Sepanjang perjalanan aku sama sekali
tidak berniat untuk mengumbar senyum. Beberapa kali tangan Rafky kebelakang dan
menggelitiki pinggangku namun tak aku gubris. Bisa dikatakan aku sangat
kesal. Saat
aku meminta penjelasan dari Rafky soal percakapan ‘aneh’nya dengan Rehan, Rafky
hanya nyengir. Mungkin
minta digampar.
“hei, cemberut aja”, Rafky berkata
lewat kaca spion. Aku melengos kekanan, seolah olah aku sedang menemukan
sesuatu yang menarik disana. Cowok
cakep telanjang misalnya, terlalu muluk.
“oey”, Rafky sekarang berusaha
menggelitiki pinggangku lagi.
“masih pengen lihat gua besok kan?”
“ya iya lah!!”
“kalo gitu fokus sama jalan!!”,
melalui kaca spion aku bisa melihat Rafky tergelak. Dia pikir ini lelucon ya?
Tunggu saja sampai aku turun dari motor nanti!! Rafky kini benar benar menepati
janjinya untuk fokus pada jalan. Bahkan sepertinya terlalu fokus
sehingga sedikit mengabaikan aku yang ada dibelakangnya. Shit!! Apa sih mauku?
Sudahlah, mungkin bulananku sebentar lagi datang. Jangan kaget, aku hanya
bercanda. Rafky
tidak langsung membawaku pulang, seperti biasa kita nongkrong dulu di alun
alun. Sebelum
motor Rafky benar benar berhenti aku sudah turun dan untuk itu aku harus
mendapatkan satu tatapan cantik dari Rafky. Aku mengabaikannya,
ingat? Aku
masih sangat kesal.
“siomay 2 bang”, kataku pada si
abang penjual siomay
“wuidih, udah dipesenin nih”. Aku
menoleh ke arah Rafky dengan pandangan, halo-anda-berbicara-dengan-siapa-ya?.
“pesen sendiri”, aku menegaskan
dengan mulutku.
“beuh, ngambeg. Kayak anak kecil”.
Rasanya aku ingin menyumpalkan abang abang yang sedang menjaga stand siomay ke
mulut Rafky. Coba tebak siapa yang dulu ngambek hanya gara gara teleponnya di
angkat Andi? Bahkan
bisa dibilang ngambek parah? Dan sekarang dia mengatakan aku kekanakan? Salut!!
Emang susah melihat lubang pantat sendiri. Maaf, aku kurang mengetahui cara
yang agak halus untuk menyampaikannya. Aku sedang kesal, jadi kata kataku agak
kurang tertata.
“Semalam Rehan minta ditemani main
basket”, aku memutar kedua bola mataku. Alasan konyol dan parahnya, memang
Rafky menganggapku sebodoh itu hingga bisa bisanya dia membuat alasan konyol
itu? Bermain
basket di malam hari? Sama
genderuwo?
“dia baru saja patah hati”, kali ini
aku hampir tersedak siomay yang baru saja aku kunyah. Patah hati? Bukannya Rehan menyukai
Rafky? Berarti
ada 2 kemungkinan.
1. Rehan sudah mengetahui
hubunganku dengan Rafky sehingga dia dengan sendirinya mendeklarasikan bahwa
dirinya patah hati. Mungkin Rehan juga sadar bahwa dia tidak mungkin bersaing
denganku. Pembaca, tolong tampar aku. Sepertinya siomay ini meracuniku.
2. Rehan sudah mempunyai
gebetan baru dan dia tidak cerita padaku (? Halo Nansa? Lu siapanya Rehan?).
Namun ternyata gebetannya itu sudah mempunyai pacar dan Rehan patah hati?
Kemungkinan ini sangat kecil, bagaimana mungkin dalam waktu singkat Rehan sudah
berpaling hati? Berarti jika kemungkinan yang pertama yang terlihat lebih
meyakinkan, ini berbahaya. Bagaimana mungkin aku bisa mengalahkan
cowok semanis Rehan dan jago basket?
“hei, bengong aja”, aku kaget dengan
tepukan tangan Rafky di telapak tanganku. Dan dibuat lebih kaget lagi ketika
melihat satu mangkok siomayku sudah raib. Dan satu mangkok lagi
sedang asyik diembat Rafky.
“kok?”
“hhehehe, gua kira lu kaga doyan.
Makannya gua makan. Kan
mubazir tu”, sumpah aku gondok setengah gila. Ada apa sih dengan Rafky hari
ini? Otaknya masih tertinggal di kloset kah?Atau ada salah satu syarafnya yang
putus? Kelakuannya
aneh sekali.
“bang siomaynya satu lagi, ada yang
ngambeg nih”, si abang penjual siomay hanya tersenyum mendengar ucapan Rafky.
Dasar bangsat!! Sekarang dia malah membuat wajahku merona. Namun saat pesanan
siomay datang aku langsung mengembatnya, tidak ada kata join untuk ketiga
kalinya. Aku makan dengan santai dan sesekali mengamati Rafky yang sedang asyik
dengan ponselnya.
“udah, gua udah kenyang kok”, kata
Rafky begitu tatapannya bertemu dengan tatapanku. Aku menghembuskan nafasku
perlahan.
“gua pengen kita saling jujur Raf”,
Rafky mengalihkan perhatiannya sebentar dari ponselnya. Melihatku dengan
pandangan bertanya tanya.
“tentang semalam bersama Rehan”,
kataku menjelaskan.
“gua udah bilang kita Cuma maen
basket. Gak lebih”, okay, kali ini aku mencoba percaya.Walaupun sangat
terdengar kurang berbobot dan kurang dapat dipercaya secara logika, aku mencoba
untuk percaya. Kata
orang, saling percaya itu bagus untuk kelanggengan sebuah hubungan. Tapi aku masih tidak
habis pikir, maksutku halo? Bermain
basket malam malam? Ya Tuhan, tidakkah ada alasan lain? Main petak umpet
mungkin. Itu
terdengar lebih bisa dipertanggungjawabkan. Sudahlah, mungkin jiwaku
sedang kelelahan. Setelah
puas nongkrong di alun alun, Rafky segera membawaku pulang. Rafky tidak mampir, dia
langsung pulang.
Aku menemukan Reno yang sedang
terpaku di ruang tamu.
“kenapa lu Ren?”
“ibu bang”, kata kata itu lirih
diucapkan oleh Reno.
“hmm? Ibu? Kenapa sama ibu?”, aku
mengkerutkan keningku sambil duduk disamping Reno.
“sadar gak sih lu bang?”, aku
menggeleng.
“ibu itu akhir akhir ini agak aneh”,
lanjut Reno tertahan.
“aneh gimana? Biasa aja kalo gua
lihat kok”
“iya!! Lu mah kebanyakan maen
sekarang!! Jadi kaga tau kondisi rumah. Males gua ngomong sama lu sekarang!!”,
aku terpaku dalam diam. Apa yang salah dengan diriku? Aku merasa biasa saja. Dan tentang ibuku, aku
juga merasa bahwa ibuku biasa biasa saja dan baik baik saja tentunya. Mungkin Reno sedang
galau. Anak anak ababil seperti dia memang akan mengalami fase seperti ini.
Fase kebanyakan galau. Tanpa terlalu banyak memikirkan apa yang tadi diucapkan
Reno aku berlalu menuju kamarku. Mengganti seragamku dengan celana
pendek dan kaos tanpa lengan kemudian segera bergelung dengan guling dan
kasurku. Perlu
kalian ketahui, tidur siang itu sangat bagus untuk kesehatan kulit. Sudahlah, itu hanya
alasanku jika ditanyai oleh ibuku kenapa aku kebanyakan tidur siang. Maksutku mungkin kalian
lebih cerdas dari ibuku jadi tidak mungkin kalian serta merta percaya dengan
alasanku itu. Pikiranku
benar benar konslet.
Aku tidak tau ini jam berapa, namun
aku merasakannya. Ada orang yang menggoyang goyangkan tubuhku. Apakah didalam
pandangannya aku nampak seperti penyanyi dangdut sehingga aku perlu digoyang
goyang? Aku
menggeliat tertahan.
“bang, lu bisa bangun kaga sih?! Pelor
amat yak!”, mungkin jika aku dalam keadaan sadar aku bisa tersinggung berat
mendengar kata kata yang diucapkan Reno barusan. Namun untungnya aku masih
setengah sadar.
“bang!! Dipanggil ibu tuh!!”, kali
ini radarku bekerja. Dipanggil ibu? Jarang jarang banget ibu
memanggilku. I mean, kalau emang ibu butuh aku biasanya beliau mendatangi aku
sendiri. Dan biasanya, walaupun ibuku kurang suka dengan agenda tidur siangku
yang bisa mencapai jam 6 sore tapi ibuku tidak pernah mengusik tidur siangku. Dan kali ini kedua hal
itu dilanggar.
Pertama, ibuku menyuruh Reno yang
membangunkanku. Hali
ini belum pernah terjadi selama 17 tahun kehidupanku. Maafkan aku terlalu
berlebihan. Kedua,
ibuku sudah melanggar kode etiknya sendiri dengan mengusik tidur siang anak
sulungnya. Berarti
mungkin ini adalah masalah yang sangat penting. Dengan malas malasan aku
melangkahkan kakiku ke ruang tengah. Disana sudah ada ibuku yang tengah
minum teh.
“ada apa sih bu?”, tanyaku begitu
duduk tepat didepan ibuku.
“temani ibu ke rumah ayahmu”, aku sedikit
tersentak. Sejak kapan ibuku mau menemui ayahku dengan suka rela? Menemui
ayahku sama saja dengan menemui Sri Indarwati, istri baru ayahku, ibu tiriku
dan tentu saja musuh ibuku. Itu logikanya.
“hha? Yakin? Ibu lagi gak sakit
kan?”, ibuku langsung menoleh kearahku dengan tatapan suzannanya. Aku langsung
menciut.
“mau atau tidak?”, tanya ibuku. Aku
mengangguk. Karena jika aku jawab tidak itu hanya akan mengundang perdebatan
dengan ibuku. Dan berdebat dengan ibuku adalah hal yang paling tidak bijaksana. Mengapa? Karena nanti
akan sangat berpengaruh terhadap uang jajanku.
“iya, Reno kaga diajak?”
“Reno jaga rumah. Ayok!! Kamu gak
mandi kan?”, aku menggeleng. Untuk pergi ke rumah ayahku aku tidak perlu mandi. Maksutku hanya cuci muka
saja sudah cukup. Tidak
butuh waktu lama untuk sampai ke rumah ayahku. Setengah jam lebih sedikit.
Sampai didepan gerbang aku dan ibuku disambut oleh mbok Tum yang kebetulan baru
pulang dari belanja di warung.
“lho Ibu sama den Nansa. Kebetulan
nih, ayo masuk masuk Bu, den”. Ibuku tersenyum sumringah lalu langsung mengajak
mbok Tum ngobrol sambil jalan. Aku
hanya bisa geleng geleng kepala, mereka seperti teman lama yang bertemu
kembali. Beberapa
kali ibuku tertawa ngikik mendengar celotehan mbok Tum. Hmm, dasar ibu ibu. Kalau sudah ketemu rumpi
aja gawenya.
Sekarang disinilah aku. Ada ibuku, ayahku dan Sri
Indarwati. Wajah mereka tegang, seakan akan aku adalah anak mereka yang
kebetulan kepergok mencuri mangga di kebon sebelah. It’s suck!!
“ini soal kuliah kamu Nak”, kata
Ayahku mengawali rapat penting ini. Karena jika kalian melihat sepintas, ini
mirip dengan meeting penting tingkat dewa. Padahal? Hanya membahas tentang
kuliahku. And come on?! Aku masih kelas 2!! Masih banyak waktu!!
“kan masih lama, 2 tahun lagi”, aku
belum cerita ya kalau sekolahku ini beda dengan SMK kebanyakan. Sekolahku 4
tahun, bukan 3 tahun pembelajaran.
“lha karena itu harus diomongin dari
sekarang!! Ayah pengen kamu kuliah di Bogor saja. Atau Bandung”, aku nyaris histeris.
Bogor? Bandung? Jauh amat yak? Kali ini aku sedikit kecewa dengan kota
kelahiranku, kenapa dari dulu tidak pernah dibangun sebuah Universitas? Bahkan
sampai sekarang?
“ambil kimia teknik atau bio teknik,
biar selaras sama apa yang sudah kamu dapatkan disekolah”, kali ini ibuku yang
unjuk bicara. Aduh, seenaknya saja sih mereka mengambil keputusan tentang masa
depanku. Kimia
teknik? Ya
Tuhan, jangan menyiksaku. Bio
teknik? Apakah
hidupku masih kurang menderita sehingga mereka dengan suka rela mencemplungkan
aku untuk terjun dalam fakultas bio teknik?
“bukannya teknik pangan lebih
menjanjikan?”, bahkan Sri Indarwati ikut mengeluarkan pendapatnya. Aku geleng
geleng kepala, bisa tidak jika kata teknik dihilangkan dalam fakultas yang
harus aku ambil, emm
2 tahun yang akan datang?
“bagaimana nak?”
“Nansa masih belum kepikiran”,
jawabku jujur. Dan
jawabanku ini menimbulkan efek syok untuk mereka bertiga. Seolah olah mereka baru
saja mendengarkan bahwa pulau jawa tenggelam atau gunung Sumbing meletus. Mungkin kebanyakan orang
pintar sudah dari jauh jauh hari merencanakan masa depannya, sedangkan aku?
Jujur saja, aku memang sama sekali belum kepikiran. Ada yang lebih penting dari
itu, UN di kelas 3 mungkin? Atau
Ujian Kejuruan di kelas 4. Belum
lagi harus memikirkan Prakerin, lalu ada Uji Kompetensi. Dan keluargaku malah
memikirkan kuliahku yang jelas jelas masih sangat lama.
“2 tahun itu berlalu sangat cepat
lho”, aku memutar kedua bola mataku. 2 tahun bagiku masih lama. Cukup
lama untuk membuat ayam tetangga beranak pinang.
“kamu itu harus mulai memikirkannya
nak. Ini penting lho”, ayahku kembali memberiku sebuah nasehat. Jujur saja aku mulai
bosan. Jadi
Ibu kesini hanya untuk membicarakan kuliahku? Menyebalkan. Bahkan sampai rela
bertemu Sri Indarwati? Pengorbanan
yang terlalu berlebihan.
“sudah sudah, kita makan dulu saja”,
tawar Sri Indarwati. Aku tersenyum, makan adalah suatu hal yang wajib dilakukan
setelah aku begitu sangat ditekan oleh orang orang dewasa disekitarku tadi. Aku kehilangan banyak
energi karena terlalu diforsir untuk berpikir. Emang tadi aku berpikir
ya? Hhehe.
***
Aku masih memikirkan apa yang tadi
dibicarakan oleh ibu dan ayahku tentang kuliahku. Kira kira Rafky bakal kuliah
dimana ya? Masalahnya aku tidak seratus persen yakin jika jarak tidak akan
menjadi masalah dalam hubunganku dengan Rafky nantinya. Dengan jarak yang dekat
inipun Rafky terkadang masih bisa salah paham. Okay kalian tidak usah melotot
begitu, aku juga sering ngambek kok. Aku masih belum tidur, mungkin efek tidur
siang tadi yang keblablasan juga ikut berpengaruh. Ditengah tengah kekalutan
pikiranku, kepala Reno tiba tiba nongol didepan pintu.
“belum molor lu bang?”, aku sedikit
melotot kearah Reno. Namun percuma karena Reno termasuk salah satu orang yang
sangat kebal muka.
“katanya lu lagi males ngomong ma
gua?”, aku mengingatkankan kata katanya tadi siang.
“itu kan tadi siang bang, sekarang
udah kaga berlaku. Gua mau curhat nih”, aku tetap diam tak bergeming dari
tempat tidurku hingga Reno tiba tiba sudah ikutan rebahan disampingku.
“gua sedikit kecewa sama Nia”
“kenapa?”
“ya masak dia nolak gua? Padahal kalau
gua lihat lihat dia sepertinya naksir sama gua”, aku membenarkan posisi tidurku
menghadap Reno.
“lu nembak dia?”, Reno mengangguk.
“kapan?”
“tadi siang bang, sebelum abang
pulang”, aku mengangguk angguk tanda mengerti. Jadi gara gara itu toh si Reno
tadi siang seperti anak perempuan pertama kali dapat mens (kok gua kayaknya
tahu banget ya rasanya? Sudahlah, inikan hanya sebuah cerita). Aku memang belum pernah
merasakan rasanya ditolak, bukannya aku sombong tapi memang karena aku belom
pernah menembak
juga.
“gimana cerita sampai lu nembak
dia?”, tanyaku penasaran. Ternyata adikku satu ini sudah tumbuh besar (sadar
Nan, dia itu Cuma 2 tahun dibawah lu)
“gua kan tadi ke rumah Nia tu
sehabis pulang sekolah”
“ngapain? Beli rujak eskrim?”,
potongku cepat. Reno menatapku dengan pandangan tajam dan aku berusaha
mengabaikannya.
“awalnya gua cuman ngeliat Nia dari
luar aja bang, gua masih grogi”, heem. Apa dulu Rafky dan Andi juga grogi saat
nembak aku? Patut aku tanyakan nih ntar.
“tapi gua trus mantebin hati,
akhirnya gua ajak dia ngobrol”, hebat bener ni adik gua pake acara memantabkan
hati segala. Kayak lagi mau kawinan aja. Maaf kawan, aku kan belom pernah
rasanya menembak seseorang.
“trus? Lu ngomong apa sama dia?”
“mau gak lu jadi pacar gua?”, jawab
Reno polos. Aku mengkernyitkan keningku, sedikit agak heran kenapa Nia menolak
Reno. Setahuku
Nia naksir gila gilaan sama Reno.
“trus Nia jawab apaan?”
“dia geleng geleng sambil senyum
senyum trus masuk rumah”, aku sukses melongo.
“lu besok ke rumah dia lagi”
“hha? Ngapain bang? Malu kali gua
udah ditolak!!”, Reno menjawab dengan muka memerah. Aku sedikit ngikik,
pasalnya baru kali ini aku bisa melihat wajah Reno yang memerah. Jarang jarang plus langka
banget.
“beliin gua rujak eskrim”, kataku
singkat sambil merebahkan kembali tubuhku.
“buset dah, molor mulu kaga capek lu
bang?”, eng ing eng, kembali dah sifat asli adek gua.
“kaga. Lebih capek dengerin curhatan
lu. Capek hati!!”, Reno cemberut dan segera berlalu dari kamarku. Namun sebelum
berlalu, Reno masih sempat menjitak kepalaku. Sontoloyo!!
***
Hari ini aku ingin menanyakan tentang
rencana sekolah Rafky kedepan. Awalnya
aku agak ragu, karena baru kali ini aku ingin ngobrol ‘serius’ dengan Rafky.
“Riri”, panggilku pelan. Aku harus membiasakan
memanggil Rafky
dengan sebutan Riri. Supaya ada kesan kalau aku adalah orang special bagi Rafky
di mata orang lain. Walaupun mungkin mereka tidak mungkin menganggapku pacarnya
Rafky namun setidaknya ada kesan dekat. Rafky mendongakkan
kepalanya menatapku.
“apa yank?”, aku menatap matanya.
“udah ada rencana mau kuliah
dimana?”, tanyaku perlahan. Walaupun aku sangat yakin bahwa Rafky belum
memikirkannya.
“Jogja, yang deket deket sini aja kan
yank. Emang kenapa?”. Aku
hanya nyengir kaga jelas. Jadi
Rafky pun sudah memikirkannya? Apakah aku yang aneh? Karena sama sekali belum
kepikiran?
“gak papa kok, mau ambil fakultas
apa?”
“kimia teknik”, hadew. Ternyata!!
Pacarku mengambil fakultas yang mengerikan. Aku heran, kenapa orang mau repot
repot melibatkan hidupnya dengan kerumitan seperti kimia teknik? Tidak ada
minat yang lebih menyenangkan untuk digaulikah? Melukis mungkin seperti
Andi? Atau
hukum biar bisa adu bacot? Sambil sedikit
membalik balikkan hukum yang sebenarnya? Sedikit curhat, aku heran
dengan para lulusan hukum. Pengacara
atau jaksa misalnya, seharusnya mereka lebih tahu tentang hukum tapi begitu
bego menangani sebuah kasus. Maaf,
hanya emosi rakyat jelata.
“kenapa sih nanyain itu?”, aku
sedikit meringis. Rafky memilih Jogja, sedangkan aku akan berada di Bandung
atau di Bogor. Haduh, bunuh saja aku!!
“gak papa, nanya aja”, Rafky tidak
menggubris aku yang sedang dilanda galau setengah gila.
“yank coba lihat”, kata Rafky
sambil menyodorkan layar ponselnya kearahku. Aku kaget setengah mati begitu
melihat gambar yang terpampang di layar ponsel.
“punya kamu kan?”, pertanyaanku tadi
dijawab cengiran oleh Rafky. Kemudian tanpa diduga Rafky memelukku.
“lagi pengen di isep”, bisik Rafky
mesum tepat di telingaku. Ya Tuhan, ternyata pacarku sudah menjadi maniak!!
“mau gak? Lagi pengen nih”, aku
antara mau dan tidak. Masalahnya, aku sedang gak mood saat ini. Daripada perkakasnya aku
gigit ntar?
“lagi gak mood Ri”
“ya udah bentar”, Rafky melepaskan
pelukannya lalu berdiri. Dan tanpa sungkan membuka semua pakaiannya didepanku. Kalau disuguhi pandangan
seperti ini siapa yang tidak menjadi bergairah? Kejantanan Rafky sudah
mengacung tegak.
“masih gak mau?”, aku tersenyum
ringan.
“coba paksa aku”, kataku sedikit
menggoda. Rafky kembali menyunggingkan senyum mesum.
“mungkin justru itu yang aku
inginkan”
Tbc. . .
Hhihihi
Maafkanlah aku
Di part ini aku menggila
Silahkan dikritik
Karena aku pun rasanya ingin
mengkritik habis habisan part ini
I love you guys
Wish you all the best
Ardhinansa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.