Rafky masih menyunggingkan senyum
mesumnya sambil menghampiriku yang sudah rebahan diatas ranjang.Tubuh polosnya
yang sudah tidak tertutupi sehelai benangpun memperlihatkan kejantanannya. Lalu tanpa sungkan
sungkan Rafky menciumku. Ciuman
yang sangat dalam sambil mengarahkan tanganku untuk membelai kejantanannya yang
sudah tegak mengacung. Sedangkan
tangan lainnya berusaha menelanjangiku. Kini aku tak ingin
pasrah, ingat? Aku sama sekali belum pernah ‘menembak’ Rafky. Dia melulu yang
selalu menembakku. Kali ini ceritanya lain!! Sambil menyeringai licik aku
membalikkan tubuh Rafky agar dibawahku.
Tok tok tok
“Ri, lu didalam kan? Gua mau
ngomong!!”, shit!! Kenapa kalau jatahku yang jadi top selalu ada gangguan?
Dengan lesu aku menyingkir dari atas tubuh Rafky. Rafky mengenakan celana
pendeknya sekenanya langsung menuju pintu.
“kenapa An?”, tanya Rafky begitu
membuka pintu kamarnya. Sepertinya Andi bisa mengambil kesimpulan tanpa harus
aku koar koar jika aku baru saja menghabiskan waktu yang sangat luar biasa
dengan saudara tirinya. Bibirku
bengkak akibat lumatan Rafky, pakaianku berantakan. Jadi apa yang bisa Andi
simpulkan?
Apakah Andi berpikir bahwa aku baru
saja disiksa oleh Rafky? Disetrika
mungkin? Disetrika
dengan lidah Rafky maksudku. Atau
aku nampak seperti anak perawan yang habis diperkosa oleh berandalan? Sudahlah, yang pasti
wajah Andi sedikit memucat melihat keadaanku. Cemburukah? Atau prihatin? Aku kurang yakin.
“gua mau ngomong sebentar bisa?”, tanya Andi sambil melirikku sekilas.
“okay, bentar ya yank”, kata Rafky
sambil menekankan kata ‘yank’ saat berbicara denganku. Aku hanya mengangguk. Setelah Rafky keluar
dengan Andi, aku memutuskan untuk merapikan bajuku lagi. Beberapa kancing
seragamku copot, kejadian ini sudah sering terjadi. Aku yakin, ibuku pasti bertanya
tanya kenapa baju seragamku kancingnya selalu saja copot. Mudah mudahan tidak
ada didalam benak ibuku jika anak lelakinya ini sering ditelanjangi sedikit
paksa –diluar fakta bahwa aku sangat menyukai ditelanjangi oleh RAFKY tentunya-
oleh seseorang. Aku
merebahkan tubuhku diatas ranjang Rafky, sedikit berpikir tentang masa depanku.
Apakah aku akan pacaran selamanya dengan Rafky? Bagaimana jika aku nantinya
harus menikah? Bisakah
aku terangsang nantinya? Ya Tuhan, pusing sekali aku memikirkan masa yang akan
datang.
“lama ya?”, tanya Rafky setelah dia
masuk dan menutup pintu. Aku hanya tersenyum ringan.
***
Semuanya berjalan normal dan cepat. Pada waktu UN kelas 3,
atau detik detik pengumuman kelulusan. Aku memang tidak lagi menduduki
posisi pertama saat UN, namun setidaknya aku masih masuk dalam 20 besar. Aku diurutan 20 untuk
lebih jelasnya. Mungkin
kebanyakan pacaran. Hubunganku
dan Rafky juga berjalan sewajarnya. Hingga sekarang aku bahkan tidak tahu
apakah Rehan sudah tahu jika aku adalah kekasih Rafky atau dia belom tahu sama
sekali. Yang jelas, Rehan beberapa kali meminta bantuanku untuk mendekatkan
dirinya dengan Rafky. Bodoh
sekali dia, mana aku mau coba?
Aku kelas 4 sekarang. Di kelas 4 ini ada yang
bebeda. Semester
awal digunakan untuk prakerin sedangkan semester berikutnya digunakan untuk
fokus dengan uji kompetensi dan uji kejuruan. Aku mulai takut dengan apa yang
akan terjadi denganku dan Rafky setelah kita benar benar dinyatakan lulus dari
sekolah ini nanti. Bukan saja lulus UN. Namun sepertinya ketakutanku
dimulai dari sekarang saat pengumuman pembagian Prakerin. Aku, Andi, Reza dan
Anis prakerin disalah satu perusahaan minuman di Semarang. Kalian tahu Rafky
ditempatkan dimana? Kalimantan!! Disebuah perusahaan kelapa sawit. Aku nyaris
histeris!! Selama 6 bulan aku tidak akan ada kontak dengannya. Apa yang bisa
aku lakukan coba? Memohon kepada Pak Kuwat Widodo agar aku dan Rafky disatukan
dalam satu tempat prakerin karena kita adalah sepasang kekasih? Kalau begitu, tampar saja
aku. Itu sama saja dengan bunuh diri.
“lu berangkat kapan?”, tanya Rafky.
Tangan kanannya sibuk mengaduk aduk sop buah yang ada dihadapannya.
“minggu depan. Lu?”, miris sekali
aku bertanya jika mengingat bahwa tidak ada sebulan lagi kita akan terpisah
jarak dan ruang.
“9 hari lagi”, Rafky tersenyum
menatapku.
“gua mau ngajak lu kesuatu tempat,
mau?”. Sambung Rafky kemudian. Aku
hanya mengangguk.
Aku diam saja tidak bertanya saat
Rafky membawaku ke jalanan yang tidak pernah kukenali bahkan aku tidak tahu ada
jalan semacam ini di kota kelahiranku sendiri selama 18 tahun usiaku. Cukup lama perjalanan
yang kami tempuh dan cukup sukses membuat pantatku panas. Rafky masuk kedalam jalan
sepetak. Sedikit
memaksa dengan motornya. Aku
hanya pasrah, bahkan beberapa kali ranting pepohonan mengenaiku. Dengan tiba tiba Rafky
memberhentikan motornya.
“look”, aku membuka mataku yang
sedari terpejam dan berlindung dibalik punggung tegap Rafky. Ada sungai jernih
yang mengalir, pepohonan yang sangat rindang dengan persawahan diatasnya.
“wow”
“gua nemuin tempat ini beberapa
waktu yang lalu, ini di daerah kledung yank”, entah kenapa rasanya aku ingin
menangis. Membayangkan bahwa punggung ini tidak bisa aku peluk untuk waktu yang
sangat lama. Bahwa tidak akan ada
lagi yang menjahiliku untuk waktu 6 bulan ke depan.
“turun”, kata Rafky singkat. Aku
tersenyum tertahan. Pacar
terjutekku. Muhammad Rafky Ulinnuha. Aku turun dari atas motor lalu berjalan
perlahan menuju sebuah bongkahan batu dan duduk disana. Tidak berapa lama,
Rafky menyusul duduk disampingku.
“kalau kita pulang prakerin nanti,
hubungan kita genap 3 tahun”, perkataan Rafky barusan membuatku meringis.
Ternyata sudah sangat lama waktu yang aku habiskan bersama Rafky.
“gua gak bisa janji bisa menggenapi
waktu 3 tahun itu yank”, Rafky mengatakannya dengan perlahan namun aku masih
dapat mendengarnya dan tercekat karenanya.
“maksud lu Ri?”
“kita bakal terpisah lama”
“6 bulan itu sebentar”, potongku
cepat. Bagaimana mungkin Rafky berpikiran bahwa mungkin akan memutuskan
hubungan ini?
“oh ya? Buat gua 6 bulan itu sangat
lama. Cukup
lama untuk membangkitkan kembali perasaan lu terhadap Andi”, deg. Aku baru
ingat kalau aku dan Andi satu tempat prakerin.
“kalian bakal satu kost, satu tempat
kerja. Tiap hari ketemu, apa yang bisa gua lakukan karena gua berada di pulau
yang berbeda?”, aku memeluknya. Perpisahan ini ternyata juga menyiksanya.
“mungkin lu bakalan janji kalau lu
kaga akan berpaling, namun perasaan manusia siapa yang tau? Gua gak pengen naïf
Nan”
“jadi?”, tanyaku takut takut. Rafky
mengeluarkan sesuatu dari saku kantongnya. 2 buah kalung. Rafky mengulurkannya satu
untukku, ada huruf R di tengah tengahnya.
“saat lu pulang prakerin nanti dan
kalung itu masih lu pakai, berarti lu masih jadi milik gua. Tapi kalau kalung
itu gak lu pakai, berarti gua harus relain lu. Hal yang sama juga berlaku buat
gua”, kata Rafky sambil memakai kalung yang satunya di lehernya. Ada huruf A
disana. Aku juga memakai kalungku, tanpa menyadari bahwa air mataku turun. Membayangkan saat saat
aku jatuh bangun mengejar Rafky. Lalu jatuh kepelukan Andi karena aku
begitu tak sabaran. Sekarang?
Memang perpisahan ini sementara, namun jika ternyata Rafky menemukan sosok lain
di prakerin ini yang bisa mengganti posisiku di hatinya. Memikirkan itu membuat
hatiku sedikit terkoyak, merelakan Rafky untuk orang lain? Bisakah aku?
“hi, you okay?”
“pulang”, kataku tertahan. Rasanya
Rafky jahat sekali bisa merelakan aku begitu saja seandainya waktu pulang
prakerin nanti kalung itu tak aku kenakan. Rasanya ini seperti
perpisahan yang direncanakan. Entahlah,
aku kacau sekali. Bahkan
melucu pun aku tak sempat. Rasanya
aku ingin menghabiskan sisa waktu yang ada sebelum keberangkatan prakerin ini
dengan sebaik baiknya.
“thanks”, kataku setelah Rafky benar
benar mengabulkan permintaanku dengan membawaku pulang. Rafky tersenyum manis,
dan itu membuat aku tidak tahan. Aku ingin memeluknya.
“gua pulang ya?”, kata Rafky
berpamitan. Aku memegang lengannya sebelum Rafky sempat menstater motornya.
“nginep disini aja gimana?”, Rafky
agak tertegun mendengar permintaanku. Selama ini Rafky sudah sering untuk
meminta ijin supaya boleh menginap di rumahku namun aku selalu menolak. Dan sekarang malah gantian
aku yang memintanya dengan sukarela. Aku berpikir bahwa saat ini aku
hanya ingin menghabiskan waktuku sebanyak mungkin dengan Rafky.
“yakin?”, kata Rafky sambil
menatapku tajam. Aku hanya mengangguk. Tinggal 7 hari lagi sebelum aku
berangkat prakerin. Itu waktu kotornya, belum dikurangi waktu tidur dan waktu
waktu lain yang tidak dihabiskan bersama Rafky. Setelah berkata kepada ibuku
bahwa Rafky akan menginap aku langsung mengajak Rafky ke kamarku.
“kunci kamarnya udah bener kan
yank?”
“he em, udah dibenerin lama kok”,
kataku menjawab pertanyaan Rafky barusan. Aku membuka almariku memilih milih
baju yang mungkin cocok untuk dipakai Rafky. Namun aku harus kecewa,
ukuran tubuh Rafky tidak hanya lebih tinggi dariku tapi juga lebih besar.
Ternyata degradasi daya tangkapku mulai menua di usia semuda ini. Aku mengumpat
pelan.
“kenapa yank?”
“gua punya kabar buruk buat lu dan
kabar baek buat gua”, Rafky mengkerutkan keningnya sambil menatapku lama.
“what?”
“gua gak punya baju ganti buat lu”,
Rafky sukses meringis.
“menurut gua itu kabar baek juga
buat gua. Gua suka kok tidur telanjang sambil meluk lu”, wajahku sukses merona.
Membayangkan bahwa aku nanti akan dipeluk oleh tubuh telanjang Rafky sudah
membangkitkan satu organ dibawah pusarku. Aku mengganti seragamku
dengan boxer dan kaos oblong, sengaja melewatkan makan malam karena tadi sudah
makan sebelum pulang (adakah yang bisa membuat kalimat ini lebih baik?). Setelah mencuci wajahku,
aku segera merebahkan diri.
“good night”, kataku sambil berusaha
tidak menatap Rafky.
“ya, met bobo my prince”, aku
tersenyum. Akhir akhir ini memang Rafky semakin romantic. Aku tidur memunggungi
Rafky dan sedari tadi berusaha tidak melihat Rafky walaupun aku dengan sangat
jelas mendengarkan suara suara seperti sedang melepas baju. Aku merasakannya saat
Rafky naik ke ranjang dan tangannya memelukku. Menarikku untuk menempel
di tubuhnya dan menarik selimut untuk menutupi tubuhku dan tubuhnya. Aku juga merasakannya,
sangat jelas terasa jika Rafky tidak mengenakan sehelai benangpun.
“belum bobo ya?”, Rafky agak
mendesah di bibirku. Aku hanya diam, pura pura tertidur.
“kalau uda bobo, gua perkosa ya?”,
aku masih mempertahankan sikap –gua- ini-sudah-tidur-berisik-amat-sih-lu.
Tangan Rafky secara demonstratif
membelai belai bokongku lalu secara perlahan menurunkan boxerku. Setelah
sukses melorotkan boxerku sampai selutut, tangan Rafky menelusup di balik kaos
oblongku.Tangannya sekarang dengan sangat lembut membelai belai putingku. Aku sudah tidak tahan,
Rafky benar benar menggodaku.
“stop, gua lom tidur Ri!!”, kataku
sambil membalikkan tubuhku menghadap Rafky. Rafky menyentil hidungku pelan.
“enak nih!! Memperkosa orang yang
sadar lebih asik daripada yang lagi tidur”, Rafky berkata sambil memegang kedua
tanganku lalu diletakkan diatas kepalaku.
“apaan?”
“sst, coba meronta”, Rafky
sepertinya bakal menggila. Satu
tangannya tetap menahan kedua tanganku agar tetap berada diatas kepalaku,
sedangkan tangan yang lainnya menyingkap kaosku. Kepala Rafky menunduk,
melumat, menghisap pelan, lidahnya menjilat jilat putingku. Aku hanya bisa mengerang
tertahan. Aku
benar benar terangsang parah. Rafky
melepaskan tanganku. Dan
tiba tiba langsung mengambil posisi tidur membelakangiku. Aku agak terkejut untuk
sesaat. Lalu
kemudian aku membalikkan tubuh Rafky agar terlentang, duduk diatas tubuhnya dan
mulai aksiku.
“lu harus tanggung jawab”
“gua kaga keberatan kalau lu yang
minta”, sekarang gentian aku yang tersenyum mesum.
“you make me horny babe”, kataku
sambil berbisik di telinganya.
***
Hari ini aku sedang meninjau lokasi
tempat prakerinku diantar oleh om Bimo bersama Andi dan Reza. Aku sedari tadi
diam, hanya bersuara saat ditanya oleh om Bimo. Rasanya begitu malas
sekali harus ke Semarang. Seharusnya
aku bisa menghabiskan waktu yang tinggal sedikit ini bersama Rafky. Bukannya menjelajah tidak
jelas seperti ini. Semarang
panas gila, hal ini aku tahu setelah keluar dari mobil. Kedatangan kita
berempat (sebentar aku hitung dulu, aku, Andi, Reza dan om Bimo. Bener kan?
Ternyata otakku masih bisa berfungsi), sudah disambut oleh Mas Arif senior kita
yang sudah menjabat sebagai Section Head Laboratory di perusahaan ini. Andi yang sudah sering
kontak dengan mas Arif, guna meminta bantuannya. Mas Arif sebenarnya
memiliki wajah yang menarik, namun aku kurang sreg dengan tingkah sok tahunya. Yaelah, dia memang
secthead, tapi tidak usah segitunya juga kali mengumbar kesuksesannya. Norak!!
Atau jangan jangan suasana hatiku saja yang sedang tidak bagus, tak tahulah.
“saya udah nyari tempat kostnya,
tapi kalau kalian ntar tidak cocok kita bisa cari lagi”, aku hanya diam.
Melangkah mengikuti mas Arif yang berjalan didepan. Kira kira 10 menit kita
sampai di sebuah rumah lumayan mewah. Mas Arif mempersilakan aku dan rombongan
masuk (rombongan? Please deh Nan!! Kaga punya bahan buat melucu ya?).Ternyata
ini adalah tempat kost yang tadi diceritakan mas Arif. Sepintas, ini nampak
seperti rumah mewah biasa. Ada
5 kamar dan 4 kamar sudah ditempati. Aku, Andi dan Reza akan menempati satu
kamar di rumah ini. Rumah ini memang khusus untuk tempat kost, sedangkan
pemiliknya ada di rumah yang berbeda. Anis sendiri bakalan tinggal di
tempat pamannya.
“ini kamarnya, jadi saya pikir muat
untuk ditempati kalian bertiga”, aku memandang berkeliling ke seluruh ruangan.
Wow, itu yang bisa aku ucapkan. Ada dua tempat tidur besar. Aku rasa cukup untuk
tidur 5 orang, meja kecil dan almari. Walaupun almarinya biasa saja, namun
kamar ini sudah sangat wow jika mengingat harga sewanya yang hanya 200 ribu
rupiah per bulan. Kamar
mandi ada 2 buah diluar. Dapur
dan ruang tamu.
“dari sini Cuma jalan 5 menitan ke
pabrik”, jelas mas Arif lagi. Aku masih diam, sekarang aku malah berpikir
kenapa sang pemilik kost tidak ada disini? Menemani kita mengobrak abrik tempat
kostnya? Mengapa
malah mas Arif yang menemani? Jangan
jangan ini kost kostan milik mas Arif lagi. Aku harus bersyukur
karena pabrik ini ternyata tidak berada di area perindustrian.
“bagaimana?”, tanya mas Arif. Om
Bimo memandangku, Reza dan Andi bergantian. Aku mengangguk, begitu
juga dengan Reza dan Andi. Aku
ingin cepat cepat pulang.
“kita ambil mas, oh ya, ini uang
sewa untuk satu bulan ke depan”, kata om Bimo sambil memberikan 2 lembar uang
seratus ribu. Setelah kesepakatan yang sudah dicapai dan aku semakin kuat
menduga jika kost kostan ini memang milik mas Arif, buktinya om Bimo bayarnya
di mas Arif.
Sayangnya om Bimo tidak langsung
membawa kita pulang. Aku masih tetap diam, entah kenapa moodku sangat luar
biasa buruk.
“gimana kalau kita main main dulu di
simpang lima?”, aku memutar kedua bola mataku. Amplaz jauh lebih baik dari
simpang lima. Namun
aku tidak mungkin memisahkan diri dari mereka dan pulang sendiri. Itu option lebih buruk
dan terdengar sangat bodoh juga konyol. Kita jalan jalan sebentar
dan kemudian memutuskan untuk menonton Harry Potter and The Deathly Hollow part
1. Awalnya
aku kurang setuju dengan ide Reza ini, tapi karena aku menyukai Harry Potter,
maka ide ini dapat aku maklumi.
Aku pulang saat jarum jam
menunjukkan pukul tujuh malam. Dan dibuat sedikit terkejut saat melihat Rafky
ada di kamarku.
“aku menginap disini”, kata kata
Rafky sedikit banyak membuatku terkejut. Pasalnya, aku kurang tahu jika Rafky
sudah menungguku. Dia sama sekali tidak mengatakannya, dan satu lagi dia akan
menginap? Apa yang dapat aku katakan? Aku sangat bahagia.
“dua hari lagi lu bakal berangkat”,
aku mengerti perasaanya karena aku juga merasakannya. Perpisahan ini begitu
berat walau hanya 6 bulan. Aku
di Semarang sedangkan Rafky di Kalimantan. Kenapa Rafky tidak dapat
tempat yang dekat saja, Jogja misalnya? Kita kan masih ada kemungkinan bertemu.
Aku menghampirinya diatas ranjang dan berbaring disampingnya.
“everything will be fine”, kataku
sedikit berbisik. Tanpa tahu jika prakerin ini akan sedikit menjadi mimpi buruk
di dalam hidupku.
Tbc. . .
Search twitter,
facebook, manjam, skype atau apapun
dengan ID Ardhinansa. Pasti ketemu. See you.
Ardhinansa Adiatama.
wooohooo! makin kesini makin seruuu
BalasHapusbtw, mereka tinggal di kota mana sih?
di kota kelahiranku donk
Hapus