Too much
drama. Kayaknya memang seperti itulah hidupku. Aku sudah sadar dari pingsan
memalukanku tadi. Bukan karna hal gaib, tapi karena trombositku turun. Begitu
kata dokter yang tadi memeriksaku. Eyang masih menatapku cemas walaupun aku
sudah bilang kepadanya bahwa aku baik-baik saja. Sepertinya eyang merasa
bersalah, yah mungkin. Tapi sekali lagi aku meyakinkan Eyangku bahwa jika aku
tidak diajak eyang tadi, aku tidak akan pernah bertemu Lucca dan Lucci. Oh iya,
aku juga tidak akan bertemu Jarwo. Si seksi yang mungkin, hanya sekedar mungkin
adalah kekasih eyang.
“Mas
Galih mana ma?” Aku bertanya pada Mamaku yang kebetulan tengah mengupas buah
mangga untukku.
“Pulang
sayang, kasihan dia udah jagain kamu dari semaleman. Ini mangganya Mama potong
kecil-kecil ya?” Aku hanya mengangguk pelan. Pingsanku lumayan lama juga toh.
“Mama mau
kasih kamu gambar gembira, sekaligus kabar sedih buat Mama sebenarnya.” Aku
membetulkan posisi dudukku agar bisa leluasa menghadap Mama.
“Apa Ma?”
“Mama
sudah ada hubungin teman Mama yang di US, dia seneng kamu mau kuliah disana.
Nanti dia bakal kirim info-info, tapi kamu bakalan jauh.”
“Ma, itu
masih lama.”
“I know
it dear. Mama engga nyangka kamu tumbuh secepat ini. Seinget Mama, dulu kamu
masih kecil dan suka buang-buang kosmetik Mama di jalanan.”
“Come on
Ma! Itu aku waktu masih tujuh tahun!”
“Hahaha,
Mama keluar dulu sebentar ya Sayang? Ini mangganya jangan lupa dimakan lho.”
Aku menatap punggung Mamaku dengan sendu. Apa bisa aku hidup sendirian tanpa
beliau? Aku menghembuskan nafas dengan jengah.
Aku
mendengar Mama mengobrol dengan seseorang, sebelum akhirnya pintu kamar inapku
dibuka lagi dan aku melihat Herry disana. Iya, Herry. Herry!
“Masuk
sana, Seno baru juga bangun.”
“Iya
Tante. Makasih.”
Herry
masuk dengan malu-malu. Semburat merah jambu menghiasi wajahnya. Dia masih
tampan, masih terlihat sama. Dan terlihat sedikit dewasa. Dan masih membuat
jantungku bertalu-talu.
Aku masih
mencintainya. I admit it.
“Apa
kabar?” Kata itu terucap setelah kita berdua hanya diam dan saling tatap sedari
tadi.
“Great.
Never better.”
“Jangan
pake Inggris, aku ndak ngerti Sen.” Aku terkekeh geli. Saling tatap lagi, dan
akhirnya kita tertawa bersama. Aku melihatnya, melihat Herry dengan tawanya
yang dulu. Tawa yang selama ini menghantuiku didalam mimpi.
Ketika
tawa kita berdua mereda, ada akward moment. Kita berdua sama-sama salting.
Mungkin memang benar, cinta bisa menghancurkan sebuah persahatan ketika cinta
itu tidak lagi ada. Dulu kita berawal dari sahabat, lalu timbul benih cinta
lalu kandas dan sekarang apa? Kita seperti anak baru memulai perkenalan lagi.
Tidak peduli seberapa kuat rasa ingin memeluk Herry itu menyergap, aku tetap
sungkan.
“Eh,
masih suka mangga? Kok ndag dimakan?”
“Aku udah
kenyang.”
“Buat aku
aja kalau gitu.” Aku tersenyum. Herry yang rakus, aku memperhatikan ketika
dengan lucunya Herry mulai memakan potongan-potongan mangga yang memang sedari
tadi sudah Mama kupaskan untukku.
“Aku
kangen kamu Her, apa kamu masih lupa dengan aku? Dengan kita? Apa kamu dateng
kesini karena paksaan dari Hendra?”
Herry
menghentikan aksi makan mangganya. Dia menatapku dengan pandangan mata serius.
“Aku
pengen bilang sesuatu sama kamu.”
“Iya?”
Hening, bahkan ketika aku dengan sabar masih menunggu Herry berbicara.
“Her?”
“Aku gak
pernah amnesia.” Aku merasa seluruh duniaku luruh. Apa?
“Bisa
diulangi Her? Mungkin ada yang salah sama pendengaranku, aku denger tentang
amnesia-amnesia gitu tadi.” Aku kacau, aku hanya ingin Herry berbohong.
Mengatakan bahwa tadi dia hanya berbohong, bahwa memang sebenarnya dia memang
amnesia, bahwa yang dia katakan tadi hanyalah sandiwara untuk menggodaku dan
menjahiliku saja. Dan mungkin sekarang ingatannya telah pulih.
“Aku gak
pernah amnesia Sen, semua cerita sesudah kecelakaan itu murni aku buat-buat.
Aku. . . Aku . . .”
“Lo bisa
keluar dari kamar gue sekarang.”
“Sen, aku
pengen ngejelasin semuanya. Kasih aku kesempatan tho?”
“Nanti?
Aku butuh istirahat Her, please? Bisa tolong kasih waktu buat aku untuk
istirahat?”
“Iya.”
Nanti? Aku tidak yakin aku akan memberikan waktu ‘nanti’ pada Herry untuk
menjelaskan. Entahlah, mungkin aku bahkan tidak ingin berbicara dengannya
nanti. Aku menghembuskan nafasku dengan asal-asalan. Sebenarnya apa yang aku
mau? Bukankah ada Galih disampingku? Lalu aku juga masih menginginkan Herry?
Siapa yang sebenarnya brengsek? Aku atau Herry?
***
Aku
menoel pantat Galih yang sedang sibuk merebus mie di dapur. Dia menoleh ke
arahku lalu tersenyum.
“Yang
sudah sembuh sekarang bisa jahil ya?” Gantian aku yang tertawa geli.
“Tumben
Mas masak mie instan?”
“Lagi
pengen Dek, masak ndag boleh? Adek mau?” Aku menggeleng. Rumah hari ini sepi,
mama dan papa tengah mengecek kebun eyang yang bermasalah. Paman Prie dan Lek
Tien entah dimana, sedangkan Eyang diajak Revan. Katanya sih mau ajak jalan-jalan.
“Mas,
Seno tahun depan ke Amerika.” Galih diam.
“Sebenarnya
Seno berat mau ninggalin Mas, Mama, Papa, tapi Seno bener-bener pengen pergi
kesana.”
“Apakah
keinginan pergi kesana lebih dari keinginan buat bareng-bareng sama Mas disini?
Adek kan bisa kuliah di Jogja, tiap Minggu masih bisa pulang.”
“Seno
pengen yang terbaik Mas.” Aku mulai berdebat.
“Jadi
pendidikan di Indonesia kurang baik?”
“Bukan
itu maksud Seno,”
“Uda Dek,
mas mau makan dulu. Belum sarapan dari tadi.” Discuss enough. Galih ngambek, walau
ini pertama kalinya Galih ngambek. Aku benar-benar tidak ingin ini terjadi,
beneran! Dan aku harus memberitahunya secepat mungkin.
Aku
menghembuskan nafas perlahan sebelum akhirnya mengambil kunci mobil dan
memutuskan untuk jalan-jalan sebentar. Aku butuh udara segar sepertinya. Aku
memutari alun-alun sebanyak dua kali sebelum akhirnya memutuskan untuk
memarkirkan mobilku.
Setelah
memesan siomay dan sop buah, aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Aku pernah
kencan dengan Herry disini. Hhh, aku memejamkan mataku sejenak. Mencoba
mensyukuri apa yang Tuhan beri. Semua kenikmatan dan kemudahan. Lalu bayang
wajah Herry melintas, kenapa aku tidak bisa bahagia? Begitu banyak hal yang
membuat aku dan Herry berpisah dan terus berpisah. Takdir memang sepertinya tengah
mempermainkan garis nasibku dan Herry.
“Ini Mas
siomaynya, tumben sendirian?” penjualnya juga masih sama ternyata. Aku gak
notice tadi.
“Matur
nuhun mas.” Sahutku sambil tersenyum. Dan mengabaikan pertanyaan si penjual
siomay tadi. Mungkin aku terlalu menikmati siomayku sehingga tidak menyadari
kehadirannya.
Tepat
ketika aku mendogak dan melihat Hendra tengah menatapku dengan pandangan minta
penjelasan.
“Sejak
kapan lo Hen?”
“Belom
lama Sen, boleh ikut pesen tak?” Aku mengangguk. Kita berdua makan dalam diam.
Aku tahu ada yang ingin Hendra tanyakan. Dan serius jika melihat gelagatnya
yang juga tak kunjung membuka percakapan seperti biasanya.
“Jalan-jalan
bentar yok Sen, ke kebun teh yang dulu itu? Kangen aku kesana.” Aku memandangi
Hendra beberapa saat. Dan Hendra hanya bisa memalingkan wajahnya. Pura-pura
bahwa aku tidak sedang menatapnya.
“Oke.”
Dalam
mobil pun kita berdua sama-sama saling diam. Tidak ada diantara kita yang
mencoba untuk membuka percakapan.
Aku
memarkirkan mobilku dekat dengan pondok yang baru saja dibangun. Ini atas
usulan Revan, agar kalau ada yang mau menginap disini tidak perlu repot-repot
ke hotel yang kalau bisa dibilang tidak ada hotel disekitar sini.
“Ini
pondok baru dibangun ya Sen?”
“He eh,
sebagian belum jadi. Tapi kamar tidur sama kamar mandi sudah siap pakai. Mau
lihat kedalam?” Hendra menggeleng.
“Kita
duduk disitu aja Sen? Adem kayaknya.” Aku mengikuti langkah Hendra. Mengangguk
ke beberapa pekerja yang tersenyum dan menyapaku.
“Kayaknya
lo mau ngomong sesuatu sama gue. To the point aja Hen, lo kayak sama siapa
aja.”
“Aku
bingung Sen meh mulai darimana.” Aku menghembuskan nafasku perlahan.
“Tentang?”
“Herry.”
Sepi, aku diam dan Hendra pun tak kunjung melanjutkan ucapannya.
“Kamu
ndag pernah cerita kalau kamu mbek Herry pernah pacaran.”
“Itu kan
gak wajar Hend, sesuatu yang gak umum.” Aku mengambil nafas dalam-dalam sebelum
melanjutkan ucapanku.
“Gue
takut lo nganggep gue gak normal, gue aneh, dan gak mau temenan sama gue lagi.
Karna jujur Hen, gue hampir gak punya temen yang setulus lo.”
“Kamu kan
emang ndag normal.”
“Eh?” Aku
menengok ke arah Hendra.
“Nih,
dengerin aku, kamu itu kayak hidup dalam mimpi. Punya keluarga kaya yang siap
manjain kamu kapan aja, punya Eyang yang dihormati di kota ini, kurang apa lagi
coba? Semua penduduk kota itu segan ama kamu.” Aku tertawa getir.
“Justru
yang paling gue pengen malah yang sering nyakitin gue.”
“Herry?”
Aku mengangguk.
“Pernah
denger gak Sen? Kalau orang yang paling kamu rasa kamu pengenin didalam hidup
kamu itu adalah orang yang lebih baik kamu buang dalam hidup kamu.”
“Gue
buang Herry gitu maksut lo?”
“Ah, aku
curiga kepintaran kamu selama ini cuman tipuan, ya gak harus lah Sen. Kalian
kan masih bisa temenan.” Aku memalingkan wajahku.
“Susah
kali Hen, gue gak bisa ngontrol emosi kalau deket Herry.”
“Kamu kan
belom nyoba Sen.”
“So, lo
gak marah sama gue?”
“Eem, aku
lebih marah karena kamu boong sih. Bukan karena kamu pacaran sama Herry.”
Sekali aku menoleh ke arah Hendra dan tersenyum.
“Gue mau
mencoba berdamai sama Herry kalau gitu.”
“Aku
boleh ikut tak?”
“Ntar
stay di mobil aja tapi ya?” Hendra menggembungkan pipinya, tapi toh dia
mengangguk juga.
***
Walaupun
aku sudah membulatkan tekad, namun begitu mobilku sudah terparkir manis di
depan halaman rumah Herry, semangatku padam. Sama seperti api yang
berkobar-kobar namun langsung padam karna tersiram hujan yang deras.
“Sen?”
Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Oke,
doain gue ya Hen!”
Hendra
mengacungkan dua jempolnya, “Always Sen!!”
Sekali
lagi aku menarik nafas, tidak begitu memedulikan fakta bahwa barusan Hendra
berbicara bahasa Inggris, dan keluar dari mobil. Aku mengetuk pintu rumah Herry
dengan tangan gemetar. Gila, anjir, uda lama banget aku gak kesini. Tak tik tuk
tak tik tuk, lima menit berlalu sebelum akhirnya pintu rumah Herry terbuka.
“Eh, mas
Seno. Masuk mas, Herry ada di kamar langsung masuk aja mas. Ini Ibu mau ke
rumah tetangga sebentar.”
“Eh, Iya
bu. Makasih.” Ibunya Herry juga tidak berubah banyak. Yaiyalah Sen! Lo pikir lo
gak ketemu ibunya Herry uda berapa tahun?
Penataan
rumah Herry agak berubah sedikit, namun aku tetap hafal dimana letak kamar
Herry. Yah, kalau ntar salah masuk kamar bapaknya, take it as a keuntungan lah
ya. Tapi aku juga gak yakin Bapaknya Herry ada di rumah.
Tanpa
mengetuk, aku membuka kamar Herry, kebiasaan dulu. Tidak tampak ada tanda-tanda
kehidupan. Aku berjalan ke arah meja belajar Herry, mengambil salah satu fotoku
dan Herry yang ditempel disitu. Lalu ada fotoku sendirian, bukan hanya satu
tapi cukup banyak. Dulu sewaktu kita masih pacaran, kayaknya gak ada foto-foto
ginian dah.
“Eeeeeum,
Bu?” Suara itu bersumber dari ranjang.
Aku kira
gundukkan selimut itu guling, ternyata Herry molor tha? Aku menyingkapkan
selimut dan membuat Herry bangun saat itu juga.
“Seno?
Kok?”
“Baru
sampai tadi. Sore-sore gini kok tidur?”
“Tadi
tidur siang. Baru bangun ini. Eeh, kamu kok ada disini?”
“Eem. .
.” Kasih saran dong, darimana aku musti mulai ngomong?
“Kamu mau
maafin aku atau mau lanjut marah-marah? Eh, ibuku . . .”
“Katanya
mau ke rumah tetangga tadi. Aku gak bisa segampang itu ngasih maaf. Tapi,”
Herry menunggu dengan sabar kelanjutan ucapanku. Aku sendiri berasa kayak
bencong abis kegaruk satpol pp. Cengo! Takut apa yang menjadi keputusanku ini
berdampak negatif ke depannya.
“Kita
bisa mulai dari awal.” Herry tersenyum.
“Jangan
senyum-senyum dulu, mengulang dari awal bukan berarti kita pacaran lagi ya?”
“Iya, aku
tahu. Nah, karena kita mau memulai dari awal, ikut aku ke sungai yok! Sekalian
nemenin aku mandi.” Uugh, not again.
“Kayaknya
aku harus pulang deh Her . . .”
“Ayok!”
Herry bangkit dari ranjang. Membuat selimut yang tadi menutupi tubuhnya
tersingkap. Boxer tipis itu membalut kulit Herry dengan sempurna. Bahkan
membuat khayalanku lebih liar ketimbang jika boxer itu di lepas.
“Ntar aku
telepon, sampai besok di sekolah ya Her.” Aku terburu-buru berjalan keluar. Aku
harus ingat bahwa aku masih mempunyai Galih sebagai kekasih. Aku tidak bisa
egois.
“Sen?”
“Ya?”
“Makasih
ya.” Dan aku membalas dengan senyum termanis yang aku punya.
***
Galih
membawaku ke antah berantah. Oke, aku berlebihan. Ini bukan antah berantah
sebenarnya, karena aku toh juga pernah kesini sebelumnya. Ya entah kapan
tepatnya, aku tidak ingat. Lalu kenapa aku menyebutnya antah berantah? Ya,
karena kalau bukan karena Galih, aku mungkin bisa kesasar. Sangat mungkin.
“Ini
tempat apa sih mas?” Galih menoleh dan melemparkan senyum sok rahasia. I hate
this one, seriously.
“Ini
masih di jalan dek, belom sampai ke tempatnya.” Mobil yang dibawa Galih
menembus jalan kecil yang kanan dan kirinya hanya berupa pohon-pohon besar.
Mirip saat dibawa eyang ke tempat si Jarwo. Tapi aku yakin, ini bukan ke tempat
Jarwo. Jalanannya yang penuh dengan batu juga membuatku capek sendiri karena
terlonjak terus-terusan dari tadi.
Oke, ada
beberapa rumah warga sudah mulai nampak.
Oke, aku
akan membuat pengakuan.
Sebenarnya,
ini bukan hutan atau apa, hanya saja jarak satu rumah dengan rumah yang satunya
lagi cukup jauh. Hh, aku tak akan mau kalau malam-malam harus lewat desa ini
sendirian.
Kita
melewati suatu gapura yang diatasnya ada tulisan jawanya. Yah, ha na ca ra ka
gitu. Jangan tanya padaku apa artinya ya?
Desa yang
kita masuki ini agak mendingan. Sudah terlihat seperti perkampungan walaupun
masih agak ngeri juga sebenarnya. Galih memberhentikan mobilnya di depan rumah
bata berwarna merah maroon. Satu dari empat rumah yang sudah berbatu bata.
Lainnya masih dari kayu. Begitu kita berdua turun dari mobil, ada bapak-bapak
yang tadi sedang memandikan ayam –aku juga heran kenapa ayam harus dimandikan
actually, jadi jangan tanya why ya- menghampiriku dan Galih.
“Wah, mas
Galih? Nandi wae mas? Lagi wae kethok, niki mas kuncine. Aben esok ues bapak
rapi-rapi tur resik’i lho.” Jangan tanya ke aku apa artinya, please?
Galih
menerima kunci yang disodorkan bapak-bapak pemandi ayam tadi. Jujur, aku gak
ngerti harus memanggil bapak itu dengan sebutan apa, kita belum berkenalan,
remember?
“Wah,
matur nuhun Pak Madi, kulo mlebet rumingin.”
“Inggih,
monggo-monggo.” Oke, jadi memang gak akan ada basa-basi perkenalan sepertinya.
Si bapak pemandi ayam juga tak mengenaliku sepertinya.
Galih
memasukkan anak kunci ke lubang pintu rumah berbatu bata merah maroon. Wkwkwk,
komplit amat aku nyebutnya.
“Ini
rumahku.” Galih berjalan masuk, dan aku mengikutinya sambil mengamati sekeliling.
Penataannya sederhana.
“Rumah
perjaka ya gini, gak ada apa-apanya. Mau kopi atau teh? Aku rebusin air dulu
tapi.” Aku paling benci tawaran seperti ini. Menawarkan tapi ada kata
‘tapinya’. Kayak gak niat nawarin minum aja.
“Teh
dong, tapi kalau ada kopi susu juga boleh.” Aku juga menggunakan kata tapi.
Biar saja dikata tamu kurang ajar juga, toh Galih pacarku.
“Bentar
ya dik, mas NIMBA air dulu.” Penekanan kata nimba tidak membuatku membatalkan
pesananku. Haus tahu! Aku mengikuti Galih ke belakang, ada sumur kecil disitu
dan tempat untuk mencuci baju sepertinya. Bersih.
“Sering
digunakan warga, jadi meski mas tinggal, tempatnya tetep bersih.”
“Oh,” Aku
hanya mampu manggut-manggut kayak orang bego.
“Mas mau
ngomongin tentang kamu yang mau pergi ke Amerika.”
“Mas
setuju atau gak setuju, aku bakal tetap pergi kesana mas.” Aku memotong ucapan
Galih cepat. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Mau dikata egois juga aku tak
peduli.
“Iya, mas
gak papa kok.”
“He?”
“Mas gak
pengen jadi penghambat keinginan kamu dik.”
Aku sukses melongo. Bukannya kemarin lusa dia masih ngambek gara-gara
ini? Lha sekarang?
“Mas
pengen yang terbaik buat kamu. Dan mas pengen kamu tahu tentang mas yang
sebenarnya. Makanya mas bawa kamu kesini.” Aku tersenyum. Siap mendengar kisah
masa lalu Galih.
***
Sejak aku
memutuskan untuk memaafkan Herry, beban pundakku berkurang. Ditambah Galih yang
sudah enggak ngambek lagi, maka bisa dikatakan aku bisa menikmati sisa masa SMA
ku dengan normal. Tambahan lagi, Taufik yang sudah aman berada di dalam bimbingan
kepolisian.
Kalian
tahu? Galih ternyata memang bukan asli penduduk sini. Dia asli Jakarta, namun
memutuskan untuk belajar kebudayaan tempat ini yang Galih rasa masih ‘dark’.
Saat aku menceritakan ke Papa kalau Galih sebenarnya adalah sarjana pertanian,
papa memutuskan untuk menyuruh Galih membantu Revan. Revan, by the way, entah
kenapa dia semakin betah di tempat ini dan jarang pulang ke Jakarta.
Katanya,
disini Revan bisa jadi diri sendiri. Tambahan lagi, doi bisa leluasa jalan sama
pemuda desa yang rata-rata masih polos. Bejad emang moralnya.
Herry dan
aku? Kita berteman, tak ada niatku sama sekali untuk kembali berpacaran. Selain
karena ada Galih, Herry sendiri sepertinya cukup sungkan untuk menggodaku
tentang pacaran. But we are fine.
Seperti hari
ini, kita bertiga, aku, Herry dan Hendra
bakalan sedikit main-main. Nostalgia lah ceritanya. Di rumahku.
Aku
mengetuk-ngetukkan jariku di stir mobil. Kita berdua masih menunggu Hendra yang
masih sibuk dengan urusan kesiswaan. Lupa? Hendra kan masih anggota OSIS.
Hape ku
bergetar. Sms dari Hendra. Aku melongo sendiri saat membaca isi smsnya.
“Dia
nyuruh kita duluan Her, dia bakal nyusul katanya.” Herry hanya mengangguk.
Canggung,
kalau hanya berdua seperti ini. Aku sendiri memilih untuk berkonsentrasi pada
jalanan di depan. Sejak Galih membantu Revan, aku membawa mobil sendiri ke
sekolah. Bukan masalah besar juga dan untungnya papa dan mama setuju-setuju
saja.
Herry
sibuk dengan gadget barunya. Dia bilang, ayahnya lagi banyak rejeki, makanya
dia diberi hadiah spesial.
***
Aku
meletakkan tasku dan langsung rebahan di ranjang. Uuh, rasanya capek sekali
hari ini.
“Kamarmu
ndag banyak berubah ya Sen?” Herry memilih duduk di kursi dekat meja belajar.
“He eh.
Males juga mau ngerubah-rubahnya.”
Tok tok
tok. Hhh, sapa sih ini?
Dengan
ogah-ogahan aku berjalan ke arah pintu.
“Mas?”
“Aku
denger Herry main kesini ya?” Shit, jangan bilang Galih cemburu. Momennya kan
gak pas banget. Tapi mau aku larang juga terlambat, Galih sudah masuk ke
kamarku. Aku menutup pintu dan menguncinya.
“Hei
bocah!” Aduh, mereka bakalan berantem?
“Iya
mas.” Aduh, syukur deh Herry jawabnya kalem. Gak ada nada emosi di suaranya.
Sebaliknya, Galih malah tersenyum sinis, berjalan ke arahku dan secara
tiba-tiba mencium bibirku.
Tadinya
aku melawan, namun lama-lama aku menikmati juga. Aku bahkan hanya ingat
samar-samar kalau ada Herry disini.
Galih
melepaskan ciumannya, tangannya bergerilya melepas kancing bajuku satu persatu
lalu menanggalkannya dengan mudah.
“Mas, ada
Herry!”
“Oh ya
aku lupa, hei bocah mau bengong disitu aja atau ikut gabung?”
“Mas
jangan gila kamu ah!!” Gila, threesome gitu? Hanjir!
“Kenapa
hah? Kamu masih cinta kan sama ini bocah? Ya kan? Kamu bisa dapetin kita berdua
sekaligus, kurang apa coba?” Aku diam. Bahkan aku tidak tahu kalimat pembelaan
mana yang harus aku keluarkan. Karena pada dasarnya, semua tuduhan Galih benar.
Aku masih mencintai Herry.
“Hei
bocah? Gimana?” Aku menatap Herry, berharap bahwa dia menolak ajakkan Galih.
Namun begitu Herry maju dan mulai merengkuh tubuhku ke pelukannya, aku mulai
was-was.
“Aku join
mas.” Galih tersenyum puas. Tanpa menunggu lama lagi Galih langsung berjongkok
dan berkutat dengan celana abu-abuku. Sementara bibirku dicecap dengan rakus
oleh Herry. Logikaku menolak, ini gila!!
Namun aku
hanyut. Ciuman Herry yang memabukkan dan isapan Galih pada batangku yang
membuatku lupa daratan. Kombinasi yang mengerikan. Hingga timbul pikiran gila,
kalau dua-duanya bisa aku miliki, kenapa harus puas dengan satu? Aku pun
mengembangkan senyum sinis.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.