FOLLOW ME

Senin, 02 Maret 2015

BOTTOM 11

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Joshua Daniel Pradipta
Ruangan ini penuh dengan orang-orang yang tidak aku kenal. Oh, kecuali Maya. Dan, sebenarnya, karena dia juga aku berada disini. Aku tidak perlu repot-repot menebar senyum palsu, karena aku memang tidak mengenal mereka. Dan aku bukan tipe orang yang suka berbasa-basi.
Am I mad? Of course!
Disaat aku bisa menghabiskan malam ini dengan Uki diatas ranjang, saling menjelajahi tiap jengkal tubuh masing-masing. Aku malah berakhir disini. Nowhere and little bit crowded.
“Jangan pasang tampang seolah-olah gue baru aja ngajak lo ke pemakaman. Be nice, Daniel!” Maya menggamit lenganku. Lebih tepat sedikit memberi cubitan disitu.
“Lo sendiri yang bilang, gue gak jago akting, see? That’s why gue berakhir menjadi technical, bukannya aktor.”
“Daniel please? Help me!” Aku menatap Maya, sekali lagi, untuk meyakinkan bahwa pengorbananku untuk berada disini tidak sia-sia. Well, kita bisa putar ke beberapa jam yang lalu.
***

“Gue gak bisa May!” Aku berkata dengan pasti. Jelas agar temanku itu paham akan maksudnya, bahwa memang aku tidak bisa menemaninya ke acara pegelaran busana, apalah itu tadi.
“Please Dan? Gue harus bawa pasangan nih.”
“Ask your husband then!”
Maya mengeluarkan umpatan pelan disana. “Dia lagi di Manado, remember?”
“Evan?”
Maya semakin geram, “Gue bakalan kayak ngajak adik gue kalau gue perginya bareng Evan.”
“I can hear you, bitch!” Evan setengah berteriak dari tempatnya duduk tidak jauh dari Reno. Aku memang me-loud speaker telepon dari Maya ini yang kata dia tadi emergency.
“Uki? You there? Please, rayuin bini lo ini biar mau nemenin gue.” Aku berbalik menatap Uki yang tengah asik dengan game xbox baruku barengan Reno. Kita berempat sedang berada di apartmentku ketika si monyet itu telepon. Dan that xbox, aku beli khusus untuk Uki. I mean, dia harus mulai diajari bagaimana caranya bermain game, agar bisa lebih sering bisa menghandle Fadil kan?
Sekarang, dia ketagihan.
“Oke, gue bisa mastiin dia bakal jemput lo malam ini. Jam tujuh. Pas!”
“I hate you.” Kata-kata itu aku tunjukkan untuk Uki, dia hanya nyengir.
“Oke, problem solved. See you soon Dan.” Klik. Sambungan telepon dimatikan. Semudah itu Maya merayuku untuk menjadi pertnernya.
***

And, here I am now. Bukan berarti aku tidak menikmati semuanya ya. Well, koleksi summer dari siapa tadi? Nama designernya? Maklum, aku kebiasaan make merk impor. Sombong? Enggak, ini fakta.
Oya, Satria. Dan sekarang, Maya juga menghilang. Perfect! Aku melangkah ke meja tempat bartender menyajikan beberapa minuman berakohol dengan ketrampilannya.
“Brendi,” Kataku sambil duduk di meja bartender. Kata Maya, banyak sutradara dan artis berkeliaran disini. Dia menyarankan aku untuk mengobrol dengan meraka, siapa tahu mereka tertarik untuk menawarkan sebuah film untuk aku perankan. No, thanks.
Tanpa jadi selebritas saja, aku sudah cukup terkenal.
“Hei handsome.” Seorang perempuan cantik, ramping, aku taksir tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluhan centi. Not my concern.
Dia duduk disebelahku, melipat pahanya sehingga gaun belah pinggirnya, memamerkan kulit pahanya yang mulus dan berwarna kecoklatan. I love that skin. But, not interest with woman.
“Sendirian?” Tanyanya sekali lagi.
“Sama temen.”
“Single?” Wow, perempuan jaman sekarang, enggak kenal basa-basi ya? “Kenalin, nama gue Andien. Kebetulan gue juga single. Gue dateng kesini sama kakak gue. Jordan. Tuh! Yang lagi berdiri di dekat Satria, yang punya acara.” Selain, enggak kenal yang namanya basa-basi, si Andien ini juga agak bawel. Aku mengikuti arah jari telunjuk Andien. Cowok chinesse, tinggi, dan ganteng tengah menatap Andien dan melambaikan tangannya. Dia sedang dalam perjalanan ke tempat dimana aku dan Andien tengah berada.
“Lo belum jawab pertanyaan gue, lo single?”
“Sorry, Ndien. But I’m gay.”
Andien menatapku sesaat, dia mengerjapkan matanya dengan gaya berlebihan namun tetap luwes. “Oh, well, Jordan juga gay. Dan dia single! Shit! Ternyata radar gue emang juara.” Tambahkan kata sinting untuk menggambarkan sosok Andien.
“Hi sister.” Jordan, menyalami adik perempuannya dan menatapku bingung, tapi tertarik. Aku tahu jenis tatapan itu. Aku cukup berpengalaman sering ditatap dengan pandangan seperti itu.
“Koh, ini kenalin Daniel.” Andien menatapku. “Dan, ini Jordan.”
Demi kesopanan, aku menyalami Jordan. Menyebutkan namaku dan sedikit mengembangkan senyum.
“Dan, pulang yuk! Tugas kantor gue udah kelar.” Maya, muncul dari antah berantah.
“Oke, bye Andien, bye Jordan.”
“Sapa tadi?” Maya bertanya padaku setelah sudah agak jauh. Dan aku hanya mengangkat bahuku untuk menjawab pertanyaannya. Don’t get me wrong, aku terjebak disini juga karena Maya kan? Jadi kalau aku masih kesal padanya, it’s not a big deal.
***

Uki Bagus Walantaga
Genap enam bulan sudah aku berpacaran dengan Daniel. Well, enggak kerasa juga. Mama? Tiap kali Daniel main ke rumah, yang katanya kangen sama Fadil, Mama selalu merecokki Daniel dengan foto-foto perempuan. Serius deh, aku saja enggak habis pikir sama cara berpikirnya mamaku. Mungkin dia berpikir bahwa menjodohkan Daniel terasa lebih mudah daripada menjodohkanku. Well, nice try mom. Bagaimanapun juga, entah mengapa aku merasa mamaku menganggap Daniel seperti anaknya sendiri. Hanya saja, belum sepenuhnya menerima fakta bahwa kita berdua in relationship. Serious one.
Guess what? Hari ini gantengku itu ulang tahun. Semalam, yah, harus aku akui, akhir-akhir ini aku lebih sering menginap di apartment Daniel daripada pulang ke rumah. Daniel is my home. Aku belum juga mengucapkan happy birthday untuknya. Sengaja, surprise.
Padahal, sebenarnya, aku juga sudah mempersiapkan kado untuk gantengku.
Nyari kado buat si ganteng itu susah. Bukan susah karena dia enggak gampang ditebak, tapi susah. Karena kesukaan Daniel itu buanyaaaak. Makanan, dia hampir pemakan segalanya.
Kalau benda, kasih saja barang-barang branded, pasti dia suka. Tapi mahal. Well, aku bukannya pelit. Tapi kan Daniel sudah mempunyai hampir semua koleksi. Jadi kalau aku tambahain, yah, kayak menabur garam ke lautan kan? Oke, it’s me trying banget buat ngeles.
Jadi, kemarin aku minta advice dari Maya dan Evan. Aku mengajak kedua sahabat Daniel itu buat lunch bareng. Untungnya, Daniel sedang makan siang bareng big boss dan client-nya. Aku sengaja absen ikut.
“Beliin koleksinya Andrew Christian aja, underwearnya seksi-seksi lho.” Ini usul dari Maya, yang aku tolak sehabis aku mengecek halam website Andrew Christian.
“Jam tangan baru?”
“Daniel udah punya lima jam tangan, yang selalu dia pakai berbeda tiap harinya. Mau aku tambahin dua aja ya biar genep jadi seminggu?”
“Nyinyir.” Maya tertawa.
“Kayaknya Daniel lebih seneng kalau punya quality time bareng pas dia birthday, dia kan anaknya gampang ditebak. Maunya banyak, tapi kan gak mungkin lo jabanin semua.”
“Lamar aja.” Aku hampir kesedak minumanku gara-gara omongan Maya. Kalau boleh jujur, secara watak, Maya ini kayak Daniel, versi perempuan.
“Hubungan lo sama Daniel ini harus diputusin dari awal, serius atau yang ujung-ujungnya pisah karena harus kawin sama cewek. Kata gue sih ya, Daniel kayaknya enggak bakal kawin sama cewek. Tapi elo kan gue enggak tahu Ki, pernah bicarain ini serius ke Daniel? Kalian punya keluarga. Tanggung jawab elo juga gede sebagai anak pertama. Well, tapi diawal harus diomongin kan? Biar clear, mau dibawa kemana ntarnya. Kalau ujung-ujungnya pisah, jangan kasih kado mahal-mahal, ntar nyesek. Jangan ikut paham ‘jalanin aja dulu’. Ajaran sesat itu.” Advice dari Maya ini agak ngaco tapi bener banget.
Pasti tadi ada potong kue di kantor, tradisi kantor tiap ada yang ultah. Beruntungnya, aku tadi harus ke client untuk promote beberapa aplikasi dan new flavour. Jadi, aku bisa terus pura-pura lupa. Tambahan, aku juga membujuk Evan agar memanas-manasi si ganteng kenapa aku belum mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.
Sekarang aku sedang menuju kantor untuk menjemput Daniel karena dia enggak bawa mobil tadi.
‘Dan, aku tunggu di mobil ya? Aku males masuk kantor lagi. Aku udah di parkiran.’ Aku bbm dia. Read, not replied. Well, dia uda ngambek.
Dan ketika wajahnya muncul dari balik pintu kaca kantor, aku menahan senyum geliku. Wajah gantengnya ditekuk. Masuk mobil tanpa bilang apa-apa. Aku bilang kangen, dia cuman senyum asem sebentar.
Aku mulai melajukan mobilku. Prentending kalau ini hari seperti hari-hari biasa bukan ulang tahunnya.
Jakarta sepertinya lagi baik, jalanan lancar. Enggak ada acara macet-macet enggak jelas.
“Kok kita enggak ke apartment?” Daniel bertanya tanpa menolehkan kepalanya kearahku.
“Aku ada bisnis meeting bentar.”
“Anterin aku pulang dulu Ki, aku capek mau tidur.” Suara ketusnya, ngambek tingkat Harry Potter and The Half Blood Prince ini.
“Iya.” Tentu saja aku tidak mengantar si ganteng ini pulang. Gagal dong ntar surprisenya.
Daniel makin merajuk ketika aku mengajaknya ikut turun. Mengikutiku dari belakang sambil menggerutu.
***

Joshua Daniel Pradipta.
Morning Indonesia. Hahaha, gila! Tapi aku memang tengah gila. I am now, how should I say this? Uum, didalam pelukan Uki, in bed, at the suite of Ritz-Carlton Pacific Place.
Uki do this, yah, orang yang perhitunganya tingkat dewa itu menghambur-hamburkan uangnya di hari ulang tahunku. Aku memaafkannya, memaafkannya yang mengucapkan selamat ulang tahun tepat jam sembilan malam di hari ulang tahunku. Sambil melucuti pakaianku, I might add.
I wish, I didn’t have to go to work. But we have to. Kita berdua mengajukan cuti setengah hari secara mendadak, dan barengan. Bodoh deh, kalau Bimo mau curiga juga.
Dan, my favorite man, dia masih tertidur pulas disampingku. Kelelahan kali ya pacarku itu ngegenjot aku beberapa ronde semalam. Aku memandangi cincin emas putih minimalis yang semalam Uki beri. Uki, tahu aku tidak menyukai warna gold.
Aku juga melihat jari Uki yang tersemat cincin yang sama.
Dia bilang, dia mau serius. Enggak bakal ada acara putus karena harus nikah sama cewek. That’s romantic.
Yah, walaupun the way Uki mengatakannya enggak romantis, at all. Muka canggung, blushing, sambil tanganya garuk-garuk kepala, he said, “ Daniel, mau enggak kamu jadi partner hidupku, sepanjang sisa hidup kita?”
Sekarang aku yakin, I love him. Bukan lagi karena dia berbeda atau apalah. I love him, because he’s Uki. In one packet.
Jadi, begitu pacarku itu ngulet, sedikit membuka matanya, aku langsung menciumnya, memeluknya.
Dia tersenyum, “Suka enggak surprisenya?”
“Enggak cukup ya, everything I did last night and this morning untuk nunjukkin kalau aku seneng?”
Dan pacarku itu senyum salting, how cute! “Glad you like the surprise Dan. I love you.”
Aku memeluknya lagi dong. Aku sudah sikat gigi kok tadi. Well, Uki enggak suka nyium aku yang belum gosok gigi. Bukan berarti aku enggak suka nyium dia yang baru bangun dan mungkin masih bau iler, kan?
Aku menciumnya, yah mumpung dia masih naked juga. “Sayang, kita masih punya banyak waktu ini sebelum ke kantor.”
“Mau lagi kamu? Susah ya jadi pacar kamu itu. Horny-an mulu.”
Aku menyibakkan selimutnya. Well, kayak dia enggak mau aja.
“Bentar ya Dan, aku pipis dulu.” Hasem! Baru juga mau aku isep.
***

“Hei, Koh Daniel ya?” Aku memandangi cowok putih yang barusan menepuk punggungku.
“Ya?” Aku memang pernah melihatnya, somewhere, tapi aku beneran enggak ingat namanya.
“Jordan koh, masih inget kan?”
“Yah, well, I do. Apa kabar?” The big fat lie! Padahal aku lupa.
“Baik Koh, lagi mau nonton juga koh? Sendirian?”
Aku menggeleng sambil menunjuk pacarku yang tengah membeli popcorn and soft drink. “Sama bf.”
“Ooh, udah punya ya.” Ini anak lucu. “Aku juga sama gebetan koh, itu yang lagi duduk dibawah poster American Sniper.”
Enggak mungkin ini kebetulan. Atau memang kebetulan? Biar kayak ftv-ftv gaje gitu? Tebak, saudara-saudara, siapa gebetannya Jordan? Ta---da--, Hendri. Benar-benar PK ya itu orang. Ckckck, dan si Rasjid betah gitu sama kelakuan pacarnya yang PK ini? Atau dia enggak tahu apa-apa? Karma? Bodolah, bukan urusanku lagi.
“Eh, gue masuk dulu ya. Udah mau mulai punya gue.”
“Oke, have fun ya koh.”
Jujur, aku tak tega melihat wajah lucunya kalau nanti dia sadar betapa asshole-nya si Hendri. Ingetin enggak ya? Tapi ini kan, sudah bukan urusanku. Baru juga kenal. Tapi enggak ngerti deh, ada semacam sifat pengen nge-protect  Jordan aja.
“Siapa tadi, sayang?” Ini Uki ngomongnya tepat di daun telinga. Tahu efeknya apa? Bikin merinding sama ereksi. Oke, Uki emang bener, aku horny-an orangnya.
“Temen waktu aku ikutan Maya, kemarin dulu itu lho.”
“Oh. Eh, kokoh mau popcornya, enggak?”
“Ngeledek.”
 Udah itu saja. Sehabis itu kita fokus kembali sama filmnya. Oke, dia yang fokus sama filmnya, aku enggak. Jujur, karena aku enggak terlalu suka film model ginian, film-film model detektif gini sama sekali enggak minatku. Aku sukanya horror, biar bisa teriak-teriak –di bioskop, dulu pas nonton The Conjuring, hampir semuanya teriak-teriak, jadi enggak bakal ketahuan juga elo mau teriaknya ngondek juga, bukan berarti aku teriaknya ngondek lho- romance comedy, yang somehow ngebuat aku optimis bahwa dua orang yang saling mencintai pasti menemukan jalan untuk bersatu kembali. Anime, kartun, iya model kayak How To Train Your Dragon, Pokemon, Big Hero 6, Madagascar, pokoknya yang anime-anime gitu lah. Aku suka. One Piece, aaah!
Jadi, karena kita duduk paling belakang dan pojok, aku mulai menaruh tanganku di paha Uki. Seolah-olah tidak sengaja, tentu saja. Uki belum bereaksi. Pandangannya masih lurus ke depan. Ini film menguntungkan, lebih banyak gelapnya.
Jemariku merayap naik ke atas. Uki masih belum bereaksi.
Sekarang, aku bangga dengan tangan kananku yang sudah melepas pengait celana jeans milik Uki.
Dan, pacarku itu, menoleh kearahku sambil melotot, “Kamu ngapain sih? Nonton yang bener dong Dan!” Suaranya bisik-bisik gitu. Maksudnya, biar enggak kedengeran sama yang lain.
Aku memutuskan untuk menatap ke depan. Ya ampun, ini dua pria ngapain juga di film? Yaiyalah, enggak nyimak dari awal, mana bisa ngerti?
Lima menit berlalu, tanganku kembali ke tempat seharusnya tanganku berada. Ternyata, pengait celananya belum dibenerin. Ketahuan, kode banget kan? Aku menurunkan reslitingnya. Kali ini, Uki diam. Lampu hijau nih.
Aku mengeluarkan penisnya yang sudah ereksi keluar dari celana dalam. Kali ini, bukan hanya melotot. Tanganku juga dipindahkan paksa oleh Uki.
Sehabis itu, dia menaikkan kakinya sebelah. Dan mepet ke ujung, membuat jarakku dan dia semakin lebar.
Aargh, kurang ajar! Batal deh fantasi ngisep di bioskopnya. -,-
***

Evan Sutedjo
“Speechless gue denger cerita lo. Lo ini ajaib banget ya? Enggak tahu malu lagi!”
“Halah, kan gelap boo bioskopnya. Enggak ada yang merhatiin ini.” Daniel berkata sambil mengambil kacang rebus yang tadi gue beli barengan dia di jembatan penyeberangan. Iya, gue sama Daniel naik busway tadi. Mobilnya Daniel udah dijual.
Kenapa? Lupa gue mau cerita, jadi pas ulang tahun kemarin, nyokapnya, tante Sophia janji mau ngebeliin Daniel mobil baru. Baru janji lho ya. BMW seri berapa ya, 5201 deh kalau enggak salah. Bentar, gue browsing dulu. Maklum, gue anak HRD, bukan teknik. 520i ding.
Begonya Daniel, yah, karena ini anak juga enggak berpikiran panjang, Jazz nya udah dijual gitu aja sama temen kantor dengan harga agak murah. Gile ini anak emang! Sedeng! Padahal BMWnya sendiri masih proses. Ini gue enggak ngerti ya, antara si Daniel ini percaya banget emaknya bakal beliin atau dia emang anaknya enggak berpikir ke depan. Mungkin kombinasi keduanya?
“Boo, emaknya Uki, kok kayak masih denial gitu ya, kalau gue sama anaknya itu pacaran?” Ini gue sama Daniel bisa ngehabisin ini kacang rebus sebanyak gajah beranak ini berdua aja lho. Hebat! Ini Daniel yang borong, alasannya, yang dia bilang dengan muka polos, “Kasihan bapak-bapaknya yang jual ntar enggak bawa duit ke rumah kalau kacangnya enggak laku.” Daniel banget. Lagipula, dia kan habis punya duit banyak karena jual mobil.
“Trus gimana kelanjutannya? Eh, bukannya uda baik-baik aja ya lo berdua?” Gue menuju kulkas, mengambil soft drink. Makan kacang enggak diselingin minum itu bikin seret.
“Kemarin nyokapnya Uki telepon, gue belom cerita sih ke Uki.”
Gue memotong dengan cepat, “Ngomong apa dia?”
“Dengerin dulu nyet! Intinya sih dia bener-bener bangga gitu sama Uki, pengen anaknya bahagia, punya bini, ngasih doi cucu. Gilak, kode banget gak sih itu? Biar gue ngejauhin anaknya?” Daniel merebut soft drink yang tadi aku ambil.
“Jelas kebaca sih itu. Lagian lo masih aja kegatelan suka main ke rumahnya Uki. Trus lo bilang apa?”
Daniel keluar dari kamar kost gue sebentar, celingukkan kebawah. “Mana laki lo? Belum balik gawe?”
Gue langsung mutung, “Lagi berantem gue sama dia.”
“Kok bisa?”
“Halah, jago lo ya ngalihin topik? Trus gimana? Lo jawab apa ke nyokapnya Uki?” Si Daniel langsung mendung gitu mukanya.
“Gue iyain aja. Tapi gue tetep bilang kalau gue beneran cinta sama Uki, eh ditutup sama doi. Keparat banget enggak sih?”
“Hush! Bibir lo ya! Gitu-gitu juga calon mertua lo.”
Daniel menghembuskan nafas, “Kayaknya mungkin ntar gue bakal beneran di blacklist deh sama nyokapnya. Ini baru nyokapnya lho, gimana kalau bokapnya juga tahu? Digiles trus dijadiin popok bayi kali ya gue?”
“Kalau tahu anaknya diajarin porno sama elo?”
Daniel tertawa sambil menoyor kepala gue, gue balas enggak kalah kenceng. Jadi deh, kita perang lempar-lemparan kacang. I know, I know. Kita emang kadang suka kekanakkan.
“Trus gimana cerita itu elo berantem sama si Reno?” Gue melihat ke sekeliling dan ngeri sendiri. Ini ntar beresin kostnya bakal capek ini, kulit kacang dimana-mana.
“Masalahnya sepele banget Dan, sebenarnya.”
Daniel langsung pasang wajah kepo, “Apa? What? What?”
“Jadi kan, si Reno itu semenjak gue pacaran kan emang suka nyuruh gue ngabarin dia. Gue lagi apa, mau jalan kemana, gitu-gitu deh. Nah, gue awal-awal sih biasa. Tapi, lama-lama kesel dong gue.” Gue mengambil soft drink, meminumnya beberapa teguk. “Gue kepencet bales ‘inggih ndoro bagus.’ Pas dia nyuruh gue pulang on time kemarin dulu itu.”
“Cuman gegara itu kalian berantem?”
“Dia merembetnya kemana-mana tahu Dan? Dia bilang, apa gue ngerasa kayak jadi pembantunya, pas pacaran ama dia, trus dia bilang apa selama ini dia terlalu posesif ke gue?” Gue mengambil nafas dalam-dalam. Kalau dipikir-pikir, alasan gue berantem sama Reno itu childish banget.
“Gue waktu itu kan jadi ikut emosi kan? Ya udah, gue sekalian aja bilang kalau dia itu emang posesif, cemburuan enggak jelas, enggak percayaan ama gue.”
“Trus?”
“Udah, sampai sekarang kita belum ngobrol lagi. Gue juga males mau minta maaf duluan.”
“Laki lo tuh lebih ajaib dari gue.”
Gue merasa mendapat angin, karena dibela Daniel. Merasa kalau yang gue lakukan, enggak buruk-buruk amat. “Nah, kan!”
“Tapi lo harusnya juga bisa ngerti dong Van, dia kan sayang sama elo, wajar kalau dia posesif.” Enggak jadi diatas angin. Gue jatuh menghempas tepat ke gunung berlava!
“Uki posesif?”
“Iya.”Cara jawabnya Daniel yang lempeng ini lho, pengen gue jambak.
“Uki cemburuan?”
“Banget.”
Gue mendesah, “Tapi, at least, dia masih bisa diajak bercanda kan ya?”
Daniel ngakak, yang beberapa saat kemudian menular ke gue. “Oke, this is bottom night ya, kita abaikan para pejantan kita for a while. Gue punya bourbon, dari Pak Anton tadi, wanna try?”
“I bet, I won’t.”
***

Hendri Subakti
“Hen, apa gue aja enggak cukup buat elo?” Same question, yang bikin gue buat males jawab. Rasjid masih memandangi gue dengan tatapan marah.
“Sayang, gue sama Jordan enggak ada apa-apa.”
“Oh, sekarang namanya Jordan. Kemarin Rendi, kemarinnya lagi Daniel. Gila lo ya!” Rasjid memandangi gue lama, mungkin ada satu menitan sebelum akhirnya meninggalkan gue sendirian.
Gue terus terang, belum bisa ngelepasin Rasjid gitu aja. Enggak tahu kenapa, gue kayak ngrasa Rasjid itu ‘home’ gue.
Gue berjalan menuju almari, membukanya dan mengambil handuk yang belum gue apa-apain semenjak dipakai Daniel buat mengeringkan keringatnya. Gue menciuminya sebentar. “Daniel, Daniel, apa gue pelet aja elo ya?”
Kalau demi Daniel, gue kayaknya rela buat ngelepas Rasjid.
***

Uki Bagus Walantaga
Si ganteng, sekarang lagi sakit. Dan manjanya itu lho, udah kayak bayi! Dikit-dikit merajuk pengen ini itu. Aku memastikan, bahwa sup ayamku sudah tidak terlalu panas, sebelum aku menyuapkannya ke Daniel. Yang, btw, tengah menonton frozen, entah sudah ke berapa kali.
“Sayang, aaak dong.” See? Udah kayak ngurus bayi aja kan aku? Daniel, untungnya nurut. Dia membuka bibirnya. Lagipula, sekali lagi, dia yang pemakan segalanya, membuatku engga repot buat ngasih makan apa. Tapi tetep, ayam itu favoritnya. Bisa makan berkali-kali dalam sehari tanpa bosen.
Aku memeriksa suhu tubuhnya yang memang masih panas. Bergulung-gulung tissue bekas ingusnya berserakkan dimana-mana. Aku, walaupun pengen ngeluh tapi enggak bisa. Aku tak tega.
“Obatnya diminum dulu sayang,”
“Ki, sini dong, aku pengen meluk kamu.” Manjanya si ganteng. Aku takut ketularan fluenya sih sebenarnya. Tapi sebodo lah, kalaupun aku nanti ketularan, giliran dia yang ngerawat kan? Terus nular ke dia lagi, dia sembuh, nular ke aku lagi. Gitu aja terus sampai Jakarta enggak pernah macet lagi. Bercanda, hehehe.
“Minum obat dulu ya?” Si ganteng ngangguk.
Maka sekarang, aku berada didalam selimut yang sama dengan Daniel. Tanganku memeluknya dari belakang, mengelus-elus lembut perutnya. “Kamu kok kayak gendutan ya Dan?”
Slurp, slarp, slurp, Daniel ngluarin ingusnya pakai tissue, trus di lempar begitu saja. Joroknya ini gantengku. Untung aku cinta sama kamu Dan.
“Masa sih Ki? Enggak ah, kamu mengada-ada.” Ini agak sensitif soalnya. Masalah perut ini. Daniel ini kan bangga banget sama sixpack sempurnanya. Tapi gimana ya, kalau tiap pagi, setiap aku masakkin dia sarapan, dia bisa nambah sampai tiga kali. Ditambah, sudah hampir sebulan ini Daniel absen ngegym.
“Kalau aku gendut, kamu masih suka? Masih horny?” Tiba-tiba banget si ganteng nanya beginian. Kan jarang banget. Typikal PD mampus kayak Daniel ini nanya tentang fisiknya yang dia sendiri tahu sangat menarik.
“Kok ganteng nanyanya gitu?”
“Iseng aja Ki, emang aku gendutan beneran ya?” Tuhkan langsung parno kalau dibilang gendut.
Tanganku mengelus perutnya. Emang agak buncitan dikit. Kayaknya, aku terlalu memanjakannya lewat masakanku deh. Musti dikurangi ini. “Mau jadi gendut, mau menua, kamu tetep yang terganteng kok buatku.”
Gantengku tersenyum. Aargh, cinta mati aku!
“Kalau nanti kelurga kamu minta kamu pisah sama aku?” Aku terdiam. Aku tahu ibuku sama sekali belum bisa menerima Daniel as myboyfriend. Dan tinggal masalah waktu hingga beliau mengatakannya secara jelas. Aku selalu berusaha berpikir, kalau saat itu masih jauh. Tapi bukannya aku sudah mengambil komitmen? Komitmen bahwa aku akan menua bersama Daniel? Orang tuaku jelas tidak akan menua bersamaku. Kalau mereka meninggal, dan aku menikah dengan orang yang salah karena permintaan mereka, yang mengalaminya sampai tua siapa? Yang bakalan menderita siapa? Aku.
Cerai saja, kalau orangtuamu sudah meninggal. Hah! Ngomong gampang. Aku bukan tipe seperti itu. Aku menjunjung tinggi sebuah komitment. Even, komitmen buat yang kata orang salah, sakit, abnormal, seperti yang sedang aku jalani bersama Daniel ini.
“Kamu kok ngomongnya gitu sih Dan? Bobo gih, biar cepet sembuh.” Daniel diam. Selang beberapa menit, aku sudah mendengarnya mendengkur. Lebih keras karena mungkin efek si ganteng lagi flu kali ya?
Berapa waktu yang aku punya sampai orangtuaku menodongku dengan ancaman pilih mereka atau Daniel? Aku menangis dalam diam.
Enggak pengen lepasin kamu ganteng.
Enggak pengen.
Tapi keluarga juga penting.
It’s hurt, you know? I have no idea to deal with this one.


TBC . . .

1 komentar:

  1. Anonim3/20/2015

    siapapun yg nulis ini, pacaran yuuukk :D :D
    *keren abis

    BalasHapus

leave comment please.