Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Bimo
Adiaguna
Bali
selalu menjadi tempat pelarian gue sama Daniel. Disini, kita bebas, bebas untuk
mengungkapkan perasaan satu sama lain. Gue melirik Daniel yang sedang berada di
balkon. Penerbangan satu jam empat puluh lima menit Jakarta-Bali enggak bikin
gue capek. Oh well, sebenernya gue dan Daniel gak pure liburan disini. Tapi ada
pekerjaan. Paul Manings, owner dari Saviour berencana untuk memperluas jaringan
Saviour di Indonesia. Dan kini, tengah melobi salah satu perusahaan flavour and
fragrance lokal yang bakalan di take over managementnya oleh Saviour. Kehadiran
gue disini jelas sangat diperlukan, Daniel? Sebenarnya enggak ada dia juga
enggak papa. Tapi gue yang maksa agar trip bussiness ini untuk kita berdua.
“Lagi
nunggu sunset?”
Daniel
menoleh, namun tanpa sedikitpun senyum dibibirnya. “I am not suppose to be here
Mas.”
“Kenapa
sih Dan? Lo gak suka disini bareng gue? Lo uda gak sayang lagi sama gue Dan?
Oke, gue minta maaf akhir-akhir ini sibuk dan gak merhatiin elo, tapi lo tahu
sendiri kan gue emang lagi sibuk? Bukannya leha-leha?” Daniel diam, yang justru
malah semakin ngebuat gue pengen luapin semua emosi gue. Gue kan cuman pengen
seneng-seneng, tapi Daniel malah bikin seneb.
“Ini
kesempatan kita berdua having fun kan? Jangan bikin kacau Dan.”
“Full
of shit! Gue bakal pulang Jakarta besok pagi.” Daniel diam sebentar. “Having
fun? Sementara gue tahu istri Mas di Jakarta lagi khawatir sama Mas? I can’t!!”
“Kenapa
sekarang jadi masalahin istri gue? Dari awal juga lo tahu gue uda beristri, lo
fine-fine aja! Kenapa sekarang jadi masalah Dan? Kenapa baru sekarang?” Daniel
diam, walau matanya berkilat amarah. Jujur, gue gak suka situasi seperti ini.
Harusnya, ini jadi moment yang menyenangkan antara gue sama Daniel. Bukannya
malah berantem enggak jelas gini.
“I
knew it! lo uda punya laki baru hah? Jadi lo uda begah sama gue? Lo mau nendang
gue?” Walau masih ingin meluapkan emosi, namun gue diam. Gue masih bisa
maki-maki kalau Daniel juga emosi, tapi ini? Butiran bening yang menetes tanpa
suara di pipi Daniel membuat gue bungkam.
“I
am sorry, I just-, you know Dan? Gue kangen banget sama lo, can you just be
nice? Gue gak bermaksud kasar tadi.” Daniel masih tetap diam, namun air matanya
sudah berhenti mengalir. Gue mengecup kelopak matanya yang membuat Daniel
otomatis memejamkan matanya. Turun ke pipi, lalu mencium bibirnya lembut. Gue
menunggu agak lama hingga bibir Daniel terbuka untuk lidah gue bisa bebas
mengivansi disana.
Gue
merengkuh tubuh Daniel, tinggi badan kita berdua yang hampir sepadan membuat
gue jauh lebih mudah untuk kembali mencium bibirnya berkali-kali. Daniel melenguh,
suara seksinya membuat gue gak tahan lagi. Sambil tetap berciuman, gue
meloloskan kancing kemeja Daniel satu persatu. Smooth Bim, smooth, Daniel gak
bawa banyak baju ganti. Jadi, gak mungkin gue menarik kemejanya begitu saja
tanpa memedulikan kancingnya akan lepas atau tidak. Walaupun, gue pengen banget
nglakuin itu.
Kulit
putih mulusnya terpampang dihadapan gue begitu kemeja putih biru itu berhasil
gue singkirkan. Gue menyesap pangkal leher Daniel, berusaha memberi tanda,
memberi tanda bahwa Daniel adalah milik gue. Lidah gue turun ke dada, ke
putingnya yang merah jambu, salah satu titik tersensitif milik Daniel.
Menyesapnya pelan, menggigitinya, hingga membuat Daniel merintih.
Namun
saat lidah gue akan bergerak turun ke pusarnya, tubuh Daniel menegang.
Menegakkan tubuh gue lalu mendorong gue pelan ke belakang.
“Sorry
Mas, I can’t.”
Terluka,
ditolak oleh kekasih gue sendiri. Harga diri gue sebagai laki-laki terusik.
“Why?”
“I
just can’t! Titris, Damian, dua orang itu ada di kepala gue waktu lo ngecumbu
gue Mas! Gue gak bisa. Sorry.” Daniel menatapku getir. Mengambil kemejanya lalu
memakainya kembali.
Eh,
sekelebat tadi, gue kayak ngelihat tatto baru dibawah pusar Daniel. Itu bukan
tatto gambar atau tribal, itu sebuah nama. Empat huruf, nama gue kah?
Gue
termangu cukup lama, karena begitu tersadar, Daniel sudah keluar dari kamar
hotel.
Apa
iya gue harus nyerain Titris? Dan, what’s wrong with you? Don’t you know that
you hurting me so much this night?
***
Evan
Sutedjo
Sumpah,
baru kali ini gue gak suka Daniel nginep kostan gue. Kalian pasti tahu kenapa
kan? Walaupun dari tadi Daniel uring-uringan. Curhat tentang Bimo dari A sampai
Z. Heran gue, ini anak pacarannya sama Uki, tapi curhatnya tentang Bimo, gak
nyambung!
Sedari
tadi Daniel ngoceh, dari jam delapan hingga kini uda jam setengah sepuluh
malam, nama Uki bahkan belum disebut Daniel sama sekali. Ckckck.
“Lo
tahu Van? Pagi-pagi dia dateng ke ruangan gue trus seenak jidat bilang, ‘Kamu
nanti siang ikut saya penerbangan ke Bali.’ Gilak gak tuh? Ada gak dia nanya
gue ada kerjaan gak? Enggak! Ada enggak dia nanya gue lagi ada project atau
kaga? Enggak! Ada enggak dia nanya gue fit atau enggak? Ya Tuhan, enggak sama
sekali!”
Gue
diam, kalau gue memberi Daniel wejangan sekarang, gue bakal ikut kena semprot.
“Lo
ada minum gak? Stres gue beneran!”
“Gak
ada Dan.” Daniel? Lagi marah terus mabok? Groundbreaking. Baru gue mau
ngambilin air putih buat Daniel, karena alkohol jelas bukan pilihan yang tepat
sekarang. Dan thank to God, karena persediaan minuman alkohol gue emang
bener-bener kosong di kulkas. Bahkan bir bintang aja gak ada. Lucky to me, to
Daniel actually. Handphone Daniel berdering, dari nomor tak dikenal.
“Ada
panggilan masuk tuh Dan.”
“Halo,”
Gue, kalau enggak kenal Daniel dari kecil uda ciut kali nyali gue dibentak
gitu. Kasihan banget itu orang yang telepon, timingnya gak tepat.
Gue
menyalakan tv sambil mengamati Daniel yang berangsur-angsur menjawab telepon
layaknya orang normal. Sekarang dia bahkan sudah tertawa-tawa ringan. Gila lagi
jangan-jangan itu anak.
“Sapa
sih Dan?” Tanya gue begitu Daniel mengakhiri panggilan teleponnya.
“Hendri.”
Daniel mengambil tempat duduk disamping gue dan langsung menenggak habis air
putih yang tadi niatnya emang mau gue kasih ke dia. “Gilak, curhat aja jadi
capek gini gue.”
“Ya
elo sih curhatnya kelewat emosi, lebay tau gak?” Gue berencana mau fokus ke
perut Shia La Beouf yang entah kenapa di film ini kebanyakan telanjangnya,
namun nama ‘Hendri’ tiba-tiba mengusik gue.
“Eh,
Hendri? Kok gue kayak pernah denger ya itu nama?”
“Lha
gue kan emang pernah cerita ke elo tentang dia.” Gue berusaha mengingat-ingat,
dimana dan kapan tepatnya Daniel cerita tentang Hendri ini.
“Oya
yang novelis porno itu!” Gue menjetikkan jari gue. Merasa jago seolah-olah
sudah memecahkan Davinci Code.
“Novelis
doang, gak ada embel-embel pornonya! Lo ikut gue, kita naik taksi aja.”
“Mau
kemana Dan?”
“Appolo
baby.”
***
Uki
Bagus Walantaga
Paling
males sama klien yang banyak nanya dan bego. Oke, dia mungkin technical baru
lulus, tapi seenggaknya sudah mempunyai pengalaman waktu kuliah kan? Atau dia
lulusan sekolah kecantikkan? Excuse my attitude, aku memang pengeluh yang
handal. Namun jarang menyampaikannya karena terlalu sungkan. Aku bukan Daniel
yang akan langsung mengucapkan apa yang ada di pikirannya tanpa perduli sang
lawan bicara akan sakit hati atau tidak.
Oh
Gosh, I miss that boy so much, correct, my boy.
Hhh,
tadi berangkat ke Cikarangnya barengan Pak Deddy, dan baru jam sepuluh malam, aku
memasuki wilayah Gading Jakarta Utara. Macet, dan aku juga baru beres meeting
sama kliennya jam tujuh malam. Mana aku masih harus menuju kantor dulu, mengambil
beberapa barang. Besok Sabtu, males banget masuk kantor. Jadi sekalian hari ini
sajalah.
Pak
Deddy langsung pulang tadi, aku juga bakalan langsung pulang jika tidak
mengingat barang apa yang aku tinggalkan. Flashdisk. Oya, cuman flashdisk, tapi
isinya ada foto-fotoku bersama Daniel. Jangan negative thinking dulu, hanya
foto-foto biasa kok.
Dengan
malas-malasan akhirnya aku keluar dari mobil setelah memarkirnya dengan
asal-asalan.
Aku
menyapa Tarjo, satpam yang bertugas didepan. Halaman kantor sudah sangat sepi,
tapi pabrik produksi dibelakang kantor masih ramai karena mereka tiga shift.
Tentu saja aku meminta Tarjo untuk menemaniku hingga lantai dua. Gila apa,
bukannya penakut tapi mencegah hal-hal buruk terjadi.
Setelah
mengucapkan terima kasih dan basa-basi sebentar ke Tarjo, aku masuk kembali kedalam
mobil dan mulai menstaternya. Tepat, ketika aku baru saja akan keluar dari
lapangan parkir kantor ada telepon masuk.
Evan.
“Kenapa
Van?”
“Daniel
Ki, Daniel,” Suara bising disebrang sana membuatku tidak bisa sepenuhnya fokus
pada suara Evan.
“Daniel
kenapa?” Namun dari nada paniknya Evan, aku tahu bahwa mungkin saja Daniel
sedang dalam bahaya.
“Lo
dimana? Gue kesana.”
***
Kata
Evan, tadi Daniel pingsan didalam taksi. Dan langsung membawanya ke rumah
sakit. Dokter bilang, tekanan darah rendahnya Daniel kambuh. Hhh, aku baru tahu
Daniel punya darah rendah. Dan karena Daniel gak mau tidur di rumah sakit, dia
memaksa minta pulang.
Aku
memandangi wajah Daniel yang masih terlihat pucat, kepalanya tertidur di atas
bantal bercover frozen. Cover bed nya juga bergambar Elsa, Anna dan Ollaf dari
tokoh Frozen. Film favoritnya Daniel.
“Kamu
mau makan lagi sayang?” Aku mengelus rambutnya. Daniel menggeleng, bahkan
disaat wajahnya pucat seperti ini, dia tetap mempesona.
“Ya
udah, aku Isya dulu ya? Belum sempat tadi.”
“Iya,
makasih Ki.” Aku tersenyum sebelum akhirnya beranjak untuk mengambil air wudhu.
Seminggu yang lalu, Daniel membeli sajadah, sarung dan peci. Katanya khusus
untukku kalau sedang mau sholat di apartmentnya. Ya Tuhan, aku mencintainya.
Aku mencintai pemuda yang tengah terbaring lemas tepat disampingku.
Maukah
Engkau meridhoi cinta kami? Ikut berbahagia denganku?
Bayangan
Mama, Papa, lalu Fadil dan Kemal melintas dipikiranku. Aku anak lelaki pertama
dalam keluarga, kebanggaan orang tua karena tak pernah neko-neko sejak aku
lahir hingga besar. Selalu berprestasi di sekolah, tak pernah terlibat tawuran,
tak pernah merokok, tak pernah minum minuman berakohol, aku sudah cukup menjadi
anak baik kan Tuhan selama ini?
Jadi
bisakah sekali ini saja, Engkau mengabulkan permintaanku? Aku hanya ingin
membahagiakan Daniel.
Lalu,
ketika aku membayangkan wajah Mama yang menangis, Papa yang pasti akan kecewa
jika aku mengenalkan Daniel sebagai orang yang benar-benar aku cintai, aku tak
kuasa menahan isak. Beban dipundakku begitu berat. Tanggung jawab nama baik
keluarga yang aku pikul melebihi kekuatanku.
“Ki?”
Aku diam, namun isakku tak mau berhenti.
Lalu
aku merasakan tangan Daniel menyentuhku, membimbing kepalaku untuk berbaring
didadanya. Kedua tangannya dengan kuat merengkuhku ke pelukannya, membuatku
benar-benar semakin terisak.
***
Joshua
Daniel Pradipta
Aku
menggeliat kekanan, dan karena merasakan ada mata yang tengah mengamatiku, aku
membuka mataku. Uki, tengah mengagumi perutku, atau mungkin tatto namanya
disitu? Tatto yang membuatku langsung mendorong Bimo, padahal jujur, waktu itu
aku juga sedang horni-horninya. Sudah sebulan lebih aku tidak berhubungan seks.
Ya, tepat sekali sejak aku berpacaran dengan Uki, sejak itu pula kehidupan seks
ku tak ubahnya bagai jomblo.
“Uda
bangun, sleepy head?” Uki mengecup perutku yang terbuka karena piamaku yang
agak tersingkap, pelan. Aku tersenyum ringan.
“Morning
kiss dong sayang.” Kataku sambil memajukan bibirku.
“Kamu
belum gosok gigi.”
“Terus
kenapa? Justru seksi kan?” Belum juga Uki mengeluarkan kalimat penolakkan
lainnya, aku sudah memburunya dengan ciuman. Ciuman pelan, penuh cinta. Haha,
gombal ya? Tapi beneran deh, aku kira, aku tidak bakalan bisa mencium dengan
cara seperti ini. Ciuman yang tidak menuntut adegan lebih lanjut, you know lah
adegan lanjutnya seperti apa.
“Cowok
ganteng juga, kalau baru bangun tidur nafasnya bau jigong.” Aku sukses ngakak
sebelum akhirnya turun dari ranjang dan menuju kamar mandi. Aku mengambil sikat
gigi yang sekarang ada dua. Milik Uki satu, shampo yang juga ada dua. Uki tidak
suka dengan wangi shampoku katanya, tapi herannya dia suka banget mencium
rambutku. Jujur, badanku masih lemas, tapi yah kalau tidak mandi aku merasa ada
something yang enggak beres aja dengan tubuhku.
Aku
terus terang menyukai sedikit perubahan di apartmentku sejak aku berpacaran
dengan Uki. Sandal jepit dengan kepala Doraemon yang dibeli Uki, dan selalu dia
pakai jika sedang menginap disini. Beberapa bajunya yang entah sejak kapan
berada didalam almariku, bahkan celana dalamnya.
“Sayang,
bisa ambilin handuk gak?” Sing. Tak ada jawaban. Eh, kalian tahu ‘sing’ kan?
Itu lho yang biasanya ada di tulisan-tulisan manga buat gambarin suasana yang
sunyi. Ya kali penting juga aku jelasin.
Karena
lima menit kemudian, masih tidak ada jawaban. Jangan-jangan Uki nangis lagi?
Semalam, entah apa penyebabnya, Uki terisak. Selama ini, Uki tidak pernah
mengeluhkan tentang masalah yang berat. Jadi, aku benar-benar blank semalam,
mau nanya juga gak enak hati.
Aku
keluar dari kamar mandi, membuka almari, mencari handuk bersih. Uki? Aku tidak
tahu, karena dia sudah tidak berada di kamar.
“Kamu
punya kebiasaan berkeliaran telanjang gitu?” Aku kaget, iyalah, orang Uki
ngomongnya tiba-tiba.
“Tadi
aku minta kamu ambilin handuk, kamunya enggak nyaut-nyaut.”
Uki
memandangiku atas bawah, “Please, cover your body with something honey.”
“Why?
You don’t like my body or something?”
“Bukan
gitu, eem, eem, it’s just make my shit hard. Dan aku gak mau mandi wajib lagi
ya.” Aku tertawa sebentar walau belum terlalu tertarik untuk menutupi tubuh
telanjangku seperti saran Uki barusan.
“Perasaan
semalam kita gak ngapa-ngapain, kenapa kamu mandi wajib?”
“I
am, eer, actually jerking off.”
“What?
For what? You’re watching porn? Or imagining the dirty things?”
“Enggak.
Aku cuman gak tahan aja kamu peluk erat banget semalem.”
Tawaku
lepas. “I can give you a blowjob then,” Aku melilitkan handuk ke pinggang. “I
am sorry for asking you this, but are you still virgin?”
Wajah
Uki memerah, he is so fucking adorable. And he is mine.
“Aku
baru aja bikin nasi goreng untuk kita berdua sarapan. Eem, aku tunggu diluar
ya?” Uki tersenyum canggung sebelum akhirnya keluar dari kamar. No sex again?
Mungkin aku harus beli dildo besok.
***
Siang
ini, saat aku dan Evan baru saja keluar dari kantor untuk lunch, aku melihat
sudah ada lima misscall dari Maya di ponselku. Belum pasannya di blackberry dan
whatsap. Aku baru bisa ngecek karena tadi meeting dari jam sepuluh sampai
hampir istirahat dengan Christina Young. Salah satu Marketing Manager dari
Saviour Filiphina yang lagi getol banget pengen ngembangin coffee flavour.
Rencananya sih mau gaet kerjasama dengan starbuck. Whatever lah.
“Hey
Nyet, sombong banget sih lo. Keriting nih jempol gue dari tadi nelponin elo.”
Maya langsung merepet panjang, begitu aku menelponnya balik. Aku dan Evan
memutuskan untuk nyushi di Sushi Tei.
“Bibir
lo Nyet. Gue abis beres meeting tadi. Ade ape?” Aku melirik Evan dan memberinya
kode agar tidak menginterupsiku sebentar.
“Gue
ada kabar gembira buat lo Dan.”
Dahiku
mengernyit, “Kabar gembira versi lo kadang gak sama dengan kabar gembira versi
gue.”
“Ye,
pesimis lo! Negthing mulu. Gini Dan, lo bakalan masuk majalah gue.” Oya, I’m forgot
to tell you something. Maya, bekerja sebagai fashion editor salah satu majalah
khusus pria dewasa. Bukan, bukan majalah esek-esek, majalah fashion pria gitu.
You know lah.
“May,
lo barusan ngomong apa?”
“Elo,
bakalan masuk majalah gue, Dan! Seru kan?” Aku mengambil minuman yang ada di
meja. Minuman Evan mungkin, karena aku belum order.
“Dalam
rangka apa May? Becanda lo!”
“Gini
Dan, majalah gue kan lagi bikin fashion spread, nah isinya itu cowok-cowok muda
sukses berbadan sehat tapi bukan model atau selebritis. Selain elo, ntar bakal
ada Rasjid Sutata, Hendri Subakti, ama Luki Hassan.”
Hendri
Subakti? Udah lama aku gak ketemu itu anak. Wait? She’s just named Rasjid?
Rasjid? The another asshole that cheating on me? “Luki who?” Ujarku.
“Oh,
He is this young, hot shot lawyer from one of the biggest law firms in
Indonesia.” Aku tersenyum kecut.
“Exactly.”
“Hah?
Maksud lo?”
“Exactly
what people are gonna say about me? Daniel who? Dibandingin nama-nama yang elo
sebut tadi, gue itu ibarat butiran upil. Cari yang lain aja deh May. Dan ada
Rasjid, lo tega banget sih. Gue gak mau ah.”
“Buahaha,
tumben lo rendah diri. Itu gak penting lagi orang kenal lo apa enggak. Yang gue
yakin, saat tampang lo muncul di spread fashion majalah gue, lo bakal langsung
tenar. Follower instagram lo aja udah ngalah-ngalahin artis. Lagian susah tahu
nyari cowok muda ganteng body oke. Soal Rasjid, do not worry honey,
pemotretannya kan gak barengan.” Aku masih diam. Jujur saja, aku sama sekali
bukan tipe orang yang haus kemasyuran.
“Ayo
dong Dan, gue minta tolong sebagai temen nih. Tadinya sih gue pengen make
Kevin, juara LOTY tahun ini, tapi editor in chief gue kurang setuju. Kata doi,
Kevin uda termasuk kategori model plus selebriti. Lagian ini demi kepentingan
lo juga.”
“Kepentingan
gue? Emang kalau gue masuk majalah elo, gue bakal naik jabatan? Naik gaji?”
“Aduh
elo nih ya, susah banget sih buat di book. Hendri yang novelis sukses dan
dokter aja gampang banget dan udah oke, elo malah susahnya ngalah-ngalahin
rempongnya Mariah Carey.”
Aku
menghela nafas. Jadi Hendri itu juga dokter?
“Please,
oke ya Dan? Ya?”
“Fine
. . .” Gimana coba aku bisa menolak permintaan salah satu sahabat terbaikku?
“Nah
gitu dong, Ntar gue kabarin tanggal pemotretannya. Thanks ya Dan, you are my
best friend.”
God,
what have I got myself into?
***
“Halo
Bapak Joshua Daniel Pradipta, selamat datang di majalah Glamorous ya.”
Aku
tertawa, “Norak lo. Eh gue heran, ini kan majalah cowok, kenapa namanya harus
Glamorous? Sound girly banget gak sih?”
“Jangan
tanya gue, tanya ownernya dong.” Aku meringis mendengar jawaban Maya.
Maya
membawaku melintasi serangkaian kubikel berwarna coklat kayu, bergaris biru
langit. Susana kantor majalah Glamorous memang sangat chic, segar dan comfie.
Dibandingin kantorku? Jauh banget. Kantorku itu auranya formal dan kaku.
Walaupun juga ditata dengan interior modern.
“Studionya
yang mana May?”
“Tuh
pintu yang berwarna biru di sudut itu.”
“Ini
kantor penuh dengan warna biru ya? Mellow banget.”
“Komen
mulu lo kayak olshop di instagram artis.”
Aku
sukses ngakak, “Sial lo.”
“Hari
ini cuman gue doang?” Aku bertanya sambil menuju studio
“Ya,
sama Luki Hassan, tapi doi ntar sore. Gile ya, susah banget buat ngatur
schedule orang kantoran kayak lo ama Luki.”
“Eh,
May, kok ada Rasjid sih? Emang dia kerja apa sekarang?”
“Ciye,
penasaran lo ama mantan? Ciye.” Maya cengengesan gaje sambil mencolak-colek
pinggangku. Enggak penting banget itu anak emang.
“Norak
lo.” Maya membuka pintu, dan segera saja, ruangan luas penuh layar background
dan lampu fotografi terpampang didepan kami. Oke, ini luar biasa, untuk ukuran
orang sepertiku yang awam dengan dunia permodelan dan permajalahan.
“Oke
Dan, ini Shanty dan Tomi, yang bakalan ngurusin outfit, aksesoris, sama
kawan-kawannya itulah. Nah kalau yang ini, Dino, untuk hair plus make up lo
ntar.” Aku menyalami team Maya ini satu persatu.
“Lo
yakin gue juga perlu di make up?”
Maya
memutar kedua bola matanya jengah, “Gue tahu Dan, lo punya kulit wajah yang
bikin envy kaum adam bahkan kaum hawa, tapi ya biar bagus aja di kamera, lo
perlu di make up. Tipis aja kok ntar, lo tenang aja, tinggal terima beres, oke?
Temmy mana ya Shan?”
“Lagi
kebawah tadi Mbak, nyari kopi katanya.”
“Oh
yasudah, jadi gini Dan urutannya, ntar lo bakal digarap sama Dino dulu. Setelah
itu outfit sama aksesorisnya bakal diurus sama Shanty dan Tomi. Kita ada tiga
outfit, ntar kita pilih mana yang paling bagus buat dimuat. Ngerti kan?”
“Sure.”
Gimana
rasanya jadi model? Seru! Apalagi saat Dino mulai menyulap rambutku menjadi
chic dan terlihat ‘gaul’ tapi gak begitu flamboyan. He is smart, I do like him.
Enggak semua hairstylist bisa sejago ini nata rambut orang.
Tapi
saat aku memuji kepiawaiannya, Dino membalikkannya padaku, bahwa katanya,
wajahku tipe yang hampir cocok dengan semua gaya rambut. I like him more.
Tapi,
selalu ada yang bikin bete. Selalu ada moodbreaker diantara hari yang baik ini.
“May,
sini sebentar lo.” Teriakku dari dalam ruang ganti.
Terdengar
langkah Maya mendekat, menarik tirai ruang gantiku dan kepalanya melongok
kedalam.
“Kenapa
Dan? Bajunya kekecilan?”
“Bukan,
yakin gue harus shirtless? Ini jeans gak ada kancing kaitnya lagi.”
“Trus
kenapa? You have an awesome body, gak masalah kali kalau harus show off.”
“Nih!”
Aku menunjuk tatto ‘UKI B’ yang terlihat jelas. Seandainya, jeans ini ada
pengaitnya, kaga bakalan terlihat sejelas ini.
“Gila,
lo nato nama laki lo? Tumben.”
“Hih,
gak penting bahas itu sekarang, kasih gue celana yang ada kaitnya gih, atau gue
pake atasan deh.”
“Gak
papa lagi, biar itu tatto nambah-nambahin sex appeal lo.” Maya berkata sambil cengar-cengir.
“Gak
lucu tahu.”
“Lo
takut disangka gay? Karena ada tatto nama laki di perut lo atau gimana sih?”
“Gue
takut Bimo liat, gue kan tahu Bimo langganan majalah lo!”
Maya
geleng-geleng kepala, “Heran gue sama lo Dan, lo kan udah bubaran sama Bimo,
gak usah terlalu mikirin perasaan doi lagi. Atau jangan-jangan lo masih demen
lagi?”
“Ini
mau diganti atau gue balik?”
“Buahaha,
ngambekkan lo kayak buruh di akhir tahun! Ya udah, lo pake outfit yang kedua
aja dulu.”
Lalu,
sepuluh menit kemudian aku keluar dari ruang ganti. Dengan outfit perpaduan
dari Louis Vuitton, Armani, Andrew Christian –kenapa harus memakai Andrew
Christian yang identik dengan gay? I have no idea- , Paul Smith, dan optik
seis, aku yakin ini outfit kalau di total bisa setengah dari gajiku.
“You
look so gorgeous, Dan. Gue heran, belum ada produk yang mau endorse elo.” Temmy
menghampiriku.
“Hahaha,
thanks Tem. Sorry ya ntar kalau gue agak nervous atau gimana, gue belum pernah
difoto-foto kayak gini.”
“Easy
Dan, elo mah type orang yang bakalan bagus difoto dari angle manapun. Oke, lo
uda siap kan? Yang penting rileks aja. Oke?”
“Tenang
Tem, gue udah siapin musik yang bakalan bisa bikin Daniel rileks.” Kalian tahu
musik apa yang diputar oleh Maya? Shadow nya Britney Spears. Yup, I am Britney
Army. Dan shadow ini, lagu yang menceritakan tentang sebuah hubungan yang sudah
enggak sehat, sebuah relationship yang menuju kehancuran. Lagu ini memang
membuatku rileks, dilain sisi, mengingatkanku akan getir pahitnya saat baru
saja ditinggal Rasjid.
Oh
well, aku yang memutuskan Rasjid, tapi aku yang paling terluka. Menurutku.
Mencoba terlihat baik-baik saja didepan Maya dan Evan waktu itu, jelas tidak
mudah, but I did it.
You’re
all I want, but not like this. I’m watching you disappear. But you, you were
never here . . .
Lagu
itu mengalun lembut.
***
“May,
ambilin gula lagi dong.”
“Brown,
Plain or equal?”
“Equal
aja deh.”
Aku
dan Maya tengah ngopi-ngopi di Coffee Bean Plaza Senayan. Evan dalam perjalanan
mau nyusul gabung katanya. Tapi enak banget ya jadi Maya, gak dicariin lakinya.
“Lo
gak disuruh buru-buru balik ama Banyu May?” Kataku sambil menambah gula pada
chocholate ice blended ku.
“Banyu
mah gak rempong orangnya, lagian dia juga pasti belum balik dari kantor.”
“Japheth?”
“Sabtu
Minggu kan emang khusus waktu gue buat anak sama suami.” Aku memilih
memotong-motong brownies cappucinoku. Aku selalu iri dengan Maya, maksudku, dia
bisa mendapatkan hal-hal yang di impikan oleh banyak kaum hawa, suami sukses
–lupakan fakta, bahwa Banyu adalah penggemar berat dangdut- , anak menggemaskan
dan sehat serta mempunyai karir yang cemerlang. Maksudku, orang tidak akan
dengan gampang mengecap Maya sebagai istri yang nebeng suami karena Maya
mempunyai penghasilan sendiri yang juga lumayan.
“Dan,
lo masih ada rasa gak sih sama Rasjid?” Aku tersedak cake ku karena pertanyaan
mendadak dari Maya.
“Enggak
May, lo tahu gue orangnya cepet move on.”
“Gue
cewek Dan, bukan Evan yang bisa lo kelabui. Gue lebih sensitif. Lo kira gue gak
tahu malam-malam lo nangis dalam diam setelah putus dari Rasjid? Lo gak sekuat
itu Dan, mungkin bahkan lo gak sekuat yang lo kira Dan, lo itu rapuh.” Aku
terdiam.
“Uki?
Do you really love him? Or he’s just another ‘Rasjid’? Sama kayak Bimo?”
Sambung Maya lagi.
“Gak
tahu gue May. Gue bener-bener gak tahu.”
“Gini
ya Dan, lo itu gak bener-bener cinta sama Bimo. Saat lo lihat Bimo, lo kayak
liat Rasjid kan? Itu maksud gue dengan another Rasjid. Bimo smart, berkarakter,
dan mengingatkan lo pada Rasjid.” Maya menyesap green tea latenya. “Uki, dilain
sisi, bertolak belakang banget dengan Rasjid ataupun Bimo. Makanya gue nanya
ama lo, lo beneran cinta sama Uki, atau lo cuman mau manfaatin dia doang buat
nyembuhin hati lo yang masih luka itu.”
Aku
benar-benar tidak tahu harus berkomentar apa. “Kayak lo udah ketemu Uki
langsung aja, baru juga lihat fotonya.”
Maya
terbahak, “Lo tahu kenapa Justin Timberlake akhirnya milih Jessica Biel?”
Aku
menggeleng, “Mana gue tahu, gue kan bukan nyokapnya.”
“Setelah
putus dari Britney, doi macarin cewek-cewek yang karakternya mirip ama Brit, contoh
aja Cameron Diaz, Scharlet, bahkan ada dancernya yang mirip Brit kan? Tapi toh,
Brit gak bakalan terganti, makanya doi milih si Biel. Yang bertolak belakang
banget ama Brit. Walaupun herannya, sekarang Biel try so hard buat jadi Brit.
Gak ngerti gue.”
“Dasar
Timberlake fan lo.” Maya tertawa.
“Sama
kayak kasus lo kan?”
“Biarin
ntarnya bakal gimana aja deh May.”
***
Hendri
Subakti
Foto
Daniel di majalah Glamorous edisi terbaru ini mengganggu gue sepanjang siang
ini. Dengan celana jeans pas badan, seolah-olah ingin memamerkan bentuk
bokongnya yang penuh, lalu kemeja yang kancingnya sengaja tidak dikaitkan,
membuat dada bidang dan perut sixpacknya terekspos jelas. Kacamata bulat yang
dipakai Daniel, jelas tidak membuat pesonanya luntur, malah menjadikannya
semakin menggemaskan. Naughty, but innocent at the same time.
Gue
menghela nafas.
Bukan
berarti foto gue di majalah itu jelek, gue tahu gue ganteng. Bukan narsis, tapi
itu faktanya.
Tapi
dijejerin dengan Daniel? Gue, Rasjid, dan Luki jadi terlihat biasa saja. Oh
man, I wanna fucking this guy so bad. Gimana rasanya meluk Daniel? Gimana
rasanya penis gue bersarang dalam bokongnya yang montok itu? Aaargh! Horny gue.
Gue
menyentuh nomor yang sudah gue hapal diluar kepala.
“Jid,
lo sibuk gak? Bisa gak kita meet up bentar? Gue horny.”
***
Evan
Sutedjo
Yang
lagi happening hari ini? Jelas fotonya Daniel di salah satu majalah fashion
pria terbesar di Indonesia, Glamorous. Dari pagi hingga gue mau balik,
orang-orang kantor masih saja membicarakan betapa seksinya Daniel di majalah
itu. Gue bangga, seriusan deh. Gimanapun juga, Daniel adalah sahabat terbaik
gue, dan gak ada alasan buat gue untuk gak ikut seneng.
Daniel?
Dia lagi ke Thailand barengan Pak Bimo dan Pak Deddy juga Ranti.
Anak
HRD macam gue, gak begitu ngerti urusan para technical dan marketing yang suka
banget kelayapan keluar kota bahkan keluar negeri. Jadi ya, sang model belum
tahu kalau dia adalah hot topic di kantor seharian ini. Daniel, yang following
instagramnya sudah 220k, pasti akan langsung naik drastis.
Tapi,
rasanya gue pengen banget nyalahin Daniel begitu gue melihat Reno, dengan
majalah Galomorous edisi terbaru ditangannya sedang berdiri di depan kamar kost
gue. Gue heran deh, ini kenapa Glamorous yang beli cowok-cowok homo semua sih?
Tadi saja di kantor yang heboh pertama kali si Ryan, yang emang langganan
Glamorous, dan agak ngondek, plus suka godain Tarjo, security kantor, gue juga
tahu Bimo selalu beli edisi terbaru Glamorous. Dan sekarang, Reno?
“Tumben
lo nungguin gue? Pasti ada maksud kan lo?” Repetku sambil membuka pintu kamar
kostku.
“Hehehe,
kok gitu sih lo ngomongnya? Padahal gue uda beli martabak manis buat lo.”
“Malah
makin curiga gue.”
“Haha,
boleh dong gue masuk. Haus nih.”
“Kamar
lo kan dibawah,” Sungut gue sebal. Gue ngerasa, kalau Reno pasti bakalan minta
tolong sesuatu yang berkaitan dengan Daniel. Minta tanda tangan misalnya, bisa
saja kan?
“Galon
gue abis. Males banget mau beli.” Gue menepuk jidat gue.
“Eh,
by the way, temen lo seksi banget gilak. Gue baru aja lihat, awalnya gak yakin.
Tapi setelah gue perhatiin emang dia teman lo kan? Si Daniel.” Reno semangat
banget ngomongnya sambil menunjukkan foto Daniel, yang well, harus gue akui
memang seksi. Doi emang cocok kalau jadi bintang, aura starnya uda ada.
“Yah,
he is hot, charming, and perfect.” Gue meletakkan tubuh gue di ranjang. Rasanya
capek banget seharian ini. Dan gak ada temen yang bisa diajak cabut pas jam-jam
kantor kayak Daniel, membuat kecapekkan gue double.
“Kira-kira
doi ngijinin gak ya kalau gue pacarin sahabatnya?”
“Hahaha,
ada-ada aja lo. Buat apa minta ijin sama Daniel.” Eh, aku terduduk kaget. “Lo
bilang apa tadi Ren?”
“Lo
mau gak Bfan sama gue Van?”
“Eh,
lha bukannya lo sukanya sama Daniel?”
“He
eh sih, tapi yang model kayak Daniel yang ada gue bakal makan hati mulu sama
curigaan dia lagi ngapain diluar sana, ya kan?”
“Oh,
jadi maksud lo, gue jelek gitu? Aman, gak bakal ada yang naksir sama gue gitu?”
“Don’t
you know, you look so adorable when you act like child like that?” Gue diam.
“Daniel
emang boyfriend material, but you, Evan Sutedjo, you are the man I want spend
my entire time with.” Gue masih diam.
“Come
on deh Van, masak udah gue bawain martabak manis, terus udah gue tembak
romantis, lo nya masih ngerajuk gitu?”
“Lo
nyontek darimana itu kata-kata tadi?”
“Novel,
hehehe. So?”
“So
apa? Mana martabak manis gue?”
“Mau
jadi BF gue?”
“Lo
tahu jawabannya.”
“Hehehe.”
Kayaknya,
hari ini gue gak jadi sebel sama Daniel. Hahaha.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.