Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Evan
Sutedjo
“Serius,
nyokapnya Uki udah tahu? Trus gimana? Lo udah direstui? Atau malah udah di
daftarin ikut arisan keluarga?” Maya nih ya, Danielnya lagi galau,
sempet-sempetnya ngasih opini ngawur membabi buta gitu.
Daniel
mengangkat bahunya, “Gue ketemu Uki aja belom. Nyokapnya masih di RS.”
“Lo
gak nemenin Uki?” Tanya gue. Kita bertiga ngumpul di rumahnya Maya. Sambil
mengawasi Japheth yang tengah bermain robot-robotan bersama teman-temannya.
“Ukinya
yang gak mau gue temenin. Kayaknya sih gue bakal diputusin, tanda-tandanya uda
ada. Tinggal nunggu waktunya doang.”
Gue
sukses melongo. Tampang Daniel ini, sama sekali gak keliatan lagi desperated.
Tapi, gue tahu banget, ini anak kalau lepas dari pengawasan bisa bikin Jakarta
banjir air mata. Walaupun sekarang doi lagi asik ngegadoin kulit ayam goreng.
“Serangan
jantung Dan?”
“Gak
tahu gue. Semalaman gue gak tidur nungguin kabar dari Uki, dapet kaga, dapet
mata panda iya!” Daniel, mengacungkan kulit ayam ditangannya dengan gaya
berlebih. “Kenapa ya semua laki-laki yang gue pacari brengsek semua? I know,
dia lagi khawatir banget sama keadaan nyokapnya, tapi minimal bisa kali kirim
pesan buat gue.”
Gue
baru saja mau ambil kulit ayam lagi, ketika Banyu dateng bersama temannya.
Banyu, well, walaupun perutnya sudah agak membuncit –sepertinya ini penyakit
pria-pria yang sudah beristri ya- dia tetap keliatan ganteng. Yah, masih
gantengan gue tapi. Hahaha
Temannya,
he’s hot! Kayaknya gue pernah lihat dia di somewhere gitu.
“Hey
Dan, long time no see ya!” Gue, memandangi Daniel dan orang asing temannya
Banyu tadi yang sepertinya sudah saling kenal.
“Hei
Hen. Lo sama Banyu saling kenal?” Gue masih melongo. Hendri Subakti bukan?
“Kita
berdua lagi ada project bareng.” Hendri tersenyum, “Hei May.”
Maya
yang entah kenapa bengong kayak orang bego, menyalami tangan Hendri. “Hei
juga.”
Dan
setelah menyadari betapa begonya tampang gue sekarang, gue langsung berdeham.
Berlagak cool, dan pasang tampang biasa aja. “So, kayaknya cuman gue yang belum
kenal sama . . .” Gue menatap cowok ganteng yang tengah tak berkedip
memperhatikan Daniel, “Who are you?”
“Oh,
gue Hendri.”
“Hendri
Subakti?” Hendri mengangguk. Gue langsung melirik Daniel. Jadi ini cowok yang
beberapa waktu lalu dia ceritain ke gue? Si novelis porno itu? Well, not bad.
Tapi masih gantengan Rasjid. Masih gantengan Bimo juga ding.
Hendri
mengangguk. “Nice to meet you.” Dia kembali tersenyum. Memamerkan deretan gigi
putih rapinya.
“Beb,
kamu tumben ngajak Hendri ke rumah?” Ini pertanyaan Maya agak-agak gak sopan,
ya enggak sih?
“Tadi
kan Hendri uda bilang, kita ada project bareng, baru bisa ketemu hari ini.
Jadwal dokter sekaligus novelis terkenal kan sibuk banget.” Banyu berkata
sambil mendekati Maya, dan memberinya kecupan singkat di bibir.
“Kayak
jadwal lo gak padet aja Bay!” Dua lelaki itu ngakak. Daniel? Dia sepertinya
tidak peduli, doi masih aja sibuk nyemilin kulit ayam.
“Kalau
gitu, kita lunch bareng aja yuk? Gue masak deh.” Maya langsung semangat
menawarkan diri menjadi ratu dapur. Kali ini Daniel menengok kearah gue dengan
tatapan ngeri. Yah, kita semua tahu masakan Maya yang rasanya bisa diluar nalar
manusia itu.
***
Hendri
Subakti
Gue
mengawasi Daniel. Dia terlihat ganteng dengan kemeja pendeknya, walaupun
wajahnya kurang ceria. Mungkin semalam dia begadang, kalau dilihat dari kantung
matanya yang menebal. But, somehow, itu malah ngebuat dia terlihat sensual.
Atau ini karena pikiran gue aja yang mesum?
Bibirnya
yang merah sesekali terbuka menahan tawa atas joke-jokenya Maya yang rada
jorok. Matanya yang coklat terang berbinar. Alis tebalnya, rambut ikalnya!
Shit, gue bener-bener kayak anak SMP lagi jatuh cinta! Konyol!
“Lo
ada project apa emangnya sama Banyu? Bukan project ‘gue bosen sama vagina terus
pengen nyobain batang kan’?” Pertanyaan Daniel ini bikin gue keselek. Anehnya,
Maya sama Banyu malah ketawa ngakak.
“Harap
maklum Hen, ini makluk kalau ngomong emang asal jeplak. Harus dibiasakan
telinga lo.” Evan, yang sekarang tengah meminum jusnya sambil terkikik berkata
kepadaku.
“Really,
if my husband having sex with man, I’d be obsolete and crying every night like
desperate house wife.” Maya, Kim Kadharsian KW super itu mengucapkannya sambil
tertawa ngakak.
“You
will never be obsolete babe,” Gue yakin Banyu emang cinta banget sama bininya.
Lihat aja cara mereka berpandang-pandangan sambil saling meremas tangan di
meja.
“Oh,
enough! Not live telenovela today ya?”
“Lo
harusnya bangga dong Dan, temen lo ini rumah tangganya penuh cinta dan
menggebu-gebu.” Daniel menjulingkan matanya sambil melet. He’s so adorable.
“So,
projectnya apa sih?” Kini Maya yang bertanya.
“Gue
lagi pengen bikin novel tentang perbankan gitu. Nah kebetulan suami lo kerja di
Bank. Jadi ya, gue bisa gali banyak informasi dari dia.”
“By
the way Hen, gue suka banget sama On My Blue! I am your big fan tauk! Tulisan
lo itu cakep-cakep.”
“Gak
usah sok pura-pura nge fan gitu deh May, basi! Gue kan pendengar setia lo waktu
lo ngomongin Hendri.”
“Shut
up deh Dan!”
“So,
kalau lo sibuk apa Dan?” Tanya gue tanpa pikir panjang.
Maya
dan Evan dengan kompak langsung berdeham, “Yang ditanyain Daniel doang nih?”
Ini kata Evan.
“Kayaknya
gue harus sewa detektif buat ngawasin suami gue deh sekarang.” Ini Maya, yang
mau gak mau bikin gue nahan senyum juga. I like this people. Berasa ngobrol
sama teman lama.
“Sibuk
sehari-hari atau sibuk buat beberapa waktu kedepan? Karna kalau untuk beberapa
jam kedepan, gue free buat lo ajak dinner atau nonton misalnya.” Daniel ini,
wow! I do like him more. Dan dari ujung mata gue, gue bisa melihat Maya dan
Evan yang melotot ke arah Daniel. Something wrong?
Tapi,
jelas gue gak bakal menyia-nyiakan kode yang baru saja dilemparkan Daniel
secara terbuka ke gue kan? “Ada The Woman In Black 2, yah kalau lo suka horror
Dan.” Gue memberikan senyum terbaik yang gue punya.
“Well,
I have not reason buat nolak kan?” Daniel berkata sambil tersenyum. Damn! Dia
harus jadi milik gue! Harus!
***
Joshua
Daniel Pradipta
Okay,
kalau kalian beranggapan aku sinting, aku gila, aku kehilangan akal sehat,
selamat, bukan kalian saja yang beranggapan seperti itu.
“Are
you lose your mind?” Evan, meneleponku saat Hendri tengah membelikan tiket
nonton.
“Nope.
Boo, apa yang bisa gue lakuin sekarang? Nungguin kabar dari Uki, yang gue tahu
kalau dia lagi gak pengen ketemu gue? Meratap kayak Janda baru ditinggal sama
suaminya? It’s not me! Karena yang harus dilakukan seorang Daniel sekarang
adalah mencari ban serep kalau tetiba Uki mutusin gue. Dan sebelum dia mutusin
gue, gue harus mutusin dia dulu.”
“Lo
gila!”
“But,
it’s me. I am fine. I know what I am doing Van!”
“Whatever!
Do whatever you want! But, lo tahu kemana harus pergi kalau lo butuh teman
cerita kan? You are not alone Dan! Remember that.”
“Thanks
Van, I love you buddy.”
“Yeah,
love you too.” Aku mengakhiri percakapanku dengan Evan, menghembuskan nafas
sedikit. Berharap beban yang aku pikul sedikit ringan. Karena hingga saat ini,
belum ada satu pesanpun dari Uki. Where are you? Are you okay? No, he is not
okay! But, the problem is, dia gak pengen aku ikut campur. Okay! I am not good
guy.
Jadi
saat Hendri datang dengan dua tiket ditangan dan tersenyum manis kearahku, why
I must be so depress? Hidup adalah lantai dansa baby, bukan panggung sandiwara.
So, let’s dancing!
***
“So?”
Tanya Evan. Dia masih memperhatikanku yang tengah meminum vodka –yang aku ambil
dari dalam kulkasnya- dengan cara yang sama sekali tidak berkelas.
“Gak
ada so so an. Gue sama Hendri nonton, kelar, trus gue minta dia anterin gue
kesini karena mobil gue dibawa elo tadi.” Evan masih menatapku. Seolah-olah apa
yang aku ucapkan tadi adalah kebohongan terpayah yang pernah aku lakukan. Well,
aku hampir tidak pernah berbohong sepanjang hidupku, jadi bohong jelas bukan
keahlianku.
“No
dinner? No kiss-kiss? Elo enggak lose control kan?” Aku menggeleng menjawab
pertanyaan Evan yang bertubi-tubi.
“Dan,
gue baru aja tanya-tanya Andri, dan lo tahu? Hendri Subakti bukanlah cowok
charming seperti yang dia tampilkan tadi siang, dia itu penjahat kelamin!
Mantannya sebanyak gang-gang yang ada di Jakarta!”
“Lo
lupa kalau gue player juga Van?” Aku berjalan ke arah kulkas lagi. Kali ini aku
mengambil scotch.
“Enggak,
lo bukan player! Lo gak bisa tidur sama orang tanpa perasaan apapun! Hendri
beda, dia pernah tidur bahkan dengan pria yang dia gak kenal sebelumnya! Dan,
please lo jauhin dia deh. Mumpung belum terlalu jauh.”
Aku
meneguk scotchku, “Gak fair lagi kita ngejugde dia dari apa kata orang. Ya
mungkin dia gak sejahanam itu.”
“Gak
bakalan ada asap kalau gak ada api Dan. Dan informasi dari Andri gak pernah gak
akurat.” Evan mengambil smartphonenya, menunjukkan beberapa foto Hendri dengan
beberapa pria yang berbeda.
“Lo
tau doi lagi deket sama siapa sekarang?” Aku menggeleng.
“Rasjid,
your ex boyfriend!” Well, aku cukup
terkejut. Dunia gay memang sempit. Apalagi dunia gay di Jakarta, ketemunya juga
yang itu-itu aja. Tapi, aku tidak menyangka kalau Rasjid, well, si bangsat itu,
dekat dengan orang yang aku anggap bisa aku jadikan ban serep. Karma does
exist?
Aku
memijat pelipisku, berharap pusing yang kini tengah menderaku segera lenyap.
Apa ini karena efek alkohol ya? “My boyfriend just dumpt me, and I am acting
like an idiot.”
“Uki
udah kontak lo?” Evan menghampiriku, menjauhkan minuman berakohol itu dari
jangkauan tanganku.
“Belum.
Tiga hari Van! Dan gue kayak orang gila! Tiap malam gue insomnia, nungguin
kabar dari dia. Yang gue dapetin cuman engga kepastian.”
Evan
merangkulku, “You’re gonna through this. Trust me.”
“So
ladies, gue bawain burger, kentang goreng, ayam goreng, trus ada siomay juga.
Eem, yakin nih bakalan habis semua?” Reno muncul di depan pintu dengan beberapa
kantong plastik di tangannya.
“Well,
gue masih penasaran, kapan dan gimana kalian bisa jadian ya? Kok elo gak ada
cerita ke gue sih Van?”
“Lo
kan lagi sibuk-sibuknya sama Maya.”
“Jangan
ngeles, gue tahu lo jagonya ngeles. Atau finally lo nglakuin saran gue waktu
itu?”
Reno
terlihat sangat excited, “Saran apa Dan?”
“Don’t
you dare!” Evan memelototiku.
“Gue
nyaranin Evan buat kebawah, make boxer doang buat ngerayu lo.”
Kali
ini Reno malah mendesah kecewa, “ Unfortunately, he didn’t. Pas gue tembak aja,
gayanya sejuta tahu!”
Aku
membuat ekspresi berlebihan mendengar perkataan Reno sambil melirik Evan penuh
arti. “Hit the sack yet?”
“Gila
gak sopan banget ya pertanyaan lo Dan!” Evan melempar bantal berbentuk shark.
Eh, kayaknya ini bantal belom ada deh terakhir aku kesini.
“Halah
gak usah gengsi-gengsian deh lo sama gue Van! Gimana Ren? Lo uda merawani temen
gue ini?” Dan wajah bego Reno dengan tangannya yang garuk-garuk kepala
menjelaskan semua hal.
“Oke,
I’m gonna go. I don’t wanna bother you both.”
“Yakin
lo? Udah malem gini lho Dan.”
“Gue
baik-baik aja kok Van. Have fun ya kalian berdua. Lo maennya pelan-pelan Ren,
si Evan ini masih perjaka.” Evan, dia mengabaikan perkataanku barusan dan malah
memelukku.
“Hey,
lo tahu kan lo bisa cerita apa aja ke gue.”
“Gue
baik-baik aja. Serius.”
***
Gue
baik-baik aja, gundulmu! Lalu kenapa sekarang air mataku tak mau berhenti
turun? Lalu kenapa kenangan-kenangan bersama Uki di Semarang tiba-tiba banjir
di kepalaku? Aku jauh dari baik-baik saja!
***
Hendri
Subakti
Daniel
terlihat tampan dengan kaos tanpa lengannya. Celana jeans pendek dan sepatu
sport. Well, he is amazing, yah like always. Dia turun sambil tersenyum lebar
ke arah gue. Untuk semenit, gue ngrasa kayak senyuman itu cuman untuk gue. Oh,
gue lupa, jadi hari ini gue dan Daniel lari pagi bareng di GBK.
“Sering
lari ya?” Tanya gue sambil melemparkan air mineral ke arah Daniel.
Daniel
menggeleng sambil meneguk air mineral yang gue kasih tadi. “Enggak juga. Cuman
lagi melampiaskan emosi aja.”
“Dengan
lari pagi? Wow.”
“Daripada
gue buang-buang energi dengan ngeluh dan curhat di sosial media?” Daniel
tersenyum sambil melemparkan kembali air mineral itu ke arah gue. Kulit
putihnya banjir keringat. Gue inisiatif mengulurkan handuk untuk melapnya.
“Thanks.”
Daniel mengambil handuk itu dari tangan gue dan melap keringatnya sendiri.
“Please jangan pake handuk bekas keringat gue ini sebagai bahan coli ya?”
Katanya kemudian sambil tertawa.
Dan
gue, Hendri Subakti, yang terkenal jagonya naklukkin lelaki homo, malah gak
bisa berkutik dan gak bisa balas menggoda! What happen to me? Serius, udah
hampir satu minggu gue jalan bareng Daniel. Gue tahu Daniel gay, dan gue tahu
beberapa kali dia ngasih kode ke gue.
Tapi
tiap kali gue makan itu kode, gue gak dapet apa-apa.
Boro-boro
berhubungan seks, nyipok doi aja gue bahkan belum. Daniel selalu mengelak
dengan banyak cara. Dan ini jelas sudah melanggar aturan yang gue buat untuk
diri gue sendiri.
Aturan
dimana gue harus sudah bisa dapetin semuanya dalam waktu tiga kali kencan! Kita
udah jalan lebih dari empat kali, dan gue masih aja belum dapet apa-apa.
Kampret!
“Coffee,
shall we?” Daniel tersenyum sambil mengulurkan tangannya untuk membantuku
berdiri. Kalian boleh bilang gue lebay, tapi kayaknya, gue bisa orgasme kalau
disenyumin mulu sama Daniel.
***
“Mau
wasabi lagi gak?” Daniel menawarkan sambil tersenyum menghina. Acara ngopi?
Batal! Kita malah memutuskan buat nyushi di Sushi Tei.
“Ngeledek
lo, mentang-mentang gue udah kepedesan!” Dan Daniel tertawa. Oke, celana dalam
gue mungkin udah basah sekarang.
“Gue
masih heran kita ngabisin sepuluh porshi sushi gini.”
“Gue
sebenarnya masih bisa muat lagi lho Hen!” Daniel menepuk perutnya yang rata
dengan bangga.
Gue
tertawa. Barengan Daniel, gue kayaknya gak brenti-brentinya buat dibuat kagum.
Daniel tipe orang yang bakal ngomong seada-adanya tentang apa yang dia mau.
Termasuk lagi pengen makan apa, tempatnya dimana. Dia enggak sungkan. Dan sama
sekali bukan tipe orang yang selalu bilang, “Terserah kamu deh.”
Bareng
Rasjid, gue kayak punya power. Rasjid, selalu mengiyakan apa mau gue. Walaupun
kadang gue yakin, Rasjid kurang sreg dengan kemauan gue. Gak ada tantangannya
bareng Rasjid.
Tapi
jelas, timbul pertanyaan gede di kepala gue. Apa sih yang sebenernya gue lakuin
sama Daniel ini? Karena kalau disebut PDKT pun, Daniel seperti iya dan enggak.
Kadang dia agresif memberi kode. Tapi begitu gue mau menanggapi kodeannya, dia
jaga jarak.
Well,
apapun itu, gue bakalan ladenin. Karena sepanjang hidup gue, gak pernah ada
seorangpun yang enggak takluk sama pesona gue.
Dan
itu termasuk elo, cowok seribu pesona, Joshua Daniel Pradipta. Soon, you’ll be
mine.
***
Uki
Bagus Walantaga.
Seminggu
lebih aku menghindari Daniel. Bahkan di kantor sekalipun. Dan, ternyata Daniel
pun menghindariku. Entah kenapa. Kalian pasti mencibirku, mencibir sifat
pengecutku. Tapi, jika pilihannya adalah antara keluarga atau pacar, aku tidak
perlu berpikir dua kali untuk memilih.
Tapi
aku belum memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Daniel, egois ya? Aku
hanya masih berharap. Tidak ada salahnya kan menggantungkan diri pada sebuah
keajaiban?
Mamaku
sudah diijinkan untuk pulang. Beliau juga sudah jauh lebih baik keadannya.
Namun, sama sekali belum mau membahas masalah antara Daniel dan aku.
“Ma,
uda diminum obatnya?” Mamaku menggeleng.
Aku
menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya sibuk memilah-milah obat, mana
yang memang sudah waktunya untuk diminum dan mana yang untuk nanti sore.
“Ki?”
“Iya
Ma?”
“Kamu
sama Daniel gimana? Mama kok belum lihat dia jenguk Mama?” Aku mengedipkan
mataku satu kali, dua kali. Aku mencubit lenganku.
“Bukan
berarti Mama setuju, belum sayang.” Mama mengambil nafas dalam-dalam. “Tapi
Mama belum pernah lihat kamu ‘sehidup’ kemarin saat masih bersama Daniel. Uda
berapa lama?”
“Dua
bulan.” Bibirku secara otomatis menjawab. Sedangkan otakku masih sibuk mencerna
apa yang baru saja dikatakan Mamaku.
“Mama
pengen banget ketemu Daniel. Kamu bisa bawa dia buat ketemu Mama kan Ki?” Aku
masih terkejut. Informasi ini masih belum bisa aku cerna dengan sempurna.
Mama
menyentuh tanganku, “Ki?”
“Iya
Ma, ntar aku bawa Daniel kesini ketemu Mama. Mama makan dulu ya, baru minum
obat. Udah Uki, pisahin ini obat yang harus diminum.”
“Sayang,
tolong jangan bilang Papamu dulu. Biar
hanya Mama yang tahu.” Aku mengangguk.
“Iya
Ma.”
***
Joshua
Daniel Pradipta
You
know, normally, setelah lima hari kerja, mungkin dua belas jam sehari,
mengingat projekku bareng GMC, -Yang mengharuskanku banyak lembur- aku tidak
mau beracara apapun di Minggu pagi ini. Well, setelah kemarin Sabtu aku
menguras hampir seluruh energiku untuk lari pagi bareng Hendri.
But
here I am, pukul sepuluh pagi, pasrah –tentu aja aku tidak sukarela-
mendengarkan Maya merepet panjang lebar di dapurnya. Aku masih menguap saat
bestiesku itu sedang memutilasi para wortel dengan biadab di talenan.
“Gila
ya! Kurang apa gue coba dibandingin perempuan itu? Kurang apa gue?” Sambil
mengacungkan pisau kearahku, jujur aku lebih suka Maya enggak berada di dapur.
“Enggak
ada, ngapain sih lo pusing mikirin hal gak penting kayak gini?” Aku inisiatif
bikin kopi sendiri. Haduh, ngantuk banget. Oleh karena itu aku datang dengan
taksi tadi, bukan nyetir sendiri.
Maya
menyingkirkan wortel yang sekarang bentuknya sudah gak bisa di identifikasi
itu, “Gue gak pusing Darl, gue cuman gak terima aja. Masa laki gue lebih milih
perempuan itu daripada gue?”
Okay,
are Banyu selingkuh? Nope. Cita Citata we talk about here.
Jadi,
sore kemarin, si Banyu semi mengacuhkan sahabatku itu, glued to the TV, begitu
ada Cita Citata yang tengah masuk berita gosip. Padahal, si Maya lagi pengen
manja-manjaan sama lakinya itu. Duh! Itu inti permasalahannya kenapa si monyet
ini memaksaku bangun pagi di hari Minggu. Well, ini bukan yang pertama kali
juga sih.
“Laki
gue lebih milih perempuan gak jelas itu dibanding gue, bininya sendiri? Yang
menemani dia saat susah dan senang?
Wajar enggak tuh? Wajar enggak?”
Aku
mencari-cari krimer untuk aku tambahkan pada kopi keduaku.
“For
God shake, buat laki-laki lain, gue ini MILF! I am fucking MILF!” Buset, aku
hampir saja menyemburkan kopiku.
“Terus
lo mau apa, Maya sayang?”
“Gue
lagi belajar masak. So, ntar malam waktu Banyu pulang, gue bisa berdiri di
dapur ini, in my lingerie, I might add, masak telur ceplok kesukaan dia.”
Aku
sukses ngakak, eh bukan bermaksud jahat ke sahabatku ya. “Eh, masakan
favoritnya Banyu bukannya rawon setan ya Darl?”
“Iya,
tapi gila aja lu gue suruh masak rawon. Bedain merica sama ketumbar aja gue gak
bisa! Bikin telur ceplok aja gue musti les privat!”
“Udah
deh May,” Aku menggiring Maya ke ruang tengah, mendudukkannya di sofa. Walaupun
masih ngomel-ngomel, toh Maya nurut aja aku jauhkan dari dapur keramatnya.
“Mau
coklat gak lo?” Aku mengeluarkan sekotak Patchi dari tasku.
“Tumben
coklat lo mahal Nyet? Biasanya juga Silver queen dua puluh ribuan.”
“Gak
mau nih? Dapet dari Hendri semalem.”
Maya
menatapku dengan tatapan ngeri, “So what’s the story with you and Hendri now?”
“Bukannya
tema obrolan kita tadi jeritan hati seorang istri karena suaminya lebih milih
Cita Citata ya?”
“Lo
mau kita balik ke dapur trus ngacak-ngacak wortel lagi?”
Aku
tertawa, “No, thank you.”
Aku
memejamkan mataku. Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku ceritakan
kepada Maya. Well, Hendri menarik? Hell yeah! But, apa yang bisa aku perbuat
kalau hatiku sudah menjadi milik orang lain? Orang lain yang hingga satu Minggu
ini terus menerus menghindariku. Orang lain yang statusnya masih menjadi bfku.
“Uda
sejauh mana sama Hendri? Uki? Udah dapet kabar dari dia?”
Aku
menggeleng, “Lunch bareng satu kali, trus dinner, terakhir gue lari pagi
berakhir nyushi kemarin.”
“Cuman
gitu-gitu doang? Seks?” Aku melemparkan pandangan sadis ke Maya.
“Oke,
tatapan lo itu gue anggap belum. Gue kerja di sebuah majalah Dan, gue tahu
exactly kayak apa sepak terjangnya Hendri. Dan berapa banyak korban akibat
rayuan gombalnya. Well, dia asik sih, but as friend! I just warn you lho Dan.”
“Oke,
elo orang kedua yang bilang suruh hati-hati. But for sure, I know what I’m
doing May. Trust me, gue baik-baik aja. Sometime, lo sama Evan itu nganggep gue
kayak anak kalian.” Jawabku, tepat saat Iphoneku bergetar. Uki?
“Ki?
Ada apa?” Oke, jawabanku klise. Aku harusnya marah-marah kan? But I’m Joshua
Daniel Pradipta, not an ordinary people.
“Itu
Uki ya?” Maya bertanya sambil menatapku penuh selidik. Aku memilih bangkit dari
sofa dan menjauh dari Maya dan rasa ingin tahunya yang bisa sangat menyebalkan.
Mengutuk-ngutuk saat Uki bilang kalau kita harus masuk kantor Minggu ini, well,
bukannya ngasih penjelasan kenapa semingguan ini dia menghindariku, tidak
memberiku kabar, fuck!
Ada
tiga hal yang aku haram-haramkan, seharam-haramnya! Pertama, bangun pagi di
hari libur, kedua, tampil gak keren ke kantor, ketiga kerja di hari libur! Dan
aku mengalami ketiganya hari ini, fuck! I have a life ya, thank you very much.
“So
what’s the story with Uki now? He’s still your boyfriend?”
Aku
menoleh ke arah Maya, “Yeah! Dan gue bakalan nonjok dia hari ini!”
***
Uki
Bagus Walantaga
Pipiku
mulai membiru akibat pukulan Daniel tadi. Yah, dia anak gym, bicepnya aja gede,
jadi ya pukulannya lumayan bikin aku nyeri. Walau sekarang, dia juga yang
tengah merawatku dengan lembut. I miss my boy so much.
Untungnya,
dia mukulnya sehabis pulang kantor tadi. Jadi kenapa kita harus masuk di hari
Minggu? Paul Manings, beserta beberapa staffnya datang dari US secara mendadak.
Dan meminta dengan segara agar GM, para sales, dan para technical untuk meeting.
Cuman untuk membicarakan projek FIA, suck! Well, ada yang penting juga sih tadi
yang dia omongin.
Daniel,
well, gak kayak aku yang pura-pura tersenyum ramah menyalami Paul Manings,
karena dia owner dari Saviour, Daniel lebih memilih tersenyum kecut. Bahkan
memandangi Bimo dengan tatapan ingin membunuh. Okay, Daniel banget.
Karena,
aku masih ingat perkataannya tempo dulu, “Aku sih ogah disuruh masuk kantor
Sabtu atau Minggu! Gila ya sayang, Sabtu Minggu itu kantorku di Grand Indonesia
atau Plaza Senayan. Bukannya busuk di kantor beneran.” Saat kita belum berantem
waktu itu. Yah, aku juga ngerti, kerja buat Daniel mungkin cuman buat status doang.
Toh nantinya dia juga yang bakal nerusin perusahaan yang dikelola Sophia,
ibunya.
Meeting
berjalan membosankan. Apalagi, masing-masing pihak sibuk menjual opininya
masing-masing. Aku beberapa kali mengangkat ipadku untuk menutupi kantukku.
Sampai
akhirnya, Daniel berdiri, menggiring Paul Manings ke pojokkan. Dari tempatku
duduk, aku bisa melihat apa yang gantengku itu tengah lakukan. Awalnya ngobrol
serius sama Paul, eh lama-lama malah ketawa-tawa. Mau bikin aku cemburu gitu?
Yah, dia berhasil! Walaupun, Paul sudah setengah abad lebih umurnya, aku tetap
tidak rela Daniel tertawa lepas dengan si tua bangka itu. Cemburu tidak
mengenal logika, okay?
Ternyata
aku salah.
Karena
lima belas menit kemudian, Paul berjalan ke depan, dan menyela orang-orang yang
tengah berdebat, “Ladies, gentleman, I was talking to Daniel here just now, and
I think, he has pretty good idea on how we should approach this. Daniel, if you
may?”
Dan
aku sukses bengong, harus berapa sering Daniel bikin aku terkagum-kagum dan
bangga? Karena sekarang, kata-kata dewa seperti Alginat, Adhyihrosse apa itu
tadi? Well, itu dunia technical. Yang pasti semua yang ada di ruangan ini
terlihat kagum pada pacarku itu.
Yah,
aku tahu Daniel pintar. Dia lulus interview dengan Paul Manings juga bukan
karena jalur tampang kan?
Dan
sampai akhirnya dia di mobilku dan menonjokku dengan serius. Mengatakan betapa
asshole nya diriku. Aku meminta maaf, dan memintanya untuk bertemu ibuku. Well,
sekarang dia khawatir banget dengan pipiku yang mulai membiru. Daniel memang
menggemaskan. He’s mine! Still mine!
“Jadi
biru gini Ki,”
“Gak
papa, entar juga sembuh. Mau ketemu Mama sekarang? Dia ada di dapur Dan.”
Daniel memandangiku dengan cemas. Akupun sama cemasnya. Tapi aku adalah si raja
akting, yang selalu bisa berpura-pura, ‘everything is gonna be okay’ walaupun
sebenarnya aku sama khawatirnya.
Jadi
aku menggeggam tangan Daniel, menguatkannya dan bilang semua pasti bakal
baik-baik saja.
Sepuluh
menit berlalu sejak Daniel ke dapur, dan aku mendengar tawa Mama yang meledak.
Disusul dengan suara renyah Daniel.
Mereka
berdua keluar dari dapur dengan wajah berseri-seri. Ibuku, tak henti-hentinya
menahan tawa. Sedangkan Daniel, beberapa kali membisikkan sesuatu di telinga
ibuku.
“Okay,
what’s happen?” Tanyaku kemudian. Aku jelas tidak mau mati panasaran.
“A
little conversation. Top secret!” Kata Daniel sambil mengedipkan sebelah
matanya padaku.
***
“Hey,
gimme kiss.” Aku memajukan bibirku sebelum Daniel akhirnya menciumku dengan
lembut. Aku mendesah kecewa saat akhirnya Daniel menyudahi ciumannya.
“Apa
sih yang kamu obrolin sama Mama tadi?”
“Aku
kan udah bilang top secret sayang. Aku turun ya? Yakin gak mau mampir
sebentar?”
Aku
memeluk Daniel, lalu mencium pipinya dengan gemas, “Pengennya sayang, tapi
Kemal musti dijemput. Dan karena Papa lagi ke luar kota, I have must be a good
brother.”
“Oke,
telepon kalau udah nyampe rumah ya? I love you.”
“I
love you too.” Daniel menyambar bibirku sekali lagi sebelum akhirnya turun dari
mobil. Aku masih mengamatinya berjalan santai menyeberang jalan masuk ke
halaman depan gedung apartmentya. Termasuk masih melihat pacarku itu mengobrol
dengan cowok yang baru saja keluar dari mobil. Mereka tertawa, kemudian
berjalan beriringan.
Ah,
mungkin tetangganya.
Atau
hanya kenalan saja.
Aku
menatap Daniel yang kini menoleh ke belakang dan melihatku. Iphoneku berdering.
Daniel.
“Memata-mataiku,
huh? Detektif?”
“Aku
cuman pengen mastiin kamu masuk gedung apartment kamu dengan selamat kok.”
“Kenapa
tadi gak masuk aja?”
“Ribet
keluarnya ntar. I love you. Kemal udah musti dijemput.”
Daniel
tertawa, “Aku makan malam di tempat kamu entar. Your mom, inviting me. Pick me
up? Aku lupa bilang tadi.”
“Oke.
Jam tujuh udah ready ya?”
“Ya,
love you.” Daniel mengakhiri sambungan teleponnya dan melambaikan tangan ke
arahku. Oke, mungkin aku hanya terlalu cemburu. Konsekuensi punya pacar paket
komplit itu ya kayak gini. Was-was setiap saat.
But,
nyokap gak lagi ngerancanain sesuatu kan? Ngundang Daniel makan malam? Please
God, I just wanna be happy with my boy.
TBC . . .
Well,
BalasHapusNungguin cerita nya hampir 2 minggu, but baca nya only ten minutes.
Thanks, for the Author I'd love ur story so much. :D
Duh mulai mucul tokoh lagi yg bikin gemes baca ceritanya..
BalasHapusMungkin karna aku udah srek sama si Daniel yang agresif sama Uki yang kalem kali ya, jadi gemes kalo mereka pisah. :(
Nice, lanjut 10