CERITAKU 9
Rafky ternyata tidak langsung
membawaku pulang, entah kemana dia membawaku. Aku hanya bisa diam.
Terlalu letih bahkan hanya untuk bersuara. Rasanya hatiku sakit.
Seperti ada ribuan jarum di dalam sana. Rafky membawaku ke sebuah tebing, berhenti
dan menyuruhku turun.
“teriak”, kata Rafky tiba tiba. Aku
agak tercengang, lagi lagi aku ingin tertawa. Dia menyuruhku berteriak?
What a nice
idea?
“lu aja. Gua kaga. Makasih”, jawabku
kemudian. Rafky
memandangku sesaat.
“aneh”, Rafky berujar singkat lalu
mendekati bibir tebing. Dan tanpa aku duga dia
berteriak, cukup merdu hingga membuat perutku melilit.
“gua sering frustasi. Semenjak
nyokap gak ada, kaga ada yang peduli lagi ma gua kecuali eyang”, Rafky berhenti
sejenak. Dan
aku mulai waspada. Dulu Andi pernah bercerita betapa-malangnya-nasibku sehingga
membuat aku jadi tak tega dan berjanji akan membahagiakannya. Jangan sampai
Rafky bercerita tentang hal yang sama supaya aku simpati padanya.
“but, my life must be go on”, Rafky
tak menangis. Dia tersenyum ke arahku.
“gua harap lu juga. Jangan hanya
gara gara Andi dan Rika lu jadi down. Masih ada gua”, Rafky melangkah
mendekatiku dengan PD. Kini aku dan Rafky berhadap hadapan, kepalaku hanya
mencapai pangkal lehernya. Oleh
sebab itu aku mendongak menatap kedua bola matanya yang tajam. Dan saat aku menatap
matanya, entah siapa yang memulai bibir Rafky sudah menempel di bibirku. Awalnya lidah Rafky hanya
menjilat bagian luar bibirku, namun gerakan itu makin intens. Rafky memelukku, lidahnya
memaksa untuk menerobos pertahanan bibirku. Di dalam mulutku lidahnya
mencari lidahku. Saling
bertaut, saling menghisap. Begitu
intim. Lalu
kesadaranku pulih, aku mendorong Rafky perlahan.
“maafkan aku”, aku berkata lirih. Rafky hanya diam sambil
menaiki motornya.
“yok pulang.”
***
Hari ini hari minggu dan dengan baik
hati ibuku menyuruhku menjaga tokonya. Bukan, bukannya aku kaga mau. Tapi
lebih manis jika Minggu
ku di isi dengan renang bersama Rafky misalnya? Ya Tuhan, apa yang aku
pikirkan? Tapi aku memang sudah bertekad akan menghapus nama Andi dalam
agendaku 2 minggu ke depan. Bukannya
aku kejam, tapi sepertinya aku memang harus tegas.
“bang, lu beli makanan gih. Laper
banget gua”, Reno nongol dari belakang sambil membawa sepiring gorengan. Aku
memutar kedua bola mataku, what the fuck with my young brother?
“beli sendiri”
“panas kali bang”
“lha kalo lu ngerti panas, ngapain
lu nyuruh gua? Uda kaga sayang lu ma gua?”, gua mulai sewot. Adikku dan ibuku
adalah orang orang yang paling pinter membuat emosiku naik, but I love them.
Beneran, aku sayang mereka.
“ye, apa salahnya sih nurutin kata
adeknya”
“Heh!Seharusnya elu yang nurutin
kata gua”, aku beranjak ke bagian belakang toko setelah mengambil mie rebus dan
telur 2 butir.
“lu jaga bentar, gua mau masak mie”,
kataku pada Reno.
“gua di bikinin sekalian lha bang.
Tega amat lu ma adik sendiri juga”
“iye”, aku menjawab singkat. Toko
yang merupakan hadiah terakhir ayahku untuk ibuku ini memang memiliki 2 bagian. Bagian depan yang luas
untuk barang barang dagangan. Ada sembako, perabotan rumah tangga dan aneka
kue. Sedangkan di bagian belakang sedikit lebih sempit dari bagian depan. Ada
kasur lantai, tv, kompor kecil dan sedikit peralatan memasak ringkas. Aku
terlalu focus pada mie rebusku (oke, ini memang sedikit berlebihan) hingga tak
menyadari bahwa di depan posisi Reno sudah tergantikan. Aku tahu Reno sudah
tidak ada saat aku keluar dari bagian belakang. Rafky sedang debat seru dengan
pembeli. Aku hanya melongo dan mendengarkan perdebatan mereka tentang harga. Aku harus mengacungkan
jempolku, Rafky mungkin bisa jadi penerus ibuku.
“Reno?”, tanyaku begitu sang pembeli
sudah pergi dengan puas karena mendapatkan satu mug cantik.
“dia pergi tadi sama cewek. Eem, Nia
kalau kaga salah namanya”.
Lalu aku menatapnya, bertanya dengan
tatapan mataku kenapa dia bisa berada di sini.
“gua kaga sengaja tadi”, jawab Rafky
kikuk. Bohong besar. Aku
masih menatapnya dengan pandangan tak percaya. Karena setahuku Reno pun
mungkin baru di kenal Rafky barusan. Dan kaga mungkin kalau tidak sengaja
Rafky melihat Reno dan mampir. Kecuali
mereka sudah lama saling kenal. Dan
aku sudah mengatakan tadi, Reno pun mungkin baru dikenal Rafky barusan.
“come on. Jawab jujur RIRI”, sengaja
aku tekankan kata Riri. Tapi
nyatanya Rafky tidak marah.
“oke, gua uda tau tentang toko ini
lama”, jawabnya kemudian. Wajahnya tampak kikuk.
“hha?”, aku hanya bisa membuka
mulutku lebih lebar.
“gua memperhatikan lu uda lama. Lu
suka pedes tapi paling kaga tahan sama pedes”, Rafky agak terkikik.
“paling doyan tidur, paling suka
matematika. Kalau terlalu capek bakalan ngiler. . .”
“oke, stop it. Jadi lu penguntit?
Gua koreksi, lu nguntit gua?”, aku memotong ucapan Rafky sekaligus bertanya
padanya. Rafky ngakak, lalu aku teringat pesan misterius di ruang seni.
“lu liat gua nangis di ruang seni”
“hahaha, tampang lu asik gila waktu
itu. Eehm, boleh kaga gua gantiin posisi Reno hari ini? Jagain toko? Bareng lu?
Boleh?”, tampang Rafky di buat polos, seakan akan dia anak umur 5 tahun. Aku
ngikik melihatnya, sama sekali tidak cocok. Tidak seperti Andi yang sangat ahli
memasang tampang seperti itu. For God shake!! Aku sudah melanggar janjiku untuk
tak menyebut nama Andi tadi. Aku
berhenti mengikik, teringat tangan Rika yang menempel tepat di selangkangan
Andi. Damn it!!
“hey, are you okey?”, Rafky
menghampiriku.
“yah, gua baik baik aja. By the way,
gua kaga nyangka kalo lu ngefans sama gua”
“sapa yang bilang gua ngefans ma
lu?”, tanya Rafky sambil mengambil tempat duduk
di samping ku.
“terserah dah, bentar ada pembeli”,
aku menyerah menanyai Rafky. Anak ini masih menyebalkan. Aku melangkah melayani
pembeli, tapi tak ku pungkiri aku merasa senang. Kenapa tidak kamu lakukan hal
ini dari dulu Raf? Kenapa baru sekarang? Saat hatiku sudah terikat
terlalu jauh dengan Andi.
Pembeli tersebut pulang dengan puas. Harga yang aku beri
terlalu murah, tapi aku tak peduli. Pikiranku masih kacau. Andi, aku kangen kamu. Ya Tuhan, perasaan ini
menyiksaku.
“hey”, Rafky menepuk bahuku pelan.
“ya, sorry gua bukan temen yang baik
saat ini”
“Gak papa, gua pengen nemenin lu.
Boleh kan?”
“oke, gua tutup aja tokonya. Kita
keluar sebentar”, kataku kemudian.
“woey, di sini aja”
“gua lagi pengen keluar”
“nyokap lu?”, tanya rafky sambil
mengangkat sebelah alisnya.
“dia pasti ngerti kok, katanya lu
mau nemenin gua?”, aku menagih janjinya.
“iya deh. Terserah lu aja.” Aku tersenyum, lalu siap
siap menutup tokoku.
***
Aku yang memilih tempatnya. Dan di sinilah aku dan
Rafky sekarang. Di alun alun kota. Aku sedang asyik dengan
batagor yang tadi aku pesan, berusaha melupakan Andi dan masalah yang dia bawa
untuk ku. Rafky
sendiri sibuk melihatku, mungkin sedang mempertimbangkan aku untuk di jadikan
salah satu hewan peliharaanya. Melihat
betapa lucunya aku makan batagor. Lupakan, aku hanya bercanda.
“lu lucu banget sih.” See? Mungkin dugaanku
tadi benar.
“kenapa?”, tanyaku tanpa menatapnya.
“gua baru sadar kalo lu punya lesung
pipit di pipi kiri lu”. Aku tersenyum tipis.
“dan gigi taring yang berlebih di
sisi kiri”, tambah Rafky kemudian.
“itu gingsul”, kataku jutek.
“iya, gingsul. Gua suka. Pasti enak kalo di jilat
pake lidah gua”. Aku
tersedak. Ini
anak sudah gila. Beberapa
orang melihat ke arahku dan Rafky dengan pandangan aneh, tapi aku tak peduli. Masalahku sudah terlalu
banyak dan aku sedang tidak bernafsu untuk menambah daftar masalahku.Tidak,
terimakasih.
“lu diem aja”, Rafky berkata lagi.
Ternyata anak ini lebih cerewet dari Andi. Ya Tuhan, aku menyebut
namanya lagi.
“lagi makan guanya”
“hehe, iya. Gua suka lu”
“lu uda bilang kemaren lusa”, kataku
pendek. Seharusnya kalau Rafky emang penguntit sejati, dia tau kalau aku paling
kaga suka di ganggu kalau sedang makan. Aku mengangkat kepalaku,
lalu aku tertegun memandang wajah Rafky.
“selama lu bareng gua, gua lom
pernah liat lu ngerokok”, tanyaku pada Rafky. Rafky melongo.
“darimana lu tau gua ngerokok?”
“warna bibir lu berbicara banyak”.
Rafky laqi lagi tertawa. Aku
melihatnya, ternyata matanya pun bisa berseri. Walaupun dia tidak memiliki
lesung pipit yang menggoda seperti Andi, tapi aku menyukainya. Seandainya dulu
Rafky lebih jujur dan menyatakan perasaanya lebih dulu daripada Andi, aku tak
akan sesakit ini. Hmm, hanya seandainya.
“lu kaga suka rokok, jadi buat apa
gua ngerokok di depan lu? Gua kaga mau dapat pelototan lu lagi”
“gua kaga pernah melotot”
“masa? Lu hampir selalu melotot
kalau ketemu gua”. Sumpah,
percakapan ini gak penting. Aku
melanjutkan makanku.
“lu uda pernah patah hati?”, tanyaku
kemudian. Rafky menghembuskan nafasnya perlahan.
“gua lom pernah pacaran”, aku
tersedak lagi. Jawabannya
kaga nyambung, tapi aku penasaran dengan jawabannya.
“serius?”, tanyaku tak percaya.
Cowok ganteng, kapten tim basket, seksi dan emm kalau yang ini menurutku lho
agak sedikit cool. Okey, Rafky emang cool. Dan cowok spesies ini
belom pernah pacaran? Kalian
percaya? Kalau
aku sedikit ragu.
“iya, serius. Gua nunggu lu”. Oh,
shit!! Pernyataan ini membuat aku spheecless.
“seandainya lu lebih cepet
ngomongnya Raf”
“hey hey”, Rafky memegang tanganku.
Aku melepasnya, bukannya tak suka tapi ini kan alun alun kota.
“sekarang masih belom terlambat Nan,
percaya ma gua”.
Aku member senyum manisku untuk
Rafky.Terlihat Rafky berpikir tentang sesuatu.
“Nan?”
“apa?”
“gak, ada saos tu di sudut bibir lu”,
aku memandangnya sekejab kemudian menjulurkan lidahku untuk menjilat
saos-di-sudut-bibir-seperti kata Rafky tadi.
“stop!! Don’t do it!!”, Rafky
berkata pelan. Aku menatapnya heran.
“kenapa?”
“eem, bikin gua horny”, kata Rafky lirih.
Aku hampir tertawa. Ya
Tuhan, Rafky lucu mampus. Aku
menatapnya lekat lekat dan Rafky malah menunduk. Oh, aku ingin mengikik (ada
kaga sih kosa kata mengikik? Kalau kalian kaga tau mengikik, itu adalah salah
satu jenis tawa yang paling aku sukai).
“thanks Raf. Gua suka di temenin ma
lu”
“ya. Sama sama”. Rafky tersenyum
manis.
***
Sudah hampir seperempat jam ibu
memarahiku. Walaupun aku menyesal, beneran aku menyesal.Tapi tetep aja kalau di
marahin seperti emm, pernah dengar pidato guru yang membosankan saat upacara
sekolah berlangsung? Kurang
lebih rasanya seperti itu. Dan
Reno juga tidak membantu, di balik punggung ibu, Reno sibuk mengejekku. Dasar adik durhaka. Aku
tidak bisa berbuat banyak, menutup toko jam setengah 3 siang? Pada hari minggu
pula!! Tamat sudah.
“jadi tadi kamu lebih milih main
daripada bantu ibu?”. Oh jangan mempermainkan perasaanku dengan pernyataan ini.
Pernyataan ini seperti menyudutkanku dan menggiring perasaanku pada rasa
bersalah. Seakan akan ibuku bilang durhaka-sekali-kelakuanmu-kamu-menusuk-ibu-dari-belakang
hampir seperti itu, hanya diperhalus.
“Nansa minta maaf bu. Janji kaga
bakal di ulangi?”, kataku sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku
tanda damai.
“ibu bukannya marah tapi kamu seharusnya
bisa lebih bertanggung jawab dengan bla bla bla. . .”, tidak, ini sama persis
dengan kalimat pembuka ibuku tadi sebelum memarahiku. Ibuku tidak berniat akan
melakukan siaran ulang kan? Aku
hanya bisa menghembuskan nafasku perlahan.
“Nansa minta maaf? Okey? Bisakah kita kubur masalah ini
dan kembali melangkah ke depan?”, kataku sedikit hiperbola. Ibuku menghentikan
pidatonya, menatapku sebentar lalu menatap Reno yang sedang makan malam dengan
kaki di naikkan ke atas kursi.
“Moreno Adiatama, sejak kapan ibu
mengajarimu makan dengan cara duduk seperti itu?”, ibuku menghampiri Reno dan
aku hanya bisa mengikik. Di belakang ibuku aku menggerakkan bibirku seperti
bilang thanks-Reno-lu-baik-banget dan mendapat balasan tatapan tajam dari Reno. Aku langsung ngacir ke
kamarku.
Aku berusaha memejamkan mataku,
sebisa mungkin mencoba untuk terlelap.Tapi tak bisa, kejadian Andi dan Rika
kemarin malam masih menggangguku. Seperti film yang di putar berulang
ulang dalam otakku. Aku
masih tak percaya, sesepele itukah Andi menganggap arti hubunganku dengan
dirinya? Tidak,
malam ini
tidak ada acara menangis lagi. Stop!! Selama fase break ini, aku akan berusaha
untuk kembali menyukai Rafky. Apa susahnya? Ya Tuhan, kenapa? Well, aku memang
tak pantas mengadu pada Tuhan, cinta seperti yang kurasakan ini saja sudah
pasti membuat Tuhan enggan menengokku dan sekarang apa? Aku terkena masalah
karenanya! Mungkin di langit sana aku malah sedang jadi bahan tertawaan.
Stop Nansa!! Jangan mengasihani
dirimu sendiri!! Wake up!!
“belom molor lu bang?”, Reno nongol
dari balik pintu kamarku.
“belom ngantuk gua, lu ngapain ke
sini?”, tanyaku balik.
“mau cerita gua, boleh? Ganggu
kaga?”, tanpa permisi Reno berbaring di sisiku.
“apa?”
“Nia nembak gua tadi, gua mesti
gimana?”.Aku menatap adik semata wayangku.
“trus? Lu suka kaga ma Nia?”
“suka”, jawab Reno polos.
“ya udah, pacaran!! Beres kan?”
“masalahnya gua sukanya dikit ke
Nia, lebih banyakan ke Dewi”. Aku kembali menatapnya. Salah, aku melotot ke
arahnya.
“Dewi? Lu masih ngarepin tu
anak? Gua kaga suka ma Dewi, kaga setuju gua”
“lha? Kok lu yang sewot? Kan yang mau pacaran gua. Tapi gua kaga mungkin
pacaran sama Nia kalau perasaan gua Cuma setengah setengah ke dia kan? Kasian
Nianya juga kan?”, kata Reno panjang lebar. Aku memutar kedua bola mataku. Kalau sudah bisa
secanggih ini menyimpulkannya, kenapa nanyain pendapatku coba?
“ya ntu lu uda tau”
“tapi gua kasihan ke Nia kalau gua
nolak dia”.
“ya uda terima dia”
“tapi gua kaga suka suka banget ma
Nia”. Aku geram, mengambil bantal guling di sisiku langsung kupukulkan tepat di
wajah Reno.
“you suck!!”, teriakku. Tapi
sepertinya Reno kaga terima, dia segera membalas perlakuanku. Dan pertarungan bantal
pun di mulai. Lama juga aku dan Reno kaga duel bantal kayak gini. Uda berapa
bulan ya kaga duel bantal? Ketahuan
kekanakannya. Wew.
“Ardhinansa Adiatama, Moreno
Adiatama”. See? Kalian tau pemilik suara ini? Ibuku.
“Reno yang mulai dulu bu!”, kataku
lantang.
“Bang Nansa bu!”, Reno tak kalah
kenceng teriaknya. Pintu kamarku dibuka, lalu aku dan Reno mendadak diam.
Tatapan milik ibuku sepertinya cukup efisien untuk membungkam kelakuan
kekanakanku dan Reno.begitu ibuku keluar, aku langsung memeluk Reno.
“thank you brada”, Reno berusaha
melepaskan pelukanku.
“apaan sih bang?”
“gak papa”, kataku sambil tersenyum.
Sedikit banyak aku tau, masih ada Reno, ibuku dan oya Rafky. Masih ada orang yang
menyayangiku. So, move on Nansa!!
***
Kali ini aku tidak nebeng Rafky,
tapi dia sengaja menjemputku. Menunggu dengan manis di depan teras, tersenyum
penuh rahasia dengan Reno (untuk yang satu ini aku harus menyelidikinya, siapa
tau Reno ngomong macem macem seperti dulu yang pernah kejadian dengan Andi) dan
mencium tangan ibuku dengan sopan. Perfect, calon menantu ideal. Hahaha, seandainya saja
bisa seperti itu. Lagi
lagi hanya seandainya.
Di sekolah Andi berusaha untuk
berbicara denganku dan aku berusaha menghindar. Di tambah Rika yang
selalu melekat erat di sampingnya membuat Andi semakin tak punya kesempatan
untuk berbicara empat mata denganku, tapi aku tak peduli. Aku masih marah dan rasanya
ingin mencincang Rika.Tapi setelah aku pikir pikir, Rika matipun belum berarti
masalah selesai. Yang
ada nantinya aku mendapatkan satu tiket ekspres gratis sauna ke neraka plus
liburan gratis menginap di hotel prodeo. Tidak, aku masih waras.
“ntar temenin gua bentar ya?”, kata
Rafky saat pergantian jam pelajaran terakhir.
“kemana?”
“latihan basket”, kata Rafky
singkat.
“sip”, jawabku sambil memberikan
Rafky senyum termanisku. Pelajaran terakhir berlangsung alot. Banyak siswa yang sudah
lebih memilih alam mimpi daripada mendengarkan pak Edi yang sedang menerangkan
tentang masalah jaringan bla bla bla. Termasuk Rafky, anak ini sudah terlelap
dari 30 menit sejak pak Edi masuk ke dalam kelas. Aku tengah melukis wajah
Rafky yang sedang tidur dengan pensil. Sama sekali tak menyadari pak Edi
yang berjalan ke mejaku.
“Nansa, bagus sekali catatanmu”,
kata pak Edi sambil tangannya menjewer telinga Rafky. Mata Rafky terbuka dengan
wajah kebingungan khas orang bangun tidur. Bahkan wajah setampan Rafky pun akan
sedikit berkurang saat dia ber ekspresi seperti ini. Dan aku gelagapan,
masalahnya di gambarku Rafky terlihat sensual sekali. Shit!!
“nanti sepulang sekolah kalian
berdua temui saya”. Damn it!!
Tbc. . .
Ardhinansa