Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Joshua
Daniel Pradipta
Akhir-akhir
ini, aku sering merasa kalau Bimo selalu mengawasiku. Oke, seharusnya aku cepat
membicarakan masalah hubunganku dengan Bimo yang sudah tidak jelas arahnya.
Tapi kasusnya gini, aku cinta Uki, tidak diragukan lagi. Tapi, entah kenapa aku
belum bisa melepas Bimo begitu saja. Egois? Ya, benar sekali.
Seperti
hari Sabtu ini, saat aku dan Uki tengah menghabiskan waktu dengan jalan-jalan
di mall. Aku seperti melihat Bimo tadi, entah ya hanya perasaanku atau memang
Bimo berada di sini. Bahkan saking paranoidnya, aku beberapa kali menoleh ke
belakang. Kiri-kanan, udah mirip polisi lalu lintas cari korban buat ditilang
deh.
“Dan,
kenapa sih? Nolah-noleh kayak anak ilang dari tadi?”
“Ada
Pak Bimo Ki.”
“Trus
kenapa kalau ada Pak Bimo?” Haduh, kalau aku bilang aku belum juga putus dari
atasanku itu, Uki pasti ngamuk. Ehm, terkadang bohong itu diperlukan. Bukan,
bukan untuk kebaikan, tapi untuk menyelamatkan diri sendiri. Aku kan gak
munafik.
“Males
aja kali ketemu bos hari libur gini.”
“Emangnya
kamu lihat dimana tadi Dan?” Yes! Uki gak curiga.
“Itu
tadi waktu kita lewat Jimmy Choo.” Dan Uki pun sukses tertawa.
“Jadi
Pak Bimo make Jimmy Choo?”
“Hih,
siapa tahu aja beliin istrinya.” Tapi mau tidak mau aku juga ikutan tertawa.
“Udah
deh sayang, mending kamu bantuin aku nyari kemeja baru.” Hhh, akhirnya aku
mencoba fokus sepenuhnya ke Uki yang mulai cerita. Namun itu hanya bertahan dua
menit. Karena pada menit ketiga, aku menoleh-noleh lagi. takut aja, kalau
tiba-tiba Bimo muncul. Aaargh, bisa-bisa bonus akhir tahunku di cancel ini.
Oke,
jadi memang tahun kemarin ini, bonus akhir tahunku lebih besar dari semua
pegawai yang ada di Saviour. Tentu saja, karena aku menyandang gelar sebagai
pacar simpanannya Bimo. Gila boo, bisa satu setengah kali gaji! Kan endeus
banget. Looks like I am material boy, isn’t it? Eh, tapi bukan karena bonus
akhir tahun aja ding aku masih mempertahankan Bimo. Aku masih nyaman di
Saviour, dan jujur aja perkataan Maya kemarin sedikit banyak membuatku agak
cemas juga. Bimo belum pernah marah padaku, bukan berarti dia tidak bisa kan?
Dan aku jelas tidak ingin memancing kemarahannya.
“Dan?”
Uki sukses menghancurkan khayalan tak masuk akal tapi sangat penting itu.
“Iya
Ki?”
Uki
menghela nafas, “Kalau kamu masih paranoid noleh-noleh ke belakang gitu sekali
lagi, aku bakal cium kamu di depan umum nih.”
“Nantangin
kamu?” Aku memajukan wajahku, apalagi aku lebih tinggi dari Uki, jadi lebih
kelihatan mengancam kan? Lebih kelihatan powerfull.
Tapi
bukannya mundur, Uki malah balas memajukan wajahnya. “Beneran?”
Akhirnya
aku yang mundur. Bukannya aku takut ya, namun aku bukan termasuk tipe orang
yang suka pamer kemesraan didepan umum. Not me at all, apa kata orang kalau aku
yang biasanya memandang remeh pasangan yang suka mengumbar kemesraan didepan
publik malah ikut-ikutan? Kemesraan versiku adalah ciuman, peluk-pelukan atau
bahkan make out sekalipun. Gandengan tangan gak aku hitung, itu masih tahap
wajar.
“Gak
penting banget kamu Ki, beneran.” Kataku sambil tertawa dan mendorongnya agak
menjauh. Aku melihat beberapa tatap mata mulai memperhatikan kami.
“Hahaha,
makanya jangan sebut Bimo-Bimo lagi dong. Cukup ya, kemarin dia jadi alasan
kita berantem.” Dan aku hanya tersenyum garing. Kalau nih ya, kalau Uki tahu
aku belum memutuskan Bimo, mungkin aku bisa diputus saat ini juga.
“Ki,
mau warna apa kemejanya?” Tanyaku begitu sudah memasuki Zegna.
“Gak
tahu sayang, terserah kamu sajalah. Putih, biru atau apa sajalah.” Aku langsung
meliriknya dan geleng-geleng kepala. Uki ternyata termasuk cowok type yang gak
ribet kalau beli baju ternyata.
Aku
melihat dua pramuniaga yang masih sibuk melayani pelanggan lain. Hmm, aku mulai
mencari-cari kemeja yang aku rasa cocok dengan Uki. Gak susah sih, karena Uki
berkulit putih, jadi mau makai apa saja, cocok. Like me. Hahaha.
“Ukuran
kamu S kan Ki?”
“M.”
“Gak
ke gedean?” Uki mendelik sebal.
“Iya-iya,
mentang-mentang kamu tinggi, aku pendek. Kamu kan ada darah Belandanya, wajar
tinggi. Aku asli Jawa lho. Tinggi segini udah lumayan.”
“Ciye,
nyalahin ras.” Aku menyolek pinggang Uki. “Eh Sayang, cobain dua ini dulu deh.”
Uki,
bukannya mengambil dua kemeja yang sedang aku pegang, dia malah senyum-senyum
gak jelas.
“Kenapa
kamu? Kamu gak ada riwayat penyakit gila kan?”
“Hehehe,
finaly, I can hear you call me ‘Sayang’.”
Aku
jadi ikut-ikutan senyum juga, tadi beneran gak sadar juga manggilnya.
“Cobain
gih.”
“Iya
Dan.” Aku membuntuti Uki ke ruang ganti yang berada di pojok. Pertama, Uki
keluar dengan kemeja warna biru dengan garis-garis putih. Terlihat fresh dan
pas di badan Uki. Kelihatan agak tinggian dikit. Aku mengacungkan jempolku dan
memberi instruksi pada Uki agar mencoba yang satunya lagi.
Yang
ini, warna putih dengan garis kotak-kotak berwarna hitam-merah. Jujur, aku
memang kurang menyukai kemeja yang polosan. Kesannya kurang aja. Harus ada
garisnya, atau motifnya. Kalau bisa lagi, ada gambarnya frozen sekalian.
Hahaha.
“Ini
ambil dua-duanya?”
“Iya.
Bagus semua kok di badan kamu.”
Uki
memasang wajah memelas, “Aku bangkrut.”
“Aku
tahu gaji kamu sayang, jangan sok miskin deh. Miskin beneran tahu rasa ntar.”
“Daniel?”
Bukan, itu bukan suara Uki yang memanggilku. Bukan juga Bimo, kuntilanak juga
bukan, tapi efeknya sama. Bikin merinding. Itu suara Titris a.k.a istrinya Bimo
a.k.a istrinya pacarku. Nyaliku menciut. Aku tahu Titris tidak tahu aku pernah,
aku bilang PERNAH ya, main gila dengan suaminya. Tapi tetap saja perasaan
bersalah itu muncul dan menggigitiku hingga aku ragu untuk berbalik dan menatap
Titris.
“Eh,
hai Mbak? Belanja juga? Sendirian aja?” Mau tak mau aku pun menoleh. Kalau
sekarang aku pura-pura menjadi manequin, sumpah udah telat banget. Atau kalau
aku pura-pura tidak kenal, bisa dipastikan besok Senin surat pemberhentianku
sudah menunggu di mejaku. Berlebihan, I know.
“Enggak,
sama Mas Bimo, Damian juga ikut.” Titris jelas hapal denganku. Lha wong aku
sering makan malam di rumahnya, dulu, awal-awal aku sedang main gila dengan
suaminya.
“Tuh
Mas Bimo sama Damian.” Titris melambaikan tangan kearah Bimo. Sumpah, ini
enggak lucu banget! Kalau ini ftv, aku pengen sutradara bilang cut saat ini
juga.
“Mas,
kebetulan ini aku ketemu Daniel sama temennya. Eh, team kamu juga kan mas?”
Kata Titris begitu Bimo sudah mendekat.
“Uki
mbak.” Uki inisiatif memperkenalkan diri. Dan Titris tersenyum, Titris itu
cantik, cowok straight yang normal pasti benar-benar gak akan terbesit
perselingkuhan jika punya istri macam Titris. Bimo, lain kasus dong. Dia kan
homo. Oya lupa, mana ada cowok yang berniat jadi straight setelah berkenalan
denganku?
“Iya,
berdua saja kalian?” Aku yakin bisa merasakan pertanyaan Bimo yang menusuk
secara kasat mata.
“Aah
enggak. Kebetulan tadi ketemu disini Pak.” Mampus, Uki pasti ngambek ini.
Gimana bisa disebut kebetulan, kalau tadi pagi Uki sendiri yang menjemput ke
Apartmentku? Kebetulan dia menjemput gitu? Gak lucu.
“Uncle
Daniel. Kangen.” Damian yang sedang dalam gendongan bapaknya tiba-tiba
mengulurkan tangan minta digendong olehku. Haduh, bapak sama anak nalurinya
sama nih ke aku.
“Aduh
Damian, Uncle Daniel mau pulang. Sama Daddy aja ya?” Titris entah disengaja
atau tidak, membelai lengan Bimo yang tengah menyangga berat badan Damian.
Lengan kokoh yang sering memanjakanku. Shit! Aku kenapa sih?
Dan
ketika Titris menatap Bimo dengan penuh sayang yang dibalas sama oleh Bimo, aku
menyadari satu hal. Kenapa aku tidak mau melepaskan Bimo, satu alasan dasar
yang aku kira sudah lama mati. Aku masih mencintai Bimo. Shit! Dan pemandangan
ini, keluarga kecil bahagia ini, membuatku cemburu luar biasa.
***
“Kalo
lo bukan temen gue, udah gue block lo dari twitter dan facebook.” Aku bersungut
sebal sambil membuat kopi sendiri di dapur rumahnya Maya. Dapur ini dilengkapi
dengan furniture modern namun minimalis. Sepertinya, baik Banyu ataupun Maya
kurang menyukai polesan. Lha orang dindingnya aja lempeng banget warna putih.
“Ini
kan hari Minggu darling, lo juga tadi ke gereja kan? Jadi pasti bangun pagi
dong?” Maya, berjalan kearah kulkas, lalu mengeluarkan kue coklat.
“Gue
absen gereja tadi. Bangun juga karena lo telepon.” Aku masih tidak rela hari
Minggu pagiku di rusak oleh Maya. Rencananya mau ke gerejanya sorean, dan
bangun agak siang, tapi Maya terus-terusan merecokki ku untuk segera ke
rumahnya. Untungnya, aku masih selamat mengendarai mobil dari apartment ke
rumah Maya dalam kondisi mengantuk.
“Gue
masih gak terima aja Dan! You know what? Banyu itu besok pagi harus pergi ke
Bali buat urusan bisnisnya. Wajar dong, kalau hari ini gue pengen manja-manjaan
sama dia. Eeh, dia malah nonton Inbox live karena ada Cita Citata! Ya ampun,
demi Tuhan deh Dan, Cita Citata dibandingin gue bininya sendiri?!” Maya
misuh-misuh. Aku, antara prihatin dan ingin tertawa dengan nasib Maya yang
dicuekkin lakinya pagi ini. Ditinggal nonton Cita Citata lagi. Sakitnya tuh
disini.
“Emang
Japheth dimana? Kangen gue ama anak lo.”
“Nah,
mumpung si Japheth lagi sama Eyangnya, gue kan pengen you know lah sama laki
gue, lebih bebas kan? Tapi apa coba yang gue dapat? Gue malah sendirian di
rumah, kayak janda tau gak?”
“Orang
tua lo?” Aku berjalan ke arah Maya, mengambil potongan kue coklat yang barusan
sudah diiris sama doi.
“Orang
tua Banyu.”
“Tumben
kue lo enak, beli ya?”
Maya
langsung menoyor kepalaku sambil ketawa, “Sial lo ya Dan! Segitu gak enaknya ya
gue kalau masak? Iya, tadinya cuman mau beli roti biasa, eh gue liat itu cake,
gue beli deh. Enak kan?” Maya terlihat merenung sebentar. “Eh apa jangan-jangan
karena gue gak bisa masak ya Banyu jadi lebih milih lihat Cita Citata
dibandingin gue?”
“Halah,
pikiran lo May! Dulu ya, pas Banyu ngasih seserahan yang mahal ke elo, giling
ya! Gue masih gak habis pikir lo minta setelan Marc Jacobs buat seserahan lo!”
“Intinya
lo mau ngomong apa?” Maya memotong ucapanku dengan tidak sabar.
“Intinya,
doi bayar mahar mahal-mahal buat elo bukan karena masakan lo itu terenak
sedunia kan? Bukan juga karena lo suka dangdut kayak doi kan? Tapi itu karena
elo itu Maya, cewek yang pengen doi nikahin, cewek yang pengen doi jadiin ibu
buat anak-anaknya.”
“Am
I really taking relationship advice from Joshua Daniel Pradipta, who’s already
slept with almost all human that have penis?”
“Sialan
lo ya!” Tapi aku mau tidak mau jadi tertawa, “Gue gak sebitchy itu juga kali
May.”
“Eh,
by the way, lo uda tidur sama Uki belom? How is he? He’s good?”
“Dunno.
Lihat doi shirtless aja gue belum pernah.”
“You
are kidding! Playboy kayak elo? Yang jumlah mantan temen bobonya bisa nyaingin jumlah propertinya Sedayu
Group?” Aku melempar kain serbet yang baru saja aku pegang untuk membersihkan
rempahan kue coklat bekasku makan tepat ke kepala Maya.
“Sialan
lo! Ya abis gimana May? Gue udah macing-mancing juga paling mentoknya cuman
ampe cipokkan.”
“Lo
agresive dong, biasanya juga gitu.”
“I
can’t do that. I am a proper lady.”
“Buahaha,
gaya lo Dan. Eh mau Wine gak lo?” Maya mengutak-atik lemari bawah.
“Bukannya
lo uda dilarang suami lo minum ya?”
“Haduh
boo, kalau lagi bete kayak gini, wine is best friend. Ya kan? Join gak?” Aku
tertawa kemudian mengambil botol yang sedang dipegang Maya.
“Bisa
aja lo ya nyembunyiin dari laki lo.”
“Cheers
honey! Uda lama ya boo, kita berdua gak private party berdua gini.” Aku dan
Maya mendentingkan gelas kita berdua ala-ala sosialita. Lalu cekikikan berdua,
belum juga minum udah mau gila. Hahaha.
“Lo
beneran uda over dari Bimo Dan? Gue masih inget pengorbanan yang dulu lo lakuin
buat Bimo. Dan sekarang lo mau lepasin dia gitu? Gue gak bilang Uki gak
deserved buat dapetin lo, tapi . . .”
“Gue
lagi May yang gak layak buat Uki. Gue ini pacar cowok pertamanya. Lagian, gue
uda capek, memperjuangkan sesuatu yang gak bakalan gue dapetin. Bimo gak worth
it buat gue harus berkorban sebanyak dan selama itu. Dua tahun May! Bukannya
gue pengen Bimo cerai dan milih gue ya, but at least gue pengen dia lebih
nunjukkin perhatiannya ke gue, dikit aja dari waktu kerja dan waktu dia buat
keluarganya.”
“Lo
tahu? Gue bakal ada disini tiap lo butuh gue.” Aku menoleh ke arah Maya,
memeluknya dengan tulus.
“Thanks.”
Maya
tersenyum, “Party is over, Banyu udah balik.” Dan aku hanya bisa tertawa
terbahak melihat Maya yang terburu-buru menyembunyikan botol wine yang masih
sisa separo.
***
Evan
Sutedjo
“Udah
lama tahu gue curiga.”
“Curiga
kenapa?” Gue duduk diatas ranjang milik Reno. Kali ini, gue yang main ke bawah,
ke kamarnya Reno. Hari Minggu ini masih aja mendung, padahal udah jam satu
lewat. Bikin males mau ngapa-ngapain. Ini saja, kita berdua habis nonton
Frozen. Film favorite gue sama Daniel. Gak bosen walau uda nonton berkali-kali
juga. Dan ternyata Reno suka juga.
“Lo
gay kan? Abis ini ya, tiap gue buka Jack’D selalu ada yang deket banget
jaraknya sama gue. Nah ini 0.0 meter. Siapa lagi kalau bukan elo?”
Gue
tertawa, gak perlu canggung kan, toh dia pake aplikasi Jack’D juga, berarti dia
sama dong kayak gue? Ya cowok straight mana tahu sih aplikasi kek beginian?
“Hahaha,
trus?”
“Eh,
temen lo yang hot itu gay juga?” Gue, dengan sangat hebat –gue harus
mengapresiasi akting pura-pura cool gue, bakat jadi aktor- menutupi kegugupan
gue. Bertaya dengan sok asik, “Lo naksir ya?”
“Hahaha,
dia itu impian semua cowok gay tahuk! Ganteng, seksi, berkelas lagi, ya kan?
Eh, jangan-jangan dia bf lo lagi? Kalau dari 1 sampai 10, nilai dia itu 12.
Siapa sih namanya?” Pengen tahu perasaan gue kayak gimana? Bayangin ini deh, lo
naksir orang dan orang yang elo taksir ini malah ngomongin temen lo, gimana
perasaan lo?
“Daniel.”
“Boleh
kali kalau dia maen kesini lo kenalin ke gue?”
“Oke,”
Itu yang keluar dari mulut gue, bukannya. “Shut the fuck up Ren! Ada gue yang
memuja lo disini dan lo malah nanyain temen gue?” atau, “Lo itu buta ya gak
liat cinta di mata gue buat elo?” Enggak, kata-kata itu gak muncul sama sekali.
Gue cuman diem, masih menikmati adegan Douglas Booth yang berkejar-kejaran
dengan Emma Watson dalam film Noah. Ya, setelah habis nonton Frozen tadi, kita
berdua lanjut nonton Noah. Masih dengan Big Cola botol gede di tengah-tengah
kita. Dan beberapa snack, semacam, Lays dan Potatos.
Beberapa
hari terakhir ini gue dan Reno emang semakin dekat. Dan, mau gak mau itu
numbuhin harapan kalau Reno juga ada feeling yang sama ke gue. Penyakit homo
emang, selalu ngrasa spesial kalau diberi sedikit perhatian. Crap! Gue tahu
seharusnya gue gak boleh berharap lebih. Sampai kapan gue harus belajar bahwa
gue gak akan pernah menang dari Daniel?
Rasjid?
Cowok yang sering gue lihat diam-diam saat gue numpang tidur di perpustakaan
itu akhirnya juga jatuh cinta pada Daniel.
Daniel?
Dia gak pernah tahu kalau gue juga pernah naksir Rasjid. gue gak pernah bilang
padanya, gue pura-pura ikut bahagia sewaktu Daniel bercerita bahwa dia akhirnya
jadian dengan Rasjid. Gue selalu pura-pura ikut excited dengan semua cerita
Daniel tentang Rasjid, tentang ciuman pertama mereka, seks pertama mereka.
Daniel menceritakan semuanya sama gue. Dan gue? Gue ikut berbahagia untuk
Daniel. Sungguh, gue akan memberikan apapun untuk Daniel. Dia satu-satunya
orang yang membela gue disaat dulu gue diejek banci karena sering main dengan
anak perempuan.
Dia
yang babak belur dihajar kakak kelas karena ngebela gue yang waktu itu dibully
habis-habisan waktu MOS. Percaya atau enggak, gue itu dulu lemah banget,
klemar-klemer, dan Daniel satu-satunya orang yang mau temenan dengan tulus sama
gue.
Gak
pernah ngatain banci, gak pernah ikut-ikutan temen yang lain yang selalu
menggoda gue dengan sebutan ‘mbak’, ‘jeung’ atau semacamnya itu waktu SD dan
SMP. Sekarang sih, kata-kata tersebut gak ngefek ke gue, tapi dulu? Itu
nyakitin.
Tapi
sekarang, kalau gue harus nyerah lagi supaya Reno bisa deket dengan Daniel, apa
bisa?
Apa
gue gak disebut egois kalau gue, sekali ini saja berjuang atau mungkin bahkan
bersaing dengan Daniel untuk mencuri perhatian Reno? Ridicilous, gue tahu.
Daniel hanya menganggap Reno ‘cuci mata’ saja. Gue bahkan gak yakin Daniel mau
mempertimbangkan Reno sebagai pacar, mungkin sebagai temen bobo.
“Gue
balik atas dulu ya Ren?”
“Lho
kenapa? Kan belum kelar filmnya? Lo gak suka, gue masih ada koleksi baru nih,
FIRM dari Thailand, atau Perfect Plan? Van?”
“Gak,
gue capek aja, pengen tiduran di kamar gue.”
“Kenapa
gak disini aja? Kan sama aja, temenin gue dong. Lo tidur gak papa, tapi tetep
disini temenin gue ya?” Aaargh, kalau gini caranya gue kan makin susah buat
nolak!
“Oke.”
Gue emang lemah sama Reno.
***
Uki
Bagus Walantaga
Aku
bersidekap, masih menunggu Daniel yang entah disengaja atau tidak, memakan
ayamnya dengan santai. Daniel seharusnya tahu, malam ini aku kesini buat apa,
bukan cuman buat nganter ayam goreng pesenan dia doang, memangnya aku kurirnya
McD?
“Gak
makan juga Ki?” Mau tak mau aku mengambil tissue dan melap bibir dan pipinya
yang belepotan saus. Wajahnya yang innoncent ditambah ‘eyes puppy’nya itu
kadang-kadang memang bikin terlena dan lupa kalau aku sedang ingin menuntut
penjelasan.
“Kamu
sebenarnya udah putus dari Bimo belum?”
“Udah.”
“Terus
kenapa kemarin kamu bohong?”
“Aku
gak pengen Bimo curiga aj--- ”
“Tuh
kan! Ngapain pusing-pusing mikirin perasaan Bimo, coba kamu?” Sambarku cepat.
“Aku
baru putus terus langsung dapet gandengan baru, kesannya murah banget aku Ki!
Aah, terserah kamu sajalah.” Tuh kan, nyebelinnya keluar. Kesannya kayak aku
doang yang berjuang buat hubungan ini.
“Kadang,
aku ngrasa, aku terlalu jauh larut. Ini pertama kalinya aku jatuh cinta sama,
eer , eeem.” Aku terus terang masih kaku menggunakan kata ‘gay’ untuk
menggambarkan diriku sendiri. Entahlah.
“Sama
cowok? Terus sama aku lagi, yang brengseknya saingan sama miringnya menara
Pissa.”
“Bukan
gitu Dan, aku gak pernah nyesel kok. Beneran, cuman pengen yakin aja kalau
cuman aku yang sedang menjalin relationship sama kamu. Bukan ada Bimo atau
Robby atau entah siapa lagi.”
“Robby?
Robby yang mana Ki?” Wajah bingungnya Daniel ini emang jagonya bikin gemes. Aku
mencubit hidungnya pelan.
“Itu,
GM cabang Semarang.”
Kini,
giliran Daniel yang tertawa terbahak-bahak. “Ada-ada aja kamu, aku cuci tangan
dulu ya.” Aku mengiyakan sambil memberinya ciuman kilat di pipi.
Aku
tak pernah menyangka aku akan memilih jalan ini. Serius, sebelum ke Semarang,
rencanaku jelas sudah matang. Mengutarakan perasaanku untuk Hita, yang aku
yakin seratus persen bakal diterima, kemudian menjalin hubungan serius
dengannya sebelum akhirnya menikah. Lalu mempunyai dua anak, atau tiga, aku tak
keberatan dan kita akan bahagia. Mungkin bakal ada ribut-ribut sedikit, tapi kedua
orang tuaku jelas akan memberi restu. Hita baik, dari keluarga baik-baik.
Rasanya, rencanaku sempurna kan?
Ya!
Tapi aku lebih memilih jalan ini. Aku lebih memilih Daniel, yang entah mengapa
mulai menghatuiku lebih sering sejak pulang dari Semarang. Mengabaikan semua
akal sehat yang tentu saja benar dan berbuat konyol dengan meminta Daniel
menjadi pacarku dengan ciuman.
Aku
sedikit berharap, dulu sewaktu aku memintanya, Daniel akan menolak, dan dengan
begitu aku bisa kembali ke rencana semula dengan Hita sebagai masa depanku.
Tapi nyatanya tidak.
Dan
apakah aku menyesal, sayangnya tidak.
Daniel
membuatku semakin mabuk, dia mencintaiku dengan cara yang berbeda. Dan aku? Aku
semakin hanyut, jika cintaku diibaratkan tumbuhan menjalar, seluruh tubuhku
mungkin sudah tertutup tumbuhan menjalar tersebut. Dan sudah tidak ada
kesempatan diriku untuk keluar, kalaupun aku bisa keluar, aku yakin aku tak kan
pernah jadi sama.
Daniel
menepuk pundakku, menyeretku kembali ke alam nyata. Dia lantas membuka kaosnya.
“Ngapain
kamu buka baju dingin-dingin gini?” Daniel hanya diam, tak menjawab
pertanyaanku. Dia malah sedikit menurunkan celana trainingnya. Awalnya, aku
kira Daniel mau ngajak berbuat mesum, dan bukannya aku tidak mau. Aku hanya
belum siap. Namun aku melihat tatto baru itu, bekas merahnya masih ada. Aku
menyentuhnya, mengabaikan rambut halus yang mengintip dari ban celana training
Daniel. Yang, jujur saja sangat menarik.
Namaku
tertulis disitu.
“Kenapa
harus deket selangkangan, natto namaku?” Dan tawa Daniel langsung meledak.
“Pengen
aja.”
“Berarti
tukang tattonya lihat itu kamu dong sayang?” Entah ya, membayangkan bahwa si
tukang tatto menatto Daniel dengan menikmati penis Daniel yang . . . Aaaargh!!
Aku bahkan gak bisa bayangin! Aku sendiri belum pernah lihat, cuman pernah
lihat bokong bahenolnya, itupun sekilas.
“Itu
apa?”
Aku
agak risih mengucapkannya, “Tititmu.”
Daniel
kembali tertawa, “Enggak lah, cuman lihat jembutku doang. Abis di dadaku uda
ada tatto. Gak mungkin aku natto di pantat kan?” Aku kadang masih harus
terbiasa dengan bibirnya Daniel yang kalau ngomong suka ngawur dan gak sopan.
Aku
beralih ke dada Daniel yang memang sudah terbuka, menatap puting merah jambunya
dari jarak yang sangat dekat. Dan tanpa sadar, aku sudah menciumnya,
menggigitinya pelan.
Aku
menjauhkan bibirku dari puting Daniel yang sedikit bengkak karena perlakuanku
barusan, mendongak, menatap Daniel. “Kalau yang di dada ini artinya apa?”
“Itu
diambil dari petikkan ayat suci di Alkitab, dalam bahasa Ibrani. Intinya,
jangan ada allah lain selain Allahku.” Aku masih menatapnya tak mengerti.
“Gini
Ki, pokoknya aku gak bolah nyembah allah lain selain Jesus. Dan allah lain itu
bisa berupa duit, hobbi atau bahkan orang tua, teman, pacar. Menyembah disini
bisa berarti lebih mengutamakan orang lain daripada Allahku sendiri.”
“Kamu
nglakuin itu? Atau cuman sekedar tatto?”
“Aku
pernah nglakuin itu, dan aku menyerah. Karena percuma.”
“Percuma?”
“Seberapapun
aku berkorban untukNya, Tuhan gak akan pernah mau menerimaku yang gay. Aku
menyerah Ki. Menyerah melayaninya sepenuh hati, aku tidak bisa lagi.”
Aku
diam beberapa menit. Aura seks yang tadi sempat memanas, hilang entah kemana.
“Kapan?”
“Saat
aku lulus SMA.”
“Tapi
kamu tiap Minggu masih ke gereja.”
Daniel
tersenyum ringan, “Mamaku bisa membunuhku kalau tahu aku absen dari gereja satu
kali saja tanpa alasan pasti.”
“Pendeta
di gerejaku itu temennya Mama, that’s why . . .” Daniel melanjutkan
penjelasannya ketika aku masih tidak mengerti.
“Sayang,
kamu kan gak pernah tahu ibadah kamu bakal diterima apa enggak. Janji sama aku,
kamu bakal melayani Tuhan kamu lagi kayak dulu. Bukan cuman karena Mama kamu.”
“Ki,
itu tuh tertulis jelas di Alkitab, Tuhan itu mengutuk kaum gay!”
“Alqur’an
juga, tapi aku tetap sholat. aku cuman gak pengen kamu berpikiran yang jahat ke
Tuhan. Bukannya Dia penuh cinta kasih?” Daniel diam. Aku juga, sejak kapan aku
jadi sok alim gini ya? Tapi beneran deh, kalau nanti aku tidak bisa menjaga
Daniel lagi, aku ingin dia mempunyai pegangan yang cukup.
“Jadi
batal lagi nih hubungan seksnya?” Aku tak sanggup menahan tawaku. Daniel memang
gemesin.
“Sini
tiduran di perutku, bajunya dipakai dulu tapi. Aku pengen dongeng ke kamu
sebelum kamu bobo.” Daniel memakai bajunya, merebahkan kepalanya di perutku.
Tanganku tak henti-hentinya membelai rambut hitam ikalnya. Bibir merahnya yang
dikerutkan entah kenapa membuatku senyum-senyum sendiri.
“Dongeng
apa? Snow White? Atau Cinderella?” Daniel menuntun tangan kiriku untuk
mengelus-elus daun telinganya.
“Aku
gak yakin ceritaku bakal sebagus cerita mereka, tapi kamu mau kan denger cerita
masa kecil pacar kamu?”
Daniel
tersenyum, lalu tertawa, deretan gigi putihnya tampak jelas. Kalau ada brand
pasta gigi yang sedang mau mencari model yang tepat, aku bisa merekomendasikan
Daniel.
“Oke,
kamu bobo sini kan sayang?” Dan aku tersenyum sambil mulai bercerita.
TBC.
. .
lanjuuuutttttt dong... yang barista juga
BalasHapus