FOLLOW ME

Kamis, 04 Juli 2013

CERITAKU 15


Sepanjang perjalanan aku sama sekali tidak berniat untuk mengumbar senyum. Beberapa kali tangan Rafky kebelakang dan menggelitiki pinggangku namun tak aku gubris. Bisa dikatakan aku sangat kesal. Saat aku meminta penjelasan dari Rafky soal percakapan ‘aneh’nya dengan Rehan, Rafky hanya nyengir. Mungkin minta digampar.
“hei, cemberut aja”, Rafky berkata lewat kaca spion. Aku melengos kekanan, seolah olah aku sedang menemukan sesuatu yang menarik disana. Cowok cakep telanjang misalnya, terlalu muluk.
“oey”, Rafky sekarang berusaha menggelitiki pinggangku lagi.
“masih pengen lihat gua besok kan?”
“ya iya lah!!”
“kalo gitu fokus sama jalan!!”, melalui kaca spion aku bisa melihat Rafky tergelak. Dia pikir ini lelucon ya? Tunggu saja sampai aku turun dari motor nanti!! Rafky kini benar benar menepati janjinya untuk fokus pada jalan. Bahkan sepertinya terlalu fokus sehingga sedikit mengabaikan aku yang ada dibelakangnya. Shit!! Apa sih mauku? Sudahlah, mungkin bulananku sebentar lagi datang. Jangan kaget, aku hanya bercanda. Rafky tidak langsung membawaku pulang, seperti biasa kita nongkrong dulu di alun alun. Sebelum motor Rafky benar benar berhenti aku sudah turun dan untuk itu aku harus mendapatkan satu tatapan cantik dari Rafky. Aku mengabaikannya, ingat? Aku masih sangat kesal.
“siomay 2 bang”, kataku pada si abang penjual siomay
“wuidih, udah dipesenin nih”. Aku menoleh ke arah Rafky dengan pandangan, halo-anda-berbicara-dengan-siapa-ya?.
“pesen sendiri”, aku menegaskan dengan mulutku.
“beuh, ngambeg. Kayak anak kecil”. Rasanya aku ingin menyumpalkan abang abang yang sedang menjaga stand siomay ke mulut Rafky. Coba tebak siapa yang dulu ngambek hanya gara gara teleponnya di angkat Andi? Bahkan bisa dibilang ngambek parah? Dan sekarang dia mengatakan aku kekanakan? Salut!! Emang susah melihat lubang pantat sendiri. Maaf, aku kurang mengetahui cara yang agak halus untuk menyampaikannya. Aku sedang kesal, jadi kata kataku agak kurang tertata.
Semalam Rehan minta ditemani main basket”, aku memutar kedua bola mataku. Alasan konyol dan parahnya, memang Rafky menganggapku sebodoh itu hingga bisa bisanya dia membuat alasan konyol itu? Bermain basket di malam hari? Sama genderuwo?
“dia baru saja patah hati”, kali ini aku hampir tersedak siomay yang baru saja aku kunyah. Patah hati? Bukannya Rehan menyukai Rafky? Berarti ada 2 kemungkinan.
1.   Rehan sudah mengetahui hubunganku dengan Rafky sehingga dia dengan sendirinya mendeklarasikan bahwa dirinya patah hati. Mungkin Rehan juga sadar bahwa dia tidak mungkin bersaing denganku. Pembaca, tolong tampar aku. Sepertinya siomay ini meracuniku.
2.   Rehan sudah mempunyai gebetan baru dan dia tidak cerita padaku (? Halo Nansa? Lu siapanya Rehan?). Namun ternyata gebetannya itu sudah mempunyai pacar dan Rehan patah hati? Kemungkinan ini sangat kecil, bagaimana mungkin dalam waktu singkat Rehan sudah berpaling hati? Berarti jika kemungkinan yang pertama yang terlihat lebih meyakinkan, ini berbahaya. Bagaimana mungkin aku bisa mengalahkan cowok semanis Rehan dan jago basket?

“hei, bengong aja”, aku kaget dengan tepukan tangan Rafky di telapak tanganku. Dan dibuat lebih kaget lagi ketika melihat satu mangkok siomayku sudah raib. Dan satu mangkok lagi sedang asyik diembat Rafky.
“kok?”
“hhehehe, gua kira lu kaga doyan. Makannya gua makan. Kan mubazir tu”, sumpah aku gondok setengah gila. Ada apa sih dengan Rafky hari ini? Otaknya masih tertinggal di kloset kah?Atau ada salah satu syarafnya yang putus? Kelakuannya aneh sekali.
“bang siomaynya satu lagi, ada yang ngambeg nih”, si abang penjual siomay hanya tersenyum mendengar ucapan Rafky. Dasar bangsat!! Sekarang dia malah membuat wajahku merona. Namun saat pesanan siomay datang aku langsung mengembatnya, tidak ada kata join untuk ketiga kalinya. Aku makan dengan santai dan sesekali mengamati Rafky yang sedang asyik dengan ponselnya.
“udah, gua udah kenyang kok”, kata Rafky begitu tatapannya bertemu dengan tatapanku. Aku menghembuskan nafasku perlahan.
“gua pengen kita saling jujur Raf”, Rafky mengalihkan perhatiannya sebentar dari ponselnya. Melihatku dengan pandangan bertanya tanya.
“tentang semalam bersama Rehan”, kataku menjelaskan.
“gua udah bilang kita Cuma maen basket. Gak lebih”, okay, kali ini aku mencoba percaya.Walaupun sangat terdengar kurang berbobot dan kurang dapat dipercaya secara logika, aku mencoba untuk percaya. Kata orang, saling percaya itu bagus untuk kelanggengan sebuah hubungan. Tapi aku masih tidak habis pikir, maksutku halo? Bermain basket malam malam? Ya Tuhan, tidakkah ada alasan lain? Main petak umpet mungkin. Itu terdengar lebih bisa dipertanggungjawabkan. Sudahlah, mungkin jiwaku sedang kelelahan. Setelah puas nongkrong di alun alun, Rafky segera membawaku pulang. Rafky tidak mampir, dia langsung pulang.
Aku menemukan Reno yang sedang terpaku di ruang tamu.
“kenapa lu Ren?”
“ibu bang”, kata kata itu lirih diucapkan oleh Reno.
“hmm? Ibu? Kenapa sama ibu?”, aku mengkerutkan keningku sambil duduk disamping Reno.
“sadar gak sih lu bang?”, aku menggeleng.
“ibu itu akhir akhir ini agak aneh”, lanjut Reno tertahan.
“aneh gimana? Biasa aja kalo gua lihat kok”
“iya!! Lu mah kebanyakan maen sekarang!! Jadi kaga tau kondisi rumah. Males gua ngomong sama lu sekarang!!”, aku terpaku dalam diam. Apa yang salah dengan diriku? Aku merasa biasa saja. Dan tentang ibuku, aku juga merasa bahwa ibuku biasa biasa saja dan baik baik saja tentunya. Mungkin Reno sedang galau. Anak anak ababil seperti dia memang akan mengalami fase seperti ini. Fase kebanyakan galau. Tanpa terlalu banyak memikirkan apa yang tadi diucapkan Reno aku berlalu menuju kamarku. Mengganti seragamku dengan celana pendek dan kaos tanpa lengan kemudian segera bergelung dengan guling dan kasurku. Perlu kalian ketahui, tidur siang itu sangat bagus untuk kesehatan kulit. Sudahlah, itu hanya alasanku jika ditanyai oleh ibuku kenapa aku kebanyakan tidur siang. Maksutku mungkin kalian lebih cerdas dari ibuku jadi tidak mungkin kalian serta merta percaya dengan alasanku itu. Pikiranku benar benar konslet.
Aku tidak tau ini jam berapa, namun aku merasakannya. Ada orang yang menggoyang goyangkan tubuhku. Apakah didalam pandangannya aku nampak seperti penyanyi dangdut sehingga aku perlu digoyang goyang? Aku menggeliat tertahan.
“bang, lu bisa bangun kaga sih?! Pelor amat yak!”, mungkin jika aku dalam keadaan sadar aku bisa tersinggung berat mendengar kata kata yang diucapkan Reno barusan. Namun untungnya aku masih setengah sadar.
“bang!! Dipanggil ibu tuh!!”, kali ini radarku bekerja. Dipanggil ibu? Jarang jarang banget ibu memanggilku. I mean, kalau emang ibu butuh aku biasanya beliau mendatangi aku sendiri. Dan biasanya, walaupun ibuku kurang suka dengan agenda tidur siangku yang bisa mencapai jam 6 sore tapi ibuku tidak pernah mengusik tidur siangku. Dan kali ini kedua hal itu dilanggar.
Pertama, ibuku menyuruh Reno yang membangunkanku. Hali ini belum pernah terjadi selama 17 tahun kehidupanku. Maafkan aku terlalu berlebihan. Kedua, ibuku sudah melanggar kode etiknya sendiri dengan mengusik tidur siang anak sulungnya. Berarti mungkin ini adalah masalah yang sangat penting. Dengan malas malasan aku melangkahkan kakiku ke ruang tengah. Disana sudah ada ibuku yang tengah minum teh.
“ada apa sih bu?”, tanyaku begitu duduk tepat didepan ibuku.
“temani ibu ke rumah ayahmu”, aku sedikit tersentak. Sejak kapan ibuku mau menemui ayahku dengan suka rela? Menemui ayahku sama saja dengan menemui Sri Indarwati, istri baru ayahku, ibu tiriku dan tentu saja musuh ibuku. Itu logikanya.
“hha? Yakin? Ibu lagi gak sakit kan?”, ibuku langsung menoleh kearahku dengan tatapan suzannanya. Aku langsung menciut.
“mau atau tidak?”, tanya ibuku. Aku mengangguk. Karena jika aku jawab tidak itu hanya akan mengundang perdebatan dengan ibuku. Dan berdebat dengan ibuku adalah hal yang paling tidak bijaksana. Mengapa? Karena nanti akan sangat berpengaruh terhadap uang jajanku.
“iya, Reno kaga diajak?”
“Reno jaga rumah. Ayok!! Kamu gak mandi kan?”, aku menggeleng. Untuk pergi ke rumah ayahku aku tidak perlu mandi. Maksutku hanya cuci muka saja sudah cukup. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah ayahku. Setengah jam lebih sedikit. Sampai didepan gerbang aku dan ibuku disambut oleh mbok Tum yang kebetulan baru pulang dari belanja di warung.
“lho Ibu sama den Nansa. Kebetulan nih, ayo masuk masuk Bu, den”. Ibuku tersenyum sumringah lalu langsung mengajak mbok Tum ngobrol sambil jalan. Aku hanya bisa geleng geleng kepala, mereka seperti teman lama yang bertemu kembali. Beberapa kali ibuku tertawa ngikik mendengar celotehan mbok Tum. Hmm, dasar ibu ibu. Kalau sudah ketemu rumpi aja gawenya.
Sekarang disinilah aku. Ada ibuku, ayahku dan Sri Indarwati. Wajah mereka tegang, seakan akan aku adalah anak mereka yang kebetulan kepergok mencuri mangga di kebon sebelah. It’s suck!!
“ini soal kuliah kamu Nak”, kata Ayahku mengawali rapat penting ini. Karena jika kalian melihat sepintas, ini mirip dengan meeting penting tingkat dewa. Padahal? Hanya membahas tentang kuliahku. And come on?! Aku masih kelas 2!! Masih banyak waktu!!
“kan masih lama, 2 tahun lagi”, aku belum cerita ya kalau sekolahku ini beda dengan SMK kebanyakan. Sekolahku 4 tahun, bukan 3 tahun pembelajaran.
“lha karena itu harus diomongin dari sekarang!! Ayah pengen kamu kuliah di Bogor saja. Atau Bandung”, aku nyaris histeris. Bogor? Bandung? Jauh amat yak? Kali ini aku sedikit kecewa dengan kota kelahiranku, kenapa dari dulu tidak pernah dibangun sebuah Universitas? Bahkan sampai sekarang?
“ambil kimia teknik atau bio teknik, biar selaras sama apa yang sudah kamu dapatkan disekolah”, kali ini ibuku yang unjuk bicara. Aduh, seenaknya saja sih mereka mengambil keputusan tentang masa depanku. Kimia teknik? Ya Tuhan, jangan menyiksaku. Bio teknik? Apakah hidupku masih kurang menderita sehingga mereka dengan suka rela mencemplungkan aku untuk terjun dalam fakultas bio teknik?
“bukannya teknik pangan lebih menjanjikan?”, bahkan Sri Indarwati ikut mengeluarkan pendapatnya. Aku geleng geleng kepala, bisa tidak jika kata teknik dihilangkan dalam fakultas yang harus aku ambil, emm 2 tahun yang akan datang?
“bagaimana nak?”
“Nansa masih belum kepikiran”, jawabku jujur. Dan jawabanku ini menimbulkan efek syok untuk mereka bertiga. Seolah olah mereka baru saja mendengarkan bahwa pulau jawa tenggelam atau gunung Sumbing meletus. Mungkin kebanyakan orang pintar sudah dari jauh jauh hari merencanakan masa depannya, sedangkan aku? Jujur saja, aku memang sama sekali belum kepikiran. Ada yang lebih penting dari itu, UN di kelas 3 mungkin? Atau Ujian Kejuruan di kelas 4. Belum lagi harus memikirkan Prakerin, lalu ada Uji Kompetensi. Dan keluargaku malah memikirkan kuliahku yang jelas jelas masih sangat lama.
“2 tahun itu berlalu sangat cepat lho”, aku memutar kedua bola mataku. 2 tahun bagiku masih lama. Cukup lama untuk membuat ayam tetangga beranak pinang.
“kamu itu harus mulai memikirkannya nak. Ini penting lho”, ayahku kembali memberiku sebuah nasehat. Jujur saja aku mulai bosan. Jadi Ibu kesini hanya untuk membicarakan kuliahku? Menyebalkan. Bahkan sampai rela bertemu Sri Indarwati? Pengorbanan yang terlalu berlebihan.
“sudah sudah, kita makan dulu saja”, tawar Sri Indarwati. Aku tersenyum, makan adalah suatu hal yang wajib dilakukan setelah aku begitu sangat ditekan oleh orang orang dewasa disekitarku tadi. Aku kehilangan banyak energi karena terlalu diforsir untuk berpikir. Emang tadi aku berpikir ya? Hhehe.
***


Aku masih memikirkan apa yang tadi dibicarakan oleh ibu dan ayahku tentang kuliahku. Kira kira Rafky bakal kuliah dimana ya? Masalahnya aku tidak seratus persen yakin jika jarak tidak akan menjadi masalah dalam hubunganku dengan Rafky nantinya. Dengan jarak yang dekat inipun Rafky terkadang masih bisa salah paham. Okay kalian tidak usah melotot begitu, aku juga sering ngambek kok. Aku masih belum tidur, mungkin efek tidur siang tadi yang keblablasan juga ikut berpengaruh. Ditengah tengah kekalutan pikiranku, kepala Reno tiba tiba nongol didepan pintu.
“belum molor lu bang?”, aku sedikit melotot kearah Reno. Namun percuma karena Reno termasuk salah satu orang yang sangat kebal muka.
“katanya lu lagi males ngomong ma gua?”, aku mengingatkankan kata katanya tadi siang.
“itu kan tadi siang bang, sekarang udah kaga berlaku. Gua mau curhat nih”, aku tetap diam tak bergeming dari tempat tidurku hingga Reno tiba tiba sudah ikutan rebahan disampingku.
“gua sedikit kecewa sama Nia”
“kenapa?”
“ya masak dia nolak gua? Padahal kalau gua lihat lihat dia sepertinya naksir sama gua”, aku membenarkan posisi tidurku menghadap Reno.
“lu nembak dia?”, Reno mengangguk.
“kapan?”
“tadi siang bang, sebelum abang pulang”, aku mengangguk angguk tanda mengerti. Jadi gara gara itu toh si Reno tadi siang seperti anak perempuan pertama kali dapat mens (kok gua kayaknya tahu banget ya rasanya? Sudahlah, inikan hanya sebuah cerita). Aku memang belum pernah merasakan rasanya ditolak, bukannya aku sombong tapi memang karena aku belom pernah menembak juga.
“gimana cerita sampai lu nembak dia?”, tanyaku penasaran. Ternyata adikku satu ini sudah tumbuh besar (sadar Nan, dia itu Cuma 2 tahun dibawah lu)
“gua kan tadi ke rumah Nia tu sehabis pulang sekolah”
“ngapain? Beli rujak eskrim?”, potongku cepat. Reno menatapku dengan pandangan tajam dan aku berusaha mengabaikannya.
“awalnya gua cuman ngeliat Nia dari luar aja bang, gua masih grogi”, heem. Apa dulu Rafky dan Andi juga grogi saat nembak aku? Patut aku tanyakan nih ntar.
“tapi gua trus mantebin hati, akhirnya gua ajak dia ngobrol”, hebat bener ni adik gua pake acara memantabkan hati segala. Kayak lagi mau kawinan aja. Maaf kawan, aku kan belom pernah rasanya menembak seseorang.
“trus? Lu ngomong apa sama dia?”
“mau gak lu jadi pacar gua?”, jawab Reno polos. Aku mengkernyitkan keningku, sedikit agak heran kenapa Nia menolak Reno. Setahuku Nia naksir gila gilaan sama Reno.
“trus Nia jawab apaan?”
“dia geleng geleng sambil senyum senyum trus masuk rumah”, aku sukses melongo.
“lu besok ke rumah dia lagi”
“hha? Ngapain bang? Malu kali gua udah ditolak!!”, Reno menjawab dengan muka memerah. Aku sedikit ngikik, pasalnya baru kali ini aku bisa melihat wajah Reno yang memerah. Jarang jarang plus langka banget.
“beliin gua rujak eskrim”, kataku singkat sambil merebahkan kembali tubuhku.
“buset dah, molor mulu kaga capek lu bang?”, eng ing eng, kembali dah sifat asli adek gua.
“kaga. Lebih capek dengerin curhatan lu. Capek hati!!”, Reno cemberut dan segera berlalu dari kamarku. Namun sebelum berlalu, Reno masih sempat menjitak kepalaku. Sontoloyo!!
***


Hari ini aku ingin menanyakan tentang rencana sekolah Rafky kedepan. Awalnya aku agak ragu, karena baru kali ini aku ingin ngobrol ‘serius’ dengan Rafky.
“Riri”, panggilku pelan. Aku harus membiasakan memanggil Rafky dengan sebutan Riri. Supaya ada kesan kalau aku adalah orang special bagi Rafky di mata orang lain. Walaupun mungkin mereka tidak mungkin menganggapku pacarnya Rafky namun setidaknya ada kesan dekat. Rafky mendongakkan kepalanya menatapku.
“apa yank?”, aku menatap matanya.
“udah ada rencana mau kuliah dimana?”, tanyaku perlahan. Walaupun aku sangat yakin bahwa Rafky belum memikirkannya.
Jogja, yang deket deket sini aja kan yank. Emang kenapa?”. Aku hanya nyengir kaga jelas. Jadi Rafky pun sudah memikirkannya? Apakah aku yang aneh? Karena sama sekali belum kepikiran?
“gak papa kok, mau ambil fakultas apa?”
“kimia teknik”, hadew. Ternyata!! Pacarku mengambil fakultas yang mengerikan. Aku heran, kenapa orang mau repot repot melibatkan hidupnya dengan kerumitan seperti kimia teknik? Tidak ada minat yang lebih menyenangkan untuk digaulikah? Melukis mungkin seperti Andi? Atau hukum biar bisa adu bacot? Sambil sedikit  membalik balikkan hukum yang sebenarnya? Sedikit curhat, aku heran dengan para lulusan hukum. Pengacara atau jaksa misalnya, seharusnya mereka lebih tahu tentang hukum tapi begitu bego menangani sebuah kasus. Maaf, hanya emosi rakyat jelata.
“kenapa sih nanyain itu?”, aku sedikit meringis. Rafky memilih Jogja, sedangkan aku akan berada di Bandung atau di Bogor. Haduh, bunuh saja aku!!
“gak papa, nanya aja”, Rafky tidak menggubris aku yang sedang dilanda galau setengah gila.
“yank coba lihat”, kata Rafky sambil menyodorkan layar ponselnya kearahku. Aku kaget setengah mati begitu melihat gambar yang terpampang di layar ponsel.
“punya kamu kan?”, pertanyaanku tadi dijawab cengiran oleh Rafky. Kemudian tanpa diduga Rafky memelukku.
“lagi pengen di isep”, bisik Rafky mesum tepat di telingaku. Ya Tuhan, ternyata pacarku sudah menjadi maniak!!
“mau gak? Lagi pengen nih”, aku antara mau dan tidak. Masalahnya, aku sedang gak mood saat ini. Daripada perkakasnya aku gigit ntar?
“lagi gak mood Ri”
“ya udah bentar”, Rafky melepaskan pelukannya lalu berdiri. Dan tanpa sungkan membuka semua pakaiannya didepanku. Kalau disuguhi pandangan seperti ini siapa yang tidak menjadi bergairah? Kejantanan Rafky sudah mengacung tegak.
“masih gak mau?”, aku tersenyum ringan.
“coba paksa aku”, kataku sedikit menggoda. Rafky kembali menyunggingkan senyum mesum.
“jangan salahkan aku sayang kalau nanti kamu jadi ketagihan”, kali ini aku yang tersenyum licik.
“mungkin justru itu yang aku inginkan”

Tbc. . .
Hhihihi
Maafkanlah aku
Di part ini aku menggila
Silahkan dikritik
Karena aku pun rasanya ingin mengkritik habis habisan part ini
I love you guys
Wish you all the best

Ardhinansa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.