FOLLOW ME

Senin, 22 Juli 2013

UNTITLE

“jembut”, kata itu terucap dengan mulus dari bibir Nancy tanpa dosa. Membuat pelayan di restoran cepat saji itu melotot tajam dan seorang ibu ibu yang langsung menutup telinga anaknya. Satria menaksir usia anak itu mungkin 5 tahun. Afif mengaduk aduk sendok di minumannya lebih cepat. Untuk saat ini tak ingin ikut campur dengan kedua sahabatnya yang tengah berdiskusi asik.
“bukan itu yang gua ucapin tadi”, Satria menginterupsi. Kata kata jembut terdengar terlalu kasar di ucapkan di sini. Walaupun kalau boleh jujur, Satria sering sekali mendapat masalah dengan jembut. Beberapa kali merasa kesakitan karena rambut liar tadi terjepit resleting. Oleh karena itu, Satria wajib mencukur rambut rambut tak di harapkan itu satu bulan sekali. Tak di cukur habis memang, tapi di sisakan. Biar terlihat macho menurut Satria.
“jelas jelas gua dengernya itu. Lu tadi mau namain anak lu Jembut”, kali ini ucapan Nancy sukses membuat pelayan yang tadi hilir mudik di sekitar mereka melotot tajam ke arah Nancy. Dan ibu ibu yang membawa anak 5 tahun (usia yang di taksir Satria) langsung membayar bill dan membawa anaknya kabur sebelum terserang racun yang di sebarkan Nancy.
“gua gak bilang itu”, Satria masih ngotot. Rasanya ingin menyumpalkan tas sampah di pojok ruangan ke mulut Nancy. Walaupun mereka sudah berteman lama, rasanya Satria masih belum bisa memahami sifat aneh Nancy.
“gua bilang gua mau namain anak gua ntar Langit Biru”, Satria mencoba untuk mengucapkan kata Langit Biru lebih kencang, agar Nancy bisa mendengarnya.
“tapi gua dengernya Jembut”, Nancy sepertinya tak sadar bahwa ucapanya sudah membuat sang pelayan siap melempar gelas ke arah Nancy karena sudah membuat pengunjung lain resah.
“cukup!! Kita bisa bahas yang lain kan?”, kali ini Afif unjuk bicara. Melihat situasi yang sudah tidak kondusif untuk Nancy dan Satria beragumen tentang salah satu organ manusia itu (maaf, apakah bagian ‘itu’ bisa di sebut organ ya?).
“okay, tapi dia yang memulai. Gua tadi jelas jelas bilang Langit Biru kok”.Satria menunjuk Nancy dengan berang. Siapa yang tidak marah jika nama anaknya kelak dengan sesuka hati di ubah? Dengan nama ‘itu’ pula. Afif geleng geleng kepala.
“tapi gua dengernya tadi jem. . .”
“cukup!!”, Afif dengan cepat memotong perkataan Nancy sebelum sang pelayan maju dan benar benar memecahkan gelas yang sudah lama di timang timangnya ke atas kepala Nancy.
“kita bisa bahas yang lain”, lanjut Afif kemudian.
“huh, gua bener bener pusing. Nyokap ngejar ngejar gua supaya cepet kawin”, Nancy mulai sesi curhat. Wajahnya sedikit ditekuk jika mengingat ibunya yang sudah memaksanya untuk cepat cepat menggantungkan masa lajangnya.
“ya udah, buruan aja lu kawin”. Satria sepertinya ingin balas dendam. Nadanya agak sedikit nyolot, tapi emang Nancy pada dasarnya ndableg. Jadi nada yang sedikit nyolot itu sama sekali tidak dihiraukan.
“gua belom punya calon Sat”, Nancy seperti frustasi. Tangannya sedikit menarik narik rambutnya. Seperti biasa, Nancy sangat pandai mendramatisir keadaan. Anak kampung yang sudah terinfeksi ibukota. Nancy inilah contoh nyatanya.
“lu kan baru 27 tahun”, Afif mengucapkannya dengan santai tanpa ada niat untuk menyinggung Nancy. Namun, yang bersangkutan sepertinya tidak terima. Dalam hitungan detik pupil matanya membesar.
“di sini usia segitu emang biasa belom kawin. Tapi keluarga gua di kampung? Nyokap gua uda maksa gua buat kawin!!”Nancy semakin histeris. Beberapa pasang mata semakin memperhatikan mereka bertiga. Sebenarnya Nany tidak jelek jelek amat. Wajahnya manis dan tubuhnya pun cukup ramping. Tapi tingkah laku Nancy memang ajaib, itu yang menyebabkan sejumlah pria mengundurkan diri saat menjalani pendekatan dengan gadis asal Magelang itu.
“trus kenapa lu ribut? Nyokap lu jauh kan? Masalah gitu buat lu?”, Satria sepertinya tidak bisa merasakan tekanan batin yang di alami oleh Nancy.
“masalah banget buat gua. Lu bayangin aja, hampir tiap pagi dan malem nyokap ngingetin gua buat kawin mulu!! Puyeng gua jadinya!! Stress!!”
Afif hanya bisa tersenyum mendengar keluhan sahabatnya ini. Tingkah Satria juga tidak membantu. Selalu seperti ini jika mereka bertiga berkumpul. Mereka bertiga sudah lama berteman, Satria yang paling muda. Usia Satria masih 23 tahun, sedangkan Afif 25tahun. Walau beda usia, jenis kelamin dan pekerjaan tapi mereka adalah sahabat yang luar biasa. 3 tahun usia persahabatan mereka. Bukan waktu yang pendek. Meskipun paling muda, namun Satria bertubuh paling tinggi. Anak ini termasuk laki laki tipe metroseksual. Rajin ngegym, menjauhi makanan berlemak tinggi, banyak makan sayur dan buah (padahal sebenarnya tidak suka sayur) dan paling lengkap perawatannya. Mulai dari pembersih, pemutih, sun block dan lain lainnya. Ada satu jerawat muncul di keningnya saja sudah bisa membuat Satria seakan akan kehilangan rumah. Satria asli Jakarta. Afif? Anak ini asli Bandung, bertubuh standar yaitu 165cm. Dan wajahnya manis sekali. Jika diliat dari percakapan Satria, Afif dengan Nancy di atas maka bisa kita simpulkan bahwa Afif paling pendiam juga paling dewasa.
“lusa nyokap nyuruh gua pulang”, Satria memutar kedua bola matanya, sedangkan Afif hanya diam tak bereaksi.
“kalau gua bisa bawa calon suami gua, gua bakalan di bolehin balik ke Jakarta. Tapi kalau gua pulang dengan tangan hampa, gua kaga boleh ke sini lagi. Gua bingung. Gua kaga mau hidup di kampung”
Satria tersedak minumannya, “serius lu Nan?”
Yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya dengan lemah. Afif belum berkata kata, masih mencerna apa yang di katakan Nancy barusan.
“makanya, gua minta salah satu dari kalian buat jadi pacar gua. Boong boongan aja, gimana?”
“gua ogah”, Satria langsung angkat tangan. Dan wajah Nancy seketika membias pucat. Sudah lama Nancy mengharapkan cinta dari pria yang lebih muda 4 tahun darinya ini.
“gua aja”
Kali ini Satria serasa ingin makan gelas. Afif? Terpaksa Satria menahan diri untuk tidak mencegah niat baik Afif. Bagaimana tidak? Sejak pertama kali bertemu, Satria sudah kesengsem dengan pemuda itu.Tenang tenang bukan berarti Afif naksir Nancy kok, kata Satria dalam hatinya berusaha menghibur diri. Sementara itu wajah Nancy semakin kecewa, kenapa bukan Satria saja? Kenapa harus Afif?
“gimana? Lu keberatan ya?”, Afif mungkin agak sedikit bingung dengan kediaman kedua sahabatnya ini.
“gak papa Fif, berarti lusa lu ikut gua pulang kampung. Gua kenalin lu sebagai pacar gua. Cuma pura pura kok”
“iya gua tau Cuma pura pura”, ada sedikit nada kecewa yang ditangkap oleh pendengaran Satria dari suara Afif barusan yang membuat Satria semakin galau.
“gua ikut”, Satria angkat tangan.
“hha? Ngapain?”, kening Nancy bertaut, bingung. Namun kemudian bibirnya tersenyum, mungkinkah Satria cemburu?
“gua mau liburan. Boleh dong gua numpang di rumah lu sementara”, hati Nancy semakin berbinar binar. Mungkinkah selama ini Satria menyimpan rasa tapi terlalu malu untuk mengungkapkanya? Nancy jadi senyum senyum sendiri.
“kalau gitu lusa ngumpul di rumah gua. Pake mobil gua aja”, Afif memberi usul yang langsung disetujui kedua temannya.
“gua duluan, di kostan gua kan ada jam malam”, Nancy langsung ngacir.
“bayar dulu oey!!”
“talangin dulu!!”, teriak Nancy membalas teriakan Satria tadi.
“huh!! Kebiasaan!!”.Satria mendengus kesal.
“udah, gua yang bakal bayar semua”
***


Satria terpaksa ambil cuti sementara untuk kuliahnya. Untung mama papanya terlalu sibuk sehingga tidak tahu apa yang dilakukan Satria. Ini perjuangan cinta gua, guman Satria dalam hati. Perjuangan sampai titik darah penghabisan. Satria segera mengemasi barang barangnya. 2 tas besar, padahal hanya satu minggu. Setelah semua beres, Satria langsung menemui Rudi.
“ayo mang, anterin gua”
“siap den Iya”, semua orang rumah memanggil Satria dengan sebutan; den Iya (ini Rudi), mas Iya (ini mamanya Satria dan papanya). Sekedar informasi saja, Satria anak tunggal. Satria menyembunyikan panggilannya ini pada semua teman temannya, kecuali Afif. Bahkan Satria berharap Afif akan memanggil Satria dengan sebutan dek Iya suatu saat nanti. Itu kan romantic banget. Saat tiba di rumah Afif, Satria benar benar terpukau. Afif mengenakan jeans lusuh yang warnanya sudah pudar di beberapa tempat. Kemeja belum di kancingkan, bahkan Satria seperti tak kuasa untuk menelan ludah. Seksi sekali.
“Nancy uda datang Fif?”, tanya Satria setelah berhasil mengatur  emosinya.
“belum tu, bentar lagi kali. Masuk dulu yok Sat”, Satria berguman tak jelas. Di saat hanya berdua seperti ini, Satria ingin Afif memanggilnya ‘Iya’. Penampilan Afif yang seperti ini bukan pertama kalinya Satria lihat. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Satria pernah melihat Afif telanjang. Dan setiap melihatnya, Satria masih bergetar. Bahkan dengan kaos pas badan saja, Afif sudah terlihat sangat mempesona. Satria memang sangat tergila gila dengan Afif, walaupun sampai sekarang tidak ada keberanian dalam diri Satria untuk mengungkapkannya. Afif sudah bekerja pada sebuah perusahaan asing di Jakarta, posisinya sekarang sebagai Dept Head sangat menjanjikan. Apalagi Afif masih muda, kesempatan untuk naik jabatan terbentang luas. Memiliki rumah sendiri, (kadang kadang Satria suka menginap di sini) tampan dan juga smart. Siapa yang tidak mau menjadi istrinya?
“kaga ada minuman asik ni”, Satria mengguman. Isi lemari es Afif kosong dari minuman mineral dingin. Yang ada malah beberapa white wine dan Satria sama sekali tidak tertarik untuk meminumnya. Ini tidak sehat.
“lu kan bisa minum dari dispenser. Sama aja. Air mineral juga tu”, Satria memonyongkan bibirnya tanda menggerutu. Afif hanya geleng geleng kepala, dia sudah menganggap Satria seperti adiknya sendiri. Afif anak bungsu dari tiga bersaudara. 2 kakaknya sudah menikah dan mempunyai rumah masing masing. Awalnya Afif nyaman nyaman saja tinggal bersama orang tuanya, namun semenjak kedua orang tuanya terus menanyakan siapa pacarnya, kapan nikah, dan lain sebagainya, Afif memutuskan untuk membeli rumah dan tinggal sendiri. Di sini Afif lebih bebas dan bisa mandiri.
“gua laper”, Afif tertegun mendengar pengakuan Satria yang tidak tau malu barusan.
“gua kaga masak hari ini, ntar kita mampir di rumah makan”, Afif berbicara kalem sambil melepas kemejanya dan menggantinya dengan kaos lengan pendek. Sadar atau tidak semua kegiatannya di awasi oleh Satria.Terkadang Afif bingung dengan tingkah Satria yang terlalu perhatian dan manja padanya. Awalnya memang risih, namun sekarang malah ada yang kurang jika Satria tidak bermanja manja denganya jika sedang berdua.
“Nancy kaga bisa datang kesini, dia minta kita jemput ke kostannya”, kata Afif setelah menerima bbm dari Nancy.
Satria langsung protes, “dasar manja!! Dia pikir kita supirnya apa?”
Afif hanya tersenyum ringan sambil menenteng tas ranselnya dan mengajak Satria untuk segera pergi. Setelah yakin semua jendela dan pintu terkunci, mereka langsung menuju daerah Cipon tempat Nancy ngekost. Begitu sampai di depan kostannya Nancy, Afif langsung membunyikan klakson mobilnya. Diiringi satria yang sibuk mengirimkan sms kosong ke nomor handphone Nancy. Baru setelah 15 menit kemudian Nancy muncul dengan cengir kuda.
“maap maap ni bapak bapak, uda lama nunggu yak? Hhehehe”, Nancy mungkin kurang tau bahasa tubuh. Jelas jelas terlihat kekesalan pada Satria, kebetulan perutnya sudah lapar gila.
“semprul!! Ayo Pep ke rumah makan. Perut gua uda minta jatah”
“kebetulan gua juga lapeeer, perjalanan jauh harus makan dulu kan?”, perkataan tanpa dosa milik Nancy ini langsung dapat pelototan gratis dari Satria.
“yang kemaren malem kan lu belum bayar?”, tagih Satria. Padahal dirinya sendiri juga kaga bayar. Afif yang membayar semua makanan mereka. Afif lagi lagi hanya bisa geleng geleng kepala, tingkah mereka memang tak pernah bisa akur. Tapi bersama mereka Afif senang, bisa bebas mengekspresikan diri tanpa harus menjaga image.
Setelah acara makan pagi, ini menurut Satria dan Nancy karena mereka belum sarapan. Padahal jika menurut acuan waktu, ini sudah jam makan siang. Mereka langsung berangkat. Awalnya mereka masih sempat saling bercanda, bercanda versi Satria dan Nancy adalah saling mengejek kejelekan lawan bercandanya. Dulu waktu pertama bertemu, Nancy dan Satria langsung klop. Mereka tidak mudah tersinggung, modal yang bagus karena mereka suka menghina dan dihina. Namun kemudian Satria terlelap begitu juga dengan Nancy. Beberapa kali Afif melirik Satria, kenapa wajah setampan itu sama sekali belum punya pacar? Ya, wajah Satria memang mulus. Perawatan rutin seperti facial tak pernah absen dilakukan Satria. Afif hanya bisa tersenyum kecil saat menatap Nancy lewat kaca spion depan. Jika sedang tidur begini, wajahnya seperti tanpa dosa. Afif menyayangi mereka berdua. Sudah seperti saudara sendiri.
Mereka sampai di Magelang jam 5 pagi. Sebenarnya ini masih daerah Temanggung, namanya Secang tepatnya di desa Ngabean. Namun karena berbatasan sangat dekat dengan Magelang, orang menyebutnya Magelang. Orang tua Nancy menyambut dengan sangat luar biasa ramah. Siapa yang tidak senang jika anak gadisnya membawa 2 pria tampan? Ada sebagian yang tidak senang. Mungkin.
Awalnya sudah disiapkan 2 kamar untuk Satria dan Afif. Namun dengan berbagai alasan, Satria meminta satu kamar saja untuk mereka berdua. Hmm, sepertinya Satria punya rencana busuk. Begitu tiba di pembaringan, Afif dan Satria langsung tepar. Apalagi Afif yang kebagian jatah nyetir. Awalnya Afif dan Satria bertugas gantian untuk membawa mobil, namun karena Satria tidak bangun bangun saat perjalanan (kecuali saat mereka mampir rumah makan untuk istirahat) terpaksa Afif yang menyetir dari Jakarta sampai Magelang.
Hari kedua mereka sedang berada di salah satu gubuk tepat di tengah tengah sawah milik orang tua Nancy.
“kenapa sih lu kaga tinggal disini aja? Udaranya enak banget. Belum lagi lu punya sawah segede ini”, Satria membuka suara setelah mereka hanya diam menikmati hijaunya padi yang belum menguning.
“bukannya gua kaga suka, tapi gua lebih nyaman tinggal di Jakarta. Disana gua kaga pernah di cap perawan tua lha, kaga laku lha. Disana gua bebas”, ada sedikit nada getir dalam suara Nancy. Entah kenapa Satria bisa merasakan apa yang di rasakan oleh Nancy saat ini. Bukan berarti kedua orang tua Satria tidak menyayanginya, namun mereka berdua terlalu sibuk sehingga jarang ada waktu untuk Satria. Afif pun sama, ditengah tengah kemandiriannya yang selalu dia banggakan ada sedikit rasa kesepian hinggap disana. Rindu pada seseorang.
“kita ini lucu ya?”, Afif berguman.
“masih inget gak awal kita ketemu?”, Satria jelas ingat, itu pertama kalinya dia jatuh cinta. Dan orang itu adalah Afif. Nancy apalagi, itu adalah saat dia harus berdebat dengan Satria untuk memperebutkan tiket terakhir nonton Eclipse. Lalu ketika dengan baik hati seseorang yang batal nonton menyerahkan tiketnya, Afif.
“lu ngotot banget waktu itu, seharusnya lu mengalah. Padahal gua kan cewek”, Satria melirik Nancy saat cewek itu menyebut dirinya sendiri wanita. Keningnya sedikit mengkernyit.
“yakin lu cewek? Masa lupa dulu ada penis bergelantungan di antara kedua paha lu?”, omongan Satria barusan langsung dapat gamparan gratis dari tangan Nancy.
“semprul!! Lu kira gua jadi jadian apa?!”
“ya abis lu kasar banget”, Nancy sudah akan melayangkan tanganya lagi kalau Satria tidak berlari pada pematangan sawah. Tertawa tawa sambil tetap menghina Nancy. Mereka seperti anak kecil, Nancy dan Satria berkejaran. Sedangkan Afif hanya diam menikmati tingkah ajaib mereka. Sampai Satria jatuh dan terjerembab pada sawah milik orang lain. Untung tanah itu baru selesai di traktor belum ditanami padi. Otomatis, Nancy langsung mengeluarkan tawanya. Afif pun tak sanggup untuk menahan tawa. Cowok yang selalu tampil modis dan bersih itu sekarang belepotan lumpur.
“argh, sial amat sih gua!!”, kata Satria sambil berlari mengejar Nancy. Satria sedang berbaik hati sehingga ingin berbagi berkah yang baru saja di dapatkannya.
“jangan sentuh gua!! Kyaaa!! Don’t touch me!!”, teriak Nancy ketika Satria benar benar serius ingin berbagi kebahagiaannya. Namun karena Nancy emang jago lari seperti kuda, target Satria berubah. Perlahan lahan dia mendekati Afif, Afif langsung bersiap. Walaupun dia tau, dia bukan tandingannya Satria atau Nancy jika adu lari.
“jangan coba coba Sat. Atau lu gua hajar ntar”, Satria hanya tersenyum sinis mendengar  ancaman Afif. Tanpa aba aba, Satria langsung memeluk Afif. Sukses sudah lumpur di tubuh Satria dibagi dalam kebersamaan yang indah dengan Afif. Sementara Nancy sudah ngacir jauh sekali.
“gua pulang duluan!!”, teriak Nancy dari kejauhan. Sama sekali tidak mempedulikan dua sahabatnya yang sekarang tengah panik.
“oya, ke bawah sedikit ada gili kecil tu. Ada air mancurnya, jernih banget kalau mau buat bersih bersih. Good luck ya baby”, sambung Nancy masih dengan berteriak yang diiringi dengan tawa mengerikannya. Tanpa aba aba, Satria dan Afif langsung menuju ke bawah.
“gara gara lu”, Afif masih tidak terima.
“kan harus berbagi mas bro”, Satria terpingkal pingkal melihat penampilan Afif.
Mereka agak terkejut saat sampai di tempat yang disebutkan Nancy tadi. Tempatnya aduhai sekali. Satria masih diam di tempat karena masih ada bapak bapak yang sedang mandi di pancuran tersebut. Jadi ini tempat pemandian umum ya? Sedangkan Afif sudah turun dan sedikit bermain dengan air di gili. Satria masih ragu, apa air ini hygienis? Sehat tidak kalau untuk mandi?
“woey, turun!! Ngapain bengong di situ?”, dengan ragu ragu Satria turun setelah teriakan dari Afif barusan. Tempatnya memang indah, tapi Satria masih ragu. Saat bapak bapak tadi sudah selesai mandi Afif langsung melepas semua pakaian yang di kenakannya. Awalnya Afif sedikit mengucek ucek celana pendeknya, berusaha membersihkan lumpur dari celana pendeknya. Satria hanya bengong, pemandangan di bawahnya sangat menggiurkan. Afif telanjang bulat, memang ini bukan pertama kali Satria melihat Afif telanjang. Namun tetap saja, kalian mengerti kan?
Melihat tubuh ramping Afif yang tanpa sehelai benangpun itu mau tak mau membuat kelelakiannya terusik.Tubuh Afif memang biasa saja, karena pada dasarnya Afif jarang ngegym. Namun tetap enak dilihat, perutnya rata walau tidak sixpack. Dadanya cukup bidang walaupun minim otot, lalu bebuluan halus yang memahkotai kejantanan Afif.
“lu kaga ikut bersih bersih?”, Afif berkata sambil menghadap Satria. Satria menahan nafas, kontol milik Afif seperti melambai lambai minta di belai.
“gua setelah lu aja”, akhirnya Satria berkata sambil memalingkan wajahnya. Satria merasa telah mengkhianati ketulusan pertemanan yang di tawarkan Afif. Apa yang akan dikatakan Afif jika tau dirinya gay? Dan yang lebih parah, menyukai sahabatnya sendiri? Satria belum siap. Benar benar belum siap untuk kehilangan Afif, untuk itulah selama 3 tahun ini Satria tak pernah sedikitpun mencoba untuk menyampaikan perasaanya terhadap Afif. Rasanya kurang tepat saja, mencintai sahabat sendiri.
Akhirnya mereka pulang dengan celana yang masih basah. Ibu Nancy sempat tertegun melihat calon mantunya dan temannya yang terlihat berantakan. Sementara Nancy masih cekikikan jika melihat keduanya. Saat sore harinya, Satria dan Afif dibuat terkejut dengan ibu ibu yang berkumpul di rumah Nancy. Mereka memasak dan banyak bapak bapak. Karena merasa ada sesuatu, mereka berdua langsung menemui Nancy. Tak butuh waktu lama untuk mencari Nancy, karena yang bersangkutan sedang duduk duduk di teras rumah.
“ada apaan sih Nan?”, Satria langsung nyerocos tanpa mempedulikan seorang pemuda yang sedang berbincang dengan Nancy.
“hha? Apaan?”, yang ditanya justru sepertinya malah tak mengerti apa apa.
“itu, banyak ibu ibu di rumah lu. Pada masak masak gitu, emang nyokap bokap lu mau punya acara?”, wajah Nancy langsung memucat saat Satria menjelaskan apa yang dia tanyakan tadi.
“lha, bukannya mau syukuran? Mau mengenalkan calon mantu”, penjelasan dari pemuda yang tadi menjadi teman ngobrol Nancy mau tak mau langsung membuat Satria waspada.
“maksutnya?”, Satria terus mencecar
“kan mau dikenalkan sama orang orang di desa ini mas, ntar malem mau ada hajatan. Banyak yang di undang lho mas”, Afif tak bereaksi. Sedangkan Satria seperti kebakaran jenggot.
“katanya Cuma pu. . .”, Satria tidak jadi menyelesaikan kalimatnya, dia langsung ke kamarnya. Memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas. Gua bakal pulang besok. Malamnya sudah seperti neraka untuk Satria, Afif benar benar menjalankan tugasnya sebagai pacar Nancy dengan baik. Atau memang Afif benar benar ada perasaan untuk Nancy? Sepanjang malam, Satria hanya bisa menahan supaya air matanya tidak menetes keluar. Satria cemburu saat Afif dengan sangat natural memeluk Nancy, mengelus kepala Nancy dan kadang tersenyum mesra. Rasanya sakit sekali melihat kemesraan mereka.
Acara selesai saat jam dinding sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Satria tidak hanya capek fisik, tapi hatinya pun ikut menjerit. Saat Afif merebahkan tubuhnya di sampingnya, Satria langsung pura pura tertidur.
“udah tidur Sat?”, Satria tak menjawab. Pura pura diam.
“gua bingung, rasanya tadi seperti nyata”. Jantung Satria seperti ditusuk jarum rasanya. Jadi Afif ingin menjadikan kepura puraannya ini menjadi kenyataan? Pantas saja tadi mereka terlihat seperti sungguhan, ternyata Afif memang ada rasa. Bagaimana dengan Nancy? Lagi lagi Satria hanya mampu menggelengkan kepalanya, wanita mana yang tidak mau mempunyai suami sekeren Afif. Ah bangsat, gua jadi mellow gini. Umpat Satria dalam hati. Kemudian dirasakannya tangan Afif memeluknya. Gua harus tau diri, Afif tidak akan mempunyai masa depan cerah sama gua. Ngapain gua harus bertahan? Satria sudah bertekad dalam hatinya.
***


“lu mau kemana?”, Nancy memergoki Satria yang tengah menenteng kedua tas besarnya.
“gua pulang, nyokap nyariin gua”
“boong!! Lu kenapa sih? Sejak kemarin sore sikap lu tu aneh banget tau!!”, ingin rasanya Satria berteriak keras keras di depan Nancy bahwa dia jatuh cinta pada pacar pura puranya.
“kenapa sih lu? Gua mau pulang kan bukan urusan lu!! Ribet amat sih lu!!”
“karena gua sayang sama lu!!”, pernyataan Nancy barusan cukup membuat Satria terkejut.
“hha? Lu serius?”
“Iya lha gua serius!! Menurut lu kenapa gua selalu repot repot ngebantu tugas kuliah lu? Nemenin lu malem malem saat lu galau?”, Satria hanya bisa tertegun. Selama ini Nancy mempunyai rasa khusus untuknya?
“kenapa Sat? Lu kaga sadar? Apa karena gua freak? Apa karena gua terlalu aneh sehingga gua kaga pantes buat lu? Atau karena gua hanya anak seorang camat?”, Nancy terus mencecarnya. Membuat Satria frustasi dan akhirnya mengucapkan apa yang menjadi rahasia besarnya selama ini.
“gua gay!! Dan gua sayang sama Afif!! Gak mungkin gua bisa membalas perasaan lu Nan!!”, perkataan Satria ini benar benar mengguncang perasaan Nancy. Hal ini juga membuat pria yang sedari tadi diam mengamati tanpa mereka berdua sadari terkejut bukan main.
“Sat, lu. . .”, Satria dan Nancy menoleh. Satria langsung memucat. Tanpa pikir panjang dia langsung menyetop motor yang kebetulan melintas.
“cepet berangkat mas, ntar saya bayar banyak”, untung sang pemilik motor tak menyianyiakan rejeki yang menurutnya sedang dititipkan Tuhan melalui pemuda ini. Satria juga menghiraukan panggilan Afif. Satria malu, benar benar tak punya wajah untuk menghadapi Afif. Ya Tuhan, Afif sekarang sudah tau tentang perasaanya. Apa yang sekarang harus dilakukan? Melalui informasi dari pengemudi motor yang ditumpanginya tadi, Satria tau arah untuk pulang. Dengan menaikki bus jurusan Jakarta.
***


Sudah hampir 3 bulan berlalu, Satria tidak tau kabar berita tentang Afif maupun Nancy. Mereka sama sekali tidak berkomunikasi dan Satria terlalu malu untuk menghubungi mereka duluan. Apa tanggapan Afif? Nancy? Kecewakah mereka mempunyai teman seperti gua? Satria hanya bisa menebak nebak.Tapi jika dilihat dari kenyataanya, Satria tau jawabannya. Jika Afif juga mempunyai perasaan yang sama dengannya, pasti sudah dari dulu Afif menghubunginya. Namun apa? Tidak ada kabar sama sekali dari mereka. Lagi lagi Satria hanya bisa menghembuskan nafas secara perlahan.
“gua kangen kalian berdua”, guman Satria tak jelas
Tok tok tok
Ketukan pada pintu kamarnya membuat Satria tersadar kembali ke dunia nyata. Tadinya Satria ingin membiarkan saja ketukan itu hingga berlalu. Namun sepertinya sang pengetuk pintu tak kehilangan kesabaran. Selama 10 menit sang pengetuk masih saja gigih mengetuk pintu kamar Satria. Dengan sedikit malas, Satria membuka pintu kamarnya.
“Nancy?”, keterkejutan Satria tidak dapat disembunyikan. Melihat Nancy sekarang benar benar membuatnya sedikit surprised. Ingin rasanya Satria memeluk sahabat yang sudah 3 bulan tidak pernah ketemu.
“hehehe, tadi mang Rudi langsung nyuruh gua masuk”, kata Nancy sambil masuk kedalam kamar Satria. Dulu memang itu kebiasaan Nancy. Sambil sedikit mengamati kamar Satria, Nancy duduk di ranjang tempat tidur Satria.
“lu? Ada angin apa?”
“kenapa lu menghilang Sat?”
“gua? Menghilang? Bukannya lu yang kaga ada kabar?”, Satria tak ingin disalahkan karena dirinya yang tidak pernah menghubungi mereka, bahkan mengganti nomor handphonenya.
“Afif sakit. Kaga mau makan. Badannya sekarang kurus, jarang mandi. Pokoknya berantakan banget”, Nancy sedikit berlebihan menjelaskan keadaan Afif yang sekarang.
“lu serius?”
“serius banget! Kenapa bisa kejadian? Lu tau? Karena ada seorang lelaki pengecut yang bahkan tidak bisa menyatakan perasaannya sehingga membuat lelaki pujaannya gila parah”
“kaga segampang yang lu pikir Nan, gua itu laki laki. Afif juga laki laki!! Cinta gua tu keganjilan?!”, Satria mengajukan protes. Bagaimana Nancy bisa menggampangkan dirinya untuk menyatakan perasaannya pada Afif? Itu namanya bunuh diri.
“apa 3 tahun itu belum bisa membuat lu mengenal Afif?”, perkataan Nancy barusan membuat pikiran Satria berpetualang. Afif selalu membiarkannya bermanja manja dengannya. Selalu memperhatikan kesehatan dirinya. Apakah semua perhatian itu ada artinya untuk Afif? Satria tidak berani menebak nebak.
“temui dia Sat, sebelum lu tidak bisa menemui Afif untuk selamanya”, bakat Nancy yang selalu bisa mendramatisis keadaan berguna disini.
“thanks Nan, gua pergi dulu”, Satria langsung berlalu. Nancy hanya bisa tersenyum lemah.
“gua bahagia kalau lu bahagia Sat”, guman Nancy berlahan.
***


Tanpa permisi, Satria langsung masuk ke dalam rumah milik Afif. Mencarinya kesana kemari dengan panik. Lalu menemukan Afif yang sedang berkutat di dapur dengan panci dan wajan.
“Fif?Lu? Kok sehat sehat aja?”, yang ditanya justru malah terkejut.
“Sat? Sejak kapan lu disini? Kata Nancy lu mau dateng jam 8 malam. Emang gua sehat sehat aja”, Satria benar benar mengutuk Nancy dalam hatinya. Sejak kapan itu anak belajar menjadi mak comblang?
“Fif, emm gua permisi dulu ya? Kirain gua lu lagi sakit”, langkah Satria tertahan saat mendengar  pengakuan Afif.
“lu kaga mau denger jawaban gua?”
“jawaban apaan ya?”, sebisa mungkin Satria mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
“gua kaget waktu lu bilang lu cinta sama gua. Berhari hari sejak pengakuan lu itu gua berpikir dan gua teringat banyak hal, kenangan di antara kita berdua. Dan lu tau? Orang yang sangat gua rindukan selama 3 bulan terakhir ini? Orang itu selalu meluk gua saat kita tidur bareng. Kadang kadang suka nyungsep di antara lengan gua. Kalau sedang sakit manjanya minta ampun, hanya mau makan kalau gua yang masakin. Ternyata gua kangen sama masa masa itu. Sekarang gua Cuma berpikir, bisa kaga gua mengalami lagi masa masa itu? Dengan orang yang sama?”, Satria langsung memeluk Afif. Mencurahkan perasaan yang selama ini hanya bisa dipendamnya.
“gua mau. Gua sayang sama lu”, Afif membalas pelukan Satria dengan erat.
“gua masih harus banyak belajar Sat, tapi sekarang yang gua mau hanya lu. Disini, di hati gua”
Ini bukanlah akhir, tapi sebuah awal. Di depan sana masih banyak yang akan mereka hadapi. Keluarga, teman teman, masyarakat dan juga norma norma yang berlaku. Tapi semua itu sekarang belum mereka pikirkan. Disini, mereka berdua saling mencintai dan mencoba untuk menghadapi segalanya. Pemikiran yang naïf memang, tapi hampir semua pasangan yang sedang di mabuk cinta rata rata mempunyai pikiran yang sama. Bahwa mereka bisa menghadapi dunia. Sejauh apakah hubungan mereka bisa bertahan? Hanya waktu yang bisa menjawab.

The End
Ini adalah cerpen pertamaku
Berantakan? Iya!!
Oleh karena itu aku mengharapkan kritik kalian
Terima kasih
Wish you all the best guys
I love you


Ardhinansa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.