FOLLOW ME

Minggu, 14 Desember 2014

BOTTOM 3

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Uki Bagus Walantaga
Oke, ini sebenarnya cukup buruk. Aku tidak tahu harus memulainya darimana, tapi pergi berdua saja dengan Daniel adalah masalah. Acha tidak aku hitung. Dan aku tidak mau berada dalam masalah. Aku bukan seperti Daniel yang menyukai tantangan-tantangan baru, aku lebih suka dengan kenyamanan.
“Bukannya technical dan Quality Assurance saja yang harusnya pergi Pak?” Aku mencoba beragumen. Daniel yang sedari tadi hanya diam –aku heran kenapa dia tidak keberatan ditugaskan pergi berdua saja denganku, maksutku, bukankah dia juga kurang menyukaiku?- dan juga Acha –QA perusahaan ini- yang tidak menunjukkan gejala-gejala keberatan. Mereka berdua sama menyebalkannya saat ini.
“Betul, tapi saya pengen ada satu sales yang juga ikut. Jadi nanti pada saat ada customer yang komplain lagi, kamu bisa lebih logis dalam memberi penjelasan.” Klik. Alasan Pak Bos bener-bener masuk akal. Kembali aku melirik Daniel, gila ini anak yang biasanya mengeluarkan tanggapan logis bin tajam kayak silet jadi diem gini.
“Lagipula kan cuman seminggu, bagaimana?”
“Oke, no problem.” Daniel menjawab datar, seperti tanpa minat.
“Saya juga gak keberatan pak. Saya bisa,” Acha juga sama sekali tidak membantu. Sepertinya memang cuma aku yang keberatan kali ini.
“Uki? Ada yang masih ganjel?”
“Gak ada Pak, oke.”
“Sip, jadi clear ya. Oke, terima kasih buat waktunya. Saya cuman mau menyampaikan itu saja.” Aku tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan ruangan Pak Bos.
Oke, jadi aku belum cerita ya? Setelah kemarin hari Senin aku seharian bertemu customer, hari ini tiba-tiba Pak Bos minta meeting mendadak. Intinya, Pak Bos minta aku, Daniel dan Acha untuk melihat proses produksi tea flavour di salah satu pabrik cabang kita di Semarang. Kita ada teknologi baru yang beberapa bulan ini sudah dijalankan. Hanya saja, ada beberapa komplain dari klien. Dan, kita bertiga diminta kesana untuk melakukan evaluasi. Siapa tahu mereka salah dalam mengempletasikan metode yang baru.
Metode yang baru ini adalah gagasan Daniel. Memangkas beberapa raw material guna mereduksi biaya produksi. Hasilnya? Modal produksi hemat hampir dua puluh persen. Bukan hanya itu, rasa si produk juga sama. Yah, si Mister copy paste itu memang jenius. Waktu trial error di Jakarta, produk akhirnya masih bagus. Lalu pas di kirim ke Semarang, untuk diproduksi skala besar disana, ada banyak komplain. Tugas kita bertiga yang mengevaluasi dimana letak kesalahannya. Haish, aku mana tahu tentang proses produksi coba?
Mana besok pagi lagi penerbangan ke Semarangnya. Haduh.
Aku kembali ke kubikelku dengan perasaan tidak menentu. Aku akan menghabiskan waktu seminggu penuh dengan Daniel. Sudah pasti kita akan sekamar di hotel, perusahaan mana mungkin mau mengeluarkan uang lebih supaya aku dan Daniel pisah kamar? Itu artinya?
Shit! Bayangan Daniel yang tengah shirtless tiba-tiba terbayang lagi. Arggghhhh.
***

Joshua Daniel Pradipta
“You are a lucky bastard.” Evan mengucapkannya sambil mengacungkan satu celana dalam ke arahku. Aku mengangguk, memberi kode untuk Evan agar memasukkan celana dalam mini tersebut ke koperku. Malam ini, Evan tengah membantuku packing. Sebenarnya, enggak banyak juga yang bakalan aku bawa. Tapi, Evan meyakinkan diri bahwa dia perlu membantuku.
“Siapin aja gaji lo bulan depan buat gue.” Kataku santai sambil kembali memeriksa koperku. Completed!
“Kondom? Siapa tahu lo nemu cowok lucu disana Dan.” Aku tersenyum mendengar gagasan Evan. He is smart. Bukan berarti aku berencana untuk selingkuh ya, tapi toh hubunganku dengan Bimo pun tak jelas. Yang jelas, dia juga tak berhak melarangku jika aku ingin making sex dengan cowok lain. Kan dia juga sering make out dengan bininya, apa aku melarangnya? Oke, ridicilous theory.
“So, apa rencana lo?”
“Belom ada, ntar aja lah pas udah nyampe Semarang aja gue bikin plannya.” Aku berjalan ke dapur. Mengambil wine dari almari pendingin.
“Wine?” Tawarku pada Evan yang langsung ditanggapi dengan cengiran.
“Saran gue sih jangan sampai keterlaluan sama Uki, gitu-gitu kan doi lempeng banget hidupnya.” Evan berkata sambil merebut gelas yang sudah aku tuangi cairan merah memabukkan itu.
“Kalau dia yang minta gue kerjain gimana?”
“Sinting lo ya!” Aku terkekeh geli.
“Yang pasti nih ya Van, gue bakaln have fun. Yakin banget ini gue!!”
***

Uki Bagus Walantaga
Semarang panas gila! Jujur aku memang belum pernah ke pabrik yang cabang Semarang. Jauh banget dari peradaban. Dari bandara ternyata lumayan juga, ada kali satu jam lebih. Kata pak sopir, namanya sapa ya tadi aku lupa, yang ditugaskan buat ngejemput kita bertiga pabriknya berada di kawasan industri. Deket terminal apa gitu tadi. Terloyo? Terboyo? Aah, lupa.
Tapi yang lebih aneh adalah Daniel yang kalem banget. Kedua telinganya tersumbat earphone. Dan bibirnya bersenandung kecil, keluhan sama sekali tidak keluar dari mulutnya, hebat! Keajaiban dunia! Padahal Acha saja sudah beberapa kali mengeluh tentang jalanan yang lumayan bikin kita goyang-goyang gaje di dalam mobil.
“Kita gak ke hotel langsung Pak?” Aku bertanya dengan nada kesal yang gagal aku sembunyikan. Bukan salah Pak Sopir juga sih sebenarnya.
“Kata Pak Robby, saya disuruh mengantar langsung ke pabrik.” Aku melirik Daniel yang tiba-tiba duduk tegak. Baru mau komplain dia? Aku menantikkan apa yang akan dia ucapkan, tapi nothing. Daniel kembali duduk santai sambil bersenandung lagi. Mungkin dia depresi kali.
Setibanya di pabrik, kita disambut Pak Robby dan Mbak Suci. General Manager dan Sect Head Quality Control di sini.
Aku berusaha mati-matian untuk bisa ramah. Serius! Dengan mood yang bener-bener lagi ancur-ancurnya gara-gara perjalanan dari Bandara ke pabrik, harus bersikap ramah adalah salah satu hal yang penting untuk dihitung sebagai amal ibadah. Gede banget ini pahalanya.
Kita bertiga dikenalkan dengan para quality control. Menurut mereka, semua hasil produk sudah sesuai dengan standart. Baik dari uji organoleptik ataupun uji lab. Daniel mengobrol dengan serius. Sedangkan aku memilih duduk dan meregangkan kakiku sebentar. Kalaupun aku mau ikut ngobrol, bahasannya sudah diluar jangkauanku.
Setelah ngobrol panjang lebar, kita bertiga diajak ke ruang produksi. No AC here, just for your informasion. Hanya kipas angin yang sama sekali tidak membantu meredakan panas.
Daniel menanyakan beberapa pertanyaan ke Mbak Suci, mereka berdua bahkan tertawa-tertawa gaje. Ya ya, cewek mana sih yang gak bakalan terpesona sama Daniel? Tapi kenapa ya, aku merasa kesal? Entah, hanya saja semakin kesal saja melihat Daniel yang sudah begitu akrab dengan Mbak Suci. Oh, mungkin karena moodku yang belum membaik saja. Ya pasti karena itu. Apa? Cemburu? Tidak mungkin lah ya! Cemburu? Ada-ada saja! Cemburu? Ggrrrr, aku benci pemikiran itu! Buang jauh-jauh, aku tidak cemburu! Aku tidak sudi untuk cemburu!
***

“Complicated juga ya Cha?” Daniel mengambil gula dan creamer secara bersamaan. Menambahkannya secara kurang ajar ke minumannya. Sepertinya, walaupun Daniel lulusan technologi kimia, tidak membuatnya serta merta menjadi bijak dalam memasukkan kalori serta kandungan glucose ke dalam tubuhnya.
“Tapi masih bisa diatasi kayaknya Dan, tinggal lo ajari aja technicalnya.”
“Iya sih, tapi jadi kerja double kita.” Oke, aku hanya diam. Sama sekali tidak mengerti topik pembicaraan mereka.
“Emang uda ketemu sumber permasalahannya?” Tanyaku pada akhirnya. Aku tidak ingin hanya menjadi pendengar saja disini. Daniel menoleh ke arahku dengan ekspresi sedikit kaget. Seolah-olah tadi aku tidak berada disini.
“Jadi, mesin produksinya gak sesuai sama mesin kita yang di Jakarta settingannya Ki.”
“Gila, kok bisa?”
“Mereka menambah tingkat suhunya lebih ekstrim tapi dengan waktu yang lebih singkat. Hasilnya? Memang secara standart mereka masih masuk. Tapi tidak awet dalam jangka panjang. Buktinya baru delapan bulan sudah timbul bau tengik. Padahal masa pakai seharusnya bisa satu tahun.”
“Terus gimana?”
“Gue suruh besok mereka gak produksi dulu, mau gue cleaning massal semua mesinnya. Pabrik disini bener-bener jorok.” Kini Daniel mengambil kue berlapis coklat. Ini anak makannya banyak amat ya?
“Kalau mereka gak mau? Cleaning berarti memangkas produksi lho Dan, target mereka bisa gak achieve.”
“Kalau gitu cut aja, ganti dengan manajemen yang baru. Aah, gue balik kamar duluan. Capek.” Aku geleng-geleng kepala. Daniel memang pintar, sudah tidak perlu lagi lah aku tunjukkan terobosan-terobosan apa saja yang pernah dia buat. Dan lagi, dia type pegawai yang begitu resign maka akan banyak perusahaan yang akan memperebutkannya. Namanya saja sudah banyak diincar banyak kompetitor.
Tapi, toleransinya. Bagaimana aku bilangnya? Daniel sepertinya tidak pernah terjun langsung ke produksi, yah sepertinya memang tidak pernah. Daniel tidak tahu kalau General Manager dituntut untuk sebuah target. Bonusnya mungkin bisa dipotong, atau mungkin sama sekali tidak mendapat bonus jika tidak achieve. Dengan adanya komplain ini saja, aku yakin Pak Robby sudah kembang kempis. Dampaknya, dia marah ke bawahannya, akhirnya yang kena juga pegawai yang paling bawah.
Aah, sebaiknya aku kembali ke kamar. Toh Daniel juga cuman menjalankan tugasnya. Aku meninggalkan Acha setelah berbasa-basi sebentar, perempuan tomboy itu masih ingin memilih stay disini. By the way, Acha adalah salah satu wanita dari sedikit wanita di kantor yang menganggap Daniel itu biasa saja.
***

Holy shit!!
Daniel tengah berdiri di depan tv, handuk putih melingkar di pinggangnya. Tangannya yang satu tengah sibuk menggosok gigi, tangannya yang lain sibuk memindah-mindahkan chanel tv. Hebat ya bisa multi tasking gitu. Tapi bukan itu yang bikin aku kagum, tubuhnya.
Aku selama ini bukan pengagum tubuh seksi. Oke, aku mengapresiasi usaha keras mereka, seperti para angel victoria secret. Mereka seksi, ya! Dan pantas untuk dikagumi. Untuk dijadikan istri? Aku lebih memilih yang wajar dan biasa saja.
Daniel? Baru kali ini aku tergugah untuk mengagumi tubuh lelaki lain. Serius. Selama ini aku tidak begitu peduli. Aku juga olahraga, namun tidak ada guratan enam pack di perutku seperti milik Daniel. Aku menerapkan diet sehat sehingga perutku cukup untuk tidak membuatku malu jika aku harus membuka baju di tengah orang banyak.
Tapi Daniel? Dia memiliki tipe tubuh yang ‘harus dipamerkan’.
“Lo ngapain bengong disitu Ki? Terpesona sama tubuh gue?” Daniel nyengir, memamerkan gigi putih rapinya yang penuh dengan busa.
“Jorok lo! Gosok gigi di kamar mandi sono!”
“Hehehe,” Daniel nyengir sekali lagi sebelum meletakkan remote tv ke meja dan berlalu ke kamar mandi.
“Mau mandi lo Dan?”
“He eh.” Aku menarik nafas dalam. Kamar hotel ini cukup recomended sebenarnya. Tapi, sepertinya di khususkan untuk pasangan suami istri. Kenapa? Pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca bening. Itu membuat akses mataku bebas menelusuri tubuh telanjang Daniel yang sedang terguyur air dari shower. One bed lagi! ya, hanya ada satu ranjang. Alamak.
Ehm, aku menfokuskan diriku pada acara tv. Menyimak ketika Najwa Shihab tengah mewawancarai entah itu siapa. Tapi, sekuat apapun aku berusaha untuk menahan kepalaku agar tidak menengok ke arah kamar mandi, sekuat itu pula aku semakin ingin menengoknya.
Aku menyerah, dengan gaya tidak minat aku melirik ke arah kiri. Tepat disana, Daniel tengah menyabuni tubuhnya. Anjing! Pantatnya montok banget. Now, I sound like I am gay.
Shit! Mending aku keluar cari angin saja!
Aku mematikan tv dan berjalan keluar kamar hotel. Kemana ya enaknya? Aku baru saja sampai di lobby hotel saat aku sadar bahwa aku meninggalkan sesuatu yang penting. Card key kamar hotel!
Aah, ntar ada Daniel ini gampang lah!!
***

Evan Sutedjo
Jam sepuluh malam dan gue masih di jalan. Hell! Aturan, gue harusnya uda sampai kostan jam delapan atau paling telat jam sembilanan. Haduh, ini macet dalam rangka apa juga, gak jelas. Untung sudah dapet tempat duduk di busway, kalau gak bisa pegel ini kaki.
Well, akhirnya jam sepuluh lewat tiga puluh gue baru masuk gerbang kostan. Kalau lagi sama Daniel mah sering pulang jam segini, kita nongki-nongki dulu. Lha ini gue sendirian. Jam tujuh teng tadi gue langsung cabut. Uda nunggu buswaynya lama anjir, macet pula!
Gue baru saja mau memasukkan anak kunci ke kamar kostan gue saat ada panggilan masuk dari Daniel. Baru juga sehari gak ketemu sudah kangen aja itu anak.
“Kenapa lo Dan?” Gue ngebuka pintu kamar dan langsung rebahan. Capeknya ampun dah. Tangan kiri gue mencari-cari remote AC yang entah tadi pagi gue letakkin dimana.
“I am lost here.” Gue dengan jelas bisa mendengar musik yang cukup bising dari sana.
“Jangan bilang lo lagi dugem.”
“I just try to having fun dude!” Gue memutar bola mata, well Daniel juga gak bakalan lihat sih actually.
“Uki?” Was-was juga ninggalin cowok baek-baek macam Uki ditangan Daniel. Jangan bilang itu anak dibawa dugem juga.
“Dunno. Tadi pas gue mandi dia keluar. Tau deh sekarang doi dimana.” Gue cuman bisa geleng-geleng kepala. This bitch is just too . . .
“Bye Van, I am hung up.”
“Wait, jangan bilang lo baru aja nemu mangsa.”
“Actually yah! Bye.” Klik. Sambungan di putus.  Daniel masih inget gak kalau besok itu masih Rabu dan dia juga harus kerja? Hell, bisa aja dia lupa! Gak heran!
Gue baru saja mau menelepon kembali si Daniel, saat gue sadar ada yang berdiri di ambang pintu kamar gue.
“Kok pintunya gak ditutup?” Reno! Damn! He’s just standing there, hanya dengan boxer. Kenapa sih dia suka banget berkeliaran dengan shirtless?
“Biar adem aja.”
“Really? AC kamar lo rusak emangnya?” Ahem, asal jawab bisa banget berdampak pada mati kutu. Trust me, specially kalau lo ngobrol macam orang kritis begini.
“Engga, tadi begitu gue balik gue langsung rebahan. Tuh, kuncinya juga masih ngegantung di luar.”  Reno menghampiri gue yang masih berbaring di ranjang. Dia juga sudah mencopot kunci dan menutup pintu kamar kost gue.
“Capek banget?”
“Tadi macet gila!”
“Katanya sih ada kecelakaan, makanya bikin macet.” Gue Cuma bisa manggut-manggut. Gue mengalami yang namanya strange feeling. Berdua saja dengan orang yang lo suka di dalam kamar itu tidak bagus untuk kesehatan jantung. Serius.
“Ini tadi gue beli siomay, belum makan kan pasti? Ya udah gue tinggal dulu ya!” Reno mengelus-elus kepala gue sebelum akhirnya keluar dari kamar kost gue. Shit! What happen? Seriously, tell me, what’s going on here? Aaaaaaargh!!
***

Joshua Daniel Pradipta
Club ini, Venue, lumayan juga. Sepertinya masih baru. Not gay club, for your information. But, yah gays are everywhere. I can find one of them here. Seperti cowok lucu yang beberapa kali melirik kearahku. Cute, hot body. My type.
Bukan berarti aku langsung menghampirinya. Dia tengah bersama teman-temannya. Enggak lucu kalau aku tiba-tiba berjalan kearahnya dan mengajaknya kenalan. Not my style. Aku menoleh kearahnya, dan tepat ketika dia juga melirik kearahku, aku memberikan senyum terbaikku. Jenis senyum yang pasti akan langsung disamber. Aku jamin!
Aku kembali sibuk dengan minuman dan gadgetku. Pura-pura tidak memedulikan cowok lucu tadi. Baru juga jam dua belas.
“You must be in desperate.” Aku menoleh. Dan cowok lucu tersebut tersenyum sambil menunjuk dua botol wine yang sudah aku habiskan.
“It’s deadly, but I am not that one.”
“Haha, do you mind if. . .”
“No. Go ahead.” Cowok lucu itu mengambil tempat duduk disampingku. Dia pikir aku bule mungkin. Mungkin. Gak sedikit kok yang mengira begitu.
“Uh, hi.” Sapaan standar dariku.
“Hendri Subakti.” Cowok tersebut mengulurkan tangannya. Aku mengamatinya sejenak sambil membalas uluran tangannya.
“Hendri Subakti? You are kidding! No, you’re- you write for, like, every novel I love.” Surprise! Hendri Subekti, novelis cerdas yang selama ini hanya bisa aku baca karya-karyanya. I mean, gosh, I never imagine that he’s so hot! In real.
“Did you mention my good looks and my killer charm?” Aku terkekeh pelan.
“No, but-”
“What do you do?”
“I am writer too.” Aku tertawa ringan. Maksutku, penulis buku diary. Hahaha.
“It’s that right?”
“Mm-hmm.”
“I should read your stuff, why don’t you send it over?” Uhuk, aku bercanda kali tadi.
“Yeah? That would be thank you, that would be great. But actually, right now I am working as tecnical food. You know? Create new development.”
“Whooa, it’s great.”
“Yap, tapi gue baru tahu lo tinggal di Semarang, bukannya di Jakarta?” Hendri memandangiku sebentar.
“Gila, gue kira lo cowok Singapura atau Thailand gitu tadi.” Aku tertawa ringan.
“Kebetulan, gue ada kerjaan ke luar kota. Lo sendiri? Asli sini?” Hendri melanjutkan ucapannya tadi. Aku menggeleng pelan.
“Same as you. Gue juga tinggal di Jakarta.” Aku baru saja akan mengambil botol keempat ketika aku mendapatkan BBM dari Uki. Aku membacanya sebentar sebelum akhirnya keningku berkerut. How can be?
“I am sorry, gotta go.”
“Really? Well, it’s was very, very nice to meet you, the hotti boy. Can I have your contact?” Aku tersenyum sebentar dan memberikan nomor teleponku. Sebenarnya aku jarang, bahkan hampir tidak pernah memberikan nomor teleponku ke orang baru kenal. But, ini Hendri Subakti! Shit! Uki!
***

Begitu aku tiba, aku melihat Uki tengah berada di lorong tepat didepan kamar hotel tempatku dan dia menginap. Dia tersenyum begitu menyadari kehadiranku. Deg deg deg.
What happen with my heart?
“Sorry ya jadi ganggu acara lo.” Uki tersenyum sekali lagi. aku tak pernah mengira kalau Uki itu cute mampus. Oh yah, dia memang gak jelek. But actually not my type. Then, kenapa jantungku jadi bertalu-talu gini liat senyumnya?
“Gak papa, gue juga udah mau balik kok. Kok lo gak minta tolong reseptionis hotel? Dia kan pasti punya kunci cadangannya.”
“Tujuan sebenarnya sih biar lo balik. Ini udah jam satu malam lho, besok kan masih harus kerja.” Wajahku memerah. Aku yakin itu. Aah, ini anak kenapa gak marah atau something yang bisa bikin aku marah balik gitu. Dia malah jadi baik gini. Paling gak kuat kalau dibaikkin gini.
Dengan gugup aku masuk kamar hotel. Mengabaikan Uki yang masih tersenyum, jenis senyum memaklumi anak kecil yang ketangkep tengah melakukan kebandelannya. Ini gak oke! Jenis permainan yang makin berbahaya. Aku gak boleh jatuh cinta dengan bahan taruhanku sendiri. Urusannya ntar jadi ribet.
Aku baru saja melepas kemejaku ketika ada panggilan masuk. Aku menengok ke belakang, melihat Uki yang sedang mau mandi. Baru ingat itu anak belum mandi dari tadi sore.
Aku memutar kunci jendela kaca geser dan membukanya, berjalan ke balkon sambil menerima panggilan masuk dari Bimo.
“Istri lo udah tidur baru lo berani nelpon gue mas?” Aku bicara sepelan mungkin. Takut Uki mendengar ucapanku.
“Gimana tadi?” Bimo mengabaikan ucapanku. Yah, as ussuall.
“Lancar aja kok.” Hening. Baik Bimo ataupun aku tidak ada yang membuka percakapan lagi. Aku melihat kebawah, kearah kolam hotel yang terlihat berkilauan tertimpa cahaya lampu dan bintang malam.
“Itu aja mas? Gue tutup ya? Ngantuk banget.”
“Eem, oke. I miss you. Kangen.” Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Sekangen-kangennya Bimo padaku, secinta-cintanya Bimo padaku, dia pasti tidak akan mau mengorbankan keluarga harmonisnya demi diriku. Aku mematikan sambungan telepon. Bukan berarti aku menginginkan hal itu terjadi. Hanya saja, aku benar-benar ingin merasa dibutuhkan oleh seseorang. Di dalam hidupnya, akulah fokus utama. But, it’s never gonna happen.
“Belum ngantuk? Lo gak kedinginan gak pake baju gitu?” Aku diam. Mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan Uki barusan. Karena kalau aku berbalik atau mengeluarkan suara, maka kadar memalukanku dihadapan Uki akan bertambah. Yah, termasuk wajah yang merona tadi. It’s counting.
“Hei, Dan.” Uki berdiri disampingku. Lampu kamar hotel cukup terang, yah cukup jelas untuk Uki bisa melihat butiran bening yang jatuh dari mataku.
“Are you oke?”
“No, I am not. But I will.” Hening. Baik aku ataupun Uki diam. Aku tidak tertarik untuk menoleh kearah Uki, hingga aku sadari tangan Uki yang berada di pundakku.
“Pak Bimo?” Kata itu diucapkan lirih oleh Uki, namun mampu membuat seluruh indraku waspada. Shit! Shit!
***

Uki Bagus Walantaga
Kalau kalian tanya apa yang tengah terjadi denganku, aku akan jawab kalau aku juga tidak tahu. Aku tidak tahu kenapa aku ingin sekali melindungi Daniel. Aku tidak tahu kenapa aku sangat ingin memukul Pak Bimo, walaupun aku yakin aku bakalan kalah, karena postur tubuh kita berdua yang jelas berbeda. Aku juga tidak tahu, kenapa aku tidak rela Daniel terluka.
Shit! Aku kurang menyukai Daniel!
Bukankah itu faktanya? Bukankah itu pandanganku untuk Daniel selama ini?
Lalu sejak kapan?
Sejak kapan aku mulai memikirkan Daniel?
Sejak kapan bayangan Daniel mulai pelan-pelan menggantikan bayangan Hita dalam pikiranku?
Sejak aku melihat Daniel shirtless? Sejak aku melihat senyum manisnya di Lab? Atau tadi malam? Saat aku melihat cairan bening turun dari matanya tanpa Daniel bersuara sedikitpun?
Aku tidak bisa berkosentrasi. Untung hari ini cleaning massal. Daniel dan Acha sibuk memantau para pekerja supaya cleaning dilakukan benar-benar sesuai prosedur. Aku sendiri tengah membuka email. Membalas beberapa email dari clien, menyusun beberapa meeting untuk minggu depan saat aku sudah kembali ke Jakarta. Bagus Ki, fokus saja ke pekerjaan. Maka bayangan Daniel bisa hilang untuk sementara.
Aku mengalihkan pandanganku, disana aku melihat Daniel dengan jas labnya. Berbicara kepada para pekerja. Lalu kemudian mereka tertawa. Aku melongo dibuatnya.
Daniel bahkan tanpa ragu merangkul dan menjabat tangan pekerja itu dengan erat. Serius aku terkejut, ini Daniel we talking about. Cowok yang punya standar tinggi dalam hidup. Hedonis luar biasa, party goers sejati, slave branded, katanya punya alergi dengan rakyat jelata. Tapi, apa yang aku lihat sekarang? He’s just amazing.
Atau selama ini aku hanya mengenali Daniel dari apa kata orang?
Daniel, who are you? Who really are you?
You make me lost.
And, I am afraid that you make me fall in love.
I am scary . . .



Tbc.

2 komentar:

leave comment please.