Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Uki
Bagus Walantaga
Oke,
ini sebenarnya cukup buruk. Aku tidak tahu harus memulainya darimana, tapi
pergi berdua saja dengan Daniel adalah masalah. Acha tidak aku hitung. Dan aku
tidak mau berada dalam masalah. Aku bukan seperti Daniel yang menyukai
tantangan-tantangan baru, aku lebih suka dengan kenyamanan.
“Bukannya
technical dan Quality Assurance saja yang harusnya pergi Pak?” Aku mencoba
beragumen. Daniel yang sedari tadi hanya diam –aku heran kenapa dia tidak
keberatan ditugaskan pergi berdua saja denganku, maksutku, bukankah dia juga
kurang menyukaiku?- dan juga Acha –QA perusahaan ini- yang tidak menunjukkan
gejala-gejala keberatan. Mereka berdua sama menyebalkannya saat ini.
“Betul,
tapi saya pengen ada satu sales yang juga ikut. Jadi nanti pada saat ada
customer yang komplain lagi, kamu bisa lebih logis dalam memberi penjelasan.”
Klik. Alasan Pak Bos bener-bener masuk akal. Kembali aku melirik Daniel, gila
ini anak yang biasanya mengeluarkan tanggapan logis bin tajam kayak silet jadi
diem gini.
“Lagipula
kan cuman seminggu, bagaimana?”
“Oke,
no problem.” Daniel menjawab datar, seperti tanpa minat.
“Saya
juga gak keberatan pak. Saya bisa,” Acha juga sama sekali tidak membantu.
Sepertinya memang cuma aku yang keberatan kali ini.
“Uki?
Ada yang masih ganjel?”
“Gak
ada Pak, oke.”
“Sip,
jadi clear ya. Oke, terima kasih buat waktunya. Saya cuman mau menyampaikan itu
saja.” Aku tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan ruangan Pak Bos.
Oke,
jadi aku belum cerita ya? Setelah kemarin hari Senin aku seharian bertemu
customer, hari ini tiba-tiba Pak Bos minta meeting mendadak. Intinya, Pak Bos
minta aku, Daniel dan Acha untuk melihat proses produksi tea flavour di salah
satu pabrik cabang kita di Semarang. Kita ada teknologi baru yang beberapa
bulan ini sudah dijalankan. Hanya saja, ada beberapa komplain dari klien. Dan,
kita bertiga diminta kesana untuk melakukan evaluasi. Siapa tahu mereka salah
dalam mengempletasikan metode yang baru.
Metode
yang baru ini adalah gagasan Daniel. Memangkas beberapa raw material guna
mereduksi biaya produksi. Hasilnya? Modal produksi hemat hampir dua puluh
persen. Bukan hanya itu, rasa si produk juga sama. Yah, si Mister copy paste
itu memang jenius. Waktu trial error di Jakarta, produk akhirnya masih bagus.
Lalu pas di kirim ke Semarang, untuk diproduksi skala besar disana, ada banyak
komplain. Tugas kita bertiga yang mengevaluasi dimana letak kesalahannya.
Haish, aku mana tahu tentang proses produksi coba?
Mana
besok pagi lagi penerbangan ke Semarangnya. Haduh.
Aku
kembali ke kubikelku dengan perasaan tidak menentu. Aku akan menghabiskan waktu
seminggu penuh dengan Daniel. Sudah pasti kita akan sekamar di hotel,
perusahaan mana mungkin mau mengeluarkan uang lebih supaya aku dan Daniel pisah
kamar? Itu artinya?
Shit!
Bayangan Daniel yang tengah shirtless tiba-tiba terbayang lagi. Arggghhhh.
***
Joshua
Daniel Pradipta
“You
are a lucky bastard.” Evan mengucapkannya sambil mengacungkan satu celana dalam
ke arahku. Aku mengangguk, memberi kode untuk Evan agar memasukkan celana dalam
mini tersebut ke koperku. Malam ini, Evan tengah membantuku packing.
Sebenarnya, enggak banyak juga yang bakalan aku bawa. Tapi, Evan meyakinkan
diri bahwa dia perlu membantuku.
“Siapin
aja gaji lo bulan depan buat gue.” Kataku santai sambil kembali memeriksa
koperku. Completed!
“Kondom?
Siapa tahu lo nemu cowok lucu disana Dan.” Aku tersenyum mendengar gagasan
Evan. He is smart. Bukan berarti aku berencana untuk selingkuh ya, tapi toh
hubunganku dengan Bimo pun tak jelas. Yang jelas, dia juga tak berhak
melarangku jika aku ingin making sex dengan cowok lain. Kan dia juga sering
make out dengan bininya, apa aku melarangnya? Oke, ridicilous theory.
“So,
apa rencana lo?”
“Belom
ada, ntar aja lah pas udah nyampe Semarang aja gue bikin plannya.” Aku berjalan
ke dapur. Mengambil wine dari almari pendingin.
“Wine?”
Tawarku pada Evan yang langsung ditanggapi dengan cengiran.
“Saran
gue sih jangan sampai keterlaluan sama Uki, gitu-gitu kan doi lempeng banget
hidupnya.” Evan berkata sambil merebut gelas yang sudah aku tuangi cairan merah
memabukkan itu.
“Kalau
dia yang minta gue kerjain gimana?”
“Sinting
lo ya!” Aku terkekeh geli.
“Yang
pasti nih ya Van, gue bakaln have fun. Yakin banget ini gue!!”
***
Uki
Bagus Walantaga
Semarang
panas gila! Jujur aku memang belum pernah ke pabrik yang cabang Semarang. Jauh
banget dari peradaban. Dari bandara ternyata lumayan juga, ada kali satu jam
lebih. Kata pak sopir, namanya sapa ya tadi aku lupa, yang ditugaskan buat
ngejemput kita bertiga pabriknya berada di kawasan industri. Deket terminal apa
gitu tadi. Terloyo? Terboyo? Aah, lupa.
Tapi
yang lebih aneh adalah Daniel yang kalem banget. Kedua telinganya tersumbat
earphone. Dan bibirnya bersenandung kecil, keluhan sama sekali tidak keluar
dari mulutnya, hebat! Keajaiban dunia! Padahal Acha saja sudah beberapa kali
mengeluh tentang jalanan yang lumayan bikin kita goyang-goyang gaje di dalam
mobil.
“Kita
gak ke hotel langsung Pak?” Aku bertanya dengan nada kesal yang gagal aku
sembunyikan. Bukan salah Pak Sopir juga sih sebenarnya.
“Kata
Pak Robby, saya disuruh mengantar langsung ke pabrik.” Aku melirik Daniel yang
tiba-tiba duduk tegak. Baru mau komplain dia? Aku menantikkan apa yang akan dia
ucapkan, tapi nothing. Daniel kembali duduk santai sambil bersenandung lagi. Mungkin
dia depresi kali.
Setibanya
di pabrik, kita disambut Pak Robby dan Mbak Suci. General Manager dan Sect Head
Quality Control di sini.
Aku
berusaha mati-matian untuk bisa ramah. Serius! Dengan mood yang bener-bener
lagi ancur-ancurnya gara-gara perjalanan dari Bandara ke pabrik, harus bersikap
ramah adalah salah satu hal yang penting untuk dihitung sebagai amal ibadah.
Gede banget ini pahalanya.
Kita
bertiga dikenalkan dengan para quality control. Menurut mereka, semua hasil
produk sudah sesuai dengan standart. Baik dari uji organoleptik ataupun uji
lab. Daniel mengobrol dengan serius. Sedangkan aku memilih duduk dan
meregangkan kakiku sebentar. Kalaupun aku mau ikut ngobrol, bahasannya sudah
diluar jangkauanku.
Setelah
ngobrol panjang lebar, kita bertiga diajak ke ruang produksi. No AC here, just
for your informasion. Hanya kipas angin yang sama sekali tidak membantu
meredakan panas.
Daniel
menanyakan beberapa pertanyaan ke Mbak Suci, mereka berdua bahkan
tertawa-tertawa gaje. Ya ya, cewek mana sih yang gak bakalan terpesona sama
Daniel? Tapi kenapa ya, aku merasa kesal? Entah, hanya saja semakin kesal saja
melihat Daniel yang sudah begitu akrab dengan Mbak Suci. Oh, mungkin karena
moodku yang belum membaik saja. Ya pasti karena itu. Apa? Cemburu? Tidak
mungkin lah ya! Cemburu? Ada-ada saja! Cemburu? Ggrrrr, aku benci pemikiran
itu! Buang jauh-jauh, aku tidak cemburu! Aku tidak sudi untuk cemburu!
***
“Complicated
juga ya Cha?” Daniel mengambil gula dan creamer secara bersamaan.
Menambahkannya secara kurang ajar ke minumannya. Sepertinya, walaupun Daniel
lulusan technologi kimia, tidak membuatnya serta merta menjadi bijak dalam
memasukkan kalori serta kandungan glucose ke dalam tubuhnya.
“Tapi
masih bisa diatasi kayaknya Dan, tinggal lo ajari aja technicalnya.”
“Iya
sih, tapi jadi kerja double kita.” Oke, aku hanya diam. Sama sekali tidak
mengerti topik pembicaraan mereka.
“Emang
uda ketemu sumber permasalahannya?” Tanyaku pada akhirnya. Aku tidak ingin
hanya menjadi pendengar saja disini. Daniel menoleh ke arahku dengan ekspresi
sedikit kaget. Seolah-olah tadi aku tidak berada disini.
“Jadi,
mesin produksinya gak sesuai sama mesin kita yang di Jakarta settingannya Ki.”
“Gila,
kok bisa?”
“Mereka
menambah tingkat suhunya lebih ekstrim tapi dengan waktu yang lebih singkat.
Hasilnya? Memang secara standart mereka masih masuk. Tapi tidak awet dalam
jangka panjang. Buktinya baru delapan bulan sudah timbul bau tengik. Padahal
masa pakai seharusnya bisa satu tahun.”
“Terus
gimana?”
“Gue
suruh besok mereka gak produksi dulu, mau gue cleaning massal semua mesinnya.
Pabrik disini bener-bener jorok.” Kini Daniel mengambil kue berlapis coklat.
Ini anak makannya banyak amat ya?
“Kalau
mereka gak mau? Cleaning berarti memangkas produksi lho Dan, target mereka bisa
gak achieve.”
“Kalau
gitu cut aja, ganti dengan manajemen yang baru. Aah, gue balik kamar duluan.
Capek.” Aku geleng-geleng kepala. Daniel memang pintar, sudah tidak perlu lagi
lah aku tunjukkan terobosan-terobosan apa saja yang pernah dia buat. Dan lagi,
dia type pegawai yang begitu resign maka akan banyak perusahaan yang akan
memperebutkannya. Namanya saja sudah banyak diincar banyak kompetitor.
Tapi,
toleransinya. Bagaimana aku bilangnya? Daniel sepertinya tidak pernah terjun
langsung ke produksi, yah sepertinya memang tidak pernah. Daniel tidak tahu
kalau General Manager dituntut untuk sebuah target. Bonusnya mungkin bisa
dipotong, atau mungkin sama sekali tidak mendapat bonus jika tidak achieve.
Dengan adanya komplain ini saja, aku yakin Pak Robby sudah kembang kempis.
Dampaknya, dia marah ke bawahannya, akhirnya yang kena juga pegawai yang paling
bawah.
Aah,
sebaiknya aku kembali ke kamar. Toh Daniel juga cuman menjalankan tugasnya. Aku
meninggalkan Acha setelah berbasa-basi sebentar, perempuan tomboy itu masih
ingin memilih stay disini. By the way, Acha adalah salah satu wanita dari
sedikit wanita di kantor yang menganggap Daniel itu biasa saja.
***
Holy
shit!!
Daniel
tengah berdiri di depan tv, handuk putih melingkar di pinggangnya. Tangannya
yang satu tengah sibuk menggosok gigi, tangannya yang lain sibuk
memindah-mindahkan chanel tv. Hebat ya bisa multi tasking gitu. Tapi bukan itu
yang bikin aku kagum, tubuhnya.
Aku
selama ini bukan pengagum tubuh seksi. Oke, aku mengapresiasi usaha keras
mereka, seperti para angel victoria secret. Mereka seksi, ya! Dan pantas untuk
dikagumi. Untuk dijadikan istri? Aku lebih memilih yang wajar dan biasa saja.
Daniel?
Baru kali ini aku tergugah untuk mengagumi tubuh lelaki lain. Serius. Selama
ini aku tidak begitu peduli. Aku juga olahraga, namun tidak ada guratan enam
pack di perutku seperti milik Daniel. Aku menerapkan diet sehat sehingga
perutku cukup untuk tidak membuatku malu jika aku harus membuka baju di tengah
orang banyak.
Tapi
Daniel? Dia memiliki tipe tubuh yang ‘harus dipamerkan’.
“Lo
ngapain bengong disitu Ki? Terpesona sama tubuh gue?” Daniel nyengir,
memamerkan gigi putih rapinya yang penuh dengan busa.
“Jorok
lo! Gosok gigi di kamar mandi sono!”
“Hehehe,”
Daniel nyengir sekali lagi sebelum meletakkan remote tv ke meja dan berlalu ke
kamar mandi.
“Mau
mandi lo Dan?”
“He
eh.” Aku menarik nafas dalam. Kamar hotel ini cukup recomended sebenarnya.
Tapi, sepertinya di khususkan untuk pasangan suami istri. Kenapa? Pintu kamar
mandi yang terbuat dari kaca bening. Itu membuat akses mataku bebas menelusuri
tubuh telanjang Daniel yang sedang terguyur air dari shower. One bed lagi! ya,
hanya ada satu ranjang. Alamak.
Ehm,
aku menfokuskan diriku pada acara tv. Menyimak ketika Najwa Shihab tengah
mewawancarai entah itu siapa. Tapi, sekuat apapun aku berusaha untuk menahan
kepalaku agar tidak menengok ke arah kamar mandi, sekuat itu pula aku semakin
ingin menengoknya.
Aku
menyerah, dengan gaya tidak minat aku melirik ke arah kiri. Tepat disana,
Daniel tengah menyabuni tubuhnya. Anjing! Pantatnya montok banget. Now, I sound
like I am gay.
Shit!
Mending aku keluar cari angin saja!
Aku
mematikan tv dan berjalan keluar kamar hotel. Kemana ya enaknya? Aku baru saja
sampai di lobby hotel saat aku sadar bahwa aku meninggalkan sesuatu yang
penting. Card key kamar hotel!
Aah,
ntar ada Daniel ini gampang lah!!
***
Evan
Sutedjo
Jam
sepuluh malam dan gue masih di jalan. Hell! Aturan, gue harusnya uda sampai
kostan jam delapan atau paling telat jam sembilanan. Haduh, ini macet dalam
rangka apa juga, gak jelas. Untung sudah dapet tempat duduk di busway, kalau
gak bisa pegel ini kaki.
Well,
akhirnya jam sepuluh lewat tiga puluh gue baru masuk gerbang kostan. Kalau lagi
sama Daniel mah sering pulang jam segini, kita nongki-nongki dulu. Lha ini gue
sendirian. Jam tujuh teng tadi gue langsung cabut. Uda nunggu buswaynya lama
anjir, macet pula!
Gue
baru saja mau memasukkan anak kunci ke kamar kostan gue saat ada panggilan
masuk dari Daniel. Baru juga sehari gak ketemu sudah kangen aja itu anak.
“Kenapa
lo Dan?” Gue ngebuka pintu kamar dan langsung rebahan. Capeknya ampun dah.
Tangan kiri gue mencari-cari remote AC yang entah tadi pagi gue letakkin
dimana.
“I
am lost here.” Gue dengan jelas bisa mendengar musik yang cukup bising dari
sana.
“Jangan
bilang lo lagi dugem.”
“I
just try to having fun dude!” Gue memutar bola mata, well Daniel juga gak
bakalan lihat sih actually.
“Uki?”
Was-was juga ninggalin cowok baek-baek macam Uki ditangan Daniel. Jangan bilang
itu anak dibawa dugem juga.
“Dunno.
Tadi pas gue mandi dia keluar. Tau deh sekarang doi dimana.” Gue cuman bisa
geleng-geleng kepala. This bitch is just too . . .
“Bye
Van, I am hung up.”
“Wait,
jangan bilang lo baru aja nemu mangsa.”
“Actually
yah! Bye.” Klik. Sambungan di putus.
Daniel masih inget gak kalau besok itu masih Rabu dan dia juga harus
kerja? Hell, bisa aja dia lupa! Gak heran!
Gue
baru saja mau menelepon kembali si Daniel, saat gue sadar ada yang berdiri di
ambang pintu kamar gue.
“Kok
pintunya gak ditutup?” Reno! Damn! He’s just standing there, hanya dengan
boxer. Kenapa sih dia suka banget berkeliaran dengan shirtless?
“Biar
adem aja.”
“Really?
AC kamar lo rusak emangnya?” Ahem, asal jawab bisa banget berdampak pada mati
kutu. Trust me, specially kalau lo ngobrol macam orang kritis begini.
“Engga,
tadi begitu gue balik gue langsung rebahan. Tuh, kuncinya juga masih ngegantung
di luar.” Reno menghampiri gue yang
masih berbaring di ranjang. Dia juga sudah mencopot kunci dan menutup pintu
kamar kost gue.
“Capek
banget?”
“Tadi
macet gila!”
“Katanya
sih ada kecelakaan, makanya bikin macet.” Gue Cuma bisa manggut-manggut. Gue
mengalami yang namanya strange feeling. Berdua saja dengan orang yang lo suka
di dalam kamar itu tidak bagus untuk kesehatan jantung. Serius.
“Ini
tadi gue beli siomay, belum makan kan pasti? Ya udah gue tinggal dulu ya!” Reno
mengelus-elus kepala gue sebelum akhirnya keluar dari kamar kost gue. Shit!
What happen? Seriously, tell me, what’s going on here? Aaaaaaargh!!
***
Joshua
Daniel Pradipta
Club
ini, Venue, lumayan juga. Sepertinya masih baru. Not gay club, for your
information. But, yah gays are everywhere. I can find one of them here. Seperti
cowok lucu yang beberapa kali melirik kearahku. Cute, hot body. My type.
Bukan
berarti aku langsung menghampirinya. Dia tengah bersama teman-temannya. Enggak
lucu kalau aku tiba-tiba berjalan kearahnya dan mengajaknya kenalan. Not my
style. Aku menoleh kearahnya, dan tepat ketika dia juga melirik kearahku, aku
memberikan senyum terbaikku. Jenis senyum yang pasti akan langsung disamber.
Aku jamin!
Aku
kembali sibuk dengan minuman dan gadgetku. Pura-pura tidak memedulikan cowok
lucu tadi. Baru juga jam dua belas.
“You
must be in desperate.” Aku menoleh. Dan cowok lucu tersebut tersenyum sambil
menunjuk dua botol wine yang sudah aku habiskan.
“It’s
deadly, but I am not that one.”
“Haha,
do you mind if. . .”
“No.
Go ahead.” Cowok lucu itu mengambil tempat duduk disampingku. Dia pikir aku
bule mungkin. Mungkin. Gak sedikit kok yang mengira begitu.
“Uh,
hi.” Sapaan standar dariku.
“Hendri
Subakti.” Cowok tersebut mengulurkan tangannya. Aku mengamatinya sejenak sambil
membalas uluran tangannya.
“Hendri
Subakti? You are kidding! No, you’re- you write for, like, every novel I love.”
Surprise! Hendri Subekti, novelis cerdas yang selama ini hanya bisa aku baca
karya-karyanya. I mean, gosh, I never imagine that he’s so hot! In real.
“Did
you mention my good looks and my killer charm?” Aku terkekeh pelan.
“No,
but-”
“What
do you do?”
“I
am writer too.” Aku tertawa ringan. Maksutku, penulis buku diary. Hahaha.
“It’s
that right?”
“Mm-hmm.”
“I
should read your stuff, why don’t you send it over?” Uhuk, aku bercanda kali
tadi.
“Yeah?
That would be thank you, that would be great. But actually, right now I am
working as tecnical food. You know? Create new development.”
“Whooa,
it’s great.”
“Yap,
tapi gue baru tahu lo tinggal di Semarang, bukannya di Jakarta?” Hendri
memandangiku sebentar.
“Gila,
gue kira lo cowok Singapura atau Thailand gitu tadi.” Aku tertawa ringan.
“Kebetulan,
gue ada kerjaan ke luar kota. Lo sendiri? Asli sini?” Hendri melanjutkan
ucapannya tadi. Aku menggeleng pelan.
“Same
as you. Gue juga tinggal di Jakarta.” Aku baru saja akan mengambil botol
keempat ketika aku mendapatkan BBM dari Uki. Aku membacanya sebentar sebelum akhirnya
keningku berkerut. How can be?
“I
am sorry, gotta go.”
“Really?
Well, it’s was very, very nice to meet you, the hotti boy. Can I have your
contact?” Aku tersenyum sebentar dan memberikan nomor teleponku. Sebenarnya aku
jarang, bahkan hampir tidak pernah memberikan nomor teleponku ke orang baru
kenal. But, ini Hendri Subakti! Shit! Uki!
***
Begitu
aku tiba, aku melihat Uki tengah berada di lorong tepat didepan kamar hotel
tempatku dan dia menginap. Dia tersenyum begitu menyadari kehadiranku. Deg deg deg.
What
happen with my heart?
“Sorry
ya jadi ganggu acara lo.” Uki tersenyum sekali lagi. aku tak pernah mengira
kalau Uki itu cute mampus. Oh yah, dia memang gak jelek. But actually not my
type. Then, kenapa jantungku jadi bertalu-talu gini liat senyumnya?
“Gak
papa, gue juga udah mau balik kok. Kok lo gak minta tolong reseptionis hotel?
Dia kan pasti punya kunci cadangannya.”
“Tujuan
sebenarnya sih biar lo balik. Ini udah jam satu malam lho, besok kan masih
harus kerja.” Wajahku memerah. Aku yakin itu. Aah, ini anak kenapa gak marah
atau something yang bisa bikin aku marah balik gitu. Dia malah jadi baik gini.
Paling gak kuat kalau dibaikkin gini.
Dengan
gugup aku masuk kamar hotel. Mengabaikan Uki yang masih tersenyum, jenis senyum
memaklumi anak kecil yang ketangkep tengah melakukan kebandelannya. Ini gak
oke! Jenis permainan yang makin berbahaya. Aku gak boleh jatuh cinta dengan
bahan taruhanku sendiri. Urusannya ntar jadi ribet.
Aku
baru saja melepas kemejaku ketika ada panggilan masuk. Aku menengok ke
belakang, melihat Uki yang sedang mau mandi. Baru ingat itu anak belum mandi
dari tadi sore.
Aku
memutar kunci jendela kaca geser dan membukanya, berjalan ke balkon sambil
menerima panggilan masuk dari Bimo.
“Istri
lo udah tidur baru lo berani nelpon gue mas?” Aku bicara sepelan mungkin. Takut
Uki mendengar ucapanku.
“Gimana
tadi?” Bimo mengabaikan ucapanku. Yah, as ussuall.
“Lancar
aja kok.” Hening. Baik Bimo ataupun aku tidak ada yang membuka percakapan lagi.
Aku melihat kebawah, kearah kolam hotel yang terlihat berkilauan tertimpa
cahaya lampu dan bintang malam.
“Itu
aja mas? Gue tutup ya? Ngantuk banget.”
“Eem,
oke. I miss you. Kangen.” Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Sekangen-kangennya
Bimo padaku, secinta-cintanya Bimo padaku, dia pasti tidak akan mau
mengorbankan keluarga harmonisnya demi diriku. Aku mematikan sambungan telepon.
Bukan berarti aku menginginkan hal itu terjadi. Hanya saja, aku benar-benar
ingin merasa dibutuhkan oleh seseorang. Di dalam hidupnya, akulah fokus utama.
But, it’s never gonna happen.
“Belum
ngantuk? Lo gak kedinginan gak pake baju gitu?” Aku diam. Mengabaikan
pertanyaan yang dilontarkan Uki barusan. Karena kalau aku berbalik atau
mengeluarkan suara, maka kadar memalukanku dihadapan Uki akan bertambah. Yah,
termasuk wajah yang merona tadi. It’s counting.
“Hei,
Dan.” Uki berdiri disampingku. Lampu kamar hotel cukup terang, yah cukup jelas
untuk Uki bisa melihat butiran bening yang jatuh dari mataku.
“Are
you oke?”
“No,
I am not. But I will.” Hening. Baik aku ataupun Uki diam. Aku tidak tertarik
untuk menoleh kearah Uki, hingga aku sadari tangan Uki yang berada di pundakku.
“Pak
Bimo?” Kata itu diucapkan lirih oleh Uki, namun mampu membuat seluruh indraku
waspada. Shit! Shit!
***
Uki
Bagus Walantaga
Kalau
kalian tanya apa yang tengah terjadi denganku, aku akan jawab kalau aku juga
tidak tahu. Aku tidak tahu kenapa aku ingin sekali melindungi Daniel. Aku tidak
tahu kenapa aku sangat ingin memukul Pak Bimo, walaupun aku yakin aku bakalan
kalah, karena postur tubuh kita berdua yang jelas berbeda. Aku juga tidak tahu,
kenapa aku tidak rela Daniel terluka.
Shit!
Aku kurang menyukai Daniel!
Bukankah
itu faktanya? Bukankah itu pandanganku untuk Daniel selama ini?
Lalu
sejak kapan?
Sejak
kapan aku mulai memikirkan Daniel?
Sejak
kapan bayangan Daniel mulai pelan-pelan menggantikan bayangan Hita dalam
pikiranku?
Sejak
aku melihat Daniel shirtless? Sejak aku melihat senyum manisnya di Lab? Atau
tadi malam? Saat aku melihat cairan bening turun dari matanya tanpa Daniel
bersuara sedikitpun?
Aku
tidak bisa berkosentrasi. Untung hari ini cleaning massal. Daniel dan Acha
sibuk memantau para pekerja supaya cleaning dilakukan benar-benar sesuai
prosedur. Aku sendiri tengah membuka email. Membalas beberapa email dari clien,
menyusun beberapa meeting untuk minggu depan saat aku sudah kembali ke Jakarta.
Bagus Ki, fokus saja ke pekerjaan. Maka bayangan Daniel bisa hilang untuk
sementara.
Aku
mengalihkan pandanganku, disana aku melihat Daniel dengan jas labnya. Berbicara
kepada para pekerja. Lalu kemudian mereka tertawa. Aku melongo dibuatnya.
Daniel
bahkan tanpa ragu merangkul dan menjabat tangan pekerja itu dengan erat. Serius
aku terkejut, ini Daniel we talking about. Cowok yang punya standar tinggi
dalam hidup. Hedonis luar biasa, party goers sejati, slave branded, katanya
punya alergi dengan rakyat jelata. Tapi, apa yang aku lihat sekarang? He’s just
amazing.
Atau
selama ini aku hanya mengenali Daniel dari apa kata orang?
Daniel,
who are you? Who really are you?
You
make me lost.
And,
I am afraid that you make me fall in love.
I
am scary . . .
Tbc.
J'aime cette chapitre, Nan! (:
BalasHapusYang artinya?
Hapus