FOLLOW ME

Minggu, 15 Februari 2015

BOTTOM 9

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Evan Sutedjo
“Serius, nyokapnya Uki udah tahu? Trus gimana? Lo udah direstui? Atau malah udah di daftarin ikut arisan keluarga?” Maya nih ya, Danielnya lagi galau, sempet-sempetnya ngasih opini ngawur membabi buta gitu.
Daniel mengangkat bahunya, “Gue ketemu Uki aja belom. Nyokapnya masih di RS.”
“Lo gak nemenin Uki?” Tanya gue. Kita bertiga ngumpul di rumahnya Maya. Sambil mengawasi Japheth yang tengah bermain robot-robotan bersama teman-temannya.
“Ukinya yang gak mau gue temenin. Kayaknya sih gue bakal diputusin, tanda-tandanya uda ada. Tinggal nunggu waktunya doang.”
Gue sukses melongo. Tampang Daniel ini, sama sekali gak keliatan lagi desperated. Tapi, gue tahu banget, ini anak kalau lepas dari pengawasan bisa bikin Jakarta banjir air mata. Walaupun sekarang doi lagi asik ngegadoin kulit ayam goreng.
“Serangan jantung Dan?”
“Gak tahu gue. Semalaman gue gak tidur nungguin kabar dari Uki, dapet kaga, dapet mata panda iya!” Daniel, mengacungkan kulit ayam ditangannya dengan gaya berlebih. “Kenapa ya semua laki-laki yang gue pacari brengsek semua? I know, dia lagi khawatir banget sama keadaan nyokapnya, tapi minimal bisa kali kirim pesan buat gue.”
Gue baru saja mau ambil kulit ayam lagi, ketika Banyu dateng bersama temannya. Banyu, well, walaupun perutnya sudah agak membuncit –sepertinya ini penyakit pria-pria yang sudah beristri ya- dia tetap keliatan ganteng. Yah, masih gantengan gue tapi. Hahaha
Temannya, he’s hot! Kayaknya gue pernah lihat dia di somewhere gitu.
“Hey Dan, long time no see ya!” Gue, memandangi Daniel dan orang asing temannya Banyu tadi yang sepertinya sudah saling kenal.
“Hei Hen. Lo sama Banyu saling kenal?” Gue masih melongo. Hendri Subakti bukan?
“Kita berdua lagi ada project bareng.” Hendri tersenyum, “Hei May.”
Maya yang entah kenapa bengong kayak orang bego, menyalami tangan Hendri. “Hei juga.”
Dan setelah menyadari betapa begonya tampang gue sekarang, gue langsung berdeham. Berlagak cool, dan pasang tampang biasa aja. “So, kayaknya cuman gue yang belum kenal sama . . .” Gue menatap cowok ganteng yang tengah tak berkedip memperhatikan Daniel, “Who are you?”
“Oh, gue Hendri.”
“Hendri Subakti?” Hendri mengangguk. Gue langsung melirik Daniel. Jadi ini cowok yang beberapa waktu lalu dia ceritain ke gue? Si novelis porno itu? Well, not bad. Tapi masih gantengan Rasjid. Masih gantengan Bimo juga ding.
Hendri mengangguk. “Nice to meet you.” Dia kembali tersenyum. Memamerkan deretan gigi putih rapinya.
“Beb, kamu tumben ngajak Hendri ke rumah?” Ini pertanyaan Maya agak-agak gak sopan, ya enggak sih?
“Tadi kan Hendri uda bilang, kita ada project bareng, baru bisa ketemu hari ini. Jadwal dokter sekaligus novelis terkenal kan sibuk banget.” Banyu berkata sambil mendekati Maya, dan memberinya kecupan singkat di bibir.
“Kayak jadwal lo gak padet aja Bay!” Dua lelaki itu ngakak. Daniel? Dia sepertinya tidak peduli, doi masih aja sibuk nyemilin kulit ayam.
“Kalau gitu, kita lunch bareng aja yuk? Gue masak deh.” Maya langsung semangat menawarkan diri menjadi ratu dapur. Kali ini Daniel menengok kearah gue dengan tatapan ngeri. Yah, kita semua tahu masakan Maya yang rasanya bisa diluar nalar manusia itu.
***


Hendri Subakti
Gue mengawasi Daniel. Dia terlihat ganteng dengan kemeja pendeknya, walaupun wajahnya kurang ceria. Mungkin semalam dia begadang, kalau dilihat dari kantung matanya yang menebal. But, somehow, itu malah ngebuat dia terlihat sensual. Atau ini karena pikiran gue aja yang mesum?
Bibirnya yang merah sesekali terbuka menahan tawa atas joke-jokenya Maya yang rada jorok. Matanya yang coklat terang berbinar. Alis tebalnya, rambut ikalnya! Shit, gue bener-bener kayak anak SMP lagi jatuh cinta! Konyol!
“Lo ada project apa emangnya sama Banyu? Bukan project ‘gue bosen sama vagina terus pengen nyobain batang kan’?” Pertanyaan Daniel ini bikin gue keselek. Anehnya, Maya sama Banyu malah ketawa ngakak.
“Harap maklum Hen, ini makluk kalau ngomong emang asal jeplak. Harus dibiasakan telinga lo.” Evan, yang sekarang tengah meminum jusnya sambil terkikik berkata kepadaku.
“Really, if my husband having sex with man, I’d be obsolete and crying every night like desperate house wife.” Maya, Kim Kadharsian KW super itu mengucapkannya sambil tertawa ngakak.
“You will never be obsolete babe,” Gue yakin Banyu emang cinta banget sama bininya. Lihat aja cara mereka berpandang-pandangan sambil saling meremas tangan di meja.
“Oh, enough! Not live telenovela today ya?”
“Lo harusnya bangga dong Dan, temen lo ini rumah tangganya penuh cinta dan menggebu-gebu.” Daniel menjulingkan matanya sambil melet. He’s so adorable.
“So, projectnya apa sih?” Kini Maya yang bertanya.
“Gue lagi pengen bikin novel tentang perbankan gitu. Nah kebetulan suami lo kerja di Bank. Jadi ya, gue bisa gali banyak informasi dari dia.”
“By the way Hen, gue suka banget sama On My Blue! I am your big fan tauk! Tulisan lo itu cakep-cakep.”
“Gak usah sok pura-pura nge fan gitu deh May, basi! Gue kan pendengar setia lo waktu lo ngomongin Hendri.”
“Shut up deh Dan!”
“So, kalau lo sibuk apa Dan?” Tanya gue tanpa pikir panjang.
Maya dan Evan dengan kompak langsung berdeham, “Yang ditanyain Daniel doang nih?” Ini kata Evan.
“Kayaknya gue harus sewa detektif buat ngawasin suami gue deh sekarang.” Ini Maya, yang mau gak mau bikin gue nahan senyum juga. I like this people. Berasa ngobrol sama teman lama.
“Sibuk sehari-hari atau sibuk buat beberapa waktu kedepan? Karna kalau untuk beberapa jam kedepan, gue free buat lo ajak dinner atau nonton misalnya.” Daniel ini, wow! I do like him more. Dan dari ujung mata gue, gue bisa melihat Maya dan Evan yang melotot ke arah Daniel. Something wrong?
Tapi, jelas gue gak bakal menyia-nyiakan kode yang baru saja dilemparkan Daniel secara terbuka ke gue kan? “Ada The Woman In Black 2, yah kalau lo suka horror Dan.” Gue memberikan senyum terbaik yang gue punya.
“Well, I have not reason buat nolak kan?” Daniel berkata sambil tersenyum. Damn! Dia harus jadi milik gue! Harus!
***

Joshua Daniel Pradipta
Okay, kalau kalian beranggapan aku sinting, aku gila, aku kehilangan akal sehat, selamat, bukan kalian saja yang beranggapan seperti itu.
“Are you lose your mind?” Evan, meneleponku saat Hendri tengah membelikan tiket nonton.
“Nope. Boo, apa yang bisa gue lakuin sekarang? Nungguin kabar dari Uki, yang gue tahu kalau dia lagi gak pengen ketemu gue? Meratap kayak Janda baru ditinggal sama suaminya? It’s not me! Karena yang harus dilakukan seorang Daniel sekarang adalah mencari ban serep kalau tetiba Uki mutusin gue. Dan sebelum dia mutusin gue, gue harus mutusin dia dulu.”
“Lo gila!”
“But, it’s me. I am fine. I know what I am doing Van!”
“Whatever! Do whatever you want! But, lo tahu kemana harus pergi kalau lo butuh teman cerita kan? You are not alone Dan! Remember that.”
“Thanks Van, I love you buddy.”
“Yeah, love you too.” Aku mengakhiri percakapanku dengan Evan, menghembuskan nafas sedikit. Berharap beban yang aku pikul sedikit ringan. Karena hingga saat ini, belum ada satu pesanpun dari Uki. Where are you? Are you okay? No, he is not okay! But, the problem is, dia gak pengen aku ikut campur. Okay! I am not good guy.
Jadi saat Hendri datang dengan dua tiket ditangan dan tersenyum manis kearahku, why I must be so depress? Hidup adalah lantai dansa baby, bukan panggung sandiwara. So, let’s dancing!
***

“So?” Tanya Evan. Dia masih memperhatikanku yang tengah meminum vodka –yang aku ambil dari dalam kulkasnya- dengan cara yang sama sekali tidak berkelas.
“Gak ada so so an. Gue sama Hendri nonton, kelar, trus gue minta dia anterin gue kesini karena mobil gue dibawa elo tadi.” Evan masih menatapku. Seolah-olah apa yang aku ucapkan tadi adalah kebohongan terpayah yang pernah aku lakukan. Well, aku hampir tidak pernah berbohong sepanjang hidupku, jadi bohong jelas bukan keahlianku.
“No dinner? No kiss-kiss? Elo enggak lose control kan?” Aku menggeleng menjawab pertanyaan Evan yang bertubi-tubi.
“Dan, gue baru aja tanya-tanya Andri, dan lo tahu? Hendri Subakti bukanlah cowok charming seperti yang dia tampilkan tadi siang, dia itu penjahat kelamin! Mantannya sebanyak gang-gang yang ada di Jakarta!”
“Lo lupa kalau gue player juga Van?” Aku berjalan ke arah kulkas lagi. Kali ini aku mengambil scotch.
“Enggak, lo bukan player! Lo gak bisa tidur sama orang tanpa perasaan apapun! Hendri beda, dia pernah tidur bahkan dengan pria yang dia gak kenal sebelumnya! Dan, please lo jauhin dia deh. Mumpung belum terlalu jauh.”
Aku meneguk scotchku, “Gak fair lagi kita ngejugde dia dari apa kata orang. Ya mungkin dia gak sejahanam itu.”
“Gak bakalan ada asap kalau gak ada api Dan. Dan informasi dari Andri gak pernah gak akurat.” Evan mengambil smartphonenya, menunjukkan beberapa foto Hendri dengan beberapa pria yang berbeda.
“Lo tau doi lagi deket sama siapa sekarang?” Aku menggeleng.
“Rasjid, your ex boyfriend!”  Well, aku cukup terkejut. Dunia gay memang sempit. Apalagi dunia gay di Jakarta, ketemunya juga yang itu-itu aja. Tapi, aku tidak menyangka kalau Rasjid, well, si bangsat itu, dekat dengan orang yang aku anggap bisa aku jadikan ban serep. Karma does exist?
Aku memijat pelipisku, berharap pusing yang kini tengah menderaku segera lenyap. Apa ini karena efek alkohol ya? “My boyfriend just dumpt me, and I am acting like an idiot.”
“Uki udah kontak lo?” Evan menghampiriku, menjauhkan minuman berakohol itu dari jangkauan tanganku.
“Belum. Tiga hari Van! Dan gue kayak orang gila! Tiap malam gue insomnia, nungguin kabar dari dia. Yang gue dapetin cuman engga kepastian.”
Evan merangkulku, “You’re gonna through this. Trust me.”
“So ladies, gue bawain burger, kentang goreng, ayam goreng, trus ada siomay juga. Eem, yakin nih bakalan habis semua?” Reno muncul di depan pintu dengan beberapa kantong plastik di tangannya.
“Well, gue masih penasaran, kapan dan gimana kalian bisa jadian ya? Kok elo gak ada cerita ke gue sih Van?”
“Lo kan lagi sibuk-sibuknya sama Maya.”
“Jangan ngeles, gue tahu lo jagonya ngeles. Atau finally lo nglakuin saran gue waktu itu?”
Reno terlihat sangat excited, “Saran apa Dan?”
“Don’t you dare!” Evan memelototiku.
“Gue nyaranin Evan buat kebawah, make boxer doang buat ngerayu lo.”
Kali ini Reno malah mendesah kecewa, “ Unfortunately, he didn’t. Pas gue tembak aja, gayanya sejuta tahu!”
Aku membuat ekspresi berlebihan mendengar perkataan Reno sambil melirik Evan penuh arti. “Hit the sack yet?”
“Gila gak sopan banget ya pertanyaan lo Dan!” Evan melempar bantal berbentuk shark. Eh, kayaknya ini bantal belom ada deh terakhir aku kesini.
“Halah gak usah gengsi-gengsian deh lo sama gue Van! Gimana Ren? Lo uda merawani temen gue ini?” Dan wajah bego Reno dengan tangannya yang garuk-garuk kepala menjelaskan semua hal.
“Oke, I’m gonna go. I don’t wanna bother you both.”
“Yakin lo? Udah malem gini lho Dan.”
“Gue baik-baik aja kok Van. Have fun ya kalian berdua. Lo maennya pelan-pelan Ren, si Evan ini masih perjaka.” Evan, dia mengabaikan perkataanku barusan dan malah memelukku.
“Hey, lo tahu kan lo bisa cerita apa aja ke gue.”
“Gue baik-baik aja. Serius.”
***

Gue baik-baik aja, gundulmu! Lalu kenapa sekarang air mataku tak mau berhenti turun? Lalu kenapa kenangan-kenangan bersama Uki di Semarang tiba-tiba banjir di kepalaku? Aku jauh dari baik-baik saja!
***

Hendri Subakti
Daniel terlihat tampan dengan kaos tanpa lengannya. Celana jeans pendek dan sepatu sport. Well, he is amazing, yah like always. Dia turun sambil tersenyum lebar ke arah gue. Untuk semenit, gue ngrasa kayak senyuman itu cuman untuk gue. Oh, gue lupa, jadi hari ini gue dan Daniel lari pagi bareng di GBK.
“Sering lari ya?” Tanya gue sambil melemparkan air mineral ke arah Daniel.
Daniel menggeleng sambil meneguk air mineral yang gue kasih tadi. “Enggak juga. Cuman lagi melampiaskan emosi aja.”
“Dengan lari pagi? Wow.”
“Daripada gue buang-buang energi dengan ngeluh dan curhat di sosial media?” Daniel tersenyum sambil melemparkan kembali air mineral itu ke arah gue. Kulit putihnya banjir keringat. Gue inisiatif mengulurkan handuk untuk melapnya.
“Thanks.” Daniel mengambil handuk itu dari tangan gue dan melap keringatnya sendiri. “Please jangan pake handuk bekas keringat gue ini sebagai bahan coli ya?” Katanya kemudian sambil tertawa.
Dan gue, Hendri Subakti, yang terkenal jagonya naklukkin lelaki homo, malah gak bisa berkutik dan gak bisa balas menggoda! What happen to me? Serius, udah hampir satu minggu gue jalan bareng Daniel. Gue tahu Daniel gay, dan gue tahu beberapa kali dia ngasih kode ke gue.
Tapi tiap kali gue makan itu kode, gue gak dapet apa-apa.
Boro-boro berhubungan seks, nyipok doi aja gue bahkan belum. Daniel selalu mengelak dengan banyak cara. Dan ini jelas sudah melanggar aturan yang gue buat untuk diri gue sendiri.
Aturan dimana gue harus sudah bisa dapetin semuanya dalam waktu tiga kali kencan! Kita udah jalan lebih dari empat kali, dan gue masih aja belum dapet apa-apa. Kampret!
“Coffee, shall we?” Daniel tersenyum sambil mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Kalian boleh bilang gue lebay, tapi kayaknya, gue bisa orgasme kalau disenyumin mulu sama Daniel.
***

“Mau wasabi lagi gak?” Daniel menawarkan sambil tersenyum menghina. Acara ngopi? Batal! Kita malah memutuskan buat nyushi di Sushi Tei.
“Ngeledek lo, mentang-mentang gue udah kepedesan!” Dan Daniel tertawa. Oke, celana dalam gue mungkin udah basah sekarang.
“Gue masih heran kita ngabisin sepuluh porshi sushi gini.”
“Gue sebenarnya masih bisa muat lagi lho Hen!” Daniel menepuk perutnya yang rata dengan bangga.
Gue tertawa. Barengan Daniel, gue kayaknya gak brenti-brentinya buat dibuat kagum. Daniel tipe orang yang bakal ngomong seada-adanya tentang apa yang dia mau. Termasuk lagi pengen makan apa, tempatnya dimana. Dia enggak sungkan. Dan sama sekali bukan tipe orang yang selalu bilang, “Terserah kamu deh.”
Bareng Rasjid, gue kayak punya power. Rasjid, selalu mengiyakan apa mau gue. Walaupun kadang gue yakin, Rasjid kurang sreg dengan kemauan gue. Gak ada tantangannya bareng Rasjid.
Tapi jelas, timbul pertanyaan gede di kepala gue. Apa sih yang sebenernya gue lakuin sama Daniel ini? Karena kalau disebut PDKT pun, Daniel seperti iya dan enggak. Kadang dia agresif memberi kode. Tapi begitu gue mau menanggapi kodeannya, dia jaga jarak.
Well, apapun itu, gue bakalan ladenin. Karena sepanjang hidup gue, gak pernah ada seorangpun yang enggak takluk sama pesona gue.
Dan itu termasuk elo, cowok seribu pesona, Joshua Daniel Pradipta. Soon, you’ll be mine.
***

Uki Bagus Walantaga.
Seminggu lebih aku menghindari Daniel. Bahkan di kantor sekalipun. Dan, ternyata Daniel pun menghindariku. Entah kenapa. Kalian pasti mencibirku, mencibir sifat pengecutku. Tapi, jika pilihannya adalah antara keluarga atau pacar, aku tidak perlu berpikir dua kali untuk memilih.
Tapi aku belum memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Daniel, egois ya? Aku hanya masih berharap. Tidak ada salahnya kan menggantungkan diri pada sebuah keajaiban?
Mamaku sudah diijinkan untuk pulang. Beliau juga sudah jauh lebih baik keadannya. Namun, sama sekali belum mau membahas masalah antara Daniel dan aku.
“Ma, uda diminum obatnya?” Mamaku menggeleng.
Aku menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya sibuk memilah-milah obat, mana yang memang sudah waktunya untuk diminum dan mana yang untuk nanti sore.
“Ki?”
“Iya Ma?”
“Kamu sama Daniel gimana? Mama kok belum lihat dia jenguk Mama?” Aku mengedipkan mataku satu kali, dua kali. Aku mencubit lenganku.
“Bukan berarti Mama setuju, belum sayang.” Mama mengambil nafas dalam-dalam. “Tapi Mama belum pernah lihat kamu ‘sehidup’ kemarin saat masih bersama Daniel. Uda berapa lama?”
“Dua bulan.” Bibirku secara otomatis menjawab. Sedangkan otakku masih sibuk mencerna apa yang baru saja dikatakan Mamaku.
“Mama pengen banget ketemu Daniel. Kamu bisa bawa dia buat ketemu Mama kan Ki?” Aku masih terkejut. Informasi ini masih belum bisa aku cerna dengan sempurna.
Mama menyentuh tanganku, “Ki?”
“Iya Ma, ntar aku bawa Daniel kesini ketemu Mama. Mama makan dulu ya, baru minum obat. Udah Uki, pisahin ini obat yang harus diminum.”
“Sayang, tolong  jangan bilang Papamu dulu. Biar hanya Mama yang tahu.” Aku mengangguk.
“Iya Ma.”
***

Joshua Daniel Pradipta
You know, normally, setelah lima hari kerja, mungkin dua belas jam sehari, mengingat projekku bareng GMC, -Yang mengharuskanku banyak lembur- aku tidak mau beracara apapun di Minggu pagi ini. Well, setelah kemarin Sabtu aku menguras hampir seluruh energiku untuk lari pagi bareng Hendri.
But here I am, pukul sepuluh pagi, pasrah –tentu aja aku tidak sukarela- mendengarkan Maya merepet panjang lebar di dapurnya. Aku masih menguap saat bestiesku itu sedang memutilasi para wortel dengan biadab di talenan.
“Gila ya! Kurang apa gue coba dibandingin perempuan itu? Kurang apa gue?” Sambil mengacungkan pisau kearahku, jujur aku lebih suka Maya enggak berada di dapur.
“Enggak ada, ngapain sih lo pusing mikirin hal gak penting kayak gini?” Aku inisiatif bikin kopi sendiri. Haduh, ngantuk banget. Oleh karena itu aku datang dengan taksi tadi, bukan nyetir sendiri.
Maya menyingkirkan wortel yang sekarang bentuknya sudah gak bisa di identifikasi itu, “Gue gak pusing Darl, gue cuman gak terima aja. Masa laki gue lebih milih perempuan itu daripada gue?”
Okay, are Banyu selingkuh? Nope. Cita Citata we talk about here.
Jadi, sore kemarin, si Banyu semi mengacuhkan sahabatku itu, glued to the TV, begitu ada Cita Citata yang tengah masuk berita gosip. Padahal, si Maya lagi pengen manja-manjaan sama lakinya itu. Duh! Itu inti permasalahannya kenapa si monyet ini memaksaku bangun pagi di hari Minggu. Well, ini bukan yang pertama kali juga sih.
“Laki gue lebih milih perempuan gak jelas itu dibanding gue, bininya sendiri? Yang menemani dia saat susah dan senang?  Wajar enggak tuh? Wajar enggak?”
Aku mencari-cari krimer untuk aku tambahkan pada kopi keduaku.
“For God shake, buat laki-laki lain, gue ini MILF! I am fucking MILF!” Buset, aku hampir saja menyemburkan kopiku.
“Terus lo mau apa, Maya sayang?”
“Gue lagi belajar masak. So, ntar malam waktu Banyu pulang, gue bisa berdiri di dapur ini, in my lingerie, I might add, masak telur ceplok kesukaan dia.”
Aku sukses ngakak, eh bukan bermaksud jahat ke sahabatku ya. “Eh, masakan favoritnya Banyu bukannya rawon setan ya Darl?”
“Iya, tapi gila aja lu gue suruh masak rawon. Bedain merica sama ketumbar aja gue gak bisa! Bikin telur ceplok aja gue musti les privat!”
“Udah deh May,” Aku menggiring Maya ke ruang tengah, mendudukkannya di sofa. Walaupun masih ngomel-ngomel, toh Maya nurut aja aku jauhkan dari dapur keramatnya.
“Mau coklat gak lo?” Aku mengeluarkan sekotak Patchi dari tasku.
“Tumben coklat lo mahal Nyet? Biasanya juga Silver queen dua puluh ribuan.”
“Gak mau nih? Dapet dari Hendri semalem.”
Maya menatapku dengan tatapan ngeri, “So what’s the story with you and Hendri now?”
“Bukannya tema obrolan kita tadi jeritan hati seorang istri karena suaminya lebih milih Cita Citata ya?”
“Lo mau kita balik ke dapur trus ngacak-ngacak wortel lagi?”
Aku tertawa, “No, thank you.”
Aku memejamkan mataku. Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku ceritakan kepada Maya. Well, Hendri menarik? Hell yeah! But, apa yang bisa aku perbuat kalau hatiku sudah menjadi milik orang lain? Orang lain yang hingga satu Minggu ini terus menerus menghindariku. Orang lain yang statusnya masih menjadi bfku.
“Uda sejauh mana sama Hendri? Uki? Udah dapet kabar dari dia?”
Aku menggeleng, “Lunch bareng satu kali, trus dinner, terakhir gue lari pagi berakhir nyushi kemarin.”
“Cuman gitu-gitu doang? Seks?” Aku melemparkan pandangan sadis ke Maya.
“Oke, tatapan lo itu gue anggap belum. Gue kerja di sebuah majalah Dan, gue tahu exactly kayak apa sepak terjangnya Hendri. Dan berapa banyak korban akibat rayuan gombalnya. Well, dia asik sih, but as friend! I just warn you lho Dan.”
“Oke, elo orang kedua yang bilang suruh hati-hati. But for sure, I know what I’m doing May. Trust me, gue baik-baik aja. Sometime, lo sama Evan itu nganggep gue kayak anak kalian.” Jawabku, tepat saat Iphoneku bergetar. Uki?
“Ki? Ada apa?” Oke, jawabanku klise. Aku harusnya marah-marah kan? But I’m Joshua Daniel Pradipta, not an ordinary people.
“Itu Uki ya?” Maya bertanya sambil menatapku penuh selidik. Aku memilih bangkit dari sofa dan menjauh dari Maya dan rasa ingin tahunya yang bisa sangat menyebalkan. Mengutuk-ngutuk saat Uki bilang kalau kita harus masuk kantor Minggu ini, well, bukannya ngasih penjelasan kenapa semingguan ini dia menghindariku, tidak memberiku kabar, fuck!
Ada tiga hal yang aku haram-haramkan, seharam-haramnya! Pertama, bangun pagi di hari libur, kedua, tampil gak keren ke kantor, ketiga kerja di hari libur! Dan aku mengalami ketiganya hari ini, fuck! I have a life ya, thank you very much.
“So what’s the story with Uki now? He’s still your boyfriend?”
Aku menoleh ke arah Maya, “Yeah! Dan gue bakalan nonjok dia hari ini!”
***

Uki Bagus Walantaga
Pipiku mulai membiru akibat pukulan Daniel tadi. Yah, dia anak gym, bicepnya aja gede, jadi ya pukulannya lumayan bikin aku nyeri. Walau sekarang, dia juga yang tengah merawatku dengan lembut. I miss my boy so much.
Untungnya, dia mukulnya sehabis pulang kantor tadi. Jadi kenapa kita harus masuk di hari Minggu? Paul Manings, beserta beberapa staffnya datang dari US secara mendadak. Dan meminta dengan segara agar GM, para sales, dan para technical untuk meeting. Cuman untuk membicarakan projek FIA, suck! Well, ada yang penting juga sih tadi yang dia omongin.
Daniel, well, gak kayak aku yang pura-pura tersenyum ramah menyalami Paul Manings, karena dia owner dari Saviour, Daniel lebih memilih tersenyum kecut. Bahkan memandangi Bimo dengan tatapan ingin membunuh. Okay, Daniel banget.
Karena, aku masih ingat perkataannya tempo dulu, “Aku sih ogah disuruh masuk kantor Sabtu atau Minggu! Gila ya sayang, Sabtu Minggu itu kantorku di Grand Indonesia atau Plaza Senayan. Bukannya busuk di kantor beneran.” Saat kita belum berantem waktu itu. Yah, aku juga ngerti, kerja buat Daniel mungkin cuman buat status doang. Toh nantinya dia juga yang bakal nerusin perusahaan yang dikelola Sophia, ibunya.
Meeting berjalan membosankan. Apalagi, masing-masing pihak sibuk menjual opininya masing-masing. Aku beberapa kali mengangkat ipadku untuk menutupi kantukku.
Sampai akhirnya, Daniel berdiri, menggiring Paul Manings ke pojokkan. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat apa yang gantengku itu tengah lakukan. Awalnya ngobrol serius sama Paul, eh lama-lama malah ketawa-tawa. Mau bikin aku cemburu gitu? Yah, dia berhasil! Walaupun, Paul sudah setengah abad lebih umurnya, aku tetap tidak rela Daniel tertawa lepas dengan si tua bangka itu. Cemburu tidak mengenal logika, okay?
Ternyata aku salah.
Karena lima belas menit kemudian, Paul berjalan ke depan, dan menyela orang-orang yang tengah berdebat, “Ladies, gentleman, I was talking to Daniel here just now, and I think, he has pretty good idea on how we should approach this. Daniel, if you may?”
Dan aku sukses bengong, harus berapa sering Daniel bikin aku terkagum-kagum dan bangga? Karena sekarang, kata-kata dewa seperti Alginat, Adhyihrosse apa itu tadi? Well, itu dunia technical. Yang pasti semua yang ada di ruangan ini terlihat kagum pada pacarku itu.
Yah, aku tahu Daniel pintar. Dia lulus interview dengan Paul Manings juga bukan karena jalur tampang kan?
Dan sampai akhirnya dia di mobilku dan menonjokku dengan serius. Mengatakan betapa asshole nya diriku. Aku meminta maaf, dan memintanya untuk bertemu ibuku. Well, sekarang dia khawatir banget dengan pipiku yang mulai membiru. Daniel memang menggemaskan. He’s mine! Still mine!
“Jadi biru gini Ki,”
“Gak papa, entar juga sembuh. Mau ketemu Mama sekarang? Dia ada di dapur Dan.” Daniel memandangiku dengan cemas. Akupun sama cemasnya. Tapi aku adalah si raja akting, yang selalu bisa berpura-pura, ‘everything is gonna be okay’ walaupun sebenarnya aku sama khawatirnya.
Jadi aku menggeggam tangan Daniel, menguatkannya dan bilang semua pasti bakal baik-baik saja.
Sepuluh menit berlalu sejak Daniel ke dapur, dan aku mendengar tawa Mama yang meledak. Disusul dengan suara renyah Daniel.
Mereka berdua keluar dari dapur dengan wajah berseri-seri. Ibuku, tak henti-hentinya menahan tawa. Sedangkan Daniel, beberapa kali membisikkan sesuatu di telinga ibuku.
“Okay, what’s happen?” Tanyaku kemudian. Aku jelas tidak mau mati panasaran.
“A little conversation. Top secret!” Kata Daniel sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.
***

“Hey, gimme kiss.” Aku memajukan bibirku sebelum Daniel akhirnya menciumku dengan lembut. Aku mendesah kecewa saat akhirnya Daniel menyudahi ciumannya.
“Apa sih yang kamu obrolin sama Mama tadi?”
“Aku kan udah bilang top secret sayang. Aku turun ya? Yakin gak mau mampir sebentar?”
Aku memeluk Daniel, lalu mencium pipinya dengan gemas, “Pengennya sayang, tapi Kemal musti dijemput. Dan karena Papa lagi ke luar kota, I have must be a good brother.”
“Oke, telepon kalau udah nyampe rumah ya? I love you.”
“I love you too.” Daniel menyambar bibirku sekali lagi sebelum akhirnya turun dari mobil. Aku masih mengamatinya berjalan santai menyeberang jalan masuk ke halaman depan gedung apartmentya. Termasuk masih melihat pacarku itu mengobrol dengan cowok yang baru saja keluar dari mobil. Mereka tertawa, kemudian berjalan beriringan.
Ah, mungkin tetangganya.
Atau hanya kenalan saja.
Aku menatap Daniel yang kini menoleh ke belakang dan melihatku. Iphoneku berdering. Daniel.
“Memata-mataiku, huh? Detektif?”
“Aku cuman pengen mastiin kamu masuk gedung apartment kamu dengan selamat kok.”
“Kenapa tadi gak masuk aja?”
“Ribet keluarnya ntar. I love you. Kemal udah musti dijemput.”
Daniel tertawa, “Aku makan malam di tempat kamu entar. Your mom, inviting me. Pick me up? Aku lupa bilang tadi.”
“Oke. Jam tujuh udah ready ya?”
“Ya, love you.” Daniel mengakhiri sambungan teleponnya dan melambaikan tangan ke arahku. Oke, mungkin aku hanya terlalu cemburu. Konsekuensi punya pacar paket komplit itu ya kayak gini. Was-was setiap saat.
But, nyokap gak lagi ngerancanain sesuatu kan? Ngundang Daniel makan malam? Please God, I just wanna be happy with my boy.


TBC . . .

2 komentar:

  1. Well,
    Nungguin cerita nya hampir 2 minggu, but baca nya only ten minutes.
    Thanks, for the Author I'd love ur story so much. :D

    BalasHapus
  2. Duh mulai mucul tokoh lagi yg bikin gemes baca ceritanya..
    Mungkin karna aku udah srek sama si Daniel yang agresif sama Uki yang kalem kali ya, jadi gemes kalo mereka pisah. :(
    Nice, lanjut 10

    BalasHapus

leave comment please.