FOLLOW ME

Minggu, 08 Februari 2015

BOTTOM 8

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Uki Bagus Walantaga
Aku tengah membaca novel yang aku pinjam dari Daniel, sambil sesekali mengawasi Fadil, adik bungsuku itu tengah bermain-main dengan laptopku. Bukan karena laptopku menyimpan video porno atau apa, hanya saja kadang Fadil suka keterlaluan. Seperti tanpa sengaja menghapus file-file penting, dari kantor.
Actually, aku bukan penyuka novel. Tetapi, novel yang aku baca ini sudah begitu menarik di awal. Sesuai realita, tidak berlebihan dan humornya pas. Tidak sampai bikin ketawa-tawa sendiri. Tapi cukup bikin senyum-senyum gak jelas.
“Bang, ada pesan skype dari Bang Daniel.” Mendengar perkataan Fadil, aku dengan sigap mengamankan laptopku. Siapa tahu, Daniel kirim pesan macem-macem.
“Anak kecil tidur sana, sudah malem.” Kataku sambil membawa laptopku ke kamarku. Fadil? Tentu saja dia tidak ke kamarnya dan bergegas tidur. Dia menggerutu dan menuju ruang tengah, tempat kedua orangtuaku sedang melihat sinetron.
“Kangen.” Itu yang ditulis Daniel.
“Boleh video call?” Pesannya tidak lama kemudian. Aku tersenyum, sebelum akhirnya aku yang menghubunginya. Mumpung sinyal internetnya tengah bersahabat.
“What’s up Thailand?” Tanyaku begitu wajah Daniel muncul di layar. Sepertinya, gantengku itu baru saja mandi. Rambutnya masih basah.
“Boring Ki, gila ya, dari pagi cuman diceramahin mulu. Bete.” Daniel membetulkan earphonenya. “Kantor gimana? Jakarta? Banjir gak?”
“Kemarin banjir sayang, kantor aja ampe diliburin.”
“Hah? Serius? Tahu gitu aku gak usah ikut ke Thailand. Cuman dengerin si Pun Pun ngomel mulu disini.”
Aku tertawa ringan. “Kapan pulang?”
Daniel tidak langsung menjawab pertanyaanku, dia malah berdiri dan mengambil minum. Aku kira, Daniel hanya topless, salah! He is totally naked. Shit!
“Besok sore Ki, kamu jemput aku di Bandara kan?”
“Ya,” aku ragu-ragu sebentar, “What actually are you doin’ Dan? Kenapa gak pake baju?”
“Hehe, aku lagi horny sayang. Makanya pengen skype an sama kamu.” Aku menelan ludah mendengar jawaban dari Daniel.
“Pengen lihat kamu telanjang dong sekali-kali Ki.” Daniel mengatakannya dengan santai. Posisinya yang tengah duduk –lucky to me, karena dengan begitu bagian bawah tubuhnya menjadi tidak terlihat di layar- sambil memegang sebuah minuman. Wine. Haduh, gantengku itu!
“Buat apa?”
“Buat aku onani lah Ki, lemme see yours, please?”
“Tapi badanku gak bagus, mana bisa bikin kamu horny sayang.”
“Oh, come on! Aku terima kamu jadi pacarku juga bukan karena badan kamu kayak Vin Diesel.” Aku tersenyum, walau masih ragu.
Percaya atau tidak, aku belum pernah telanjang di hadapan orang lain. Shirtless saja jarang. Bukan karena aku malu, tapi aku tahu tubuhku bukan dalam kondisi membanggakan jika dipamerkan.
Daniel masih menatapku sambil menggigit-gigiti bibirnya. Puppy eyes nya memancarkan sorot permohonan. Aargh, mana tahan ditatap kayak gitu.
“Kamu seksi kok.” Daniel berkata begitu, waktu kaos yang aku pakai sudah aku tanggalkan.
“Cukup kan?” Tanyaku ragu. Aku yakin Daniel mengharapkan lebih.
“Celananya?”
“Bentar.”
Aku bangkit berdiri, berjalan ke pintu, memastikan bahwa pintu kamarku sudah aku kunci. Enggak lucu sama sekali, kalau tiba-tiba Fadil nyelonong masuk, atau yang paling parah Mama masuk kamarku dan aku dalam kondisi telanjang menonton lelaki –yang notebene adalah pacarku sendiri- tengah bermasturbasi.
Aku melepas celana pendekku.
“Wow, tonjolannya bikin aku makin horny.” Daniel ikutan berdiri dan mundur sedikit ke belakang. Kini tubuh indahnya terekspos jelas. Penisnya yang belum disunat, perlahan-lahan bangun dari tidurnya.
Aku baru saja akan melepas celana dalamku, saat aku mendengar ketukkan di pintu kamarku.
“Ki, kamu sudah tidur sayang? Ada tante Lisa dibawah. Turun sebentar gih. Kok dikunci pintunya Ki?” Itu Mama. Shit!
“Iya Ma, sebentar.” Aku bergegas mendekati Laptopku.
“Nextime ya sayang, Mamaku manggil. Bye, I love you.” Aku berkata sambil menutup laptopku. Lalu secepat kilat memakai pakaianku kembali.
“Ada apa Ma?” Kataku setelah membukakan pintu, dan melihat Ibuku yang sedang menatapku curiga. Honestly, aku kurang bisa mengontrol nafasku yang masih ngos-ngosan.
“Kamu lagi ngapain?”
“Engga ngapa-ngapain.” Mamaku mendorongku mundur, lalu berjalan masuk ke kamarku. You know what, sometime, I hate my mother. I mean, beliau masih menganggapku anak kecil, padahal aku sudah 28 tahun! Dan well, beliau bisa sangat menjadi tidak percayaan.
“Kamu sembuyiin cewek ya?”
“Ha?” See? Mamaku itu imajinasinya luar biasa. “Enggak, Mama apaan juga!”
Aku menatap laptopku, aduh. “Katanya ada tante Lisa, turun yuk Ma.” Mamaku itu masih menatapku penuh selidik walaupun akhirnya keluar juga dari kamarku.
Let me, tell you this. Kalian pernah enggak berada di posisi dimana sahabat orang tua kalian, membawa anak mereka, dan isi percakapan mereka seolah-olah ingin menjodohkan kalian? Dan satu lagi, mereka berbicara, seolah-olah kalian sedang tidak berada disitu. Pernah ngalamin? Aku sedang berada dalam situasi seperti ini sekarang.
Tante Lisa dengan anak gadisnya, siapa tadi namanya? Nia? Lia? Yah, pokoknya yang ada ia, ia-nya.
“Iya jeung, lha wong listrik, air, semua kebutuhan rumah ini saja Uki yang bayar. Udah mapan dia, tinggal nyari istri yang cocok aja tho jeung?” Oke, in this situation, I hate my mother much more.
“Kalau Lia mah baru mulai kerja, belum ada apa-apanya sama Uki atuh.” Aku memutar mataku dengan jengah. Ibunya Lisa, anaknya Lia. How creative!
“Halah, jeung ini lho. Lia ini aduh, ayu pisan lho. Saya saja mau lho punya menantu seperti Lia.” Weird, sejak kapan Ibuku jadi sunda gini? Pengen punya mantu kayak Lia lagi.
“Aah, jeung ini. Kalau itu mah kan terserah anak-anaknya saja tho ya?”
“Bang Ukiiiiiiii, ini gamenya rusak!!!!!” Suara menggelegarnya Fadil yang biasanya bikin aku pengen nyekik dia, sekarang membuatku lega.
“Bentar abang benerin.” Aku bangkit berdiri, “Permisi sebentar tante, Lia.” Aku tersenyum sopan. Yes! Akhirnya bisa juga kabur dari situasi awkward tadi.
***

Aku masih menunggu kedatangan Daniel di terminal international arrival. Tidak lama, karena lima menit kemudian Daniel sudah muncul, kaos pas badan, jeans, dan snapback, penampilanya benar-benar hot. Yah, Daniel always looking good. Even dia pakai baju gembel sekalipun.
“Nyari makan yuk. Tapi jangan disini, aku lagi pengen nasi goreng yang deket sabang itu lho sayang.” Daniel nyerocos begitu sudah berada didekatku. Aku tersenyum sambil mengambil alih tugas Daniel membawa kopernya.
“Kok kamu pulang duluan sayang? Bukannya Pak Bimo sama yang lainnya baru balik besok sore?” Aku bertanya saat mobilku sudah keluar dari gerbang jalan toll.
“Kangen kamu.” Daniel menoleh ke arahku. “Aku bawain oleh-oleh lho buat kamu.”
Aku tersenyum, “Kamu gak kecapekkan?”
“Banget Ki, rasanya pengen langsung tidur.”
“Ya udah, nasi gorengnya kita skip dulu. Langsung balik ke apartment kamu. Ntar aku masakkin aja buat kamu makan malam.” Saranku, sambil menghentikkan laju mobilku karena lampu merah.
“Thanks.” Daniel meraih kepalaku. Menciumnya dengan lembut. Aku gelagapan, karena walaupun kaca mobilku cukup gelap, aku takut saja masih ada yang melihat kita berdua.
“Katanya bukan tipe yang suka pamer kemesraan di depan publik?” Sungutku saat Daniel menyudahi ciumannya.
“Ini kan didalam mobil sayang.” Daniel mengedikkan sebelah matanya, sambil lidahnya menjilat bibirnya. Shit!
***

“Sayang, jangan ganggu konsentrasiku dong.” Aku memarahi Daniel, walaupun gagal. Saat jari-jari Daniel menyusup kedalam kaosku, sedangkan tanganku sedang sibuk menggoreng daging beku yang tadi kita beli di bawah.
“Lanjutin aja, kan aku gak ganggu.”
“Gak ganggu gimana? Aduh Dan, jangan sentuh putingku kayak gitu dong.” Ini pacarku setelah balik dari Thailand, kenapa jadi agresif banget gini?
“Angkat tangan kamu bentar Ki.” Walaupun aku ngegrundel, aku tetap menuruti perkataan Daniel. Aku melepaskan songlet (bener kan? Itu lho yang buat goreng-goreng?) dan lap yang aku gunakan untuk memegangi wajan.
Daniel melolosi kaosku. Meletakkannya diatas galon. Jadi, ceritanya aku masak dalam kondisi shirtless nih? Awas saja kalau sampai ada minyak nyiprat ke tubuhku, aku minta Daniel tanggung jawab!
“Uda mateng belum Ki?”
“Bentar lagi.” Daniel memelukku dari belakang. Kedua tangannya masing-masing sibuk dengan puting kiri dan puting kananku. Sedangkan bibirnya beberapa kali memberi tanda di pangkal leherku.
Penisku dibawah sana, sudah membentuk gundukkan kecil. Sejauh ini, Daniel belum menyentuh daerah itu. Tapi aku yakin, hanya masalah waktu sebelum tangan nafsunya turun.
“Sekarang sudah mateng?”
“Udah, aku angkat dulu bentar.” Aku meloloskan diri dari pelukan Daniel sebentar.
“Mau makan sekarang?” Daniel malah tersenyum mesum sambil mematikan kompor. Dengan tiba-tiba Daniel langsung membopongku. Yah, berat badan Daniel yang hampir delapan puluh kilogram, rasanya tidak terlalu berat baginya untuk mengangkatku yang hanya lima puluh empat kilogram.
Daniel menidurkan tubuhku di sofa. Belum juga aku mau bereaksi, Daniel sudah melepas celana pendek beserta celana dalamku dan membuangnya begitu saja di lantai.
“Finally, I see you totally naked Ki.” Aku memalingkan wajahku. Aku yakin, saat ini wajahku pasti semerah tomat rebus. Apalagi fakta bahwa penisku sudah full ereksi, yang artinya, aku menikmati perlakuan Daniel ini. Aku tahu ini dosa, aku tahu ini tidak boleh. But, whatever! Bloody hell, aku benar-benar menikmati ini semua.
Aku menatap Daniel, menundukkan kepalanya, mengecup bibirnya dengan bernafsu. Bibirnya yang selalu membuatku haus dan tidak pernah terpuaskan.
Aku menggulingkan Daniel, sehingga sekarang posisiku berada di atas tubuhnya. Melepas kaos Daniel secepatnya, dan langsung menikmati puting merah jambunya. Gila! Selama ini, aku hanya sering membayangkan bagaimana rasanya, tanpa berani melakukan. Dan begini rasanya, mencecap rasa kulit Daniel dengan lidahku. Rasa puas yang tidak bisa aku gambarkan.
Bibirku turun ke bawah, mengagumi tatto namaku diatas perut Daniel dengan cara menciuminya berkali-kali.
Aku melepas celana jeans Daniel. Seharusnya, kalau Daniel sudah merencanakan ingin bercinta denganku, dia harusnya tidak memakai skinny jeans ini. Susah banget buat dilepas.
Celana dalamnya, jelas tidak sesulit celana jeansnya.
“You are beautifull Dan, I love you.” Bisikku di telinganya.
Daniel bangkit, lalu menyuruhku duduk. Kedua tangannya meregangkan kakiku. “Kamu tahu Ki? Udah lama banget aku pengen ngisep punya kamu.”
Aku ingin melarang Daniel, tapi kenikmatan yang diberikan bibirnya benar-benar luar biasa.
“Wow, tegak sempurna. Sebentar sayang, aku ambil pelumas dulu.” Aku hanya bengong dan merasa malu saat Daniel berdiri dan berjalan kedalam kamarnya. Ingin rasanya aku menutupi penisku yang dengan tidak tahu malunya berdiri hingga menyentuh perutku.
Daniel datang sambil tersenyum. “Fuck me.” Bisiknya pelan di telingaku.
***

Aku mendengar ketukkan. Mimpi, atau benar-benar ada yang mengetuk pintu? Aku menoleh kesamping, dan melihat Daniel yang masih tertidur pulas disisiku. Kita berdua masih di sofa, dan tidur disini.
Yah, actually, aku bahkan tidak ingat berapa kali aku melakukannya dengan Daniel semalam. Yang pasti, I do really massage now. Badanku pegel semua.
Ah, ketukkan pintunya makin keras.
Aku menyibakkan selimut yang menutupi tubuh telanjangku dan dengan sekedarnya mengambil celana pendekku. Yakin, kepalaku masih antara sadar dan tidak. Aku mengantuk sekali jujur.
Aku membuka pintu dan sama sekali tidak mengenali kedua wanita yang sekarang berada didepanku. Satunya agak semok, yang lainnya tinggi, langsing, dan berdarah indo, tebakanku tentu saja. Berusia mungkin tigapuluh tahunan. Cantik dan sekilas mengingatkanku pada Daniel.
“Uki?” Si montok menyapaku. Senyum genitnya tersungging.
“Ya?”
“Wow, you better than my imagination. Boleh masuk? I hope, lo sama Daniel gak lagi berbuat mesum didalem tadi. I do not mean to disturbing, of course. Oh ya kenalin, gue Maya. Dan Ini Sophia Pradipta.” Maya, sebagaimana dia memperkenalkan dirinya tadi, berbisik kepadaku. “Mamanya Daniel.”
Aku cukup terkejut. Well, aku tidak berani menatap mata Sophia, I mean, dengan penampilanku yang hanya memakai celana pendek saja, mana mungkin aku bisa layak memperkenalkan diri? Ditambah, dari tadi Sophia hanya diam saja. Kalau boleh jujur, Sophia ini penampilannya sama sekali tidak seperti ibu yang mempunyai anak berusia 26 tahun. Rok mini? Heels? Dan kaos lengan panjang pas badan? Dia nampak seperti ibu-ibu muda baru yang mungkin anaknya masih berusia dua atau tiga tahun.
“Uki,” Akhirnya mau tidak mau, aku harus tetap memperkenalkan diri kan? Sophia tersenyum dan menggenggam tanganku.
“Such a pleasure to meet you, eem . . .” Aku bingung mau manggilnya. Tante? Tapi dia belum seperti tante-tante, Sophia? Enggak sopan banget, dia kan ibunya pacarku!
“No, pleasure is mine. Just call me Soph.” Sophia tersenyum lagi. Olla Ramlan? Lewat! Tamara? Lewat! Hhh, gak heran anaknya ganteng banget.
Sophia berjalan kedalam. “Wake up you sleepy head!”
Well, seorang ibu memang selalu punya cara ampuh untuk membangunkan anaknya sendiri. Daniel menggeliat, sebelum akhirnya matanya terbelalak. Good or bad sign? What do you think?
“Mom? Kapan dateng? Oh ya, can you just turn around for one minute? I am totally naked here.” Daniel menaikkan selimutnya hingga batas leher.
“Kayak Mama belum pernah lihat saja?” Aku tambah terkejut. Sophia ini, well, I lost my word, unik? Dan Daniel menggembungkan pipinya. Well, he’s cute!
“Itu kan pas Daniel masih bayi. Sial, ada elo juga lagi May! Ngapain pagi-pagi lo udah bertamu ke apartment gue?” Daniel mengambil celana dalamnya, kemudian memakainya dalam selimut.
“Tadi Sophia telepon gue, mau ngajak gue jalan-jalan. Eh, gak tahunya diajak ke tempat lo.” Maya melirikku dan Daniel bergantian dengan tampang mesum. “Gue gak lagi dateng pada saat yang salah kan?”
“You always came in a worst time, don’t you know that?” Daniel berdiri. Berusaha mencari celana panjangnya. “Mom, kok gak bilang-bilang sih mau dateng? Seenggaknya kan Daniel bisa siapin sarapan.”
“And miss that mark?” Mark? Shit! Aku baru sadar, tubuh Daniel yang penuh dengan bekas cupanganku. Kulit putih Daniel, justru tidak bisa menyamarkannya kan? Memperjelas, iya!
“Kalian berdua mandi deh, kita sarapan dibawah aja.” Maya mengusulkan sambil tetap tersenyum mesum.
“Oke, mau aku atau kamu dulu Ki yang mandi?”
“Yaelah mandi berdua kan juga bisa! Kan gak buang-buang waktu jadinya! Kecuali, di kamar mandi kalian . . .” Maya cekikikan.
“Shut all your hole May.”
***

Joshua Daniel Pradipta
“Menurut lo, nyokap gue bakalan ngapain ke Uki?” Maya hanya mengangkat bahunya menjawab pertanyaanku. Jadi, aku dan Maya tengah berada di Starbuck, sedangkan Uki dan Mama, -well, tadi Mama meminta Uki untuk menemani Mama belanja- nowhere.
“Kayaknya nyokap lo suka kok sama Uki, take it easy Dan. By the way, lo dapet restu gue. I do like Uki too.” Maya tersenyum sambil mengerlingkan matanya, “He’s hot, ya kan? Berapa ronde semalam?”
“It’s his first time, and totally surprising me.”
“He’s good?”
“Untuk ukuran pemula? A! Eh, kok jadi bahasnya kesini sih?” Aku memotong cake ku sebelum akhirnya mendongak ke Maya lagi. “Gue takut nih May, Uki kan bukan Rasjid, gimana kalau Mama gak suka?”
“Ya karena dia bukan Rasjid makanya nyokap lo bisa suka. Khawatir banget sih lo. Dulu pas elo ngenalin Rasjid ke nyokap lo, lo gak sekhawatir ini.”
“Beda kali.”
Maya menatapku lurus-lurus, yang tentu saja lama-lama membuatku jengah. “Why are you so fixated on this guy?”
“Enggak ngerti juga gue May, isn’t karena dia Uki, enough?”
Si Maya malah cuman senyum mesum sambil geleng-geleng kepala.
“What?” aku menatapnya penasaran.
“Nothing. Dipelet kali ya elo sampai gak bisa ngomong gitu?”
“Maksut lo?”
“Gini ya Dan, sebelum lo pacaran sama Uki, gue inget banget selera lo itu kayak apa, dan gue inget dengan jelas, alasan lo pengen macarin mereka itu apa.” Aku masih menatap Maya dengan rasa ingin tahu.
Maya meminum coffe lattenya bentar, “Gue inget banget setiap lelaki malang korban lo itu . . .”
“Lelaki malang, gundulmu ya!” Sambarku cepat.
“. . . setiap lelaki malang korban elu itu ya, ini gue ulang.” Maya tersenyum, “Gue inget dengan jelas kenapa lo jatuh cinta sama mereka or just want to do them . . .”
“Bibir lo tu ya.” Aku tertawa.
“I am right, right? Siapa itu dulu anak motor jaman-jaman kita masih kuliah? Sebelum lo ketemu Rasjid? Ijul?”
“Joel, gak pake i.”
“Nah itu, gue inget banget alasan lo macarin si Joel ini, waktu itu lo bilang, ‘Gue pengen ngrasain aja rasanya making love sama anak motor diatas motor gedenya.’ Aduh, penting banget ya Dan?”
Aku sukses ngakak, “Waktu itu sih penting banget May.”
“Trus si Rasjid.”
“Another topic, shall we? Males gue ngomongin yang satu itu.”
“Bear with me for a minute, will you? Sebenci-bencinya elo sama dia sekarang, dan kalau ketemu, lo mungkin bakal langsung bunuh doi ditempat, alasan lo jatuh cinta sama dia juga sama silly nya.”
“Terserah elo deh May.”
“Lho, gue bener kan? Lo pengen banget pacaran sama yang agak-agak nerdy gitu. Gue masih inget lho minggu-minggu awal lo pacaran sama Rasjid, lo cerita betapa manisnya si Rasjid, betapa romantis, ciumannya hebat, di ranjang dia . . .”
“Okay, let’s keep this conversation non X-rated, shall we?” Potongku cepat.
Maya, lagi-lagi senyum gaje. “Intinya gini, lo bisa cerita ke gue dengan lugas, kenapa lo jatuh cinta sama mantan-mantan lo. Termasuk si Bimo! Eh, keinginan lo buat bisa making love di ruangan doi, udah terlaksana belom?”
“Non X-rated?”
“Hahaha, nah, lo udah pacaran mau dua bulan lo juga masih belum bisa nemu alasan, kenapa lo jatuh cinta sama Uki. Gimana gue gak berasumsi lo kena pelet coba? Well, dibandingin sama Bimo dan Rasjid yang secara fisik menang telak.”
“Tahu deh May, gue juga bingung. But with him, I feel free.”
“Syahrini kali lo ah.”
“Sinting lo! Eh, by the way, Japheth gak nyariin lo gitu? Sabtu-Sabtu pagi gini lo udah keliaran?”
“Udah bilang sama Banyu gue.” Maya menatapku lagi. “Gue berharap lo dapet yang terbaik Dan, itu aja. Sorry, kalau gue kadang suka terlalu ikut campur urusan pribadi lo. Agak-agak annoying gak sih gue sometime?”
“Itu yang namanya fungsi sahabat kan May? Gue ngerasa bersyukur bisa punya sohib kayak lo sama Evan.”
***

Sementara itu,
Uki Bagus Walantaga
Kalian mau tanya bagaimana perasaanku saat ini? Complicated! Sophia, memintaku menemaninya belanja. Walaupun, dari tadi dia hanya melihat-lihat. Aku yakin, ini hanya caranya saja, untuk mewawancaraiku. Aku memacari anaknya. Daniel tadi sudah cerita kalau sudah lama dia coming out ke nyokapnya. Dan nyokapnya fine, mungkin karena nyokapnya gede di Belanda kali ya? Jadi gak begitu kaku.
“Ki, menurut kamu, ini cocok gak?” Ini lebih obrolan ke pacar, ya gak sih?
Aku mengangguk canggung, “Cocok, sayangnya agak terlalu kebuka di dada.”
Sophia mengerutkan keningnya dalam, “Well, jadi menurut kamu dadaku rata, gak enak buat dipamerin?” Salah ngomong aku kayaknya.
“No. Bukan itu maksutnya.”
“I know. Eem, sudah kenal Daniel berapa lama?” so, here we go.
“Dua tahun. Kita satu kantor.”
“Kalau pacarannya?” Bener kan dugaanku.
“Hampir dua bulan.”
“And already having sex, hmm.”
Aku menelan ludah. Haduh, ini kenapa auranya jadi mendadak kaku gini ya? Aku beneran blank juga.
“Atau sebelum ini sudah, you know? Gitu-gituan sama Daniel?” Sambung Sophia sambil memilih-milih bra berenda. Tak kira, Sophia bakal ceplas-ceplos, tapi ternyata dia agak malu-malu juga nanyanya.
“Last night, it’s our first time, Soph.” Sophia berbalik menatapku. Matanya yang berwarna kehijauan itu menatapku langsung. Dia wanita, tapi aku gentar juga ditatap tajam seperti itu.
“Look, sebagai ibunya, I just . . .” Sophia menyisir rambutnya dengan jari. “Pengen yang terbaik buat Daniel. Sorry kalau bikin kamu gak nyaman.”
“Sophia, uh, I know that we just met. We are young, and do not knows what the future holds, but I really love your son, Soph.” Sophia tersenyum mendengar perkataanku barusan.
“I know, I can see the way you look at Daniel.” Sophia tersenyum lagi. Sophia Latjuba? Lewat! “So, yang merah atau yang warna hitam?” Sophia memerkan dua bra dihadapanku.
“Hitam.”
“Uh, tapi selera fashionmu payah anak muda!” Dan aku hanya tergelak.
***

“Abang Danieeeeel!”
“Hai jagoan!” Daniel sedikit berjongkok menyambut Fadil yang berlari-lari ke arahnya. Begitu sudah dipelukan, Daniel mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum akhirnya menangkapnya kembali. Dan Fadil hanya tertawa lebar.
“Excited banget, adikku nyambut kamu ya.” Aku berkata dari depan pintu, “Tau gak? Dari tadi dia gak berenti-berenti nanyain kapan kamu dateng.”
“I have been known to have that affect on men, bahkan yang seumur ini.” Aku tertawa mendengar jawaban si gantengku itu.
“So? Aku bakal jadi babby sitter nih disini?” Daniel bertanya sambil tetap menggendong Fadil.
“Mama sama Papa lagi ada acara di rumah sodara, kondangan atau apalah gitu tadi. Si Kemal ada persami. Tinggal aku sama Fadil di rumah. Eh, mau es krim gak? Aku beli rada banyak tadi.”
“Boleh,” Daniel menghampiriku lalu mengecup pipiku. Aku mendorongnya pelan.
“Ada Fadil.” Daniel terkekeh.
“Hai jagoan, mau main xbox bareng abang gak?” Fadil dengan excited langsung berlari ke ruang tengah. Sepertinya semangat, untuk memamerkan xbox barunya ke Daniel.
Mereka berdua lalu asik sendiri. Sesekali aku menyuapkan es krim ke bibir Daniel dan Fadil bergantian. Jujur, aku kurang jago main game, entah itu game handphone, pc, ps, atau xbox.
Sedangkan mereka berdua, terlihat, you know? Seperti ada ikatan. Heh, mungkin Daniel lebih pantas jadi abangnya Fadil daripada aku kali ya?
“Fadil itu susah tidur lho biasanya.” Kataku menghampiri Daniel yang tengah terduduk di sofa dengan Fadil yeng terlelap di pangkuannya.
“He’s smart, banyak akal lagi.” Daniel tersenyum. “Ki . . .” Wajah Daniel maju beberapa centi. Bibirnya mencari bibirku. Dan saat akhirnya bibir kita berdua terpaut, aku benar-benar terlena. Hingga tidak menyadari bahwa ada orang lain yang melihat kita berdua tengah berciuman dengan dahsyat. Sampai suara seperti benda jatuh itu mengagetkanku dan Daniel. (Sound like sinetron banget gak sih? Whateverlah ya).
“Mama?” Mamaku jatuh pingsan.
“Ma!” Aku berlari, memeriksa nadinya. Thanks God, masih berdenyut.
“Lho Ki, ini kenapa? Mamamu kenapa? Sayang?” Papa yang baru saja masuk langsung tak kalah panik.
“Kita bawa ke rumah sakit aja Pah.” Aku menoleh ke arah Daniel. “Please, kamu pulang dulu.”
“Yang jagain Fadil?” Daniel menunjuk ke Fadil yang masih terlelap dii pangkuannya.
“Kita bisa titip ke tetangga sebelah sebentar.”
“Ki. . .”
“Aku bilang kamu pulang dulu!” Daniel terkejut sebentar sebelum akhirnya mengangguk. Sorry Dan, tapi Mamaku pingsan pasti karena kita. Dan aku benar-benar takut apa yang bakalan aku hadapi di depan sana.


TBC . . .

3 komentar:

  1. Wahh kayaknya si Uki bakal di larang nih sama ortunya deket Daniel lagi.
    Gw harap si ga gitu,
    Lanjutin donggg...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baca yg kesembilan juga ya 😊

      Hapus

leave comment please.