Chapter
Duabelas
Beno
Pov
“Anjing!
Lo gak bilang sama gue.” Aku emosi. Tantra hanya diam saja, sepertinya masih
menunggu ledakkan emosiku selanjutnya. Dan saat aku hanya terdiam, akhirnya
Tantra kembali berbicara.
“Gimana
gue bisa ngomong? Pagi kita udah hampir telat buat ujian, siangnya lo udah
ngacir duluan nemuin Gani. Dimana kesempatan gue coba? Lo egois tau gak Ben!”
“Gue
mana inget Tan! Serius gue lupa, gak inget satu hal pun. Terakhir yang gue
inget ya gue lagi minum-minum sama Shandy.” Tantra bangkit berdiri.
“Lo
kayaknya harus minta maaf sama Gani.”
“Tapi
Gani kan juga salah! Jalan sama Denny gak bilang-bilang gue.” Tantra menepuk
jidatnya secara berlebihan.
“Aduh,
come on! Lo sendiri yang bilang Gani minta ijin buat dateng ke ulang tahunnya Lita.
Gimana sih lo?” Aku garuk-garuk kepala. Jujur, aku sudah tidak marah lagi ke
Gani, yang ada malah kangen. Tapi masih ada gengsi buat minta maaf.
“Oke
ntar siang, gue ke tempat Gani.” Tantra bersidekap. Sikapnya benar-benar
menunjukkan sikap defensif. Heran saja, kenapa Tantra marah besar kayak gini?
Bukannya sedikit membelaku atau apa. Oke, disini aku yang salah, tapi Tantra
kan sahabatku, dari SMP lagi! Bela dikit kan gak masalah, kecuali . . .
Kecuali
Tantra ada rasa sama Gani.
Ah
ngaco! Tapi, siapa tahu kan?
“Tan,
lo sama Gani?” Tantra agak kaget dengan pertanyaan keceplosanku barusan sebelum
akhirnya menghampiriku.
“Iya!
Kalau kerjaan lo cuman bikin Gani mewek mulu kayak sekarang, jangan salahin gue
kalau ntar gue yang bahagiain dia! Gue balik dulu.”
“Eh
Tan! Tunggu! Lo becanda kan?”
“Gue
serius.” Ah shit! Si Gani menariknya dimana sih? Kalau aku yang jadi rebutan
kan wajar. Aah, kangen Gani.
***
Gani
Pov
“Yakin
lo gak papa?” Radit kayaknya masih berat melepas kepergianku.
“Gue
baik-baik aja Dit, seriusan deh.”
“Tapi
kenapa lo harus pergi sih? Lo gak kasian sama gue? Jadi sendirian?” Aku
terpaksa harus memutar kedua bola mataku. Radit semakin berlebihan.
“Lebay
lo! Gue balik ke Jogja juga cuman sampai Senin. Hari Selasa kan kita masuk buat
tahu hasil ujian. Aduh Dit, jujur ya daripada mikirin Beno, kayaknya gue lebih
takut sama hasil nilai ujian gue deh. Kalau semua mapel gue remidiasi gimana?
Mateng banget gak sih gue?”
“Lo
tuh ya! Terus Beno gimana? Uda ada hubungin elo belom?” Aku menggeleng. Tadinya,
siang ini aku mau ke rumah Beno, tapi Bapak tiba-tiba telepon kalau beliau sama
Ibu kangen. Ya sudah, aku langsung ikut penerbangan paling cepat yang bisa aku
dapat. Ini kan urusannya sama keluarga, orang tua. Aku gak mau kualat ya.
Kalau
memang Beno worth it, dia pasti tidak akan tergesa-gesa mengambil keputusan.
Main ucap kata putus se enteng itu.
“Gan,
ayok.” Denny meraih ranselku dan membawakannya. He’s such a gentleman, doesn’t
he?
“Den,
gue titip Gani, awas kalau sampai ada apa-apa.”
“Iya.”
Ya, ya, aku tahu kalian pasti akan mencibirku. Kenyataannya, aku memang pulang
kampung bareng Denny. Padahal waktu itu, Beno yang mau ikut. Hhhh, terkadang
janji memang tidak bisa semuanya terealisasi kan?
Beno
membenciku, Denny ada disini. Jangan salahkan aku, aku hanya butuh sandaran
untuk sementara. Kalau dipikir-pikir, aku ini juga enggak lebih baik dari
Shandy ya?
Oke,
aku tahu aku jahat. Bajingan, memanfaatkan Denny untuk mengobati luka hatiku
karena Beno. Biarlah, aku memang bajingan.
***
Beno
Pov
Aku
masih saja maju mundur, padahal aku sudah berada didepan gerbang rumah Radit.
Tinggal pencet bel, gerbangnya bakal dibukain deh sama satpam. Tapi ini ya,
susah banget! Serius! Aargh, makan saja gengsiku! Kalau karena gengsiku, aku
jadi benar-benar kehilangan Gani gimana?
Aku
menguatkan hatiku sebelum akhirnya memencet bell. Aku sengaja tidak menelepon
Gani, takutnya dia marah dan tidak mau menemuiku. Kalau aku datang dadakan
begini kan dia tidak mungkin sempat bikin alasan macam-macam.
“Lho
Mas Beno? Masuk mas. Nyari Mas Gani atau Mas Radit nih?”
“Gani
Pak, ada kan?” Kataku menjawab pertanyaan Sardi, sambil memasukkan motorku.
“Waduh,
baru saja pergi barengan Mas Radit itu Mas. Tunggu didalam saja Mas. Paling
sebentar lagi juga pulang.”
“Oke
Pak.” Aku memarkirkan motorku, sebelum akhirnya naik keatas. Bukannya tidak
sopan, aku memang terbiasa langsung naik ke kamar Gani dan Radit. Tak terkunci,
seperti yang aku duga.
Aku
tersenyum ringan saat melihat fotoku yang di tempel di dinding, fotoku yang
tengah bermain bola. Lalu beberapa fotoku dan Gani, kami berdua tersenyum lebar
dalam foto itu.
Aargh,
kenapa kemarin aku begitu tergesa-gesa mengucap kata putus?
Aku
tahu Denny masih mencintai Gani, tetapi seharusnya aku lebih mempercayai Gani
kan? Tidak semudah itu menuduhnya selingkuh, dan yang paling penting tidak
semudah itu mengatakan kata-kata perpisahan. Menyesal juga bukannya percuma,
toh waktu tidak bisa diputar mundur.
“Eh
elo Ben, ngapain lo?” Radit, untuk ukuran sahabat matinya Gani, aku cukup
terkejut dia tidak langsung mengusirku.
“Gani
mana? Kata Pak Sardi pergi sama lo tadi.”
“Ngapain
lo nyariin Gani?” Radit mengucapkannya dengan santai sambil melepas jaketnya.
“Gue
mau minta maaf.”
“Gani
uda balik Jogja, paling juga nerusin kelas tiganya disana. Entar paling
orangtuanya kesini buat ngurusin surat pindah sekolahnya.” Deg. Ucapan Radit
langsung membuatku mengeluarkan keringat dingin.
“Lo
serius kan? Gak lagi ngerjain gue atau dendam sama gue?”
“Aduh
Ben! Gak penting juga kali gue becandain lo!”
“Lo
tahu alamat Gani yang di Jogja gak?”
“Lo
mau nyusul? Percuma juga lagi Ben, emang lo bakalan dapet ijin dari orang tua
lo? Gak yakin gue.” Radit benar. Mana mungkin kedua orang tuaku memberiku ijin,
dan yang pasti uang saku untuk ke Jogja? Mustahil.
“Terus
gue mesti gimana Dit?” Radit mengedikkan bahunya ringan. Dia sepertinya enggan
peduli. Aku terpaku sebentar, sebelum akhirnya sadar bahwa tidak ada gunanya
juga aku berlama-lama disini.
“Kalau
gitu gue balik dulu. Thank Dit, Bye.” Shit! Shit! Seandainya aku lebih cepat
meminta maaf ke Gani! Sial, sial! Aku belum siap untuk jauh dari Gani.
Aku
menelpon Tantra ketika aku sudah berada diatas motor.
“Tan,
lo dimana?”
“Oke,
oke, gue ke rumah lo.” Aku menutup telepon, menstater motorku dan berlalu dari
rumah Radit.
***
“Hah?
Serius lo Gani pindah ke Jogja?” Tantra menyerahkan orange juice padaku, walau
aku sedang tidak bernafsu memasukkan apa-apa ke mulutku.
“Radit
yang bilang.”
“Tapi
masa sih? Kan sayang banget tinggal setahun juga. Lagian bukannya Gani mau
lanjut ke UI ya? Makanya akhir-akhir ini doi ikut les? Ngapain pulang Jogja
juga?” Aku hanya menggeleng. Aku juga sama tidak tahunya dengan Tantra tentang
masalah ini. Apa ini ada sangkut pautnya denganku? Goblok! Jelas ada, banget!
“Gue
mesti gimana Tan?” Aku lesu.
“Tenang
aja, Gani gak mungkin bisa melenggang gitu aja. Doi pasti balik lah, sekedar
buat ambil barang-barangnya di rumah Radit atau apa, rapor mungkin?”
“Kalau
orang tua Gani yang nglakuin itu?”
“Gani
gak sepengecut itu buat lari dari masalah Ben, walau gue belum kenal lama sama
Gani, gue tahu dia anaknya gak cemen.”
“Gue
bener-bener idiot, nyesel banget gue.”
“Lo
sayang banget sama Gani ya?” Aku menatap Tantra, tidak mengerti kenapa dia
menanyakan hal bodoh yang jelas-jelas sudah bisa dia jawab sendiri. Kalau aku
tak mencintai Gani, aku tidak akan tersakiti dengan perbuatannya kemarin.
Karena, bukankah yang berpotensi menyakiti kita, justru adalah orang-orang yang
kita cintai? Karena pendapat orang yang kita cintai itu benar-benar
mempengaruhi kita kan?
“Gue,
somehow, gak pernah bisa ngerti orang yang bisa menangis, tertawa,
senyum-senyum gak jelas, hanya karena seseorang.” Tantra melanjutkan ucapannya.
“Gue
pengen jatuh cinta Ben, gak peduli sama cewek kek, sama cowok kek, gue cuman
pengen ngerasain, gimana rasanya jatuh cinta, gimana rasanya jadi konyol karena
seseorang.”
“Lo
tau gak Tan, Gani itu bukan cuman seseorang buat gue, dia segalanya buat gue.”
“Gue
bakalan bantuin elo kok. Kalau Radit jadi galak ke elo ya wajar, kan sohibnya
yang elo sakitin, tapi dia gak bakalan galak ke gue kan?” Tantra meneguk orange
juice nya. “By the way Ben, lo kalau ada apa-apa, cerita ke gue dulu ya? Lo kan
bukan Denny yang berpikiran panjang, lo itu selalu pendek pikirannya, jadi gue
gak pengen ntar lo bikin keputusan-keputusan mendadak. Ujung-ujungnya bikin lo
nyesel.”
Aku
tersenyum ringan, “Oke.”
***
Aku
masih tidak percaya bahwa aku berada disini, di tempat yang sekarang aku benci
dan bersama orang yang tidak aku sukai. Tempat ini dulunya, adalah tempat
favoritku dan Gani nongkrong, sekarang? Jangankan buat nongkrong, mampir aja
males. Caffe nya Shandy.
“Jadi
gimana Ben?” Shandy, memamerkan sederet giginya dengan seringai licik.
Bagaimana aku sekarang bisa berada disini? Tadi, setelah aku pulang dari
sehabis bertemu Tantra, Shandy menghubungiku. Awalnya, aku maki-maki. Maksudku,
berani-beraninya dia menghubungiku setelah menjebakku? Tak tahu malu.
Tapi,
tetap saja aku menuruti keinginannya untuk memintaku datang ke tempatnya. Caffe
tempat Shandy bekerja ini belum buka, hanya ada aku dan dia disini.
“Video
ini masih save di handphone gue. Tapi kalau lo macem-macem, gue bisa kirim ini
ke guru lo. Dan taraaaaaa, lo bakal terkenal deh.” Sekarang, kalian tahu kan
alasanku berada disini?
“Mau
lo apa sih Shan? Gak lucu tau gak lo.”
“Mau
gue ya elo. Lo tinggalin si Gani, trus lo pacaran sama gue.”
“Ada
opsi lain? Atau gue gak bisa milih?”
“Pilihan
lainnya, video lo kesebar. Gue tahu semua alamat email guru-guru lo. Jadi,
pikirin dengan bijak.” Shandy berdiri, celingukkan sebentar. “Bentar lagi,
orang-orang caffe bakalan dateng.” Dia memajukan wajahnya tepat dihadapan
wajahku, “Gue tunggu besok malam lo di klub.”
***
Gani
Pov
Magelang?
Aku kangen tempat ini. Kangen Bapak Ibu juga. Tapi, mungkin kalian penasaran,
kenapa aku bisa sekolah di Jakarta, sedangkan kedua orang tuaku tinggal disini.
Ini yang belum pernah aku ceritakan kepada siapapun. Siapapun.
Aku
bukanlah anak kandung kedua orang tuaku. Walaupun mereka baik padaku, luar
biasa baik. Jika bukan mereka sendiri yang mengatakannya padaku, bahwa aku
diadopsi dari panti asuhan, aku juga pasti tidak akan percaya. Dulu kedua
orangtuaku tinggal di Jakarta, aku diadopsi dari salah satu panti asuhan Jakarta.
Malangnya, data-data tentang orangtua kandungku hilang.
Saat
aku menginjak usia kelima, Bapakku memutuskan untuk pindah ke daerah. Tempat
kelahirannya dulu. Aku? Aku ikut kok. Dan sama sekali tidak ada niat untuk
pindah atau tinggal di Jakarta, waktu
itu, saat itu, saat aku belum tahu kebenarannya.
Aku
pindah ke Jakarta saat aku akan memasuki bangku SMA, berjuang sendirian, dengan
harapan, suatu saat akan menemukan orangtua kandungku.
Sekarang?
Saat aku melihat kedua orang tuaku yang sedang menyiapkan makan malam untukku
dan Denny, aku merasa tidak ada gunanya mencari siapa sebenarnya orangtua
kandungku.
Hah,
sudah lama juga sebenarnya aku menyerah mencari keberadaan orang tua kandungku.
Sejak aku mulai pacaran dengan Denny.
Lalu
aku bertemu Radit, lalu Beno.
“Gan,
ayo makan dulu Le, ntar keburu dingin ini lho.”
“Inggih
Bu,”
“Ayo,
Mas Denny, jangan sungkan-sungkan.” Denny tersenyum. Denny, salah satu
penyesalan terbesarku. Seandainya, dulu aku tidak gegabah.
Lihat dia yang dengan santai dan sopan
menanggapi guyonan Bapak. Tapi, yang aku pikirkan sekarang adalah Beno. Yang
ada dalam tiap pikiranku adalah Beno.
Lebih
mudah kalau aku pacaran dengan Denny, bukankah dulu kita hampir tidak pernah
bertengkar? Denny selalu mengalah.
Denny
sempurna, karena dia bukan Beno.
Denny
sempurna, tapi dia bukan Beno.
Ya,
tapi Denny bukan Beno.
Aku
kangen kamu Ben.
***
Beno
Pov
“Oke.”
,Kataku mantap.
“Oke
apa?” Shandy memainkan gelas berisi cairan alkohol di jarinya.
“Gue
mau jadi pacar lo.” Shandy terbelalak sebentar, sebelum akhirnya rileks
kembali.
“Gue
butuh bukti.”
Aku
menulan ludahku dengan susah. Yang namanya minta bukti, itu pasti sesuatu yang
sulit. Apalagi berhubungan dengan Shandy. “Lo minta apa?” Aku memberanikan
bertanya. Sebisa mungkin mengatur suaraku agar tetap santai. Aku tidak ingin
terlihat tertekan dihadapan musuhku.
“Lo
ML sama gue, sekarang.”
Aku
menaikkan kedua alisku tidak percaya, “Disini?”
“Ikut
gue,” Shandy, lagi-lagi memamerkan senyum liciknya.
Aku,
sebenarnya, antara takut dan deg-degan. Tapi ini akibat kecerobohanku, dan aku
ingin memperbaikinya. Setidaknya, hingga semua kondisi terkontrol kembali.
Kapan Ben? Aku tersenyum kecut menjawab pertanyaan dari diriku sendiri.
Shandy
membawaku melewati lorong, hingga bunyi musik dan hingar bingar club hampir
nyaris tidak terdengar. Shandy membuka sebuah pintu, memberiku kode agar aku
mengikutinya masuk.
Begitu
aku masuk dan menutupnya, aku tidak menguncinya tentu saja. Jaga-jaga untuk
kabur kalau keadaan darurat.
Shandy
langsung memburuku dengan ciuman. Tangannya secara tidak sabar membuka semua
pakaianku. Aku bahkan takut kaosku robek atau kenapa-kenapa, itu salah satu
kaos favoritku, yang dipilihin Gani.
Ya,
ya, aku sengaja memakai kaos itu agar aku ingat, dan tentu saja tidak lepas
kontrol. Here we go.
Aku
membalas sama ganasnya, melepas semua pakaian Shandy, melorotkan celana jeansnya
dengan tergesa-gesa dan aku buang dekat pintu.
Aku
mengoral Shandy.
Jujur,
terpaksa.
“Aah,
Ben, udah lama gue pengen diisepin gini sama lo. Gilak, lo jago banget.”
Nikmati surga lo Shan, nikmati. Sebelum neraka lo dateng.
***
Tantra
Pov
Hal
paling menjijikkan yang pernah aku lihat seumur hidupku. Dua lelaki yang tengah
bergumul tanpa sehelai benangpun. Bahkan, mereka tidak menyadari keberadaanku.
Yah, kalau mereka menyadari keberadaanku, tamatlah riwayatku dan Beno.
Aah,
aku bahkan tidak percaya Beno begitu menikmati perannya, atau dia memang tidak
sedang berpura-pura? Ruangan yang cukup gelap ini tidak menyulitkanku untuk
menemukan celana jeans milik Shandy dan mengambil Handphonenya.
Aargh,
enak juga.
Aku
seperti agen rahasia saja.
Setelah
benda yang aku inginkan berada di tanganku, aku segera pergi. Melihat dua
lelaki bercinta? Iuh, bukan minatku. Mungkin aku memang straight. Padahal Gani
lucu kalau dijadiin pacar. Hahaha.
Aku
menunggu di mobil, sambil menonton konsernya JT yang aku download tadi siang.
Lumayan buat nungguin Beno.
Tapi,
dipikir-pikir lama juga mereka mainnya. Ini udah setengah jam lewat. Atau
jangan-jangan Shandy sadar lagi handphonenya gue colong? Trus Beno diapa-apain
lagi?
Tapi
masa sih? Aku tadi uda mesen ke Beno, buat Shandy crot duluan. Kalau doi udah
crot kan kadang suka lemes dan lebih bagus lagi ketiduran. Aah, mana ada sih
rencana yang berjalan mulus, tanpa analisa yang bagus? Nah, kelemahan rencanaku
dan Beno, kita tidak menganalisa Shandy. Seberapa kuat dia bertahan di ranjang?
Setelah ejakulasi, apa kebiasaan Shandy? Apakah dia type yang tahan main
berjam-jam dan beronde-ronde?
Gilak!
Mana sempet kita bikin analisa, kalau waktu yang kita punya bahkan kurang dari
24 jam?
Ini
rencana paling mendingan daripada usulan-usulan rencana Beno yang bisa
dikategorikan kriminal.
Seperti
meracuni Shandy, menyewa pembunuh bayaran, pukul ditempat. Aku bisa kasih
saran, semprot baygon aja sekalian.
Aku
hampir mau menyusul Beno kedalam lagi. Ini sudah satu jam. Namun, baru aku mau
turun, kaca jendela mobilku diketuk. Aku tersenyum begitu melihat Beno yang
masih berkeringat muncul dari baliknya.
“Gimana?”
Tanyaku begitu Beno sudah duduk disampingku.
“Dia
gak sehot fisiknya, baru juga gue oral uda crot.”
“Kenapa
bisa nyampe satu jam lebih kalau gitu?”
“Tadi
dia minta ngoral gue. Gue tahan mati-matian biar gak keluar ini pejuh.” Beno
mengambil tissu dari jok belakang. Sedangkan aku, mulai menstater mobilku.
“Gimana
lo bisa lolos?”
“Gue
ijin mau kencing.” Beno tersenyum. “Lihat nih, bukan cuman hapenya doang yang
kita gondol, dompetnya juga.”
Aku
tertawa terbahak. “Kita bener-bener kriminal.”
“Dia
salah pilih lawan Tan, gak tahu aja kita ini bandelnya dulu ngalah-ngalahin
gank motor.” Beno ikuta-ikutan tertawa. Yah, memang udah lama aku gak berbuat
kriminal bareng Beno. Kurang Ian sih sebenarnya, tapi kali gak papa lah,
daripada Ian useless juga nantinya.
Dan
ini, baru dimulai. Bukankah saat terdesak, semutpun bisa menjadi harimau?
Bersambung
. . .