FOLLOW ME

Minggu, 04 Januari 2015

BOTTOM 6

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Joshua Daniel Pradipta
Akhir-akhir ini, aku sering merasa kalau Bimo selalu mengawasiku. Oke, seharusnya aku cepat membicarakan masalah hubunganku dengan Bimo yang sudah tidak jelas arahnya. Tapi kasusnya gini, aku cinta Uki, tidak diragukan lagi. Tapi, entah kenapa aku belum bisa melepas Bimo begitu saja. Egois? Ya, benar sekali.
Seperti hari Sabtu ini, saat aku dan Uki tengah menghabiskan waktu dengan jalan-jalan di mall. Aku seperti melihat Bimo tadi, entah ya hanya perasaanku atau memang Bimo berada di sini. Bahkan saking paranoidnya, aku beberapa kali menoleh ke belakang. Kiri-kanan, udah mirip polisi lalu lintas cari korban buat ditilang deh.
“Dan, kenapa sih? Nolah-noleh kayak anak ilang dari tadi?”
“Ada Pak Bimo Ki.”
“Trus kenapa kalau ada Pak Bimo?” Haduh, kalau aku bilang aku belum juga putus dari atasanku itu, Uki pasti ngamuk. Ehm, terkadang bohong itu diperlukan. Bukan, bukan untuk kebaikan, tapi untuk menyelamatkan diri sendiri. Aku kan gak munafik.
“Males aja kali ketemu bos hari libur gini.”
“Emangnya kamu lihat dimana tadi Dan?” Yes! Uki gak curiga.
“Itu tadi waktu kita lewat Jimmy Choo.” Dan Uki pun sukses tertawa.
“Jadi Pak Bimo make Jimmy Choo?”
“Hih, siapa tahu aja beliin istrinya.” Tapi mau tidak mau aku juga ikutan tertawa.
“Udah deh sayang, mending kamu bantuin aku nyari kemeja baru.” Hhh, akhirnya aku mencoba fokus sepenuhnya ke Uki yang mulai cerita. Namun itu hanya bertahan dua menit. Karena pada menit ketiga, aku menoleh-noleh lagi. takut aja, kalau tiba-tiba Bimo muncul. Aaargh, bisa-bisa bonus akhir tahunku di cancel ini.
Oke, jadi memang tahun kemarin ini, bonus akhir tahunku lebih besar dari semua pegawai yang ada di Saviour. Tentu saja, karena aku menyandang gelar sebagai pacar simpanannya Bimo. Gila boo, bisa satu setengah kali gaji! Kan endeus banget. Looks like I am material boy, isn’t it? Eh, tapi bukan karena bonus akhir tahun aja ding aku masih mempertahankan Bimo. Aku masih nyaman di Saviour, dan jujur aja perkataan Maya kemarin sedikit banyak membuatku agak cemas juga. Bimo belum pernah marah padaku, bukan berarti dia tidak bisa kan? Dan aku jelas tidak ingin memancing kemarahannya.
“Dan?” Uki sukses menghancurkan khayalan tak masuk akal tapi sangat penting itu.
“Iya Ki?”
Uki menghela nafas, “Kalau kamu masih paranoid noleh-noleh ke belakang gitu sekali lagi, aku bakal cium kamu di depan umum nih.”
“Nantangin kamu?” Aku memajukan wajahku, apalagi aku lebih tinggi dari Uki, jadi lebih kelihatan mengancam kan? Lebih kelihatan powerfull.
Tapi bukannya mundur, Uki malah balas memajukan wajahnya. “Beneran?”
Akhirnya aku yang mundur. Bukannya aku takut ya, namun aku bukan termasuk tipe orang yang suka pamer kemesraan didepan umum. Not me at all, apa kata orang kalau aku yang biasanya memandang remeh pasangan yang suka mengumbar kemesraan didepan publik malah ikut-ikutan? Kemesraan versiku adalah ciuman, peluk-pelukan atau bahkan make out sekalipun. Gandengan tangan gak aku hitung, itu masih tahap wajar.
“Gak penting banget kamu Ki, beneran.” Kataku sambil tertawa dan mendorongnya agak menjauh. Aku melihat beberapa tatap mata mulai memperhatikan kami.
“Hahaha, makanya jangan sebut Bimo-Bimo lagi dong. Cukup ya, kemarin dia jadi alasan kita berantem.” Dan aku hanya tersenyum garing. Kalau nih ya, kalau Uki tahu aku belum memutuskan Bimo, mungkin aku bisa diputus saat ini juga.
“Ki, mau warna apa kemejanya?” Tanyaku begitu sudah memasuki Zegna.
“Gak tahu sayang, terserah kamu sajalah. Putih, biru atau apa sajalah.” Aku langsung meliriknya dan geleng-geleng kepala. Uki ternyata termasuk cowok type yang gak ribet kalau beli baju ternyata.
Aku melihat dua pramuniaga yang masih sibuk melayani pelanggan lain. Hmm, aku mulai mencari-cari kemeja yang aku rasa cocok dengan Uki. Gak susah sih, karena Uki berkulit putih, jadi mau makai apa saja, cocok. Like me. Hahaha.
“Ukuran kamu S kan Ki?”
“M.”
“Gak ke gedean?” Uki mendelik sebal.
“Iya-iya, mentang-mentang kamu tinggi, aku pendek. Kamu kan ada darah Belandanya, wajar tinggi. Aku asli Jawa lho. Tinggi segini udah lumayan.”
“Ciye, nyalahin ras.” Aku menyolek pinggang Uki. “Eh Sayang, cobain dua ini dulu deh.”
Uki, bukannya mengambil dua kemeja yang sedang aku pegang, dia malah senyum-senyum gak jelas.
“Kenapa kamu? Kamu gak ada riwayat penyakit gila kan?”
“Hehehe, finaly, I can hear you call me ‘Sayang’.”
Aku jadi ikut-ikutan senyum juga, tadi beneran gak sadar juga manggilnya.
“Cobain gih.”
“Iya Dan.” Aku membuntuti Uki ke ruang ganti yang berada di pojok. Pertama, Uki keluar dengan kemeja warna biru dengan garis-garis putih. Terlihat fresh dan pas di badan Uki. Kelihatan agak tinggian dikit. Aku mengacungkan jempolku dan memberi instruksi pada Uki agar mencoba yang satunya lagi.
Yang ini, warna putih dengan garis kotak-kotak berwarna hitam-merah. Jujur, aku memang kurang menyukai kemeja yang polosan. Kesannya kurang aja. Harus ada garisnya, atau motifnya. Kalau bisa lagi, ada gambarnya frozen sekalian. Hahaha.
“Ini ambil dua-duanya?”
“Iya. Bagus semua kok di badan kamu.”
Uki memasang wajah memelas, “Aku bangkrut.”
“Aku tahu gaji kamu sayang, jangan sok miskin deh. Miskin beneran tahu rasa ntar.”
“Daniel?” Bukan, itu bukan suara Uki yang memanggilku. Bukan juga Bimo, kuntilanak juga bukan, tapi efeknya sama. Bikin merinding. Itu suara Titris a.k.a istrinya Bimo a.k.a istrinya pacarku. Nyaliku menciut. Aku tahu Titris tidak tahu aku pernah, aku bilang PERNAH ya, main gila dengan suaminya. Tapi tetap saja perasaan bersalah itu muncul dan menggigitiku hingga aku ragu untuk berbalik dan menatap Titris.
“Eh, hai Mbak? Belanja juga? Sendirian aja?” Mau tak mau aku pun menoleh. Kalau sekarang aku pura-pura menjadi manequin, sumpah udah telat banget. Atau kalau aku pura-pura tidak kenal, bisa dipastikan besok Senin surat pemberhentianku sudah menunggu di mejaku. Berlebihan, I know.
“Enggak, sama Mas Bimo, Damian juga ikut.” Titris jelas hapal denganku. Lha wong aku sering makan malam di rumahnya, dulu, awal-awal aku sedang main gila dengan suaminya.
“Tuh Mas Bimo sama Damian.” Titris melambaikan tangan kearah Bimo. Sumpah, ini enggak lucu banget! Kalau ini ftv, aku pengen sutradara bilang cut saat ini juga.
“Mas, kebetulan ini aku ketemu Daniel sama temennya. Eh, team kamu juga kan mas?” Kata Titris begitu Bimo sudah mendekat.
“Uki mbak.” Uki inisiatif memperkenalkan diri. Dan Titris tersenyum, Titris itu cantik, cowok straight yang normal pasti benar-benar gak akan terbesit perselingkuhan jika punya istri macam Titris. Bimo, lain kasus dong. Dia kan homo. Oya lupa, mana ada cowok yang berniat jadi straight setelah berkenalan denganku?
“Iya, berdua saja kalian?” Aku yakin bisa merasakan pertanyaan Bimo yang menusuk secara kasat mata.
“Aah enggak. Kebetulan tadi ketemu disini Pak.” Mampus, Uki pasti ngambek ini. Gimana bisa disebut kebetulan, kalau tadi pagi Uki sendiri yang menjemput ke Apartmentku? Kebetulan dia menjemput gitu? Gak lucu.
“Uncle Daniel. Kangen.” Damian yang sedang dalam gendongan bapaknya tiba-tiba mengulurkan tangan minta digendong olehku. Haduh, bapak sama anak nalurinya sama nih ke aku.
“Aduh Damian, Uncle Daniel mau pulang. Sama Daddy aja ya?” Titris entah disengaja atau tidak, membelai lengan Bimo yang tengah menyangga berat badan Damian. Lengan kokoh yang sering memanjakanku. Shit! Aku kenapa sih?
Dan ketika Titris menatap Bimo dengan penuh sayang yang dibalas sama oleh Bimo, aku menyadari satu hal. Kenapa aku tidak mau melepaskan Bimo, satu alasan dasar yang aku kira sudah lama mati. Aku masih mencintai Bimo. Shit! Dan pemandangan ini, keluarga kecil bahagia ini, membuatku cemburu luar biasa.
***

“Kalo lo bukan temen gue, udah gue block lo dari twitter dan facebook.” Aku bersungut sebal sambil membuat kopi sendiri di dapur rumahnya Maya. Dapur ini dilengkapi dengan furniture modern namun minimalis. Sepertinya, baik Banyu ataupun Maya kurang menyukai polesan. Lha orang dindingnya aja lempeng banget warna putih.
“Ini kan hari Minggu darling, lo juga tadi ke gereja kan? Jadi pasti bangun pagi dong?” Maya, berjalan kearah kulkas, lalu mengeluarkan kue coklat.
“Gue absen gereja tadi. Bangun juga karena lo telepon.” Aku masih tidak rela hari Minggu pagiku di rusak oleh Maya. Rencananya mau ke gerejanya sorean, dan bangun agak siang, tapi Maya terus-terusan merecokki ku untuk segera ke rumahnya. Untungnya, aku masih selamat mengendarai mobil dari apartment ke rumah Maya dalam kondisi mengantuk.
“Gue masih gak terima aja Dan! You know what? Banyu itu besok pagi harus pergi ke Bali buat urusan bisnisnya. Wajar dong, kalau hari ini gue pengen manja-manjaan sama dia. Eeh, dia malah nonton Inbox live karena ada Cita Citata! Ya ampun, demi Tuhan deh Dan, Cita Citata dibandingin gue bininya sendiri?!” Maya misuh-misuh. Aku, antara prihatin dan ingin tertawa dengan nasib Maya yang dicuekkin lakinya pagi ini. Ditinggal nonton Cita Citata lagi. Sakitnya tuh disini.
“Emang Japheth dimana? Kangen gue ama anak lo.”
“Nah, mumpung si Japheth lagi sama Eyangnya, gue kan pengen you know lah sama laki gue, lebih bebas kan? Tapi apa coba yang gue dapat? Gue malah sendirian di rumah, kayak janda tau gak?”
“Orang tua lo?” Aku berjalan ke arah Maya, mengambil potongan kue coklat yang barusan sudah diiris sama doi.
“Orang tua Banyu.”
“Tumben kue lo enak, beli ya?”
Maya langsung menoyor kepalaku sambil ketawa, “Sial lo ya Dan! Segitu gak enaknya ya gue kalau masak? Iya, tadinya cuman mau beli roti biasa, eh gue liat itu cake, gue beli deh. Enak kan?” Maya terlihat merenung sebentar. “Eh apa jangan-jangan karena gue gak bisa masak ya Banyu jadi lebih milih lihat Cita Citata dibandingin gue?”
“Halah, pikiran lo May! Dulu ya, pas Banyu ngasih seserahan yang mahal ke elo, giling ya! Gue masih gak habis pikir lo minta setelan Marc Jacobs buat seserahan lo!”
“Intinya lo mau ngomong apa?” Maya memotong ucapanku dengan tidak sabar.
“Intinya, doi bayar mahar mahal-mahal buat elo bukan karena masakan lo itu terenak sedunia kan? Bukan juga karena lo suka dangdut kayak doi kan? Tapi itu karena elo itu Maya, cewek yang pengen doi nikahin, cewek yang pengen doi jadiin ibu buat anak-anaknya.”
“Am I really taking relationship advice from Joshua Daniel Pradipta, who’s already slept with almost all human that have penis?”
“Sialan lo ya!” Tapi aku mau tidak mau jadi tertawa, “Gue gak sebitchy itu juga kali May.”
“Eh, by the way, lo uda tidur sama Uki belom? How is he? He’s good?”
“Dunno. Lihat doi shirtless aja gue belum pernah.”
“You are kidding! Playboy kayak elo? Yang jumlah mantan temen bobonya  bisa nyaingin jumlah propertinya Sedayu Group?” Aku melempar kain serbet yang baru saja aku pegang untuk membersihkan rempahan kue coklat bekasku makan tepat ke kepala Maya.
“Sialan lo! Ya abis gimana May? Gue udah macing-mancing juga paling mentoknya cuman ampe cipokkan.”
“Lo agresive dong, biasanya juga gitu.”
“I can’t do that. I am a proper lady.”
“Buahaha, gaya lo Dan. Eh mau Wine gak lo?” Maya mengutak-atik lemari bawah.
“Bukannya lo uda dilarang suami lo minum ya?”
“Haduh boo, kalau lagi bete kayak gini, wine is best friend. Ya kan? Join gak?” Aku tertawa kemudian mengambil botol yang sedang dipegang Maya.
“Bisa aja lo ya nyembunyiin dari laki lo.”
“Cheers honey! Uda lama ya boo, kita berdua gak private party berdua gini.” Aku dan Maya mendentingkan gelas kita berdua ala-ala sosialita. Lalu cekikikan berdua, belum juga minum udah mau gila. Hahaha.
“Lo beneran uda over dari Bimo Dan? Gue masih inget pengorbanan yang dulu lo lakuin buat Bimo. Dan sekarang lo mau lepasin dia gitu? Gue gak bilang Uki gak deserved buat dapetin lo, tapi . . .”
“Gue lagi May yang gak layak buat Uki. Gue ini pacar cowok pertamanya. Lagian, gue uda capek, memperjuangkan sesuatu yang gak bakalan gue dapetin. Bimo gak worth it buat gue harus berkorban sebanyak dan selama itu. Dua tahun May! Bukannya gue pengen Bimo cerai dan milih gue ya, but at least gue pengen dia lebih nunjukkin perhatiannya ke gue, dikit aja dari waktu kerja dan waktu dia buat keluarganya.”
“Lo tahu? Gue bakal ada disini tiap lo butuh gue.” Aku menoleh ke arah Maya, memeluknya dengan tulus.
“Thanks.”
Maya tersenyum, “Party is over, Banyu udah balik.” Dan aku hanya bisa tertawa terbahak melihat Maya yang terburu-buru menyembunyikan botol wine yang masih sisa separo.
***

Evan Sutedjo
“Udah lama tahu gue curiga.”
“Curiga kenapa?” Gue duduk diatas ranjang milik Reno. Kali ini, gue yang main ke bawah, ke kamarnya Reno. Hari Minggu ini masih aja mendung, padahal udah jam satu lewat. Bikin males mau ngapa-ngapain. Ini saja, kita berdua habis nonton Frozen. Film favorite gue sama Daniel. Gak bosen walau uda nonton berkali-kali juga. Dan ternyata Reno suka juga.
“Lo gay kan? Abis ini ya, tiap gue buka Jack’D selalu ada yang deket banget jaraknya sama gue. Nah ini 0.0 meter. Siapa lagi kalau bukan elo?”
Gue tertawa, gak perlu canggung kan, toh dia pake aplikasi Jack’D juga, berarti dia sama dong kayak gue? Ya cowok straight mana tahu sih aplikasi kek beginian?
“Hahaha, trus?”
“Eh, temen lo yang hot itu gay juga?” Gue, dengan sangat hebat –gue harus mengapresiasi akting pura-pura cool gue, bakat jadi aktor- menutupi kegugupan gue. Bertaya dengan sok asik, “Lo naksir ya?”
“Hahaha, dia itu impian semua cowok gay tahuk! Ganteng, seksi, berkelas lagi, ya kan? Eh, jangan-jangan dia bf lo lagi? Kalau dari 1 sampai 10, nilai dia itu 12. Siapa sih namanya?” Pengen tahu perasaan gue kayak gimana? Bayangin ini deh, lo naksir orang dan orang yang elo taksir ini malah ngomongin temen lo, gimana perasaan lo?
“Daniel.”
“Boleh kali kalau dia maen kesini lo kenalin ke gue?”
“Oke,” Itu yang keluar dari mulut gue, bukannya. “Shut the fuck up Ren! Ada gue yang memuja lo disini dan lo malah nanyain temen gue?” atau, “Lo itu buta ya gak liat cinta di mata gue buat elo?” Enggak, kata-kata itu gak muncul sama sekali. Gue cuman diem, masih menikmati adegan Douglas Booth yang berkejar-kejaran dengan Emma Watson dalam film Noah. Ya, setelah habis nonton Frozen tadi, kita berdua lanjut nonton Noah. Masih dengan Big Cola botol gede di tengah-tengah kita. Dan beberapa snack, semacam, Lays dan Potatos.
Beberapa hari terakhir ini gue dan Reno emang semakin dekat. Dan, mau gak mau itu numbuhin harapan kalau Reno juga ada feeling yang sama ke gue. Penyakit homo emang, selalu ngrasa spesial kalau diberi sedikit perhatian. Crap! Gue tahu seharusnya gue gak boleh berharap lebih. Sampai kapan gue harus belajar bahwa gue gak akan pernah menang dari Daniel?
Rasjid? Cowok yang sering gue lihat diam-diam saat gue numpang tidur di perpustakaan itu akhirnya juga jatuh cinta pada Daniel.
Daniel? Dia gak pernah tahu kalau gue juga pernah naksir Rasjid. gue gak pernah bilang padanya, gue pura-pura ikut bahagia sewaktu Daniel bercerita bahwa dia akhirnya jadian dengan Rasjid. Gue selalu pura-pura ikut excited dengan semua cerita Daniel tentang Rasjid, tentang ciuman pertama mereka, seks pertama mereka. Daniel menceritakan semuanya sama gue. Dan gue? Gue ikut berbahagia untuk Daniel. Sungguh, gue akan memberikan apapun untuk Daniel. Dia satu-satunya orang yang membela gue disaat dulu gue diejek banci karena sering main dengan anak perempuan.
Dia yang babak belur dihajar kakak kelas karena ngebela gue yang waktu itu dibully habis-habisan waktu MOS. Percaya atau enggak, gue itu dulu lemah banget, klemar-klemer, dan Daniel satu-satunya orang yang mau temenan dengan tulus sama gue.
Gak pernah ngatain banci, gak pernah ikut-ikutan temen yang lain yang selalu menggoda gue dengan sebutan ‘mbak’, ‘jeung’ atau semacamnya itu waktu SD dan SMP. Sekarang sih, kata-kata tersebut gak ngefek ke gue, tapi dulu? Itu nyakitin.
Tapi sekarang, kalau gue harus nyerah lagi supaya Reno bisa deket dengan Daniel, apa bisa?
Apa gue gak disebut egois kalau gue, sekali ini saja berjuang atau mungkin bahkan bersaing dengan Daniel untuk mencuri perhatian Reno? Ridicilous, gue tahu. Daniel hanya menganggap Reno ‘cuci mata’ saja. Gue bahkan gak yakin Daniel mau mempertimbangkan Reno sebagai pacar, mungkin sebagai temen bobo.
“Gue balik atas dulu ya Ren?”
“Lho kenapa? Kan belum kelar filmnya? Lo gak suka, gue masih ada koleksi baru nih, FIRM dari Thailand, atau Perfect Plan? Van?”
“Gak, gue capek aja, pengen tiduran di kamar gue.”
“Kenapa gak disini aja? Kan sama aja, temenin gue dong. Lo tidur gak papa, tapi tetep disini temenin gue ya?” Aaargh, kalau gini caranya gue kan makin susah buat nolak!
“Oke.” Gue emang lemah sama Reno.
***

Uki Bagus Walantaga
Aku bersidekap, masih menunggu Daniel yang entah disengaja atau tidak, memakan ayamnya dengan santai. Daniel seharusnya tahu, malam ini aku kesini buat apa, bukan cuman buat nganter ayam goreng pesenan dia doang, memangnya aku kurirnya McD?
“Gak makan juga Ki?” Mau tak mau aku mengambil tissue dan melap bibir dan pipinya yang belepotan saus. Wajahnya yang innoncent ditambah ‘eyes puppy’nya itu kadang-kadang memang bikin terlena dan lupa kalau aku sedang ingin menuntut penjelasan.
“Kamu sebenarnya udah putus dari Bimo belum?”
“Udah.”
“Terus kenapa kemarin kamu bohong?”
“Aku gak pengen Bimo curiga aj--- ”
“Tuh kan! Ngapain pusing-pusing mikirin perasaan Bimo, coba kamu?” Sambarku cepat.
“Aku baru putus terus langsung dapet gandengan baru, kesannya murah banget aku Ki! Aah, terserah kamu sajalah.” Tuh kan, nyebelinnya keluar. Kesannya kayak aku doang yang berjuang buat hubungan ini.
“Kadang, aku ngrasa, aku terlalu jauh larut. Ini pertama kalinya aku jatuh cinta sama, eer , eeem.” Aku terus terang masih kaku menggunakan kata ‘gay’ untuk menggambarkan diriku sendiri. Entahlah.
“Sama cowok? Terus sama aku lagi, yang brengseknya saingan sama miringnya menara Pissa.”
“Bukan gitu Dan, aku gak pernah nyesel kok. Beneran, cuman pengen yakin aja kalau cuman aku yang sedang menjalin relationship sama kamu. Bukan ada Bimo atau Robby atau entah siapa lagi.”
“Robby? Robby yang mana Ki?” Wajah bingungnya Daniel ini emang jagonya bikin gemes. Aku mencubit hidungnya pelan.
“Itu, GM cabang Semarang.”
Kini, giliran Daniel yang tertawa terbahak-bahak. “Ada-ada aja kamu, aku cuci tangan dulu ya.” Aku mengiyakan sambil memberinya ciuman kilat di pipi.
Aku tak pernah menyangka aku akan memilih jalan ini. Serius, sebelum ke Semarang, rencanaku jelas sudah matang. Mengutarakan perasaanku untuk Hita, yang aku yakin seratus persen bakal diterima, kemudian menjalin hubungan serius dengannya sebelum akhirnya menikah. Lalu mempunyai dua anak, atau tiga, aku tak keberatan dan kita akan bahagia. Mungkin bakal ada ribut-ribut sedikit, tapi kedua orang tuaku jelas akan memberi restu. Hita baik, dari keluarga baik-baik. Rasanya, rencanaku sempurna kan?
Ya! Tapi aku lebih memilih jalan ini. Aku lebih memilih Daniel, yang entah mengapa mulai menghatuiku lebih sering sejak pulang dari Semarang. Mengabaikan semua akal sehat yang tentu saja benar dan berbuat konyol dengan meminta Daniel menjadi pacarku dengan ciuman.
Aku sedikit berharap, dulu sewaktu aku memintanya, Daniel akan menolak, dan dengan begitu aku bisa kembali ke rencana semula dengan Hita sebagai masa depanku. Tapi nyatanya tidak.
Dan apakah aku menyesal, sayangnya tidak.
Daniel membuatku semakin mabuk, dia mencintaiku dengan cara yang berbeda. Dan aku? Aku semakin hanyut, jika cintaku diibaratkan tumbuhan menjalar, seluruh tubuhku mungkin sudah tertutup tumbuhan menjalar tersebut. Dan sudah tidak ada kesempatan diriku untuk keluar, kalaupun aku bisa keluar, aku yakin aku tak kan pernah jadi sama.
Daniel menepuk pundakku, menyeretku kembali ke alam nyata. Dia lantas membuka kaosnya.
“Ngapain kamu buka baju dingin-dingin gini?” Daniel hanya diam, tak menjawab pertanyaanku. Dia malah sedikit menurunkan celana trainingnya. Awalnya, aku kira Daniel mau ngajak berbuat mesum, dan bukannya aku tidak mau. Aku hanya belum siap. Namun aku melihat tatto baru itu, bekas merahnya masih ada. Aku menyentuhnya, mengabaikan rambut halus yang mengintip dari ban celana training Daniel. Yang, jujur saja sangat menarik.
Namaku tertulis disitu.
“Kenapa harus deket selangkangan, natto namaku?” Dan tawa Daniel langsung meledak.
“Pengen aja.”
“Berarti tukang tattonya lihat itu kamu dong sayang?” Entah ya, membayangkan bahwa si tukang tatto menatto Daniel dengan menikmati penis Daniel yang . . . Aaaargh!! Aku bahkan gak bisa bayangin! Aku sendiri belum pernah lihat, cuman pernah lihat bokong bahenolnya, itupun sekilas.
“Itu apa?”
Aku agak risih mengucapkannya, “Tititmu.”
Daniel kembali tertawa, “Enggak lah, cuman lihat jembutku doang. Abis di dadaku uda ada tatto. Gak mungkin aku natto di pantat kan?” Aku kadang masih harus terbiasa dengan bibirnya Daniel yang kalau ngomong suka ngawur dan gak sopan.
Aku beralih ke dada Daniel yang memang sudah terbuka, menatap puting merah jambunya dari jarak yang sangat dekat. Dan tanpa sadar, aku sudah menciumnya, menggigitinya pelan.
Aku menjauhkan bibirku dari puting Daniel yang sedikit bengkak karena perlakuanku barusan, mendongak, menatap Daniel. “Kalau yang di dada ini artinya apa?”
“Itu diambil dari petikkan ayat suci di Alkitab, dalam bahasa Ibrani. Intinya, jangan ada allah lain selain Allahku.” Aku masih menatapnya tak mengerti.
“Gini Ki, pokoknya aku gak bolah nyembah allah lain selain Jesus. Dan allah lain itu bisa berupa duit, hobbi atau bahkan orang tua, teman, pacar. Menyembah disini bisa berarti lebih mengutamakan orang lain daripada Allahku sendiri.”
“Kamu nglakuin itu? Atau cuman sekedar tatto?”
“Aku pernah nglakuin itu, dan aku menyerah. Karena percuma.”
“Percuma?”
“Seberapapun aku berkorban untukNya, Tuhan gak akan pernah mau menerimaku yang gay. Aku menyerah Ki. Menyerah melayaninya sepenuh hati, aku tidak bisa lagi.”
Aku diam beberapa menit. Aura seks yang tadi sempat memanas, hilang entah kemana. “Kapan?”
“Saat aku lulus SMA.”
“Tapi kamu tiap Minggu masih ke gereja.”
Daniel tersenyum ringan, “Mamaku bisa membunuhku kalau tahu aku absen dari gereja satu kali saja tanpa alasan pasti.”
“Pendeta di gerejaku itu temennya Mama, that’s why . . .” Daniel melanjutkan penjelasannya ketika aku masih tidak mengerti.
“Sayang, kamu kan gak pernah tahu ibadah kamu bakal diterima apa enggak. Janji sama aku, kamu bakal melayani Tuhan kamu lagi kayak dulu. Bukan cuman karena Mama kamu.”
“Ki, itu tuh tertulis jelas di Alkitab, Tuhan itu mengutuk kaum gay!”
“Alqur’an juga, tapi aku tetap sholat. aku cuman gak pengen kamu berpikiran yang jahat ke Tuhan. Bukannya Dia penuh cinta kasih?” Daniel diam. Aku juga, sejak kapan aku jadi sok alim gini ya? Tapi beneran deh, kalau nanti aku tidak bisa menjaga Daniel lagi, aku ingin dia mempunyai pegangan yang cukup.
“Jadi batal lagi nih hubungan seksnya?” Aku tak sanggup menahan tawaku. Daniel memang gemesin.
“Sini tiduran di perutku, bajunya dipakai dulu tapi. Aku pengen dongeng ke kamu sebelum kamu bobo.” Daniel memakai bajunya, merebahkan kepalanya di perutku. Tanganku tak henti-hentinya membelai rambut hitam ikalnya. Bibir merahnya yang dikerutkan entah kenapa membuatku senyum-senyum sendiri.
“Dongeng apa? Snow White? Atau Cinderella?” Daniel menuntun tangan kiriku untuk mengelus-elus daun telinganya.
“Aku gak yakin ceritaku bakal sebagus cerita mereka, tapi kamu mau kan denger cerita masa kecil pacar kamu?”
Daniel tersenyum, lalu tertawa, deretan gigi putihnya tampak jelas. Kalau ada brand pasta gigi yang sedang mau mencari model yang tepat, aku bisa merekomendasikan Daniel.
“Oke, kamu bobo sini kan sayang?” Dan aku tersenyum sambil mulai bercerita.


TBC. . .

1 komentar:

leave comment please.