Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Joshua
Daniel Pradipta
Ruangan
ini penuh dengan orang-orang yang tidak aku kenal. Oh, kecuali Maya. Dan,
sebenarnya, karena dia juga aku berada disini. Aku tidak perlu repot-repot
menebar senyum palsu, karena aku memang tidak mengenal mereka. Dan aku bukan
tipe orang yang suka berbasa-basi.
Am
I mad? Of course!
Disaat
aku bisa menghabiskan malam ini dengan Uki diatas ranjang, saling menjelajahi
tiap jengkal tubuh masing-masing. Aku malah berakhir disini. Nowhere and little
bit crowded.
“Jangan
pasang tampang seolah-olah gue baru aja ngajak lo ke pemakaman. Be nice,
Daniel!” Maya menggamit lenganku. Lebih tepat sedikit memberi cubitan disitu.
“Lo
sendiri yang bilang, gue gak jago akting, see? That’s why gue berakhir menjadi
technical, bukannya aktor.”
“Daniel
please? Help me!” Aku menatap Maya, sekali lagi, untuk meyakinkan bahwa pengorbananku
untuk berada disini tidak sia-sia. Well, kita bisa putar ke beberapa jam yang
lalu.
***
“Gue gak bisa May!” Aku berkata dengan
pasti. Jelas agar temanku itu paham akan maksudnya, bahwa memang aku tidak bisa
menemaninya ke acara pegelaran busana, apalah itu tadi.
“Please Dan? Gue harus bawa pasangan
nih.”
“Ask your husband then!”
Maya mengeluarkan umpatan pelan disana.
“Dia lagi di Manado, remember?”
“Evan?”
Maya semakin geram, “Gue bakalan kayak
ngajak adik gue kalau gue perginya bareng Evan.”
“I can hear you, bitch!” Evan setengah
berteriak dari tempatnya duduk tidak jauh dari Reno. Aku memang me-loud speaker
telepon dari Maya ini yang kata dia tadi emergency.
“Uki? You there? Please, rayuin bini lo
ini biar mau nemenin gue.” Aku berbalik menatap Uki yang tengah asik dengan
game xbox baruku barengan Reno. Kita berempat sedang berada di apartmentku
ketika si monyet itu telepon. Dan that xbox, aku beli khusus untuk Uki. I mean,
dia harus mulai diajari bagaimana caranya bermain game, agar bisa lebih sering
bisa menghandle Fadil kan?
Sekarang, dia ketagihan.
“Oke, gue bisa mastiin dia bakal jemput
lo malam ini. Jam tujuh. Pas!”
“I hate you.” Kata-kata itu aku
tunjukkan untuk Uki, dia hanya nyengir.
“Oke, problem solved. See you soon
Dan.” Klik. Sambungan telepon dimatikan. Semudah itu Maya merayuku untuk
menjadi pertnernya.
***
And,
here I am now. Bukan berarti aku tidak menikmati semuanya ya. Well, koleksi
summer dari siapa tadi? Nama designernya? Maklum, aku kebiasaan make merk
impor. Sombong? Enggak, ini fakta.
Oya,
Satria. Dan sekarang, Maya juga menghilang. Perfect! Aku melangkah ke meja
tempat bartender menyajikan beberapa minuman berakohol dengan ketrampilannya.
“Brendi,”
Kataku sambil duduk di meja bartender. Kata Maya, banyak sutradara dan artis
berkeliaran disini. Dia menyarankan aku untuk mengobrol dengan meraka, siapa
tahu mereka tertarik untuk menawarkan sebuah film untuk aku perankan. No,
thanks.
Tanpa
jadi selebritas saja, aku sudah cukup terkenal.
“Hei
handsome.” Seorang perempuan cantik, ramping, aku taksir tingginya mungkin
sekitar seratus tujuh puluhan centi. Not my concern.
Dia
duduk disebelahku, melipat pahanya sehingga gaun belah pinggirnya, memamerkan
kulit pahanya yang mulus dan berwarna kecoklatan. I love that skin. But, not
interest with woman.
“Sendirian?”
Tanyanya sekali lagi.
“Sama
temen.”
“Single?”
Wow, perempuan jaman sekarang, enggak kenal basa-basi ya? “Kenalin, nama gue
Andien. Kebetulan gue juga single. Gue dateng kesini sama kakak gue. Jordan.
Tuh! Yang lagi berdiri di dekat Satria, yang punya acara.” Selain, enggak kenal
yang namanya basa-basi, si Andien ini juga agak bawel. Aku mengikuti arah jari
telunjuk Andien. Cowok chinesse, tinggi, dan ganteng tengah menatap Andien dan
melambaikan tangannya. Dia sedang dalam perjalanan ke tempat dimana aku dan
Andien tengah berada.
“Lo
belum jawab pertanyaan gue, lo single?”
“Sorry,
Ndien. But I’m gay.”
Andien
menatapku sesaat, dia mengerjapkan matanya dengan gaya berlebihan namun tetap
luwes. “Oh, well, Jordan juga gay. Dan dia single! Shit! Ternyata radar gue
emang juara.” Tambahkan kata sinting untuk menggambarkan sosok Andien.
“Hi
sister.” Jordan, menyalami adik perempuannya dan menatapku bingung, tapi
tertarik. Aku tahu jenis tatapan itu. Aku cukup berpengalaman sering ditatap
dengan pandangan seperti itu.
“Koh,
ini kenalin Daniel.” Andien menatapku. “Dan, ini Jordan.”
Demi
kesopanan, aku menyalami Jordan. Menyebutkan namaku dan sedikit mengembangkan
senyum.
“Dan,
pulang yuk! Tugas kantor gue udah kelar.” Maya, muncul dari antah berantah.
“Oke,
bye Andien, bye Jordan.”
“Sapa
tadi?” Maya bertanya padaku setelah sudah agak jauh. Dan aku hanya mengangkat
bahuku untuk menjawab pertanyaannya. Don’t get me wrong, aku terjebak disini
juga karena Maya kan? Jadi kalau aku masih kesal padanya, it’s not a big deal.
***
Uki
Bagus Walantaga
Genap
enam bulan sudah aku berpacaran dengan Daniel. Well, enggak kerasa juga. Mama?
Tiap kali Daniel main ke rumah, yang katanya kangen sama Fadil, Mama selalu
merecokki Daniel dengan foto-foto perempuan. Serius deh, aku saja enggak habis
pikir sama cara berpikirnya mamaku. Mungkin dia berpikir bahwa menjodohkan
Daniel terasa lebih mudah daripada menjodohkanku. Well, nice try mom.
Bagaimanapun juga, entah mengapa aku merasa mamaku menganggap Daniel seperti
anaknya sendiri. Hanya saja, belum sepenuhnya menerima fakta bahwa kita berdua
in relationship. Serious one.
Guess
what? Hari ini gantengku itu ulang tahun. Semalam, yah, harus aku akui,
akhir-akhir ini aku lebih sering menginap di apartment Daniel daripada pulang
ke rumah. Daniel is my home. Aku belum juga mengucapkan happy birthday
untuknya. Sengaja, surprise.
Padahal,
sebenarnya, aku juga sudah mempersiapkan kado untuk gantengku.
Nyari
kado buat si ganteng itu susah. Bukan susah karena dia enggak gampang ditebak,
tapi susah. Karena kesukaan Daniel itu buanyaaaak. Makanan, dia hampir pemakan
segalanya.
Kalau
benda, kasih saja barang-barang branded, pasti dia suka. Tapi mahal. Well, aku
bukannya pelit. Tapi kan Daniel sudah mempunyai hampir semua koleksi. Jadi
kalau aku tambahain, yah, kayak menabur garam ke lautan kan? Oke, it’s me
trying banget buat ngeles.
Jadi,
kemarin aku minta advice dari Maya dan Evan. Aku mengajak kedua sahabat Daniel
itu buat lunch bareng. Untungnya, Daniel sedang makan siang bareng big boss dan
client-nya. Aku sengaja absen ikut.
“Beliin koleksinya Andrew Christian
aja, underwearnya seksi-seksi lho.” Ini usul dari Maya, yang aku tolak sehabis
aku mengecek halam website Andrew Christian.
“Jam tangan baru?”
“Daniel udah punya lima jam tangan,
yang selalu dia pakai berbeda tiap harinya. Mau aku tambahin dua aja ya biar
genep jadi seminggu?”
“Nyinyir.” Maya tertawa.
“Kayaknya Daniel lebih seneng kalau
punya quality time bareng pas dia birthday, dia kan anaknya gampang ditebak.
Maunya banyak, tapi kan gak mungkin lo jabanin semua.”
“Lamar aja.” Aku hampir kesedak
minumanku gara-gara omongan Maya. Kalau boleh jujur, secara watak, Maya ini
kayak Daniel, versi perempuan.
“Hubungan lo sama Daniel ini harus
diputusin dari awal, serius atau yang ujung-ujungnya pisah karena harus kawin
sama cewek. Kata gue sih ya, Daniel kayaknya enggak bakal kawin sama cewek.
Tapi elo kan gue enggak tahu Ki, pernah bicarain ini serius ke Daniel? Kalian
punya keluarga. Tanggung jawab elo juga gede sebagai anak pertama. Well, tapi
diawal harus diomongin kan? Biar clear, mau dibawa kemana ntarnya. Kalau
ujung-ujungnya pisah, jangan kasih kado mahal-mahal, ntar nyesek. Jangan ikut
paham ‘jalanin aja dulu’. Ajaran sesat itu.” Advice dari Maya ini agak ngaco tapi
bener banget.
Pasti
tadi ada potong kue di kantor, tradisi kantor tiap ada yang ultah.
Beruntungnya, aku tadi harus ke client untuk promote beberapa aplikasi dan new
flavour. Jadi, aku bisa terus pura-pura lupa. Tambahan, aku juga membujuk Evan
agar memanas-manasi si ganteng kenapa aku belum mengucapkan selamat ulang tahun
untuknya.
Sekarang
aku sedang menuju kantor untuk menjemput Daniel karena dia enggak bawa mobil
tadi.
‘Dan,
aku tunggu di mobil ya? Aku males masuk kantor lagi. Aku udah di parkiran.’ Aku
bbm dia. Read, not replied. Well, dia uda ngambek.
Dan
ketika wajahnya muncul dari balik pintu kaca kantor, aku menahan senyum geliku.
Wajah gantengnya ditekuk. Masuk mobil tanpa bilang apa-apa. Aku bilang kangen,
dia cuman senyum asem sebentar.
Aku
mulai melajukan mobilku. Prentending kalau ini hari seperti hari-hari biasa
bukan ulang tahunnya.
Jakarta
sepertinya lagi baik, jalanan lancar. Enggak ada acara macet-macet enggak
jelas.
“Kok
kita enggak ke apartment?” Daniel bertanya tanpa menolehkan kepalanya kearahku.
“Aku
ada bisnis meeting bentar.”
“Anterin
aku pulang dulu Ki, aku capek mau tidur.” Suara ketusnya, ngambek tingkat Harry
Potter and The Half Blood Prince ini.
“Iya.”
Tentu saja aku tidak mengantar si ganteng ini pulang. Gagal dong ntar surprisenya.
Daniel
makin merajuk ketika aku mengajaknya ikut turun. Mengikutiku dari belakang
sambil menggerutu.
***
Joshua
Daniel Pradipta.
Morning
Indonesia. Hahaha, gila! Tapi aku memang tengah gila. I am now, how should I
say this? Uum, didalam pelukan Uki, in bed, at the suite of Ritz-Carlton
Pacific Place.
Uki
do this, yah, orang yang perhitunganya tingkat dewa itu menghambur-hamburkan
uangnya di hari ulang tahunku. Aku memaafkannya, memaafkannya yang mengucapkan
selamat ulang tahun tepat jam sembilan malam di hari ulang tahunku. Sambil
melucuti pakaianku, I might add.
I
wish, I didn’t have to go to work. But we have to. Kita berdua mengajukan cuti
setengah hari secara mendadak, dan barengan. Bodoh deh, kalau Bimo mau curiga
juga.
Dan,
my favorite man, dia masih tertidur pulas disampingku. Kelelahan kali ya
pacarku itu ngegenjot aku beberapa ronde semalam. Aku memandangi cincin emas
putih minimalis yang semalam Uki beri. Uki, tahu aku tidak menyukai warna gold.
Aku
juga melihat jari Uki yang tersemat cincin yang sama.
Dia
bilang, dia mau serius. Enggak bakal ada acara putus karena harus nikah sama
cewek. That’s romantic.
Yah,
walaupun the way Uki mengatakannya enggak romantis, at all. Muka canggung,
blushing, sambil tanganya garuk-garuk kepala, he said, “ Daniel, mau enggak
kamu jadi partner hidupku, sepanjang sisa hidup kita?”
Sekarang
aku yakin, I love him. Bukan lagi karena dia berbeda atau apalah. I love him,
because he’s Uki. In one packet.
Jadi,
begitu pacarku itu ngulet, sedikit membuka matanya, aku langsung menciumnya,
memeluknya.
Dia
tersenyum, “Suka enggak surprisenya?”
“Enggak
cukup ya, everything I did last night and this morning untuk nunjukkin kalau
aku seneng?”
Dan
pacarku itu senyum salting, how cute! “Glad you like the surprise Dan. I love you.”
Aku
memeluknya lagi dong. Aku sudah sikat gigi kok tadi. Well, Uki enggak suka
nyium aku yang belum gosok gigi. Bukan berarti aku enggak suka nyium dia yang
baru bangun dan mungkin masih bau iler, kan?
Aku
menciumnya, yah mumpung dia masih naked juga. “Sayang, kita masih punya banyak
waktu ini sebelum ke kantor.”
“Mau
lagi kamu? Susah ya jadi pacar kamu itu. Horny-an mulu.”
Aku
menyibakkan selimutnya. Well, kayak dia enggak mau aja.
“Bentar
ya Dan, aku pipis dulu.” Hasem! Baru juga mau aku isep.
***
“Hei,
Koh Daniel ya?” Aku memandangi cowok putih yang barusan menepuk punggungku.
“Ya?”
Aku memang pernah melihatnya, somewhere, tapi aku beneran enggak ingat namanya.
“Jordan
koh, masih inget kan?”
“Yah,
well, I do. Apa kabar?” The big fat lie! Padahal aku lupa.
“Baik
Koh, lagi mau nonton juga koh? Sendirian?”
Aku
menggeleng sambil menunjuk pacarku yang tengah membeli popcorn and soft drink.
“Sama bf.”
“Ooh,
udah punya ya.” Ini anak lucu. “Aku juga sama gebetan koh, itu yang lagi duduk
dibawah poster American Sniper.”
Enggak
mungkin ini kebetulan. Atau memang kebetulan? Biar kayak ftv-ftv gaje gitu?
Tebak, saudara-saudara, siapa gebetannya Jordan? Ta---da--, Hendri. Benar-benar
PK ya itu orang. Ckckck, dan si Rasjid betah gitu sama kelakuan pacarnya yang
PK ini? Atau dia enggak tahu apa-apa? Karma? Bodolah, bukan urusanku lagi.
“Eh,
gue masuk dulu ya. Udah mau mulai punya gue.”
“Oke,
have fun ya koh.”
Jujur,
aku tak tega melihat wajah lucunya kalau nanti dia sadar betapa asshole-nya si
Hendri. Ingetin enggak ya? Tapi ini kan, sudah bukan urusanku. Baru juga kenal.
Tapi enggak ngerti deh, ada semacam sifat pengen nge-protect Jordan aja.
“Siapa
tadi, sayang?” Ini Uki ngomongnya tepat di daun telinga. Tahu efeknya apa?
Bikin merinding sama ereksi. Oke, Uki emang bener, aku horny-an orangnya.
“Temen
waktu aku ikutan Maya, kemarin dulu itu lho.”
“Oh.
Eh, kokoh mau popcornya, enggak?”
“Ngeledek.”
Udah itu saja. Sehabis itu kita fokus kembali
sama filmnya. Oke, dia yang fokus sama filmnya, aku enggak. Jujur, karena aku
enggak terlalu suka film model ginian, film-film model detektif gini sama
sekali enggak minatku. Aku sukanya horror, biar bisa teriak-teriak –di bioskop,
dulu pas nonton The Conjuring, hampir semuanya teriak-teriak, jadi enggak bakal
ketahuan juga elo mau teriaknya ngondek juga, bukan berarti aku teriaknya
ngondek lho- romance comedy, yang somehow ngebuat aku optimis bahwa dua orang
yang saling mencintai pasti menemukan jalan untuk bersatu kembali. Anime,
kartun, iya model kayak How To Train Your Dragon, Pokemon, Big Hero 6,
Madagascar, pokoknya yang anime-anime gitu lah. Aku suka. One Piece, aaah!
Jadi,
karena kita duduk paling belakang dan pojok, aku mulai menaruh tanganku di paha
Uki. Seolah-olah tidak sengaja, tentu saja. Uki belum bereaksi. Pandangannya
masih lurus ke depan. Ini film menguntungkan, lebih banyak gelapnya.
Jemariku
merayap naik ke atas. Uki masih belum bereaksi.
Sekarang,
aku bangga dengan tangan kananku yang sudah melepas pengait celana jeans milik
Uki.
Dan,
pacarku itu, menoleh kearahku sambil melotot, “Kamu ngapain sih? Nonton yang
bener dong Dan!” Suaranya bisik-bisik gitu. Maksudnya, biar enggak kedengeran
sama yang lain.
Aku
memutuskan untuk menatap ke depan. Ya ampun, ini dua pria ngapain juga di film?
Yaiyalah, enggak nyimak dari awal, mana bisa ngerti?
Lima
menit berlalu, tanganku kembali ke tempat seharusnya tanganku berada. Ternyata,
pengait celananya belum dibenerin. Ketahuan, kode banget kan? Aku menurunkan
reslitingnya. Kali ini, Uki diam. Lampu hijau nih.
Aku
mengeluarkan penisnya yang sudah ereksi keluar dari celana dalam. Kali ini,
bukan hanya melotot. Tanganku juga dipindahkan paksa oleh Uki.
Sehabis
itu, dia menaikkan kakinya sebelah. Dan mepet ke ujung, membuat jarakku dan dia
semakin lebar.
Aargh,
kurang ajar! Batal deh fantasi ngisep di bioskopnya. -,-
***
Evan
Sutedjo
“Speechless
gue denger cerita lo. Lo ini ajaib banget ya? Enggak tahu malu lagi!”
“Halah,
kan gelap boo bioskopnya. Enggak ada yang merhatiin ini.” Daniel berkata sambil
mengambil kacang rebus yang tadi gue beli barengan dia di jembatan penyeberangan.
Iya, gue sama Daniel naik busway tadi. Mobilnya Daniel udah dijual.
Kenapa?
Lupa gue mau cerita, jadi pas ulang tahun kemarin, nyokapnya, tante Sophia
janji mau ngebeliin Daniel mobil baru. Baru janji lho ya. BMW seri berapa ya,
5201 deh kalau enggak salah. Bentar, gue browsing dulu. Maklum, gue anak HRD,
bukan teknik. 520i ding.
Begonya
Daniel, yah, karena ini anak juga enggak berpikiran panjang, Jazz nya udah
dijual gitu aja sama temen kantor dengan harga agak murah. Gile ini anak emang!
Sedeng! Padahal BMWnya sendiri masih proses. Ini gue enggak ngerti ya, antara
si Daniel ini percaya banget emaknya bakal beliin atau dia emang anaknya enggak
berpikir ke depan. Mungkin kombinasi keduanya?
“Boo,
emaknya Uki, kok kayak masih denial gitu ya, kalau gue sama anaknya itu
pacaran?” Ini gue sama Daniel bisa ngehabisin ini kacang rebus sebanyak gajah
beranak ini berdua aja lho. Hebat! Ini Daniel yang borong, alasannya, yang dia
bilang dengan muka polos, “Kasihan bapak-bapaknya yang jual ntar enggak bawa
duit ke rumah kalau kacangnya enggak laku.” Daniel banget. Lagipula, dia kan
habis punya duit banyak karena jual mobil.
“Trus
gimana kelanjutannya? Eh, bukannya uda baik-baik aja ya lo berdua?” Gue menuju
kulkas, mengambil soft drink. Makan kacang enggak diselingin minum itu bikin
seret.
“Kemarin
nyokapnya Uki telepon, gue belom cerita sih ke Uki.”
Gue
memotong dengan cepat, “Ngomong apa dia?”
“Dengerin
dulu nyet! Intinya sih dia bener-bener bangga gitu sama Uki, pengen anaknya
bahagia, punya bini, ngasih doi cucu. Gilak, kode banget gak sih itu? Biar gue
ngejauhin anaknya?” Daniel merebut soft drink yang tadi aku ambil.
“Jelas
kebaca sih itu. Lagian lo masih aja kegatelan suka main ke rumahnya Uki. Trus lo
bilang apa?”
Daniel
keluar dari kamar kost gue sebentar, celingukkan kebawah. “Mana laki lo? Belum
balik gawe?”
Gue
langsung mutung, “Lagi berantem gue sama dia.”
“Kok
bisa?”
“Halah,
jago lo ya ngalihin topik? Trus gimana? Lo jawab apa ke nyokapnya Uki?” Si
Daniel langsung mendung gitu mukanya.
“Gue
iyain aja. Tapi gue tetep bilang kalau gue beneran cinta sama Uki, eh ditutup
sama doi. Keparat banget enggak sih?”
“Hush!
Bibir lo ya! Gitu-gitu juga calon mertua lo.”
Daniel
menghembuskan nafas, “Kayaknya mungkin ntar gue bakal beneran di blacklist deh
sama nyokapnya. Ini baru nyokapnya lho, gimana kalau bokapnya juga tahu?
Digiles trus dijadiin popok bayi kali ya gue?”
“Kalau
tahu anaknya diajarin porno sama elo?”
Daniel
tertawa sambil menoyor kepala gue, gue balas enggak kalah kenceng. Jadi deh,
kita perang lempar-lemparan kacang. I know, I know. Kita emang kadang suka
kekanakkan.
“Trus
gimana cerita itu elo berantem sama si Reno?” Gue melihat ke sekeliling dan
ngeri sendiri. Ini ntar beresin kostnya bakal capek ini, kulit kacang
dimana-mana.
“Masalahnya
sepele banget Dan, sebenarnya.”
Daniel
langsung pasang wajah kepo, “Apa? What? What?”
“Jadi
kan, si Reno itu semenjak gue pacaran kan emang suka nyuruh gue ngabarin dia.
Gue lagi apa, mau jalan kemana, gitu-gitu deh. Nah, gue awal-awal sih biasa.
Tapi, lama-lama kesel dong gue.” Gue mengambil soft drink, meminumnya beberapa
teguk. “Gue kepencet bales ‘inggih ndoro bagus.’ Pas dia nyuruh gue pulang on
time kemarin dulu itu.”
“Cuman
gegara itu kalian berantem?”
“Dia
merembetnya kemana-mana tahu Dan? Dia bilang, apa gue ngerasa kayak jadi
pembantunya, pas pacaran ama dia, trus dia bilang apa selama ini dia terlalu
posesif ke gue?” Gue mengambil nafas dalam-dalam. Kalau dipikir-pikir, alasan
gue berantem sama Reno itu childish banget.
“Gue
waktu itu kan jadi ikut emosi kan? Ya udah, gue sekalian aja bilang kalau dia
itu emang posesif, cemburuan enggak jelas, enggak percayaan ama gue.”
“Trus?”
“Udah,
sampai sekarang kita belum ngobrol lagi. Gue juga males mau minta maaf duluan.”
“Laki
lo tuh lebih ajaib dari gue.”
Gue
merasa mendapat angin, karena dibela Daniel. Merasa kalau yang gue lakukan,
enggak buruk-buruk amat. “Nah, kan!”
“Tapi
lo harusnya juga bisa ngerti dong Van, dia kan sayang sama elo, wajar kalau dia
posesif.” Enggak jadi diatas angin. Gue jatuh menghempas tepat ke gunung
berlava!
“Uki
posesif?”
“Iya.”Cara
jawabnya Daniel yang lempeng ini lho, pengen gue jambak.
“Uki
cemburuan?”
“Banget.”
Gue
mendesah, “Tapi, at least, dia masih bisa diajak bercanda kan ya?”
Daniel
ngakak, yang beberapa saat kemudian menular ke gue. “Oke, this is bottom night
ya, kita abaikan para pejantan kita for a while. Gue punya bourbon, dari Pak
Anton tadi, wanna try?”
“I
bet, I won’t.”
***
Hendri
Subakti
“Hen,
apa gue aja enggak cukup buat elo?” Same question, yang bikin gue buat males
jawab. Rasjid masih memandangi gue dengan tatapan marah.
“Sayang,
gue sama Jordan enggak ada apa-apa.”
“Oh,
sekarang namanya Jordan. Kemarin Rendi, kemarinnya lagi Daniel. Gila lo ya!”
Rasjid memandangi gue lama, mungkin ada satu menitan sebelum akhirnya
meninggalkan gue sendirian.
Gue
terus terang, belum bisa ngelepasin Rasjid gitu aja. Enggak tahu kenapa, gue
kayak ngrasa Rasjid itu ‘home’ gue.
Gue
berjalan menuju almari, membukanya dan mengambil handuk yang belum gue
apa-apain semenjak dipakai Daniel buat mengeringkan keringatnya. Gue
menciuminya sebentar. “Daniel, Daniel, apa gue pelet aja elo ya?”
Kalau
demi Daniel, gue kayaknya rela buat ngelepas Rasjid.
***
Uki
Bagus Walantaga
Si
ganteng, sekarang lagi sakit. Dan manjanya itu lho, udah kayak bayi!
Dikit-dikit merajuk pengen ini itu. Aku memastikan, bahwa sup ayamku sudah
tidak terlalu panas, sebelum aku menyuapkannya ke Daniel. Yang, btw, tengah
menonton frozen, entah sudah ke berapa kali.
“Sayang,
aaak dong.” See? Udah kayak ngurus bayi aja kan aku? Daniel, untungnya nurut.
Dia membuka bibirnya. Lagipula, sekali lagi, dia yang pemakan segalanya,
membuatku engga repot buat ngasih makan apa. Tapi tetep, ayam itu favoritnya.
Bisa makan berkali-kali dalam sehari tanpa bosen.
Aku
memeriksa suhu tubuhnya yang memang masih panas. Bergulung-gulung tissue bekas
ingusnya berserakkan dimana-mana. Aku, walaupun pengen ngeluh tapi enggak bisa.
Aku tak tega.
“Obatnya
diminum dulu sayang,”
“Ki,
sini dong, aku pengen meluk kamu.” Manjanya si ganteng. Aku takut ketularan
fluenya sih sebenarnya. Tapi sebodo lah, kalaupun aku nanti ketularan, giliran
dia yang ngerawat kan? Terus nular ke dia lagi, dia sembuh, nular ke aku lagi.
Gitu aja terus sampai Jakarta enggak pernah macet lagi. Bercanda, hehehe.
“Minum
obat dulu ya?” Si ganteng ngangguk.
Maka
sekarang, aku berada didalam selimut yang sama dengan Daniel. Tanganku
memeluknya dari belakang, mengelus-elus lembut perutnya. “Kamu kok kayak
gendutan ya Dan?”
Slurp,
slarp, slurp, Daniel ngluarin ingusnya pakai tissue, trus di lempar begitu
saja. Joroknya ini gantengku. Untung aku cinta sama kamu Dan.
“Masa
sih Ki? Enggak ah, kamu mengada-ada.” Ini agak sensitif soalnya. Masalah perut
ini. Daniel ini kan bangga banget sama sixpack sempurnanya. Tapi gimana ya,
kalau tiap pagi, setiap aku masakkin dia sarapan, dia bisa nambah sampai tiga
kali. Ditambah, sudah hampir sebulan ini Daniel absen ngegym.
“Kalau
aku gendut, kamu masih suka? Masih horny?” Tiba-tiba banget si ganteng nanya
beginian. Kan jarang banget. Typikal PD mampus kayak Daniel ini nanya tentang
fisiknya yang dia sendiri tahu sangat menarik.
“Kok
ganteng nanyanya gitu?”
“Iseng
aja Ki, emang aku gendutan beneran ya?” Tuhkan langsung parno kalau dibilang
gendut.
Tanganku
mengelus perutnya. Emang agak buncitan dikit. Kayaknya, aku terlalu
memanjakannya lewat masakanku deh. Musti dikurangi ini. “Mau jadi gendut, mau
menua, kamu tetep yang terganteng kok buatku.”
Gantengku
tersenyum. Aargh, cinta mati aku!
“Kalau
nanti kelurga kamu minta kamu pisah sama aku?” Aku terdiam. Aku tahu ibuku sama
sekali belum bisa menerima Daniel as myboyfriend. Dan tinggal masalah waktu
hingga beliau mengatakannya secara jelas. Aku selalu berusaha berpikir, kalau
saat itu masih jauh. Tapi bukannya aku sudah mengambil komitmen? Komitmen bahwa
aku akan menua bersama Daniel? Orang tuaku jelas tidak akan menua bersamaku.
Kalau mereka meninggal, dan aku menikah dengan orang yang salah karena
permintaan mereka, yang mengalaminya sampai tua siapa? Yang bakalan menderita
siapa? Aku.
Cerai
saja, kalau orangtuamu sudah meninggal. Hah! Ngomong gampang. Aku bukan tipe
seperti itu. Aku menjunjung tinggi sebuah komitment. Even, komitmen buat yang
kata orang salah, sakit, abnormal, seperti yang sedang aku jalani bersama
Daniel ini.
“Kamu
kok ngomongnya gitu sih Dan? Bobo gih, biar cepet sembuh.” Daniel diam. Selang
beberapa menit, aku sudah mendengarnya mendengkur. Lebih keras karena mungkin
efek si ganteng lagi flu kali ya?
Berapa
waktu yang aku punya sampai orangtuaku menodongku dengan ancaman pilih mereka
atau Daniel? Aku menangis dalam diam.
Enggak
pengen lepasin kamu ganteng.
Enggak
pengen.
Tapi
keluarga juga penting.
It’s
hurt, you know? I have no idea to deal with this one.
TBC
. . .
siapapun yg nulis ini, pacaran yuuukk :D :D
BalasHapus*keren abis