“jembut”, kata itu terucap dengan
mulus dari bibir Nancy tanpa dosa. Membuat pelayan di restoran cepat saji itu
melotot tajam dan seorang ibu ibu yang langsung menutup telinga anaknya. Satria
menaksir usia anak itu mungkin 5 tahun. Afif mengaduk aduk sendok
di minumannya lebih cepat. Untuk
saat ini tak ingin ikut campur dengan kedua sahabatnya yang tengah berdiskusi
asik.
“bukan itu yang gua ucapin tadi”,
Satria menginterupsi. Kata kata jembut terdengar terlalu kasar di ucapkan di
sini. Walaupun
kalau boleh jujur, Satria sering sekali mendapat masalah dengan jembut. Beberapa kali merasa
kesakitan karena rambut liar tadi terjepit resleting. Oleh karena itu, Satria
wajib mencukur rambut rambut tak di harapkan itu satu bulan sekali. Tak di cukur habis
memang, tapi di sisakan. Biar
terlihat macho menurut Satria.
“jelas jelas gua dengernya itu. Lu tadi mau namain anak lu
Jembut”, kali ini ucapan Nancy sukses membuat pelayan yang tadi hilir mudik di
sekitar mereka melotot tajam ke arah Nancy. Dan ibu ibu yang membawa anak 5
tahun (usia yang di taksir Satria) langsung membayar bill dan membawa anaknya
kabur sebelum terserang racun yang di sebarkan Nancy.
“gua gak bilang itu”, Satria masih
ngotot. Rasanya ingin menyumpalkan tas sampah di pojok ruangan ke mulut Nancy.
Walaupun mereka sudah berteman lama, rasanya Satria masih belum bisa memahami
sifat aneh Nancy.
“gua bilang gua mau namain anak gua
ntar Langit Biru”, Satria mencoba untuk mengucapkan kata Langit Biru lebih
kencang, agar Nancy bisa mendengarnya.
“tapi gua dengernya Jembut”, Nancy
sepertinya tak sadar bahwa ucapanya sudah membuat sang pelayan siap melempar
gelas ke arah Nancy karena sudah membuat pengunjung lain resah.
“cukup!! Kita bisa bahas yang lain
kan?”, kali ini Afif unjuk bicara. Melihat situasi yang sudah tidak kondusif
untuk Nancy dan Satria beragumen tentang salah satu organ manusia itu (maaf,
apakah bagian ‘itu’ bisa di sebut organ ya?).
“okay, tapi dia yang memulai. Gua
tadi jelas jelas bilang Langit Biru kok”.Satria menunjuk Nancy dengan berang. Siapa
yang tidak marah jika nama anaknya kelak dengan sesuka hati di ubah? Dengan
nama ‘itu’ pula. Afif geleng geleng kepala.
“tapi gua dengernya tadi jem. . .”
“cukup!!”, Afif dengan cepat
memotong perkataan Nancy sebelum sang pelayan maju dan benar benar memecahkan
gelas yang sudah lama di timang timangnya ke atas kepala Nancy.
“kita bisa bahas yang lain”, lanjut
Afif kemudian.
“huh, gua bener bener pusing. Nyokap
ngejar ngejar gua supaya cepet kawin”, Nancy mulai sesi curhat. Wajahnya sedikit ditekuk
jika mengingat ibunya yang sudah memaksanya untuk cepat cepat menggantungkan
masa lajangnya.
“ya udah, buruan aja lu kawin”.
Satria sepertinya ingin balas dendam. Nadanya agak sedikit nyolot, tapi
emang Nancy pada dasarnya ndableg. Jadi nada yang sedikit nyolot itu sama
sekali tidak dihiraukan.
“gua belom punya calon Sat”, Nancy
seperti frustasi. Tangannya sedikit menarik narik rambutnya. Seperti biasa, Nancy
sangat pandai mendramatisir keadaan. Anak kampung yang sudah terinfeksi
ibukota. Nancy
inilah contoh nyatanya.
“lu kan baru 27 tahun”, Afif
mengucapkannya dengan santai tanpa ada niat untuk menyinggung Nancy. Namun,
yang bersangkutan sepertinya tidak terima. Dalam hitungan detik
pupil matanya membesar.
“di sini usia segitu emang biasa
belom kawin. Tapi keluarga gua di kampung? Nyokap gua uda maksa gua
buat kawin!!”Nancy semakin histeris. Beberapa pasang mata semakin
memperhatikan mereka bertiga. Sebenarnya
Nany tidak jelek jelek amat. Wajahnya manis dan tubuhnya pun cukup ramping.
Tapi tingkah laku Nancy memang ajaib, itu yang menyebabkan sejumlah pria
mengundurkan diri saat menjalani pendekatan dengan gadis asal Magelang itu.
“trus kenapa lu ribut? Nyokap lu
jauh kan? Masalah gitu buat lu?”, Satria sepertinya tidak bisa merasakan
tekanan batin yang di alami oleh Nancy.
“masalah banget buat gua. Lu
bayangin aja, hampir tiap pagi dan malem nyokap ngingetin gua buat kawin mulu!!
Puyeng gua jadinya!! Stress!!”
Afif hanya bisa tersenyum mendengar
keluhan sahabatnya ini. Tingkah
Satria juga tidak membantu. Selalu
seperti ini jika mereka bertiga berkumpul. Mereka bertiga sudah lama
berteman, Satria yang paling muda. Usia Satria masih 23 tahun,
sedangkan Afif 25tahun. Walau beda usia, jenis kelamin dan pekerjaan tapi
mereka adalah sahabat yang luar biasa. 3 tahun usia persahabatan mereka. Bukan
waktu yang pendek. Meskipun
paling muda, namun Satria bertubuh paling tinggi. Anak ini termasuk laki
laki tipe metroseksual. Rajin
ngegym, menjauhi makanan berlemak tinggi, banyak makan sayur dan buah (padahal
sebenarnya tidak suka sayur) dan paling lengkap perawatannya. Mulai dari pembersih,
pemutih, sun block dan lain lainnya. Ada satu jerawat muncul di keningnya saja
sudah bisa membuat Satria seakan akan kehilangan rumah. Satria asli Jakarta. Afif? Anak ini asli
Bandung, bertubuh standar yaitu 165cm. Dan wajahnya manis sekali. Jika diliat
dari percakapan Satria, Afif dengan Nancy di atas maka bisa kita simpulkan
bahwa Afif paling pendiam juga paling dewasa.
“lusa nyokap nyuruh gua pulang”,
Satria memutar kedua bola matanya, sedangkan Afif hanya diam tak bereaksi.
“kalau gua bisa bawa calon suami
gua, gua bakalan di bolehin balik ke Jakarta. Tapi kalau gua pulang dengan
tangan hampa, gua kaga boleh ke sini lagi. Gua bingung. Gua kaga mau
hidup di kampung”
Satria tersedak minumannya, “serius
lu Nan?”
Yang ditanya hanya menganggukkan
kepalanya dengan lemah. Afif belum berkata kata, masih mencerna apa yang di
katakan Nancy barusan.
“makanya, gua minta salah satu dari
kalian buat jadi pacar gua. Boong boongan aja, gimana?”
“gua ogah”, Satria langsung angkat
tangan. Dan wajah Nancy seketika membias pucat. Sudah lama Nancy
mengharapkan cinta dari pria yang lebih muda 4 tahun darinya ini.
“gua aja”
Kali ini Satria serasa ingin makan
gelas. Afif? Terpaksa Satria menahan
diri untuk tidak mencegah niat baik Afif. Bagaimana tidak? Sejak pertama kali
bertemu, Satria sudah kesengsem dengan pemuda itu.Tenang tenang bukan berarti
Afif naksir Nancy kok, kata Satria dalam hatinya berusaha menghibur diri. Sementara itu wajah Nancy
semakin kecewa, kenapa bukan Satria saja? Kenapa harus Afif?
“gimana? Lu keberatan ya?”, Afif
mungkin agak sedikit bingung dengan kediaman kedua sahabatnya ini.
“gak papa Fif, berarti lusa lu ikut
gua pulang kampung. Gua kenalin lu sebagai pacar gua. Cuma pura pura kok”
“iya gua tau Cuma pura pura”, ada
sedikit nada kecewa yang ditangkap oleh pendengaran Satria dari suara Afif
barusan yang membuat Satria semakin galau.
“gua ikut”, Satria angkat tangan.
“hha? Ngapain?”, kening Nancy
bertaut, bingung. Namun kemudian bibirnya tersenyum, mungkinkah Satria cemburu?
“gua mau liburan. Boleh dong gua
numpang di rumah lu sementara”, hati Nancy semakin berbinar binar. Mungkinkah selama ini
Satria menyimpan rasa tapi terlalu malu untuk mengungkapkanya? Nancy jadi senyum senyum
sendiri.
“kalau gitu lusa ngumpul di rumah
gua. Pake mobil gua aja”, Afif memberi usul yang langsung disetujui kedua
temannya.
“gua duluan, di kostan gua kan ada
jam malam”, Nancy langsung ngacir.
“bayar dulu oey!!”
“talangin dulu!!”, teriak Nancy
membalas teriakan Satria tadi.
“huh!! Kebiasaan!!”.Satria mendengus
kesal.
“udah, gua yang bakal bayar semua”
***
Satria terpaksa ambil cuti sementara
untuk kuliahnya. Untung mama papanya terlalu sibuk sehingga tidak tahu apa yang
dilakukan Satria. Ini perjuangan cinta gua, guman Satria dalam hati. Perjuangan sampai titik
darah penghabisan. Satria
segera mengemasi barang barangnya. 2 tas besar, padahal hanya satu minggu.
Setelah semua beres, Satria langsung menemui Rudi.
“ayo mang, anterin gua”
“siap den Iya”, semua orang rumah
memanggil Satria dengan sebutan; den Iya (ini Rudi), mas Iya (ini mamanya
Satria dan papanya). Sekedar informasi saja, Satria anak tunggal. Satria menyembunyikan
panggilannya ini pada semua teman temannya, kecuali Afif. Bahkan Satria
berharap Afif akan memanggil Satria dengan sebutan dek Iya suatu saat nanti.
Itu kan romantic banget. Saat
tiba di rumah Afif, Satria benar benar terpukau. Afif mengenakan jeans
lusuh yang warnanya sudah pudar di beberapa tempat. Kemeja belum di
kancingkan, bahkan Satria seperti tak kuasa untuk menelan ludah. Seksi sekali.
“Nancy uda datang Fif?”, tanya
Satria setelah berhasil mengatur
emosinya.
“belum tu, bentar lagi kali. Masuk
dulu yok Sat”, Satria berguman tak jelas. Di saat hanya berdua
seperti ini, Satria ingin Afif memanggilnya ‘Iya’. Penampilan Afif yang
seperti ini bukan pertama kalinya Satria lihat. Bahkan dalam beberapa
kesempatan, Satria pernah melihat Afif telanjang. Dan setiap melihatnya,
Satria masih bergetar. Bahkan
dengan kaos pas badan saja, Afif sudah terlihat sangat mempesona. Satria memang sangat
tergila gila dengan Afif, walaupun sampai sekarang tidak ada keberanian dalam
diri Satria untuk mengungkapkannya. Afif sudah bekerja pada sebuah
perusahaan asing di Jakarta, posisinya sekarang sebagai Dept Head sangat
menjanjikan. Apalagi
Afif masih muda, kesempatan untuk naik jabatan terbentang luas. Memiliki rumah
sendiri, (kadang kadang Satria suka menginap di sini) tampan dan juga smart.
Siapa yang tidak mau menjadi istrinya?
“kaga ada minuman asik ni”, Satria
mengguman. Isi lemari es Afif kosong dari minuman mineral dingin. Yang ada
malah beberapa white wine dan Satria sama sekali tidak tertarik untuk
meminumnya. Ini tidak sehat.
“lu kan bisa minum dari dispenser.
Sama aja. Air
mineral juga tu”, Satria memonyongkan bibirnya tanda menggerutu. Afif hanya geleng geleng
kepala, dia sudah menganggap Satria seperti adiknya sendiri. Afif anak bungsu dari
tiga bersaudara. 2
kakaknya sudah menikah dan mempunyai rumah masing masing. Awalnya Afif nyaman
nyaman saja tinggal bersama orang tuanya, namun semenjak kedua orang tuanya
terus menanyakan siapa pacarnya, kapan nikah, dan lain sebagainya, Afif
memutuskan untuk membeli rumah dan tinggal sendiri. Di sini Afif lebih bebas
dan bisa mandiri.
“gua laper”, Afif tertegun mendengar
pengakuan Satria yang tidak tau malu barusan.
“gua kaga masak hari ini, ntar kita
mampir di rumah makan”, Afif berbicara kalem sambil melepas kemejanya dan
menggantinya dengan kaos lengan pendek. Sadar atau tidak semua kegiatannya di
awasi oleh Satria.Terkadang Afif bingung dengan tingkah Satria yang terlalu
perhatian dan manja padanya. Awalnya
memang risih, namun sekarang malah ada yang kurang jika Satria tidak bermanja
manja denganya jika sedang berdua.
“Nancy kaga bisa datang kesini, dia
minta kita jemput ke kostannya”, kata Afif setelah menerima bbm dari Nancy.
Satria langsung protes, “dasar
manja!! Dia pikir kita supirnya apa?”
Afif hanya tersenyum ringan sambil
menenteng tas ranselnya dan mengajak Satria untuk segera pergi. Setelah yakin
semua jendela dan pintu terkunci, mereka langsung menuju daerah Cipon tempat
Nancy ngekost. Begitu sampai di depan kostannya Nancy, Afif langsung membunyikan
klakson mobilnya. Diiringi satria yang sibuk mengirimkan sms kosong ke nomor
handphone Nancy. Baru
setelah 15 menit kemudian Nancy muncul dengan cengir kuda.
“maap maap ni bapak bapak, uda lama
nunggu yak? Hhehehe”, Nancy mungkin kurang tau bahasa tubuh. Jelas jelas terlihat
kekesalan pada Satria, kebetulan perutnya sudah lapar gila.
“semprul!! Ayo Pep ke rumah makan.
Perut gua uda minta jatah”
“kebetulan gua juga lapeeer,
perjalanan jauh harus makan dulu kan?”, perkataan tanpa dosa milik Nancy ini
langsung dapat pelototan gratis dari Satria.
“yang kemaren malem kan lu belum
bayar?”, tagih Satria. Padahal dirinya sendiri juga kaga bayar. Afif yang
membayar semua makanan mereka. Afif
lagi lagi hanya bisa geleng geleng kepala, tingkah mereka memang tak pernah
bisa akur. Tapi
bersama mereka Afif senang, bisa bebas mengekspresikan diri tanpa harus menjaga
image.
Setelah acara makan pagi, ini
menurut Satria dan Nancy karena mereka belum sarapan. Padahal jika menurut
acuan waktu, ini sudah jam makan siang. Mereka langsung
berangkat. Awalnya
mereka masih sempat saling bercanda, bercanda versi Satria dan Nancy adalah
saling mengejek kejelekan lawan bercandanya. Dulu waktu pertama
bertemu, Nancy dan Satria langsung klop. Mereka tidak mudah
tersinggung, modal yang bagus karena mereka suka menghina dan dihina. Namun kemudian Satria
terlelap begitu juga dengan Nancy. Beberapa kali Afif melirik Satria, kenapa
wajah setampan itu sama sekali belum punya pacar? Ya, wajah Satria memang
mulus. Perawatan
rutin seperti facial tak pernah absen dilakukan Satria. Afif hanya bisa
tersenyum kecil saat menatap Nancy lewat kaca spion depan. Jika sedang tidur
begini, wajahnya seperti tanpa dosa. Afif menyayangi mereka berdua. Sudah seperti saudara
sendiri.
Mereka sampai di Magelang jam 5
pagi. Sebenarnya
ini masih daerah Temanggung, namanya Secang tepatnya di desa Ngabean. Namun karena berbatasan
sangat dekat dengan Magelang, orang menyebutnya Magelang. Orang tua Nancy menyambut
dengan sangat luar biasa ramah. Siapa
yang tidak senang jika anak gadisnya membawa 2 pria tampan? Ada sebagian yang tidak
senang. Mungkin.
Awalnya sudah disiapkan 2 kamar
untuk Satria dan Afif. Namun
dengan berbagai alasan, Satria meminta satu kamar saja untuk mereka berdua. Hmm, sepertinya Satria
punya rencana busuk. Begitu
tiba di pembaringan, Afif dan Satria langsung tepar. Apalagi Afif yang
kebagian jatah nyetir. Awalnya
Afif dan Satria bertugas gantian untuk membawa mobil, namun karena Satria tidak
bangun bangun saat perjalanan (kecuali saat mereka mampir rumah makan untuk
istirahat) terpaksa Afif yang menyetir dari Jakarta sampai Magelang.
Hari kedua mereka sedang berada di
salah satu gubuk tepat di tengah tengah sawah milik orang tua Nancy.
“kenapa sih lu kaga tinggal disini
aja? Udaranya enak banget. Belum
lagi lu punya sawah segede ini”, Satria membuka suara setelah mereka hanya diam
menikmati hijaunya padi yang belum menguning.
“bukannya gua kaga suka, tapi gua
lebih nyaman tinggal di Jakarta. Disana gua kaga pernah di cap perawan tua lha,
kaga laku lha. Disana gua bebas”, ada sedikit nada getir dalam suara Nancy.
Entah kenapa Satria bisa merasakan apa yang di rasakan oleh Nancy saat ini.
Bukan berarti kedua orang tua Satria tidak menyayanginya, namun mereka berdua
terlalu sibuk sehingga jarang ada waktu untuk Satria. Afif pun sama, ditengah
tengah kemandiriannya yang selalu dia banggakan ada sedikit rasa kesepian
hinggap disana. Rindu
pada seseorang.
“kita ini lucu ya?”, Afif berguman.
“masih inget gak awal kita ketemu?”,
Satria jelas ingat, itu pertama kalinya dia jatuh cinta. Dan orang itu adalah
Afif. Nancy
apalagi, itu adalah saat dia harus berdebat dengan Satria untuk memperebutkan
tiket terakhir nonton Eclipse. Lalu
ketika dengan baik hati seseorang yang batal nonton menyerahkan tiketnya, Afif.
“lu ngotot banget waktu itu,
seharusnya lu mengalah. Padahal gua kan cewek”, Satria melirik Nancy saat cewek
itu menyebut dirinya sendiri wanita. Keningnya sedikit mengkernyit.
“yakin lu cewek? Masa lupa dulu ada
penis bergelantungan di antara kedua paha lu?”, omongan Satria barusan langsung
dapat gamparan gratis dari tangan Nancy.
“semprul!! Lu kira gua jadi jadian
apa?!”
“ya abis lu kasar banget”, Nancy
sudah akan melayangkan tanganya lagi kalau Satria tidak berlari pada pematangan
sawah. Tertawa tawa sambil tetap menghina Nancy. Mereka seperti anak
kecil, Nancy dan Satria berkejaran. Sedangkan Afif hanya diam menikmati
tingkah ajaib mereka. Sampai Satria jatuh dan terjerembab pada sawah milik
orang lain. Untung tanah itu baru selesai di traktor belum ditanami padi. Otomatis, Nancy langsung
mengeluarkan tawanya. Afif
pun tak sanggup untuk menahan tawa. Cowok yang selalu tampil modis dan
bersih itu sekarang belepotan lumpur.
“argh, sial amat sih gua!!”, kata
Satria sambil berlari mengejar Nancy. Satria sedang berbaik hati sehingga ingin
berbagi berkah yang baru saja di dapatkannya.
“jangan sentuh gua!! Kyaaa!! Don’t
touch me!!”, teriak Nancy ketika Satria benar benar serius ingin berbagi
kebahagiaannya. Namun karena Nancy emang jago lari seperti kuda, target Satria
berubah. Perlahan lahan dia mendekati Afif, Afif langsung bersiap. Walaupun dia tau, dia
bukan tandingannya Satria atau Nancy jika adu lari.
“jangan coba coba Sat. Atau lu gua
hajar ntar”, Satria hanya tersenyum sinis mendengar ancaman Afif. Tanpa aba aba, Satria langsung
memeluk Afif. Sukses
sudah lumpur di tubuh Satria dibagi dalam kebersamaan yang indah dengan Afif. Sementara Nancy sudah
ngacir jauh sekali.
“gua pulang duluan!!”, teriak Nancy
dari kejauhan. Sama sekali tidak mempedulikan dua sahabatnya yang sekarang
tengah panik.
“oya, ke bawah sedikit ada gili
kecil tu. Ada air mancurnya, jernih banget kalau mau buat bersih bersih. Good
luck ya baby”, sambung Nancy masih dengan berteriak yang diiringi dengan tawa
mengerikannya. Tanpa aba aba, Satria dan Afif langsung menuju ke bawah.
“gara gara lu”, Afif masih tidak
terima.
“kan harus berbagi mas bro”, Satria
terpingkal pingkal melihat penampilan Afif.
Mereka agak terkejut saat sampai di
tempat yang disebutkan Nancy tadi. Tempatnya aduhai sekali. Satria masih diam di
tempat karena masih ada bapak bapak yang sedang mandi di pancuran tersebut. Jadi ini tempat pemandian
umum ya? Sedangkan
Afif sudah turun dan sedikit bermain dengan air di gili. Satria masih ragu, apa
air ini hygienis? Sehat tidak kalau untuk mandi?
“woey, turun!! Ngapain bengong di
situ?”, dengan ragu ragu Satria turun setelah teriakan dari Afif barusan.
Tempatnya memang indah, tapi Satria masih ragu. Saat bapak bapak tadi
sudah selesai mandi Afif langsung melepas semua pakaian yang di kenakannya. Awalnya Afif sedikit
mengucek ucek celana pendeknya, berusaha membersihkan lumpur dari celana
pendeknya. Satria
hanya bengong, pemandangan di bawahnya sangat menggiurkan. Afif telanjang bulat,
memang ini bukan pertama kali Satria melihat Afif telanjang. Namun tetap saja,
kalian mengerti kan?
Melihat tubuh ramping Afif yang
tanpa sehelai benangpun itu mau tak mau membuat kelelakiannya terusik.Tubuh
Afif memang biasa saja, karena pada dasarnya Afif jarang ngegym. Namun tetap enak dilihat,
perutnya rata walau tidak sixpack. Dadanya cukup bidang walaupun minim
otot, lalu bebuluan halus yang memahkotai kejantanan Afif.
“lu kaga ikut bersih bersih?”, Afif
berkata sambil menghadap Satria. Satria menahan nafas, kontol milik Afif
seperti melambai lambai minta di belai.
“gua setelah lu aja”, akhirnya
Satria berkata sambil memalingkan wajahnya. Satria merasa telah mengkhianati
ketulusan pertemanan yang di tawarkan Afif. Apa yang akan dikatakan
Afif jika tau dirinya gay? Dan yang lebih parah, menyukai sahabatnya sendiri? Satria belum siap. Benar benar belum siap
untuk kehilangan Afif, untuk itulah selama 3 tahun ini Satria tak pernah
sedikitpun mencoba untuk menyampaikan perasaanya terhadap Afif. Rasanya kurang tepat
saja, mencintai sahabat sendiri.
Akhirnya mereka pulang dengan celana
yang masih basah. Ibu
Nancy sempat tertegun melihat calon mantunya dan temannya yang terlihat
berantakan. Sementara
Nancy masih cekikikan jika melihat keduanya. Saat sore harinya, Satria
dan Afif dibuat terkejut dengan ibu ibu yang berkumpul di rumah Nancy. Mereka memasak dan banyak
bapak bapak. Karena
merasa ada sesuatu, mereka berdua langsung menemui Nancy. Tak butuh waktu lama
untuk mencari Nancy, karena yang bersangkutan sedang duduk duduk di teras
rumah.
“ada apaan sih Nan?”, Satria
langsung nyerocos tanpa mempedulikan seorang pemuda yang sedang berbincang
dengan Nancy.
“hha? Apaan?”, yang ditanya justru
sepertinya malah tak mengerti apa apa.
“itu, banyak ibu ibu di rumah lu.
Pada masak masak gitu, emang nyokap bokap lu mau punya acara?”, wajah Nancy
langsung memucat saat Satria menjelaskan apa yang dia tanyakan tadi.
“lha, bukannya mau syukuran? Mau
mengenalkan calon mantu”, penjelasan dari pemuda yang tadi menjadi teman
ngobrol Nancy mau tak mau langsung membuat Satria waspada.
“maksutnya?”, Satria terus mencecar
“kan mau dikenalkan sama orang orang
di desa ini mas, ntar malem mau ada hajatan. Banyak yang di undang lho mas”,
Afif tak bereaksi. Sedangkan
Satria seperti kebakaran jenggot.
“katanya Cuma pu. . .”, Satria tidak
jadi menyelesaikan kalimatnya, dia langsung ke kamarnya. Memasukkan semua
pakaiannya ke dalam tas. Gua bakal
pulang besok. Malamnya
sudah seperti neraka untuk Satria, Afif benar benar menjalankan tugasnya
sebagai pacar Nancy dengan baik. Atau memang Afif benar benar ada
perasaan untuk Nancy? Sepanjang
malam, Satria hanya bisa menahan supaya air matanya tidak menetes keluar. Satria cemburu saat Afif
dengan sangat natural memeluk Nancy, mengelus kepala Nancy dan kadang tersenyum
mesra. Rasanya
sakit sekali melihat kemesraan mereka.
Acara selesai saat jam dinding sudah
menunjukkan pukul 1 dini hari. Satria tidak hanya capek fisik, tapi hatinya pun
ikut menjerit. Saat Afif merebahkan tubuhnya di sampingnya, Satria langsung
pura pura tertidur.
“udah tidur Sat?”, Satria tak
menjawab. Pura pura diam.
“gua bingung, rasanya tadi seperti
nyata”. Jantung Satria seperti ditusuk jarum rasanya. Jadi Afif ingin
menjadikan kepura puraannya ini menjadi kenyataan? Pantas saja tadi mereka
terlihat seperti sungguhan, ternyata Afif memang ada rasa. Bagaimana dengan Nancy? Lagi lagi Satria hanya
mampu menggelengkan kepalanya, wanita mana yang tidak mau mempunyai suami
sekeren Afif. Ah bangsat, gua jadi mellow gini. Umpat Satria dalam hati. Kemudian dirasakannya
tangan Afif memeluknya. Gua harus tau diri, Afif tidak akan mempunyai masa depan
cerah sama gua. Ngapain gua harus bertahan? Satria sudah bertekad
dalam hatinya.
***
“lu mau kemana?”, Nancy memergoki
Satria yang tengah menenteng kedua tas besarnya.
“gua pulang, nyokap nyariin gua”
“boong!! Lu kenapa sih? Sejak
kemarin sore sikap lu tu aneh banget tau!!”, ingin rasanya Satria berteriak
keras keras di depan Nancy bahwa dia jatuh cinta pada pacar pura puranya.
“kenapa sih lu? Gua mau pulang kan
bukan urusan lu!! Ribet amat sih lu!!”
“karena gua sayang sama lu!!”,
pernyataan Nancy barusan cukup membuat Satria terkejut.
“hha? Lu serius?”
“Iya lha gua serius!! Menurut lu
kenapa gua selalu repot repot ngebantu tugas kuliah lu? Nemenin lu malem malem
saat lu galau?”, Satria hanya bisa tertegun. Selama ini Nancy mempunyai rasa
khusus untuknya?
“kenapa Sat? Lu kaga sadar? Apa karena gua freak? Apa
karena gua terlalu aneh sehingga gua kaga pantes buat lu? Atau karena gua hanya
anak seorang camat?”, Nancy terus mencecarnya. Membuat Satria frustasi dan
akhirnya mengucapkan apa yang menjadi rahasia besarnya selama ini.
“gua gay!! Dan gua sayang sama
Afif!! Gak mungkin gua bisa membalas perasaan lu Nan!!”, perkataan Satria ini
benar benar mengguncang perasaan Nancy. Hal ini juga membuat pria yang sedari
tadi diam mengamati tanpa mereka berdua sadari terkejut bukan main.
“Sat, lu. . .”, Satria dan Nancy
menoleh. Satria langsung memucat. Tanpa pikir panjang dia langsung menyetop
motor yang kebetulan melintas.
“cepet berangkat mas, ntar saya
bayar banyak”, untung sang pemilik motor tak menyianyiakan rejeki yang
menurutnya sedang dititipkan Tuhan melalui pemuda ini. Satria juga menghiraukan
panggilan Afif. Satria
malu, benar benar tak punya wajah untuk menghadapi Afif. Ya Tuhan, Afif sekarang
sudah tau tentang perasaanya. Apa
yang sekarang harus dilakukan? Melalui informasi dari pengemudi motor yang
ditumpanginya tadi, Satria tau arah untuk pulang. Dengan menaikki bus jurusan
Jakarta.
***
Sudah hampir 3 bulan berlalu, Satria
tidak tau kabar berita tentang Afif maupun Nancy. Mereka sama sekali tidak
berkomunikasi dan Satria terlalu malu untuk menghubungi mereka duluan. Apa
tanggapan Afif? Nancy? Kecewakah mereka mempunyai teman seperti gua? Satria hanya bisa menebak
nebak.Tapi jika dilihat dari kenyataanya, Satria tau jawabannya. Jika Afif juga
mempunyai perasaan yang sama dengannya, pasti sudah dari dulu Afif
menghubunginya. Namun apa? Tidak ada kabar sama sekali dari mereka. Lagi lagi
Satria hanya bisa menghembuskan nafas secara perlahan.
“gua kangen kalian berdua”, guman
Satria tak jelas
Tok tok tok
Ketukan pada pintu kamarnya membuat
Satria tersadar kembali ke dunia nyata. Tadinya Satria ingin
membiarkan saja ketukan itu hingga berlalu. Namun sepertinya sang pengetuk
pintu tak kehilangan kesabaran. Selama 10 menit sang pengetuk masih saja gigih
mengetuk pintu kamar Satria. Dengan sedikit malas, Satria membuka pintu
kamarnya.
“Nancy?”, keterkejutan Satria tidak
dapat disembunyikan. Melihat Nancy sekarang benar benar membuatnya sedikit
surprised. Ingin rasanya Satria memeluk sahabat yang sudah 3 bulan tidak pernah
ketemu.
“hehehe, tadi mang Rudi langsung
nyuruh gua masuk”, kata Nancy sambil masuk kedalam kamar Satria. Dulu memang
itu kebiasaan Nancy. Sambil
sedikit mengamati kamar Satria, Nancy duduk di ranjang tempat tidur Satria.
“lu? Ada angin apa?”
“kenapa lu menghilang Sat?”
“gua? Menghilang? Bukannya lu yang
kaga ada kabar?”, Satria tak ingin disalahkan karena dirinya yang tidak pernah
menghubungi mereka, bahkan mengganti nomor handphonenya.
“Afif sakit. Kaga mau makan. Badannya sekarang kurus,
jarang mandi. Pokoknya
berantakan banget”, Nancy sedikit berlebihan menjelaskan keadaan Afif yang
sekarang.
“lu serius?”
“serius banget! Kenapa bisa
kejadian? Lu
tau? Karena ada seorang lelaki pengecut yang bahkan tidak bisa menyatakan
perasaannya sehingga membuat lelaki pujaannya gila parah”
“kaga segampang yang lu pikir Nan,
gua itu laki laki. Afif juga laki laki!! Cinta gua tu keganjilan?!”, Satria
mengajukan protes. Bagaimana Nancy bisa menggampangkan dirinya untuk menyatakan
perasaannya pada Afif? Itu
namanya bunuh diri.
“apa 3 tahun itu belum bisa membuat
lu mengenal Afif?”, perkataan Nancy barusan membuat pikiran Satria
berpetualang. Afif selalu membiarkannya bermanja manja dengannya. Selalu memperhatikan
kesehatan dirinya. Apakah
semua perhatian itu ada artinya untuk Afif? Satria tidak berani
menebak nebak.
“temui dia Sat, sebelum lu tidak
bisa menemui Afif untuk selamanya”, bakat Nancy yang selalu bisa mendramatisis
keadaan berguna disini.
“thanks Nan, gua pergi dulu”, Satria
langsung berlalu. Nancy hanya bisa tersenyum lemah.
“gua bahagia kalau lu bahagia Sat”,
guman Nancy berlahan.
***
Tanpa permisi, Satria langsung masuk
ke dalam rumah milik Afif. Mencarinya
kesana kemari dengan panik. Lalu
menemukan Afif yang sedang berkutat di dapur dengan panci dan wajan.
“Fif?Lu? Kok sehat sehat aja?”, yang
ditanya justru malah terkejut.
“Sat? Sejak kapan lu disini? Kata
Nancy lu mau dateng jam 8 malam. Emang gua sehat sehat aja”, Satria benar benar
mengutuk Nancy dalam hatinya. Sejak
kapan itu anak belajar menjadi mak comblang?
“Fif, emm gua permisi dulu ya?
Kirain gua lu lagi sakit”, langkah Satria tertahan saat mendengar pengakuan Afif.
“lu kaga mau denger jawaban gua?”
“jawaban apaan ya?”, sebisa mungkin
Satria mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
“gua kaget waktu lu bilang lu cinta
sama gua. Berhari hari sejak pengakuan lu itu gua berpikir dan gua teringat
banyak hal, kenangan di antara kita berdua. Dan lu tau? Orang yang sangat gua
rindukan selama 3 bulan terakhir ini? Orang itu selalu meluk gua saat kita
tidur bareng. Kadang
kadang suka nyungsep di antara lengan gua. Kalau sedang sakit
manjanya minta ampun, hanya mau makan kalau gua yang masakin. Ternyata gua
kangen sama masa masa itu. Sekarang gua Cuma berpikir, bisa kaga gua mengalami
lagi masa masa itu? Dengan orang yang sama?”, Satria langsung memeluk Afif.
Mencurahkan perasaan yang selama ini hanya bisa dipendamnya.
“gua mau. Gua sayang sama lu”, Afif
membalas pelukan Satria dengan erat.
“gua masih harus banyak belajar Sat,
tapi sekarang yang gua mau hanya lu. Disini, di hati gua”
Ini bukanlah akhir, tapi sebuah
awal. Di depan sana masih banyak yang akan mereka hadapi. Keluarga, teman
teman, masyarakat dan juga norma norma yang berlaku. Tapi semua itu sekarang
belum mereka pikirkan. Disini,
mereka berdua saling mencintai dan mencoba untuk menghadapi segalanya.
Pemikiran yang naïf memang, tapi hampir semua pasangan yang sedang di mabuk
cinta rata rata mempunyai pikiran yang sama. Bahwa mereka bisa menghadapi
dunia. Sejauh
apakah hubungan mereka bisa bertahan? Hanya waktu yang bisa menjawab.
The End
Ini adalah cerpen pertamaku
Berantakan? Iya!!
Oleh karena itu aku mengharapkan
kritik kalian
Terima kasih
Wish you all the best guys
I love you
Ardhinansa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.