CERITAKU 7
Aku masih terpaku mendengar suara
ayahku. Begitu
ingin berlabuh ke dalam pelukannya.Tapi itu mustahil. Seperti ada tembok yang
memisahkan aku dan ayahku.Tembok tak tampak yang di dasari oleh amarah.
“ayah?”, tanyaku bloon. Ayahku
tersenyum tipis. Seperti tidak menyangka kalau aku akan datang mengunjunginya
di sini.
“yok kesini Nan, kita ngobrol di
dalam saja. Mah, tolong di buatkan sesuatu yang special dong.” Kata ayah pada Sri
Indarwati. Dia
menyuruh istrinya, bukannya menyuruh mbok Tum. Aneh. Aku hanya mengikuti ayah
ke rumah bagian dalam dengan diam dan mengamati Sri Indarwati yang berlalu,
mungkin ke dapur.
“jadi ada angin apa ini kamu datang
ke ayah?”, ayah bertanya dengan antusias. Aku bingung. Sangat tidak mungkin aku
bilang ke ayah bahwa aku datang karena aku kangen.Tidak, aku kaga bakal ngomong
seperti itu. Walaupun
sejak bertemu di rumah sakit itu, aku benar benar ingin dekat dengan ayahku
seperti saat saat dulu sebelum aku tau artinya sebuah perceraian. Gengsiku terlalu tinggi
untuk mengatakan bahwa aku kangen, walaupun itu kenyataanya. Jadi aku berpikir,
berpikir keras.
“aku sepertinya kurang enak badan”,
aku berkata kemudian. Demi Tuhan, ini adalah alasan paling bodoh, paling konyol
dan memalukan. Itu sama aja aku minta di priksa gratis kan? Ada gitu ayah yang
tega meminta uang dari anaknya? Stupid! Aku merutuk pada diriku sendiri. Lagi lagi ayahku hanya
tersenyum tipis.
“ke sini Nan”, ayah menuntunku ke
ruang praktiknya. Aku hanya diam sambil mengikuti ayah. Masih mengutuki diri
sendiri.
“berbaring di situ Nak”. Aku
menuruti perintah ayah. Berbaring
di ranjang beralaskan sprei putih.
“memang ada keluhan apa?”, ayah
bertanya sambil sibuk mencari sesuatu. Aku berpikir keras, mual? Pusing? Oh, please dah
itu mah gejala ibu ibu angkatan mau hamil.
“kalau malam sering agak demam yah”,
akhirnya aku berkata dengan nada lirih.
“ada gejala lain?”. Aku menggeleng. Ayahku memeriksa denyut
jantungku. Lalu
kemudian tekanan darahku. Kening
ayahku bertaut, seperti berpikir keras.
“semua normal kok”, kata ayahku bingung.
Ya iyalah, aku kan emang sehat wal afiat.
“mungkin kamu terlalu kecapekan aja
sayang”. Tambah ayahku kemudian. Aneh kaga sih kalau seorang ayah
memanggil anak lelakinya dengan sebutan ‘sayang’? Menurutku biasa saja,
karena jujur justru itu yang aku inginkan. Merasa di sayangi oleh
ayahku sendiri. Kasihan
sekali ya nasibku? Biar
lha.
“ayah beri vitamin saja ya?”
“iya ayah”. Aku menjawab dengan
senyum kaku. Percakapan
ini terasa janggal, tapi wajar sih. Aku dan ayahku terakhir ngobrol,
benar benar ngobrol itu sudah lebih dari 2 tahun lalu. Saat itu ayah ingin aku
meneruskan SMA ku dengan tinggal bareng ayah dan istrinya yang sekarang. Oke, aku akui waktu itu
kami tidak mengobrol dengan santai layaknya ayah dan anak. Kami debat waktu
itu. Hampir saling teriak. Tapi itu masih masuk dalam kategori percakapan kan?
“bagaimana kabar ibumu dan Reno?”,
kata ayah sambil menarik kursi untuk duduk di depanku.
“ibu baik baik aja yah, kalo Reno
dia lebih dari baik baik saja”, kataku di plomatis. Ayahku tertawa kecil. Aku
pernah bilang kan kalau Reno mewarisi hidung mancungnya dari ayahku? Ayahku
sebenarnya berwajah cukup menarik, tidak bisa di bilang biasa biasa saja tapi
juga tidak patut untuk di bilang rupawan seperti om Bimo. Akhirnya aku ngobrol
seru dengan ayahku, hal yang sudah lama sangat aku impikan. Walaupun tetap aku jaga
jarak, entah kenapa aku belum bisa menerima ayah seutuhnya.
Jam setengah 9 malam ayah
mengantarkan aku pulang. Hanya sampai di depan gang, karena pada dasarnya mobil
memang tidak bisa masuk ke dalam gang rumahku. Hanya sepeda motor yang bisa
leluasa keluar masuk. Sebenernya mobil juga bisa masuk, tapi pasti akan ngepres
banget. Nekad membawa mobil masuk itu berarti harus siap mendengar umpatan dari
pengendara sepeda motor, seperti :
“ini bukan jalur mobil, bego!!”.
Tenang, sapaan itu masih tergolong sopan. Dulu ada yang sampai di
tegur seperti ini, “anjing!! Ini bukan jalan umum!!”.
Ngeri kan? Padahal jelas jelas itu
memang jalan umum. Tapi
sepertinya ada peraturan tidak tertulis bahwa mobil dilarang keras lewat.
Aku berjalan melewati gang tersebut,
begitu sampai rumah aku langsung menuju kamarku. Ibuku menyusulku masuk ke
dalam kamarku sesaat setelah mengetuk pintu kamarku.
“tidak makan malam Nak? Ibu uda
siapin tadi”, kata ibuku sambil membelai rambutku.
“Nansa mau ganti baju dulu”
“mandi?” ibuku bertanya dengan
kening mengkernyit.
“iya, Nansa bakal mandi”, kataku
sambil mengambil handuk yang ada di dalam almariku. Ibuku hanya tersenyum
ringan lalu berlalu dari kamarku. Aku mengambil handuk lalu berjalan menuju
kamar mandi. Setelah
mandi, hanya dengan berlilitkan handuk aku makan malam. Ibu sedang nonton tv,
Reno ada di ruang tengah bersama Nia. Mungkin Nia tadi berniat mengambil
mangkok rujak kemarin, tapi lalu berpikir apa salahnya bermain main sebentar dengan
si cute Reno? Makanya sekarang mereka sedang asik cekikikan di ruang tengah.
Bukannya aku cemburu, No!!! Sama sekali tidak, tapi agak kesal saja. Kesal dan cemburu itu
berbeda, right? Setelah
mencuci piring dan sendok bekas makanku aku langsung berlalu ke kamarku. Melepas handukku, dan
karena aku begitu malas untuk sekedar mengambil celana dalam aku langsung
menelusup ke balik selimut dan terlelap.
***
Sekitar setengah 5 aku terbangun
karena ingin kencing, lalu aku menyadari bahwa aku tidak tidur sendiri. Sejak kapan aku berbagi
ranjang dengan Reno? Dan
posisi ini, antara suka dan tidak suka. Reno memelukku sedemikian
rupa, sehingga tanganya tepat berada di pusarku. Turun sedikit saja dia akan
tau bahwa ‘adik’ kecilku sedang menggeliat bangun.
Shit!! Aku segera turun dari
ranjang, mengambil boxer langsung mengenakannya sekenanya. Daripada hanya kencing
mending aku mandi sekalian, daripada ntar telat lagi. Huuu, kaga bakal!!
Jam 6 lewat 15 menit aku sudah
berada di depan gang. Aku berencana untuk naik angkot ketika sebuah motor
berhenti di depanku.
“naek”, si empu motor tanpa melepas
helm berkoar. Aku sangsi, melihat seragam yang di kenakan sih dia juga pasti
siswa dari sekolahku.Tapi melihat gelagatnya aku jadi ragu.
“buruan!!”, aku yakin sekarang.
Rafky. Sejak
kapan dia mau memberiku tumpangan ke sekolah? Melihat aku saja dia
melengos.Tapi ini namanya kesempatan. Pengiritan pula, tidak perlu keluar uang
Rp 1000,00 untuk angkot. Jadi aku dengan PD naik. Tak menunggu sampai
pantatku beradaptasi dengan jok motornya, Rafky langsung tancap gas. Dasar
brengsek!!
Begitu sampai di parkiran sekolah
aku jadi grogi sendiri, bahkan untuk sekedar mengucapkan terima kasih saja aku
masih pikir pikir. Pantes
kaga sih Rafky di beri ucapan terima kasih? Sopan Nansa, lu kan uda di boncengin!!
“thanks Raf”, aku sudah mengingatkan
diriku sendiri bahwa aku tidak boleh memanggilnya Riri.
“hmm”, gondok setengah mati.
Tanggapanya hanya ‘hmm’. Aku
berlalu dari makluk neraka ini tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Daripada ntar nyesek. Dengan gontai aku
melangkah masuk ke dalam kelas. Lalu
memilih duduk di baris no 2 dari belakang, posisi nyaman dan aman. Tak berapa
lama kemudian Andi masuk, tersenyum manis padaku lalu duduk di sampingku.
“mau siomay?”, tawarnya sambil
mngangkat siomay tepat ke depan bibirku. Sudah di gigit, terlihat
dari plastik yang sudah porak poranda ujungnya di perkosa giginya Andi. Aku tertegun, berarti ini
ciuman tidak langsung. Tunggu
dulu, selama aku pacaran dengan Andi sepertinya belum ada adegan dimana Andi
menciumku dengan ganas dah. Atau
sudah ada tapi aku lupa? Kalau
pembaca pernah membaca Andi pernah mencium bibirku, tolong hapus scene itu dari
ingatan kalian. Anggap aku belum pernah melakukan french kiss dengan Andi.
Karena seingatku Andi hanya pernah mencium di pipi dan di keningku.
“mau kaga sih? Pegel ni tanganku”,
Andi bermaksut menurunkan tangannya. Aku cegah sebelum terlambat, langsung memakan siomay dari bekas gigitan Andi. Deg
deg sir rasanya. Dan
saat adegan itu, saat aku memegangi tangan kanan Andi dan sedang dengan nikmat
menggigit siomay-bekas-gigitan-Andi-itu, Rafky masuk kelas. Aku salting sendiri,
sedangkan Andi dan Rafky sepertinya biasa biasa saja. Apakah hanya aku sendiri
yang merasa bahwa sesama lelaki saling suap suapan siomay itu aneh? Karena
penghuni lain di kelas ini sepertinya biasa biasa saja. Berarti aku harus
segera ke psikiater. Terkena
gejala gila ringan.
“semalem kemana aja? Smsku kaga di
bales”, Andi manyun. Lucu
sekali, terlihat seperti anak kecil. Tapi memang wajahnya seperti anak
kecil sih, terlihat lugu dan polos.
“kaga ada pulsa”, aku menjawab
jujur, walau tak sepenuhnya benar. Karena sampai saat ini aku belum sempat
membuka hpku.
“mau aku isiin yank?”, aku menoleh
ke samping. Baru kali ini Andi memanggilku dengan sebutan ‘sayang’. Dan jujur, buatku hal hal
kecil seperti ini sudah mampu membuatku bahagia. Sungguh.
“kaga usah, ini ntar rencana
sepulang sekolah bakal aku isi kok”
“kenapa?” tanya Andi dengan ekspresi
ada-yang-salah-denganku-ya? Saat aku masih belum memalingkan wajahku, masih
mengagumi seraut wajah manis di depanku.
“kaga. Lagi menikmati wajah manis
kamu aja”. Andi hanya nyengir geli.
“mulai pinter ngegombal ni”, kata
Andi sambil mencolek daguku. Lalu aku mulai sadar situasi dan kondisi. Ini di kelas, dan bukan
tempat yang tepat untuk sayang sayangan. Dan memang ada beberapa
anak yang bisik bisik tetangga sambil melihat aku dan Andi. Tapi aku jamin mereka
tidak bakal macam macam. Mau
nilai mereka jeblok saat ulangan atau test? Bukan apa apa sih, tapi nilai nilai
mereka ada dalam genggamanku. Bukannya sombong, tapi sumber jawaban saat
ulangan ataupun tes semester di kelas ini adalah aku. Jadi kalau mereka macam
macam, aku pastikan mereka tidak bakal mendapatkan jawabanku saat ulangan atau
tes sedang berlangsung. Kejam? Masa bodo ah.
Kelas yang tadinya ramai bak pasar
langsung diam begitu bu Ella melenggang masuk. Aku pun melongo
keheranan, karena setahuku bu Ella tidak di tugaskan untuk mengajar di sini. Dia dapat jatah kelas
satu dan kelas tiga, kasihan sekali mereka. Jangan salah, aku juga
pernah mengalami masa masa itu. Masa
masa dimana aku dan seisi kelasku hanya diam terpaku saat bu Ella yang
mengajar. Dan sekarang sosok feminim namun gahar itu ada di depan kelasku.
“anak anak, pak Jatmiko hari ini
tidak bisa mengajar jadi beliau meninggalkan tugas ini untuk kalian kerjakan.
Setelah selesai kumpulkan di meja saya”, biasanya kelasku paling heboh jika ada
pelajaran kosong.Tapi kali ini tidak terdengar hawa gembira tersebut. Kelasku
masih senyap, seakan akan menangisi pak Jatmiko yang tidak bisa mengajar hari
ini.
“dan satu lagi, perkenalkan ini ada
anak baru. Rika, ayo masuk. Coba perkenalkan diri kamu”. Seorang gadis manis
masuk ke dalam kelas. Para cowok langsung heboh tapi dalam hati hebohnya. Ingat? Masih ada bu Ella
di depan.
“nama saya Rika Anggraeni, temen
temen bisa panggil saya Rika”. Gadis itu mengenalkan dirinya dengan cukup
formal. Aku belum tau bahwa datangnya gadis ini kelak akan membawa pengaruh
yang fatal buatku. Kaga
fatal juga sih. Biasa
saja.
“ada yang mau bertanya?”, tanya bu
Ella ramah. Namun anak anak tetap tak bersua.
“baiklah, Rika silahkan duduk. Anak
anak ibu tinggal dulu, kalau sampai suara kalian terdengar sampai telinga ibu
kalian tau resikonya”.Kata bu Ella kalem. Jujur, bahkan tatapan
Susanna milik ibuku pun kalah jauh di bandingkan milik bu Ella. Mungkin
beliau masih saudaraan kali sehingga
tatapan bu Ella lebih ‘Susanna’ daripada tatapan ibu ku. Anak itu tersenyum
pada Andi dan aku menangkap ekspresi ganjal pada pacarku saat kedua mata mereka
bertatapan.
Roni, sang ketua kelas langsung
memberi kertas berisi tugas itu padaku. Aku menerimanya dan langsung tersenyum.
Hanya 5 soal padahal jam pak Jatmiko mengajar adalah 3 jam pelajaran. Pak
Jatmiko memang baik hati. Aku
langsung mengerjakan tugas itu pada sebuah kertas. Dan langsung saja mejaku
seperti digunakan untuk rapat meja bundar dengan posisi aku berada di tengah. 45 menit kemudian aku
sudah berada di kantin, menikmati segelas jus jambu. Sendirian, karena teman
temanku masih sibuk menyalin tugasku. Aku jadi kepikiran kejadian tadi,
arti dari tatapan Rika ke Andi, mereka
seperti sudah saling mengenal.
“ehm”, suara berdeham itu sempat
membuatku kaget. Aku mengira suara itu berasal dari guru atau pak Roni yang
sedang keliling sekolahan.Tapi itu suara berdeham milik Rafky. Dan setelah dia mengambil
siomay dia duduk tepat di depanku. What’s happen with him? Kenapa dia memilih
untuk duduk di depanku? Padahal
masih banyak bangku yang kosong. Dulu, mungkin aku bakal senyum
senyum kaga jelas jika Rafky memilih duduk di depanku. Tapi dulu hal itu tidak
pernah terjadi, sekarang saat aku sudah hampir mengubur rasa suka ku, dia
‘seolah olah’ ingin dekat denganku. Ya, ‘seolah olah doank’.
Aku dan Rafky tidak mengobrol sama
sekali, hanya saling diam. Dan dengan diam diam pula aku mengamatinya. Dia
masih tetap tampan, wajah yang tidak sempurna memang jika melihat hidungnya yang agak sedikit
bengkok. Tapi justru itu membuat Rafky terlihat menarik. Apa yang ada di tubuhnya
sepertinya sudah sangat pas dan sempurna.
Aku memilih untuk segera kembali ke
kelas, daripada mata dan pikiranku terus terusan melakukan zina. Aku melangkah
meninggalkan Rafky, setelah membayar jus ku aku langsung berlalu.
Aku masih melangkah santai saat aku akan memasuki kelas, tapi langkahku seakan
terhenti saat aku mendengar suara Rika dan Andi sedang mengobrol. Mereka hanya
berdua. Kok
bisa ya? Bisa
aja lha, namanya juga cerita.
“kamu inget gak janji masa kecil
kita dulu?”, suara Rika terdengar kecentilan di telingaku. Walaupun mungkin dia
biasa saja.Tapi bagiku terdengar sangat manja. Masa kecil? Apa mungkin Rika adalah
teman masa kecil Andi dari desa tempat kelahiran Andi?
“ingat”, Andi hanya menjawab
singkat.
“kapan ya janji itu bakal
terealisasi?”, ini cewek ganjen amat yak. Tapi aku kaga emosi, bahkan biasa
saja.
“mungkin sudah tidak berlaku Rik”,
yes!! Aku ketawa dalam hati.
“kok bisa? Dulu kan kamu janji mau
menjadikan aku istri kamu”.Oke, sekarang aku hanya bisa cekikikan. Hey itu
janji masa kecil bego! Ingin aku katakan itu pada si ganjen Rika. Akhirnya aku berdehem dan
masuk kelas. Rika
seperti salah tingkah sedangkan Andi biasa biasa saja.
“kaga makan An?”, tanyaku ke Andi.
Rika sudah kembali ke tempat duduknya semula.
“ntar aja pas istirahat, emang kamu
uda makan?”
“lom. Cuma minum jus jambu doang
tadi di kantin”.Tak berapa lama anak anak mulai masuk ke dalam kelas. Wajar sih, ini sudah mau
mulai jam pelajaran ke empat. Lalu
aku menangkap ekspresi itu, ekspresi kesal pada wajah Rafky saat melihat aku
sekilas.
***
Aku menunggu hingga lumutan. Benar benar di buat
garing. Andi
janji bakal menyusulku ke lapangan parkir 5 menit. Dan ini sudah 15 menit. Tadi sewaktu aku keluar
kelas, Andi sedang membereskan buku bukunya. Karena merasa gondok
setengah mati aku berniat kembali ke kelas. Aku berjalan menyusuri
koridor dengan wajah masam. Lalu
aku berpapasan dengan Rika, dia sempat tersenyum ke arahku. Aku tidak ambil
pusing, benar benar tidak kepikiran atau mencurigai sesuatu sama sekali. Kemudian aku melihat Andi
keluar dari kelas, tidak ada yang aneh dengan penampilannya. Lalu saat pandanganku
menurun aku melihatnya, menyadari sesuatu.
“resleting kamu kebuka. . .”, kataku
pelan
Tbc. . .
Ardhinansa
nansa, ceritamu bagus-bagus. kemaren sempat baca yang "cintaku dibagi tiga", dan sekarang, kecanduan lagi sama "ceritaku". terus dilanjutin ya. btw updatenya jangan lama-lama donk. hehehe
BalasHapusiya, di usahakan secepatnya kok. Oke sip??
Hapus