Chapter
Sepuluh
Gani
Pov
Hari
ini tes semester akhir dimulai. Setelah itu, aku mungkin bakalan naik kelas
tiga, setelah itu aku harus mulai memikirkan universitas. Beno? Ah, lebih
penting mana? Pendidikan atau pacar homomu? Aku menelungkupkan kepalaku dibawah
tanganku. Bukan pusing karena soal-soal ujian, tapi lebih takut dengan waktu
yang semakin berjalan.
Aku
memeriksa kembali jawabanku sebelum akhirnya menyerahkan kepada pengawas.
Sambil menunggu Radit keluar dari ruang ujian -kebetulan ruang ujianku dan
Radit berbeda- , aku menuju kantin. Setelah sebelumnya aku mengirimkan BBM ke
Radit bahwa aku sedang dalam perjalanan ke kantin.
Hari
ini ada dua ujian, PKn, yang tentu saja sangat menyebalkan! Karena jujur saja,
aku lebih tertarik menghitung soal matematika dengan rumus daripada harus
memikirkan jawaban PKn yang kalimatnya hampir sama semua dan terlalu
dibuat-buat.
Bukan
berarti aku suka keduanya tentu saja.
Lalu
Bahasa Indonesia.
Setibanya
di kantin, aku langsung memesan siomay, 3 gorengan dan jus mangga. Aku lapar
sekali, tadi setelah ujian PKn selesai aku tidak bisa makan. Aku langsung
belajar lagi dan sedikit tanya-tanya Elliot tentang soal-soal Bahasa Indonesia
yang semalam tidak bisa aku jawab.
Jadi,
wajar kalau aku sangat kelaparan.
“It’s
make me so frustated.” Aku menengok ke arah sumber suara. Tantra, agak
surprised juga. Maksutku jarang banget aku menemukan dia berkeliaran sendirian.
“Tumben
lo bisa frustasi?”
“Tumben
lo keluar cepet pas ujian?” Aku tertawa mendengar balasan Tantra.
“I’m
so over it.” Aku menyuapkan siomayku secara perlahan. Ternyata aku tidak
selapar yang aku bayangkan.
“Lo
ada acara abis ini?” Aku menelengkan kepalaku ke kiri. Berpikir sebentar.
“Enggak
ada. Kenapa?”
“Enggak
belajar buat ujian besok? Matematika lho.” Aku menggeleng pelan.
“Bisa
entar malem, lagian gue uda belajar dari jauh-jauh hari jadi paling cuman
mengingat ulang aja.”
“Widih,
sejak kapan lo jadi rajin gini Gan? Ckck, ketinggalan berita ini gue.”
“Hasyah,
lebbe lo! Tadi lo nanya gua free atau kaga emang mau ngapain?”
“Temenin
gue nyari buku di gramed bentar. Bisa?”
“Nope,
tapi mending ganti baju dulu. Masih siang ini, dikiranya kita bolos lagi.” Lalu
tiba-tiba aku kepikiran sesuatu.
“Tumben
lo ngajaknya gue? Gak bareng Ian atau Beno?” Tantra menggeleng.
“Enggak,
bosen. Oke, kalau gitu gue drop lo dulu ke rumah trus kita langsung cabut.”
“Lo
gak ganti? Gue doang?” Aku keheranan. Percuma dong, Tantra keciduk, aku bisa
kena getahnya.
“Gue
bawa kaos sama celana, ntar bisa ganti di mobil.”
“Oh,
oke.” Aku konsentrasi menghabiskan siomayku. Dan melihat Radit yang tak kunjung
datang, aku mengirim BBM bahwa aku akan pulang dengan Tantra. Sekalian ngabarin
Beno juga.
“Uda
selesai? Cabut yuk!”
“Oke
Tan, bentar gue bayar dulu.”
“Uda,
gue yang bayarin!” Aku cengo geli.
“Dalam
rangka apa lo nraktir gue?”
“Uda
mau nemenin gue ke Gramed!”
“Buahaha,
jayus.”
Aku
dan Tantra melangkah ke halaman parkir sekolah. Aku terkesima juga dengan
kecepatan Tantra mengganti mobilnya. I mean, satu minggu yang lalu mobilnya
masih ford yang mirip honda jazz itu. Aduh apalah serinya, aku tidak tahu
karena aku bukan anak yang update soal mobil. Dan sekarang mobilnya sudah Honda
City. Yang ini aku tahu karena jelas di belakang ada tulisannya. Sama sekali
bukan karena hebatku. Thanks, halah! Aku curiga dia buka jasa sewa mobil atau
mungkin penitipan mobil.
“You
are a rich man. May be, gue harus mulai dating sama lo. Hahaha.” Kataku begitu
masuk ke dalam mobil Tantra.
“Hahaha,
wanna try? Gue gak kaya, I am lucky! Kan orang tua gue yang kaya.” Tantra
meraih tas yang tergeletak di jok belakang dan membukanya. Celana jeans pendek
dan kaos. Feelingku gak enak ini.
“Jangan
bilang lo mau ganti sekarang,”
“Hehehe,
punya gue gak jauh-jauh beda dari Beno kok.”
“Semprul!”
Tantra hanya nyengir sambil membuka baju seragamnya satu persatu dan
menggantinya dengan kaos dan celana jeans. Mau tidak mau, dan karena area
pandanganku juga sempit, aku bisa melihat lekuk tubuh Tantra yang ya bisa
dibilang memang. Uhm uhm, seksi.
“Kenapa
Gan? Gue tipe lo ya?”
“Shut
up and drive, bitch!!”
***
Tadinya
sih mintanya ditemenin ke Gramed doang, tapi malah kita jalan-jalan ke
Matahari. Dan begitu melihat diskon yang lumayan gede, aku tidak terlalu peduli
ini diskon dalam rangka apa. Itu tidak termasuk dalam prioritasku sekarang.
Yang pasti harganya jadi turun lumayan. Walaupun Tantra anak orang kaya, dia
sama sekali bukan korban branded. Pacarable banget ini. Hahaha
Aku
dan Tantra membawa banyak baju, jaket dan celana untuk dicoba diruang ganti.
“Udah,
berdua aja. Kan luas! Gue juga sekalian mau minta pendapat cocok apa enggak ini
baju buat gue.”
“Lo
gak mau modus kan?” Aku memicingkan mataku, memasang ekspresi securiga mungkin
ala Lelly Sagita.
“Halah,
gue gak makan punya temen sendiri. Lagian, gua straight.”
“Ya
kali gue percaya.”
Akhirnya dengan gaya ogah-ogahan aku masuk
kedalam kamar ganti. Memang cukup luas sih. Dan agak cengo ngiler ketika Tantra
sudah berdiri dan hanya memakai celana dalam. Double shit! Gimanapun, aku ini
gay. Cowok suka cowok. Apalagi model kayak Tantra, haduh!
Rileks
Gan, rileks Gan, take a breath, take control. Lo bisa menghadapi iblis satu
ini!!
“Gimana
yang ini Gan?”
“Beuh,
cocok sih. Tapi jatuhnya kayak om-om.” Tantra memasang tampang sedemikian rupa
sehingga mau tak mau membuatku tertawa geli.
“Andai
dulu gue lebih cepet.”
“Maksut
lo?”
“Abis
dulu lo jelek, sekarang-sekarang aja keliatan manisan dikit.”
“Bangke
babik lo ya. Katanya straight?” Lalu tawaku dan Tantra pecah.
***
Beno
Pov
Panas.
Dan ada nyeri yang tidak bisa aku jelaskan melihat keakraban Gani dan Tantra.
Sejak kapan mereka berdua seakrab itu? Waktu tadi Gani BBM kalau dia akan pergi
dengan Tantra, aku mengikutinya. Entahlah, bukan karena aku mencurigai pacarku
sendiri. Atau aku tidak percaya dengan sahabatku sendiri, hanya saja tiba-tiba
motorku sudah mengikuti mobil Tantra.
Tidak
ada yang patut aku curigai sebenarnya. Mereka berjalan seperti biasa, tidak ada
yang tidak wajar. Tapi tetap saja, ada sakit. Ada sesak yang aku tidak tahu itu
apa.
Apalagi
ketika mereka masuk ke ruang ganti barengan. Aku hampir kehilangan kendali diri
dan ingin menyusul lalu menonjok abis-abisan Tantra. Bukannya dia tahu kalau
Gani itu pacarku? Apa hanya feelingku saja? Atau memang Tantra sedang mencoba
mendekati Gani?
Aku
memutuskan untuk pulang.
Namun
hingga malam, pikiranku tak kunjung membaik. Panggilan telepon dari Gani aku
abaikan. BBM, LINE, dan pesannya pun tak aku baca. Entah kenapa aku ingin Gani
tahu kalau aku sedang marah. Aku ingin Gani datang dan menjelaskan semuanya.
Bodoh!
Mana mungkin Gani tahu kalau aku tengah cemburu?
Handphone
ku lagi-lagi berbunyi. Gani.
Setelah
menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk mengangkat teleponnya.
“Kemana
aja? Dari tadi aku telepon gak diangkat! Message ku gak ada yang dibales
satupun! Aku udah didepan gerbang rumah kamu, bukain buruan!” Belum sempat aku
membalas, sambungan telepon sudah dimatikan. Aku menghela nafas sebentar
sebelum turun kebawah.
Aku
membuka gerbang dan melihat Gani berdiri dengan tas ransel sekolah. Matanya
penuh sorot kemarahan. Bukannya aku yang harusnya marah? Tanpa berkata apa-apa,
Gani berjalan masuk menuju kamarku. Dan aku hanya mengikutinya dengan diam.
“Udah
makan?” Pertanyaan itu keluar dari bibirku setelah beberapa menit aku dan Gani
hanya berdiam diri.
“Aku
ada salah?” Gani memunggungiku. Pundaknya bergetar sedikit.
“Aku
kira kamu sakit, kamu kenapa-napa.” Aku diam.
“Baru
kali ini aku kamu diemin. Semua telepon dariku gak diangkat, pesan juga gak
dibales.”
“Maaf.”
Aku berjalan pelan dan memeluk Gani dari belakang.
“Maaf.”
Aku mengulangi permintaan maafku.
“Aku
liat kamu sama Tantra tadi. Langsung down, entahlah aku tadi ngerasa sesek,
nyeri ah bingung!” Sepertinya mulutku hilang kendali karena aku terlalu kacau.
“Tantra?
Jadi karena Tantra?” Gani memutar badannya. Aku masih bisa melihat butiran
bening diujung matanya. Shit! Aku bikin pacarku sendiri nangis! Aku hanya
mengangguk lemah.
“Tantra
emang seksi sih.” Aku menatap Gani tak percaya.
“Tapi
bukan berarti semua cowok ganteng aku ajak esek-esek, aku bahkan gak ada
pikiran kesana sama sekali! Dan kamu? Tantra? Dia kan temen deket kamu
sendiri!” Gani melepaskan diri dari pelukanku dan merebahkan diri diatas
ranjang.
“Namanya
juga cemburu.”
“Aku
laper, tadi abis nemenin Tantra belanja aku gak sempet makan karna panik
mikirin kamu.” Aku tersenyum sedikit.
“Mau
keluar sebentar?” Gani melongok kejam tangannya.
“Uda
malem banget.”
“McD
banyak yang 24 jam. Cuci muka dulu sana!”
“Aku
nangis juga gara-gara kamu.” Kata Gani sambil berlalu keluar. Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku sambil kemudian mengambil jaket dan keluar
menstater motor.
“Pake
jaket dulu, dingin.” Gani diam saja ketika aku memakaikan jaketku ke tubuhnya.
Tak berapa lama dia memelukku.
“Thanks.
I love you.”
“I
love you too. Maaf ya uda bikin cemas.”
“Maaf
juga uda bikin kamu cemburu.”
***
“Yakin
cuman makan burger ama kentang doang?” Gani mendongak.
“Seolah-olah
aku rakus banget gitu ya?” Aku terkekeh geli.
“Biasanya
juga dua ayam.”
“Aah,
I am on diet sayang.” Aku menatap Gani tak percaya. Gani? Diet? Come on!
“Tuh
fans kamu.” Gani menunjuk dengan dagunya. Shandy! Jakarta sempit ya? Perasaan
kalau keluar malem ketemu mulu ama itu anak. Dan dengan gaya santai tapi sengak
Shandy menghampiri mejaku dan Gani.
“Gak
keberatan kalau gue gabung kan?” Otomatis aku langsung melirik Gani, yang diluar
dugaanku malah mengangguk mengiyakan.
“Boleh,”
Gani kesurupan apaan nih?
“Lo
kok jarang ke caffe sih Ben sekarang? Sibuk pacaran mulu ya?”
“Iyalah,
masa sibuk flirting ama pacar orang?” Ehm, Gani memang tenang, tapi tetap
kata-katanya dalem ya. Aku melirik Shandy yang hanya bisa nyengir tanpa
menimpali ucapan Gani.
Akhirnya
kita bertiga makan dalam diam. Suasana canggung, terlebih Gani juga diam, tidak
berinisiatif membuka obrolan. Aku juga jadi gagu, seolah-olah aku bayi baru
lahir yang mengucapkan sepatah kata saja tidak mampu. Shandy? Aku berharap dia
bisa membaca situasi dan pergi, tapi toh nyatanya dia dengan cueknya menikmati
paha ayamnya dengan sesekali melirikku.
“Kamu
uda selese Gan?” Yang aku tanya hanya mengangguk tanpa semangat.
“Duluan
Shan.” Shandy hanya tersenyum ringan. Tumben itu anak enggak ngajak ribut.
Aku
berjalan agak cepat, menyusul Gani yang sudah berjalan duluan tadi. Dia sudah
stand by di samping motorku, tampangnya mirip anak TK lagi ngambek. Dan itu
membuat Gani semakin adorable.
“Hei,”
Tangan kananku mengangkat dagu Gani lalu tanpa rencana menyesap bibirnya pelan.
Gani kaget, aku bisa membaca reaksinya. Namun hanya diawal, karena selanjutnya
dia juga ikut hanyut dan membalas ciumanku.
Rasanya
sudah sangat lama aku tidak berciuman seintim ini dengan Gani. Kalau aku tidak
ingat ini dilapangan parkir mungkin aku sudah melucuti semua pakaian Gani dan
merebahkannya lalu mulai menghamilinya. Haha, seakan-akan dia bisa hamil saja.
Akhirnya
dengan berat hati aku melepas ciumanku. Sebelum kepergok oleh seseorang.
“Aku
anterin kamu pulang ya?” Gani menggeleng.
“Aku
nginep, mau belajar Matematika sama kamu.” Dan melihat mata Gani juga tonjolan
di bawah perutnya. Apalagi gairahku yang juga belum surut, aku yakin kita
berdua nantinya bakal sama sekali jauh dari kata belajar Matematika.
***
Shandy
Pov
Lokasi
shootnya di puncak. Villa pribadi ini milik teman Temmy, seperti yang aku
bilang diawal kemarin. Handuk putih melingkar dipinggangku, Tian dan Rendy.
Namanya juga promo underwear jadi enggak ada acara kita pake baju, celana
panjang atau kemeja. Yang ada celana dalam, celana dalam seksi, celana dalam
mini dan oh ya, naked. Hhh, kenapa harus ada nakednya? Bukan berarti aku belum
pernah difoto naked, hanya saja biasanya hanya tiga orang. Lha sekarang? Ada
lebih dari sepuluh orang termasuk Rendy, Tian dan aku.
Aku
harus telanjang didepan sembilan orang. Konyol sih, tapi aku merasa sedikit
malu.
Temmy
sedang menyuruh dua orang untuk menyiapkan segala sesuatu, aku tidak ingin tahu
karena aku sedang diarahkan oleh Tedi –salah satu asisten Temmy- tentang
beberapa kali aku harus ganti underwear.
Pemotretan
dimulai dari Rendy. Rendy memang profesional, atau enggak tahu malu ya? Mungkin
eksibis? Karena sepanjang pengamatanku Rendy tidak begitu menunjukkan gejala
risih sama sekali. Bahkan ketika Temmy menyuruhnya untuk membuat penisnya
ereksi, Rendy dengan santai mengeluarkan batangnya dari sempak seksinya dan
mulai sedikit mengocok biar tegang. That’s weird, karena entah kenapa aku mulai
on.
Apalagi
ketika adegan naked, Rendy seperti gak sabar ingin menunjukkan batangnya. Dan,
ehm baru kali ini aku memperhatikan tubuh telanjang Rendy sedekat ini. Aku
memalingkan wajahku. Aku pikir aku hanya terangsang pada Beno saja. Dugaanku
jelas salah. Aku memang gay. Damn!
Shoot
kedua Tian, dan kita pindah lokasi. Aku mengambil roti selai nanas dan sebotol
air mineral sebelum aku mengikuti teamku yang sudah berjalan duluan. Rendy juga
harus ikut walau sudah selesai, kan nanti masih ada scene berdua dan bertiga.
Temmy
bilang hari ini harus kelar, biar ntar malem kita hanya tinggal relaks sambil
menikmati dinginnya puncak sambil minum dikit.
Tian
ini unik, walau terlihat PD, namun kenyataan kalau dia berusaha keras agar penisnya tidak terlihat kamera tidak bisa
disembunyikan. Seperti menutup penisnya dengan tangan atau berpose sedemikian
rupa, hingga Temmy berteriak agar Tian lebih relaks. Jujur, aku saja rasanya
ingin menyingkirkan tangan Tian yang sedari tadi sibuk memegangi batangnya.
Saat
Temmy menyuruhnya duduk dengan kaki mengangkang, Tian tidak berkutik. Aku
mengagumi tubuh Tian, umurnya masih belasan dan dia sudah sangat siap untuk
disantap. Aah shit!! Denny lebih siap disantap ketimbang Tian, dan bahkan Denny
masih lebih muda ketimbang Tian. Senyumku tersungging, bukan berarti aku bakal
berhenti mengejarmu Ben. Hanya saja, aku akan mencicipi yang ada saja dulu
sebelum aku mendapatkanmu dan menyatapmu sebagai makanan utama.
Gani
Pov
“Si
Shandy ini bau-baunya psikopat!!” Radit sedikit nyengir mendengar perkataanku.
“Tahu
dari mana lo?”
“AttDar
gue itu sembilan puluh delapan persen selalu benar ya.”
“Excuse
me, apa itu AttDar? Baru denger gue, bahasa bencong baru? Kok gak ada
bences-bencesnya?” Aku menjentikkan jariku didepan Radit.
“Attitude
Radar, semacam mengetahui karakter orang dalam sekejab.”
“Gile,
jadi dukun lo sekarang?” Aku mengibaskan tanganku asal.
“Gak
tahu deh Dit, feeling gue bilang sih si Shandy ini gak bener!!”
“Gue
juga gak suka sama dia Gan, tapi kita kan gak kenal dia luar dalem. Yang kita
kenal cuman kulitnya doang lho. Jangan maen judge dulu gitu.” Aku menunduk.
Benar juga sih.
“Bukan
berarti gue belain dia lho Gan.”
“I
know. Apa gue yang terlalu paranoid ya? I mean, kalo face to face gue jelas
kalah saing lah ama Shandy!!”
“Enough
about your enemy gak jelas lo itu ya, tuh ex seksi lo kayaknya mau nyamperin lo
deh. Ada janji sama dia?” Aku mengikuti arah pandang Radit. Aku memang ada
Janji sama Denny. Lita ulang tahun, dan aku diundang. Siang ini, aku mau
mencari kado buat Lita.
“Uda
siap kan Gan?” Aku mengangguk sambil mengambil tas selempangku yang tadi aku
letakkan secara asal diatas rumput.
“Duluan
ya Dit?”
“Oke,
safe sex ya?” Aku memutar kepalaku dan memelototi Radit semaksimal yang aku
bisa.
“Udah
ijin sama Beno kan?” Tanya Denny saat sudah sampai di parkiran.
“Udah.”
“Oke,
good.”
“Stop
smiling Den, kita cuman mau beli kado.”
“Yeah,
beli kado and another things.”
“Gak
bakal ada another things.”
“We’ll
see Gan, we’ll see.” Entah kenapa aku malah jadi ragu untuk naik ke boncengan. Aku
takut, apa yang diucapkan Denny bukan sekedar ancaman belaka. Bukan cuman
omongan sambil lalu belaka.
“Hahaha,
paranoid amat sih kamu Gan. Janji gak bakal macem-macem.” Aku masih menatapnya
curiga.
“Come
on!! Besok masih ada ujian lho.” Akhirnya aku naik juga ke boncengan.
“Tapi
kalau kamu yang minta aku macem-macemin ya aku gak bakal nolak!!” Dengan
sedikit jengkel, aku mencubit pinggang
Denny. Dan Denny hanya nyengir. Hhh, aku lupa kalau senyuman Denny ini jenis
senyuman yang efeknya sama kayak minum wine satu botol. Bikin kesadaran menipis
dan linglung.
He
is my ex boyfriend.
Correct,
my ex adorable boyfriend.
Bersambung.
. .
lanjutannya mana? keren bgt ne cerita.......
BalasHapus