FOLLOW ME

Kamis, 19 Februari 2015

BOTTOM 10

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Uki Bagus Walantaga
Kekhawatiranku ternyata terlalu berlebihan. Tidak ada yang aneh dengan makan malam hari ini. Kecuali absennya Papa dan adanya Daniel yang sedang disibukkan dengan Fadil yang tengah bersemangat bercerita tentang sekolahnya. Well, aku bisa mengatakan jika Fadil sepertinya, menemukan sosok idola baru. Setidaknya, dia mulai ikut-ikutan ngomong sok inggris seperti Daniel. Yang selalu sukses bikin aku gemas.
“Kamu asli Bandung Nak?” Mamaku memang berbeda dengan Sophia yang terbuka. Tapi, aku mengagumi sikap beliau yang seperti ini. Aku yakin, butuh perdebatan yang cukup lama di batinnya untuk menerima keadaan anak lelaki sulungnya.
“Mama Belanda-Sunda. Kalau Papa, uum.” Daniel agak lama meneruskan kalimatnya. “Chinesse.”
Well, dan kayaknya gantengku itu mendapatkan kombinasi terbaik dari ketiganya.
“Pantes ganteng ya.” Mamaku pun tak luput dari pesona Daniel ternyata.
“Bang Daniel, Fadil sekarang ikut les karate lho!” Fadil, yang aku bilang cara makannya ditiru dengan sangat apik oleh Daniel, sepertinya tidak rela sang idola direbut perhatiannya. Ngomong-ngomong soal cara makan, ingin sekali rasanya tanganku menyebrang ke meja sebelah, dan membersihkan sisa kuah yang belepotan di sekitar bibir pacarku itu.
Tapi, aku enggan saja melakukannya. Ada ibuku, dan well, beliau tidak serta merta mengusir Daniel saja sudah membuatku lega. Aku lupa, ibuku sendiri yang mengundang Daniel untuk makan malam disini.
“Sudah ada calon belum?” What? Apa-apaan ini pertanyaan Mama?
“Pastinya, ingin berkeluarga dong nantinya? Menimang bayi, memiliki cucu, ya kan?” Aku bisa mengimajinasikan apa yang bakal dikatakan Daniel. Mungkin seperti, “Gue sukanya ama laki kaleus.” Atau, “Yaelah, tinggal sewa rahim juga gue bisa punya anak. Rempong deh lo tante-tante.” Dengan versi bukan bahasa alay. Setahuku, Daniel hanya alay kalau sedang berkumpul dengan Evan dan Maya. Dengan orang lain, dia tidak kalah straightnya dengan pria-pria kebanyakkan.
Ternyata dugaanku salah, karena aku melihat Daniel yang hanya tersenyum awkward ke mamaku.
“Belum Tante, belum kepikiran.” Dan sebelum mamaku bikin suasana tambah kacau dengan mengajukan kalimat-kalimat menjengkelkan lainnya, aku segera merapikan meja makanku, melap bibirku.
“Aku antar Daniel pulang dulu Ma, udah malam.”
“Lho kok buru-buru?”
“Besok ada meeting pagi. Aku malam ini sekalian nginap di tempat Daniel. Lebih dekat berangkat dari sana.” Well, ibuku cukup terkejut. Aku harap beliau tidak pingsan lagi, karena itu akan melunturkan sikap sinisku dalam sekejab. Aku paling tidak bisa melihat ibuku menangis. Akan tetapi, jika beliau tengah bertingkah menyebalkan seperti ini, aku juga bisa bertingkah sama tak mengenakkannya.
“Maaf,” Kata itu terucap saat mobilku sudah aku parkir di basement apartment Daniel. Kita berdua belum keluar dari mobil.
“Enggak papa.” Aku menoleh kearah Daniel. Aku hampir yakin, kalau makhluk di sampingku ini bisa saja bukan Daniel. Karena, selama perjalanan dari rumahku ke tempat tinggalnya, Daniel hanya diam. Dan itu bukan gaya dia banget. Aku tahu itu. Daniel tipe orang yang akan ngomong seada-adanya. Bisa jadi dia akan bilang kalau mamaku itu jayus dan gak asik banget.
Apa dia sungkan mengatakannya? Oke, apa Daniel mengerti kata sungkan? Sepertinya tidak.
“Oke, kamu punya minuman apa? Aku lagi pengen mabuk.” Daniel menoleh kearahku. Mata coklat terangnya, semi hijau kalau diperhatikan lebih detail. Tidak sehijau mata Sophia, hanya saja jika diperhatikan dengan seksama, matanya agak kehijauan.
“Mama kamu ntar nyariin.”
“Well, aku udah ijin buat nginep tadi, dan diijinkan.”
“Sifat nyebelin kamu itu aku tahu nurun darimana sekarang.” Inilah Daniel yang aku kenal.
“Dan karena kita sudah tidak bertemu hampir semingguan lebih, aku pengen ngeseks sama kamu, Dan.”
“Wow, look at you! Belajar darimana kamu mesum kayak gitu?” Daniel membuka pintu mobil dan melenggang santai diikuti olehku.
“Bokongmu itu, kamu suntik silikon ya?” Daniel menoleh kearahku dengan berang. Dia mungkin ragu apakah aku Uki pacarnya atau Uki yang dirasuki oleh setan mesum. Karena Uki yang biasanya tidak mungkin mengatakan kalimat-kalimat seperti itu. Tapi aku sedang tidak dalam kondisi biasa-biasa saja. Ibuku yang bertingkah menyebalkan, kondisi alam semesta yang sepertinya berusaha menjauhkanku dari Daniel, sepercik horny karena aku beneran kangen dengan Daniel. Bokongnya yang entah kenapa, hari ini terlihat lebih montok. Aaargh!
Shit! Ini pasti gara-gara ibuku yang menyebalkan. Jadi, sifat-sifat terpendamku keluar semua. Trus aja nyalahin orang lain Ki, terus! Oke, fine, mungkin aku berkepribadian ganda? Karena aku sendiri bingung dengan apa yang tengah aku ucapkan. Otak dan mulutku tengah tidak sinkron sekarang.
Daniel kembali berjalan kearahku, memegang tanganku dan menuntunnya untuk meremas bokong montoknya.
“Ini asli! Enak saja.” Dan aku menikmati meremas bokongnya lebih lama.
“Kita mau pakai mobilmu yang lebih dekat jaraknya atau mau ke atas ke apartmentku? Atau kita tuntaskan disini saja?” Kata Daniel kemudian yang membuat kewarasanku kembali.
“Maaf.”
“Enggak papa. Mau mesum juga gak papa, toh aku pacarmu.” Dan senyumku langsung terkembang.
***

Joshua Daniel Pradipta
Baru juga setengah botol, Uki sudah tidak kuat. Yaiyalah, seumur hidupnya belum pernah kena alkohol, maksa banget buat minum. Aku memperhatikan Uki yang tengah berkutat dengan remote tv. Sepertinya, dia sudah tidak menginginkan wine yang tadi aku sodorkan padanya. Wajahnya kuyu.
“Sayang, kamu depresi ya?” Tanyaku sambil meraih kepala Uki dan membaringkannya di pahaku. Tanganku tak henti-hentinya mengusap-usap pipinya dengan lembut.
“Maksud kamu, aku gila?”
“Mungkin sebentar lagi.” Uki mencubit pahaku, yang aku balas dengan menampar pipinya pelan secara reflek.
“Kasar juga kamu ya.”
“Kamu cubit duluan.” Lalu kami berdua kembali hanyut dalam pemikiran masing-masing. Aku memperhatikan wajah Uki, matanya yang tinggal segaris kalau sedang tertawa. Hidung mancungnya. Bibirnya yang kecoklatan. Padahal dia bukan perorok.
Kulitnya yang cukup terang untuk ukuran keturunan Jawa. Aku membelai jakunnya yang naik turun.
“Sayang, kawin lari yuk.” Oke, reaksi pertamaku memang salah. Aku langsung tidak bisa menahan tawaku ketika Uki mengatakan ide gila untuk kawin lari dengan mimik muka serius. Dan itu membuat pacarku itu kesal.
Uki bangkit dan berjalan mondar-mandir. Persis banget kayak copet mau beraksi. “Aku serius tahu Dan! Mama, Papa pasti gak setuju! Selagi ada kesempatan, kita kabur berdua yuk!”
“Sayang, Kemal sama Fadil masih kecil-kecil. Orang tua kamu juga sudah enggak muda lagi kan? Maksudku . . .”
“Ya udah kita bawa saja Kemal sama Fadil.” Ini Uki lagi kerasukkan apa sih? Tingkahnya aneh semenjak keluar dari mobil. “Aku serius! Aku bener-bener gak mau pisah sama kamu. Seminggu gak ketemu aja aku udah kurusan gini.”
Aku sekuat mungkin menahan tawaku yang akan meledak. Uki memang terlihat kuyu, tapi sama sekali tidak kurusan. “Mas, kamu malah semakin kelihatan kalau lagi depresi tahuk!”
“Eh, barusan kamu bilang apa?” Uki menatapku tak percaya.
“Depresi, kamu kelihatan depresi.”
“Sebelum itu, kamu manggil aku apa tadi?”
“Mas, kenapa? Kan kamu lebih tua dua tahun. Ditambah orang jawa, ya kan?”
Kali ini Uki yang tertawa. “Ya deh. Ya deh, mas.” Uki menatapku, lalu terbahak lagi. “Kemal, Fadil aja manggil aku Abang, kamu malah. . .” Aku mengabaikan Uki yang entah kenapa menganggapku lucu telah memanggilnya mas. Emang apa salahnya sih? Toh, emang dia lebih tua kan?
“Aku tidur duluan.” Bodoh deh itu pacarku mau kerasukkan apa, aku ngantuk, dan agak kesal sih sebenarnya. Aku kan niatnya biar romantis gitu manggil mas, malah diketawain.
Aku masuk kedalam kamarku, samar-samar, aku masih mendengar suara tv. Yang artinya, Uki belum mau beranjak tidur.
Aku menanggalkan semua pakaianku. Berhenti sejenak untuk meraba nama UKI B yang tertulis di bawah pusarku. Apa kali ini aku benar-benar jatuh cinta? Atau hanya kamuflase perasaan sesaat karena Uki berbeda dari mantan-mantanku dulu? Ah, persetan! Aku bahagia bersama Uki, itu lebih dari cukup. Aku menyibakkan selimut, lalu bersiap-siap untuk tidur. Biarlah kalau Uki mau begadang menonton tv.
***

Uki Bagus Walantaga
Daniel, sepertinya sudah tertidur beneran. Sepi. Aku memandangi tv yang entah tengah menayangkan acara apa. Wine yang tinggal setengah botol itu tidak memabukkanku, sungguh! Namun rasanya yang panas membakar tenggorokkan membuatku ragu untuk menghabisinya. Heran, kenapa gantengku itu doyan banget nenggak alkohol.
Aku mematikan tv, mengaitkan double keamanan pada pintu, mematikan semua lampu, lalu kemudian masuk kedalam kamar.
Nafasku tercekat melihat Daniel yang tengah terbaring. Dari deru nafasnya yang teratur, mungkin Daniel sudah tertidur. Mungkin, karena sekilas aku melihat matanya mengintip tadi dari balik kelopak matanya. Mungkin dia hanya berpura-pura tidur.
Aku menarik selimut yang tengah membungkus tubuh Daniel. Agak terkejut juga melihatnya tanpa busana seperti itu. Apalagi tidurnya yang tengah telentang.
Penisnya yang masih tertidur ukurannya memang lebih panjang dan lebih besar dari punyaku. Begitu juga kalau tengah ereksi. Aku pernah membandingkannya waktu kita pertama kali bercinta dulu.
Dan tiba-tiba, pantatku rasanya gatal. Aku penasaran, kenapa Daniel waktu dulu begitu menikmati saat penisku bersarang di lubang pantatnya ya? Bahkan penisnya sendiri mengeras tanpa aku sentuh.
“Daniel. . .” Daniel diam.
Jariku bergerak, membuat gerakan memasturbasi penis Daniel.
“Sayang . . ?”
“Dan?”
“Niel?” Aku semakin intens mengocok penis Daniel yang sudah tegang maksimal.
“Apa sih Ki?” Hehehe, tuh kan gantengku itu cuman pura-pura bobo.
“Dan, aku mau nanya dong.”
“Aku ngantuk, besok aja.” Daniel meraih selimut yang tadi aku singkapkan, lalu ia gunakan untuk membungkus tubuh telanjangnya kembali.
“Mas mau nanya dik.” Well, ternyata panggilan ‘dik’ ku itu menyita perhatian Daniel.
“Nanya apa mas?” Sumpah, sebenarnya aku geli setengah mati dipanggil mas, dan menyebut diriku sendiri mas. Tapi demi si ganteng, apa sih yang enggak?
“Dimasukkin penis itu enak?”
“Kamu mau nyoba Ki?” Tanya Daniel langsung. Gak pakai mas lagi nih?
Aku yakin wajahku memerah. “Enggak, cuman nanya aja.” Kataku kemudian sambil ikut berbaring disampingnya.
“Aku belum pernah masukkin penis ke lubang sih Ki, aku bottom.”
“Bottom itu apa?” Yah, pengetahuanku tentang istilah-istilah gay memang masih cetek. Aku dan Daniel jarang mendiskusikan istilah-istilah aneh. Tapi sekarang aku penasaran.
***

Joshua Daniel Pradipta
“Bottom itu apa?”
“Ya yang dimasukki, yang keenakkan kalau dimasukkin penis, lubangnya.”
Uki memandangiku lagi, yang bikin aku cemas setengah mati. Aku belum pernah jadi top, semenjak aku mengenal dunia seks. Jadi, aku takut saja ntar aku malah gak bisa ngaceng pas mau nusuk Uki. Tapi, Uki kayaknya penasaran banget. Ukiku itu kan pemalu, kalau sampai dia berani nanya-nanya kayak gini, berarti dia pengen kan sebenarnya?
“Mau nyoba?” Tanyaku sekali lagi. Please jawab enggak, please jawab enggak.
“Boleh.” Eng ing eng, tamat. Kan judulnya bottom? Sekarang bottomnya mau jadi vers, jadi tamat.
Diantara kekalutan pikiranku yang takut gak bakal bisa menggagahi Uki, ternyata Uki sendiri tengah menelanjangi dirinya sendiri. Aku baru sadar ketika Uki baru saja memelukku. Aku bisa merasakan penisnya yang ereksi menyentuh belahan pantatku. Aku secara naluri langsung memundurkan pantatku agar lebih kena.
“Bukan gini, aku pengen ngrasain jadi bottom.” Ding dong. Kirain lupa dia.
“Bentar sayang, aku ambil kondom.”
“Gak usah pakai kondom.” Uki menarikku agar berada dalam jangkauannya lagi. Dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuh kami berdua.
“Aku isep dulu ya?” Well, saat pertama kali aku bercinta dengan Uki, di sofa dulu, beronde-ronde, aku memang tidak mendapatkan service blowjob, cukup puas hanya dikocok Uki waktu itu. Aku kan bottom, kepuasanku jelas saat Uki dengan gagahnya menyetubuhiku dong. Sekarang, keadaannya terbalik. Bukan beararti aku tidak suka seks oral.
Uki, sebagai pemula, he’s great! Dia memperlakukan barang paling pribadiku itu dengan lembut. Seolah itu adalah barang paling rapuh sedunia. Enggak kena gigi sama sekali! Salut!
“Rasanya agak asin-asin gitu,” Uki mendongakkan kepalanya, sedangkan kepala penisku masih didalam mulutnya. Gila! Aku horny parah! “Cukup gak?” Aku mengangguk.
Belajar dari waktu pertama ML dulu, aku tahu rasanya sakit luar biasa waktu pertama kali. Jadi, aku mengambil pelumas. Dan jujur, ini juga pengalaman pertama kaliku menggagahi seseorang. Jemariku dengan sedikit bergetar mencoba memberi rangsangan-rangsangan disekitar area pantat Uki. Sumpah, aku lebih tertarik untuk mencaplok tititnya yang tengah mengacung tegak itu daripada harus berkutat dengan lubang pantatnya.
Demi bahagiain pacar, demi bahagiain pacar. Aku melafalkan mantra sakti tersebut berulang-ulang kali di otakku.
“Sakit Ki?” Aku memasukkan jari kelingkingku. Uki menggeleng. Penisnya tambah tegang, cairan precum sudah deras mengalir. Please God, please, jangan bilang Uki punya naluri bottom juga.
Anehnya, penisku dibawah sana juga masih sama tegangya, ditambah jari jemari Uki yang masih setia menempel disana.
“Aku masukkin ya?” Anggukan kepala Uki aku anggap sebagai jawaban ya.
Belum juga kepala penisku menyentuh kulit pantatnya, Uki sudah berteriak histeris, “ Sakit sayang, sakit.” Tangannya pun kuat mencengkram bicepku.
“Belum juga aku masukkin.”
“Eh, belum ya?”
“Enggak usah aja ya? Kamunya keluar keringat dingin gini. Takut kan?”
“Tapi tadi enak banget pas lubang pantatku kamu sentuh-sentuh gitu sayang. Cobain dulu. Ntar kan bisa gantian.” Aku memutar kedua bola mataku. Keras kepala juga ya ini anak.
Tapi kali ini Uki tak bersuara. Dia hanya meringis, cengkraman tangannya yang mengencang pada lenganku, dan matanya yang ia pejamkan kuat-kuat. Aku tahu Uki kesakitan. Aku tak tega, sungguh! Apalagi ketika aku melihat penisnya sudah layu, tidak ereksi lagi. Tapi Uki diam, dia tidak memintaku untuk mencabutnya.
Maka aku menggoyangkannya perlahan. Mungkin ada sekitar satu menitan hingga Uki mengeluarkan suara keberatannya. “Udah sayang, aku gak kuat.” Thanks God, Uki pure top. Bukan berarti aku tidak mau jadi top lho, demi pacar, role mah nomor sekian, ya gak sih?
“Sayang kok kamu bisa gak kesakitan gitu sih? Bentar ya, rasanya perutku jadi mules.” Uki turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Aku terkekeh sebentar sebelum akhirnya menyusul Uki ke kamar mandi untuk mencuci penisku yang masih tegak berdiri.
“Ada yang keluar?” Tanyaku iseng pada Uki yang tengah duduk di closet dengan wajah merah padam.
“Jangan liat kesini. Malu.”
“Kenapa? Mau aku cebokkin sekalian?” Aku makin menggodanya.
“Jorok kamu!”
“Aku gak keberatan kok, kalau misal ntar kamu lagi sakit, gak bisa beol sendiri, aku juga gak keberatan kok ngurusin kamu. Serius.”
“Itu kalimat terjorok yang pernah aku denger, tapi juga terdengar manis. Lagian aneh, aku ngrasa mules tapi gak ada yang keluar.”
Aku tersenyum sambil mengisi bathubku dengan air hangat.
“Sayang, berendem bareng yuk!”
Uki tersenyum sambil kemudian setelah bersih-bersih, bangkit lalu meraih kejantananku. “Masih keras aja dari tadi.”
“Sebenarnya sayang, aku pengen bikin tato nama kamu itu di titit.”
“Jangaaaan, ntar tukang tattonya liat.” Aku mencubit puncak hidung Uki, wajah merajuknya lucu.
“Tapi tukang tattonya bilang aku harus ereksi selama tiga jam full, biar tattonya bagus. Nyerah deh akunya.” Tangan Uki yang tadi mengurut-urut penisku sekarang sudah beranjak ke belakang.
“Kangen nih sama bokong montok kamu.”
Well, kali ini kayaknya gak bakal ada yang teriak-teriak kesakitan deh.
***

“Dan . . .” Aku merasakan bahuku digoyang-goyang. Kerasa sih, agak ganggu juga, tapi aku masih malas untuk membuka kelopak mataku.
“Udah jam tujuh sayang, bangun dong!” Aku ngulet ke kiri. Atau ke kanan? Saat tersadar saja, aku enggak jago kiri kanan, apalagi dalam kondisi tertidur begini?
“Mandi gih, udah aku bikinin roti bakar sama orange juice buat sarapan.” Oh, makanan. Aku memang lapar, setelah sama-sama memuntahkan sperma di bathtub, lanjut diranjang beberapa kali, aku jelas butuh asupan energi sekarang.
Aku membuka kedua mataku. Memberi kecupan singkat di pipi Uki –yang sudah sangat rapi dengan setelan kerjanya-, lalu beranjak ke dapur. Belum juga berdiri tegak, tanganku sudah ditarik Uki jatuh ke ranjang lagi.
“Aku udah gak kuat Ki, kalau kamu mau lagi.” Aku jujur.
Uki menatapku, dengan tipe tatapan ibu-ibu yang menatap anaknya yang tengah ketahuan bandel. “Aku juga males kalau harus mandi lagi. Mandi dulu! Baru makan.”
“Aku laper Ki.”
“Mandi dulu.” Aku menatapnya. Jenis pendanganku yang ini biasanya selalu mempan. Uki memalingkan wajahnya.
“Mandi!” Uki melemparkan handuk. Agak basah, bekas dia mungkin tadi.
“Jahat.”
“Jahat kenapa? Cuman nyuruh mandi doang. Lagian kamu mau sarapan telanjang bulat gitu?”
Aku menatap Uki, sambil mencoba membangkitkan penisku dari tidurnya. Wajah Uki langsung memerah, dan segera ia palingkan.
“Aku tunggu di dapur, kita sarapan bareng. Mandi dulu tapi!”
“Iya.” Akhirnya aku menyerah.
***

Hendri Subakti
Beberapa hari ini Daniel menghindari gue. Menjawab beberapa pesan gue dengan jawaban pendek-pendek. Gue enggak bodoh, sangat tahu kalau Daniel sedang dalam tahap ingin ‘ngebuang’ gue. Mana gue sama sekali enggak tahu dimana tempat dia tinggal lagi. Waktu itu, gue nganterinnya  juga ke kostan temennya. Beberapa kali kita ketemu, gue juga belum pernah menjemputnya. Dia selalu membawa mobil sendiri.
Dan sekarang? Saat dia menolak semua ajakkan makan malam gue? Ajakkan makan siang gue? Padahal gue, disini, tengah kangen berat padanya.
Gue segera meraih sebuah nomor yang mungkin mau membantu gue.
“Hai May,” Gue berkata, saat sambungan telepon gue diangkat pada dering ketiga.
“Ya Hen? Ada apa?”
“Lo pasti punya alamat rumahnya Daniel kan? Boleh minta gak?” Maya diam disana. Cukup lama. Shit! Mereka kan sahabat deket, tapi apa iya, Maya cukup tak sopan untuk menolak permintaan gue begitu saja?
“Oke, ntar gue kirim via BBM.” Yass, Yass!
“Thanks May.”
Gue memandangi sebuah alamat yang baru saja dikirim Maya. Gue udah janji ke diri gue sendiri kalau lo harus gue dapetin Dan. Jadi ya, tunggu aja.
Well, baru kali ini ada homo yang nolak pendekatan gue. Ckck, Daniel, Daniel.
***

Joshua Daniel Pradipta
“Ini formulanya Ndi, ngaduk telurnya sampai ngembang ya! Tiga puluh menitan. Lo bikin yang controlnya dulu. Ntar gue cobain dulu. Kalau enak, ntar kita pakai Dairy Boost kita, significant gak bedanya.”
“Ini buat FIA mas?”
“He eh, ntar kita ada tiga aplikasi sih. Spoon cake, Cream Filling, sama Acidified Milk Fruity. Kita trial spoon cakenya dulu. Inget, perhatiin waktu ngaduk telurnya ya! Terlalu cepet, gak ngembang, terlalu lama, ntar becek.”
Andi meneliti kertas yang aku print berisi formula spoon cake yang sudah aku modifikasi. “Oke, kayak gue belum pernah bikin aja. Yang lainnya mau trial kapan mas?”
“Aduh, ntar aja. Ini aja dulu. Gue aja masih bingung mau pake Dairy yang mana. Bikin controlnya aja dulu. Pengen tahu rasanya dulu.”
“Oke mas.”
Aku baru saja masuk ke dalam ruanganku ketika melihat nama Maya muncul di layar handphoneku. “Kenapa May?”
“Lo apain si Hendri sih?” Maya langsung menjawab galak diujung sana.
Aku meminum kopiku sebentar. “Enggak gue apa-apain.”
Disana, Maya menghembuskan nafas agak tertahan. “Tadi dia minta alamat elo.”
“Gak elo kasih kan?” Aku langsung waspada. Maya itu walaupun cablak, tapi orangnya kadang suka gak enakkan.
“Gue gak mungkin dong bilang gue enggak tahu?”
“Aduh May, mampus deh gue.”
“Mampus kenapa?”
“Gue udah baikkan sama Uki, aduh, si Hendri juga gak bisa ya baca sinyal merah yang gue kasih ke dia akhir-akhir ini?”
Lagi-lagi Maya menghembuskan nafas, kali ini dengan jengkel. “Sejak kapan lo jago ngode-ngode? Bilang langsung ke Hendri, lo udah punya lakik!”
“Oke deh.”
“Jangan main api dong Dan.”
“I know, but waktu itu gue kan lagi agak-agak kesel sama Uki.”
“Yaudah, salam buat laki lo. Jangan lupa ntar malam kita ada makan malem bareng. Ajak Uki.”
“Iya Babe, see you.” Aku meletakkan Iphoneku kembali ke saku. Sial! Perasaan dulu aku gak sewas-was ini kalau selingkuh. Seperti waktu aku selingkuh dengan Uki sewaktu masih menjadi kekasih gelapnya Bimo. Maksudku, aku enggak takut kalaupun Bimo nantinya bakal memutuskanku. Atau waktu aku main-main dengan Fian.
Sekarang? Aku benar-benar tak ingin Uki tahu.
Well, aku secara teknik enggak bisa dibilang selingkuh juga sih. Aku jalan, makan bareng, gak ada aktivitas seksual kan barengan Hendri? Ciuman? Seks? Gak ada! Jadi pure pertemanan doang kan? Aku gak ngasih harapan ke Hendri kan?
Ah, fuck!
Pura-pura tidak sengaja memegang penisnya?
Menggesek-gesekkan kakiku ke kakinya?
Beberapa kali mengkodenya agar menciumku? Walaupun, jelas aku tidak memberikan bibirku dengan begitu saja. Aku bukan tipe murahan.
Itu menunjukkan dengan jelas adanya indikasi aktivitas seksual, stupid Daniel! Bahasa yang aku pakai agak gak mudah dipahami gitu ya? Sudahlah ya.
Dan sekarang Hendri berusaha untuk mendapatkanku, mungkin dia sudah jatuh cinta? Atau hanya penasaran? Dua-duanya sama berbahayanya. Berbahaya, karena aku baru saja mendapatkan Uki kembali. Berbahaya, karena Uki paling intoleran sama ketidaksetiaan.
Calm down Dan, relaks, karena toh Uki have no idea. Dia gak tahu apa-apa. Oke. It’s fine.
***

“Sayang, daripada kamu terus-terusan mengganggu konsentrasi nyetirku, mending kamu fokus sama jalanan.”
“Ini Jakarta Ki, apa sih yang menarik dari jalan-jalannya?” Aku menarik tanganku dari dalam celana Uki, “Kayak kamu enggak nikmatin perlakuanku aja.”
“Enggak enak sama Maya, kalau ntar dia tahu celanaku belepotan sperma.”
“Kalau kamu mau keluar kan tinggal bilang, jadi aku cepat-cepat bisa berhenti.” Aku melirik celananya yang masih menonjol.
“Daniel, sayang, bisa gak, gak bahas seks dulu? Sakit ini penisku.”
“Keluarin aja.”
“Trus mandi lagi?” Uki berkonsentrasi pada jalanan. Hujan yang lumayan deras ini, okay, sedikit membuat macet. Welcome to Jakarta. “Ayah kamu, chinesse?” Tanyanya kemudian.
Aku memalingkan wajahku ke jendela. To be honest, topik tentang ayahku, selalu menjadi topik yang ingin aku hindari.
“Sorry. Kita bahas yang lain aja kalau kamu enggak nyaman.” Aku menatap Uki, juga celana bahannya yang kancing dan resletingnya tadi sudah aku turunkan karena aku ingin melihat dan sedikit bermain-main dengan juniornya.
“Aku bahkan belum pernah ketemu ayahku Ki, gak tahu wajahnya kayak gimana, actually, I don’t remember him. At all. Enggak ada poto, enggak ada kenangan. Mama seperti memblokir semua aksesku buat tahu siapa ayahku Ki. I love my mom. So much, jadi aku gak tanya-tanya lagi tentang papa. It’s hurting her, and I hate it.” Aku merasakan wajahku memanas. Belum pernah aku bercerita tentang ayahku pada pacar-pacarku sebelumnya.
Uki masih diam, namun sebelah tangannya memegang tanganku. Mengelusnya lembut.
“Hei, I’m here. Okay? I love you.” Uki menatapku lumayan lama, sebelum akhirnya kembali konsentrasi ke jalanan. “Damn, Dan! Aku pengen banget nepiin mobil sialan ini, supaya aku bisa nyium kamu dengan konsentrasi penuh.”
Aku sedikit terkejut. Apakah aku telah memberi pengaruh buruk untuk Uki? “Well, aku gak keberatan kamu nepiin mobil.” Aku melihat jam tanganku, “Maya, jelas bisa nunggu kok. Kita ada something urgent yang harus dilakukan kan Ki?” Kataku sambil tanganku meraih celananya kembali. Uki, dengan konsetrasi tinggi, sepertinya sedang mencari jalanan sepi yang bisa kita pakai sebentar untuk ‘istirahat’.
***

Evan Sutedjo
Daniel dan Uki datang terlambat. Dengan pakaian yang sedikit acak-acakkan. Gue heran, kayaknya Daniel punya pengaruh buruk buat Uki. Ini Uki gitu, the good boy yang bahkan mungkin enggak pernah terlambat datang ke kantor. Dan sekarang, look at him. Berantakkan!
“Jangan bilang, kalian ngelakuin seks singkat sebelum kesini?” Gue, menyeret Daniel kearah dapur. Sementara Uki, berkenalan dengan Reno dan bergabung bersama Banyu di ruang tengah.
“Jangan bilang lo yang masak.” Daniel mengabaikan gue dan malah mengajukan pertanyaan gak penting ke Maya.
“Ini katering kok. Bantu gue buat nata ke meja makan deh.”
“Lo kan kaya May, kenapa sih enggak nyari pembokat aja?” Daniel mengambil apel dan menggigitnya.
Gue, mengambil pisang berwarna kuning sempurna dan menunjukkannya ke Maya dan Daniel. “So, segede apa punya Uki? You forget to answer my question.”
“Jadi? Gue juga penasaran, seberapa hebatnya Uki di ranjang? Oh, thanks Van, lo jadi ngingetin gue buat nanya. Waktu itu gue lupa nanya.”
“Lo nanya, tapi enggak gue jawab kaleus. Lagian penting ya, gue cerita ke kalian berdua?”
Maya memutar tubuhnya dengan gaya dramatis. Heran gue, kenapa gue bisa berteman dengan mereka berdua sih? Bertahun-tahun lagi!
“Lima belas senti?”
“Gak sopan lo May. Lagian, lo juga mesti nanya si kunyuk nih! Gimana rasanya keperawanan elo direnggut, huh?” Pertanyaan itu, Daniel ajukan buat gue.
Gue gelagapan. Oke, having sex with Reno was great. Tapi gue gak mungkin cerita disini kan? Even mereka sahabat gue?
“Well, lo udah ngrasain yang namanya disodok penis ya?” See? Itu kenapa Maya dan Daniel bisa klop satu sama lain. Mereka berdua sama joroknya! Oke, gue juga jorok, tapi enggak separah mereka dong?
“Apa lo langsung orgasme? Gimana pertama kali lidah lo nyicipin penis? Asin? Atau agak bau pesing?” Maya dan Daniel saling berpandangan sebentar. Dan mereka tertawa karena pertanyaan mereka sendiri. Kayaknya, malah gue ini yang diserang sekarang.
“Well, actually Dan, gue gak suka oral seks.” Ini bukan jawaban gue, bukan! Ini Maya saudara-saudara.
“Woa, lo tega banget May! Emang Banyu gak pernah minta lo isepin?”
“Beberapa kali, dan gue kayak kepaksa gitu ngeblow job dia. I mean, sampai sekarang gue juga enggak tahu dimana letak enaknya ngisep penis.”
“That’s why, gay did it better for that stuff. We like penis.”
“Kita mau bahas penis-penisan atau mau nyiapin makan malam? Sebelum para pria kelaparan, dan kita di depak dari dapur?” Akhirnya, karena sebenarnya gue udah laper. Dan perdebatan konyol ini, menunda acara makan malam.
“Well, oke. Eh, May, menurut lo, bercinta di kolam renang asik enggak? Tapi gue takut nih kalau harus di kolam apartment. Ntar kalau tiba-tiba ada yang mergokkin gimana?”
“Ajak join aja.”
“Kalian berdua, please?!” Mereka berdua menatap kearahku dengan mimik muka polos. Mereka jagonya!
“Seseorang, yang baru saja kehilangan keperawanannya, memiliki emosi kurang stabil dan terlihat senang marah-marah. Menurut penelitian di Amerika.” Maya menjetikkan jari-jari cantiknya akibat sering berkunjung ke salon dua kali seminggu itu.
“Oke, gue having sex with Reno. He’s great. Delapan belas senti. Kecoklatan, dan well, enggak ada masalah dengan ereksinya.” Gue, akhirnya enggak tahan juga. Itu yang ingin mereka dengar.
“Holy shit! Uki aja cuman empat belas senti.”
“Banyu berapa?” Gue dan Daniel nanya hampir barengan.
Maya menyisir rambutnya dengan jari, “Elo bener Van, kayaknya kita mesti nyiapin dinnernya deh. Udah setengah delapan. Mereka pasti udah mulai kelaperan.”
“Hmmm?” Daniel sama gue menatap Maya hingga akhirnya membuat cewek paling unik sedunia itu enggak tahan juga.
“Lima belas senti, puas?” Kata Maya akhirnya. Kita bertiga berpandangan sebentar. Lalu tertawa bareng. Hidup itu memang enggak selamanya mudah, tapi Tuhan menciptakan beberapa orang, untuk menemani kita untuk melewati masa-masa sulit itu. I have them, my best friend. How about you?


TBC . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.