FOLLOW ME

Minggu, 30 November 2014

THE SERIES LAST EPISODE

Too much drama. Kayaknya memang seperti itulah hidupku. Aku sudah sadar dari pingsan memalukanku tadi. Bukan karna hal gaib, tapi karena trombositku turun. Begitu kata dokter yang tadi memeriksaku. Eyang masih menatapku cemas walaupun aku sudah bilang kepadanya bahwa aku baik-baik saja. Sepertinya eyang merasa bersalah, yah mungkin. Tapi sekali lagi aku meyakinkan Eyangku bahwa jika aku tidak diajak eyang tadi, aku tidak akan pernah bertemu Lucca dan Lucci. Oh iya, aku juga tidak akan bertemu Jarwo. Si seksi yang mungkin, hanya sekedar mungkin adalah kekasih eyang.
“Mas Galih mana ma?” Aku bertanya pada Mamaku yang kebetulan tengah mengupas buah mangga untukku.
“Pulang sayang, kasihan dia udah jagain kamu dari semaleman. Ini mangganya Mama potong kecil-kecil ya?” Aku hanya mengangguk pelan. Pingsanku lumayan lama juga toh.
“Mama mau kasih kamu gambar gembira, sekaligus kabar sedih buat Mama sebenarnya.” Aku membetulkan posisi dudukku agar bisa leluasa menghadap Mama.
“Apa Ma?”
“Mama sudah ada hubungin teman Mama yang di US, dia seneng kamu mau kuliah disana. Nanti dia bakal kirim info-info, tapi kamu bakalan jauh.”
“Ma, itu masih lama.”
“I know it dear. Mama engga nyangka kamu tumbuh secepat ini. Seinget Mama, dulu kamu masih kecil dan suka buang-buang kosmetik Mama di jalanan.”
“Come on Ma! Itu aku waktu masih tujuh tahun!”
“Hahaha, Mama keluar dulu sebentar ya Sayang? Ini mangganya jangan lupa dimakan lho.” Aku menatap punggung Mamaku dengan sendu. Apa bisa aku hidup sendirian tanpa beliau? Aku menghembuskan nafas dengan jengah.
Aku mendengar Mama mengobrol dengan seseorang, sebelum akhirnya pintu kamar inapku dibuka lagi dan aku melihat Herry disana. Iya, Herry. Herry!
“Masuk sana, Seno baru juga bangun.”
“Iya Tante. Makasih.”
Herry masuk dengan malu-malu. Semburat merah jambu menghiasi wajahnya. Dia masih tampan, masih terlihat sama. Dan terlihat sedikit dewasa. Dan masih membuat jantungku bertalu-talu.
Aku masih mencintainya. I admit it.
“Apa kabar?” Kata itu terucap setelah kita berdua hanya diam dan saling tatap sedari tadi.
“Great. Never better.”
“Jangan pake Inggris, aku ndak ngerti Sen.” Aku terkekeh geli. Saling tatap lagi, dan akhirnya kita tertawa bersama. Aku melihatnya, melihat Herry dengan tawanya yang dulu. Tawa yang selama ini menghantuiku didalam mimpi.
Ketika tawa kita berdua mereda, ada akward moment. Kita berdua sama-sama salting. Mungkin memang benar, cinta bisa menghancurkan sebuah persahatan ketika cinta itu tidak lagi ada. Dulu kita berawal dari sahabat, lalu timbul benih cinta lalu kandas dan sekarang apa? Kita seperti anak baru memulai perkenalan lagi. Tidak peduli seberapa kuat rasa ingin memeluk Herry itu menyergap, aku tetap sungkan.
“Eh, masih suka mangga? Kok ndag dimakan?”
“Aku udah kenyang.”
“Buat aku aja kalau gitu.” Aku tersenyum. Herry yang rakus, aku memperhatikan ketika dengan lucunya Herry mulai memakan potongan-potongan mangga yang memang sedari tadi sudah Mama kupaskan untukku.
“Aku kangen kamu Her, apa kamu masih lupa dengan aku? Dengan kita? Apa kamu dateng kesini karena paksaan dari Hendra?”
Herry menghentikan aksi makan mangganya. Dia menatapku dengan pandangan mata serius.
“Aku pengen bilang sesuatu sama kamu.”
“Iya?” Hening, bahkan ketika aku dengan sabar masih menunggu Herry berbicara.
“Her?”
“Aku gak pernah amnesia.” Aku merasa seluruh duniaku luruh. Apa?
“Bisa diulangi Her? Mungkin ada yang salah sama pendengaranku, aku denger tentang amnesia-amnesia gitu tadi.” Aku kacau, aku hanya ingin Herry berbohong. Mengatakan bahwa tadi dia hanya berbohong, bahwa memang sebenarnya dia memang amnesia, bahwa yang dia katakan tadi hanyalah sandiwara untuk menggodaku dan menjahiliku saja. Dan mungkin sekarang ingatannya telah pulih.
“Aku gak pernah amnesia Sen, semua cerita sesudah kecelakaan itu murni aku buat-buat. Aku. . . Aku . . .”
“Lo bisa keluar dari kamar gue sekarang.”
“Sen, aku pengen ngejelasin semuanya. Kasih aku kesempatan tho?”
“Nanti? Aku butuh istirahat Her, please? Bisa tolong kasih waktu buat aku untuk istirahat?”
“Iya.” Nanti? Aku tidak yakin aku akan memberikan waktu ‘nanti’ pada Herry untuk menjelaskan. Entahlah, mungkin aku bahkan tidak ingin berbicara dengannya nanti. Aku menghembuskan nafasku dengan asal-asalan. Sebenarnya apa yang aku mau? Bukankah ada Galih disampingku? Lalu aku juga masih menginginkan Herry? Siapa yang sebenarnya brengsek? Aku atau Herry?
***

Aku menoel pantat Galih yang sedang sibuk merebus mie di dapur. Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum.
“Yang sudah sembuh sekarang bisa jahil ya?” Gantian aku yang tertawa geli.
“Tumben Mas masak mie instan?”
“Lagi pengen Dek, masak ndag boleh? Adek mau?” Aku menggeleng. Rumah hari ini sepi, mama dan papa tengah mengecek kebun eyang yang bermasalah. Paman Prie dan Lek Tien entah dimana, sedangkan Eyang diajak Revan. Katanya sih mau ajak jalan-jalan.
“Mas, Seno tahun depan ke Amerika.” Galih diam.
“Sebenarnya Seno berat mau ninggalin Mas, Mama, Papa, tapi Seno bener-bener pengen pergi kesana.”
“Apakah keinginan pergi kesana lebih dari keinginan buat bareng-bareng sama Mas disini? Adek kan bisa kuliah di Jogja, tiap Minggu masih bisa pulang.”
“Seno pengen yang terbaik Mas.” Aku mulai berdebat.
“Jadi pendidikan di Indonesia kurang baik?”
“Bukan itu maksud Seno,”
“Uda Dek, mas mau makan dulu. Belum sarapan dari tadi.” Discuss enough. Galih ngambek, walau ini pertama kalinya Galih ngambek. Aku benar-benar tidak ingin ini terjadi, beneran! Dan aku harus memberitahunya secepat mungkin.
Aku menghembuskan nafas perlahan sebelum akhirnya mengambil kunci mobil dan memutuskan untuk jalan-jalan sebentar. Aku butuh udara segar sepertinya. Aku memutari alun-alun sebanyak dua kali sebelum akhirnya memutuskan untuk memarkirkan mobilku.
Setelah memesan siomay dan sop buah, aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Aku pernah kencan dengan Herry disini. Hhh, aku memejamkan mataku sejenak. Mencoba mensyukuri apa yang Tuhan beri. Semua kenikmatan dan kemudahan. Lalu bayang wajah Herry melintas, kenapa aku tidak bisa bahagia? Begitu banyak hal yang membuat aku dan Herry berpisah dan terus berpisah. Takdir memang sepertinya tengah mempermainkan garis nasibku dan Herry.
“Ini Mas siomaynya, tumben sendirian?” penjualnya juga masih sama ternyata. Aku gak notice tadi.
“Matur nuhun mas.” Sahutku sambil tersenyum. Dan mengabaikan pertanyaan si penjual siomay tadi. Mungkin aku terlalu menikmati siomayku sehingga tidak menyadari kehadirannya.
Tepat ketika aku mendogak dan melihat Hendra tengah menatapku dengan pandangan minta penjelasan.
“Sejak kapan lo Hen?”
“Belom lama Sen, boleh ikut pesen tak?” Aku mengangguk. Kita berdua makan dalam diam. Aku tahu ada yang ingin Hendra tanyakan. Dan serius jika melihat gelagatnya yang juga tak kunjung membuka percakapan seperti biasanya.
“Jalan-jalan bentar yok Sen, ke kebun teh yang dulu itu? Kangen aku kesana.” Aku memandangi Hendra beberapa saat. Dan Hendra hanya bisa memalingkan wajahnya. Pura-pura bahwa aku tidak sedang menatapnya.
“Oke.”
Dalam mobil pun kita berdua sama-sama saling diam. Tidak ada diantara kita yang mencoba untuk membuka percakapan.
Aku memarkirkan mobilku dekat dengan pondok yang baru saja dibangun. Ini atas usulan Revan, agar kalau ada yang mau menginap disini tidak perlu repot-repot ke hotel yang kalau bisa dibilang tidak ada hotel disekitar sini.
“Ini pondok baru dibangun ya Sen?”
“He eh, sebagian belum jadi. Tapi kamar tidur sama kamar mandi sudah siap pakai. Mau lihat kedalam?” Hendra menggeleng.
“Kita duduk disitu aja Sen? Adem kayaknya.” Aku mengikuti langkah Hendra. Mengangguk ke beberapa pekerja yang tersenyum dan menyapaku.
“Kayaknya lo mau ngomong sesuatu sama gue. To the point aja Hen, lo kayak sama siapa aja.”
“Aku bingung Sen meh mulai darimana.” Aku menghembuskan nafasku perlahan.
“Tentang?”
“Herry.” Sepi, aku diam dan Hendra pun tak kunjung melanjutkan ucapannya.
“Kamu ndag pernah cerita kalau kamu mbek Herry pernah pacaran.”
“Itu kan gak wajar Hend, sesuatu yang gak umum.” Aku mengambil nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapanku.
“Gue takut lo nganggep gue gak normal, gue aneh, dan gak mau temenan sama gue lagi. Karna jujur Hen, gue hampir gak punya temen yang setulus lo.”
“Kamu kan emang ndag normal.”
“Eh?” Aku menengok ke arah Hendra.
“Nih, dengerin aku, kamu itu kayak hidup dalam mimpi. Punya keluarga kaya yang siap manjain kamu kapan aja, punya Eyang yang dihormati di kota ini, kurang apa lagi coba? Semua penduduk kota itu segan ama kamu.” Aku tertawa getir.
“Justru yang paling gue pengen malah yang sering nyakitin gue.”
“Herry?” Aku mengangguk.
“Pernah denger gak Sen? Kalau orang yang paling kamu rasa kamu pengenin didalam hidup kamu itu adalah orang yang lebih baik kamu buang dalam hidup kamu.”
“Gue buang Herry gitu maksut lo?”
“Ah, aku curiga kepintaran kamu selama ini cuman tipuan, ya gak harus lah Sen. Kalian kan masih bisa temenan.” Aku memalingkan wajahku.
“Susah kali Hen, gue gak bisa ngontrol emosi kalau deket Herry.”
“Kamu kan belom nyoba Sen.”
“So, lo gak marah sama gue?”
“Eem, aku lebih marah karena kamu boong sih. Bukan karena kamu pacaran sama Herry.” Sekali aku menoleh ke arah Hendra dan tersenyum.
“Gue mau mencoba berdamai sama Herry kalau gitu.”
“Aku boleh ikut tak?”
“Ntar stay di mobil aja tapi ya?” Hendra menggembungkan pipinya, tapi toh dia mengangguk juga.
***

Walaupun aku sudah membulatkan tekad, namun begitu mobilku sudah terparkir manis di depan halaman rumah Herry, semangatku padam. Sama seperti api yang berkobar-kobar namun langsung padam karna tersiram hujan yang deras.
“Sen?” Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Oke, doain gue ya Hen!”
Hendra mengacungkan dua jempolnya, “Always Sen!!”
Sekali lagi aku menarik nafas, tidak begitu memedulikan fakta bahwa barusan Hendra berbicara bahasa Inggris, dan keluar dari mobil. Aku mengetuk pintu rumah Herry dengan tangan gemetar. Gila, anjir, uda lama banget aku gak kesini. Tak tik tuk tak tik tuk, lima menit berlalu sebelum akhirnya pintu rumah Herry terbuka.
“Eh, mas Seno. Masuk mas, Herry ada di kamar langsung masuk aja mas. Ini Ibu mau ke rumah tetangga sebentar.”
“Eh, Iya bu. Makasih.” Ibunya Herry juga tidak berubah banyak. Yaiyalah Sen! Lo pikir lo gak ketemu ibunya Herry uda berapa tahun?
Penataan rumah Herry agak berubah sedikit, namun aku tetap hafal dimana letak kamar Herry. Yah, kalau ntar salah masuk kamar bapaknya, take it as a keuntungan lah ya. Tapi aku juga gak yakin Bapaknya Herry ada di rumah.
Tanpa mengetuk, aku membuka kamar Herry, kebiasaan dulu. Tidak tampak ada tanda-tanda kehidupan. Aku berjalan ke arah meja belajar Herry, mengambil salah satu fotoku dan Herry yang ditempel disitu. Lalu ada fotoku sendirian, bukan hanya satu tapi cukup banyak. Dulu sewaktu kita masih pacaran, kayaknya gak ada foto-foto ginian dah.
“Eeeeeum, Bu?” Suara itu bersumber dari ranjang.
Aku kira gundukkan selimut itu guling, ternyata Herry molor tha? Aku menyingkapkan selimut dan membuat Herry bangun saat itu juga.
“Seno? Kok?”
“Baru sampai tadi. Sore-sore gini kok tidur?”
“Tadi tidur siang. Baru bangun ini. Eeh, kamu kok ada disini?”
“Eem. . .” Kasih saran dong, darimana aku musti mulai ngomong?
“Kamu mau maafin aku atau mau lanjut marah-marah? Eh, ibuku . . .”
“Katanya mau ke rumah tetangga tadi. Aku gak bisa segampang itu ngasih maaf. Tapi,” Herry menunggu dengan sabar kelanjutan ucapanku. Aku sendiri berasa kayak bencong abis kegaruk satpol pp. Cengo! Takut apa yang menjadi keputusanku ini berdampak negatif ke depannya.
“Kita bisa mulai dari awal.” Herry tersenyum.
“Jangan senyum-senyum dulu, mengulang dari awal bukan berarti kita pacaran lagi ya?”
“Iya, aku tahu. Nah, karena kita mau memulai dari awal, ikut aku ke sungai yok! Sekalian nemenin aku mandi.” Uugh, not again.
“Kayaknya aku harus pulang deh Her . . .”
“Ayok!” Herry bangkit dari ranjang. Membuat selimut yang tadi menutupi tubuhnya tersingkap. Boxer tipis itu membalut kulit Herry dengan sempurna. Bahkan membuat khayalanku lebih liar ketimbang jika boxer itu di lepas.
“Ntar aku telepon, sampai besok di sekolah ya Her.” Aku terburu-buru berjalan keluar. Aku harus ingat bahwa aku masih mempunyai Galih sebagai kekasih. Aku tidak bisa egois.
“Sen?”
“Ya?”
“Makasih ya.” Dan aku membalas dengan senyum termanis yang aku punya.
***

Galih membawaku ke antah berantah. Oke, aku berlebihan. Ini bukan antah berantah sebenarnya, karena aku toh juga pernah kesini sebelumnya. Ya entah kapan tepatnya, aku tidak ingat. Lalu kenapa aku menyebutnya antah berantah? Ya, karena kalau bukan karena Galih, aku mungkin bisa kesasar. Sangat mungkin.
“Ini tempat apa sih mas?” Galih menoleh dan melemparkan senyum sok rahasia. I hate this one, seriously.
“Ini masih di jalan dek, belom sampai ke tempatnya.” Mobil yang dibawa Galih menembus jalan kecil yang kanan dan kirinya hanya berupa pohon-pohon besar. Mirip saat dibawa eyang ke tempat si Jarwo. Tapi aku yakin, ini bukan ke tempat Jarwo. Jalanannya yang penuh dengan batu juga membuatku capek sendiri karena terlonjak terus-terusan dari tadi.
Oke, ada beberapa rumah warga sudah mulai nampak.
Oke, aku akan membuat pengakuan.
Sebenarnya, ini bukan hutan atau apa, hanya saja jarak satu rumah dengan rumah yang satunya lagi cukup jauh. Hh, aku tak akan mau kalau malam-malam harus lewat desa ini sendirian.
Kita melewati suatu gapura yang diatasnya ada tulisan jawanya. Yah, ha na ca ra ka gitu. Jangan tanya padaku apa artinya ya?
Desa yang kita masuki ini agak mendingan. Sudah terlihat seperti perkampungan walaupun masih agak ngeri juga sebenarnya. Galih memberhentikan mobilnya di depan rumah bata berwarna merah maroon. Satu dari empat rumah yang sudah berbatu bata. Lainnya masih dari kayu. Begitu kita berdua turun dari mobil, ada bapak-bapak yang tadi sedang memandikan ayam –aku juga heran kenapa ayam harus dimandikan actually, jadi jangan tanya why ya- menghampiriku dan Galih.
“Wah, mas Galih? Nandi wae mas? Lagi wae kethok, niki mas kuncine. Aben esok ues bapak rapi-rapi tur resik’i lho.” Jangan tanya ke aku apa artinya, please?
Galih menerima kunci yang disodorkan bapak-bapak pemandi ayam tadi. Jujur, aku gak ngerti harus memanggil bapak itu dengan sebutan apa, kita belum berkenalan, remember?
“Wah, matur nuhun Pak Madi, kulo mlebet rumingin.”
“Inggih, monggo-monggo.” Oke, jadi memang gak akan ada basa-basi perkenalan sepertinya. Si bapak pemandi ayam juga tak mengenaliku sepertinya.
Galih memasukkan anak kunci ke lubang pintu rumah berbatu bata merah maroon. Wkwkwk, komplit amat aku nyebutnya.
“Ini rumahku.” Galih berjalan masuk, dan aku mengikutinya sambil mengamati sekeliling. Penataannya sederhana.
“Rumah perjaka ya gini, gak ada apa-apanya. Mau kopi atau teh? Aku rebusin air dulu tapi.” Aku paling benci tawaran seperti ini. Menawarkan tapi ada kata ‘tapinya’. Kayak gak niat nawarin minum aja.
“Teh dong, tapi kalau ada kopi susu juga boleh.” Aku juga menggunakan kata tapi. Biar saja dikata tamu kurang ajar juga, toh Galih pacarku.
“Bentar ya dik, mas NIMBA air dulu.” Penekanan kata nimba tidak membuatku membatalkan pesananku. Haus tahu! Aku mengikuti Galih ke belakang, ada sumur kecil disitu dan tempat untuk mencuci baju sepertinya. Bersih.
“Sering digunakan warga, jadi meski mas tinggal, tempatnya tetep bersih.”
“Oh,” Aku hanya mampu manggut-manggut kayak orang bego.
“Mas mau ngomongin tentang kamu yang mau pergi ke Amerika.”
“Mas setuju atau gak setuju, aku bakal tetap pergi kesana mas.” Aku memotong ucapan Galih cepat. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Mau dikata egois juga aku tak peduli.
“Iya, mas gak papa kok.”
“He?”
“Mas gak pengen jadi penghambat keinginan kamu dik.”  Aku sukses melongo. Bukannya kemarin lusa dia masih ngambek gara-gara ini? Lha sekarang?
“Mas pengen yang terbaik buat kamu. Dan mas pengen kamu tahu tentang mas yang sebenarnya. Makanya mas bawa kamu kesini.” Aku tersenyum. Siap mendengar kisah masa lalu Galih.
***

Sejak aku memutuskan untuk memaafkan Herry, beban pundakku berkurang. Ditambah Galih yang sudah enggak ngambek lagi, maka bisa dikatakan aku bisa menikmati sisa masa SMA ku dengan normal. Tambahan lagi, Taufik yang sudah aman berada di dalam bimbingan kepolisian.
Kalian tahu? Galih ternyata memang bukan asli penduduk sini. Dia asli Jakarta, namun memutuskan untuk belajar kebudayaan tempat ini yang Galih rasa masih ‘dark’. Saat aku menceritakan ke Papa kalau Galih sebenarnya adalah sarjana pertanian, papa memutuskan untuk menyuruh Galih membantu Revan. Revan, by the way, entah kenapa dia semakin betah di tempat ini dan jarang pulang ke Jakarta.
Katanya, disini Revan bisa jadi diri sendiri. Tambahan lagi, doi bisa leluasa jalan sama pemuda desa yang rata-rata masih polos. Bejad emang moralnya.
Herry dan aku? Kita berteman, tak ada niatku sama sekali untuk kembali berpacaran. Selain karena ada Galih, Herry sendiri sepertinya cukup sungkan untuk menggodaku tentang pacaran. But we are fine.
Seperti hari ini, kita bertiga,  aku, Herry dan Hendra bakalan sedikit main-main. Nostalgia lah ceritanya. Di rumahku.
Aku mengetuk-ngetukkan jariku di stir mobil. Kita berdua masih menunggu Hendra yang masih sibuk dengan urusan kesiswaan. Lupa? Hendra kan masih anggota OSIS.
Hape ku bergetar. Sms dari Hendra. Aku melongo sendiri saat membaca isi smsnya.
“Dia nyuruh kita duluan Her, dia bakal nyusul katanya.” Herry hanya mengangguk.
Canggung, kalau hanya berdua seperti ini. Aku sendiri memilih untuk berkonsentrasi pada jalanan di depan. Sejak Galih membantu Revan, aku membawa mobil sendiri ke sekolah. Bukan masalah besar juga dan untungnya papa dan mama setuju-setuju saja.
Herry sibuk dengan gadget barunya. Dia bilang, ayahnya lagi banyak rejeki, makanya dia diberi hadiah spesial.
***

Aku meletakkan tasku dan langsung rebahan di ranjang. Uuh, rasanya capek sekali hari ini.
“Kamarmu ndag banyak berubah ya Sen?” Herry memilih duduk di kursi dekat meja belajar.
“He eh. Males juga mau ngerubah-rubahnya.”
Tok tok tok. Hhh, sapa sih ini?
Dengan ogah-ogahan aku berjalan ke arah pintu.
“Mas?”
“Aku denger Herry main kesini ya?” Shit, jangan bilang Galih cemburu. Momennya kan gak pas banget. Tapi mau aku larang juga terlambat, Galih sudah masuk ke kamarku. Aku menutup pintu dan menguncinya.
“Hei bocah!” Aduh, mereka bakalan berantem?
“Iya mas.” Aduh, syukur deh Herry jawabnya kalem. Gak ada nada emosi di suaranya. Sebaliknya, Galih malah tersenyum sinis, berjalan ke arahku dan secara tiba-tiba mencium bibirku.
Tadinya aku melawan, namun lama-lama aku menikmati juga. Aku bahkan hanya ingat samar-samar kalau ada Herry disini.
Galih melepaskan ciumannya, tangannya bergerilya melepas kancing bajuku satu persatu lalu menanggalkannya dengan mudah.
“Mas, ada Herry!”
“Oh ya aku lupa, hei bocah mau bengong disitu aja atau ikut gabung?”
“Mas jangan gila kamu ah!!” Gila, threesome gitu? Hanjir!
“Kenapa hah? Kamu masih cinta kan sama ini bocah? Ya kan? Kamu bisa dapetin kita berdua sekaligus, kurang apa coba?” Aku diam. Bahkan aku tidak tahu kalimat pembelaan mana yang harus aku keluarkan. Karena pada dasarnya, semua tuduhan Galih benar. Aku masih mencintai Herry.
“Hei bocah? Gimana?” Aku menatap Herry, berharap bahwa dia menolak ajakkan Galih. Namun begitu Herry maju dan mulai merengkuh tubuhku ke pelukannya, aku mulai was-was.
“Aku join mas.” Galih tersenyum puas. Tanpa menunggu lama lagi Galih langsung berjongkok dan berkutat dengan celana abu-abuku. Sementara bibirku dicecap dengan rakus oleh Herry. Logikaku menolak, ini gila!!
Namun aku hanyut. Ciuman Herry yang memabukkan dan isapan Galih pada batangku yang membuatku lupa daratan. Kombinasi yang mengerikan. Hingga timbul pikiran gila, kalau dua-duanya bisa aku miliki, kenapa harus puas dengan satu? Aku pun mengembangkan senyum sinis.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.