu ayo”, kata Reno sambil memapah ibuku.
“bang, mau sampai kapan bengong di situ?” kata Reno membuyarkan lamunanku. Aku sebenarnya ingin memeluk ayah, merasakan dekapanya yang dulu.Tapi rasa marahku lebih besar, aku memilih berlalu. Meninggalkan ayah dengan istrinya yang sekarang. Aku bahagia dengan kehidupanku yang sekarang, tanpa ayah.
***



Aku melihatnya, Rafky yang sedang membantu seorang nenek nenek  menyebrang jalan. Sepele, tapi seberapa banyak orang yang mau melakukan perbuatan mulia ini? Hanya segelintir. Dan Rafky melakukannya, entah itu neneknya sendiri atau neneknya orang lain. Aku masih mengamatinya dari jauh, lalu tertegun saat melihat Rafky tertawa.Ya, Rafky tertawa.Tampan sekali.Tapi kenapa dia selalu pasang wajah sangar di depanku? Koreksi, bukan di depanku saja tapi di hampir semua kesempatan tak pernah dia tertawa selepas ini. Aku jadi urung untuk melangkah kesana. Menunggu hingga Rafky meninggalkan nenek nenek itu baru aku berani melangkah kesana. Aku tersenyum sekilas pada sang nenek yang di beri tawa lebar oleh Rafky tersebut lalu duduk di sampingnya. Semoga busnya cepet datang, kataku dalam hati.
“eyang, kan aku uda bilang jaketnya di pake” Suara itu membuatku agak terlonjak. Walaupun intonasinya berbeda, tapi tetep aja aku mengenali suara serak serak menyebalkan itu.
“masih jam 5 Riri, belum terlalu dingin.” Riri? Karena saking penasaran dengan cucu nenek  ini yang suaranya sangat aku hapal tapi namanya berbeda ini membuat aku menoleh. Aku mengenalinya, sosok tampan itu sedang tersenyum meringis ke sang ‘eyang’. Aku tidak salah, itu Rafky. Tapi hey, wait a minute. Riri? Cowok jutek, galak, sadis itu di panggil Riri? Ingin rasanya aku ke sana lalu menabok pipi sang nenek! Riri? Bayangin aja, nama itu terlalu manis, terlalu imut untuk  cowok sejutek Rafky!! Kemudian kejadian naas itu terjadi, si ‘Riri’ melihatku dan aku melihatnya.
“Nansa?” eng ing eng, baru kali ini dia bisa menyebut namaku dengan benar. Biasanya, dia cukup memanggilku dengan sebutan ‘hey’ ato ‘lu yang di sana’ ya semacam itu lha. Dan aku merasa terhormat. Sungguh.
“hehehe”, aku hanya meringis garing.
“wah,  jadi kalian saling kenal?”, tanya si eyang.
“kita satu kelas eyang. Mau kemana lu?” tanya Rafky ramah. Bener, aku kaga bohong. Ramah!! Aku saja sempat tertegun 3 menit, eh salah 5 menit.
“manden, eyang mau kemana?”, sengaja aku menanyakannya pada si ‘eyang’. Si eyang memandangiku dan Rafky bergantian.
“kalian sedang bertengkar atau ada masalah ya?”, tanya si eyang lebih tepatnya ke Rafky daripada aku.
“kaga kok eyang. Sebentar ya eyang, aku mau ngomong sama Nansa bentar”. Rafky berkata sambil menarik tanganku untuk menjauh. Dan jangan pikir ini adalah acara-pegang-tangan-yang-romantis, karena jujur Rafky terlalu baik sehingga menghadiahkan pegangan tangan yang super kencang. Ato meremas lebih tepat?
“lu bisa kan pura pura kita kaga ada masalah?”, kali ini intonasi itu kembali ke bentuk yang wajar, JUTEK.
“lha? Bukannya kita emang kaga ada masalah RIRI?”, sengaja aku menekankan kata Riri.
“oke, berarti bisa kan lu sedikit ramah ke gua?”. Keningku mengkerut. Jadi selama ini aku kurang ramah ke dia? Senyumku yang dulu sering ku sunggingkan saat berpapasan dengannya, berusaha ngobrol santai dengannya itu masih di sebut kurang ramah. SETAN ALAS!!
“oya, dan jangan panggil gua Riri!!”, kali ini kadar juteknya agak meningkat. Rafky berbalik lalu kembali ke ‘pangkuan’ si eyang. Oke deh, Rafky sepertinya pantas untuk masuk nominasi the best actor of the year. Aktingnya sebagai cucu yang baik patut di acungi jempol.
“Nansa, duduk sini nak. Eyang juga mau ke manden. Kita bareng aja”, sang eyang menawariku untuk duduk di sampingya. Aku pun beringsut mendekat. Aku berpikir bahwa kita akan bareng dalam artian naik bus yang sama. Namun pikiran itu kandas saat sebuah Toyota alphard (kalau merk, dan tulisan salah jangan protes!! Karena aku kaga dapat royalty dari mereka) berhenti dan om Bimo keluar dari mobil.
“maaf ma, agak terlalu lama. Macet tadi”, kata om Bimo. Keluarga aneh, kenapa kaga di jemput ke rumah si eyang aja? Kenapa harus nunggu di halte bus coba?
“kebiasaan. Ayo Nansa, kamu bareng eyang aja”. Lalu om Bimo menoleh ke arahku.
“Nansa, maaf om tadi tidak lihat kamu. Kamu mau kemana?”, tanya om Bimo ramah.
“manden om”
“ya udah bareng aja, ayok!!”, kata om Bimo sambil menggandeng tanganku.
“nggak usah om, ntar ngerepotin.”
“uda, gpp. Kita juga mau ke manden kok. Ayo, jangan malu malu lha!”
Akhirnya aku terpaksa naik. Ada Risky dan Andi juga ternyata di dalam, Andi agak kaget melihatku. Sedangkan Risky hanya tersenyum ringan. Tunggu dulu, Toyota alphard itu mobil yang lumayan gede kan? Jadi kalau om Bimo, tante Anita, eyang, Rafky, Andi, Risky dan aku masuk mobil masih muat kan? Pokoknya kalian bayangin aja semua orang duduk nyaman di dalam mobil. Di larang keras membayangkan mereka berdesak desakan di dalam mobil layaknya di angkot,  jangan!!
Tante Anita dan om Bimo ada di depan, eyang dan ‘Riri’nya duduk di tengah sedangkan aku, Andi dan Risky berada di belakang. Emang benar apa yang di katakan Andi kemaren, eyang sama sekali tidak menyapa Andi atau Risky. Tapi aku tak menemukan fakta jika Rafky membenci tante Anita, mereka bahkan sering terlihat bercanda. Tapi sepertinya om Bimo lebih ‘perhatian’ ke Risky dan Andi. Beberapa pertanyaan sepele seperti ‘Andi, Risky pusing kaga? Rafky?’ mungkin jika kalimat itu di ucapkan sekali tidak bakal kentara, tapi jika berulang ulang dengan pola kalimat yang sama? Yang berbeda mungkin hanya dari pusing ke lapar atau mungkin mual, namun tetap saja nama Andi dan Risky di sebut dulu jeda sesaat baru Rafky. Tapi wajar saja, Andi dan Risky kan anak dari istri yang di cintai om Bimo, sedangkan Rafky adalah anak dari istri yang terpaksa dinikahi om Bimo. Tapi kenapa aku jadi mengurusi rumah tangga orang? Hush, pamali Nansa!!
“Nansa satu kelas dengan Riri kan?”, si eyang bertanya. Entah nama Andi lupa di cantumkan atau memang sengaja tidak di cantumkan? Entahlah.
“iya nek”, jawabku singkat. Aku menggenggam tangan Andi erat, sekedar memberi support.
“Riri hebat ya, jago basket. Pelajaran juga tidak jeblok jeblok amat. Eyang bener bener bangga, bla bla bla. . .”.aku tidak menggubris apa yang di ucapkan sang ‘eyang’, karena pada intinya dia hanya sedang menyindir Andi. Aku semakin erat menggenggam tangan orang yang saat ini selalu merajai di setiap pikiranku. Mengambil hp, lalu menulis pesan singkat.
‘aku mencintaimu. Aku ada di sisimu’
Aku send ke myLuph
Tak lama hp Andi bergetar, membaca singkat pesan yang masuk lalu tersenyum padaku. Matanya seperti mengucapkan terima kasih dan aku juga mencintaimu. Perjalanan ini jadi terasa sangat panjang. Biasanya dari rumahku ke Manden hanya butuh waktu sekitar 30 menit naik bus.Tapi 30 menit ini terasa lama sangat. Beberapa kali om Bimo terpaksa menyela sang eyang karena sudah keterlaluan memojokkan Andi. Well, mungkin Andi memang bukan lelaki dengan otak yang ‘wah’, tapi menurutku pacarku ini kaga bego bego amat. Respek ku terhadap si eyang jadi agak menurun.
“om. Aku turun di pertigaan depan sana aja”, kataku menunjuk pertigaan yang ada di depan kurang lebih masih 500m.
“oke, emang mau kemana Nan ?”
“ke Dr. Hariyadi om”
“mau periksa?”, tanya om Bimo. Aku diam sejenak.
“enggak om, dia ayahku”, hmm terucap juga dari mulutku. Walaupun mungkin keluarga Andi tidak mengenal siapa itu Dr. Hariyadi tapi cukup sulit untuk mengucapkan bahwa Hariyadi adalah ayahku.
“kamu anaknya Hari?”, om Bimo menatapku lewat spion depan. Mobil sudah berhenti, tinggal aku turun dan mengucapkan terima kasih. Tapi tak sopan rasanya kalau aku mengabaikan pertanyaan om Bimo barusan.
“iya om, trimakasih om buat tumpangannya. Nansa duluan”, kataku sambil turun dari mobil lalu berlari lari kecil.
“iya, salam buat Hari”, teriak om Bimo dari dalam mobil.
Aku melambaikan tanganku, yang di balas oleh semua yang ada di dalam mobil kecuali Rafky tentunya.Tak lama kemudian hp ku bergetar.
‘makasih sayank’ dari myLuph. Aku hanya tersenyum sendiri. Andi tadi hampir diam sepanjang perjalanan, hanya berbicara saat di tanya oleh om Bimo.
Sekarang di sinilah aku, di depan sebuah rumah bercat putih. Cukup bagus walau tak semegah rumah Andi. Rumah ayahku. Aku malah jadi bingung sendiri, antara mau masuk atau kaga.
“den Nansa?”, itu suara mbok Tum, orang yang dulu sempat merawatku waktu aku masih bayi.
“mbok Tum, hehe”, aku hanya bisa tersenyum garing.
“kenapa di situ aja den? Ayo masuk” Aku dengan canggung memasuki rumah ayahku. Dulu aku sempat pernah tinggal di sini, hanya 5 tahun. Aku mengikuti mbok Tum masuk ke dalam rumah lalu duduk di ruang tamu. Ya, aku hanya tamu di sini.
“sebentar den, mbok panggilin bapak”. Bapak di sini yang di maksut adalah ayahku. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Saat sedang mengutak atik hpku, sebuah suara merdu menyapaku.
“Nansa? Sudah lama?”, itu Sri Indarwati. Aku mendongak.
“kaga tante, baru bentar kok”. Nampak wajah Sri Indarwati agak kecewa. Sudah sejak lama dia ingin aku dan Reno memanggilnya ‘mama’ karena dia mandul.
“mau minum apa? Sudah makan?”, tanya Sri Indarwati bertubi tubi. Aku tidak pernah bilang kan kalau ibu tiriku ini galak? Memang Sri Indarwati tidak galak, dia baik padaku dan Reno, tapi tetap saja, dia telah merebut ayahku dari ibuku.
“Nansa?”, suara itu berhasil mengejutkanku. Suara orang yang sangat kurindukan tapi juga sangat kubenci.
Ayahku. . .

Tbc. . .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.