Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Uki
Bagus Walantaga
Aku
tengah membaca novel yang aku pinjam dari Daniel, sambil sesekali mengawasi
Fadil, adik bungsuku itu tengah bermain-main dengan laptopku. Bukan karena
laptopku menyimpan video porno atau apa, hanya saja kadang Fadil suka
keterlaluan. Seperti tanpa sengaja menghapus file-file penting, dari kantor.
Actually,
aku bukan penyuka novel. Tetapi, novel yang aku baca ini sudah begitu menarik
di awal. Sesuai realita, tidak berlebihan dan humornya pas. Tidak sampai bikin
ketawa-tawa sendiri. Tapi cukup bikin senyum-senyum gak jelas.
“Bang,
ada pesan skype dari Bang Daniel.” Mendengar perkataan Fadil, aku dengan sigap
mengamankan laptopku. Siapa tahu, Daniel kirim pesan macem-macem.
“Anak
kecil tidur sana, sudah malem.” Kataku sambil membawa laptopku ke kamarku.
Fadil? Tentu saja dia tidak ke kamarnya dan bergegas tidur. Dia menggerutu dan
menuju ruang tengah, tempat kedua orangtuaku sedang melihat sinetron.
“Kangen.”
Itu yang ditulis Daniel.
“Boleh
video call?” Pesannya tidak lama kemudian. Aku tersenyum, sebelum akhirnya aku
yang menghubunginya. Mumpung sinyal internetnya tengah bersahabat.
“What’s
up Thailand?” Tanyaku begitu wajah Daniel muncul di layar. Sepertinya,
gantengku itu baru saja mandi. Rambutnya masih basah.
“Boring
Ki, gila ya, dari pagi cuman diceramahin mulu. Bete.” Daniel membetulkan
earphonenya. “Kantor gimana? Jakarta? Banjir gak?”
“Kemarin
banjir sayang, kantor aja ampe diliburin.”
“Hah?
Serius? Tahu gitu aku gak usah ikut ke Thailand. Cuman dengerin si Pun Pun
ngomel mulu disini.”
Aku
tertawa ringan. “Kapan pulang?”
Daniel
tidak langsung menjawab pertanyaanku, dia malah berdiri dan mengambil minum.
Aku kira, Daniel hanya topless, salah! He is totally naked. Shit!
“Besok
sore Ki, kamu jemput aku di Bandara kan?”
“Ya,”
aku ragu-ragu sebentar, “What actually are you doin’ Dan? Kenapa gak pake
baju?”
“Hehe,
aku lagi horny sayang. Makanya pengen skype an sama kamu.” Aku menelan ludah
mendengar jawaban dari Daniel.
“Pengen
lihat kamu telanjang dong sekali-kali Ki.” Daniel mengatakannya dengan santai.
Posisinya yang tengah duduk –lucky to me, karena dengan begitu bagian bawah
tubuhnya menjadi tidak terlihat di layar- sambil memegang sebuah minuman. Wine.
Haduh, gantengku itu!
“Buat
apa?”
“Buat
aku onani lah Ki, lemme see yours, please?”
“Tapi
badanku gak bagus, mana bisa bikin kamu horny sayang.”
“Oh,
come on! Aku terima kamu jadi pacarku juga bukan karena badan kamu kayak Vin
Diesel.” Aku tersenyum, walau masih ragu.
Percaya
atau tidak, aku belum pernah telanjang di hadapan orang lain. Shirtless saja
jarang. Bukan karena aku malu, tapi aku tahu tubuhku bukan dalam kondisi
membanggakan jika dipamerkan.
Daniel
masih menatapku sambil menggigit-gigiti bibirnya. Puppy eyes nya memancarkan
sorot permohonan. Aargh, mana tahan ditatap kayak gitu.
“Kamu
seksi kok.” Daniel berkata begitu, waktu kaos yang aku pakai sudah aku
tanggalkan.
“Cukup
kan?” Tanyaku ragu. Aku yakin Daniel mengharapkan lebih.
“Celananya?”
“Bentar.”
Aku
bangkit berdiri, berjalan ke pintu, memastikan bahwa pintu kamarku sudah aku
kunci. Enggak lucu sama sekali, kalau tiba-tiba Fadil nyelonong masuk, atau
yang paling parah Mama masuk kamarku dan aku dalam kondisi telanjang menonton
lelaki –yang notebene adalah pacarku sendiri- tengah bermasturbasi.
Aku
melepas celana pendekku.
“Wow,
tonjolannya bikin aku makin horny.” Daniel ikutan berdiri dan mundur sedikit ke
belakang. Kini tubuh indahnya terekspos jelas. Penisnya yang belum disunat,
perlahan-lahan bangun dari tidurnya.
Aku
baru saja akan melepas celana dalamku, saat aku mendengar ketukkan di pintu
kamarku.
“Ki,
kamu sudah tidur sayang? Ada tante Lisa dibawah. Turun sebentar gih. Kok
dikunci pintunya Ki?” Itu Mama. Shit!
“Iya
Ma, sebentar.” Aku bergegas mendekati Laptopku.
“Nextime
ya sayang, Mamaku manggil. Bye, I love you.” Aku berkata sambil menutup
laptopku. Lalu secepat kilat memakai pakaianku kembali.
“Ada
apa Ma?” Kataku setelah membukakan pintu, dan melihat Ibuku yang sedang
menatapku curiga. Honestly, aku kurang bisa mengontrol nafasku yang masih
ngos-ngosan.
“Kamu
lagi ngapain?”
“Engga
ngapa-ngapain.” Mamaku mendorongku mundur, lalu berjalan masuk ke kamarku. You
know what, sometime, I hate my mother. I mean, beliau masih menganggapku anak
kecil, padahal aku sudah 28 tahun! Dan well, beliau bisa sangat menjadi tidak
percayaan.
“Kamu
sembuyiin cewek ya?”
“Ha?”
See? Mamaku itu imajinasinya luar biasa. “Enggak, Mama apaan juga!”
Aku
menatap laptopku, aduh. “Katanya ada tante Lisa, turun yuk Ma.” Mamaku itu
masih menatapku penuh selidik walaupun akhirnya keluar juga dari kamarku.
Let
me, tell you this. Kalian pernah enggak berada di posisi dimana sahabat orang
tua kalian, membawa anak mereka, dan isi percakapan mereka seolah-olah ingin
menjodohkan kalian? Dan satu lagi, mereka berbicara, seolah-olah kalian sedang
tidak berada disitu. Pernah ngalamin? Aku sedang berada dalam situasi seperti
ini sekarang.
Tante
Lisa dengan anak gadisnya, siapa tadi namanya? Nia? Lia? Yah, pokoknya yang ada
ia, ia-nya.
“Iya
jeung, lha wong listrik, air, semua kebutuhan rumah ini saja Uki yang bayar.
Udah mapan dia, tinggal nyari istri yang cocok aja tho jeung?” Oke, in this
situation, I hate my mother much more.
“Kalau
Lia mah baru mulai kerja, belum ada apa-apanya sama Uki atuh.” Aku memutar
mataku dengan jengah. Ibunya Lisa, anaknya Lia. How creative!
“Halah,
jeung ini lho. Lia ini aduh, ayu pisan lho. Saya saja mau lho punya menantu
seperti Lia.” Weird, sejak kapan Ibuku jadi sunda gini? Pengen punya mantu
kayak Lia lagi.
“Aah,
jeung ini. Kalau itu mah kan terserah anak-anaknya saja tho ya?”
“Bang
Ukiiiiiiii, ini gamenya rusak!!!!!” Suara menggelegarnya Fadil yang biasanya
bikin aku pengen nyekik dia, sekarang membuatku lega.
“Bentar
abang benerin.” Aku bangkit berdiri, “Permisi sebentar tante, Lia.” Aku
tersenyum sopan. Yes! Akhirnya bisa juga kabur dari situasi awkward tadi.
***
Aku
masih menunggu kedatangan Daniel di terminal international arrival. Tidak lama,
karena lima menit kemudian Daniel sudah muncul, kaos pas badan, jeans, dan
snapback, penampilanya benar-benar hot. Yah, Daniel always looking good. Even
dia pakai baju gembel sekalipun.
“Nyari
makan yuk. Tapi jangan disini, aku lagi pengen nasi goreng yang deket sabang
itu lho sayang.” Daniel nyerocos begitu sudah berada didekatku. Aku tersenyum
sambil mengambil alih tugas Daniel membawa kopernya.
“Kok
kamu pulang duluan sayang? Bukannya Pak Bimo sama yang lainnya baru balik besok
sore?” Aku bertanya saat mobilku sudah keluar dari gerbang jalan toll.
“Kangen
kamu.” Daniel menoleh ke arahku. “Aku bawain oleh-oleh lho buat kamu.”
Aku
tersenyum, “Kamu gak kecapekkan?”
“Banget
Ki, rasanya pengen langsung tidur.”
“Ya
udah, nasi gorengnya kita skip dulu. Langsung balik ke apartment kamu. Ntar aku
masakkin aja buat kamu makan malam.” Saranku, sambil menghentikkan laju mobilku
karena lampu merah.
“Thanks.”
Daniel meraih kepalaku. Menciumnya dengan lembut. Aku gelagapan, karena
walaupun kaca mobilku cukup gelap, aku takut saja masih ada yang melihat kita
berdua.
“Katanya
bukan tipe yang suka pamer kemesraan di depan publik?” Sungutku saat Daniel
menyudahi ciumannya.
“Ini
kan didalam mobil sayang.” Daniel mengedikkan sebelah matanya, sambil lidahnya
menjilat bibirnya. Shit!
***
“Sayang,
jangan ganggu konsentrasiku dong.” Aku memarahi Daniel, walaupun gagal. Saat
jari-jari Daniel menyusup kedalam kaosku, sedangkan tanganku sedang sibuk
menggoreng daging beku yang tadi kita beli di bawah.
“Lanjutin
aja, kan aku gak ganggu.”
“Gak
ganggu gimana? Aduh Dan, jangan sentuh putingku kayak gitu dong.” Ini pacarku
setelah balik dari Thailand, kenapa jadi agresif banget gini?
“Angkat
tangan kamu bentar Ki.” Walaupun aku ngegrundel, aku tetap menuruti perkataan
Daniel. Aku melepaskan songlet (bener kan? Itu lho yang buat goreng-goreng?)
dan lap yang aku gunakan untuk memegangi wajan.
Daniel
melolosi kaosku. Meletakkannya diatas galon. Jadi, ceritanya aku masak dalam
kondisi shirtless nih? Awas saja kalau sampai ada minyak nyiprat ke tubuhku,
aku minta Daniel tanggung jawab!
“Uda
mateng belum Ki?”
“Bentar
lagi.” Daniel memelukku dari belakang. Kedua tangannya masing-masing sibuk
dengan puting kiri dan puting kananku. Sedangkan bibirnya beberapa kali memberi
tanda di pangkal leherku.
Penisku
dibawah sana, sudah membentuk gundukkan kecil. Sejauh ini, Daniel belum
menyentuh daerah itu. Tapi aku yakin, hanya masalah waktu sebelum tangan
nafsunya turun.
“Sekarang
sudah mateng?”
“Udah,
aku angkat dulu bentar.” Aku meloloskan diri dari pelukan Daniel sebentar.
“Mau
makan sekarang?” Daniel malah tersenyum mesum sambil mematikan kompor. Dengan
tiba-tiba Daniel langsung membopongku. Yah, berat badan Daniel yang hampir
delapan puluh kilogram, rasanya tidak terlalu berat baginya untuk mengangkatku
yang hanya lima puluh empat kilogram.
Daniel
menidurkan tubuhku di sofa. Belum juga aku mau bereaksi, Daniel sudah melepas
celana pendek beserta celana dalamku dan membuangnya begitu saja di lantai.
“Finally,
I see you totally naked Ki.” Aku memalingkan wajahku. Aku yakin, saat ini
wajahku pasti semerah tomat rebus. Apalagi fakta bahwa penisku sudah full
ereksi, yang artinya, aku menikmati perlakuan Daniel ini. Aku tahu ini dosa,
aku tahu ini tidak boleh. But, whatever! Bloody hell, aku benar-benar menikmati
ini semua.
Aku
menatap Daniel, menundukkan kepalanya, mengecup bibirnya dengan bernafsu.
Bibirnya yang selalu membuatku haus dan tidak pernah terpuaskan.
Aku
menggulingkan Daniel, sehingga sekarang posisiku berada di atas tubuhnya.
Melepas kaos Daniel secepatnya, dan langsung menikmati puting merah jambunya.
Gila! Selama ini, aku hanya sering membayangkan bagaimana rasanya, tanpa berani
melakukan. Dan begini rasanya, mencecap rasa kulit Daniel dengan lidahku. Rasa
puas yang tidak bisa aku gambarkan.
Bibirku
turun ke bawah, mengagumi tatto namaku diatas perut Daniel dengan cara
menciuminya berkali-kali.
Aku
melepas celana jeans Daniel. Seharusnya, kalau Daniel sudah merencanakan ingin
bercinta denganku, dia harusnya tidak memakai skinny jeans ini. Susah banget
buat dilepas.
Celana
dalamnya, jelas tidak sesulit celana jeansnya.
“You
are beautifull Dan, I love you.” Bisikku di telinganya.
Daniel
bangkit, lalu menyuruhku duduk. Kedua tangannya meregangkan kakiku. “Kamu tahu
Ki? Udah lama banget aku pengen ngisep punya kamu.”
Aku
ingin melarang Daniel, tapi kenikmatan yang diberikan bibirnya benar-benar luar
biasa.
“Wow,
tegak sempurna. Sebentar sayang, aku ambil pelumas dulu.” Aku hanya bengong dan
merasa malu saat Daniel berdiri dan berjalan kedalam kamarnya. Ingin rasanya
aku menutupi penisku yang dengan tidak tahu malunya berdiri hingga menyentuh
perutku.
Daniel
datang sambil tersenyum. “Fuck me.” Bisiknya pelan di telingaku.
***
Aku
mendengar ketukkan. Mimpi, atau benar-benar ada yang mengetuk pintu? Aku
menoleh kesamping, dan melihat Daniel yang masih tertidur pulas disisiku. Kita
berdua masih di sofa, dan tidur disini.
Yah,
actually, aku bahkan tidak ingat berapa kali aku melakukannya dengan Daniel semalam.
Yang pasti, I do really massage now. Badanku pegel semua.
Ah,
ketukkan pintunya makin keras.
Aku
menyibakkan selimut yang menutupi tubuh telanjangku dan dengan sekedarnya
mengambil celana pendekku. Yakin, kepalaku masih antara sadar dan tidak. Aku mengantuk
sekali jujur.
Aku
membuka pintu dan sama sekali tidak mengenali kedua wanita yang sekarang berada
didepanku. Satunya agak semok, yang lainnya tinggi, langsing, dan berdarah
indo, tebakanku tentu saja. Berusia mungkin tigapuluh tahunan. Cantik dan sekilas
mengingatkanku pada Daniel.
“Uki?”
Si montok menyapaku. Senyum genitnya tersungging.
“Ya?”
“Wow,
you better than my imagination. Boleh masuk? I hope, lo sama Daniel gak lagi
berbuat mesum didalem tadi. I do not mean to disturbing, of course. Oh ya kenalin,
gue Maya. Dan Ini Sophia Pradipta.” Maya, sebagaimana dia memperkenalkan
dirinya tadi, berbisik kepadaku. “Mamanya Daniel.”
Aku
cukup terkejut. Well, aku tidak berani menatap mata Sophia, I mean, dengan
penampilanku yang hanya memakai celana pendek saja, mana mungkin aku bisa layak
memperkenalkan diri? Ditambah, dari tadi Sophia hanya diam saja. Kalau boleh
jujur, Sophia ini penampilannya sama sekali tidak seperti ibu yang mempunyai
anak berusia 26 tahun. Rok mini? Heels? Dan kaos lengan panjang pas badan? Dia
nampak seperti ibu-ibu muda baru yang mungkin anaknya masih berusia dua atau
tiga tahun.
“Uki,”
Akhirnya mau tidak mau, aku harus tetap memperkenalkan diri kan? Sophia
tersenyum dan menggenggam tanganku.
“Such
a pleasure to meet you, eem . . .” Aku bingung mau manggilnya. Tante? Tapi dia
belum seperti tante-tante, Sophia? Enggak sopan banget, dia kan ibunya pacarku!
“No,
pleasure is mine. Just call me Soph.” Sophia tersenyum lagi. Olla Ramlan?
Lewat! Tamara? Lewat! Hhh, gak heran anaknya ganteng banget.
Sophia
berjalan kedalam. “Wake up you sleepy head!”
Well,
seorang ibu memang selalu punya cara ampuh untuk membangunkan anaknya sendiri.
Daniel menggeliat, sebelum akhirnya matanya terbelalak. Good or bad sign? What
do you think?
“Mom?
Kapan dateng? Oh ya, can you just turn around for one minute? I am totally
naked here.” Daniel menaikkan selimutnya hingga batas leher.
“Kayak
Mama belum pernah lihat saja?” Aku tambah terkejut. Sophia ini, well, I lost my
word, unik? Dan Daniel menggembungkan pipinya. Well, he’s cute!
“Itu
kan pas Daniel masih bayi. Sial, ada elo juga lagi May! Ngapain pagi-pagi lo
udah bertamu ke apartment gue?” Daniel mengambil celana dalamnya, kemudian
memakainya dalam selimut.
“Tadi
Sophia telepon gue, mau ngajak gue jalan-jalan. Eh, gak tahunya diajak ke
tempat lo.” Maya melirikku dan Daniel bergantian dengan tampang mesum. “Gue gak
lagi dateng pada saat yang salah kan?”
“You
always came in a worst time, don’t you know that?” Daniel berdiri. Berusaha
mencari celana panjangnya. “Mom, kok gak bilang-bilang sih mau dateng?
Seenggaknya kan Daniel bisa siapin sarapan.”
“And
miss that mark?” Mark? Shit! Aku baru sadar, tubuh Daniel yang penuh dengan
bekas cupanganku. Kulit putih Daniel, justru tidak bisa menyamarkannya kan? Memperjelas,
iya!
“Kalian
berdua mandi deh, kita sarapan dibawah aja.” Maya mengusulkan sambil tetap
tersenyum mesum.
“Oke,
mau aku atau kamu dulu Ki yang mandi?”
“Yaelah
mandi berdua kan juga bisa! Kan gak buang-buang waktu jadinya! Kecuali, di
kamar mandi kalian . . .” Maya cekikikan.
“Shut
all your hole May.”
***
Joshua
Daniel Pradipta
“Menurut
lo, nyokap gue bakalan ngapain ke Uki?” Maya hanya mengangkat bahunya menjawab
pertanyaanku. Jadi, aku dan Maya tengah berada di Starbuck, sedangkan Uki dan
Mama, -well, tadi Mama meminta Uki untuk menemani Mama belanja- nowhere.
“Kayaknya
nyokap lo suka kok sama Uki, take it easy Dan. By the way, lo dapet restu gue.
I do like Uki too.” Maya tersenyum sambil mengerlingkan matanya, “He’s hot, ya
kan? Berapa ronde semalam?”
“It’s
his first time, and totally surprising me.”
“He’s
good?”
“Untuk
ukuran pemula? A! Eh, kok jadi bahasnya kesini sih?” Aku memotong cake ku
sebelum akhirnya mendongak ke Maya lagi. “Gue takut nih May, Uki kan bukan
Rasjid, gimana kalau Mama gak suka?”
“Ya
karena dia bukan Rasjid makanya nyokap lo bisa suka. Khawatir banget sih lo.
Dulu pas elo ngenalin Rasjid ke nyokap lo, lo gak sekhawatir ini.”
“Beda
kali.”
Maya
menatapku lurus-lurus, yang tentu saja lama-lama membuatku jengah. “Why are you
so fixated on this guy?”
“Enggak
ngerti juga gue May, isn’t karena dia Uki, enough?”
Si
Maya malah cuman senyum mesum sambil geleng-geleng kepala.
“What?”
aku menatapnya penasaran.
“Nothing.
Dipelet kali ya elo sampai gak bisa ngomong gitu?”
“Maksut
lo?”
“Gini
ya Dan, sebelum lo pacaran sama Uki, gue inget banget selera lo itu kayak apa,
dan gue inget dengan jelas, alasan lo pengen macarin mereka itu apa.” Aku masih
menatap Maya dengan rasa ingin tahu.
Maya
meminum coffe lattenya bentar, “Gue inget banget setiap lelaki malang korban lo
itu . . .”
“Lelaki
malang, gundulmu ya!” Sambarku cepat.
“.
. . setiap lelaki malang korban elu itu ya, ini gue ulang.” Maya tersenyum,
“Gue inget dengan jelas kenapa lo jatuh cinta sama mereka or just want to do
them . . .”
“Bibir
lo tu ya.” Aku tertawa.
“I
am right, right? Siapa itu dulu anak motor jaman-jaman kita masih kuliah?
Sebelum lo ketemu Rasjid? Ijul?”
“Joel,
gak pake i.”
“Nah
itu, gue inget banget alasan lo macarin si Joel ini, waktu itu lo bilang, ‘Gue
pengen ngrasain aja rasanya making love sama anak motor diatas motor gedenya.’
Aduh, penting banget ya Dan?”
Aku
sukses ngakak, “Waktu itu sih penting banget May.”
“Trus
si Rasjid.”
“Another
topic, shall we? Males gue ngomongin yang satu itu.”
“Bear
with me for a minute, will you? Sebenci-bencinya elo sama dia sekarang, dan
kalau ketemu, lo mungkin bakal langsung bunuh doi ditempat, alasan lo jatuh
cinta sama dia juga sama silly nya.”
“Terserah
elo deh May.”
“Lho,
gue bener kan? Lo pengen banget pacaran sama yang agak-agak nerdy gitu. Gue
masih inget lho minggu-minggu awal lo pacaran sama Rasjid, lo cerita betapa
manisnya si Rasjid, betapa romantis, ciumannya hebat, di ranjang dia . . .”
“Okay,
let’s keep this conversation non X-rated, shall we?” Potongku cepat.
Maya,
lagi-lagi senyum gaje. “Intinya gini, lo bisa cerita ke gue dengan lugas,
kenapa lo jatuh cinta sama mantan-mantan lo. Termasuk si Bimo! Eh, keinginan lo
buat bisa making love di ruangan doi, udah terlaksana belom?”
“Non
X-rated?”
“Hahaha,
nah, lo udah pacaran mau dua bulan lo juga masih belum bisa nemu alasan, kenapa
lo jatuh cinta sama Uki. Gimana gue gak berasumsi lo kena pelet coba? Well,
dibandingin sama Bimo dan Rasjid yang secara fisik menang telak.”
“Tahu
deh May, gue juga bingung. But with him, I feel free.”
“Syahrini
kali lo ah.”
“Sinting
lo! Eh, by the way, Japheth gak nyariin lo gitu? Sabtu-Sabtu pagi gini lo udah
keliaran?”
“Udah
bilang sama Banyu gue.” Maya menatapku lagi. “Gue berharap lo dapet yang
terbaik Dan, itu aja. Sorry, kalau gue kadang suka terlalu ikut campur urusan
pribadi lo. Agak-agak annoying gak sih gue sometime?”
“Itu
yang namanya fungsi sahabat kan May? Gue ngerasa bersyukur bisa punya sohib
kayak lo sama Evan.”
***
Sementara
itu,
Uki
Bagus Walantaga
Kalian
mau tanya bagaimana perasaanku saat ini? Complicated! Sophia, memintaku
menemaninya belanja. Walaupun, dari tadi dia hanya melihat-lihat. Aku yakin,
ini hanya caranya saja, untuk mewawancaraiku. Aku memacari anaknya. Daniel tadi
sudah cerita kalau sudah lama dia coming out ke nyokapnya. Dan nyokapnya fine,
mungkin karena nyokapnya gede di Belanda kali ya? Jadi gak begitu kaku.
“Ki,
menurut kamu, ini cocok gak?” Ini lebih obrolan ke pacar, ya gak sih?
Aku
mengangguk canggung, “Cocok, sayangnya agak terlalu kebuka di dada.”
Sophia
mengerutkan keningnya dalam, “Well, jadi menurut kamu dadaku rata, gak enak
buat dipamerin?” Salah ngomong aku kayaknya.
“No.
Bukan itu maksutnya.”
“I
know. Eem, sudah kenal Daniel berapa lama?” so, here we go.
“Dua
tahun. Kita satu kantor.”
“Kalau
pacarannya?” Bener kan dugaanku.
“Hampir
dua bulan.”
“And
already having sex, hmm.”
Aku
menelan ludah. Haduh, ini kenapa auranya jadi mendadak kaku gini ya? Aku
beneran blank juga.
“Atau
sebelum ini sudah, you know? Gitu-gituan sama Daniel?” Sambung Sophia sambil
memilih-milih bra berenda. Tak kira, Sophia bakal ceplas-ceplos, tapi ternyata
dia agak malu-malu juga nanyanya.
“Last
night, it’s our first time, Soph.” Sophia berbalik menatapku. Matanya yang
berwarna kehijauan itu menatapku langsung. Dia wanita, tapi aku gentar juga
ditatap tajam seperti itu.
“Look,
sebagai ibunya, I just . . .” Sophia menyisir rambutnya dengan jari. “Pengen
yang terbaik buat Daniel. Sorry kalau bikin kamu gak nyaman.”
“Sophia,
uh, I know that we just met. We are young, and do not knows what the future
holds, but I really love your son, Soph.” Sophia tersenyum mendengar
perkataanku barusan.
“I
know, I can see the way you look at Daniel.” Sophia tersenyum lagi. Sophia
Latjuba? Lewat! “So, yang merah atau yang warna hitam?” Sophia memerkan dua bra
dihadapanku.
“Hitam.”
“Uh,
tapi selera fashionmu payah anak muda!” Dan aku hanya tergelak.
***
“Abang
Danieeeeel!”
“Hai
jagoan!” Daniel sedikit berjongkok menyambut Fadil yang berlari-lari ke
arahnya. Begitu sudah dipelukan, Daniel mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum
akhirnya menangkapnya kembali. Dan Fadil hanya tertawa lebar.
“Excited
banget, adikku nyambut kamu ya.” Aku berkata dari depan pintu, “Tau gak? Dari
tadi dia gak berenti-berenti nanyain kapan kamu dateng.”
“I
have been known to have that affect on men, bahkan yang seumur ini.” Aku
tertawa mendengar jawaban si gantengku itu.
“So?
Aku bakal jadi babby sitter nih disini?” Daniel bertanya sambil tetap
menggendong Fadil.
“Mama
sama Papa lagi ada acara di rumah sodara, kondangan atau apalah gitu tadi. Si
Kemal ada persami. Tinggal aku sama Fadil di rumah. Eh, mau es krim gak? Aku
beli rada banyak tadi.”
“Boleh,”
Daniel menghampiriku lalu mengecup pipiku. Aku mendorongnya pelan.
“Ada
Fadil.” Daniel terkekeh.
“Hai
jagoan, mau main xbox bareng abang gak?” Fadil dengan excited langsung berlari
ke ruang tengah. Sepertinya semangat, untuk memamerkan xbox barunya ke Daniel.
Mereka
berdua lalu asik sendiri. Sesekali aku menyuapkan es krim ke bibir Daniel dan
Fadil bergantian. Jujur, aku kurang jago main game, entah itu game handphone,
pc, ps, atau xbox.
Sedangkan
mereka berdua, terlihat, you know? Seperti ada ikatan. Heh, mungkin Daniel
lebih pantas jadi abangnya Fadil daripada aku kali ya?
“Fadil
itu susah tidur lho biasanya.” Kataku menghampiri Daniel yang tengah terduduk
di sofa dengan Fadil yeng terlelap di pangkuannya.
“He’s
smart, banyak akal lagi.” Daniel tersenyum. “Ki . . .” Wajah Daniel maju
beberapa centi. Bibirnya mencari bibirku. Dan saat akhirnya bibir kita berdua
terpaut, aku benar-benar terlena. Hingga tidak menyadari bahwa ada orang lain
yang melihat kita berdua tengah berciuman dengan dahsyat. Sampai suara seperti benda
jatuh itu mengagetkanku dan Daniel. (Sound like sinetron banget gak sih?
Whateverlah ya).
“Mama?”
Mamaku jatuh pingsan.
“Ma!”
Aku berlari, memeriksa nadinya. Thanks God, masih berdenyut.
“Lho
Ki, ini kenapa? Mamamu kenapa? Sayang?” Papa yang baru saja masuk langsung tak
kalah panik.
“Kita
bawa ke rumah sakit aja Pah.” Aku menoleh ke arah Daniel. “Please, kamu pulang
dulu.”
“Yang
jagain Fadil?” Daniel menunjuk ke Fadil yang masih terlelap dii pangkuannya.
“Kita
bisa titip ke tetangga sebelah sebentar.”
“Ki.
. .”
“Aku
bilang kamu pulang dulu!” Daniel terkejut sebentar sebelum akhirnya mengangguk.
Sorry Dan, tapi Mamaku pingsan pasti karena kita. Dan aku benar-benar takut apa
yang bakalan aku hadapi di depan sana.
TBC
. . .
Wahh kayaknya si Uki bakal di larang nih sama ortunya deket Daniel lagi.
BalasHapusGw harap si ga gitu,
Lanjutin donggg...
Baca yg kesembilan juga ya 😊
HapusSiappp!!!
BalasHapus