FOLLOW ME

Minggu, 30 November 2014

BOTTOM 2

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Bimo Adiaguna
Titris adalah istri yang sempurna. Gue tahu, dia juga ibu yang ideal untuk Damian. Gue terus memperhatikan wanita yang sudah gue nikahi sekitar delapan tahun itu dengan intensitas yang mungkin bisa ngebuat lo jengah.
“Kenapa sih mas? Ada yang salah? Damian sayang, susunya dihabisin dong.” Gue menggeleng, walaupun gue tau persis bini gue itu kaga bakal ngeliat gelengan kepala gue karena dia tengah sibuk dengan Damian.
“Enggak sayang. Kamu makin cantik saja kalau aku perhatikan.” Gue jujur, beneran jujur. Istri gue itu memang cantik, dan dia tengah merona sekarang.
“Mom, Damie mau jus jeruk.”
“Hey jagoan, habisin dulu susunya.” Gue berjalan ke belakang Damian dan menggelitikinya. Membuat putra semata wayang gue itu kegelian namun malah tertawa kencang.
“Tapi Damie mau jus jeruk Daddy, please?” Puppy eyes itu, nurun dari siapa sih ini anak gue? Wajahnya sih persis kayak gue, tapi matanya itu ehm, mirip Daniel. Aah, Daniel.
“Mas? Kok tumben sih jam segini masih dirumah?” Kata istri gue sembari menyerahkan segelas jus jeruk ke Damian. Selalu luluh jika menghadapi puppy eyes macam milik Damian ini. Oh ya, macam milik Daniel juga. Sepagi ini dan sudah kangen aja sama itu anak.
Gue berdeham, merasa bersalah juga karena disini ada istri tapi yang gue pikirin malah orang lain. Laki-laki lagi!!
“Ini bentar lagi juga uda mau berangkat. Kamu gak suka aku lama-lama di rumah?” Tanya gue sambil merengkuh Titris kepelukan gue. Jujur, untuk menghapus rasa bersalah karena sudah memikirkan orang lain selain dirinya.
“Aah kamu mas, tumben aja. Jarang-jarang kan? Oh ya ada kue itu, mau mas bawa ke kantor? Sekali-kali buat anak kantor mas.”
“Boleh,” Gue mencium pipi Titris lembut. Memang, gue selalu berangkat pagi untuk sekedar menemani Daniel sarapan di apartementnya. Hari ini, gue pengen sarapan bareng keluarga gue. Walau pikiran gue gak bisa jauh dari Daniel. Apa gue dipelet ya ama itu anak?
***

Joshua Daniel Pradipta
“Hell shit!!”
“Language Dan, mulut lo tu ya!” Aku mengambil tissu dan membersihkan kemejaku yang ketetesan saus sialan itu, dan mengabaikan perkataan Evan barusan. Bercak merah itu tetap gak bisa hilang. Haduh, mana ntar ada meeting lagi sama distributor.
“Ya abis ini saos kurang ajar banget tumpah di baju gue!!”
“Salahin aja tangan lo itu.” Aku melirik Evan dengan sarkastis tingkat dewa. Aah, kalau harus balik ke apartment buat ganti baju tanggung, pasti ntar telat. Meeting jam sepuluh lagi. Tapi gak mungkin kan pake kemeja bercak merah lumayan gede tepat di dada gini? Crap banget!
“Uda sih, ntar beli aja baru di abang-abang pinggir jalan mau ke kantor itu.”
“What? Lo bilang apa itu tadi? Beli di pinggir jalan? Lo pengen gue gatal-gatal?” Sial tetep gak mau hilang seberapapun kerasnya usahaku.
“Tumben lo gak bawa jas atau jaket gitu?”
“Meeting pake jaket? Mending lo gorok gue Van!”
“Uda deh, buruan gih berangkat. Ntar kita telat nih.” Akhirnya mau gak mau dan yah, kalau kita lama-lama disini juga gak bakal bikin waktu ikutan berhenti, jadi ya harus ke kantor dengan kemeja bebercak noda merah lumayan gede. Gila, salah-salah bisa dikira darah mens nih! Atau malah aku dituduh abis bunuh anak orang?
Jam segini juga pasti belum ada mall yang buka. Kalaupun sudah ada yang buka, belum ada store yang buka. Hhh!! Salah satu alasan I hate Monday! Selalu terburu-buru dan fuck yeah, making a little mistake tapi efeknya gede kayak gini.
Aku menepikan mobilku ke abang-abang yang memang selalu jual baju-baju di pinggir jalan dekat kantor tanpa melepas sunglasses hitamku. Ini abang dari rumah jam berapa ya? Atau rumahnya memang di sekitar sini? Aku berusaha sekuat mungkin mengabaikan Evan yang tertawa nyegir dan terlihat puas –Kalau dia bukan temanku, aku pasti sudah membunuhnya sekarang, dan melemparnya ke jalan tol, ingatkan aku bahwa dia masih temanku- melihatku yang akhirnya membeli baju si abang-abang pinggir jalan ini.
“Stop laughing you son of bitch!!”
“Hahaha, pertama kali dalam history. Joshua Daniel Pradipta sang ‘branded slave’ beli baju merk gak jelas! Pinggir jalan pulak! Apa pula itu?”
“Shut up, atau gue turunin lo disini?”
“Gak papa kali, udah deket ini sama kantor.” Evan bisa menjadi teman yang sangat pengertian. Tapi kadang dia sama busuknya dengan para koruptor di Indonesia. Dan aku memilih diam. Mengabaikan cengiran Evan yang lama-lama semakin ganggu.
Setelah selesai melakukan finger print aku berlalu menuju pantry. Jam segini biasanya masih sepi. Aku mengambil gelas dan mengambil kopi sachetan yang selalu tersedia disitu. Sepetinya Bagus –Salah satu office boy di kantor ini- yang rutin membeli untuk anak-anak kantor. Aku ‘branded slave’? sepertinya tidak juga, tidak salah maksutku. Aku percaya bahwa, jika sudah mempunyai ‘nama’ berarti kualitasnya sudah bisa dipercaya juga kan?
Aku mengaduk kopiku, sambil tangan kiriku melepas kancing kemejaku satu persatu. Tanggung, ganti baju aja sekalian disini. Aku melakukannya secara perlahan. Karena yah, aku juga masih sibuk menyesap kopiku pelan-pelan. Haha, seharusnya aku fokus ganti baju dulu kali ya? Baru menikmati kopi. Tapi mungkin aku sedang melatih kemampuan otakku untuk bisa melakukan multi tasking layaknya smartphone.
Gila, aku terkekeh sendiri dengan pemikiranku.
Aku sukses melepas kemeja bercak noda merah mengerikanku itu. Namun belum bernafsu memakai kemeja baru yang aku beli tadi. Aku memeriksanya dengan teliti. Not bad juga sih sebenarnya.
“Ehm, ini pantry bukan studio foto untuk L’Men.” Aku menoleh kearah sumber suara. Uki. Hhh, pagi-pagi ngajak berantem aja ini anak.
Aku mengabaikannya dan mulai memakai baju baruku. Setelah dirasa rapi, aku segera mengambil gelas kopiku yang baru aku minum seperempat dan tas kerjaku.
“Tapi gue lihat lo kayak enjoy banget ngeliat gue shirtless tadi.” Kataku tepat saat dekat dengan Uki. Uki memalingkan wajahnya. Mungkin kesal? Who cares? Not me of course.
***

Uki Bagus Walantaga
Aku harus ke psikiater! Harus! Apa-apaan itu tadi? Aku terangsang melihat Daniel shirtless? Pasti ada yang gak beres di otakku! Pasti! Aku baru tahu Daniel mempunyai tatto di lengan dan dadanya. Sounds weird, but I like it. Or may be, aku terlalu excited sampai juniorku memberontak ingin melihat tatto Daniel lebih dekat?
Gila, aku harus memasukkan jadwal bertemu psikiater ke agendaku minggu ini, kalau bisa secepatnya! Forget about Daniel, lupakan bentuk tubuhnya yang ramping namun berotot pas itu. Lupakan tatto yang minta untuk disentuh itu, lupakan puting merah jambu yang benar-benar minta untuk dijilat itu.
Shit! Aku bukan gay! aku bukan gay! aku bukan gay!
Eh, kenapa aku turun kebawah ya tadi? Oh iya, kuenya Pak Bimo. Aku lapar!!
Setelah aku menemukan kue yang tadi dibilang Bagus berada di kulkas, aku segera naik ke lantai dua. Ke kubikelku, membuka laptopku dan mulai membuka email sambil mulutku menikmati kue yang katanya dibawa oleh Pak Bimo tadi pagi. Tumben tuh si Pak Bos. Gak biasa-biasanya doi bawa kue gini ke kantor. Boro-boro bawa kue, pas dia ultah aja gak ada traktiran apa-apa. Pelit ya bosku? Ah sudahlah, yang penting dia gak bawel-bawel amat soal kerjaan. Yang penting tepat waktu ama deadlinenya.
“Mas Uki, nanti sebelum meeting disuruh naik ke lab sama Mas Daniel.” Hah?
“Dia bilang gitu Gus? Kok gak telepon aja sih?”
“Waduh kalau yang itu saya ndag tahu mas. Saya permisi dulu mas.”
“Oke-oke.” Aku menutup laptopku. Tinggal setengah jam lagi sebelum meeting sama distributor, ini si Daniel apa-apaan juga minta aku ke atas. Gak ngomong tadi aja waktu di pantry sekalian.
Aku segera naik ke atas, daripada nanti Daniel ngomel-ngomel gak jelas. Satu hal yang aku tidak suka saat Daniel ngomel adalah kata-katanya yang gak pernah disaring. Bisa banget setajam silet atau bahkan lebih tajam. Belum mau meluncur dari mulutnya aja uda bikin gatal.
Aku melihat Daniel dengan baju baru. Aku belum pernah melihat dia memakai baju itu sebelumnya. Baju yang dia pakai di pantry tadi. Agak terlalu ketat sepertinya. Aah, aku tidak notice tadi sewaktu di pantry. Dan baju ketat itu membuat putingnya agak terlihat menonjol. Shit! Shit! Psikiater! Psikiater! Darurat!
“Kenapa Dan?” Aku terpaksa bertanya duluan karena sepertinya Daniel tidak mempunyai inisiatif untuk membuka bibir merahnya itu. Bibir yang terlalu sensual untuk dimiliki seorang lelaki. Sound like I am gay. Arghhhh!!
“Ini ada barang-barang dari Grand Multi Chemical, lo yang order atau gimana? Kayaknya gue gak ada minta.”
“Cuman gegara ini lo minta gue ke atas?” Kesel banget aku sama ini anak.
“Lah daripada ditelpon ntar lo nanya ‘yang mana barang-barangnya?’ ato ‘masa sih? Gue aja gak liat barangnya, mana gue tahu.’ Jadi mending gue nyuruh lo langsung keatas.”
“Uda pasti gue gitu ya? Bukan punya Pak Deddy? Vina? Atau Ranti gitu? Bisa aja malah yang minta Mbak Amelia. Sales bukan cuman gue kali.”
“Tapi sales yang berhubungan sama GMC itu elo sama Pak Deddy. Nah Pak Deddy gak ngantor karena mesti ke Nutrifood. Ya tinggal elo dong.”
“Tapi gue gak ngrasa minta barang ke GMC deh.”
“Liat dulu lah barangnya, lo kan pelupa!” Aku menghampiri Daniel. Sebisa mungkin mengabaikan sepasang puting yang tercetak jelas di kemeja kekecilannya hari ini. Dia sengaja memakai kemeja kekecilan buat pamer badan atau gimana sih? Bikin gak konsen saja!
“Aah, fruit juice extract! Ini projectnya Pak Deddy buat FIA.”
“Anjir! FIA kan masih lama. Yakin punyanya Pak Deddy? Kok dia gak ada email gue atau apa kek gitu.”
“Tanya aja sama orangnya. Gua kan bukan Deddy.” Daniel sepertinya ingin melakukan sesuatu namun diurungkan. Mungkin karena ada Herman dan Andy yang entah sedang sibuk mengerjakan entah apa itu di lab.
***

Evan Sutedjo
“Uki itu lucu ya?”
“. . .”
“Mukanya memerah gitu tadi pas gue godain di Pantry.”
“. . .”
“Kayaknya sih dia bottom.”
“. . .”
“Van please? Gue jadi kayak orang gila gini ngomong monolog gak ada yang nanggepin.” Aah, jadi gue harus ngasih pendapat nih ceritanya? Sepertinya ucapan gue kemarin lusa itu bener, gak ada istilah cowok straight dalam kamus hidupnya Daniel. Semua orang kantor –minus Daniel pastinya- tahu kalau Uki itu suka dengan Hita. Pun sebaliknya, jadi tinggal nunggu waktu saja mereka secara officialy jadian. Lalu apa tadi Daniel bilang, ‘Uki tersipu waktu dia godain?’ Hell no.
“Beban kerja lo uda overload ya Dan?”
“Anjir!! Lo kata gue stress!”
“Nah, itu lo ngeh! Boo, Uki itu straight! Gue berani taruhan deh.” Puppy eyes Daniel langsung berbinar.
Red Alart! Red Alart! Red Alart!
“Yakin lo Uki straight?”
“Yakin.”
“Demi apa?”
“Demi gaji gue bulan depan.”
“Fix, kalau gue bisa dapetin Uki, gaji lo bulan depan buat gue.” Shit! Ini ular beludak satu emang liciknya melebihi tokoh-tokoh antagonis di sinetron.
“Eh, apa-apaan itu? Gak bisa, gak mau gue.”
“Aah, cemen emang lo. Kalo lo emang yakin sama apa yang elo yakinin ya seharusnya lo gak takut.”
“Anjing.”
“Atau sebenarnya elo yang suka sama Uki ya? Ngaku deh lo?”
“Monyet.”
“Hah, atau lo uda dientot sama Uki?” Ini anak bibir sama kelakuan sama aja level buruknya.
“Taik bener lo.”
“So. . .?” Gue menghela nafas selama beberapa saat. Shit! Shit! Kapan sih gue bisa menang dari ini anak? Dari jaman SD, SMP, SMA lalu kuliah, gue selalu kalah. Masih mending jadi yang kedua atau ketiga. Rangking gue selalu jauh dibelakang Daniel. Masuk sepuluh besar aja udah syukur.
“Oke.” Gue akhirnya berkata setelah menimbang-nimbang ke belakang. Uki pasti straight. Pasti! Please Uki, prove ke gue kalau lo itu emang straight.
“Siapin tabungan lo buat biaya kehidupan lo bulan depan darling.” Daniel menjentikkan jarinya, lalu menyesap green tea latenya.
“Satu Minggu, itu waktu buat lo.” Kata-kata gue itu dalam sekejab langsung memusnahkan senyum jumawa Daniel.
“What a heck! Lo gila, telur ayam netes aja butuh waktu 21 hari!”
“Itu urusan induk ayam sama Tuhan ya bukan sama gue.”
“Satu bulan.” Gila, Uki beneran bisa jadi homo kalau didekati manusia licik macam Daniel ini selama sebulan.
“Satu minggu. Deal or No Deal.” Gue gak nyerah gitu aja.
“Lo kata lagi kuis? Come on Van? Senin ampe Jum’at kerja, mana sempet gue flirting ke Uki. Gila tega bener lo ya babi panggang!”
“Oke, dua Minggu. Tawaran terakhir.” Daniel berpikir sebentar. Benar-benar berpikir sepertinya. Dan lumayan bikin surprise, karena selama ini itu anak gak pernah berpikir sebelum bertindak. Selalu bertindak dulu baru berpikir.
“Oke, dua Minggu.” Gue merasa diatas angin. Pasalnya, Daniel mengatakan dua minggu tadi dengan nada ragu-ragu dan tak yakin. Hahaha.
***

Gue membuka kamar kost gue dengan perasaan bosan. Entah ya, kadang gue iri banget sama Daniel. Kita sahabatan dari kecil, sampai akhirnya sama-sama tahu kalau kita berdua gay, nyari sekolah selalu bareng dan selalu diterima barengan juga, yah walau beda kelas kadang, nyari kerjaan pun bareng. Di PT Saviour ini, adalah tempat pertama gue kerja. Bagi Daniel juga yang pertama karena kita nyarinya barengan.
Yang gue iri dari Daniel?
Gak usah bahas fisik lah ya, semua mata pasti lebih tertuju ke Daniel daripada gue. Dan gue udah belajar lebih dari sepuluh tahun untuk menyadari hal itu. Pernah jatuh cinta sama Daniel? Sayangnya belom, sayang sih iya. Gimanapun juga, Daniel udah kayak sodara buat gue. Sama dia, gue bisa cerita apa aja. I mean it tentang apa aja.
Kalau nafsu? Haha, pernah dan sampai sekarang kadang masih. Gue enggak pernah memungkiri kalau Daniel emang hot. Dan kalau pas tidur bareng, tangan gue selalu usil masuk ke celananya. Selama ini sih, Daniel fine-fine aja dan gak pernah protes.
Pernah making sex sama Daniel? Belom. Berharap? Engga, thanks. Gue gak mungkin ngorbanin persahabatan lama ini cuman buat hal sepele semacam seks. Yang gue tahu buat dapetin seks di tahun 2014 ini sangatlah gampang. Gue gak jelek-jelek amat, jadi ya tinggal pasang aplikasi macam grindr atau jack D, gue pasti bisa dapet. Tapi bukan itu, gue tipe yang lebih mengutamakan relationship. Gila, old school banget ya gue.
Pernah lihat Daniel bugil? Kalau cuman pake kolor, pernah dan sering! Kalau telanjang bulat, sayang sekali itu udah lama banget. Terakhir kali gue lihat Daniel sama penisnya itu pas kita masih SMP kelas satu. Masih belum ada apa-apanya. Jembut aja belum tumbuh. Hahaha.
Eh, kok gue jadi kayak sesi tanya jawab gini?
Gue meletakkan tas kerja gue dan rebahan diranjang. Menghidupkan ipod yang gue sambungkan ke speaker dengan suara pelan. Aah, istirahat sebentar sebelum turun nyari makan.
Gue tadi pulang sendiri, Daniel sepertinya mau memulai aksinya menaklukkan Uki. Sebenarnya menang atau kalah dalam taruhan kali ini sih tidak berarti. Gue cuman pengen Daniel belajar satu hal, ada yang namanya cowok straight di dunia ini. Seseorang harus mengingatkan Daniel akan hal itu, dan gue gak keberatan dengan tugas mulia untuk mengingatkan Daniel.
Lagu Hurt Christina Aguilera masih mengalun ketika gue mendengar ada yang mengetuk pintu kamar kost gue. Saat posisi udah pewe kayak gini, paling males kalau diganggu. Seriusan!
Tapi, daripada ntar si tamu ngetuk pintunya makin ganas. Dia pasti tahu ada orang didalam karena tadi gue sempat ikut bernyanyi bersama Miss Aguilera. Mungkin dia terganggu dengan suara gue tadi? Aah
Dengan ogah-ogahan gue bangkit dari ranjang. Gue harus mastiin bahwa ranjang gue tadi bebas dari lem. Efek lengketnya berasa banget.
“Hei, sorry ganggu. Lo ada charger Iphone kaga?” Holy crap! Gue pasti keliatan kaco, I mean gue masih pake pakaian kerja yang uda kusut. Rambut acak-acakkan ala abis diperkosa marathon sama satu pleton tentara. Gua pasti keliatan GAK BANGET.
“Hy, are you there?” Jari-jari macho itu menari-nari tepat didepanku.
“Oh, sorry. Eh, butuh apa lo tadi Ren?” Yup, yang ngetok-ngetok kamar gue tadi si Reno. The hot guy yang sering gue sama Daniel intipin tiap Jum’at malam.
“Charger buat Iphone gue. Lo ada gak?”
“Oke bentar.”  Gue masuk kembali ke kamar. Mengambil chargeran yang gak pernah gue cabut dari stop kontak. Selalu nempel disana semenjak gue beli.
“Thanks ya.”
“Welcome, emang kenapa charger punya lo?”
“Kabelnya putus.” Ha? Kok bisa? Digigit?
“Gue potong pake gunting pas gue kesel tadi.” Kata Reno seperti tahu keheranan yang tercetak jelas di wajah gue. Dan mendengar pengakuan Reno tadi wajah gue langsung bias. Oke, gue emang punya charger dua. Satu yang selalu nempel di kostan dan satu yang selalu gue bawa kemana-mana. Tapi tetep aja, gue gak rela itu charger gue kabelnya ntar dipotong-potong juga.
“Tenang aja, charger lo aman sama gue. Gue balikkin ntar kalau batere gue uda penuh.” Gue akhirnya menghembuskan nafas lega.
“Oke.”
“Once again, thanks ya.” Dia tersenyum. Reno tersenyum! Inget tadi pertanyaan gue pernah jatuh cinta sama Daniel apa kaga? Kayaknya gue jatuh cinta, tapi bukan sama Daniel. Sama Reno!
***

Bimo Adiaguna
“Don’t act like you won’t it.” Gue gak bisa menyembunyikan kekesalan gue sama Daniel setelah lebih dari sepuluh menit dia mengacuhkan gue. Gue bela-belain pulang awal dari kantor, beli kue coklat dengan sedikit cheese dan hazelnut kesukaan dia, tapi apa yang gue dapat?
“I want break up.” Shit! Not again.
“Kenapa? Ada lelaki lain?” Gue gak bisa marah walau gue pengen. Daniel bukan kucing, bukan tipe yang cuman pengen duit dari gue. Sepanjang kita pacaran, dia bahkan gak pernah minta apa-apa.
Dia juga gak pantes jadi simpanan, tapi gue gak mau ngebuang keluarga gue gitu aja.
“Gak ada mas. Gue capek aja.” Gue merengkuh pundaknya. Merebahkan kepalanya ke dada gue. Sesuatu yang gue tahu pasti bisa sedikit meredakan emosi Daniel.
“I love you.” Hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari bibir gue setelah kita berdua terdiam cukup lama.
“I know.”
“I won’t let you go.” Daniel semakin merapatkan tubuhnya.
“Then stay with me? Just for tonight?” Dilema. Tapi akhirnya gue mengangguk.
“Tapi dimamam dulu kuenya. Gue keluar dulu ngabarin Titris.” Daniel hanya mengangguk. Wajah mendungnya justru semakin memperjelas ketampanannya. He’s mine. He’s mine. Gue mengatakan itu berulang-ulang sambil jemari gue mencari nomor telepon Titris.
Thinking! Gue harus bisa memberi ide yang cukup jelas kenapa malam ini enggak balik rumah.
Nada ringtone masih terdengar.
Come on thinking!
“Halo mas,” Shit, udah diangkat lagi!
“Halo sayang, cuman pengen ngabarin aku gak bisa pulang malam ini. Ada project yang musti aku handle.” Titris terdiam cukup lama disana. Dia pasti marah. Pasti.
“Gak bisa besok aja mas? Harus malam ini?”
“Justru biar besok weekend aku bisa di rumah. Malam ini aku nginep kantor paling. Lembur sampai pagi soalnya.”
“. . .”
“Sama Daniel, kamu bisa telepon dia kalau gak percaya.”
“Oke mas, jangan terlalu dipaksa juga. Gak baik buat kesehatan.” Ada desah nafas kecewa disana.
“Iya. I love you.”
“I love you too.” Klik, sambungan diputus.
“Lembur? Gak capek lo boong terus-terusan mas?” Daniel berdiri disana. Dengan atasan piyama yang tidak dikancing dan boxer pendek pas badan. Damn!
“Jangan ikut memperparah mood gue yang lagi down.”
“Wanna cokelat?” Daniel tersenyum sambil mengangkat kue yang entah kenapa sudah tinggal setengah potong. Ini yang selalu gue iri dari Daniel, dia makan sebanyak yang dia mau dan gak pernah gendut.
***

Joshua Daniel Pradipta
Aku pernah bilang, aku benci hari Senin kan? Jadi gak perlu lah ya aku ulang-ulang lagi alasannya kenapa. Seperti pengendara motor didepanku yang dari tadi bikin aku gemas sendiri. Dua motor, berjalan pelan, saling ngobrol dan kedua kaki mereka dikaitkan ke motor satu sama lain. Mereka pikir ini jalan milik kakek mereka? Mereka pikir mereka lagi parade?
Dan di jalanan yang cukup padat ini sama sekali tidak memungkinkanku untuk menyalip. Shit! Setengah menyesal juga lewat rute jalan sempit kayak gini.
But, it’s okay. Hari ini adalah hari resmi dimulainya taruhanku dengan Evan. Dua minggu dari sekarang. Lumayan kan kalau dapat satu bulan gajinya Evan? Bisa buat liburan ke Raja Ampat. Barang dua hari. Wkwkwkwk.
Kemacetan tadi di jalan tidak membuat senyumku pudar, walau jujur aku cukup kesal tadi. Tapi sudahlah ya, bayangan liburan di Raja Ampat lebih menarik.
Bahkan Iin pun sempat heran karena aku sapa tadi.
Aku naik ke lantai dua. Dan mendapati meja Uki kosong. Uki Bagus Walantaga belum hadir. Aku melihat jam dinding yang terletak persis di atasku. Shit! Masak si rajin itu telat ngantor? Kan gak mungkin banget.
“Eh, si Uki belom dateng nih Hit?” Aku bertanya pada Hita yang kubikelnya sebelahan sama kubikel milik Uki. Jujur, aku gak bisa membayangkan bekerja di kubikel sekecil ini. Thanks ruanganku cukup besar bahkan untuk aku guling-guling gila disana.
“Dia hari ini gak ngantor.”
“Sakit?” Bukan karena aku khawatir tentu saja, hanya saja semua rencanaku bisa failed.
“Enggak, ada ketemu klien di Indesso. Trus lanjut ke Heinz ABC.”
“Thanks.” Aku berlalu dan naik ke lantai tiga. Kecewa, mogol atau apalah bahasanya. Dan entah kenapa, kejadian-kejadian menjengkelkan si motor yang gandengan mesra tadi kembali membayang dan membuat kekesalanku semakin meningkat.
Arrrrgggggggggggggggggh!!


TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.