Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Joshua
Daniel Pradipta
Aku
kembali fokus dengan komputer didepanku. Email dari Pak Bos jelas masih nampang
cantik disitu. Belum aku balas. Aku tahu Pak Bos jelas tidak akan melihat kalo
aku sudah membaca emailnya, ini bukan BBM oke? Permintaan agar aku bisa ke
Thailand. Sebenarnya bukan masalah yang besar, mengingat aku tidak ada acara di
hari yang diminta Pak Bos. Hanya saja, aku sedang malas bersama Bosku itu.
Apalagi jika harus menghabiskan banyak waktu bersamanya.
Oke,
yang pergi ke Thailand memang tidak hanya kita berdua saja. Tapi kan tetap saja
si Bos ikut.
Oya,
aku bekerja di sebuah perusahaan Saviour sebuah perusahaan yang dilabeli ‘US
company’. Haha, namanya saja yang US Company, tapi realitanya gak jauh beda
dengan perusahaan lokal. Dan acara ke Thailand itu karena ada training
teknologi coating untuk obat-obatan. Membuat obat-obatan terlihat menarik. Aku
bilang terlihat ya, bukan terasa. Jadi ya, rasanya tetap saja pahit.
Dan
kenapa aku diajak? Hhh, aku adalah salah satu technical Reach New Development
untuk Sweet and Colour Division. Jadi ya, masuk akal sebenarnya kalau Pak Bos
mengajakku. Hanya saja, bosku itu adalah. . .
Bagaimana
aku mengatakannya?
Pacar?
Bisa dibilang begitu.
Hanya
saja dia laki-laki dan aku laki-laki.
Oh,
itu belum seberapa.
Dia
sudah mempunyai istri dan seorang anak.
Oke,
aku gila! Aku sinting!
Tapi
aku tidak akan meminta kalian untuk mengerti posisiku kok, tenang saja.
Aku
butuh pekerjaan ini, serius. Dan yah, aku juga sedikit ada rasa dengan bosku
itu. Pilihannya, jadi simpanannya atau aku out dari perusahaan. Hh, males
banget. Mencari pekerjaan di Jakarta itu susah-susah gampang. Jadi ya, aku
memilih bertahan untuk sementara.
Memecatku
sebenarnya bukan perkara mudah. Karena pesangonku juga harus diperhitungkan,
dan tidak bermaksud untuk sombong. Namun aku adalah salah satu orang yang
selalu memunculkan ide-ide brilian untuk kantor ini. Misal saja, menciptakan
produk baru ‘Diaryna’ salah satu produk yang berguna untuk memboosting aroma
dan rasa susu. Mereduksi cost namun dengan kulaitas yang hampir sama.
Atau
produk malt ‘imitasi’ yang jelas-jelas adalah mahakaryaku juga. I mean, yang
lebih berpengalaman dariku pasti banyak tapi yang masih semuda dan semenarik
diriku? Enough, semakin lama, aku malah semakin narsis. Aku menghembuskan nafas
tertahan ketika melihat sesosok itu masuk kedalam laboratorium. Menyapa Andi
–asistenku- lalu berjalan kearah ruanganku. Oke, tamat. Bosku sepertinya ingin
mendengar balasan emailnya secara live dari mulutku.
***
Bimo
Adiaguna
Gue
sadar Daniel kurang menyukai kehadiran gue di ruangannya. Wajahnya yang
langsung manyun dan ditekuk.
“Jadi
gimana?” Gue gak perlu basa-basi. Yakin kalau cinta gelap gue itu tahu maksut
pertanyaan gue barusan. Apa? Gue bilang ‘cinta gelap gue?’. Gue mulai enggak
waras kayaknya. Tapi semenjak mahkluk ganteng satu ini masuk dan mulai bekerja
di kantor ini, kewarasan gue emang mulai menipis.
“Saya
enggak bisa bilang enggak kan Pak?” Formal kalau di kantor. Tapi gue tahu
persis ini anak bakalan nyakar muka gue begitu nanti diluar kantor. Taruhan
demi omset perusahaan bulan depan. Jangan ding, terlalu riskan.
“Lha
memangnya kamu enggak pengen mempelajari tekhnologi baru? Di Indonesia masih
jarang lho yang bisa coating obat-obatan. Rata-rata mereka masih ke China atau
ke Australia.” Maksut gue ke Thailand jelas bukan cuman buat training doang
sebenarnya. Bagaimanapun juga, disini gue harus backstreetan sama cinta gelap
gue ntu. Aah, gue mulai terindikasi virus banci kayaknya.
Kalau
di Thailand nanti, seenggaknya bisa sedikit bebas.
“Emang
Bapak rencana mau beli mesin coatingnya? MAHAL lho itu.” Penekanan kata mahal
itu sedikit banyak ganggu juga.
“Kalau
kedepannya oke, kenapa enggak? Kita ada meeting paper plan jam dua. Jadi hari ini sebelum pulang kantor
saya harap kamu sudah bisa bales email saya tadi. ASAP.” Kali ini gue gantian
yang menekankan kata. Gue melongok sebentar dan begitu melihat Andi sedang
sibuk, gue memajukan tubuh gue tepat ke telinga Daniel.
“Ntar
gue tunggu di Gold Gym.” Dan mencium bibirnya sekilas. Gegabah? Iya! Serampangan?
Banget! Tapi bodo amat, seperti yang gue bilang tadi, kewarasan gue emang perlu
dipertanyakan!! Mungkin gue harus ke psikiater.
Setelah
puas melihat reaksi Daniel yang merona –he looks more cute- gue melangkah
meninggalkan ruangannya.
***
Uki
Bagus Walantaga
Meeting
Paper Plan yang membosankan like always. Aku bahkan sudah menguap untuk ketiga
kalinya. Atau akunya saja yang memang pelor? Sekarang giliran Sweet dan Colour,
dan belum ada tanda-tanda Daniel bakal nongol. Ngapain aja sih itu anak? Make
up an?
Lima
menit kemudian wajahnya muncul –tanpa rasa bersalah, kalau aku boleh tambahkan-
dan langsung duduk tanpa menyapaku atau aku melirik ke arah para BDM dan sales
lainnya juga Pak Bimo sang big bos.
Aku
jujur kurang menyukai Daniel, bukan karena dia salah satu anak kesayangan sang
big bos. Bukan juga karena fisiknya yang nyaris sempurna itu. No bodies perfect
right? Karena personalitynya buruk luar biasa!!
Namun,
walau aku tidak suka aku harus jujur untuk mengangkat dua jempolku untuk
ide-ide kreatifnya. Dari tiga divisi yang ada, Frgrance, Sweet dan Colour,
hanya Colour&Sweet yang setiap quartal selalu melebihi achievment. Dan
jelas salah satu faktornya adalah Daniel yang memegang divisi itu. Seperti kali
ini, ketika dia mulai berbicara, sesekali melirik kami para sales dan beberapa
sales dari distributor yang hadir. Mengingatkan kami bahwa ada beberapa project
yang menggantung, terabaikan begitu saja padahal statusnya belum ‘closed’.
Aku
menggeram pelan.
Dia
tak menyalahkan, nadanya sangat datar tanpa emosi. Tapi tetap saja bikin sakit
telinga. Dia pikir jadi sales gampang apa? Banyak yang harus kami kerjakan, dan
yah banyak klien juga. Jadi jika ada satu atau dua project yang terbekelai aku
harap dia bisa maklum bukannya . . .
Aah,
moodku lagi buruk ternyata.
Atau
efek karena aku memang sudah tidak menyukainya? Jadi apapun yang dia katakan
serasa menyidirku. Entahlah.
***
“Selesai
juga akhirnya, oh ya Ki tolong dong ntar gue kirimin harga Tea flavor yang
kemaren lo tawarkan buat Indofood itu.” Hita, customer service perusahaan ini.
Mungil dan cukup manis. Gaya berpakaiannya juga selalu sopan. Calon istri
ideal.
“Mereka
open PO?” Tanyaku lumayan antusias. Yah, berarti masukkan tambahan lagi buat
Sweet&Color tapi kalau beneran open PO, ini berarti masuk New Bussines.
Bisa nambah bonus akhir tahun ini!
“Iya
rencananya. Tapi mereka masih nanya harga. Lumayan juga sih value nya.”
“Oke,
ntar gue kirim ke elo. Thanks ya Hit.”
“Hahaha,
lo itu yang perlu dikasih apresiasi! Gak mubasir dong ya lembur-lembur lo di
kantor.” Aku tertawa ringan. Lumayan membooster moodku setelah tadi bertemu
Daniel di ruang meeting.
“Boleh
kalau lo mau mengapresiasi. Gue gak nolak.”
“Starsbuck,
shall we?”
“Ntar
pulang ngantor ya?” Sambil masih tersenyum aku kembali ke kubikelku.
Mengerjakan beberapa laporan termasuk memberi konfirmasi ke Daniel beberapa
project yang memang harus di close. Tapi hari ini pulang on time dong.
Ngopi-ngopi bareng Hita? Kenapa harus ditolak?
***
Joshua
Daniel Pradipta
Aku
masuk ke studio XXI sendirian, mencari tempat duduk tanpa celingukkan. Aku
menghela nafas, partner nontonku itu sudah duduk sambil tangannya memegang
popcorn dan mulutnya sibuk mengunyah. Aku duduk disampingnya dengan kesal yang
tidak aku sembunyikan.
Kalian
tahu resiko menjadi selingkuhan? Kalian tidak bisa terang-terangan ngedate di
tempat umum. Apalagi ditambah fakta bahwa hubungan kita berdua yang sesama
lelaki. Tambah mustahil lagi. Anehnya, pacarku ini kadang berani kadang terlalu
paranoid.
Seperti
beberapa waktu yang lalu dia menciumku di kantor. KANTOR ya, tapi sekarang?
Kita benar-benar umpet-umpetan. Dia masuk gedung bioskop duluan, baru kemudian
aku menyusul.
“Kok
lama?” Rasanya aku ingin menyumpalkan kaos kaki yang sudah lima hari tidak
dicuci, apakah dia lupa kalau dia sendiri yang tadi memintaku bersabar hingga
film mau diputar baru aku masuk? Mungkin dia terkena Alzheimer. Atau apalah
itu, tulisannya susah.
“Hmm,
uda mau mulai filmnya. Diem.” Ini salah satu film yang sudah lama aku
tunggu-tunggu. Tadinya aku mau nonton bareng Evan dan Andry tapi tiba-tiba si
kunyuk ini dateng dan membatalkan semuanya. Menyuruh Andry dan Evan mengerjakan
beberapa hal sehingga terpaksa lembur. Dasar bos picik!!
Sepanjang
film diputar, aku mengabaikan Bimo. Termasuk mengabaikan tangannya yang sedari
tadi nempel dipaha atasku.
Tentang
filmnya? Agak kecewa. Ekspetasi aku untuk film ini lumayan tinggi waktu aku
sudah membaca novelnya. Nyatanya? Good tapi ya itu gak sampai seperti yang
sudah aku ekspetasikan.
“Gue
mampir apartemen lo bentar. Pake mobil lo aja ya?” Kita ada di parkiran
sekarang.
“Jadi
ntar gue mesti nganterin lo kesini lagi gitu Mas?” Aku memang memanggilnya mas
kalau diluar kantor.
“Gak
papa kan? Pake mobil ini. Tinggal weng.” Aku diam saja sambil membuka autolock
mobilku.
***
“Sini
gue sabunin yang belakang mas.” Bimo langsung memutar tubuhnya memunggungiku.
Selalu, setelah berhungan seks, maka sifatku jadi manis. Entah, aku juga kurang
paham. Untuk usia 35 tahun, tubuh Bimo bisa dibilang seksi. Bahkan tidak kalah
dengan yang masih berusia dua puluhan. Wajah maskulinnya yang dulu sempat
menggetarkan hatiku waktu aku pertama kali melihatnya. Pertama kali dia
mewawancaraiku. Pertama kali dia secara terang-terangan bilang kalau dia
tertarik padaku. Kapan itu? Oh ya, dua tahun yang lalu.
Belum
selesai aku dengan punggungnya, Bimo sudah berbalik dan mendorongku kedinding.
Tubuhnya memerangkapku kedalam pelukannya. Jari-jarinya mengusap pelan
putingku, terkadang memelintirnya lembut. Aku mengerang.
Tanpa
buang waktu aku memagut bibirnya. Melumat habis aroma mint bercampur rokok dari
bibirnya. Aku tidak suka rokok dan sama sekali tidak merokok. Karena, ya aku
harus menjaga agar lidahku tetap sensitif terhadap rasa.
Bimo
meremas bokongku lembut. Ujung jari tengahnya yang masih belepotan busa
digunakan untuk menusuk-nusuk lubang anusku. Satu jari, kemudian dua jari.
Bibirku masih bersarang di bibir Bimo, tanganku sibuk mengocok kontol Bimo yang
sudah tidak sabar ingin memporak-porandakan pertahananku.
Setelah
dirasa siap, Bimo mendorongku agar sedikit membungkuk. Dia sendiri memulai
penitrasi.
“Aah,
Fuck! Your hole is damn!! Gila!!”
“Berisik!
Buruan goyang mas!!”
“Engga
sabar ya?” Dan tanpa perasaan, batang keras itu mulai menggempurku. Mengalirkan
nyeri namun nikmat dalam waktu yang bersamaan. Shit!!
***
Uki
Bagus Walantaga
Hampir
jam sepuluh malam. Aku berjalan bersisian dengan Hita, tadi setelah ngopi-ngopi
kita sempatkan untuk ke Gramedia sebentar. Hita mau mencari buku apa itu tadi,
aku lupa. Aku membukakan pintu mobilku untuk Hita dan berniat masuk mobil
ketika aku melihat mobil Honda Jazz warna putih keluaran terbaru itu memasuki
halaman parkir.
Aku
tahu itu mobil siapa, hapal diluar kepala. Sayang karena warna kacanya terlalu
gelap aku tidak bisa mengintip kedalam.
Aku
memutuskan masuk kedalam mobil, namun tak kunjung menstater mobilku. Masih
mengamati mobil milik Daniel yang jelas-jelas tidak kunjung mencari tempat parkir kosong.
Ada
yang turun dari mobil itu.
Pak
Bimo?
Ya
Pak Bimo, dan begitu Pak Bimo turun, mobil itu langsung tancap gas. Aku
memperhatikan Pak Bimo yang menuju mobilnya sendiri. Aku baru sadar ada mobil
Pak Bimo di parkiran yang sama denganku.
“Hei
Ki! Lo kenapa sih? Diem aja?” Hita membuyarkan konsentrasiku.
“Oh,
enggak kok. Sorry, sorry.”
Sepanjang
mengantar Hita pulang aku lebih banyak diam. Hanya menanggapinya sekedarnya.
Kaca mobil milik Daniel memang gelap, tapi aku yakin yang didalam mobil itu
pasti Daniel, siapa lagi? Kan itu mobilnya. Mobil miliknya.
Lalu
kenapa ada Pak Bimo? Kenapa harus bareng Daniel? Bukannya Pak Bimo membawa
mobil sendiri? Aku menepiskan beberapa kemungkinan skenario terburuk dari
otakku. Masa sih mereka?
Ah
ngaco lo Ki!! Pak Bimo kan uda punya bini sama anak. Mereka kelihatan bahagia
kok. Aku melihat serukun apa keluarga bosku itu. Karena jika ada acara di
kantor, seperti ulang tahun perusahaan, Pak Bimo selalu membawa serta
kelurganya. Dan mereka tipe kelurga yang enviable.
Masa
iya?
Ah,
lo terlalu ngaco Ki!! Mungkin gak sengaja bareng, jangan negthing lah!!
***
“Keatas
gih, gue pengen lo evaluasi.” Telepon dari Daniel.
“Evaluasi
yang mana? Kayaknya gue belom ada project yang aktif deh.” Aku memeriksa
emailku. Kali saja, aku memang pernah meminta Daniel trial sesuatu dan aku
lupa.
“Varian
Vanilla Milk for Frisian Flag, Gosh!! Don’t say, you forget it? Kalau lo pelupa
gini, gue heran kenapa lo bisa jadi sales.” Nyelekit like always.
“Shut
up, gue naik sekarang.” Aku menutup teleponku. Ah, aku beneran lupa.
Aku
naik ke lantai tiga. Markasnya Daniel, laboratorium Sweet dan colour sekaligus
ruangannya bersama beberapa asisten dan juga quality control. Aku masuk dan
mendapati Daniel sudah berada di laboratorium. Dia hari ini mengenakan kemeja
warna biru muda dengan lengan digulung hingga siku. Tanpa Dasi –Aku melihat
dasinya sudah tersampir di kursi didalam ruangannya- , dua kancing atas
dibiarkan terbuka, membuat kulit putih bersihnya terkspos, shit!! What happen
to me? Dan tanpa jas lab. Padahal dua asistennya Andi dan Herman selalu memakai
Jas Lab dan perlengkapan savety lainnya. Hah, lupa, Daniel jarang berada di
lab. Dia hanya memberi instruksi untuk asistennya dari dalam ruangannya. Hanya
berada di lab jika ada evaluasi dengan para sales atau Pak Bimo.
“So?”
Aku mencoba senetral mungkin.
“Oke,
yang paling kiri itu target yang customer minta.” Daniel berhenti sebentar,
menatapku sesaat. Damn! Dia itu malaikat atau apa sih?
“Lalu
sebelahnya itu base yang lo kasih kemaren. Nah, dua yang terakhir ini improve
dari gue.”
“Pakai
apa aja nih?” Tanyaku sambil mulai mengambil testing cup untuk memulai evaluasi
rasa.
“Try
and you tell me.” Aku diam.
“.
. .”
“.
. .”
“Good,
dua-duanya sama dengan target. So, now tell me.” Walau aku tidak suka dengan
Daniel, tapi aku memang memujinya untuk urusan menjiplak produk lain sama
persis. Warna, tekstur dan rasa!
“Ini
formulanya, Dan costnya lebih murah ketimbang target. Mau lo bawa kapan ke
customer?” Aku menerima lembaran kertas yang diberi oleh Daniel barusan,
membacanya dengan seksama.
“Eh,
yang ini bukannya sertifikat halalnya masih belum keluar?” Aku menunjuk salah
satu raw material. Daniel mengangguk menjawab pertanyaanku.
“Bentar
lagi juga halal. Uda diajukan ke MUI, paling lambat minggu depan resultnya.”
“Lo
sinting! Gak mungkin gue bawa yang gak halal gini buat dipromote ke customer.”
“Oke,
kalau gitu bawa satu aja yang ini.” Aku menghela nafas tertahan. Bawa satu
varian itu nanggung banget. Customer terpaksa dihadapkan pada kondisi tidak bisa
memilih. Bisa-bisa mereka beralih ke lain suplier lagi.
“Yakin
sertifikat halalnya minggu depan keluar?”
“Ya.”
“Oke,
gue bawa dua-duanya lusa. Lo bisa siapin kan?” Daniel meraih bukunya, membuka
dan membacanya sebentar.
“Oke,
bisa. Mau dibawa pagi atau siang?”
“Siang
sebelum lunch aja.”
“Oke,”
“Thanks
ya Dan.” Daniel bengong sesaat lalu tersenyum. Shit! Gak heran semua cewek di
kantor ini obsesi banget sama ini cowok!
***
Evan
Sutedjo
“I hate
you.” Gue berkata pada Daniel begitu teman dari masa SD gue itu menelpon gue
dari line nomornya.
“Oh
come on! It’s Friday night, bitch!”
“Gue
sebenarnya mau ngabisin malam ini dengan nongkrong indah di kostan.”
“I
am in!”
“Hah?
Jangan gila lo! Terakhir kali lo ke kostan gue, lo ngebuat tetangga kost
sebelah langsung ill feel sama gue. Dia sangka gue gay!”
“And
you are absolutely gay!” Aku agak menjauhkan teleponku. Daniel gak pernah
menjaga bicaranya. He is really, really bitch!! Unlucky, I am friend with him.
Best friend lebih tepatnya.
“Oke,
ntar pulang kantor kita mampir beli makan dulu.”
“See
you there.” Daniel langsung menutup teleponnya. Aku melirik kiri kanan,
memastikan bahwa di ruangan ini tidak ada yang memperhatikan percakapan gue
barusan dengan Daniel. Memanfaatkan fasilitas kantor untuk urusan pribadi? Bodo
lah ya, toh sumbang sih gue buat kantor ini juga gede. Hahaha.
***
“I
fucking hate Bimo now!” Daniel meraih botol Jack Daniel dari kulkas dan
bergabung dengan gue di balkon.
“You
already said that in so many times darling.” Gue selalu dihadapkan dengan
curhat yang pasti topiknya sama. Bimo. Oke, sang GM kantor itu memang totally
hot! Tapi –Aku melirik Daniel sebentar- dengan potongan wajah dan tubuh model
kayak Daniel, dia bisa dapetin yang selevel Bimo atau bahkan lebih hanya dengan
sekali lirik.
He
has perfect abs dan wajah innocent but evil itu jelas bisa bikin cowok straight
melting dan cewek lesbi jadi doyan cowok.
“I
am done with him.” Gue menengok, beneran menengok karena ingin memastikan
kebenaran ucapan Daniel barusan.
“Lo
uda putus beneran? Atau sekedar ngambek-ngambek manja?”
“Gue
beneran mau putus tau Van! Stres gue lama-lama.”
“MAU
ya, berarti belom. Berarti jangan gunakan kata DONE,” Aku menekankan beberapa
kata. Dan Daniel sepertinya tidak peduli.
Daniel
berdiri dan melengok ke arah bawah. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri
seperti mencari sesuatu, atau se . .se . .orang?
“Kok
tumben sih si Reno belom nyuci mobilnya?”
“Jadi
ini salah satu alasan kenapa tiap malam Sabtu lo selalu ngotot mau nginep di
kostan gue?” Daniel menoleh ke belakang dan menatap gue sekilas.
“Gue
gak ngerti kenapa sampai sekarang lo belum ngerayu dia. High quality gay gitu.”
“Lo
yakin dia gay? Jangan semua cowok cakep di cap gay dong.”
“Daripada
tampang cakep, perut sixpack lebih efektif untuk bisa ngeliat dia gay atau
enggak.” Daniel sepertinya kecewa karena Reno –Salah satu tetangga kost gue
yang selalu mencuci mobilnya dengan shirtless- belum melakukan kegiatan
rutinnya setiap Jum’at malam.
“Oh,
here we go.” Mau tidak mau gue jadi ikutan berdiri dipinggir balkon seperti
Daniel. Yap, Reno memulai kegiatan rutinnya tiap Jum’at malam.
“He’s
hot like hell!”
“I
do agree.”
“Dan
gue masih heran lo belom seret dia ke ranjang.”
“Dan,
itu bukan perkara gampang kali! Gue gak mungkin tiba-tiba turun lalu ngetuk
pintu kamarnya . . .”
“Dengan
hanya memakai sempak seksi.” Potong Daniel.
“Terus
bilang fuck me Ren!” Gue dengan sedikit emosi menyelesaikan kalimat gue.
“Why
not?” Tampang innocent tapi senyum iblis itu tengah menatap gue dengan tatapan
tak percaya. Mungkin dalam kamus hidupnya Daniel, dia tidak mengenal cowok
straight.
“You
sick! Gimana kalau dia straight? Bisa didepak gue dari ini kostan.”
“It’s
not a big deal. You can stay di apertement gue.”
“Gila!!”
Gue ngomong sambil merebut botol Jack Daniel dari tangan Daniel dan menyesapnya
pelan. Gue memilih duduk dan berhenti memandangi Reno dari atas.
Oke,
bukannya gue gak mau mendekati Reno. Hanya saja, gue bukan seperti Daniel yang
selalu melakukan semuanya tanpa mempertimbangkan efek belakangnya. Kadang bikin
iri memang sifat spontanitasnya, tapi lebih banyak bikin malu dan buntutnya
bikin masalah. Prinsip hidup Daniel, “It’s My Life, I Have My Own Rule. If You
Can’t Deal With That, Then You Can Just Leave.”
Egois
I know, tapi dengan tampang menarik dan body pahatan seperti itu, Daniel tak
pernah kekurangan teman kencan. Dan gue? Jelas, gue berteman dengan Daniel
karna dia bukan tipe orang yang akan ngomongin gue dibelakang. Dia akan
langsung ngomong didepan gue. Dan dia tidak peduli semenyakitkan apa yang dia
ucapkan tadi. Beside, gue udah temenan sama itu anak dari SD.
“Dia
buka celana sekarang.”
“Hell
shit no!” Gue langsung berdiri dan Daniel sukses tertawa.
“I
know you are obsessed with him.” Daniel berkata masih dengan senyum geli.
“Lo
gay abnormal ya? Mana ada gay normal yang gak mau lihat cowok model kayak Reno
buka celana? Sayang kan kalau sampai dia dilalerin ntar?”
“Hahaha,
molor yuk ah. Besok gue mau joging di GBK.”
“Fuck!
Terakhir lo ngomong gitu, besoknya lo bangun jam sepuluh siang.”
“Hahaha.”
TBC
Keren lanjut dong , pasti keren banget ini
BalasHapuscerita yang oke banget. Dalam merangkai cerita mas ardhinansa memang gak diragukan lagi. Cuma dalam cerita2 nya agak terlalu power bottom. Kalau bisa, bot nya gak perlu se perfect ini. Dan satu lagi, pengen lebih hot. Hehehe...
BalasHapusTekhnologi coating kalo salut gula ya jadi manis bukan? Hehe
BalasHapusLove this story.. Keep writing yaa bang..